Anda di halaman 1dari 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Nyeri

2.1.1 Pengertian Nyeri

Nyeri adalah sesuatu yang menyakitkan tubuh yang

diungkapkan secara subjektif oleh individu yang mengalaminya .

Nyeri dianggap nyata meskipun tidak ada penyebab fisik atau

sumber yang dapat diidentiftkasi. Meskipun beberapa sensasi

nyeri dihubungkan dengan status mental atau status psikologis,

pasien secara nyata merasakan sensasi nyeri dalam banyak hal

dan tidak hanya membayangkannya saja. Kebanyakan sensasi

nyeri adalah akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli

emosional (Potter & Perry, 2010).

Nyeri imunisasi merupakan nyeri yang diakibatkan oleh

tindakan invasive. Nyeri imunisasi dapat menyebabkan rasa nyeri

pada anak yang jika tidak segera ditangani dapat menimbulkan

ketakutan, kegelisahan, menangis dan anak menjadi stress

berlebihan. Akibat suntikan inilah yang dapat menimbulkan nyeri

dan berkembang menjadi trauma terutama pada anak karena dapat

menyebabkan nyeri akut (Prasetyawati, 2012).

Beberapa studi nyeri pada anak yang selalu menjadi

keluhan utama saat imunisasi, didapatkan bahwa nyeri yang

dikeluhkan oleh anak selalu diabaikan sehingga penanganan yang

diberikan tidak adekuat (Sekriptini, 2013).

9
10

2.2 Klasifikasi Nyeri

A. Nyeri berdasarkan Lokasi

1. Nyeri Nosiseptif

Nyeri nosiseptif merupakan nyeri yangdiakibatkan oleh

aktifitas atau sensivitas nosiseptor perifer yang merupakan resptor

khusus yang mengantarkan stimulus naxious (Andarmoyo, 2013).

Nyeri Nosiseptif dibagi menjadi:

a) Nyeri Somatik: berasal dari tulang, sendi, otot, kulit, atau

jaringan penghubung. Biasanya kualitas nyeri ini

ditunjukkan dari nyeri yang dirasakan atau denyutan

yang terokalisasi dengan baik (Potter & Perry, 2010).

b) Nyeri visceral: Nyeri viseral merupakan nyeri yang

terjadi di dalam organ tubuh manusia, seperti di dalam

abdomen, lambung dan jantung. Nyeri viseral biasanya

juga disertai dengan mual dan muntah pada seseorang

(Farmer, 2014).

2. Nyeri Alih

Nyeri alih merupakannyeri yang tidak hanya berfokus pada

satu tempat, akan tetapi nyeri dapat terasa pada bagian tubuh yang

terpisah. Salah satu contohnya adalah ketika seseorang

mengalami penyakit jantung dan merasakan nyeri di dada, maka

nyeri akan menjalar kebagian leher, punggung dan lengan kiri

(Potter & Perry, 2010).

3. Nyeri Superfisial

Nyeri superfisial merupakan nyeri yang berada pada

lapisan kulit yang disebabkan oleh bahan kimia atau benda tajam,

sehingga
seseorang merasa seperti terbakar pada bagian kulit tersebut

(Avila et al, 2017).

4. Nyeri Idiopatik

Nyeri Idiopatik adalah nyeri kronis dari ketiadaan penyebab

fisik atau psikologis yang dapat diidentifikasi atau nyeri yang

dirasakan sebagai berlebihnya tingkat kondisik patologis suatu

organ. Contoh dari nyeri idiopatik adalah sindrom nyeri lokal

kompleks (Complekx Regional Pain Syndrome/CRPS) (Potter &

Perry, 2010).

5. Nyeri Neuropatik

Nyeri neuropatik mengarah pada disfungsi di luar sel saraf.

Nyeri neuropatik terasa seperti terbakar kesemutan dan

hipersensitif terhadap sentuhan atau dingin. Nyeri spesifik terdiri

atas beberapa macam, antara lain nyeri somatik, nyeri yang

umumnya bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit

(superficial) pada otot dan tulang. Macam lainnya adalah nyeri

menjalar (referred pain) yaitu nyeri yang dirasakan di bagian tubuh

yang jauh letaknya dari jaringan yang menyebabkan rasa nyeri,

biasanya dari cidera organ visceral. Sedangkan nyeri visceral

adalah nyeri yang berasal dari bermacam- macam organ viscera

dalam abdomen dan dada (Potter & Perry, 2010).


