Anda di halaman 1dari 41

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial
yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomis (DPR RI, 2009). Kesehatan merupakan hak asasi setiap manusia dan salah
satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan dengan meningkatkan upaya
kesehatan masyarakat. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan dan/atau
serangkaian kegiatan yang dilakukan secara terpadu, terintegrasi dan
berkesinambungan untuk memlihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit (preventif), peningkatan kesehatan
(promotif), pengobatan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif)
oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Pemerintah bertanggung jawab
merencanakan, mengatur, menyelenggrakan, membina, dan mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat
melalui fasilitas pelayanan kesehatan (DPR RI, 2009).

Fasilitas pelayanan kesehatan adalah suatu alat dan/atau tempat yang digunakan
untuk menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat (DPR RI, 2009). Salah satu
fasilitas pelayanan kesehatan adalah rumah sakit yang merupakan sarana
kesehatan dan rujukan pelayanan kesehatan yang bersifat penyembuhan dan
pemulihan bagi pasien. Rumah sakit harus memenuhi persyaratan salah satunya
persyaratan kefarmasian yang dapat menjamin ketersediaan sediaan farmasi dan
alat kesehatan di rumah sakit yang mengikuti standar pelayanan kefarmasian.

Pelayanan kefarmasian adalah suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab


kepada pasien yang berkaitan dengan Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai
hasil yang pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien (Pemerintah RI, 2009).
Penyelenggaraan pelayanan kefarmasian dilaksanakan oleh tenaga farmasi yang
profesional dan berwenang berdasarkan undang-undang yang memenuhi

1
persyaratan baik dari segi aspek hukum, strata pendidikan, kualitas maupun
kuantitas dengan jaminan kepastian adanya peningkatan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap keprofesian terus menerus dalam rangka menjaga mutu
profesi dan kepuasan pelanggan. Apoteker di rumah sakit adalah salah satu
pelaksana pelayanan kefarmasian yang memegang peran penting. Apoteker harus
memiliki kompetensi untuk menjadi seorang pemimpin dan tenaga fungsional
dalam menjalankan pelayanan kefarmasian tersebut. Apabila apoteker melakukan
pelayanan kefarmasian sesuai standar yang berlaku, maka pelayanan kesehatan
dapat terlaksana dengan baik.

Apoteker di rumah sakit memiliki peran dalam manajemen pengelolaan


perbekalan farmasi dan famasi klinis (MenKes RI, 2016). Dalam menjalankan
peran tersebut, apoteker tidak hanya memerlukan ilmu pengetahuan farmasi
namun juga keterampilan dan kemampuan komunikasi yang baik. Oleh karena itu
Program Studi Profesi Apoteker Universitas Jendral Achmad Yani
menyelenggarakan program Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) bagi calon
Apoteker di Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu Bandung
yang berlangsung selama satu bulan.

1.2 Tujuan
Tujuan pelaksanaan kegiatan Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di rumah
sakit ini adalah untuk mengetahui dan memahami tugas pokok seorang apoteker di
rumah sakit, yaitu peran manajerial dan pelayanan farmasi klinis di RS. Paru Dr.
H. A. Rotinsulu.

1.3 Pelaksanaan Praktek Kerja Profesi Apoteker


Program Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dilaksanakan di Rumah Sakit
Paru Dr. H. A Rotinsulu Bandung mulai tanggal 2 Juli 2018 sampai 31 Juli 2018
setiap hari Senin sampai Jumat shift pagi dimulai pukul 07.00 WIB sampai 16.00
WIB dan shift middle dimulai pukul 12.00 WIB sampai 19.00 WIB.

2
BAB II
TINJAUAN RUMAH SAKIT PARU
Dr. H. A. ROTINSULU

2.1 Rumah Sakit


2.1.1 Definisi Rumah Sakit
Rumah sakit adalah suatu organisasi yang kompleks, menggunakan gabungan alat
ilmiah khusus dan rumit, dan difungsikan oleh berbagai kesatuan personel terlatih
dan terdidik dalam menghadapi dan menangani masalah medik modern, yang
semuanya terikat bersama-sama dalam maksud yang sama, untuk pemulihan dan
pemeliharaan kesehatan yang baik (Siregar, 2004).

2.1.2 Klasifkasi Rumah Sakit

Berdasarkan UU No. 44 tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit


diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Berdasarkan Jenis Pelayanan
a. Rumah Sakit Umum
Rumah sakit umum adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan
pada semua bidang dan jenis penyakit. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan
pelayanan rumah sakit, rumah sakit umum digolongkan menjadi:
- Rumah Sakit umum kelas A
Rumah sakit umum kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik spesialis dasar, 5
pelayanan spesialis penunjang medik, 12 pelayanan medik spesialis lain,
dan 13 pelayanan medik subspesialis.
- Rumah Sakit umum kelas B
Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik spesialis dasar, 4
pelayanan spesialis penunjang medik, 8 pelayanan medik spesialis lain,
dan 2 pelayanan medik subspesialis dasar.

3
- Rumah Sakit umum kelas C
Rumah sakit umum kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 4 pelayanan medik spesialis dasar, 4
pelayanan spesialis penunjang medik.
- Rumah Sakit umum kelas D
Rumah sakit umum kelas D harus mempunyai fasilitas dan kemampuan
pelayanan medik paling sedikit 2 pelayanan medik spesialis dasar.
b. Rumah Sakit Khusus
Rumah sakit khusus adalah rumah sakit yang memberikan pelayanan utama
pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu,
golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya. Berdasarkan
fasilitas dan kemampuan pelayanan rumah sakit, RSK digolongkan menjadi:
- Rumah Sakit khusus kelas A
- Rumah Sakit khusus kelas B
- Rumah Sakit khusus kelas C
2. Berdasarkan Pengelola
a. Rumah Sakit Publik
Rumah sakit publik adalah rumah sakit yang dapat dikelola oleh Pemerintah,
Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba.
b. Rumah Sakit Privat
Rumah Sakit privat adalah rumah sakit yang dikelola oleh badan hukum dengan
tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
3. Rumah Sakit Pendidikan
Rumah Sakit pendidikan merupakan rumah rakit yang menyelenggarakan
pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi
kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga
kesehatan lainnya.

2.2 Profil Rumah Sakit Paru Dr. H A. Rotinsulu


2.2.1 Sejarah Singkat Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu
Rumah Sakit Paru Dr. H.A Rotinsulu (RSPR) didirikan dan diresmikan pada
tahun 1935 oleh Pemerintah Hindia Belanda yang berlatar belakang sebagai
kelanjutan dari kegiatan Sanatorium Solsana. Pada zaman Belanda di daerah

4
Ciumbuleuit merupakan perkebunan teh. Rumah Sakit Paru Dr. H.A Rotinsulu
yang terletak di jalan Bukit Jarian dahulu adalah tempat istirahat para pemetik teh
serta tempat penimbangan pucuk teh. Dalam kurun waktu 1945-1955, RSPR
mulai merawat penderita penyakit paru-paru khususnya tuberkulosis hingga
sembuh dan rata-rata seorang penderita dirawat selama 3 tahun. Nama rumah sakit
pada saat itu adalah Sanatorium Solsana-Cipaganti yang dipimpin oleh dr.
Wisnujudo. Selain merawat penderita juga melaksanakan tindakan pembedahan.

Pada tahun 1985 sampai 1995, mulai terjadi berbagai pengembangan pengobatan
dan perawatan penderita tuberculosis paru baik pada Unit Rawat Inap maupun
Unit Rawat Jalan, dan pengembangan unit penunjang medic. Pada tahun 1987
terjadi peningkatan kelas perawatan yang semula berbentuk barak (zaal) sekarang
mempunyai kelas II, IIIA dan IIIB. Pada bulan Oktober 1991 mulai beroperasi
pelayanan perawatan intensif di ruang ICU dengan kapasitas 2 tempat tidur.
Dalam perkembangannya pelayanan kesehatan tidak hanya melayani penderita
tuberculosis paru tetapi juga menangani penderita penyakit paru lainnya. dan pada
tahun 2003 diusulkan ke DepKes untuk pengembangan dan perubahan Rumah
Sakit Tuberkulosa Paru-paru Cipaganti menjadi RSPR. Pada tanggal 26 Februari
2004 RSTP Cipaganti resmi berubah nama menjadi Rumah Sakit paru Dr. H.A
Rotinsulu dan pada tanggal 1 Maret 2004 dr. Edi Sampurno, Sp.P resmi diangkat
menjadi Direktur Rumah Sakit Dr. H. A. Rotinsulu. Pada tanggal 7 maret 2016
kepemimpinan dr. Edi Sampurno, Sp.P resmi digantikan oleh dr. R. Nina Susana
Dewi, Sp.PK (K), M.Kes.MMRS. Pada tahun 2011 telah berhasil lulus akreditasi
RS 16 Pelayanan dari KARS. Kemudian pada tahun 2015 Rumah Sakit Paru Dr.
H. A. Rotinsulu telah terakreditasi dengan tingkat paripurna.

