Anda di halaman 1dari 19

ETIK DAN LEGAL KEPERAWATAN KRITIS

Disusun Oleh:
KELOMPOK 2

1. Rahayu Dwi Putri 11. Siti Nurdeva


2. Rahma Kesuma Wardani 12. Sonia Christina Maharani
3. Rahma Novitasari BS 13. Syafhira Oktariyanti
4. Rahmalia Ayu Pratiwi 14. Thalia Nadira Nordi
5. Ratih Agustriani 15. Tira Caritas
6. Risalah Brilliana 16. Tri Utari
7. Rizki Maulidina 17. Ulfa Novliza
8. Rizky Amelia 18. Yocie Ajeng Trisitia A.H
9. Selvi Agustria 19. Yulisa Tri Hasanah
10. Sissy Lestari 20. Eka Nancy Larasati

Dosen Pengampuh: Ns.Lukman,M.Kep

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN PALEMBANG


PRODI DIV KEPERAWATAN PALEMBANG
TAHUN AJAR 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur pada Allah SWT karena atas Rahmat, Nikmat, dan Hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan lancar dan tanpa halangan.
Makalah ini penulis susun dengan judul Etik dan Legal Keperawatan Kritis yang
dikemas dalam tulisan yang singkat dan mudah-mudahan bisa bermanfaat.
Namun, demikian makalah ini masih jauh dari kata sempurna, maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangat penulis butuhkan untuk kedepannya dalam
pembuatan makalah yang jauh lebih baik lagi dari ini. Demikian kata demi kata yang
bisa penulis sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga makalah ini bisa
bermanfaat bagi penulis maupun pembaca dan pendengar.

Palembang, 07 September 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1 KONSEP LEGAL.................................................................................. 2
2.2 KONSEP ETIK...................................................................................... 5

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan............................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... 15

ii
1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kesehatan merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia,
karena tanpa kesehatan yang baik manusia akan sulit untuk melakukan semua
aktivitasnya sehari-hari. Dewasa ini kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan
semakin meningkat. Dengan semakin meningkatknya kesadaran masyarakat mengenai
pentingnya kesehatan, maka semakin meningkat pula kesadaran masyarakat terhadap
hak-haknya dalam pelayanan kesehatan dan tindakan legal, maka isu legal dan etik
muncul ketika perawatan menjadi sesuatu hal yang bisa ditawar. Kemudian pada
akhirnya menyebabkan seorang pemberi kesehatan berada dalam pengawasan yang
semakin ketat (Potter & Perry, 2005).
Oleh karena itu, perawat harus senantiasa memberikan pelayanan kesehatan
yang maksimal, efektif, efiisen, dan juga aman. Jika hal tersebut diabaikan, maka
tidak menutup kemungkinan, masyarakat akan mengambil langkah hukum untuk
menghadapinya.
Status pekerjaan sebagai seorang perawat rumah sakit ataupun bagian dari staf
paramedik tidak membuat perawat bisa menghindari tanggung jawab dan kewajiban
mematuhi hukum dalam setiap tindakan/pelayanan keperawatan yang dilakukan.
Kumpulan hukum/peraturan keperawatan yang telah dikembangkan dikenal sebagai
standar pelayanan keperawatan. Standar pelayanan keperawatan ditentukan dengan
pengambilan keputusan atas tindakan profesional yang paling tepat dilakukan untuk
mengatasi masalah yang ada.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Dasar Aspek Legal dalam Keperawatan Kritis?


2. Bagaimana Konsep Etik dalam Keperawatan Kritis?
3. Apa saja ISU dan masalah legal dalam keperwatan kritis?
4. Apa saja kelalaian keperawatan dalam keperawatan kritis?
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 KONSEP LEGAL


