Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Difteri adalah infeksi bakteri pada hidung dan tenggorokan. Meski tidak selalu
menimbulkan gejala, penyakit ini biasanya ditandai oleh munculnya selaput abu-abu yang
melapisi tenggorokan dan amandel. Bila tidak ditangani, bakteri difteri bisa mengeluarkan
racun yang dapat merusak sejumlah organ, seperti jantung, ginjal, atau otak. Difteri tergolong
penyakit menular berbahaya dan berpotensi mengancam jiwa, namun bisa dicegah melalui
imunisasi. Di Indonesia, pemberian vaksin difteri dikombinasikan dengan pertusis (batuk
rejan) dan tetanus, atau disebut juga dengan imunisasi DPT.

B. Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan difteri?

2. Apa penyebab terjadinya penyakit difteri?

3. Bagaimana pencegahan difteri?

4. Bagaimana tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit difteri?

5. Sebutkan patofisiologi penyakit difteri?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan difteri.

2. Untuk mengetahui penyebab terjadinya penyakit difteri.

3. Mengetahui pencegahan difteri

4. Untuk mengetahui tanda dan gejala pada individu yang terkena penyakit difteri.

1
5. Untuk mengetahui patofisiologi penyakit difteri.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Difteria adalah suatu penyakit bakteri akut terutama menyerang tonsil, faring,


laring, hidung,  ada kalanya menyerang  selaput  lendir  atau  kulit  serta kadang-kadang
konjunngtiva  atau  vagina.  Timbulnya  lesi yang khas disebabkan oleh cytotoxin spesifik
yang dilepas oleh bakteri. Lesi nampak sebagai suatu membran asimetrik keabu-abuan yang
dikelilingi dengan daerah inflamasi. Tenggorokan terasa sakit, sekalipun pada difteria faucial
atau pada difteri faringotonsiler diikuti dengan kelenjar limfe yang membesar dan melunak.
Pada kasus-kasus yang berat dan sedang ditandai dengan pembengkakan dan edema dileher
dengan pembentukan membran pada trachea secara ektensif dan dapat terjadi obstruksi
jalan napas. Difteri hidung biasanya ringan dan kronis dengan satu rongga hidung tersumbat
dan terjadi ekskorisasi (ledes). Infeksi subklinis (atau kolonisasi) merupakan kasus
terbanyak. Toksin dapat menyebabkan myocarditis dengan heart block dan kegagalan
jantung kongestif yang progresif, timbul satu minggu setelah gejala klinis difteri. Bentuk lesi
pada difteri kulit bermacam-macam dan tidak dapat dibedakan dari lesi penyakit kulit yang
lain, bisa seperti atau merupakan bagian dari impetigo.

B. Etiologi

Penyebab penyakit difteri adalah Corynebacterium diphtheriae berbentuk batang gram


positif, tidak berspora, bercampak atau kapsul. Infeksi oleh kuman sifatnya tidak invasive,
tetapi kuman dapat mengeluarkan toxin, yaitu exotoxin. Toxin difteri ini, karena mempunyai

2
efek patoligik menyebabkan orang jadi sakit. Ada tiga type variants dari Corynebacterium
diphtheriae ini yaitu : type mitis, typeintermedius dan type gravis. Corynebacterium
diphtheriae dapat dikalsifikasikan dengan cara bacteriophage lysis menjadi 19 tipe.
Tipe 1-3 termasuk tipe mitis, tipe 4-6 termasuk tipe intermedius, tipe 7 termasuk tipe
gravis yang tidak ganas, sedangkan tipe-tipe lainnya termasuk tipe gravis yang
virulen. Corynebacterium diphtheriae ini dalam bentuk satu atau dua varian yang tidak ganas
dapat ditemukan pada tenggorokan manusia, pada selaput mukosa.

C. Pencegahan Difteri

Difteri dapat dicegah dengan imunisasi DPT, yaitu pemberian vaksin difteri yang
dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan batuk rejan (pertusis). Imunisasi DPT termasuk
dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan pada
usia 2, 3, 4, dan 18 bulan, serta pada usia 5 tahun. Guna memberikan perlindungan yang
optimal, vaksin sejenis DPT (Tdap atau Td) akan diberikan pada rentang usia 10-12 tahun
dan 18 tahun. Khusus untuk vaksin Td, pemberian dilakukan setiap 10 tahun. Bagi anak-anak
berusia di bawah 7 tahun yang belum pernah mendapat imunisasi DPT atau tidak mendapat
imunisasi lengkap, dapat diberikan imunisasi kejaran sesuai jadwal yang dianjurkan dokter
anak. Khusus bagi anak-anak yang sudah berusia 7 tahun ke atas dan belum mendapat
imunisasi DPT, dapat diberikan vaksin Tdap.

D. Gejala Klinis
Gejala klinis penyakit difteri ini adalah :
1. Panas lebih dari 38oC
2. Ada psedomembrane bisa di pharynx, larynx atau tonsil.
3. Sakit  waktu  menelan
4. Leher membengkak seperti leher sapi (bullneck), disebabkan karena pembengkakan
kelenjar leher.

Tidak semua gejala-gejala klinik ini tampak jelas, maka setiap anak panas yang sakit
waktu menelan harus diperiksa pharynx dan tonsilnya apakah ada psedomembrane. Jika pada
tonsil tampak membran putih keabu-abuan disekitarnya, walaupun tidak khas rupanya,

3
sebaiknya diambil sediaan (spesimen) berupa apusan tenggorokan (throat swab) untuk
pemeriksaan laboratorium. Gejala diawali dengan nyeri tenggorokan ringan dan nyeri
menelan. Pada anak tak  jarang diikuti demam, mual, muntah, menggigil dan sakit kepala.
Pembengkakan kelenjar getah bening di leher sering terjadi.

