Disusun Oleh:
KELOMPOK 2
Puji syukur pada Allah SWT karena atas Rahmat, Nikmat, dan Hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar dan tanpa halangan.
Makalah ini penulis susun dengan judul Etik dan Legal Keperawatan Kritis yang
dikemas dalam tulisan yang singkat dan mudah-mudahan bisa bermanfaat.
Namun, demikian makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk kedepannya dalam
pembuatan makalah yang jauh lebih baik lagi dari ini. Demikian kata demi kata yang
bisa penulis sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan pendengar.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 KONSEP LEGAL.................................................................................. 2
2.2 KONSEP ETIK...................................................................................... 5
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 15
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
d. Sanksi
Sesuai dengan kebijakan pimpinan rumah sakit
3
e. Hak dan Kewajiban Perawat
Aspek Legal Keperawatan juga meliputu Kewajiban dan hak Perawat :
1) Kewajiban:
a. Setiap perawat wajib mempunyai:
a) Sertifikat kompetensi
b) Surat Tanda Registrasi
c) Surat ijin Praktek (SIP)
d) Memperbaharui sertifikat kompetensi
b. Menghormati hak pasien
c. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
d. Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan aturan undang-undang
keperawatan
e. Wajib memberikan informasi kepada pasien sesuai dengan kewenangan
f. Meminta persetujuan setiap tindakan yg akan dilakukan perawat sesuai
dgn kondisi pasien baik secara tertulis.
g. Mencatat semua tindakan keperawatan secara akurat sesuai peraturan
dan SOP yang berlaku
h. Memakai standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam
melaksanakan praktik
i. Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK
j. Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa sesuai dengan
kewenangan
k. Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat
l. Mentaati semua peraturan perundang-undangan
m. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun dgn
anggota tim kesehatan lainnya.
2) Hak-Hak Perawat
a. Hak mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang diatur oleh
hukum.
b. Hak mendapat upah yang layak.
c. Hak bekerja di lingkungan yang baik
d. Hak terhadap pengembangan profesional.
4
e. Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.
5
pasien. Berarti tindakan yang dilakukan tidak menyebabkan bahaya bagi
pasien, bahaya disini dapat berarti dengan sengaja membahayakan, resiko
membahayakan dan bahaya yang tidak disengaja.
c. Beneficence ( kemurahan hati)
yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan medis
dan keperawatan harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Berarti melakukan
yang baik yaitu mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan pasien
dan keluarga
d. Justice (perlakuan adil)
yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil,
dokter dan perawat harus menggunakan rasa keadilan apabila akan melakukan
tindakan kepada pasien
e. Fidelity (setia, menepati janji ),
Berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimiliki
oleh seseorang.Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia pada
kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat . Setiap tenaga
keperawatan mempunyai tanggung jawab asuhan keperawatan kepada
individu, pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat.
Apabila terdapat konflik diantara berbagai tanggungjawab, maka
diperlukan penentuan prioritas sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
f. Veracity (kebenaran, kejujuran),
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu
kebenaran, tidak berbohong atau menipu orang lain. Kejujuran adalah landasan
untuk “informed concent” yang baik. Perawat harus dapat menyingkap semua
informasi yang diperlukan oleh pasien maupun keluarganya sebelum mereka
membuat keputusan.
g. Confidenciality ( kerahasiahan )
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua
informasi tentang pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus dapat
menerima bahwa informasi yang diberikan kepada tenaga profesional
kesehatan akan dihargai dan tidak disampaikan/ diberbagikan kepada pihak
lain secara tidak tepat. Perlu dipahami bahwa berbagi informasi tentang
pasien/klien dengan anggota kesehatan lain yang ikut merawat pasien tersebut
6
bukan merupakan pembeberan rahasia selama informasi tersebut relevan
dengan kasus yang ditangani
h. Accountability ( akuntabilitas )
Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah
konsekwensi bahaya, apakah tindakan ini bermanfaat, apakah keputusan ini
adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas dalam hal ini dokter dan
perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien dari status sosialnya, tetapi
melihat dari penting atau tidaknya pemberian tindakan tersebut pada pasien.
Hak-hak pasien haruslah dihargai dan dilindungi, hak-hak tersebut
menyangkut kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privacy, self determination,
perlakuan adil dan integritas diri. Dilema moral masih mungkin terjadi apabila
prinsip moral otonomi dihadapkan dengan prinsip moral lainnya, atau apabila
prinsip beneficence dihadapkan dengan non maleficence, misalnya apabila
keinginan pasien (otonomi) ternyata bertentangan dengan dengan beneficence
atau non maleficence, atau bisa saja apabila sesuatu tindakan mengandung
beneficence dan nonmaleficence terjadi secara bersamaan sepeti “ Rule of
Double Effect (RDE)” yaitu apabila suatu tindakan untuk memberikan
kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence tetapi sekaligus memiliki resiko
terjadinya perburukan sehingga berlawanan dengan prinsip nonmaleficence.
Contoh: pemberian morphin sulfat untuk mengendalikan rasa nyeri hebat yang
terjadi pada pasien penderita cancer stadium akhir yang beresiko akan
memberikan efek depresan yang dapat menekan pusat pernafasan pasien.
Dalam keadaan RDE biasanya dikenal 4 elemen yang harus dipenuhi yaitu:
1. Sifat tindakan haruslah baik atau setidaknya netral
2. Niat tindakan adalah untuk tujuan baik, dampak buruk boleh saja telah dapat
dibayangkan tetapi harus bukan diniatkan.
3. Dampak buruk haruslah bukan cara untuk mencapai tujuan baik
4. Dampak baik harus melebihi dampak buruk
INFORMED CONSENT
Informed consent adalah pernyataan sepihak dari orang yang berhak (pasien,
keluarga atau walinya) yang isinya berup ijin atau persetujuan kepada dokter untuk
melakukan tindakan medis sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi
7
secukupnya. Informed consent adalah suatu proses komunikasi yang efektif antara
dokter dan pasien dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Bila dilihat dari aspek hukum bukanlah
sebagai perjanjian antara dua fihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas
layanan yang ditawarkan pihak lain. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 290 / MENKES /PER / IX /2008 tentang Persetujuan Tindakan
Medis.
Informed consent perlu diberikan karena tidak semua kejadian dalam
pengobatan berlangsung seperti yang diharapakan, tidak ada kepastian dan jaminan
yang pasti dalam dunia kedokteran karena setiap kasus bagaikan teori permutasi
kombinasi, latar belakang setiap orang tidak sama, riwayat kesehatan berbeda,
derajat pengobatan yang diberikan juga tidak sama serta reaksi tubuh terhadap
respon pengobatan juga berbeda.
8
a. Standar Praktik Profesi.
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an
informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga
keperawatan. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di
atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak
bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna
dari sisi sosial pasien.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk
pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil
(dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara
individual dianut oleh pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya,
yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi
kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent Elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak
ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari
”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai diagnosa, tindakan, terapi
dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa
besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat
apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak
terapi, disertai upaya antisipasi yang dilakukan untuk menghindari resiko
tersebut. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin
9
terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang
dilakukan.
5. Biaya yang menyangkut tindakan tersebut walaupun tidak selalu diutamakan
Pasien juga berhak untuk mengetahui semua prognosa, komplikasi, sekuele,
ketidak nyamanan, kesulitan yang mungkin dalami dengan adanya tindakan
tersebut.
Masalah yang ditemukan dalam proses informed consent
1. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
2. Perilaku dokter yang terburu-buru atau tidak perhatian atau tidak ada waktu
untuk tanya-jawab
3. Pasien sedang dalam keadaan stres emosional sehingga tidak mampu
mencerna informasi
4. Pasien dalam keadaan tidak sadar/ mengamuk
DILEMA ETIK
a. Pulang Paksa
Pulang paksa adalah istilah yang digunakan apabila pasien tidak mau
lagi melanjutkan/menjalani rawat inap lebih lama dan minta dipulangkan ,
tetapi secara medis belum cukup stabil untuk menjalani perawatan dirumah.
Penyebab pulang paksa antara lain:
1. Pasien tidak mengerti kmengapa walaupun dirinya sudah menjalani
perawatan tetapi belum juga sembuh atau merasa belum ada perbaikan
sehingga merasa tidak menjaani perawatanpun tidak ada pengaruhnya,
dalam hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain:
penjelasan dokter yang tidak jelas sehingga tidak dipahami pasien, tingkat
pendidikan, budaya (sebagian masih menganggap pengobatan alternatif
lebih baik)
2. Pasien tidak merasa nyaman dirawat yang dapat dipengaruhi oleh suasana,
keadaan ruangan, makanan, teman satu ruangan (pasien lain).
3. Pelayanan dinilai kurang baik, perlakuan tenaga kesehatan dalam hal ini
dokter dan perawat yang dianggap kurang simpatik.