1. Pengertian Legal
Aspek aturan Keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
lingkup wewenang dan tanggung jawabnya pada berbagai tatanan pelayanan,
termasuk hak dan kewajibannya yang diatur dalam undang-undang
keperawatan.
Keterkaitan dengan legal formal dalam memberikan pelayanan
keperawatan kritis Keterkaitan dengan kebijakan yang memberikan jaminan
hukum terhadap pelayanan keperawatan kritis, seperti: UU Kes, PERMENKES
dan peraturan lainnya.
2. Maksud dan Tujuan Aspek Legal dalam Keperawatan Kritis
a. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan mana
yang sesuai dengan hukum
b. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
c. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan keperawatan
mandiri
d. Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan
meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
e. Dalam keadaan darurat yang mengancam jiwa seseorang, perawat
berwenang melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang
ditujukan untuk penyelamatan jiwa.
3. Penerapan legal dalam Keperawatan Kritis
Aspek legal Keperawatan pada kewenangan formalnya adalah izin yang
memberikan kewenangan kepada penerimanya untuk melakukan praktik profesi
perawat yaitu Surat Tanda Registrasi (STR) bila bekerja di dalam suatu institusi.
Kewenangan itu, hanya diberikan kepada mereka yang memiliki
kemampuan, namun memiliki kemampuan tidak berarti memiliki kewenangan.
Seperti juga kemampuan yang didapat secara berjenjang, kewenangan yang
diberikan juga berjenjang.
Kompetensi dalam keperawatan berarti kemampuan khusus perawat
dalam bidang tertentu yang memiliki tingkat minimal yang harus dilampaui.
Dalam profesi kesehatan hanya kewenangan yang bersifat umum saja
yang diatur oleh Departemen Kesehatan sebagai penguasa segala keprofesian di
bidang kesehatan dan kedokteran.

Sementara itu, kewenangan yang bersifat khusus dalam arti tindakan


kedokteran atau kesehatan tertentu diserahkan kepada profesi masing-masing.
a. Fungsi Hukum dalm Praktik Perawat
1. Memberikan kerangka untuk menentukan tindakan keperawatan
mana yang sesuai dengan hukum
2. Membedakan tanggung jawab perawat dengan profesi lain
3. Membantu menentukan batas-batas kewenangan tindakan
keperawatan mandiri
4. Membantu mempertahankan standard praktik keperawatan dengan
meletakkan posisi perawat memiliki akuntabilitas dibawah hukum.
b. Kepmenkes 1239/2001 Tentang Praktik Keperawatan pasal 15 dan 16
1. Melakukan asuhan keperawatan meliputi Pengkajian, penetapan
diagnosa keperawatan, perencanaan, melaksanakan tindakan dan
evaluasi.
2. Pelayanan tindakan medik hanya dapat dilakukan atas permintaan
tertulis dokter
3. Dalam melaksanakan kewenangan perawat berkewajiban :
a) Menghormati hak pasien
b) Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
c) Menyimpan rahasia sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku
d) Memberikan informasi
e) Meminta persetujuan tindakan yang dilakukan Melakukan
catatan perawatan dengan baik
c. Larangan
Perawat dilarang menjalankan praktik selain yang tercantum dalam
izin dan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan standar profesi

d. Sanksi
Sesuai dengan kebijakan pimpinan rumah sakit

3
e. Hak dan Kewajiban Perawat
Aspek Legal Keperawatan juga meliputu Kewajiban dan hak Perawat :
1) Kewajiban:
a. Setiap perawat wajib mempunyai:
a) Sertifikat kompetensi
b) Surat Tanda Registrasi
c) Surat ijin Praktek (SIP)
d) Memperbaharui sertifikat kompetensi
b. Menghormati hak pasien
c. Merujuk kasus yang tidak dapat ditangani
d. Menyimpan rahasia pasien sesuai dengan aturan undang-undang
keperawatan
e. Wajib memberikan informasi kepada pasien sesuai dengan kewenangan
f. Meminta persetujuan setiap tindakan yg akan dilakukan perawat sesuai
dgn kondisi pasien baik secara tertulis.
g. Mencatat semua tindakan keperawatan secara akurat sesuai peraturan
dan SOP yang berlaku
h. Memakai standar profesi dan kode etik perawat Indonesia dalam
melaksanakan praktik
i. Meningkatkan pengetahuan berdasarkan IPTEK
j. Melakukan pertolongan darurat yang mengancam jiwa sesuai dengan
kewenangan
k. Melaksanakan program pemerintah dalam meningkatkan derajat
kesehatan masyarakat
l. Mentaati semua peraturan perundang-undangan
m. Menjaga hubungan kerja yang baik antara sesama perawat maupun dgn
anggota tim kesehatan lainnya.