E. Patofisiologi
1. Tahap Inkubasi
Kuman difteri masuk ke hidung atau mulut dimana baksil akan menempel di
mukosa saluran nafas bagian atas, kadang-kadang kulit, mata atau mukosa genital dan
biasanya bakteri berkembangbiak pada atau di sekitar permukaan selaput lendir mulut
atau tenggorokan dan menyebabkan peradangan. Bila bakteri sampai ke hidung, hidung
akan meler. Peradangan bisa menyebar dari tenggorokan ke pita suara (laring) dan
menyebabkan pembengkakan sehingga saluran udara menyempit dan terjadi gangguan
pernafasan.
Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau
benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri. Ketika telah
masuk dalam tubuh, bakteri melepaskan toksin atau racun. Toksin ini akan
menyebar melalui darah dan bisa menyebabkan kerusakan jaringan di seluruh
tubuh, terutama jantung dan saraf.
Masa inkubasi penyakit difteri dapat berlangsung antara 2-5 hari. Sedangkan masa
penularan beragam, dengan penderita bisa menularkan antara dua minggu atau kurang
bahkan kadangkala dapat lebih dari empat minggu sejak masa inkubasi. Sedangkan
stadium karier kronis dapat menularkan penyakit sampai 6 bulan.

2. Tahap  Penyakit  Dini
Toksin biasanya menyerang saraf tertentu, misalnya saraf di
tenggorokan. Penderita mengalami kesulitan menelan pada minggu pertama kontaminasi
toksin.Antara minggu ketiga sampai minggu keenam, bisa terjadi peradangan pada
saraf lengan dan tungkai, sehingga terjadi kelemahan pada lengan dan tungkai.Kerusakan

4
pada otot jantung (miokarditis) bisa terjadi kapan saja selama minggupertama sampai
minggu keenam, bersifat ringan, tampak sebagai kelainan ringanpada EKG. Namun,
kerusakan bisa sangat berat, bahkan menyebabkan gagal jantung dan kematian
mendadak. Pemulihan jantung dan saraf berlangsung secara perlahan selama berminggu-
minggu. Pada penderita dengan tingkat kebersihan buruk, tak jarang difteri
juga menyerang kulit.

3. Tahap  Penyakit  lanjut

Pada serangan difteri berat akan ditemukan pseudomembran, yaitu lapisan


selaputyang terdiri dari sel darah putih yang mati, bakteri dan bahan lainnya, di
dekat amandel dan bagian tenggorokan yang lain. Membran ini tidak mudah robek
dan berwarna abu-abu. Jika membran dilepaskan secara paksa, maka lapisan lendir
dibawahnya akan berdarah. Membran inilah penyebab penyempitan saluran udara atau
secara tiba-tiba bisa terlepas dan menyumbat saluran udara, sehingga anak mengalami
kesulitan bernafas.

F. Epidemiologi
1. Person (Orang)
Difteri dapat menyerang seluruh lapisan usia tapi paling sering menyerang anak-
anak yang belum diimunisasi. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15
tahun. Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum
dari kematian bayi dan anak-anak muda.
Data menunjukkan bahwa setiap tahunnya di dunia ini terdapat 1,5 juta kematian
bayi berusia 1 minggu dan 1,4 juta bayi lahir akibat tidak mendapatkan imunisasi. Tanpa
imunisasi, kira-kira 3 dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena penyakit campak, 2
dari 100 kelahiran anak akan meninggal karena batuk rejan. 1 dari 100 kelahiran anak
akan meninggal karena penyakit tetanus. Dan dari setiap 200.000 anak, 1 akan menderita
penyakit polio.
2. Place (Tempat)
Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi
rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam

5
menunjang kesehatan kita. Lingkungan buruk merupakan sumber dan penularan
penyakit. Sejak diperkenalkan vaksin DPT (Dyphtheria, Pertusis dan Tetanus), penyakit
difteri mulai jarang dijumpai. Vaksin imunisasi difteri diberikan pada anak-anak untuk
meningkatkan sistem kekebalan tubuh agar tidak terserang penyakit tersebut. Anak-anak
yang tidak mendapatkan vaksin difteri akan lebih rentan terhadap penyakit yang
menyerang saluran pernafasan ini.

3. Time (Waktu)
Penyakit difteri dapat menyerang siapa saja dan kapan saja tanpa mengenal
waktu. Apabila kuman telah masuk ke dalam tubuh dan tubuh kita tidak mempunyai
system kekebalan tubuh maka pada saat itu kuman akan berkembang biak dan berpotensi
untuk terjangkit penyakit difteri.

G. Pathway

6
BAB III
PENUTUP 

A. Kesimpulan
Difteri adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphtheriae, oleh
karena itu penyakitnya diberi nama serupa dengan kuman penyebabnya.

7
Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4 minggu sejak
masa inkubasi, sedangkan masa penularancarier bisa sampai 6 bulan.
B. Saran
Karena difteri adalah penyebab kematian pada anak-anak, maka disarankan untuk anak-
anak wajib diberikan imunisasi yaitu vaksin DPT yang merupakan wajib pada anak, tetapi
kekebalan yang diperoleh hanya selama 10 tahun setelah imunisasi. Sehingga orang dewasa
sebaiknya menjalani vaksinasi booster (DT) setiap 10 tahun sekali, dan harus dilakukan
pencarian dan kemudian mengobati carier difteri dan dilkaukan uji schick.

DAFTAR PUSTAKA

https://asuhankeperawatankesehatan.blogspot.com/2014/03/difteria.html

http://mahasiswakeperawatan1.blogspot.com/2016/10/makalah-difteri.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai