Anda di halaman 1dari 14

Nurasiah: Khitan dalam Literatur Hadis Hukum 81

KHITAN DALAM LITERATUR HADIS HUKUM


Nurasiah
UIN Sumatera Utara
Jl. Willem Iskandar Pasar V, Medan Estate, Sumatera Utara
E-mail: inurasih@yahoo.com

Abstract. Circumcision in Law Hadith Literature. What was found in this paper strengthen Syaltut Mahmud
statement and some other scholars that the orders circumcision, for both men and women, not relying directly on
religious scripture text, because no one else valid hadith regarding circumcision command. The arguments presented
cleric who require circumcision is very weak. According to Mahmud Syaltut, the command of circumcision in Islam
actually be accommodated only through the rule of jurisprudence that injure members of the living body (in this case
circumcision) is allowed if it there is the benefit derived from it.
Keywords: circumcision, Hadith, jurisprudence, nature

Abstrak. Khitan dalam Literatur Hadis Hukum. Apa yang ditemukan dalam makalah ini memperkuat pernyataan
Mahmud Syaltut dan beberapa ulama lainnya bahwa perintah khitan, baik untuk laki-laki maupun perempuan, tidak
bersandar langsung pada teks nas agama, karena tidak ada satu Hadis pun yang sahih mengenai perintah khitan.
Argumentasi yang dikemukakan ulama yang mewajibkan khitan sangat lemah. Menurut Mahmud Syaltut, pensyariatan
khitan dalam Islam sebenarnya diakomodasi hanya lewat kaidah fikih bahwa melukai anggota tubuh makhluk hidup
(dalam hal ini khitan) diperbolehkan apabila dengan itu ada kemaslahatan yang diperoleh darinya.
Kata Kunci: khitan, Hadis, fikih, fitrah

Pendahuluan menerangkan bahwa Nabi Ibrahim adalah orang yang


Sebelum masuk kepada pembahasan khitan pertama melaksanakan khitan dan beliau mengkhitan
perempuan, berikut akan diuraikan sekilas sejarah khitan dirinya sendiri dengan beliung.1 Keterangan tentang
dalam masyarakat-masyarakat dunia sebelum Islam untuk khitan Nabi Ibrahim ini sekaligus menjadi referensi
memberikan gambaran bahwa khitan adalah praktik yang historis Islam bahwa praktik khitan mulai dilaksanakan
mendunia dan telah berumur hampir seumur eksistensi pada zaman Ibrahim. Artinya, umat Islam memahami
manusia itu sendiri. Kalaupun sekarang hanya umat bahwa praktik ini juga dikenal dan merupakan amalan
Islam yang melaksanakan khitan, bukan berarti umat umat-umat sebelum Islam.
Islam yang menyimpang dan menciptakan tradisi yang Eksistensi tradisi khitan di kalangan umat keturun­
asing, melainkan umat Islam saja yang masih secara setia an agama Ibrahim sebelum Islam ternyata ditemukan
meniru dan memelihara amalan Nabi Ibrahim. Kalau dalam sebuah Hadis yang menceritakan tentang mimpi
ternyata sejumlah masyarakat dunia terus mempraktikkan Raja Heraklius. Dikisahkan bahwa pada suatu hari Raja
khitan, artinya penyimpangan-penyimpangan praktik Heraklius bermimpi melihat bintang-bintang di langit
(malpraktik) khitan oleh masyarakat mestinya bukan membentuk gugusan yang menurut tafsiran para ahli
merupakan pemandangan ekslusif dalam masyarakat Islam nujum merupakan isyarat kejatuhan bangsa Romawi
saja dan lebih dari itu, gugatan terhadap penyimpangan dan berpindahnya kekuasaan mereka kepada bangsa
itu tidak bisa diajukan pertanggungjawabannya kepada yang berkhitan. Ketika raja bertanya siapa masyarakat
ajaran atau perintah khitan yang ada dalam agama masing- yang berkhitan, pembesar istana memberitahukan
masing masyarakat tersebut.
Dalam masyarakat Muslim, amalan atau praktik 1
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhârî Hadis no.3107, Muslim
khitan dikaitkan dengan millah Nabi Ibrahim As yang Hadis no.4368 dan Ahmad Hadis no.7932. Tentang Ibrahim
sebagai orang pertama yang melaksanakan khitan terdapat dalam al-
dikenal sebagai bapak para Nabi. Terdapat Hadis yang Muwaththo’ Mâlik, Hadis no.1437. Hadis khitan Ibrahim ini berasal
dari Abû Sufyân melalui sanad al-Zuhrî, ‘Ubayd Allâh ibn ‘Abd Allâh
Naskah diterima: 1 September 2014, direvisi: 4 November 2015, ibn ‘Utbah, dari Ibn ‘Abbâs, yang disebut dalam ilmu hadis sebagai
disetujui untuk terbit: 15 Desember 2014. sanad Ibn ‘Abbâs, yaitu silsilah yang paling sahih.
82 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015