B. Nyeri Berdasarkan Durasi

1. Nyeri akut

Nyeri akut adalah suatu nyeri yang bersifat terlokalisir dan

biasanya terjadi secara tiba-tiba. Umumnya berkaitan dengan

cedera fisik. Nyeri terasa tajam seperti ditusuk, disayat, dicubit,

dan pola serangan jelas. Nyeri ini merupakan peringatan adanya

potensial kerusakan jaringan yang membutuhkan reaksi tubuh yang

diperintah oleh otak dan merupakan respon syaraf simaptis. Nyeri

akut berdurasi singkat (kurang lebih 6 bulan) dan akan menghilang

tanpa pengobatan setelah area yang rusak pulih kembali (Prasetyo,

2010).

2. Nyeri kronis

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang

menetap sepanjang suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di

luar waktu penyembuhan yang diperkirakan dan sering tidak dapat

dikaitkan dengan penyebab atau cedera spesifik. Nyeri kronis dapat

tidak mempunyai awitan (onset) yang ditetapkan dengan tetap dan

sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak

memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada

penyebabnya. Meski nyeri akut dapat menjadi sinyal yang sangat

penting bahwa sesuatu tidak berjalan sebagaimana mestinya, nyeri

kronis biasanya menjadi masalah dengan sendirinya (Muttaqin,

2011).

3. Nyeri Kronis Tak Teratur (Episodik)

Nyeri yang sesekali terjadi dalam jangka waktu tertentu disebut

nyeri episodik. Nyeri berlangsung selama beberapa jam, hari, atau


minggu.
Sebagai contoh, sakit sebelah/migraine dan nyeri yang

berhubungan dengan penyakit talasemia (Gruener & Lande, 2006

dalam Potter & Perry, 2010).

4. Nyeri Akibat Kanker

Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) melaporkan bahwa

hampir 90% klien dapat mengontrol nyeri dalam arti yang

sederhana. Beberapa klien dengan penyakit kanker mengalami

nyeri akut atau kronis. Nyeri tersebut terkadang bersift nosiseptif

dan/atau neuropatik. Nyeri kanker biaanya disebabkan oleh

berkembangnya tumor dan berhubungan dengan proses patologis,

prosedur invasif, toksin-toksin dari pengobatan, infeksi, dan

keterbatasan secara fisik. Klien merasakan nyeri di lokasi tepat

dimana tumor berada atau lokasi yang berada jauh dari tumor, yang

mengidentifikasikan adanya nyeri. Hampir 70-90% klien dengan

kanker stadium lanjut mengalami nyeri. Enam puluh persen dari

mereka melaporkan adanya nyeri tingkat sedang hingga berat

(Potter & Perry, 2010).

2.2.1 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Nyeri

A. Faktor Fisiologis

a) Kelemahan (Fatigue)

Kelemahan meningkatkan presepsi terhadap nyeri dan

menurunkan kemmapuan untuk mengatasi masalah. Apabila

kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat, presepsi terhada

nyeri akan lebih besar. Nyeri terkadang jarang dialami setelah

tidur atau istirahat cukup daripada di akhir hari yang panjang

(Potter & Perry, 2010).


b) Usia

Usia memiliki peranan penting dalam mempersepsikan rasa

nyeri. Usia akan mempengaruhi seseorang terhadap sensasi nyeri

baik persepsi maupun ekspresi. Perkembangan usia baik anak-

anak, dewasa, dan lansia akan sangat berpengaruh terhadap nyeri

yang dirasakan. Usia anak-anak akan sulit menginterpretasikan

dan melokalisasikan nyeri yang dirasakan karena belum dapat

mengucapkan kata-kata dan mengungkapkan secara verbal

maupun mengekspresikan nyeri yang dirasakan sehingga nyeri yang

dirasakan biasanya akan diinterpretasikan kepada orang tua atau

tenaga kesehatan (Zakiyah, 2015).

c) Gen

Riset terhadap orang yang sehat mengungkapkan bahwa

informasi genetik yang diturunkan dari orangtua memungkinkan

adanya peningkatan atau penurunan sensivitasa seseorang terhadap

nyeri. Gen yang ada di dalam tubuh kita dibentuk dari kombinasi

gen ayah dan gen ibu. Nantinya, gen yang paling dominanlah yang

akan menentukan kondisi fisik dan psikologis (Andarmoyo, 2013).

B. Faktor Psikologis

Tingkat dan kualitas nyeri yang diterima klien berhubungan

dengan arti dari nyeri tersebut. Kecemasan kadang meningkatkan

presepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga menyebabkan perasan cemas.

Respons emosional pada nyeri melibatkan girus cingulat anterior dan

korteks prefrontal ventral kanan. Sirkuit serotonin dan norepinefrin

juga terlibat dalam modulasi


stimulus sensoris, yang mungkin mempengaruhi bagaimana depresi dan

pengobatan antidepresan berefek pada persepsi nyeri (Khasanah, 2012).