2) Hak-Hak Perawat
a. Hak mengendalikan praktik keperawatan sesuai yang diatur oleh
hukum.
b. Hak mendapat upah yang layak.
c. Hak bekerja di lingkungan yang baik
d. Hak terhadap pengembangan profesional.

4
e. Hak menyusun standar praktik dan pendidikan keperawatan.

2.2 KONSEP ETIK


1. Pengertian Etik
Etik adalah sistem nilai pribadi yang digunakan untuk memutuskan apa
yang benar atau apa yang paling tepat, memutuskan apa yang konsisten dengan
sistem nilai yang ada dalam organisasi dan diri pribadi.
Etik merupakan prinsip yang menyangkut benar atau salah dan tindakan
apa yang akan dilakukan. Etika Keperawatan merefleksikan bagaimana
seharusnya perawat berprilaku, apa yang harus dilakukan perawat terhadap
kliennya dalam memberikan pelayanan keperawatan kritis.
2. Maksud dan Tujuan Aspek Etik dalam Keperawatan Kritis
Secara umum, tujuan kode etik keperawatan adalah sebagai berikut
(kozier, Erb. 1990):
a. Sebagai aturan dasar terhadap hubungan perawat dengan perawat, pasien, dan
anggota tenaga kesehatan lainnya.
b. Sebagai standar dasar untuk mengeluarkan perawat jika terdapat perawat yang
melakukan pelanggaran berkaitan kode etik dan untuk membantu perawat
yang tertuduh suatu permasalahan secara tidak adil.
c. Sebagai dasar pengembangan kurikulum pendidikan keperawatan dan untuk
mengorientasikan lulusan keperawatan dalam memasuki jajaran praktik
keperawatan profesional.
d. Membantu masyarakat dalam memahami perilaku keperawatan profesional
3. Penerapan pengetahuan etik di area critical care
Terdapat delapan asas etik dalam keperawatan yaitu :
a. Autonomi (otonomy)
Yaitu menghormati keputusan pasien untuk menentukan nasibnya, dalam
hal ini setiap keputusan medis ataupun keperawatan harus memperoleh
persetujuan dari pasien atau keluarga terdekat. Dengan mengikuti prinsip
autonomi berarti menghargai pasien untuk mengambil keputusan sendiri
berdasarkan keunikan individu secara holistik.
b. Non maleficence (tidak merugikan)
yaitu keharusan untuk menghindari berbuat yang merugikan pasien,
setiap tindakan medis dan keperawatan tidak boleh memperburuk keadaan

5
pasien. Berarti tindakan yang dilakukan tidak menyebabkan bahaya bagi
pasien, bahaya disini dapat berarti dengan sengaja membahayakan, resiko
membahayakan dan bahaya yang tidak disengaja.
c. Beneficence ( kemurahan hati)
yaitu keharusan untuk berbuat baik kepada pasien, setiap tindakan medis
dan keperawatan harus ditujukan untuk kebaikan pasien. Berarti melakukan
yang baik yaitu mengimplementasikan tindakan yang menguntungkan pasien
dan keluarga
d. Justice (perlakuan adil)
yaitu sikap dan tindakan medis dan keperawatan harus bersifat adil,
dokter dan perawat harus menggunakan rasa keadilan apabila akan melakukan
tindakan kepada pasien
e. Fidelity (setia, menepati janji ),
Berarti setia terhadap kesepakatan dan tanggung jawab yang dimiliki
oleh seseorang.Kesetiaan berkaitan dengan kewajiban untuk selalu setia pada
kesepakatan dan tanggung jawab yang telah dibuat . Setiap tenaga
keperawatan mempunyai tanggung jawab asuhan keperawatan kepada
individu, pemberi kerja, pemerintah dan masyarakat.
Apabila terdapat konflik diantara berbagai tanggungjawab, maka
diperlukan penentuan prioritas sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada.
f. Veracity (kebenaran, kejujuran),
Prinsip ini berkaitan dengan kewajiban perawat untuk mengatakan suatu
kebenaran, tidak berbohong atau menipu orang lain. Kejujuran adalah landasan
untuk “informed concent” yang baik. Perawat harus dapat menyingkap semua
informasi yang diperlukan oleh pasien maupun keluarganya sebelum mereka
membuat keputusan.
g. Confidenciality ( kerahasiahan )
Prinsip ini berkaitan dengan penghargaan perawat terhadap semua
informasi tentang pasien/klien yang dirawatnya. Pasien/klien harus dapat
menerima bahwa informasi yang diberikan kepada tenaga profesional
kesehatan akan dihargai dan tidak disampaikan/ diberbagikan kepada pihak
lain secara tidak tepat. Perlu dipahami bahwa berbagi informasi tentang
pasien/klien dengan anggota kesehatan lain yang ikut merawat pasien tersebut