2.2.2 Status Rumah Sakit


Nama : RS. Paru Dr. H.A Rotinsulu
Kelas Rumah Sakit : Rumah Sakit Khusus Kelas A
Tanggal dan Tahun Berdirinya : Tahun 1935
Status Kepemilikan : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Status Akreditasi Rumah sakit : Akreditasi tingkat paripurna
Alamat : Jalan Bukit Jarian No. 40, Bandung, Jawa Barat

5
Denah Rumah Sakit Paru Dr. H. A Rotinsulu dapat dilihat pada Lampiran 1,
Gambar II.1.

2.2.3 Struktur Organisasi Rumah Sakit


Struktur organisasi Rumah Sakit Paru Dr. H.A Rotinsulu dapat dilihat pada
Lampiran 2, Gambar II.2.

2.2.4 Tim Farmasi dan Terapi


Apoteker kepala IFRS harus berperan dalam lintas profesi di rumah sakit antara
lain berperan dalam Tim Farmasi dan Terapi (TFT) dan komite medik. Tim
farmasi dan terapi merupakan organisasi yang mewakili hubungan komunikasi
antara tenaga kesehatan yang ada di rumah sakit, beranggotakan dokter, apoteker
dan tenaga kesehatan lainnya. Komite farmasi dan terapi kegitannya antara lain:
Kebijakan pemilihan obat, Menyusun formularium rumah sakit 1 tahun sekali,
Mengevaluasi untuk menyetujui atau menolak produk obat baru yang diusulkan
olef staf medic, Membuat usulan pemilihan penggunaan obat kepada pimpinan
rumah sakit, Mensosialisasikan semua kebijakan yang melibatkan komite farmasi
dan terapi kepada profesional kesehatan., Melakukan pengkajian secara terus
menerus terhadap penggunaan obat yang rasional. Peran apoteker dalam panitia
ini sangat penting karena semua kebijakan dan peraturan dalam mengelola dan
menggunakan obat di seluruh unit di rumah sakit ditentukan dalam panitia ini.

2.3 Instalasi Farmasi Rumah Sakit


2.3.1 Pendahuluan
Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan
dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit. Pelayanan farmasi di rumah sakit
dilaksanakan oleh instalasi farmasi rumah sakit (IFRS) yang dipimpin oleh
apoteker dibantu oleh TTK. Kepala instalasi bertanggung jawab terhadap segala
aspek hukum dan peraturan-peraturan farmasi, baik terhadap pengawasan
distribusi maupun administrasi barang farmasi.

2.3.2 Sumber Daya Manusia


Sumber daya di IFRS Paru Dr. H. A. Rotinsulu terdiri dari 7 orang apoteker. Satu
orang apoteker sebagai kepala IFRS. Asisten apoteker berjumlah 11 orang dan 2

6
orang administrasi. Struktur organisasi IFTS Paru Dr. H.A Rotinsulu dapat dilihat
pada Lampiran 3, Gambar II.3.

2.3.3 Sarana dan Peralatan


Instalasi farmasi RSPR mempunyai ruangan, peralatan dan fasilitas lain yang
dapat mendukung administrasi, profesionalisme dan fungsi teknik pelayanan
farmasi, sehingga menjamin terselenggaranya pelayanan farmasi yang fungsional,
profesional dan etis. Fasilitas tersebut antara lain :
1. Tersedianya fasilitas penyimpanan barang farmasi (gudang), lemari dan kotak
penyimpanan obat, Alkes, dan BMHP, lemari pendingin yang menjamin
semua perbekalan farmasi tetap dalam kondisi yang baik dan dapat
dipertanggung jawabkan sesuai dengan spesifikasi masing-masing perbekalan
farmasi dan peraturan.
2. Tersedianya fasilitas untuk pendistribusian obat (trolley).
3. Tersedianya fasilitas untuk pemberian konseling (ruang konseling).
4. Fasilitas penyiapan obat dan fasilitas pengemasan yang menjamin mutu dan
keamanan penggunaan obat.
5. Fasilitas administrasi kefarmasian di tempat pelayanan yang meliputi meja
untuk kegiatan administrasi, lemari penyimpanan peralatan administrasi,
blanko salinan resep, blanko kartu stok, dan buku permintaan.

2.3.4 Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP


Pengelolaan perbekalan farmasi di RSPR dilakukan oleh instalasi farmasi.
1. Pemilihan
Pemilihan perbekalan farmasi disesuaikan dengan kebutuhan pelayanan rumah
sakit berdasarkan Formularium Nasional, Formularium Rumah Sakit RSPR,
pola penyakit, efektifitas dan keamanan, mutu, harga, dan daftar obat e-
katalog.
2. Perencanaan Kebutuhan
Perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi di RSPR dilakukan oleh
penanggung jawab perencanaan. Perencanaan kebutuhan perbekalan farmasi
dilakukan berdasarkan pemakaian waktu periode yang lalu dengan
mempertimbangkan anggaran yang tersedia dan sisa persediaan.

7
3. Pengadaan
Pengadaan perbekalan farmasi di RSPR dilakukan oleh penanggung jawab
pengadaan, dilakukan dengan cara:
a. Pembelian kepada distributor (PBF). Pemilihan pemasok dilakukan
berdasarkan kriteria kualitas pelayanan yang cepat dan baik, sistem
pembayaran (tunai atau kredit), jangka waktu pembayaran, besarnya
potongan harga, kesediaan mengganti sediaan farmasi yang kadaluwarsa
serta kelegalitasan pemasok.
b. Obat narkotika dipesan menggunakan SP khusus narkotika yang
ditandatangani oleh apoteker penanggung jawab yang ditujukan kepada
PBF Kimia Farma selaku distributor tunggal yang ditunjuk oleh
pemerintah untuk melaksanakan pengolahan, impor, dan distribusi obat
narkotika.
c. Pengadaan perbekalan farmasi dilakukan setiap tiga bulan sekali (triwulan)
d. Pengadaan berdasarkan e-katalog. Apabila pada e-katalog terdapat
perbekalan farmasi yang kosong, maka dapat mencari perbekalan farmasi
di luar e-katalog dengan harga yang sesuai atau tidak melebihi harga dari
e-katalog.
e. Pengadaan berdasarkan pembelian ada secara langsung dengan jumlah
pembelian tidak melebihi 200 juta rupiah
f. Pengadaan Cito yang dilakukan ketika terjadi permintaan mendesak karena
kekosongan barang secara tiba-tiba.
Alur perencanaan dan pengadaan perbekalan farmasi dapat dilihat pada Lampiran
4, Gambar II.4. Untuk pengadaan di ruang rawat inap dan rawat jalan, permintaan
dapat ditujukan ke gudang farmasi.
4. Penerimaan
Penerimaan perbekalan farmasi dilakukan oleh penanggung jawab penerima
perbekalan farmasi. Saat barang datang, apoteker mengecek kesesuaian obat
dengan SP dan faktur dan mengecek barang yang meliputi nama, indikasi, volume
obat, nomor batch, expire date, harga, potongan harga, kondisi fisik obat. Jika
sudah sesuai obat dapat diterima.

