Anda di halaman 1dari 6

BAB IV FAKTOR RISIKO STUNTING tunting pada anak terjadi karena adanya kekurangan gizi kronis yang

berdampak pada angka kematian, kesehatan, dan perkembangan anak. Kualitas diet yang rendah dan
tingkat infeksi yang tinggi pada masa kehamilan dalam dua tahun pertama kehidupan menyebabkan
pertumbuhan anak memburuk. Selain itu, terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kejadian
stunting, tetapi belum terbukti secara jelas. Pemberian intervensi spesifik di daerah dengan prevalensi
stunting tinggi, hanya dapat menurunkan prevalensi stunting sebanyak 20% (Bhutta, et al., 2013).
Kejadian stunting berkaitan erat dengan berbagai macam faktor, di mana faktor-faktor tersebut saling
berhubungan. Menurut UNICEF (1998), terdapat dua faktor utama penyebab stunting, yaitu asupan
makanan yang tidak adekuat, seperti kurang energi dan protein, dan beberapa zat gizi mikro, serta
adanya penyakit infeksi. Faktor risiko lain yang menyebabkan stunting adalah tinggi badan orang tua,
sanitasi yang kurang baik, dan pemberian makanan pendamping ASI yang tidak adekuat (Nadiyah, et al.,
2013). Menurut analisis yang dilakukan Cahyono (et al., 2016) di Kabupaten Kupang, sanitasi lingkungan
dan kejadian sakit, seperti infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) dan diare menjadi faktor risiko dari
stunting. Panjang badan lahir, status ekonomi keluarga, tingkat pendidikan, dan tinggi badan orang tua
juga dapat memengaruhi pertumbuhan tinggi badan 77

anak. Panjang badan lahir pendek merupakan salah satu faktor risiko stunting pada balita. Panjang
badan lahir pendek pada anak menunjukkan kurangnya asupan zat gizi ibu selama masa kehamilan
sehingga pertumbuhan janin tidak optimal dan mengakibatkan bayi yang lahir memiliki panjang badan
lahir pendek (Zottarelli, 2007). Secara klinis, tinggi badan ibu normal (2150 cm) dan riwayat berat badan
lahir normal (22.500 g) dapat menurunkan risiko stunting pada anak usia bawah dua tahun usia 6-23
bulan sebesar 0,8 kali dibandingkan dengan anak usia bawah dua tahun yang memiliki tinggi badan ibu
kurang (<150 cm) dan riwayat baduta BBLR (<2.500 g) (Masrin, Paratmanitya, dan Aprilia, 2014). Status
ekonomi keluarga akan berpengaruh pada kemampuan pemenuhan gizi keluarga dan kemampuan
mendapatkan layanan kesehatan. Anak pada keluarga dengan tingkat ekonomi rendah lebih berisiko
mengalami stunting karena kemampuan pemenuhan gizi yang rendah dapat meningkatkan risiko
terjadinya malnutrisi (Feraldera, 2007). Anak yang tinggal dalam kondisi sanitasi yang buruk akan
menyebabkan masalah penyakit dan infeksi di saluran cerna (environmental enteric dysfunction)
(Owino, et al., 2016). Salah satu penyakit yang timbul akibat sanitasi yang buruk adalah diare. Diare
memiliki peranan dalam kejadian stunting. Anak yang mengalami stunting mempunyai episode kejadian
diare yang sering (Checkley, et al., 2008; Pop, et al., 2014). Diare berkaitan dengan kondisi bakteri
patogen yang tinggi di dalam saluran cerna. Komposisi mikrobiota saluran cerna pada saat diare berubah
menjadi lebih tinggi komposisi bakteri patogennya dibandingkan probiotik di dalam saluran cerna
(Gough, et al., 2015; Dinh, et al., 2016). Populasi mikrobiota dapat dipengaruhi oleh genetik dan dapat
berubah akibat gaya hidup, penyakit infeksi, penggunaan antibiotik, asupan makanan, dan faktor lain
(Tyakht, 2013). Sementara itu, faktor risiko stunting, antara lain adalah asupan zat gizi yang kurang dan
penyakit infeksi (Mwaniki dan Makokha, 2013). Asupan zat gizi yang kurang pada anak stunting
disebabkan tidak terpenuhinya jumlah atau jenis bahan makanan yang dibutuhkan dan episode lamanya
infeksi. Keadaan ini dapat menimbulkan perubahan komposisi mikrobiota saluran pencemaan antara
bakteri patogen dan komensal (Owino, et al., 2016). 78

Santasi dan air bersihipelayanan kesehatan dasar yang idak memadal Asupan zat giai makro Lingkungan
- Pendidkan orang tua Pekerjaan orang tun Pendapatan keluarga Jumlah anggota umah tangg Pola
makan Pola anuh Pemberian ASI vfeks Asupan zat gial mikro Produktiften rendah, pertumbuhan badan
erganggu, perkembangan telektual rendah imuntas buh rendah rieko kematian Prematu BBLR Stunting
Demograt Umur Jenis Kelamin Genetik Kalainan kromosom Kalainan kongenital Homonal Tinggi badan
orang Gambar 17. Faktor- faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting Sumber: UNICEF (1998),
Zottarelli (2007), Masruh Paratmamtya, & Aprilia (2004), Tyakht (2003), dan Mwanilai dan Makokha
(2013). A. Status Gizi dan Pengetahuan Ibu Di negara berkembang, sekitar 20% dari balita stunting
berkaitan dengan BBLR. Dengan demikian, sangat penting untuk memahami faktor- faktor determinan
dan intervensi yang berkaitan dengan gizi ibu hamil dan pertumbuhan linier pada bayi baru lahir. Sangat
disayangkan, berbagai penelitian yang telah dilakukan sebagian besar hanya melaporkan berat badan
lahir dan belum melibatkan variabel panjang badan sebagai luaran intervensi gizi (Christian, et al., 2013).
Pemberian multimikronutrien pada ibu hamil dapat menurunkan kejadian BBLR sebesar 11-17%, tetapi
tidak memberikan efek signifikan pada panjang lahir bayi (Fall, et al., 2009). Pada metaanalisis lain,
disimpulkan bahwa terdapat peningkatan berat lahir bayi yang signifikan (penambahan 53 g) dan
penurunan sebesar 14% insidensi BBLR (Ramakrishnan, et al., 2012). Pemberian suplemen untuk
mencapai keseimbangan energi dan protein pada ibu hamil dapat meningkatkan berat badan lahir,
tetapi tidak pada panjang badan (Kramer dan Kakuma, 2003). 79

Ada dua periode kunci selama “jendela kesempatan", yaitu pascakelahiran (0-5,9 bulan) ketika
pemberian ASI eksklusif dan pada usia 6-23,9 bulan. Dengan demikian, pada saat itulah intervensi untuk
meningkatkan pemberian makanan tepat untuk dilakukan. Pemberian ASI eksklusif selama enam bulan
pertama memiliki dampak yang signifikan pada morbiditas dan kelangsungan hidup bayi serta terdapat
bukti yang menyatakan kaitan pemberian ASI dengan stunting (Dean, et al., 2014). Efek pemberian ASI
pada pencegahan stunting berkaitan dengan daya tahan tubuh bayi terhadap penyakit infeksi.
Penurunan kejadian penyakit infeksi pada bayi dengan pemberian ASI dapat menurunkan prevalensi
stunting. Stunting dapat disebabkan oleh beberapa faktor yang tidak dapat diubah dalam waktu singkat.
Selain kemiskinan dan keterbatasan infrastruktur, status gizi kurang yang dialami ibu juga termasuk
faktor stunting yang tidak dapat diubah dalam waktu singkat. Tingkat pendidikan tinggi pada ibu
berkaitan erat dengan penurunan risiko stunting (Mittal, Singh dan Ahluwalia, 2007; Dekker, et al., 2010;
Dorsey, et al., 2018). Hal tersebut disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan perilaku ibu tentang
kesehatan dan gizi serta terbatasnya akses dan ketersediaan layanan kesehatan. Pemahaman ibu
tentang gizi anak dan praktik pemberian makan pada anak sangat berpengaruh terhadap status gizi anak
(Dekker, et al., 2010). Pendidikan dan konseling gizi selama kehamilan dapat berpengaruh pada
peningkatan berat lahir rata-rata (peningkatan sebesar 105 g), tetapi hanya signifikan ketika pendidikan
atau konseling gizi digabungkan dengan penambahan asupan zat gizi dalam bentuk suplemen makanan,
suplemen mikronutrien, atau intervensi keamanan pangan (Girard dan Olude, 2012). Intervensi
pendidikan untuk meningkatkan praktik pemberian makanan pelengkap sangat efektif dalam mengubah
perilaku, tetapi sebagian besar menunjukkan tidak ada dampak atau hanya efek sederhana pada
pertumbuhan linier (Dewey dan Afarwuah, 2008). Hasil yang berbeda terlihat pada penelitian yang
dilakukan di Peru (Penny, et al., 2005). Prevalensi stunting pada usia delapan belas bulan terdapat
sebesar 5% pada kelompok intervensi, sedangkan pada kelompok kontrol terdapat sebesar 15%.
Pendidikan gizi yang dilakukan menekankan tiga pesan utama, salah satunya adalah konsumsi makanan
sumber hewani yang kaya gizi. Dua penelitian lain, di Cina (Zhang, et al., 2013) dan di India (Shahnaz, et
al., 2014), telah menunjukkan potensi untuk 80

mengurangi stunting melalui pendekatan pendidikan-yang menekankan keragaman diet dan konsumsi
makanan sumber hewani-meskipun dalam kedua penelitian tersebut, dampak intervensi terhadap
pertumbuhan linier cukup kecil. Ibu yang memiliki indeks massa tubuh dan tinggi badan yang rendah
berisiko lebih tinggi mempunyai anak stunting (Dekker, et al., 2010). Selain itu, asupan gizi ibu saat
menyusui juga sangat berpengaruh terhadap status gizi bayi. Defisiensi zat gizi pada ibu dapat menjadi
penyebab defisiensi zat gizi pada bayi saat awal kehidupan, misalnya pada status vitamin A bayi. Bayi
dengan BBLR memiliki cadangan zat gizi yang tersimpan dalam tubuh dalam jumlah rendah. Jika ibu
mempunyai status gizi yang juga rendah maka pemberian ASI dengan kualitas ASI yang rendah secara
terus-menerus akan menyebabkan status gizi kurang pada anak (Cruz, et al., 2017). Proses menyusui
menyebabkan peningkatan 25% kebutuhan energi, 54% protein, dan 0-93% zat gizi mikro pada ibu.
Kehamilan yang bersamaan dengan menyusui menyebabkan jarak kelahiran pendek. Hal itu juga
berkaitan dengan penipisan cadangan zat gizi ibu yang cukup besar sehingga secara negatif
memengaruhi status gizi ibu dan janin yang sedang tumbuh. Akibatnya, jarak kelahiran pendek berkaitan
erat dengan risiko berat lahir rendah (García Cruz, et al., 2017). Sebuah studi yang dilakukan oleh
Adekanmbi, Kayode, dan Uthman (2013), menemukan bahwa peningkatan risiko stunting di antara
anak-anak dengan jarak kelahiran di bawah 24 bulan. Peningkatan risiko tidak hanya di antara kelahiran
tunggal, tetapi juga di antara kelahiran kembar. B. Asupan Makanan yang Tidak Adekuat Stunting
disebabkan oleh asupan zat gizi yang tidak adekuat, kualitas makanan yang rendah, infeksi, atau
kombinasi dari faktor-faktor tersebut yang terjadi dalam jangka lama, bahkan proses tersebut dapat
dimulai sejak dalam kandungan. Perkembangan janin di dalam kandungan membutuhkan zat gizi untuk
mendukung optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan bayi, termasuk pertumbuhan otak, kognitif,
tulang dan otot, serta produksi hormon untuk metabolisme glukosa, lemak, dan protein (Gibson, 2005).
Kekurangan asupan zat gizi dan energi protein pada ibu hamil dapat berisiko mengalami gangguan
pertumbuhan dan perkembangan, pembentukan 81

struktur dan fungsi otak, rendahnya produktivitas, serta penyakit kronis saat usia dewasa (Almatsier,
2004). Konsumsi makanan dan pemenuhan zat gizi anak merupakan tanggung jawab pengasuh atau
orang tua. Anak yang berusia 1-3 tahun adalah anak yang belum dapat memilih makanan dan hanya
pasif mendapatkan makanan yang disediakan oleh pengasuh. Masalah yang dapat menyebabkan asupan
zat gizi tidak adekuat adalah pengetahuan gizi pengasuh yang rendah, praktik pemberian MPASI yang
tidak tepat, anak tidak menyukai satu atau lebih jenis bahan makanan (picky eating), dan anak sulit
makan. Selain itu, Asrar, et al. (2009) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara pola asuh dengan
dan stunting, balita yang mendapat pola asuh kurang baik berisiko menjadi anak stunting 10,7 kali lebih
besar dibandingkan dengan yang mendapatkan pola asuh baik. Pemberian makan pada anak harus
disiasati dengan pola makan dan pola asuh yang tepat. Pemberian makan pada anak dengan cara
dipaksa hanya akan mengganggu perkembangan dan persepsi mereka terhadap proses makan dan
makanan. Pengetahuan ibu dan faktor lain, seperti daya beli, ketersediaan bahan pangan, kesukaan, dan
waktu mengolah makanan sangat berkaitan dengan pemilihan menu untuk anak-anak dan anggota
keluarga lainnya (Emamian, et al., 2014). C. Penyakit Infeksi dan Water, Hygiene, and Sanitation (WASH)
Stunting merupakan masalah yang kompleks dan dipengaruhi oleh beberapa mekanisme sehingga
diperlukan berbagai kerangka kerja untuk mengatasinya. Penanganan stunting berfokus pada malnutrisi
anak, anak dan ibu dengan gizi kurang, serta ketahanan pangan dan gizi rumah tangga. Penyebab
stunting tidak hanya dipengaruhi oleh faktor biologis, tetapi juga faktor sosial dan lingkungan. Air
(water), sanitasi (sanitation), dan kebersihan (hygiene) (WASH) dapat menjadi faktor determinan
langsung dan tidak langsung pada kejadian stunting. Minum air yang aman, sanitasi, dan kebersihan
sudah diketahui menjadi faktor penting dalam menentukan status kesehatan masyarakat, terutama
pada bayi dan anak. Kebutuhan air minum tidak hanya mencukupi dalam jumlah, tetapi juga kualitas. 82

Kebersihan adalah upaya kesehatan dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan subjeknya,
seperti mencuci tangan dengan air bersih dan sabun untuk melindungi kebersihan tangan, mencuci
piring untuk melindungi kebersihan piring, serta membuang bagian makanan yang rusak untuk
melindungi keutuhan makanan secara keseluruhan (Depkes RI, 2004). Sanitasi adalah upaya kesehatan
dengan cara memelihara dan melindungi kebersihan lingkungan subjeknya, misalnya menyediakan air
yang bersih untuk keperluan mencuci tangan dan menyediakan tempat sampah untuk mewadahi
sampah agar sampah tidak dibuang sembarangan (Depkes RI, 2004). Tiga mekanisme yang dapat
berperan sebagai penghubung WASH dengan kejadian stunting, antara lain adalah kejadian diare; infeksi
cacing tanah (Soil-Transmitted Helminth/STH), seperti ascaris lumbricoides, trichuris trichiura,
ancylostoma duodenale, dan necator americanus; dan kondisi subklinis saluran cerna. Dampak WASH
pada gizi kurang dimediasi dengan adanya paparan patogen enterik serta infeksi simtomatik dan
asimtomatik. Frekuensi diare dengan sebab apa pun, berkaitan dengan kegagalan pertumbuhan anak.
Kaitan diare dengan malnutrisi dapat dijelaskan dalam dua arah, yaitu diare berulang dapat
menyebabkan malnutrisi, sedangkan malnutrisi dapat menyebabkan kerentanan dan meningkatkan
keparahan diare. Meskipun demikian, kajian terbaru menunjukkan diare berulang dapat menjadi faktor
risiko stunting pada anak (Cumming dan Cairncross, 2016). Proportion housetolde with ne acees te
Improved lat Prevatence of stuning Peporten of heoushats withet am tu an mproed tne ant
pevencafturtng n chit tng Pevncl emas the porten af houenoih witena a o an imped leme and the petenn
of nting in dhiem nt 0 monta n ndonee (ded ton o Gambar 18. Proporsi Rumah Tangga Tanpa Jamban
dan Prevalensi Sturting Sumber: Torlesse, et al., 2016 83
Infeksi STH dapat dicegah dengan adanya sanitasi yang cukup dan berkaitan dengan kejadian gizi kurang.
Infeksi cacing tambang selama hamil dapat menyebabkan malabsorpsi zat gizi dan anemia yang
kemudian akan menyebabkan stunting saat bayi lahir. Infeksi bakteri patogen dan kecacingan dapat
menyebabkan terjadinya environmental enteric dysfunction (EED). EED merupakan kondisi sindrom
inflamasi dalam saluran cerna, penurunan kapasitas penyerapan zat gizi, dan penurunan fungsi saluran
cerna. Gangguan fungsi usus dapat berdampak pada fungsi kekebalan tubuh, defisit pertumbuhan, dan
perkembangan anak (Crane dan Berkley, 2015; Cumming dan Cairncross, 2016). D. Status Sosial Ekonomi
dan Ketahanan Pangan Keluarga Secara global, stunting berkaitan erat dengan kemiskinan. Negara-
negara miskin dan menengah merupakan penyumbang masalah stunting terbesar di dunia. Negara
dengan tingkat kemakmuran tinggi dan akses pendidikan serta pelayanan kesehatan yang mudah dan
sejahtera mempunyai prevalensi stunting yang rendah, misalnya pada negara Singapura (United Nations
Development Programme, 2016) Beberapa hasil penelitian menunjukkan hubungan yang erat antara
status ekonomi yang tinggi, peningkatan status kesehatan, dan tingkat malnutrisi pada ibu dan anak.
Perbaikan sosial ekonomi dan pendapatan per kapita di Brazil berhasil menurunkan prevalensi stunting
balita pada tahun 1994 dari 37,1% menjadi 7,1% pada tahun 2007 (Monteiro, et al., 2010). Keluarga
dengan tingkat sosial ekonomi rendah mempunyai keterbatasan daya beli dan pemilihan makanan yang
berkualitas sehingga anak-anak berisiko mengalami malnutrisi lebih tinggi. Status ekonomi yang cukup
memberikan kesempatan orang tua memilih permukiman dengan lingkungan yang bersih dan sehat.
Kemiskinan membatasi kesempatan orang dalam memilih pendidikan formal yang memadai sehingga
kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai juga terbatas. Monteiro, et al. (2010)
menyebutkan bahwa morbiditas yang disebabkan oleh kemiskinan mencapai 45% dari beban penyakit di
negara-negara miskin. Ketahanan pangan mengacu pada kemampuan individu atau kelompok dalam
pemenuhan akses pangan yang baik-dari segi ekonomi dan fisik-, aman, dan bergizi untuk memenuhi
kebutuhan agar dapat hidup sehat. 84