4. Keterbatasan finansial (biaya) atau keinginan dirawat ditempat yang lebih
bergengsi (pada pasien golongan atas)
10
5. Ada kepentingan pribadi yang dinilai lebih berharga daripada menjalani
rawat inap
b. DO NOT RESUSCITATE (DNR): WITH HOLDING/ WITH DRAWAL
With holding adalah menunda terapi atau bantuan hidup pada pasien
yang dianggap sudah tidak punya harapan hidup lagi, sedangkan with drawal
artinya menghentikan bantuan hidup pada pasien yang biasanya terpasang alat
bantu penunjang kehidupan seperti ventilasi mekanik, alat pacu jantung, dll.
Baik with holding maupun with drawing dilakukan pada pasien yang secara
medis tidak punya harapan hidup lagi. Keputusan melakukan ini harus
dikomunikasikan dengan keluarga setelah team medis mendiskusikannya
dengan team lain.
c. EUTHANASIA
Kematian pada umumnya disepakati sebagai berhentinya kehidupan,
meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan atau denyut jantung
seseorang telah berhenti
Kematian sebenarnya bukanlah suatu titik waktu, melainkan
merupakan suatu tahapan waktu, dimulai dari kematian klinis, kemudian
kematian otak, kematian biologis dan akhirnya kematian seluler. Pada
kematian klinis ditemukan berhentinya fungsi kardiovaskuler dan pernafasan,
yang kemudian akan diikuti oleh kematian otak, kecuali apabila dilakukan
resusitasi dan berhasil. Otak tidak dapat hidup lagi dalam waktu 6 sampai 10
menit tanpa oksigen. Kematian otak juga bertahap, biasanya dimulai pada
korteks serebri, kemudian disusul oleh serebelum (otak kecil) dan diakhiri
dengan kematian batang otak. Apabila terjadi kematian korteks serebri tanpa
kematian pusat sirkulasi dan pernafasan, maka terjadilah keadaan
ketidaksadaran yang permanen, tetapi kardiovaskuler dan pernafasan masih
tetap berfungsi (persistent vegetative state).
Setelah semua bagian otak berhenti bekerja maka terjadilah kematian
biologis, suatu kematian yang permanen. Selanjutnya dimulailah kematian
seluler, yang berbeda-beda waktunya bagi masing-masing jenis jaringan.
“kapankah seseorang dapat dinyatakan mati, apa kriterianya dan
bagaimana prosedur penentuannya”. Ketika pasien belum dapat dinyatakan
mati, dokter melakukan tindakan secara aktif menghentikan kehidupannya,
11
maka ia dapat dinyatakan sebagai melakukan pembunuhan. Sebaliknya apabila
pasien sudah dapat dinyatakan mati, tetapi dokter masih melakukan tindakan
terapetik maka ia dapat dinyatakan melanggar profesi karena melakukan
tindakan medik pada mayat.
Pengakuan atas hak otonomi pasien sedemikian kuat, sehingga tidak
hanya hak hidup, hak atas informasi dan hak memperoleh layanan yang layak
saja yang dituntut, melainkan juga hak untuk mati secara bermartabat.
a. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak
melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
d. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”
Dibawah ini merupakan beberapa contoh kasus kelalaian yang dilakukan oleh seorang
perawat kritis :
a. Assessment Failure
Adapun yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam mengkaji
maupun menganalisis data ataupun informasi mengenai pasien seperti tanda-tanda
vital, pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan utama pasien.
b. Planning Failure
Adapun yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam menentukan
perencanaan keperawatan yang yang berkaitan juga kegagalan dalam menentukan
diagnosa yang tepat.
12
c. Implementation Failure
Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang
terkait terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan tindakan yang tepat
terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan pendokumentaian terhadap hasil-hasil
pengkajian, intervensi, maupun respon pasien terhadap intervensi yang diberikan,
serta kegagalan untuk menjaga privasi pasien.
d. Evaluation Failure
Adapun yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan dalam
melaksanakan fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat pasien masuk dan
dirawat hingga pasien pulang, perawat memiliki peran sebagai seorang advokat.
Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi perawatan yang diberikan kepada
pasien.
13
14
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty, progressive,
and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73
Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Hegner, Barbara R.2003. Nursing Assistant: a Nursing Proses Approach. Jakarta: EGC.
http://ppnikabupatenbanjar.wordpress.com/2011/03/30/kode-etik-dalam-keperawatan-
indonesia_/07/09/2020_11.52
Iwanowski, Piotr S. (2007). Informed Consent Procedure For Clinical Trials in Emergency
Settings : The Polish Perspective. Science English Ethics Vol 13 pp : 333-336
15