8
5. Penyimpanan
Penyimpanan perbekalan farmasi di RSPR berdasarkan sistem FIFO (First In
First Out), sistem FEFO (First Expired First Out. Penyimpanan disusun
berdasarkan alfabetis, bentuk sediaan, golongan obat, suhu penyimpanan, obat
fast moving, dan untuk obat yang bentuk mirip diberi label LASA (Look Alike
Sound Alike). Penyimpanan obat dengan nama sama namun kekuatan berbeda
dipisahkan oleh satu obat. Perbekalan farmasi yang volumenya besar disimpan
diruangan terpisah. Masing-masing sediaan farmasi memiliki kartu stock barang.
Alur penyimpanan perbekalan farmasi dapat dilihat pada Lampiran 5 Gambar II.5.
6. Pendistribusian
Distribusi perbekalan farmasi di RSPR dilakukan olah depo farmasi rawat jalan
dan rawat inap. Perbekalan farmasi didistribusikan dari gudang ke depo farmasi
kemudian ke pasien sesuai dengan yang dituliskan pada resep. Distribusi di depo
rawat inap dilakukan dengan sistem unit dosis yaitu berdasarkan resep perorangan
yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau ganda untuk penggunaan satu kali
dosis/ pasien. Obat yang dikeluarkan dari depo farmasi disimpan di ruang
perawat, untuk selanjutnya diberikan kepada pasien pada jam minum obat.
7. Pemusnahan
Pemusnahan di Instalasi Farmasi RSPR dilakukan pada perbekalan farmasi bila :
a. Telah kadaluwarsa,
b. Dicabut izin edarnya, bukan RS yang melakukan pemusnahan tetapi
melalui distributor sediaan ditarik dan dilakukan pemusnahan oleh BPOM
Tahap pemusnahan untuk narkotika dan psikotropika harus melaporkan terlebih
dahulu ke Dinas Kesehatan Kota/Daerah. Resep yang telah disimpan jangka
waktu 5 (lima) tahun dapat dimusnahkan. Pemusnahan resep dilakukan oleh
Apoteker disaksikan oleh petugas lain di IFRS. Tata cara pemusnahan resep dapat
dihitung atau ditimbang, kemudian resep dihancurkan lalu dikubur atau dibakar
dan dibuat BAP berupa formulir sesuai peraturan dan selanjutnya dilaporkan
kepada Dinas Kesehatan kabupaten/kota.
8. Pengendalian
Pengendalian perbekalan farmasi di IFRS Paru Dr. H. A. Rotinsulu meliputi :

9
a. Evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving), evaluasi dapat
dilakukan dengan melihat kartu stok dan data penggunaan sedian melalui
sistem.
b. Stock opname yang dilakukan secara berkala, setiap satu bulan sekali pada
akhir bulan. Untuk mengecek apakah jumlah fisik barang sesuai dengan
data dalam kartu stok atau data di komputer. Tujuannya untuk mengetahui
adanya barang yang hilang, rusak atau kadaluarsa.
9. Administrasi
Administrasi di IFRS Paru Dr. H. A. Rotinsulu meliputi pencatatan dan pelaporan
perbekalan farmasi dilakukan setiap satu tahun sekali. Administrasi keuangan di
IFRS Paru Dr. H. A. Rotinsulu dilakukan pelaporan yang terpisah antara rawat
jalan dan rawat inap yang dilakukan setiap satu bulan sekali ke bagian keuangan
rumah sakit. Resep yang dilayani ada 2 yaitu BPJS dan umum. Untuk resep BPJS
yang masuk diinput ke sistem, kemudian akan terekap total biaya resep. Data
tersebut akan diolah bagian administrasi dan setiap bulannya dana akan masuk ke
bagian farmasi dari semua pasien BPJS. Untuk resep umum yang masuk diinput
untuk dihargai, kemudian nama pasien dipanggil, dan pasien melakukan
pembayara tunai ke bagian administrasi dan menyerahkan bukti pembayaran
beserta resep ke instalasi farmasi untuk disiapkan obatnya.

2.3.5 Pelayanan Farmasi Klinik


1. Pelayanan dan Pengkajian Resep
Pelayanan resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan,
pengkajian resep dan peracikan obat. Pengkajian resep dimulai dengan
skrining kesesuaian administrasi, farmasetik, dan klinis.
a. Pelayanan resep di depo farmasi rawat jalan
Pelayanan resep pasien rawat jalan dilakukan berdasarkan sistem resep
perorangan. Setelah diperiksa oleh dokter, pasien membawa resep ke depo
farmasi rawat jalan untuk mendapatkan obat yang ditulis dokter. Petugas
adm instalasi farmasi akan menghitung harga obat untuk pasien umum,
apabila pasien setuju selanjutnya melakukan pembayaran obat di kasir dan
mengambil obat yang telah disiapkan oleh TTK. Alur pelayanan resep
rawat jalan dapat dilihat pada Lampiran 6, Gambar II.6.

10
b. Pelayanan resep di depo farmasi rawat inap
Pelayanan di depo farmasi rawat inap dilakukan oleh perawat dari masing-
masing ruangan yang membawa resep/ pasien dari dokter secara kolektif.
Obat disiapkan oleh bagian pelayanan pasien rawat inap dan diserahkan ke
petugas atau perawat masing-masing ruangan. Alur pelayanan resep rawat
inap dapat dilihat pada Lampiran 7, Gambar II.7.
2. Penelusuran Riwayat Penggunaan Obat
Di RSPR telah dilakukan penelusuran riwayat penggunaan obat yang bertujuan
untuk mendapat seluruh informasi mengenai obat-obat yang pernah digunakan
oleh pasien dan yang sedang digunakan. Riwayat penggunaan obat diperoleh dari
wawancara dengan pasien atau dengan melihat data rekam medik.
3. Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat dilakukan untuk membandingkan instruksi pengobatan dengan
obat yang telah didapat pasien. Di RSPR, rekonsiliasi obat dilakukan untuk
mencegah terjadinya kesalahan pengobatan, seperti duplikasi obat, dan interaksi
obat. Hal ini dilakukan untuk memastikan informasi obat yang akurat yang
digunakan oleh pasien. Data riwayat penggunaan obat didaptkan dari pasien,
keluarga pasien, daftar obat pasien, dan rekam medik.
4. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
IFRS Paru Dr. H. A Rotinsulu telah melakukan pelayanan informasi obat dalam
skala yang terbatas. Informasi diberikan kepada pasien pada saat penyerahan obat.
Informasi obat tersebut meliputi indikasi, cara penggunaan obat, waktu konsumsi
dan tempat penyimpanan obat bila diperlukan.
5. Konseling
Kegiatan konseling di RSPR umumnya dilakukan pada pasien yang memerlukan
pengobatan dan cara penggunaan obat yang khusus yaitu untuk pasien yang
menderita penyakit asma (penggunaan inhaler). Konseling dilakukan oleh
apoteker penanggung jawab apotek rawat jalan.
6. Visite
Kegiatan visite di RSPR dilakukan pada setiap pasien rawat inap yang baru
masuk. Kegiatan visite ini dilakukan oleh apoteker penanggung jawab setiap

11
ruangan rawat inap baik secara mandiri maupun bersama dengan tim kesehatan
lainnya. Kegiatan visite yang dilakukan dicatat dalam buku bantu visite.
7. Pemantauan Terapi Obat
Pemantauan terapi obat di RSPR dilakukan untuk memastikan terapi obat yang
aman, efektif dan rasional bagi pasien khususnya pasien dengan diagnosa
tuberkulosis.
8. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Kegiatan MESO dilakukan untuk mengetahui responyang terjadi terhadap obat
yang digunakan pada dosis lazim pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa
dan terapi. Hal ini dilakukan untuk menemukan efek samping obat yang dikenal
dan yang baru saja dikenal.
8. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
RSPR telah melakukan EPO untuk mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas
pola penggunaan obat, membandingkan pola penggunaan obat pada periode
waktu tertentu, memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan obat.
10. Dispensing Sediaan Steril
Dispensing sediaan steril untuk menjamin agar pasien menerima obat sesuai
kebutuhan, menjamin sterilitas dan stabilitas obat. Dispensing sediaan steril
dilakukan dengan teknik aseptis dan menggunakan alat Laminar Air Flow (LAF)
yang juga bertujuan untuk melindungi petugas dari paparan zat berbahaya.
Pencampuran sediaan steril di RSPR sudah terlaksana dan memenuhi persyaratan
namun belum maksimal karena kekurangan sumber daya manusia. Dispensing
sediaan steril di RSPR juga telah dilakukan untuk obat-obat sitostatika

12
BAB III
TUGAS KHUSUS

PENGKAJIAN RESEP PASIEN RAWAT JALAN DI UNIT FARMASI


RUMAH SAKIT PARU Dr. H. A. RPOTINSULU BULAN JULI 2018

3.1 Latar Belakang


Pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan
yang bersifat manajerial berupa pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai dan kegiatan pelayanan farmasi klinik yang salah
satunya meliputi pengkajian dan pelayanan resep. Kegiatan tersebut harus
didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan, pengorganisasian
yang berorientasi kepada keselamatan pasien, dan standar prosedur operasional.

Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016, Pasal I menyebutkan bahwa


“Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada Apoteker,
baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku”. Resep yang baik harus memuat
cukup informasi yang memungkinkan ahli farmasi untuk mengerti obat apa yang
disiapkan dan diberikan kepada pasien (Katzung, 2009 dalam Sandy, 2010).

Beberapa contoh permasalahan dalam peresepan adalah kurang lengkapnya


informasi pasien, penulisan resep yang tidak jelas atau tidak terbaca, kesalahan
penulisan dosis, tidak dicantumkannya aturan pemakaian obat, tidak menuliskan
rute pemberian obat, dan tidak mencantumkan tanda tangan atau paraf penulis
resep (Cahyono, 2008 dalam Bilqis, 2015). Banyak faktor yang mempengaruhi
permasalahan dalam peresepan, sehingga diperlukan kepatuhan dokter dalam
melaksanakan aturan-aturan dalam penulisan resep sesuai undang-undang yang
berlaku.

Permasalahan dalam peresepan merupakan salah satu kejadian medication error.


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 72 tahun 2016 menyebutkan
bahwa medication error adalah kesalahan pemberian obat yang sebenarnya dapat
dicegah. Bentuk medication error yang terjadi adalah pada fase prescribing yaitu

13
kesalahan yang terjadi selama proses peresepan obat atau penulisan resep.
Dampak dari kesalahan tersebut sangat beragam, mulai yang tidak memberi resiko
sama sekali hingga terjadinya kecacatan atau bahkan kematian. Selain itu,
medication error yang terjadi dapat menyebabkan kegagalan terapi, bahkan dapat
timbul efek obat yang tidak diharapkan seperti terjadinya interaksi obat (Bilqis,
2015).

Tindakan nyata yang dapat dilakukan untuk mencegah medication error oleh
seorang farmasis adalah melakukan skrining resep atau pengkajian resep.
Pengkajian resep dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya kelalaian
pencantuman informasi dan penulisan resep yang tidak tepat sehingga diharapkan
dapat membantu meningkatkan kualitas pelayanan kepada pasien untuk
mendapatkan terapi yang optimal.

Standar yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan Peraturan Menteri


Kesehatan No. 72 tahun 2016, dimana kegiatan pengkajian resep dimulai dari
persyaratan administrasi (nama pasien, nama dokter, alamat, paraf dokter, umur,
berat badan, tinggi badan, jenis kelamin, tanggal resep, ruangan asal resep),
persyaratan farmasetik (nama obat, bentuk sediaan, dosis dan jumlah obat,
stabilitas, aturan dan dan cara penggunaan obat) dan persyaratan klinis (ketepatan
indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat , duplikasi pengobatan, alergi dan
ROTD, kontraindikasi dan interaksi obat).

3.2 Perumusan Masalah

Apakah resep pasien rawat jalan di unit farmasi Rumah Sakit Paru Rotinsulu pada
bulan Juli tahun 2018 telah memenuhi persyaratan administrasi, farmasetik, dan
klinis menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016.

3.3 Tujuan
Untuk mengetahui kelengkapan resep pasien rawat jalan di unit farmasi Rumah
Sakit Paru Rotinsulu di bulan Juli 2018 ditinjau dari persyaratan administrasi,
farmasetik, dan klinis berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun
2016.

14
3.4 Manfaat
Diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah ilmu pengetahuan dalam bidang
kefarmasian khususnya pada penulisan resep yang baik yang sesuai dengan
peraturan yang berlaku dan diharapkan dapat dijadikan masukan dalam peresepan
di RS. Paru H.S. Rotinsulu.

3.5 Metode Penelitian


3.5.1 Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan tanggal 16 Juli 2018 s/d selesai di Rumah Sakit Paru
Dr. H. A. Rotinsulu.

3.5.2 Rancangan Penelitian


Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental yang bersifat
deskriptif. Pengambilan data dilakukan secara konkuren (data resep rawat jalan
bulan Juli 2018) di instalasi farmasi Rumah Sakit. Paru Dr. H.A. Rotinsulu.

3.5.3 Populasi dan Sampel


a. Populasi
Populasi yang digunakan adalah seluruh resep rawat jalan yang masuk ke unit
farmasi Rumah Sakit Paru Dr. H. A pada bulan Juni 2018 yaitu sebanyak 1.691
lembar resep.

b. Sampel
Sampel yang digunakan diperoleh dari teknik sampling dengan menggunakan
rumus akar n+1. Jumlah populasi pada bulan Juni dihitung menggunakan rumus
tersebut dan hasilnya untuk pengambilan sampel secara acak pada bulan Juli
2018. Berdasarkan hasil perhitungan, maka didapat hasil 42 lembar resep sebagai
jumlah sampel.

3.5.4 Analisis Data


Data yang telah diperoleh dikumpulkan dan dilakukan analisis. Analisis yang
dilakukan secara deskriptif yaitu penggambaran dari pengamatan satu persatu
dengan cara mencatat semua bentuk-bentuk kelengkapan resep dengan

15
menggunakan formulir yang telah dibuat. Dan dilihat berapa persentase dari
masing-masing kelengkapan resep dalam bentuk tabel.

3.5.5 Kerangka Konsep

Resep rawat jalan yang masuk ke unit farmasi RS. Paru Dr. H. A.
Rotinsulu bulan Juli 2018

Pengkajian Resep

Persyaratan Persyaratan Persyaratan klinis:


administrasi: farmasetik: - ketepatan
- nama pasien, - nama obat, indikasi,
- nama dokter, - bentuk sediaan, dosis dan
- alamat, paraf - dosis dan waktu
jumlah obat, penggunaan
dokter,
- stabilitas, obat ,
- umur, berat - aturan dan dan - duplikasi
badan, tinggi - cara pengobatan,
badan, jenis penggunaan - alergi dan
kelamin obat. ROTD,
pasien, - kontraindikasi
- tanggal resep, dan interaksi
obat.
- ruangan asal
resep.

Sesuai / lengkap Tidak sesuai/ tidak lengkap

Analisis Data

16
3.5.6 Definisi Operasional

Tabel III.1 Definisi Operasional


No. Variabel Definisi Operasional Cara Ukur

1. Kelengkapan - Lengkap secara administrasi Menilai/melihat/m


(nama pasien, nama dokter, engobservasi resep
alamat, paraf dokter, umur, berat pasien rawat jalan
badan, tinggi badan, jenis di RS. Paru Dr. H.
kelamin, tanggal resep, ruangan A. Rotinsulu.
asal resep).
- Lengkap secara farmasetik (nama
obat, bentuk sediaan, dosis dan
jumlah obat, stabilitas, aturan dan
dan cara penggunaan obat).
- Lengkap secara klinis (ketepatan
indikasi, dosis dan waktu
penggunaan obat , duplikasi
pengobatan, alergi dan ROTD,
kontraindikasi dan interaksi obat).

3.6 Tinjauan Pustaka


3.6.1 Pengertian
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 72 tahun 2016
Rumah Sakit adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan
pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna yang menyediakan pelayanan
rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Tugas rumah sakit adalah
melaksanakan upaya kesehatan dan memberikan pelayanan kesehatan pada semua
bidang dan jenis penyakit.

17
Instalasi Farmasi adalah unit pelaksana fungsional yang menyelenggarakan
seluruh kegiatan pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit yang dipimpin oleh
seorang apoteker dan dibantu oleh beberapa orang apoteker, sarjana farmasi,
tenaga ahli madya farmasi (D-3) dan analisis farmasi yang memenuhi persyaratan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bertanggung jawab atas
seluruh pekerjaan serta pelayanan kefarmasian yang terdiri atas pelayanan
paripurna, mencakup pemilihan, perencanaan, pengadaan, penerimaan,
penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian dan
administrasi perbekalan farmasi serta pelayanan farmasi klinik (Menkes RI, 2016).

3.6.2 Tugas dan Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit


Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 72 Tahun 2016 tentang standar
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit, tugas instalasi farmasi Rumah Sakit yaitu:
1. Menyelenggarakan, mengkoordinasikan, mengatur dan mengawasi seluruh
kegiatan pelayanan farmasi klinis yang optimal dan profesional serta sesuai
prosedur dan etik profesi.
2. Melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai yang efektif, aman, bermutu, dan efisien.
3. Melaksanakan pengkajian dan pemantauan penggunaan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai guna memaksimalkan efek terapi dan
keamanan serta meminimalkan risiko.
4. Melaksanakan komunikasi, edukasi dan informasi (KIE) serta memberikan
rekomendasi kepada dokter, perawat dan pasien.
5. Berperan aktif dalam tim farmasi dan terapi.
6. Melaksanakan pendidikan dan pelatihan serta pengembangan pelayanan
farmasi klinis.
7. Memfasilitasi dan mendorong tersusunnya standar pengobatan dan
formularium rumah sakit.
Fungsi Instalasi Farmasi Rumah Sakit, meliputi:
1. Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai.
a. Memilih sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
sesuai kebutuhan pelayanan rumah sakit.