C. Faktor Sosial

a) Keluarga dan Dukungan Sosial

Meski nyeri masih terasa, tetapi kehadiran keluarga ataupun

teman terkadang dapat membuat pengalaman nyeri yang

menyebabkan stress berkurang.. Klien dari kelompok sosiobudaya

yang berbeda memiliki harapan yang berbeda tentang orang,

tempat mereka menumpahkan keluhan merekatentang nyeri, klien

yang mengalami nyeri seringkali bergantung kepada anggota

keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan,

atau perlindungan. Apabila tidak ada keluarga atau teman,

seringkali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan

(Potter & Perry, 2010).

b) Perhatian

Tingkatan dimana klien menfokuskan perhatian terhadap

nyeri yang dirasakan memepengaruhi presepsi nyeri.

Meningkatnya perhatian behubungan dengan meningkatnya nyeri,

sebaliknya distraksi berhubungan dengan kurangnya respon nyeri

(Potter & Perry, 2010).

c) Pengalaman Sebelumnya

Frekuensi terjadinya nyeri dimasa lampau cukup sering

tanpa adanya penanganan atau penderitaan adanya nyeri

menyebabkan kecemasan bahkan ketakutan yang timbul secara

berulang. Jika orang tersebut belum merasakan nyeri sebelumnya

maka akan tersiksa


dengan keadaan tersebut. Sebaliknya, jika seseorang sudah mengalami

nyeri yang sama maka akan dianggap biasa, karena sudah paham

indakan apa yang akan dilakukan untuk menghilangkan rasa nyeri

tersebut (Andarmoyo, 2013).

D. Ansietas

Seseorang yang mengalami nyeri justru akan berdampak

buruk bagi psikologis seseorang. Nyeri juga dapat menyebabkan

seseorang merasa cemas dan takut dengan kondisi yang dialami

(Andarmoyo, 2013).

E. Faktor Spiritual

Spiritualitas menjangkau antara agama dan mencakup

pencarian secara aktif terhadap makna situasi dimana seseorang

menemukan dirinya sendiri. Spiritual membuat seseorang mencari

tahu makna atau arti dari nyeri yang dirasakan, seperti mengapa

nyeri ini terjadi pada dirinya, apa yang telah dilakukan selama ini,

dan lain- lain (Potter & Perry, 2010).

F. Faktor Koping

Mekanisme koping pada seseorang akan berpengaruh

terhadap sensai nyeri yang dirasakan. Seseorang dengan lokus

kendali internal akan mepersepsikan diri sebagai seseorang yang

bisa mengendalikan sesuatu seperti nyeri. Sebaliknya seseorang

dengan lokus kendali eskternal akan susah dalam mengatasi sensasi

nyeri yang dirasakan (Zakiyah, 2015).


2.2.2 Mekanisme Nyeri

1. Teori Gerbang

Teori Gate-Kontrol Mezack dan Wall dalam Potter & Perry

(2012), teori pertama yang menjelaskan bahwa nyeri memiliki

komponen emosional dan kognitif serta sensai secara fisik. Mereka

juga mengusulkan bahwa mekanisme “gerbang” yang berlokasi di

sepanjang sistem saraf pusat dapat mengatur atau menghambat

implus-implus nyeri. Teori ini mengatakan bahwa implus-implus nyeri

akan melewati gerbang dalam posisi terbuka dan akan

menghentikan ketika gerbang ditutup.

Upaya menutup pertahanan tersebut merupakan dasar teori

menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron

sensori dan serabut kontrol desenden dari otak mengatur proses

pertahanan. Neuron delta-A dan C melepaskan substansi C

melepaskan substansi P untuk menghantarkan impuls melalui

mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor,

neuron beta-A yang lebih tebal, yang lebih cepat yang melepaskan

neurotransmiter penghambat. Apabila masukan yang dominan

berasal dari serabut beta-A, maka akan menutup mekanisme

pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat

seorang perawat menggosok punggung klien dengan lembut. Pesan

yang dihasilkan akan menstimulasi mekanoreseptor, apabila

masukan yang dominan berasal dari serabut delta A dan serabut C,

maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien

mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan


jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat pusat kortek yang

lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur saraf desenden

melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan dinorfin, suatu

pembunuh nyeri alami yang berasal dari tubuh. Neuromedulator ini

menutup mekanisme pertahanan dengan 19 menghambat pelepasan

substansi P (Potter & Perry, 2010).

2. Teori Spesifisitas

Bagian tertentu dari sistem saraf berperan dalam membawa

nyeri dari reseptor nyeri ke pusat nyeri di sistem saraf pusat.

Sejumlah serabut saraf yang hanya (atau secara maksimal)

mengadakan respons terhadap stimulus yang berada dalam kisaran

noksius. Namun, keberadaan apa yang dinamakan sistem nyeri itu

sendiri tidak bisa menerangkan dengan baik semua tampilan nyeri

klinik maupun eksperimental. Nyeri alih (lokasi nyeri sering salah

ditentukan) dan nyeri patologik (misalnya neuralgia trigeminus

yang timbul hanya oleh stimulus noksius ringan) serta efek faktor

emosi dan motivasional masih memerlukan penjelasan. Penjelasan

13 yang terbaik mencakup mekanisme seperti sumasi (summation)

dan inhibisi yang bekerja pada suatu gerbang (gate) yang

mengendalikan perjalanan masukan yang potensial menimbulkan

nyeri (Walton & Torabinejad, 2008).

2.2.3 Pengkajian Nyeri

Menurut Twycross, Dowden & Bruce (2009) , alat

pengkajian nyeri dapat dibagi menjadi beberapa, yaitu:


a) Skala nyeri wajah

Skala peringkat dapat berkisar antara 0 pada satu titik

ekstim dan 10 pada titik ekstrim lainnya. Skala nyeri dinilai

berdasarkan ekspresi anak. Angka 0 diartikan sebagai perasaan

tidak nyeri. Angka 1 sampai 3 diartikan sebagai nyeri ringan. Lebih

dari Angka 3 sampai 7 diartikan sebagai nyeri sedang. Lebih besar

dari angka 7 sampai 9 diartikan nyeri yang berat dan lebih dari

angka 9 sampai 10 diartikan nyeri yang sangat hebat (Supartini,

2002).

Gambar 2.1 : Face pain rating scale


Sumber: www.wongbakerfaces.org

b) Verbal Rating Scale (VRS)

Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10 untuk

menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan

pada skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri. Skala

verbal menggunakan kata-kata dan bukan garis atau angka untuk

menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa

tidak ada nyeri, sedang, parah. Hilang/atau redanya nyeri dapat

dinyatakan sebagai sama sekali tidak hilang, sedikit berkurang,

cukup
berkurang, baik/atau nyeri hilang sama sekali. Karena skala ini

membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat membedakan

berbagai tipe nyeri.

Gambar 2.2 Verbal Rating Scale (VRS)

c) Skala Analogi Visual (VAS)

Skala analogi visual sangat berguna dalam mengkaji

intensitas nyeri. Skala tersebut adalah berbentuk garishorizontal

sepanjang 10 cm, dan ujungnya mengindikasikan nyeri yang berat.

Pasien diminta untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan

letak nyeri terjadi di sepanjang rentang tersebut.ujung kiri biasanya

menunjukkan “tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung

kanan biasanya menandakan “berat” atau nyeri yang paling buruk.

Untuk menilai hasil, sebuah penggaris diletakkan sepanjang garis

dan jarak yang dibuat pasien pada garis dari “tidak ada nyeri “

diukur dan ditulis dalam sentimeter

(Nursalam, 2008).

Gambar 2.3
Skala Analogi Visual (VAS): Nursalam (2008)
d) Skala FLACC

FLACC digunakan untuk menilai reaksi perilaku terhadap

rasa nyeri untuk bayi dan anak-anak dengan rentang umur 2 bulan

sampai

7 tahun. Skala ini digunakan kepada yang tidak dapat

mengekspresikan rasa nyeri mereka sendiri dan dengan klien yang

tidak bisa mengomunikasikan nyerinya secara verbal. Skala

FLACC mengakses lima bidang perilaku (ekspresi wajah anak,

posisi kaki, aktivitas, menangis, dan konsolabilitas) dengan skor

mulai dari 0 hingga 2 untuk setiap kategori. Skor 1-3 kategori nyrti

ringan, skor 4-6 dikategorikan nyeri sedang, skor 7-10

dikategorikan nyeri berat (Gedam et al, 2013).

2.2.4 Manajemen Nyeri

A. Pendekatan Farmakologi

Analgesik merupakan metode penanganan nyeri yang

paling umum dan sangat efektif. Pemberian obat analgesik, yang

dilakukan guna mengganggu atau memblokir transmisi stimulus

agar terjadi perubahan persepsi dengan cara mengurangi kortikal

terhadap nyeri. Jenis analgesiknya adalah narkotik dan bukan

narkotik (Hidayat, 2014).

Ada tiga tipe analgesik (Potter & Perry, 2010), yaitu:

a) Non-opioid (asetaminofen dan obat anti inflamasi)

b) Opioid (Narkotik)

c) Koanalgesik (variasi dari pengobatan yang meningkatkan analgesik

atau memiliki kandungan analgesik yang semula tidak diketahui).

B. Pendekatan Non-Farmakologi
a) Distraksi

Distraksi merupakan teknik nonfarmakologis yang paling umum

digunakan untuk manajemen perilaku selama tindakan. Distraksi

adalah teknik mengalihkan perhatian pasien dari hal yang

dianggap sebagai prosedur yang tidak menyenangkan. Proses

distraksi melibatkan persaingan untuk mengalihkan perhatian

antara sensasi yang sangat menonjol seperti nyeri dengan fokus

yang diarahkan secara sadar pada beberapa aktivitas pemrosesan

informasi lainnya. Pengembangkan teori yang menekankan pada

fakta bahwa kapasitas manusia untuk memperhatikan terbatas,

dalam teori ditunjukkan bahwa seorang individu harus

berkonsentrasi pada rangsangan menyakitkan untuk merasakan

rasa sakit; oleh karena itu, persepsi rasa sakit menurun ketika

perhatian seseorang terdistraksi dari stimulus (Panda, 2017).

Distraksi adalah sistema aktivasi yang kompleks

menghambat stimulus nyeri apabila seseorang menerima input

sensorik yang berlebih. Dengan adanya stimulus sensorik,

seseorang dapat mengabaikan atau tidak menyadari akan adanya

nyeri (Potter & Perry, 2010).

Distraksi audiovisual adalah pengalihkan perhatian dengan

kontribusi yaitu video animasi dengan mengalihkan perhatian

dengan bantuan video video animasi. Video animasi membuat

emosi berubah sehingga membantu untuk tertawa, mengilangkan

stress , serta mebuat pikiran lebih positif. Intervensi terdiri dari

selingan dalam bentuk video animasi anak-anak populer seperti

Tom and
Jerry Tales (Kaur, 2014). Hasil penelitian yang dilakukan oleh

Gonzalez, J.C, Routh, DK, & Armstrong, FD (1993) pada

Pengaruh gangguan audio visual versus jaminan pada reaksi anak-

anak terhadap suntikan yang menunjukkan bahwa gangguan audio

visual efektif dalam mengurangi rasa sakit sebagai rata-rata

dengan hasil skor nyeri <5 menit = 2,9, 15 menit = 1,82 dan 30

menit = 0,3,18.

b) Masase dan Stimulasi Kutaneus

Stimulus kutaneus merupakan stimulasi pada kulit untuk

mengurangi nyeri. Stimulus kutaneus memberikan klien rasa

kontrol terhadap gejala nyeri. Penggunaan yang tepat dari stimulus

kutaneus membantu mengurangi ketegangan otot yang

meningkatkan nyeri (Potter & Perry, 2010).

Masase atau pijatan sangat efektif dalam meberikan

relaksasi fisik dan mental, mengurangi nyeri, dan meningkatkan

keeefektifan pengobatan nyeri. Masase pada punggung, bahu,

lengan, dan kaki selama 3 sampai 5 menit dapat merelaksasikan

otot dan memberikan istirahat yang tenang dan nyaman (Potter &

Perry, 2010).

c) Efflurage Massage

Effleurage adalah bentuk masase dengan menggunakan telapak

tangan yang memberi tekanan lembut ke atas permukaan tubuh

dengan arah sirkular secara berulang (Reeder dalam Parulian,

2014). Langkah-langkah melakukan teknik ini adalah kedua

telapak tangan melakukan usapan ringan, tegas dan konstan dengan

pola gerakan melingkari abdomen, dimulai dari abdomen bagian

bawah di atas
simphisis pubis, arahkan ke samping perut, terus ke fundus uteri

kemudian turun ke umbilicus dan kembali ke perut bagian bawah

diatas simpisis pubis, bentuk pola gerakannya seperti “kupu-kupu”.

Effleurage merupakan teknik masase yang aman, mudah untuk

dilakukan, tidak memerlukan banyak alat, tidak memerlukan biaya,

tidak memiliki efek samping dan dapat dilakukan sendiri atau

dengan bantuan orang lain (Ekowati, 2011).

d) Terapi Musik

Musik mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri dan

membangun respon relaksasi. Klien dapat melakukan (memainkan

alat music atau bernyanyi) atau mendengarkan musik. Musik

menghasilkan suatu keadaan dimana klien sadar penuh melalui

suara, henik, jarak, dan waktu. Klien stidaknya perlu

mendengarkan selama

15 menit agar mendapatka efek teraupiotik. Penggunaan earphone

membantu klien untuk lebih berkonsentrasi terhadap suara musik

agar tidak terganggu, dengan meningkatkan volume suara,

sementara itu juga menghindar dari klien atau staf perawat yang

lain yang dirasa menganggu (Potter & Perry, 2010).