bahwa masyarakat Yahudi saat itu melaksanakan tradisi khitan perempuan Islam tidak memiliki versi sejarah
khitan. Akan tetapi, tiba-tiba datang seorang utusan yang khusus. Barangkali salah satu informasi yang bisa
Raja Ghassan (Basrah) menghadap Heraklius dan mengarah kepada hal ini adalah Hadis ‘Âisyah, yang
mem­ beritahukan tentang munculnya seorang Nabi menyebutkan kelamin laki-laki dan perempuan sebagai
yang setelah diselidiki Heraklius (melalui utusannya ke ‘dua yang dikhitan’.6 Artinya, yang dipahami sebagai
tanah Arab) ternyata Nabi tersebut adalah orang yang yang dikhitan oleh bangsa Arab kala itu bukan hanya
berkhitan dan bangsanya (Arab) adalah bangsa yang kelamin laki-laki. Yang dilakukan ‘Âisyah tersebut
berkhitan. Heraklius pun berkata bahwa inilah raja dari adalah menyebutkan suatu benda melalui keadaan atau
rakyat yang nantinya menaklukkan bangsa Romawi.2 sifat benda itu, yang tampak telah dipahami oleh yang
Kisah di atas menginformasikan bahwa umat mendengar. Ini menjelaskan bahwa pengertian khitan
Yahudi yang merupakan umat sebelum Islam telah me­­ perempuan telah meluas sebelum Islam sehingga ‘Âisyah
laksanakan khitan. Bukti-bukti sejarah juga men­dukung dapat menggunakannya sebagai terminologi, sebab
dan mengkonfirmasi keterangan Hadis ini tentang tidak mungkin dipakai istilah yang masih baru yang
masyarakat yang berkhitan sebelum Islam. Sejarah me­ tidak dimengerti luas. Kemudian, tidak mungkin kata
laporkan bahwa tidak hanya masyarakat Yahudi tetapi tersebut tersebar begitu luas hanya setelah Islam datang
penganut koptik Kristen, sebagian masyarakat Kristen mengingat kemunculan Islam yang membawa ajaran
dan sebagian masyarakat Katolik pada zaman dahulu baru. Tegasnya, penggunaan ‘Âisyah akan kata tersebut
juga melaksanakan khitan, yang bagi mereka tidak menjadi bukti bahwa masyarakat bangsa Arab sebelum
hanya bermakna kesucian secara fisik semata melainkan Islam telah melaksanakan khitan perempuan. Di luar
juga kesucian secara spiritual dan melambangkan informasi Hadis, bukti-bukti arkeolog memperlihatkan
ikatan ketundukan dan legitimasi memasuki kawasan bahwa khitan perempuan tidak muncul hanya setelah
suci Kalam Ilahi dalam rangka perjumpaan dengan Islam datang.
Tuhan. Praktik khitan Nabi Ibrahim ini kenyataannya Ahmad Aness mengutip laporan dari para arkeolog
dilanjutkan oleh para Nabi dan pengikut mereka dari melalui pelbagai sumber, misalnya yang dilaporkan
satu generasi ke generasi berikut­nya sampai sekarang.3 Huber, yang menyebutkan bahwa sebuah papyrus
Hasil penelitian studi antropologi menemukan Mesir kuno melukiskan operasi khitan perempuan
bahwa praktik khitan tidak hanya dijumpai dalam secara terinci. Kemudian sebuah mumi perempuan
masyarakat-masyarakat menetap dimana umat-umat dari abad ke-6 SM menunjukkan tanda-tanda
sebelum Islam tersebar tetapi juga pada bangsa pe­ pemotongan pada alat kelaminnya.7 Khitan perempuan
ngembara yakni bangsa Semit, Hamit dan Hamitoid malah diidentifikasi menjadi bagian dari ritual prosesi
di Asia Barat Daya dan Afrika Timur, beberapa bangsa perkawinan dalam abad ke-2 SM. Begitu pula di
Negro di Afrika Timur dan Afrika Selatan.4 Adapun daerah-daerah lembah Nil yaitu Sudan, Mesir dan
bukti dari Indonesia, salah satu benda kuno yang Ethiopia, tradisi khitan perempuan telah tersebar luas
tersimpan di Museum Batavia yang berasal dari Jawa dan menjadi adat masyarakat pada abad ke-24-25 SM.8
Tengah era sebelum datangnya Islam adalah sebuah
zakar (kelamin laki-laki) yang bentuknya telah dikhitan. Analisis Semantik
Demikian pula ditemukan bahwa tradisi khitan telah Kata ‘khitân’ terbentuk dari akar kata ‫ ن‬،‫ ت‬،‫خ‬. Ibn
dilakukan oleh Suku Badui (suku Sunda asli) yang Faris, pengarang Mu‘jam Maqâyis al-Lughah mengatakan
semua ini menunjukkan bahwa khitan juga telah bahwa akar kata ‫ ن‬،‫ ت‬،‫ خ‬membentuk dua kata yang
diketahui dan dilaksanakan oleh masyarakat tertentu di berbeda. Kata pertama, khatana–yakhtinu-khatn aw
Indonesia sebelum Islam datang ke daerah ini.5 khitânan artinya ‫ القطع‬yaitu ‫ االعذار‬dan
Kalau keterangan Hadis di atas diargumentasikan ‫اخلفض‬. Makna aslinya memotong sebagian tertentu dari
sebagai bukti praktik khitan laki-laki, maka berkenaan anggota tubuh tertentu, tetapi dalam pemakaian sehari-
hari dipahami sebagai memotong alat kelamin laki-laki
2
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhârî Hadis no.600.
3
Alwi Sihab, Islam Inklusif, (Bandung: Mizan, 2001), cet. 9,
dan perempuan. Kata kedua, ‘khatana’ (‫ )خنت‬artinya ‫الصهر‬
h.275-276; Munawar Ahmad Anees, Islam & Biologis umat manusia;
Etika, Gender, dan Tekhnologi, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 6
Lihat note no. 9.
1994), h. 61. 7
A. Huber, “Female Circumcision and Infibulation in Ethiopia”,
4
Munawar Ahmad Anees, Islam & Biologis umat manusia; Etika, sebagaimana dikutip Munawar Ahmad Anees, Islam & Biologis umat
Gender, dan Tekhnologi, h.61. manusia; Etika, Gender, dan Tekhnologi, h. 63.
5
Hassan Hathout, Revolusi Seksual Perempuan, Obstetri dan 8
Dari pelbagai sumber sejarah dan hasil penelitian, dirangkum
Ginekologi dalam Tinjauan Islam, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, 1996), oleh Munawar Ahmad Anees, Islam & Biologis umat manusia; Etika,
h.54. Gender, dan Tekhnologi, h.63-65.
Nurasiah: Khitan dalam Literatur Hadis Hukum 83