18
b. Merencanakan kebutuhan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis
habis pakai secara efektif, efisien dan optimal.
c. Mengadakan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
berpedoman pada perencanaan yang telah dibuat sesuai ketentuan yang
berlaku.
d. Memproduksi sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
untuk memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
Menerima sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan spesifikasi dan ketentuan yang berlaku.
f. Menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai
sesuai dengan spesifikasi dan persyaratan kefarmasian.
g. Mendistribusikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis
pakai ke unit-unit pelayanan di rumah sakit.
h. Melaksanakan pelayanan farmasi satu pintu.
i. Melaksanakan pelayanan obat “unit dose”/dosis sehari.
j. Melaksanakan komputerisasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan,
dan bahan medis habis pakai (apabila sudah memungkinkan).
k. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
l. Melakukan pemusnahan dan penarikan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai yang sudah tidak dapat digunakan.
m. Mengendalikan persediaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan
medis habis pakai.
n. Melakukan administrasi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai.
2. Pelayanan farmasi klinik.
a. Mengkaji dan melaksanakan pelayanan resep atau permintaan obat.
b. Melaksanakan penelusuran riwayat penggunaan obat.
c. Melaksanakan rekonsiliasi obat.
d. Memberikan informasi dan edukasi penggunaan obat baik berdasarkan
resep maupun obat non resep kepada pasien/keluarga pasien.

19
e. Mengidentifikasi, mencegah dan mengatasi masalah yang terkait dengan
sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai.
f. Melaksanakan visite mandiri maupun bersama tenaga kesehatan lain.
g. Memberikan konseling pada pasien dan/atau keluarganya.
h. Melaksanakan pemantauan terapi obat (PTO):
- Pemantauan efek terapi obat.
- Pemantauan efek samping obat.
- Pemantauan kadar obat dalam darah (PKOD).
i. Melaksanakan evaluasi penggunaan obat (EPO).
j. Melaksanakan dispensing sediaan steril.
- Melakukan pencampuran obat suntik.
- Menyiapkan nutrisi parenteral.
- Melaksanakan penanganan sediaan sitotoksik.
- Melaksanakan pengemasan ulang sediaan steril yang tidak stabil.
k. Melaksanakan pelayanan informasi obat (PIO) kepada tenaga kesehatan
lain, pasien/keluarga, masyarakat dan institusi di luar Rumah Sakit.
l. Melaksanakan Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS).

3.6.3 Resep
a. Definisi Resep
Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada Apoteker,
baik dalam bentuk paper maupun electronik untuk menyediakan dan menyerahkan
obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku (MenKes RI, 2016). Kertas resep
yang dibenarkan oleh Kode Etik Kedokteran Indonesia memiliki ukuran
maksimum ¼ folio (10,5 cm x 16 cm) dengan mencantumkan namagelar yang
sah, jenis pelayanansesuai SIP, nomor SID/ SP, alamat praktek, nomor telepon
dan waktupraktek. Seandainya tempat praktek berlainan dengan tempat tinggal
dapat ditambah alamat rumah dan nomor teleponnya.

.Berdasarkan keamanan penggunaanya, obat dibagi dalam dua golongan, yaitu


obat bebas (OTC = Other of the counter) dan Ethical (obat narkotika,
psikotropika, dan keras), dimana masyarakat harus menggunakan resep dokter
untuk memperoleh obat Ethical (Jas, 2009 dalam Amalia & Sukohar, 2014).

20
b. Jenis Jenis Resep (Jas, 2009 dalam Amalia & Sukohar, 2014)
Jenis- jenis resep dibagi menjadi:

1. Resep standar (Resep Officinalis/Pre Compounded) merupakan resep dengan


komposisi yang telah dibakukan dan dituangkan ke dalam buku farmakope
atau buku standar lainnya. Resep standar menuliskan obat jadi (campuran dari
zat aktif) yang dibuat oleh pabrik farmasi dengan merk dagang dalam sediaan
standar atau nama generik.
2. Resep magistrales (Resep Polifarmasi/Compounded) adalah resep yang telah
dimodifikasi atau diformat oleh dokter yang menulis. Resep ini dapat berupa
campuran atau obat tunggal yang diencerkan dan dalam pelayanannya perlu
diracik terlebih dahulu.

c. Format Penulisan Resep


Menurut Jas (2009) dalam Amalia & Sukohar (2014), resep terdiri dari 6 bagian :
1. Inscriptio: Nama dokter, no. SIP, alamat/telepon/HP/kota/tempat, tanggal
penulisan resep. Untuk obat narkotika hanya berlaku untuk satu kota provinsi.
Sebagai identitas dokter penulis resep, format inscription suatu resep dari
rumah sakit sedikit berbeda dengan resep pada praktik pribadi.
2. Invocatio: permintaan tertulis dokter dalam singkatan latin “R/ = resipe”
artinya ambilah atau berikanlah, sebagai kata pembuka komunikasi dengan
apoteker di apotek.
3. Prescriptio atau Ordonatio: terdiri dari nama obat yang diinginkan, bentuk
sediaan obat, dosis obat, dan jumlah obat yang diminta.
4. Signatura: yaitu tanda cara pakai, regimen dosis pemberian, rute dan interval
waktu pemberian. Penulisan signatura harus jelas untuk keamanan
penggunaan obat dan keberhasilan terapi.
5. Subscriptio: yaitu tanda tangan/ paraf dokter penulis resep berguna sebagai
legalitas dan keabsahan resep tersebut.
6. Pro (diperuntukkan): terdiri dari nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat
badan pasien. Untuk obat narkotika juga hatus dicantumkan alamat pasien
(untuk pelaporan ke Dinkes setempat).

21
d. Contoh Resep

e. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam penulisan resep (Jas, 2009 dalam
Amalia & Sukohar, 2014), antara lain:
1. Resep ditulis jelas dengan tinta dan lengkap di kop format resep resmi, tidak
ada keraguan dalam pelayanannya dan pemberian obat kepada pasien

2. Satu lembar kop resep hanya untuk satu pasien.


3. Penulisan resep selalu dimulai dengan tanda R/yang berarti ambillah atau
berikanlah.
4. Nama obat, bentuk sediaan, dosis setiap kali pemberian dan dalam angka
romawi dan harus ditulis dengan jelas.

22
5. Penulisan resep standar tanpa komposisi, jumlah obat yang diminta ditulis
dalam satuan mg, g, IU atau ml, kalau perlu ada perintah membuat bentuk sediaan
(m.f. = misce fac, artinya campurlah, buatlah).
6. Penulisan sediaan obat paten atau merek dagang, cukup dengan nama dagang
saja dan jumlah sesuai dengan kemasannya.
7. Dalam penulisan nama obat karakter huruf nama obat tidak boleh berubah,
misalnya:
 Codein, tidak boleh menjadi Kodein.
 Chlorpheniramine maleate, tidak boleh menjadi Klorfeniramine maleate.
 Pharmaton F tidak boleh menjadi Farmaton F.
8. Untuk dua sediaan, besar dan kecil. Bila dibutuhkan yang besar, tulis volume
sediaan sesudah bentuk sedíaan.
9. Untuk sediaan bervariasi, bila ada obat dua atau tiga konsentrasi, sebaiknya
tulis dengan jelas, misalnya: pediatric, adult, dan forte.
10. Menulis jumlah wadah atau numero (No.) selalu genap, walaupun kita butuh
satu setengah botol, harus digenapkan menjadi Fls. II saja.
11. Jumlah obat yang dibutuhkan ditulis dalam angka romawi.
12. Signatura ditulis dalam singkatan latin dengan jelas, jumlah takaran sendok
dengan signa bila genap ditulis angka romawi, tetapi angka pecahan ditulis
arabik.
13. Setelah signatura harus diparaf atau ditandatangani oleh dokter bersangkutan,
menunjukkan keabsahan atau legalitas dariresep tersebut terjamin.
14. Nama pasien dan umur harus jelas., misalnya Tn. Narawi (49 tahun), Ny.Raya
(50 tahun), An. Nisa (4 tahun 2 bulan).
15. Khusus untuk peresepan obat narkotika, harus ditandatangani oleh dokter
bersangkutan dan dicantumkan alamat pasien dan resep tidak boleh diulangi
tanpa resep dokter.
16. Tidak menyingkat nama obat dengan singkatan yang tidak umum (singkatan
sendiri), karena menghindari material oriented.
17. . Hindari tulisan sulit dibaca hal ini dapat mempersulit pelayanan.