e) GIM (Guided Imagery Music)

Relaksasi guided imagery merupakan salah satu metode

penatalaksanaan nyeri non farmakologis yang dapat digunakan

oleh perawat. Hal ini bekerja dengan mengubah persepsi kognitif

dan motivasi afektif (Potter & Perry, 2010). Adanya perubahan

motivasi afektif akan meningkatkan mekanisme koping klien

terhadap nyeri. Individu yang memiliki lokus kendali internal

mempersepsikan diri
mereka sebagai individu yang dapat mengendalikan lingkungan

mereka dan hasil akhir suatu peristiwa, seperti nyeri (Potter &

Perry, 2010).

f) Terapi Musik Klasik (Mozart)

Pada dewasa ini banyak jenis musik yang dapat diperdengarkan

namun musik yang menempatkan kelasnya sebagai musik

bermakna medis adalah musik klasik karena musik ini maknitude

yang luar biasa pada perkembangan ilmu kesehatan, diantaranya

memiki nada yang lembut, nadanya memberikan stimulasi

gelombang alfa, ketenangan dan membuat pendengarnya lebih

rileks (Dofi dalam Liandari, 2015).

g) Kompres Dingin

Kompres hangat dapat menurunkan nyeri dengan

memberikan energi panas melalui proses konduksi, dimana panas

yang dihasilkan akan menyebabkan vasodilatasi yang berhubungan

pelebaran pembuluh darah lokal. Kompres hangat dapat memberi

rasa hangat untuk mengurangi nyeri dengan adanya pelebaran pada

pembuluh darah yang mampu meningkatkan aliran darah lokal dan

memberikan rasa nyaman (Price, 2005). Penelitian Jolly, Zgonis,

dan Hendrix (2005) menjelaskan bahwa pemberian kompres hangat

selama 5 menit sebelum injeksi Glatirames Asetat, sebagian besar

pasien dapat mentoleransi rasa nyeri selama penyuntikan dan tidak

ditemukan adanya inflamasi pada bekas suntikan. Terapi dingin

menimbulkan efek analgetik dengan memperlambat kecepatan

hantaran saraf sehingga impuls nyeri yang mencapai otak lebih

sedikit (Indriyan, Hayati, & Chodidjah, 2013).


2.3 Imunisasi

2.3.1 Pengertian Imunisasi.

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada

bayi dan anak dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar

tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit

tertentu. Sedangkan yang dimaksukan vaksin adalah bahan yang

dipakai untuk merangsang pembentukan zat anti yang

dimaksukkan ke dalam tubuh melalui suntikan (Hidayat, 2005).

Imunisasi merupakan usaha memberikan kekebalan pada

balita dengan memasukkan vaksin kedalam tubuh. Agar tubuh

membuat zat anti untuk merangsang pembentukan zat anti yang

dimasukkan kedalam tubuh melalui suntikan (misalnya vaksin

BCG, DPT dan campak) dan melalui mulut (misalnya vaksin

polio). Imunisasi berasal dari kata imun, kebal, resisten. Imunisasi

berarti anak di berikan kekebalan terhadap suatu penyakit tertentu.

Anak kebal terhadap suatu penyakit tapi belum kebal terhadap

penyakit yang lain (Hidayat, 2008). Imunisasi merupakan suatu

upaya untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap suatu penyakit (Atikah, 2010).

2.3.2 Tujuan Imunisasi

Pemberian imunisasi pada anak mempunyai tujuan agar

tubuh kebal terhadap penyakit tertentu, kekebalan tubuh juga

dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya terdapat

tingginya kadar antibodi pada saat dilakukan imunisasi, potensi

antigen yang disuntikan, waktu antara pemberian (Hidayat, 2014).


Program imunisasi bertujuan untuk memberikan kekebalan

pada balita agar dapat mencegah penyakit dan kematian bayi serta

anak yang disebabkan oleh penyakit yang sering berjangkit.

Secara umun tujuan imunisasi ada beberapa antara lain melalui

imunisasi tubuh tidak mudah terserang penyakit menular dan

ssangat efektif mencegah penyakit menular. Imunisasi

menurunkan angka morbitas (angka kesakitan) antara lain

(Atikah, 2010) :

Jadwal Imunisasi Anak usia 0-18 tahun

Usia
Bulan Tahun
Lahi 1 1 1 2 1 1 1
Imunisasi r 1 2 3 4 5 6 9 2 5 8 4 3 5 6 7 8 9 0 2 8
Pentavalen 1 2 3
1
BCG kali
PVC 1 2 3 4
Rotavirus 1 2 3
Influenza Ulangan 1 kali setiap tahun
Campak 1 2 3
MMR 1 2
Tifoid Ulangan setiap 3 tahun
Hepatitis
A 2 kali, interval 6-12 bulan
Vasilera 1 kali
HPV 2 atau 3 kali
Japanaese
Enchepalis 1 2
3 kali,
interval
Dengue 6 bulan

Gambar 2.4 Jadwal Imunisasi


Sumber: Departemen Kesehatan RI,
2017
2.2.3 Lokasi Penyuntikan Imunisasi dan Tempat Imunisasi

1. Vaksin BCG

Untuk penyuntikan vaksin BCG caranya disebut dengan intrakutan.