yaitu jalinan persaudaraan melalui perkawinan.9 Dalam Ada18 riwayat Hadis di atas memiliki jalur sanad
kamus Ibn al-Manzhûr diterangkan bahwa ‫( خنت‬khatanu) yang berbeda pula.
adalah laki-laki yang mengawini anak perempuan atau­pun Kata ‘khitân’ dengan pengertian ‘pekerjaan me­
saudara perempuan seseorang (yaitu menantu atau ipar). motong alat kelamin’ dapat dilihat contohnya dalam
Bila dikatakan ‘‫( ’خاتنت فالنا‬aku menjadi ‘khatan’ si fulan), sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh semua imam
berarti laki-laki itu mengawini seseorang dari keluarga perawi Hadis kecuali al-Dârimî:
si fulan. Ibn al-Manzhûr mengemukakan pendapat
Ibn Syumayl bahwa hubungan yang timbul dari suatu ‫ اخلتان واإلستحداد‬: ‫الفطرة مخس أو مخس من الفطرة‬
perkawinan dikatakan sebagai hubungan ‫ خماتنة‬dikarenakan . ‫ونتف اإلبط وتقليم األظفار وقص الشارب‬
bertemunya ‘dua yang dikhitan’ dari antara kedua belah
pihak keluarga tersebut.10 Pendapat ini menyatakan bahwa Adapun pengertian kata ‘khitân’ sebagai ‘tempat
kedua makna dan kata yang diturunkan dari akar kata ،‫خ‬ yang dipotong’ atau ‘alat kelamin’ itu dapat dibaca pada
‫ ن‬،‫ ت‬adalah saling berhubungan. Hadis riwayat ‘Âisyah R.a:14
Kata ‘khitân’ merupakan isim mashdar dari kata yang ِْ ‫التَا ُن‬
‫التَا َن َفـ َق ْد َو َج َب الْ َغ ْس ُل‬ ِْ ‫َوَم َّس‬
bermakna ‘memotong’. Kata ‘khitân’ atau ‘khitânât’ se­
bagai bentuk jamaknya adalah nama bagi ‘pekerjaan’ atau Hadis ‘Âisyah ini sekaligus menjelaskan bahwa
‘keahlian’ dari si tukang khitan. Tetapi kata ini kemudian sejak awal kata khitan telah dikenal luas dan dipahami
juga mengacu kepada ‘tempat yang dipotong’ atau alat ma­syarakat Muslim sebagai memotong bagian alat
kelamin itu sendiri. Ibn al-Manzûr men­jelaskan ada yang kelamin dan bukan bagian lain dari anggota tubuh.
berpendapat bahwa kata ‘khitân’ adalah sebutan untuk ‘Âisyah memakai kata ‘khitan’ untuk menerangkan
pemotongan kelamin laki-laki, sedangkan untuk kelamin alat kelamin ketika menjawab persoalan tentang
perempuan dipakaikan kata ‘khafâd’. Pendapat lainnya ‘senggama yang mewajibkan mandi’ yang ditanyakan
mengatakan bahwa kata ‘khitân’ dipakaikan untuk laki- kepadanya. Selain Hadis ‘Âisyah ini, sebuah Hadis dari
laki dan juga perempuan.11 Mâlik juga menjelaskan bahwa sejak awal pengertian
khitan dan tata cara pelaksanaan khitan bagi laki-laki
Kedua makna dari akar kata ‫ ن‬،‫ ت‬،‫ خ‬begitu juga telah umum diketahui. Dalam sebuah Hadis tentang
pelbagai turunan dari kata ‘khitan’ dapat dijumpai ganti rugi (al-‘uqûl) pelukaan badan secara tersalah
pemakaiannya di dalam Hadis sebagaimana dapat atau tidak disengaja, Mâlik memberikan komentar
dilihat dalam ‘Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Nabawî’ bahwa tindakan seorang dokter yang secara tidak
terdapat 18 riwayat Hadis yang memuat kata dengan sengaja memotong hasyafah ketika mengkhitan harus
akar ‫ ن‬،‫ ت‬،‫خ‬. Dari jumlah itu, 14 Hadis berkaitan dengan dikenakan ganti rugi15
khitan (makna memotong alat kelamin), misalnya:12
Adapun istilah ‘khafad’ yang dikemukakan untuk
َ ِ‫الس َلم َوُه َو ابْ ُن ثََان‬
‫ني َسنَ ًة‬ َّ ‫َّب َعلَيْ ِه‬
ُّ ِ ‫ت إِْبـ َرا ِه ُيم الن‬َ َ َ‫ْاخت‬ menyebut khitan perempuan ternyata tidak dijumpai
pemakaiannya di dalam Hadis-Hadis yang di-takhrîj
‫بِالْ َق ُدوم‬ oleh kesembilan imam pengoleksi Hadis atau yang
dan selebihnya bermakna ‘saudara melalui perkawinan’, dikenal dengan ashhâb al-kutub al-tis‘ah, yaitu al-
salah satunya:13 Bukhârî, Muslim, Abû Dâwud, al-Nasâ‘î, al-Tirmidzî,
‫َّب َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم أَ َّن أَُّم َحبِيبَ َة‬
Ibn Mâjah, al-Dârimî, Imâm Ahmad dan Imâm Mâlik.16
ِّ ِ ‫َع ْن َعائِ َش َة َزْوِج الن‬
‫ول اللَّ ِه َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم‬ ِ ‫بِنْ َت َج ْح ٍش َخَتـنَ َة َر ُس‬ 14
Hadis ini di-takhrîj oleh kesembilan imam ahli Hadis. Dalam
Shahîh al-Bukhârî Hadis no.726; Shahîh Muslim, Hadis no.526;
َ ِ‫يض ْت َسبْ َع ِسن‬
‫ني‬ َ ‫ح ِن بْ ِن َع ْو ٍف ْاستُ ِح‬ َّ ‫َوَْت َت َعبْ ِد‬
َ ْ‫الر‬ Sunan Abû Dâwud, Hadis no.186; Sunan al-Tirmidzî, Hadis no.101-