23
18. Resep merupakan medical record dokter dalam praktik dan bukti pemberian
obat kepada pasien yang diketahui oleh farmasi di apotek, kerahasiaannya
dijaga.

f. Skrining Resep
Menurut Lia (2007) dalam Bilqis (2015), Apoteker wajib memberi informasi yang
berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan kepada pasien. Informasi
meliputi cara penggunaan obat, dosis dan frekuensi pemakaian, lamanya obat
digunakan indikasi, kontra indikasi, kemungkinan efek samping dan hal-hal lain
yang diperhatikan pasien. Apabila dalam resep tersebut terdapat kekliruan atau
penulisan resep yang tidak tepat, harus diberitahukan kepada dokter penulis resep.
Bila karena pertimbangannya dokter tetap pada pendiriannya, dokter wajib
membubuhkan tanda tangan atas resep.

Pelayanan resep didahului dengan proses skrining resep yang dapat ditinjau dari 3
aspek kelengkapan resep yang mencakup persyaratan administrasi (nama pasien,
nama dokter, alamat, paraf dokter, umur, berat badan, tinggi badan, jenis kelamin,
tanggal resep, ruangan asal resep), persyaratan farmasetik (nama obat, bentuk
sediaan, dosis dan jumlah obat, stabilitas, aturan dan dan cara penggunaan obat)
dan persyaratan klinis (ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan obat ,
duplikasi pengobatan, alergi dan ROTD, kontraindikasi dan interaksi obat)
(MenKes RI, 2016). Pengkajian resep obat oleh apoteker sebelum disiapkan
merupakan salah satu kunci keterlibatan apoteker dalam proses penggunaan obat
(Lia, 2007 dalam Bilqis, 2015).

g. Kesalahan Peresepan
Beberapa kesalahan dalam penulisan resep masih banyak ditemukan dalam
praktek sehari-hari seperti kurangnya informasi yang diberikan, tulisan yang
buruk sehingga menyebabkan kesalahan pemberian dosis dan rute obat,
sertaperesepan obat yang tidak tepat. Berikut beberapa masalah yang sering
muncul dalam penulisan resep, antara lain:
1. Kegagalan dokter dalam menyampaikan informasi penting seperti:
- Peresepan obat, dosis atau rute sesuai dengan yang diinginkan.

24
- Penulisan resep yang tidak terbaca karena tulisan tangan buruk.
- Menulis nama obat dengan singkatan yang tidak standar.
- Menuliskan permintaan obat yang ambigu.
- Meresepkan satu tablet yang tersedia lebih dari satu kekuatan obat tersebut.
- Lalai menulis rute pemberian obat yang dapat diberi lebih dari satu rute.
- Tidak mencantumkan informasi pasien secara lengkap seperti alamat, berat
badan,dll.
- Lalai menulis tanggal peresepan obat.
- Lalai menulis informasi dokter (seperti: nama, no. SIP,dll).
- Tidak mencantumkan tanda tangan/paraf penulis resep.

2. Kesalahan pencatatan (transkripsi)


- Saat datang ke rumah sakit, tanpa sengaja tidak meresepkan obat yang
digunakan pasien sebelum ke rumah sakit.
- Melanjutkan kesalahan penulisan resep dari dokter sebelumnya, ketika
meresepkan obat pasien saat datang ke rumah sakit.
- Mencatat perintah pengobatan dengan tidak benar ketika menulis ulang di
daftar obat pasien.
- Untuk resep yang dibawa pulang tanpa sengaja berbeda dengan daftar obat
yang diresepkan untuk pasien rawat inap.
- Menulis “miligram” padahal bermaksud menulis “mikrogram”.

3.6.4 Medication Error


Menurut Charles dan Endang (2006) dalam Bilqis (2015) medication error adalah
kejadian merugikan pasien akibat penanganan tenaga kesehatan yang sebetulnya
dapat dicegah. Hasil dari medication error ini biasanya menyebabkan terjadinya
pemakaian obat yang tidak tepat. Kejadian medication error dapat terjadi dalam 4
bentuk yaitu:
1. Prescribing error : Kesalahan yang terjadi selama proses peresepan obat atau
penulisan resep. Dalam penulisan resep yang biasanya terjadi adalah
kesalahan penulisan dosis, lupa menulis kadar obat, tulisan tangan pada resep
yang tidak terbaca, tidak adanya aturan pakai, tidak jelas nama obat.
2. Transcribing error: Kesalahan yang terjadi pada saat membaca resep.

25
3. Dispensing error: Kesalahan yang terjadi selama proses peracikan obat
meliputi content errors dan labelling errors. Jenis dispensing error ini dapat
berupa pemberian obat yang tidak tepat dan obat tidak sesuai dengan resep.
4. Administration error: Kesalahan yang terjadi selama proses pemberian obat
kepada pasien, meliputi kesalahan teknik pemberian, rute, waktu, salah pasien.

3.6.5 Interaksi Obat


a. Pengertian Interaksi Obat
Interaksi obat merupakan satu dari delapan kategori masalah terkait obat (drug
related problem) yang diidentifikasi sebagai kejadian atau keadaan terapi obat
yang dapat mempengaruhi outcome klinis pasien. Interaksi dikatakan terjadi
ketika efek suatu obat berubah karena keberadaan suatu obat lain, obat herbal,
makanan, minuman atau karena adanya agen kimia lingkungan (Baxter, 2010).

b. Mekanisme interaksi obat


1. Interaksi Farmaseutik
Interaksi farmaseutik atau inkompatibilitas terjadi diluar tubuh sebelum obat
diberikan antara obat yang tidak dapat bercampur (inkompatibel). Pencampuran
obat tersebut menyebabkan terjadinya interaksi langsung secara fisik atau
kimiawi, yang hasilnya mungkin terlihat sebagai pembentukan endapan,
perubahan warna dan mungkin juga tidak terlihat secara visual. Interaksi ini
biasanya mengakibatkan inaktivasi obat (Setiawati, 2007 dalam Balqis, 2015).

2. Interaksi Farmakokinetik
Interaksi farmakokinetik terjadi jika salah satu obat mempengaruhi absorbsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi obat kedua, sehingga kadar plasma obat
kedua meningkat atau menurun. Akibatnya terjadi peningkatan toksisitas atau
penurunan efektivitas obat tersebut (Tatro, 2009 dalam Bilqis, 2015).

3. Interaksi Farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik adalah interaksi yang terjadi antara obat yang memiliki
efek farmakologis, antagonis atau efek samping yang hampir sama. Interaksi ini
dapat terjadi karena kompetisi pada reseptor atau terjadi antara obat-obat yang
bekerja pada sistem fisiologis yang sama. Interaksi ini biasanya dapat diprediksi

26
dari pengetahuan tentang farmakologi obat-obat yang berinteraksi (Tatro, 2009
dalam Bilqis, 2015).

c. Tingkat Keparahan Interaksi Obat


Keparahan interaksi diberi tingkatan dan dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
level :
1. Keparahan minor
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan minor jika interaksi mungkin
terjadi tetapi dipertimbangkan signifikan potensial berbahaya terhadap pasien jika
terjadi kelalaian (Bailie, 2004 dalam Bilqis, 2015).
2. Keparahan moderate
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan moderate jika satu dari bahaya
potensial mungkin terjadi pada pasien (Bailie, 2004 dalam Bilqis, 2015).
3. Keparahan major
Sebuah interaksi termasuk ke dalam keparahan major jika terdapat probabilitas
yang tinggi kejadian yang membahayakan pasien termasuk kejadian yang
menyangkut nyawa pasien dan terjadinya kerusakan permanen (Bailie, 2004
dalam Bilqis, 2015).

3.7 Hasil dan Pembahasan


Pengkajian resep rawat jalan dilakukan di Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu
pada bulan Juli 2018. Jumlah sampel yaitu 42 resep, dengan mengamati resep
yang meliputi persyaratan administratif, persyaratan farmasetik dan persyaratan
klinis. Dalam pengkajian resep ini digunakan parameter berupa pedoman yaitu
PerMenKes No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah
Sakit. Dengan menghitung persentase dari data tersebut maka hasil dapat dilihat
pada Tabel III. 2 dan Tabel III. 3.