6
bukan merupakan pembeberan rahasia selama informasi tersebut relevan
dengan kasus yang ditangani
h. Accountability ( akuntabilitas )
Dalam menerapkan prinsip etik, apakah keputusan ini mencegah
konsekwensi bahaya, apakah tindakan ini bermanfaat, apakah keputusan ini
adil, karena dalam pelayanan kesehatan petugas dalam hal ini dokter dan
perawat tidak boleh membeda-bedakan pasien dari status sosialnya, tetapi
melihat dari penting atau tidaknya pemberian tindakan tersebut pada pasien.
Hak-hak pasien haruslah dihargai dan dilindungi, hak-hak tersebut
menyangkut kehidupan, kebahagiaan, kebebasan, privacy, self determination,
perlakuan adil dan integritas diri. Dilema moral masih mungkin terjadi apabila
prinsip moral otonomi dihadapkan dengan prinsip moral lainnya, atau apabila
prinsip beneficence dihadapkan dengan non maleficence, misalnya apabila
keinginan pasien (otonomi) ternyata bertentangan dengan dengan beneficence
atau non maleficence, atau bisa saja apabila sesuatu tindakan mengandung
beneficence dan nonmaleficence terjadi secara bersamaan sepeti “ Rule of
Double Effect (RDE)” yaitu apabila suatu tindakan untuk memberikan
kenyamanan berdasarkan prinsip beneficence tetapi sekaligus memiliki resiko
terjadinya perburukan sehingga berlawanan dengan prinsip nonmaleficence.
Contoh: pemberian morphin sulfat untuk mengendalikan rasa nyeri hebat yang
terjadi pada pasien penderita cancer stadium akhir yang beresiko akan
memberikan efek depresan yang dapat menekan pusat pernafasan pasien.

Dalam keadaan RDE biasanya dikenal 4 elemen yang harus dipenuhi yaitu:
1. Sifat tindakan haruslah baik atau setidaknya netral
2. Niat tindakan adalah untuk tujuan baik, dampak buruk boleh saja telah dapat
dibayangkan tetapi harus bukan diniatkan.
3. Dampak buruk haruslah bukan cara untuk mencapai tujuan baik
4. Dampak baik harus melebihi dampak buruk

INFORMED CONSENT
Informed consent adalah pernyataan sepihak dari orang yang berhak (pasien,
keluarga atau walinya) yang isinya berup ijin atau persetujuan kepada dokter untuk
melakukan tindakan medis sesudah orang yang berhak tersebut diberi informasi

7
secukupnya. Informed consent adalah suatu proses komunikasi yang efektif antara
dokter dan pasien dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa yang
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Bila dilihat dari aspek hukum bukanlah
sebagai perjanjian antara dua fihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak atas
layanan yang ditawarkan pihak lain. Peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 290 / MENKES /PER / IX /2008 tentang Persetujuan Tindakan
Medis.
Informed consent perlu diberikan karena tidak semua kejadian dalam
pengobatan berlangsung seperti yang diharapakan, tidak ada kepastian dan jaminan
yang pasti dalam dunia kedokteran karena setiap kasus bagaikan teori permutasi
kombinasi, latar belakang setiap orang tidak sama, riwayat kesehatan berbeda,
derajat pengobatan yang diberikan juga tidak sama serta reaksi tubuh terhadap
respon pengobatan juga berbeda.