‫ول اللَّ ِه َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ِف َذلِ َك‬


102; Sunan al-Nasâ’î, Hadis no.367; Sunan Ibn Mâjah, Hadis no.600;
َ ‫َاسَتـ ْفتَ ْت َر ُس‬
ْ‫ف‬ Sunan al-Dârimî, Hadis no.823; Musnad Imâm Ahmad, Hadis
no.21.035, 23.075, 23.514, 23.673, 23.886, 24.120; al-Muwaththa’,
9
Ahmad Ibn Faris, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, (Mesir: Maktabah Hadis no.93-94.
al-Khanaji, 1981), Jilid 2, h.245. 15
Imâm Mâlik, al-Muwaththa’, Hadis no.526.
10
Ibn al-Manzhûr, Lisân al-‘Arab, (Beirut: Dar al-Fikri, 1410 16
Istilah-Istilah yang berhubungan dengan sumber pengutipan
H/1990 M), Juz 13, h.137-139. hadis, seperti istilah akhrajahu al-sab‘ah, akhrajahu al-sittah, atau
11
Ibn al-Manzhûr, Lisân al-‘Arab, h.138. Lihat juga keterangan muttafaq ‘alayh, akhrajahu jama‘ah dan lainnya, pengertiannya dapat
Ibn al-Atsîr al-Jazirî yang membedakan istilah khitân bagi laki-laki dan dilihat, misalnya, dalam kitab Muhammad ibn Ismâ‘îl al-Shan‘ânî,
khafâd bagi perempuan, Ibn al-Atsîr al-Jazirî, Jâmi‘ al-Ushûl fî Ahâdîts Subul al-Salâm, (Mesir: Mushhaf al-Babi al-Halabi, 1369/1950),
al-Rusul, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1403/1983), Juz 4, hal.777. Jilid I, h.10-13. Lihat juga Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad al-
12
Al-Bukhârî, Shahîh al-Bukhârî, Hadis no.3107. Syawkânî, Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr,(Beirut: Dâr al-
13
Muslim, Shahîh al-Muslim, Hadis no.526. Fikr, 1403/1983), Jilid I, h.14.
84 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015

Kedudukan, Tujuan dan Hukum Khitan Ibn Hajar al-‘Asqalânî menguraikan perbedaan pen­
Pemahaman tentang kedudukan, tujuan dan hukum dapat berkenaan dilâlah yang ditimbulkan dari sigat
khitan akan dirumuskan melalui pengidentifikasian yang berbeda ini, yaitu: (1) Pendapat pertama menyata­
status (takhrîj) dan penjelasan maksud dan tujuan (syarh) kan bahwa yang harus diperpegangi adalah tunjukan
Hadis-Hadis khitan berikut ini: huruf ‫ ِم ْن‬yang harus dipahami sebagai li al-tab‘îdh
(menyatakan bagian), bukan tunjukan sigat yang
‫ِي َح َّدَثـنَا َع ْن َس ِعي ِد‬
ُّ ‫الزْهر‬
ُّ ‫َال‬ َ ‫َح َّدَثـنَا َعلِ ٌّي َح َّدَثـنَا ُس ْفيَا ُن ق‬ menimbulkan makna ‘pencakupan atau pembatasan’