27
Tabel III. 2 Data Analisis Pengkajian Resep

No. Kelengkapan Jumlah Resep


Persyaratan Ya Tidak
1. Administrasi
Nama Dokter 41 1
Nomor Ijin Dokter 39 3
Alamat Dokter 42 0
Paraf Dokter 36 6
Tanggal Resep 41 1
Ruangan/Unit 16 26
Asal Resep
Nama Pasien 42 0
Umur Pasien 41 1
Jenis Kelamin Pasien 42 0
BB pasien 0 42
TB pasien 0 42
2. Farmasetik
Nama Obat 42 0
Bentuk Sediaan 23 19
Kekuatan Sediaan 28 14
Dosis 36 6
Jumlah Obat 40 2
Stabilitas 0 42
Aturan Pakai 40 2
Cara penggunaan 31 11
3. Klinis
Ketepatan Indikasi 38 4
Ketepatan Dosis 36 6
Ketepatan Waktu 3 39
Penggunaan Obat
Duplikasi Pengobatan 1 41
Alergi dan ROTD 0 42
Kontraindikasi 0 42
Interaksi Obat 19 23

28
Tabel III. 3 Persentase Pengkajian Resep Rawat Jalan di Rumah Sakit Paru Dr.
H. A. Rotinsulu pada bulan Juli 2018.

No. Kelengkapan Frekuensi (%)


Persyaratan n= 42
Ya Tidak
1. Administrasi
Alamat Dokter 100 0
Nama Pasien 100 0
Jenis Kelamin Pasien 100 0
Nama Dokter 98 2
Tanggal Resep 98 2
Umur Pasien 98 2
Nomor Ijin Dokter 93 7
Paraf Dokter 86 14
Ruangan/Unit 38 62
Asal Resep
BB pasien 0 100
TB pasien 0 100
2. Farmasetik
Nama Obat 100 0
Jumlah Obat 95 5
Aturan Pakai 95 5
Dosis 86 14
Cara penggunaan 74 26
Kekuatan Sediaan 67 33
Bentuk Sediaan 55 45
Stabilitas 0 100

3. Klinis
Ketepatan Indikasi 90 10
Ketepatan Dosis 86 14
Interaksi Obat 45 55
Ketepatan Waktu 7 93
Penggunaan Obat
Duplikasi Pengobatan 2 98
Alergi dan ROTD 0 100
Kontraindikasi 0 100
Keterangan :
n : Jumlah resep rawat jalan di RS. Paru Dr. H. A Rotinsulu

Pada tabel III. 2 diketahui bahwa pengkajian resep rawat jalan di RS. Paru Dr. H.
A. Rotinsulu didapat persentase kelengkapan resep yang memenuhi persyaratan
administratif sebanyak 27% yaitu penulisan alamat dokter, nama pasien, dan jenis

29
kelamin paien. Penulisan resep yang belum memenuhi persyaratan administratif
sebanyak 72% yaitu penulisan nama dokter, tanggal resep, umur pasien, nomor
ijin dokter, paraf dokter, ruangan/unit asal resep, berat badan dan tinggi badan
pasien.

Persentase kelengkapan penulisan resep yang memenuhi persyaratan farmasetik


sebanyak 12,5 % yaitu penulisan nama obat. Penulisan resep yang belum
memenuhi persyaratan farmasetik sebanyak 87,5% meliputi penulisan jumlah
obat, aturan pakai, dosis, cara penggunaan, kekuatan sediaan, bentuk sediaan, dan
stabilitas. Dan kelengkapan resep yang memenuhi persyaratan klinis sebanyak
28,6% yaitu tidak ada alergi, ROTD, dan kontraindikasi. Pengkajian resep yang
belum memenuhi persyaratan klinis sebanyak 71,4% yang meliputi ketepatan
indikasi, ketepatan dosis, interaksi obat, ketepatan waktu penggunaan obat, dan
duplikasi pengobatan.

Pada persyaratan administratif, pentingnya pencatuman nama dokter, nomor ijin


dokter, alamat dokter, paraf dokter, tanggal penulisan resep, dan unit asal resep
untuk menunjukkan bahwa resep tersebut sah diberikan oleh dokter yang
bersangkutan dan jika terjadi kesalahan saat apoteker melakukan skrining resep
dapat langsung menghubungi dokter penulis resep. Dan pentingnya
mencantumkan nama pasien, umur pasien, jenis kelamin sebagai pembeda ketika
ada nama pasien yang sama agar tidak terjadi kesalahan pemberian obat kepada
pasien. Data BB dan TB pasien diperlukan untuk perhitungan dosis obat terutama
untuk anak-anak, lansia, dan untuk obat-obat dengan indeks terapi sempit.

Pada persyaratan farmasetik penulisan nama obat harus ditulis dengan jelas karena
banyak obat dengan nama dan atau penyebutannya sama, bentuk sediaan harus
ditulis agar tidak terjadi kesalahan pemberian bentuk sediaan dimana ada obat
yang memiliki bentuk sediaan lebih dari satu, kekuatan sediaan harus ditulis
dengan jelas karena ada obat yang memiliki kekuataan sediaan lebih dari satu,
aturan pakai, dan cara penggunaan harus ditulis dengan jelas agar dalam
pelayanan tidak terjadi kesalahan pemberian obat kepada pasien dan agar
terhindar dari kesalahan pemakaian obat serta agar pasien dapat meminum obat
sesuai aturan pakai dan cara penggunaan obat. Penulisan dosis sediaan obat dan

30
jumlah obat harus ditulis dengan jelas utnuk mengetahui dosis dan jumlah obat
yang sesuai untuk pasien, dimana dosis obat itu sendiri adalah jumlah atau ukuran
yang diharapkan dapat menghasilkan efek terapi pada fungsi tubuh yang
mengalami gangguan.

Pada persyaratan klinis ada 4 resep yang tidak tepat indikasi, dimana obat yang
diberikan tidak sesuai diagnosa dokter, dan ada 6 resep tidak tepat dosisnya yang
dianalisis berdasarkan literatur yang diketauhi bahwa dosisnya berlebih ataupun
kurang. Pencantuman alergi, ROTD (efek samping, dll) dan kontraindikasi
diperlukan agar tidak memberikan obat yang menimbulkan penyakit baru dan agar
mengetahui cara mencegah atau mengatasi efek samping yang terjadi.
Selanjutnya, terdapat 39 resep tidak menuliskan waktu penggunaan obat, waktu
penggunaan obat harus dituliskan agar pada saat pelayanan tidak terjadi kesalahan
dalam memberi informasi obat dan diharapkan pasien dapat menggunakan obat
dengan waktu yang tepat. Selanjutnya, terdapat 1 resep yang memiliki duplikasi
obat, duplikasi itu sendiri adalah pemberian obat yang memiliki efek terapi yang
sama atau memliki mekanisme kerja yang sama. Selanjutnya, ada 19 resep yang
mengalami interaksi obat, perlu dilakukan pengkajian resep untuk mencegah
terjadinya interaksi obat agar dalam terapi pengobatan tidak terjadi hal yang dapat
merugikan pasien dan terjadinya interaksi obat dapat dihindarkan. Mekanisme
interaksi obat yang terjadi yaitu interaksi obat secara farmakodinamik antara obat
Rifampisin dan Isoniazid yaitu dapat meningkatkan efek hepatotoksik tetapi
masih termasuk risk (C) yaitu perlu dilakukan pemantauan terapi, dan interaksi
antara obat spiriva (tiotropium) dan combivent (ipratropium) yaitu jika digunakan
secara bersamaan dapat meningkatkan efek toksik tetapi masih termasuk risk (C)
yaitu dilakukan pemantauan terapi. Interaksi obat secara farmakokinetik terjadi
antara obat Meloxicam (NSAID) dan Irbesartan (ARB) yaitu NSAID dapat
menurunkan efek terapi dari antihipertensi ARB sehingga perlu dilakukan
monitoring terapi saat digunakan secara bersamaan.

3.8 Kesimpulan
Dari hasil data diatas dapat disimpulkan masih adanya ketidaksesuaian
penulisan resep menurut PERMENKES RI No. 72 tahun 2016 tentang standar

31
pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit. Hasil pengkajian resep rawat jalan di RS.
Paru Dr. H. A. Rotinsulu pada bulan Juli 2018 menunjukkan bahwa:
1. Penulisan resep yang paling sering ditulis oleh dokter yaitu alamat dokter,
nama pasien, jenis kelamin pasien, nama obat.
2. Penulisan resep yang paling sering tidak ditulis oleh dokter yaitu berat badan
pasien, tinggi badan pasien, dan stabilitas.