Maksudnya cara penyuntikannya dilakukan didalam jaringan kulit, sehingga

sangat dangkal. Sedangkan untuk posisi jarumnya harus datar hal ini agar
vaksin bisa masuk ke jaringan lemak. Untuk lokasi penyuntikan imunisasi

dengan cara intrakutan dilakukan di bagian yang peredaran darahnya

banyak, contohnya di lengan atau antara bokong dan paha (Buku Ajar

Imunisasi, 2014).

2. Vaksin DPT/HB/Tifus

Pemberian vaksin ini cara penyuntikannya disebut dengan intramuskular.

Yang mana penyuntikannya di dalam otot, sehingga jarum yang dimasukkan

lebih panjang agar bisa masuk ke dalam jaringan otot. Dengan jarum yang

panjang tentunya akan mengurangi rasa sakit. Dan untuk lokasi penyuntikan

imunisasi dilakukan di daerah yang terdapat pembuluh darah besar dan

syaraf. Jika yang diimunisasi anak berusia di bawah satu tahun lokasinya

adalah di paha, sedangkan untuk anak yang lebih besar lokasi

penyuntikannya di lengan atas (Buku Ajar Imunisasi, 2014).

3. Campak/MMR/Vericella

Pemberian vaksin ini cara penyuntikannya dinamakan subkutan.

Penyuntikan dilakukan di bawah jaringan kulit namun sebelum otot. Untuk

cara melakukannya dengan cara mencubit terlebih dahulu bagian yang akan

disuntik. Sedangkan lokasi penyuntikan imunisasi ini dilakukan didaerah

yang peredaran darahnya sedikit dan terdapat jaringan lemak di bawahnya

seperti paha dan lengan atas (Buku Ajar Imunisasi, 2014).

2.4 Konsep Balita

2.4.1 Pengertian Balita

Balita adalah masa anak mulai berjalan dan merupakan

masa yang paling hebat dalam tumbuh kembang, yaitu pada usia 1

sampai 5 tahun. Masa ini merupakan masa yang penting terhadap


perkembangan kepandaian dan pertumbuhan intelektual (Mitayani,

2009).

Balita adalah istilah umum bagi anak usia 1-3 tahun (batita)

dan anak prasekolah (3-5 tahun). Saat usia batita, anak masih

tergantung penuh kepada orang tua untuk melakukan kegiatan

penting, seperti mandi, buang air dan makan. Perkembangan

berbicara dan berjalan sudah bertambah baik. Namun kemampuan

lain masih terbatas (Sutomo, 2010).

2.5 Proses Penurunan Nyeri dengan Distraksi Audiovisual (Video

animasi) dan Distraksi Audio (musik)

Melihat film adalah bentuk bermain pasif yang memberikan

hiburan bagi anak, kegiatan melihat film tersebut dapat

dimodifikasi untuk dijadikan sebuah tindakan terapeautik seperti

distraksi, sehingga selain menghibur juga bisa digunakan sebagai

pengalih perhatian ketika balita diberikan injeksi imunisasi

(tindakan invasif). Distraksi audiovisual adalah bentuk pengalihan

perhatian yang efektif untuk anak balita karena di dalam distrakasi

audiovisual menayangan tokoh video animasi lucu yang

memberikan edukasi kesehatan dalam bahasa yang sederhana dan

menarik, sehingga membuat balita merasa senang, terhibu. Selama

prosedur imunisasi (invasif), anak menikmati tayangan video

animasi yang disajikan. Hal tersebut tentunya mampu mengurangi

respons buruk balita yang biasanya terjadi ketika prosedur injeksi

berlangsung karena anak fokus pada tayangan yang


disajikan dan mendengarkan apa yang disampaikan oleh tokoh

video animasi tersebut (Agustina et al, 2015).

Pada video animasi terdapat unsur gambar, warna, dan

cerita sehingga anak-anak menyukai menonton video animasi

(Windura, 2008). Ketika anak lebih fokus pada kegiatan menonton

video animasi, hal tersebut membuat impuls nyeri akibat adanya

cidera tidak mengalir melalui tulang belakang, pesan tidak

mencapai otak sehingga anak tidak merasakan nyeri (Brannon dkk,

2013).