ٌ ‫ْس أَ ْو َخ‬ ٌ ‫بْ ِن الْ ُم َسيَّ ِب َع ْن أَِب ُه َرْيـ َرَة ِرَوايَ ًة الْ ِف ْط َرُة َخ‬
yang memberikan arti bahwa karakter (khishâl) fitrah
‫ْس‬ hanyalah lima. (2) Pendapat kedua menyatakan bahwa
‫التَا ُن َو ِال ْستِ ْح َدا ُد َوَنـتْ ُف ْالِبْ ِط َوَتـ ْقلِ ُيم‬ ِْ ‫ِم ْن الْ ِف ْط َرِة‬ sigat Hadis yang harus dipegangi adalah yang bermakna
‘membatasi dan cakupan’ dan bahwa kalimat yang
‫ِب‬ َّ ‫َص‬
ِ ‫الشار‬ ُّ ‫الَْ ْظ َفا ِر َوق‬
ٌ ‫ أَ ْو َخ‬adalah sebagai penguat
berhuruf ‘min’ yaitu ‫ْس ِم ْن الْ ِف ْط َرِة‬
Hadis ini merupakan Hadis khitan yang periwayat­ dari kalimat ‫ْس‬ ْ ِ ْ
ٌ ‫ الفط َرُة َخ‬. Jumlah bilangan yang disebutkan
nya paling banyak, yaitu oleh tujuh imam perawi Hadis dalam Hadis adalah hujjah terhadap kekhususan lima
beserta Mâlik dan dengan sejumlah jalur sanad dapat hal yang tersebut di dalamnya.19
dilihat masing-masing dalam Shahîh Bukhârî Hadis Dalam hal ini, Ibn Hajar berpendapat bahwa redaksi
No.6297, Shahîh Muslim Hadis No.377-378, Sunan Hadis yang berawal dengan lafaz nakirah ‘khamsun’ bisa
Abû Dâwud Hadis No.3666, Sunan al-Tirmidzî Hadis dipahami sebagai sifat dari mausûf yang ditakdir­kan
No.2680, Sunan al-Nasâ’î Hadis No.4950-5130, Sunan yaitu kata ‘khishâl’ (unsur atau karakteristik) sehingga
Ibn Mâjah Hadis No.288, Musnad Imâm Ahmad Hadis maknanya menjadi ‘khishâlun (al-fithrah) khamsun’
No.6963, 7479, 8953 dan al-Muwaththo’ Imâm Mâlik atau bisa juga dipahami sebagai idhâfah sehingga ber­
Hadis No.1436. makna ‘khamsu khishâlin (min al-fithrah)’. Tetapi
Sanad awal Hadis ini adalah melalui perawi-perawi Ibn mungkin juga untuk memahami redaksi awal Hadis ini
Syihâb al-Zuhrî, Sa’îd ibn Musayyab dan Abû Hurayrah. sebagai jumlah khabar dari mubtada’ yang ditakdirkan
Rangkaian periwayat ini menurut para ahli Hadis adalah yaitu kalimat ‘alladzî syara’a lakum’ sehingga Hadis
termasuk rangkaian sanad Abû Hurayrah yang paling itu bermakna ‘alladzÎ syara’a lakum khamsan min al-
sahih.17 Selanjutnya, perawi-perawi yang meriwayatkan fithrah’. Dengan begini Ibn Hajar berusaha melegitimasi
dari Ibn Syihâb yaitu Sufyân ibn ‘Uyaynah, Ma’mar dan kesimpulannya bahwa Hadis ini tunjukannya adalah
Yûnus ibn Yazîd adalah perawi yang memiliki kualitas pengkhususan dan karenanya hukumnya wajib.20 Akan
pribadi dan kapasitas intelektual yang tsiqat.18 Dari mereka tetapi kesimpulan berdasarkan sigat pentakdiran seperti
ini menyebar ke sejumlah perawi lainnya hingga sampai ini kurang kuat sebab memungkinkan untuk menerima
kepada pen-takhrîj (penukil terakhir) yaitu imam yang bentuk pentakdiran yang lain.
delapan di atas. Hadis ini diriwayatkan oleh lebih satu Pendapat pertama yang mengargumentasikan bahwa
perawi pada setiap tingkatan sanadnya dan selain itu telah Hadis ini tunjukannya adalah li al-tab‘îdh lebih tepat
di- takhrîj oleh Bukhari dan Muslim. Berdasarkan keadaan karena terbukti, seperti juga diperlihatkan Ibn Hajar,
ini maka Hadis ini telah diidentifikasi oleh para ahli Hadis terdapat Hadis-Hadis lain yang juga mengkhusus­
sebagai Hadis sahih. kan satu perbuatan lainnya. Misalnya, Hadis dari Ibn
Seperti yang umum terjadi dalam Hadis yang me­ ’Umar yang memakai lafaz yang sama yaitu ‘al-fithrah
miliki sejumlah jalur sanad yang berbeda, dalam Hadis khamsun…’ dan ‘khamsun min al-fithrah…’ tetapi
ini juga terdapat sedikit perbedaan redaksi dan letak hanya menyebut satu dari lima hal di atas. Hadis lain
urutan kata antara pelbagai riwayat. Walaupun terlihat riwayat ‘Ismâîl menyebut tiga hal saja tidak termasuk
minor, perbedaan tersebut menimbulkan konsekwensi khitan, dan dalam riwayat lainnya pula menyebut 4 hal
penafsiran dan juga hukum yang berbeda secara termasuk di dalamnya khitan. Sementara Hadis lain
mendasar berkenaan dengan perbuatan-perbuatan yang dari ‘Âisyah yang dinukil oleh Muslim menyebutkan
disebutkan dalam matan Hadis tersebut, termasuk di ‘Asyar min al-Fitrah’, yang isinya adalah semua yang
dalamnya khitan. disebutkan dalam Hadis ‘khamsun min al-fitrah’ riwayat
Ma‘mar dan Sufyân di atas minus khitan, ditambah
17
Jalâl al-Dîn al-Suyuthî, Tadrîb al-Râwî, (Beirut: Dâr al-Fikri, enam hal yaitu î‘fa’ al-lihyah (mencabut bulu kemaluan),
1414 H/1993 M), h.83. siwâk (menyikat gigi), madhmadhah (berkumur-kumur),
18
Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf al-Mazdî, Tahdzîb al-Kamâl fî
Asmâ’ al-Rijâl, (Beirut: Mausû’ah al-Risâlah, 1988), Jilid. 12, h.66 dan
Jilid 9, hal. 90. Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, 19
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.347.
(al-Qâhirah: Dâr al-Maktabah al-Salafiyah, 1407 H), Jilid 10, hal. 349. 20
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h. 347.
Nurasiah: Khitan dalam Literatur Hadis Hukum 85