Tiga Element Informed Consent


1. Threshold Element
Elemen ini sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah
seseorang yang kompeten (mampu). Kompeten disini diartikan sebagai kapasitas
untuk membuat keputusan medis. Kompetensi manusia untuk membuat
keputusan sebenarnya merupakan suatu kontinuum, dari sama sekali tidak
memiliki kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya
terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertent. Secara hukum
seseorang dianggap kompeten apabila memenuhi kriteria antara lain telah
dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di bawah
pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai 21 tahun atau telah
pernah menikah. Sedangkan keadaan mental yang dianggap tidak kompeten
adalah apabila mempunyai penyakit mental sedemikian rupa sehingga
kemampuan membuat keputusan menjadi terganggu.
2. Information Elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure (pengungkapan) dan
understanding (pemahaman). Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus
diberikan kepada pasien,dapat dilihat dari 3 standar yaitu :

8
a. Standar Praktik Profesi.
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria ke-adekuat-an
informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam komunitas tenaga
keperawatan. Dalam standar ini ada kemungkinan bahwa kebiasaan tersebut di
atas tidak sesuai dengan nilai-nilai sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak
bermakna” (menurut medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna
dari sisi sosial pasien.
b. Standar Subyektif
Bahwa keputusan harus didasarkan atas nilai-nilai yang dianut oleh
pasien secara pribadi, sehingga informasi yang diberikan harus memadai untuk
pasien tersebut dalam membuat keputusan. Kesulitannya adalah mustahil
(dalam hal
waktu/kesempatan) bagi profesional medis memahami nilai-nilai yang secara
individual dianut oleh pasien.
c. Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar sebelumnya,
yaitu dianggap cukup apabila informasi yang diberikan telah memenuhi
kebutuhan umumnya orang awam.
3. Consent Elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness (kesukarelaan,
kebebasan) dan authorization (persetujuan). Kesukarelaan mengharuskan tidak
ada tipuan, misrepresentasi ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari
”tekanan” yang dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan
”dibiarkan” apabila tidak menyetujui tawarannya.
Informed consent harus meliputi :
1. Dokter harus menjelaskan pada pasien mengenai diagnosa, tindakan, terapi
dan penyakitnya
2. Pasien harus diberitahu tentang hasil terapi yang diharapkan dan seberapa
besar kemungkinan keberhasilannya
3. Pasien harus diberitahu mengenai beberapa alternatif yang ada dan akibat
apabila penyakit tidak diobati
4. Pasien harus diberitahu mengenai risiko apabila menerima atau menolak
terapi, disertai upaya antisipasi yang dilakukan untuk menghindari resiko
tersebut. Risiko yang harus disampaikan meliputi efek samping yang mungkin

9
terjadi dalam penggunaan obat atau tindakan pemeriksaan dan operasi yang
dilakukan.
5. Biaya yang menyangkut tindakan tersebut walaupun tidak selalu diutamakan
Pasien juga berhak untuk mengetahui semua prognosa, komplikasi, sekuele,
ketidak nyamanan, kesulitan yang mungkin dalami dengan adanya tindakan
tersebut.
Masalah yang ditemukan dalam proses informed consent
1. Bahasa yang digunakan untuk menjelaskan terlalu teknis
2. Perilaku dokter yang terburu-buru atau tidak perhatian atau tidak ada waktu
untuk tanya-jawab
3. Pasien sedang dalam keadaan stres emosional sehingga tidak mampu
mencerna informasi
4. Pasien dalam keadaan tidak sadar/ mengamuk

DILEMA ETIK
a. Pulang Paksa
Pulang paksa adalah istilah yang digunakan apabila pasien tidak mau
lagi melanjutkan/menjalani rawat inap lebih lama dan minta dipulangkan ,
tetapi secara medis belum cukup stabil untuk menjalani perawatan dirumah.
Penyebab pulang paksa antara lain:
1. Pasien tidak mengerti kmengapa walaupun dirinya sudah menjalani
perawatan tetapi belum juga sembuh atau merasa belum ada perbaikan
sehingga merasa tidak menjaani perawatanpun tidak ada pengaruhnya,
dalam hal ini ada beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain:
penjelasan dokter yang tidak jelas sehingga tidak dipahami pasien, tingkat
pendidikan, budaya (sebagian masih menganggap pengobatan alternatif
lebih baik)
2. Pasien tidak merasa nyaman dirawat yang dapat dipengaruhi oleh suasana,
keadaan ruangan, makanan, teman satu ruangan (pasien lain).
3. Pelayanan dinilai kurang baik, perlakuan tenaga kesehatan dalam hal ini
dokter dan perawat yang dianggap kurang simpatik.
4. Keterbatasan finansial (biaya) atau keinginan dirawat ditempat yang lebih
bergengsi (pada pasien golongan atas)