3.9 Saran
Disarankan kepada dokter dan apoteker diharapkan dapat menerapkan
PERMENKES RI No. 72 tahun 2016 sehingga resiko medication error dapat
dihindari dan terapi obat yang diberikan dapat maksimal.

32
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil selama Praktek Kerja Profesi Apoteker di Rumah Sakit Paru
Dr. H. A. Rotinsulu Bandung, dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu :
1. Mahasiswa peserta PKPA mampu melakukan praktek kefarmasian secara
profesional dan etik yang dilakukan secara langsung dalam dunia kerja.
2. Mahasiswa peserta PKPA mampu melakukan dispensing sediaam farmasi dan
alat kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien baik melalui resep maupun non
resep.
3. Mahasiswa peserta PKPA mampu memberikan informasi sediaan farmasi dan
alat kesehatan kepada pasien secara langsung melalui PIO.
4. Mahasiswa peserta PKPA mampu membangun hubungan interpersonal dalam
melakukan praktek kefarmasian yaitu dengan Dokter khususnya dokter yang
berada di Pojok DOTS, Apoteker Penanggungjawab Apotek (APA), Apoteker
pendamping, Tenaga teknis kefarmasian, serta tenaga non farmasi lainnya.

4.2 Saran
1. Meningkatkan mutu pelayanan, terutama pelayanan farmasi klinik agar terapi
pasien dapat tercapai dengan tepat, efektif, dan aman.
2. Meningkatkan kerjasama antara apoteker dengan dokter dan perawat untuk
mewujudkan pelayanan farmasi klinik yang lebih baik.

33
DAFTAR PUSTAKA

Amalia & Sukohar. 2014. Rational Drug Prescription Writing. Vol 4(7). JuKe :
Lampung Univeraity.

Baxter, Editor. 2008. Stockley’s Drug Interaction. Eighth Edition.London:


Pharmaceutical Press.

Baxter, Editor. 2010. Stockley’s Drug Interaction. Ninth Edition.London:


Pharmaceutical Press.

Bilqis, 2015. Skripsi : Kajian Administrasi, Farmasetik Dan Klinis Resep Pasien
Rawat Jalan Di Rumkital Dr. Mintohardjo Pada Bulan Januari 2015.

Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI. PerMenKes No. 72


Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di Rumah Sakit.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Undang-undang No. 36 Tahun


2009 tentang Kesehatan.

Jaelani, A. K & Hindratni, F. 2017. Gambaran Skrining Resep Pasien Rawat


Jalan Di Puskesmas Kota Yogyakarta Tahun 2015. Journal Endurance (2)1.
Pekabaru Riau: Akademi Kebidanan Indragiri.

Lacy, C., et al. 2008-2009. Drug Information Handbook Edisi 17. Lexi-comp.
American Pharmacists Association.

Megawati F. & Santoso P. 2017. Pengkajian Resep Secara Administratif


Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Ri No 35 Tahun 2014 Pada
Resep Dokter Spesialis Kandungan Di Apotek Sthira Dhipa. Medicamenti
(3)1 . Denpasar: Akademi Farmasi Saraswati Denpasar.

Pemerintah Republik Indonesia. Undang-undang Republik Indonesia No. 44


Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah RI No. 51 Tahun 2009


tentang Pekerjaan Kefarmasian.

Sandy, 2010. Skripsi: Studi kelengkapan Resep Obat Untuk Pasien Anak di
Apotek Wilayah Kecamatan Kartasura Bulan Oktober-Desember 2008.
Surakarta.

Siregar. C. 2004. Farmasi Rumah Sakit. Jakarta: EGC.

34
LAMPIRAN 1

Gambar II.1 Denah Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu

35
LAMPIRAN 2

DIREKTUR UTAMA DEWAN PENGAWAS

DIREKTORAT MEDIK DIREKTORAT KEUANGAN


KOMITE KOMITE SATUAN PEMERIKSAAN
dan KEPERAWATAN dan ADMINISTRASI UMUM
MEDIK ETIK INTERENT
KEL. JABATAN
FUNGSIONAL
BIDANG BIDANG BAGIAN BAGIAN ADM.
KEPERAWATAN MEDIK KEUANGAN UMUM

SEKSI PEL. SUB. BAG. SUB. BAG. TATA


SEKSI
PROGRAM & USAHA KEPEGAWAIAN
KEPERAWATAN PELAYANAN ANGGARAN
RAWAT JALAN

SEKSI SUB. BAG. RUMAH


SEKSI PEL. PENDIDIKAN SUB. BAG. TANGGA &
KEPERAWATAN dan PEMBENDAHARAAN PERLENGKAPAN
PENELITIAN & AKUTANSI
RAWAT INAP
SUB. BAG.
MOBILISASI
INSTALASI DANA

INSTALASI
KEL. JABATAN FUNGSIONAL

Gambar II.2 Struktur Organisasi Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu

36
LAMPIRAN 3

Kepala Instalasi Farmasi


Rumah Sakit
Aprilia Nurultika, S.Si., Apt

Penggelolaan Perbekalan
Farmasi

Perencanaan Penerimaan Penyimpanan Pelayanan Pelayanan Resep Farmasi Klinik Dan


Perbekalan Perbekalan Perbekalan Farmasi Resep Rawat Rawat Inap Manajemen Mutu
Farmasi Farmasi Jalan
Dra. Tita P, Apt.Mpharm
Aprilia N., S.Si., Apt Giva Olviana Y., Nurlaela Dwyharni S.Si., Syifa Siti Shoifa Dwyharni Ssi., Apt
Susi Aprianty S. Farm., Apt Apt

Gambar II.3 Struktur Organisasi IFRS Rumah Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu

37
LAMPIRAN 4

Perencanaan Kepala Bidang Medik


(Farmasi) IFRS

PK Anggaran
(Pejabat Pembuat Komitmen)

Panitia
Pengadaan

Pembelian Lelang
Langsung

Obat

Gambar II.4 Alur Perencanaan dan Pengadaan Perbekalan Farmas idi Rumah
Sakit Paru Dr. H. A. Rotinsulu

38
LAMPIRAN 5

Distributor
Proses Pengecekan oleh Panitia
Penerima :
- Dicek nama, jumlah ED obat
- Diberi tanda terima dan paraf petugas
disertai nama, tanda
Dicek tangan, dan tanggal

Gudang Induk

Surat Permintaan

Farmasi

Disusun di rak obat secara


Stok Obat/Alkes alfabetis
Disimpan berdasarkan sistem
FIFO dan FEFO
Defekta

Permintaan
(RI, RJ, obat bebas)

Gambar II.5 Alur Penyimpanan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit Paru Dr. H.
A. Rotinsulu

LAMPIRAN 6

39
Pasien membawa resep

- Beri nomor resep


- Tulis waktu penerimaan resep
- Input obat sesuai resep
- Hargai resep

Apoteker/Asisten Apoteker
- Skrining resep
- Beri garis bawah warna merah pada resep
Narkotika
- Beri garis bawah warna biru pada resep
Psikotropik
- Buat etiket sesuai resep
- Siapkan obat sesuai resep
- Masukkan obat ke dalam kemasan
- Periksa kembali
- Obat siap diserahkan
- Tulis waktu menyerahkan resep

Pasien
pasien
- Menerima obat
- Mengembalikan nomor tunggu pasien
- Menerima informasi obat dan konseling
- Membubuhkan tanda tangan/alamat/nomor telepon

Gambar II.6 Alur Pelayanan Resep Rawat Jalan di Rumah Sakit Paru Dr. H. A.
Rotinsulu

40
LAMPIRAN 7

Perawat membawa resep

- Beri nomor resep


- Tulis waktu penerimaan resep
- Input obat sesuai resep

Apoteker/Asisten Apoteker
- Skrining resep
- Beri garis bawah warna merah pada resep
Narkotika
- Beri garis bawah warna biru pada resep
Psikotropik
- Buat etiket sesuai resep
- Siapkan obat sesuai resep
- Masukkan obat ke dalam kemasan
- Periksa kembali
- Obat siap diserahkan
- Tulis waktu menyerahkan resep

Pasien
pasien
Perawat menjemput obat dan membawa ke
pasien d rawat inap

Gambar II.7 Alur Pelayanan Resep Rawat Inap di Rumah Sakit Paru Dr. H. A.
Rotinsulu

41

Anda mungkin juga menyukai