istinsyâq (menghirup air dan menumpahkannya untuk itu dengan menafsirkannya sebagai perbuatan-per­
membersihkan hidung), gasl al-barâjim (mencuci sela- buatan fitrah yang diujikan kepada Nabi Ibrahim
sela jari) dan istinjâ’ (bersuci dari najis). Terdapat pula sebagaimana tercantum dalam Q.s. al-Baqarah [2]: 124.
Hadis dari ‘Ammâr ibn Yasâr yang diriwayatkan Ahmad, Dikarenakan sifatnya sebagai ujian, maka disimpulkan
Abû Dâwud, dan Ibn Mâjah yang menyebut ‘asyara sebagai perbuatan wajib. Lalu kewajiban perbuatan ini
min al-fitrah’ tetapi dengan beberapa pengurangan dan kepada Nabi Ibrahim menjadi umum kepada seluruh
penambahan dari hal-hal yang disebutkan dalam Hadis umat Muslim berdasarkan firman Allah dalam Q.s. al-
‘Âisyah.21 Walhasil, Ibn Hajar menggabungkan semua Nahl [16]: 123.
yang disebutkan pelbagai Hadis dan mencatat 15 macam Ada dua penafsiran makna fitrah dalam Hadis ini.
perbuatan kebersihan yang disifati dengan lafaz fitrah. Penafsiran pertama mengartikannya sebagai al-dîn yaitu
Sementara Qâdhî Abû Bakr ibn al-‘Arabî dikatakan Ibn agama dan kedua sebagai Sunah Nabi.24 Ibn al-Shalâh,
Hajar menetapkan 30 perbuatan yang menjadi fitrah.22 sebagaimana dikutip Ibn Hajar, mengatakan bahwa
Berdasarkan Hadis-Hadis tentang perbuatan-per­ makna fitrah dalam Hadis ini sedikitpun tidak bisa
buatan fitrah di atas yang diakui Ibn Hajar sebagai sahih, diartikan sebagai Sunah, tetapi kalau fitrah dianggap
dimana isinya adalah perbuatan-perbuatan kebersihan sebagai mudhâf ilayh dari kata Sunah yang dihilangkan
yang alamiah atau fitrah manusiawi, maka tidak terlihat mungkin saja, sehingga redaksi awal Hadis tersebut
kekhususan pentingnya perbuatan-perbuatan yang di­ menjadi:
sebutkan dalam Hadis ‘khamsun min al-fitrah’, dan
konsekuensinya perbuatan-perbuatan dalam Hadis ٌ ‫الْ ِف ْط َرِة َخ‬
‫ْس ُسنُّة‬
ini tidak dapat lebih diutamakan sehingga harus di­ Fitrahnya sunah ada lima. Tetapi Imâm Nawâwî
hukumkan berbeda dari perbuatan-perbuatan dalam mengkritik pendapat Ibn al-Shalâh ini dan men­
Hadis-Hadis kebersihan lainnya. Artinya, penetapan dukung pendapat al-Khaththâbî yang mengartikan
hukum wajib terhadap perbuatan-perbuatan dalam kata fitrah sebagai Sunah itu sendiri, dengan didasarkan
Hadis ‘khamsun min al-fitrah’ –dimana khitan adalah kepada sebuah Hadis Bukhârî. Hadis tersebut awal­
salah satunya– yang didasarkan pada argumentasi bahwa nya berbunyi ‘min sunnatî’ kemudian isinya persis
dilâlah Hadis ini adalah ‘al-hashr’ atau ‘pencakupan dan pekerjaan-pekerjaan yang ada dalam Hadis ‘al-fithrah
pengkhususan’ tidak bisa diterima. khamsun aw khamsun min al-fithrah’ di atas. Al-Nawâwî
Begitu juga berkenaan kedudukan masing-masing menyatakan –menurut Ibn Hajar dikuatkan oleh al-