10
5. Ada kepentingan pribadi yang dinilai lebih berharga daripada menjalani
rawat inap
b. DO NOT RESUSCITATE (DNR): WITH HOLDING/ WITH DRAWAL
With holding adalah menunda terapi atau bantuan hidup pada pasien
yang dianggap sudah tidak punya harapan hidup lagi, sedangkan with drawal
artinya menghentikan bantuan hidup pada pasien yang biasanya terpasang alat
bantu penunjang kehidupan seperti ventilasi mekanik, alat pacu jantung, dll.
Baik with holding maupun with drawing dilakukan pada pasien yang secara
medis tidak punya harapan hidup lagi. Keputusan melakukan ini harus
dikomunikasikan dengan keluarga setelah team medis mendiskusikannya
dengan team lain.
c. EUTHANASIA
Kematian pada umumnya disepakati sebagai berhentinya kehidupan,
meninggal dunia adalah keadaan insani yang diyakini oleh ahli kedokteran
yang berwenang bahwa fungsi otak, pernafasan dan atau denyut jantung
seseorang telah berhenti
Kematian sebenarnya bukanlah suatu titik waktu, melainkan
merupakan suatu tahapan waktu, dimulai dari kematian klinis, kemudian
kematian otak, kematian biologis dan akhirnya kematian seluler. Pada
kematian klinis ditemukan berhentinya fungsi kardiovaskuler dan pernafasan,
yang kemudian akan diikuti oleh kematian otak, kecuali apabila dilakukan
resusitasi dan berhasil. Otak tidak dapat hidup lagi dalam waktu 6 sampai 10
menit tanpa oksigen. Kematian otak juga bertahap, biasanya dimulai pada
korteks serebri, kemudian disusul oleh serebelum (otak kecil) dan diakhiri
dengan kematian batang otak. Apabila terjadi kematian korteks serebri tanpa
kematian pusat sirkulasi dan pernafasan, maka terjadilah keadaan
ketidaksadaran yang permanen, tetapi kardiovaskuler dan pernafasan masih
tetap berfungsi (persistent vegetative state).
Setelah semua bagian otak berhenti bekerja maka terjadilah kematian
biologis, suatu kematian yang permanen. Selanjutnya dimulailah kematian
seluler, yang berbeda-beda waktunya bagi masing-masing jenis jaringan.
“kapankah seseorang dapat dinyatakan mati, apa kriterianya dan
bagaimana prosedur penentuannya”. Ketika pasien belum dapat dinyatakan
mati, dokter melakukan tindakan secara aktif menghentikan kehidupannya,

11
maka ia dapat dinyatakan sebagai melakukan pembunuhan. Sebaliknya apabila
pasien sudah dapat dinyatakan mati, tetapi dokter masih melakukan tindakan
terapetik maka ia dapat dinyatakan melanggar profesi karena melakukan
tindakan medik pada mayat.
Pengakuan atas hak otonomi pasien sedemikian kuat, sehingga tidak
hanya hak hidup, hak atas informasi dan hak memperoleh layanan yang layak
saja yang dituntut, melainkan juga hak untuk mati secara bermartabat.