Penelitian yang dilakukan oleh MacLaren dan Cohen

(2005) pada anak usia 1-7 tahun, didapatkan anak dengan teknik

distraksi pasif seperti menonton lebih teralihkan dan tingkat

distresnya lebih rendah dibandingkan dengan anak dengan teknik

distraksi aktif saat dilakukan pengambilan sampel darah melalui

vena. Hasil penelitian yang dilakukan oleh James dkk., (2012) pada

anak usia 3 – 6 tahun, juga menunjukkan anak yang diberikan

teknik distraksi menonton video animasi mengalami

nyeri lebih sedikit saat dilakukan pengambilan

sampel darah melalui vena (tindakan invasif), hal tersebut terlihat

dari respon perilakunya .

Pada prinsipnya teknik distraksi audiovisual merupakan

suatu cara untuk mengalihkan fokus anak dari rasa sakit pada

kegiatan lain yang menyenangkan bagi anak (Pillitteri, 2010). Anak-

anak menyukai unsur-unsur seperti gambar, warna dan cerita pada

video animasi. Unsur-unsur seperti gambar, warna, cerita, dan

emosi (senang, sedih, seru, bersemangat) yang terdapat pada

video animasi merupakan


unsur otak kanan dan suara yang timbul dari film tersebut

merupakan unsur otak kiri. Sehingga dengan menonton video

animasi otak kanan dan otak kiri anak pada saat yang bersamaan

digunakan duaduanya secara seimbang dan anak fokus pada video

animasi (Windura, 2008).

Berdasarkan gate control theory, pada saat perawat menyuntikkan

jarum, hal tersebut meransang serabut saraf kecil (reseptor nyeri)

sehingga menyebabkan inhibitory neuron tidak aktif dan gerbang

terbuka, sementara pada saat yang bersamaan peneliti memberikan

teknik distraksi berupa video animasi, yang meransang serabut

saraf besar, menyebabkan inhibitory neuron dan projection neuron aktif,

tetapi inhibitory neuron mencegah projection neuron mengirimkan

sinyal ke otak, sehingga gerbang tertutup dan stimulasi nyeri yang

diterima tidak sampai ke otak (Suzanne, 2010). Sehingga anak

yang diberikan teknik distraksi menonton video animasi

menunjukkan skala nyeri yang lebih rendah daripada anak yang

tidak diberikan teknik distraksi menonton video animasi.

Penelitian teknik distraksi menonton video animasi ini

sejalan dengan penelitian yang dilakukan beberapa ahli seperti

James dkk (2012) dengan menggunakan desain penelitian quasi

eksperimen. Penelitian bertujuan untuk melihat pengaruh

menonton video animasi terhadap respon prilaku dari persepsi

nyeri anak usia prasekolah yang menjalani venipuncture. Hasil dari

penelitian ini menunjukan bahwa adanya penurunan nyeri yang

signifikan setelah anak menonton video animasi saat dilakukan

venipunctur. Dari hasil penelitian tersebut


peneliti menyarankan bahwa menonton video animasi dapat

digunakan untuk mengatasi respon prilaku nyeri anak saat

menjalani tindakan invasif secara efektif. Penelitian yang

dilakukan oleh Bagnasco (2012) pada anak usia 2-6 tahun

(prasekolah) menunjukan rata-rata skala nyeri anak yang tidak

menonton video animasi saat menjalani venipunctur 5,22

sedangkan rata-rata skala nyeri anak yang tidak menonton video

animasi saat menjalani venipunctur 2,53, hal tersebut menunjukkan

bahwa anak yang menonton video animasi saat menjalani

venipunctur memiliki rata-rata skala nyeri yang lebih rendah.

Teknik distraksi yang bisa dilakukan adalah dengan

distraksi audio yaitu dengan cara mendengarkan musik. Secara

fisiologis pun teknik distraksi audio (musik) dengan memakai

musik dapat merangsang pelepasan hormon endorfin yang

merupakan substansi sejenis morfin yang disuplai oleh tubuh,

sehingga pada saat reseptor nyeri disaraf perifer mengirimkan

sinyal ke sinaps, kemudian terjadi transmisi sinapsis antara neuron

saraf perifer dan neuron yang menuju otak tempat yang seharusnya

substansi P akan menghasilkan impuls. Pada saat tersebut

endorphin akan memblokir lepasnya substansi P dari neuron

sensorik (Rosdianto, 2012).

Musik jenis sedatif atau musik relaksasi menurunkan detak

jantung dan tekanan darah, menurunkan tingkat rangsang dan

secara umum membuat tenang (Djohan, 2006 dalam Padang,

2015).

Anda mungkin juga menyukai