perbuatan dalam Hadis tersebut, kelimanya ber­keduduk­ Mâwardî dan Abû Ishâk al-Syirâzî –bahwa penafsiran
an sama yaitu sama-sama perbuatan fitrah, dan yang satu makna dalam suatu Hadis berdasarkan riwayat Hadis
tidak dapat dikhususkan kepentingannya dan dilebihkan yang lain adalah lebih sahih apalagi Hadis tersebut juga
kekuatan perintahnya dari yang lain kecuali ada dalil lain berasal dari Bukhârî.25 Selanjutnya Ibn Hajar men­
yang menyatakan status khusus dari suatu perbuatan. jelaskan bahwa kalaupun fitrah diartikan sebagai Sunah
Berdasarkan Hadis ini saja maka perbuatan khitan adalah berdasarkan Hadis riwayat ibn ‘Umar tersebut, kata-
sama wajib dan sama sunatnya dengan mencukur kumis, kata Sunah disini adalah bermakna jalan (tharîqah) dan
misalnya. Persoalannya, apakah mencukur kumis dan bukan sebagai lawan dari wajib. Hal ini berdasarkan
memotong kuku juga mencapai status wajib? Apakah pendapat al-Mâwardî dan al-Ghazâlî yang menyatakan
lafaz fitrah dalam Hadis ini mengisyaratkan kewajiban ? bahwa kata Sunah dalam Hadis Ibn ‘Umar tersebut
Apakah yang dimaksud dengan fitrah dalam Hadis ini ? adalah sama dengan kata Sunah dalam Hadis ‘alaikum
bisunnatî wa sunnati al-khulafâ’ al-râsyidîn’.26
Kata fitrah dalam Hadis ini memang ada yang men­
jadikannya sebagai argumentasi kewajiban khitan.23Hal Argumen yang dikemukakan Ibn Daqîq al-‘Îd
me­ngenai makna fitrah dan konsekuensi hukumnya
21
Semua Hadis yang menyebut perbuatan fitrah ini berjumlah adalah, sebagaimana dapat dilihat dalam Ibn Hajar,
5 Hadis termasuk Hadis “Khamsun min al-Fithrah”dari Ma’mar, bahwa fitrah dalam Hadis ini bermakna agama. Dengan
dikumpulkan Ibn Atsîr dalam satu topik. Di dalamnya dia memberikan makna ini maka perbuatan yang disandarkan kepada
keterangan tentang periwayat-periwayat, nomor dan tempat serta
status masing-masing Hadis. Lihat Ibn al-Atsîr al-Jazirî, Jâmi‘ al-Ushûl kata ‘fithrah’ tersebut otomatis menjadi bagian dari
fî Ahâdîts al-Rusul, h.773-775; Menurut Ibn Hajar, Hadis-Hadis ini rukun agama bukan sebagai pelengkapnya, kecuali ada
dapat dijadikan hujjah karena disahihkan oleh Hadis ‘Âisyah, Lihat dalil lain menjelaskan demikian. Pendapat lainnya yang
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h. 347
22
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.347.
23
Pendapat ini dikemukakan oleh al-Bayhaqî sebagaimana dikutip 24
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.351.
Ibn Hajar dalam Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, 25
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.351-352
h.354. 26
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.352.
86 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015