Berbagai penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga yang mengalami kerawanan pangan cenderung
memiliki balita stunting. Status ketahanan pangan keluarga merupakan faktor krusial yang dapat
memengaruhi status gizi anggota keluarga, terutama balita (Safitri dan Nindya, 2017). Penelitian di
Bangladesh menunjukkan bahwa keadaan rawan pangan keluarga berhubungan dengan kejadian
stunting pada balita. Keadaan rawan pangan dalam keluarga dapat meningkatkan risiko kegagalan
pertumbuhan. Kerawanan pangan dalam keluarga dalam jangka yang lama dapat memengaruhi
konsumsi makanan, baik dari segi kuantitas maupun kualitas makanan. Kerawanan pangan berdampak
pada seluruh anggota keluarga, terutama balita, secara terus-menerus sehingga terjadi ketidakcukupan
zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dan berdampak negatif pada pertumbuhan balita, terutama tinggi
badan (Saha, et al., 2009). Anak usia bawah dua tahun pada rumah tangga rawan pangan memiliki risiko
2,62 kali lebih besar mengalami stunting dibandingkan dengan anak usia di bawah dua tahun pada
rumah tangga tahan pangan (Masrin, Paratmanitya, dan Aprilia, 2014). Rumah tangga dengan kategori
tahan pangan memiliki anggota keluarga yang mempunyai akses terhadap pangan, baik jumlah maupun
mutu. Hal ini akan berdampak pada terpenuhinya kebutuhan gizi balita sehingga tercapai status gizi
yang optimal. Balita yang berada dalam kondisi rumah tangga tahan pangan memiliki tingkat kecukupan
energi dan protein yang baik. Berbeda dengan balita dari keluarga rawan pangan yang mengalami
keterlambatan pertumbuhan karena kurang memiliki akses terhadap pangan sehingga porsi makan akan
berkurang untuk berbagi dengan anggota keluarga lainnya (Masrin, Paratmanitya, dan Aprilia, 2014).
Jumlah anggota keluarga turut berperan terhadap ketersediaan pangan dalam rumah tangga. Jumlah
anak dan anggota keluarga yang banyak akan memengaruhi asupan makanan balita dalam keluarga
menjadi berkurang dan distribusi makanan menjadi tidak merata. Balita dapat dikatakan memiliki akses
kurang terhadap pangan jika kualitas dan kuantitas komposisi menu hariannya kurang lengkap serta
frekuensi lauk nabati yang lebih dominan. Kerawanan pangan rumah tangga bercirikan komposisi menu
yang tidak bergizi, tidak berimbang, dan tidak bervariasi, baik secara kualitas maupun kuantitas, dapat
menyebabkan keterlambatan pertumbuhan dan kekurangan gizi pada balita. 85

Anda mungkin juga menyukai