A. Kelalaian Keperawatan dalam Keperawatan Kritis


Kasus kelalaian dapat terjadi di berbagai tatanan dalam praktek keperawatan,. Kasus-
kasus seperti ini berkembang dengan pesat seiring dengan perkembangan ilmu maupun
kemajuan teknologi dalam bidang kesehatan, termasuk di dalamnya dalam ranah praktek
keperawatan kritis.
Menurut Vestel KW (1995) dalam Ake (2003), menyampaikan bahwa suatu perbuatan
atau sikap tenaga kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi empat (4) unsur, yaitu:

a. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau untuk tidak
melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada situasi dan kondisi tertentu.
b. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
c. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien sebagai
kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi pelayanan.
d. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata, dalam hal ini harus
terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan kewajiban dengan kerugian
yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”
Dibawah ini merupakan beberapa contoh kasus kelalaian yang dilakukan oleh seorang
perawat kritis :
a. Assessment Failure
Adapun yang termasuk dalam assessment failure adalah kegagalan dalam mengkaji
maupun menganalisis data ataupun informasi mengenai pasien seperti tanda-tanda
vital, pemeriksaan laboratorium, maupun keluhan utama pasien.
b. Planning Failure
Adapun yang termasuk dalam planning failure adalah kegagalan dalam menentukan
perencanaan keperawatan yang yang berkaitan juga kegagalan dalam menentukan
diagnosa yang tepat.

12
c. Implementation Failure
Termasuk di dalamnya adalah kegagalan untuk berkomunikasi dengan pihak lain yang
terkait terkait kondisi pasien, kegagalan dalam melakukan tindakan yang tepat
terhadap pasien, kegagalan dalam melakukan pendokumentaian terhadap hasil-hasil
pengkajian, intervensi, maupun respon pasien terhadap intervensi yang diberikan,
serta kegagalan untuk menjaga privasi pasien.
d. Evaluation Failure
Adapun yang termasuk dalam evaluation failure mencakup kegagalan dalam
melaksanakan fungsi dan peran perawat sebagai advokat. Saat pasien masuk dan
dirawat hingga pasien pulang, perawat memiliki peran sebagai seorang advokat.
Perawat bertanggung jawab untuk mengevaluasi perawatan yang diberikan kepada
pasien.

13
14

BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN

Dewasa ini kesadaran masyarakat mengenai hak.-haknya dalam pelayanan


kesehatan dan tindakan legal semakin meningkat. hal ini berarti pengawasan kepada
perawat selaku pemberi pelayanan kesehatan akan semakin meningkat.
Banyak sekali isu-isu yang terkait dengan aspek legal khususnya dalam keperawatan
kritis dan gawat darurat. Isu-isu tersebut terdiri dari isu yang berkaitan dengan kelalaian
perawat maupun isu yang terkait bantuan hidup pada pasien.
Oleh karena itu, penting sekali bagi seorang perawat kritis untuk selalu menjalankan
peran serta fungsinya dan melakukan tindakan sesuai dengan standar keperawatan dan
lebih memahami ataupun meningkatkan pengetahuannya terkait isu yang berkaitan
dengan aspek legal khususnya pada ranah keperawatan kritis maupun keperawatan gawat
darurat sehingga perawat kritis dapat menghindari timbulnya permasalahan hukum yang
rentan sekali terjadi di dunia kesehatan ini.
DAFTAR PUSTAKA

Ake, J (2003). Malpraktek dalam Keperawatan. Jakarta : EGC

Ashley, Ruth C. (2003). Understanding Negligence. The Journal for high acuty, progressive,
and critical care nursing Vol.23 pp : 72-73

Guwandi. (2004). Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

Hegner, Barbara R.2003. Nursing Assistant: a Nursing Proses Approach. Jakarta: EGC.

Hendrik. (2011). Etika & Hukum Kesehatan. Jakarta : EGC.

http://ppnikabupatenbanjar.wordpress.com/2011/03/30/kode-etik-dalam-keperawatan-
indonesia_/07/09/2020_11.52

http://upetd.up.ac.za/thesis/available/etd-10152007 123802/unrestricted/dissertation.pdf pada


tanggal 07 September 2020

Iwanowski, Piotr S. (2007). Informed Consent Procedure For Clinical Trials in Emergency
Settings : The Polish Perspective. Science English Ethics Vol 13 pp : 333-336

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1239/MENKES/SK/XI/2001


Tentang Praktik Keperawatan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290 / MENKES/ PER/IX/2008


tentang Persetujuan TindakanMedis.

15

Anda mungkin juga menyukai