mengimplikasikan kata fithrah sebagai sesuatu yang menjadi bagian diri manusia dan telah dipahaminya,
wajib datang dari Qâdî Abû Bakr ibn al-‘Arabî yang tidak diperlukan suruhan yang bersifat memaksa untuk
mengatakan bahwa perbuatan yang disebutkan dalam melakukannya.29
Hadis ‘al-fithrah khamsun aw khamsun min al-fithrah’ Selain pendapat di atas, adalah menarik untuk me­
ini hukumnya wajib, dimana kalau ditinggal atau tidak mahami isyarat Hadis ini dengan melihat penempatan
dikerjakan oleh seseorang maka dia tidak lagi memiliki dan pembahasannya dalam kitab para ahli Hadis. Ibn
fitrah sebagai manusia atau tidak menjadi manusia yang Hajar menerangkan kenapa Hadis tertentu ditempat­
sewajarnya.27 kan pada kitab dan bab tertentu. Artinya, penempatan
Pendapat lainnya tidak memahami kata fitrah sebagai dan pengelompokan pembahasan suatu Hadis mesti
sesuatu yang berimplikasi kepada hukum wajib. Abû mengandung makna tertentu dan memberikan ke­
Syâmah mengatakan bahwa arti fitrah dalam Hadis ini terangan tambahan tertentu tentang suatu Hadis.
adalah penciptaan awal (khalqah al-mubtadi’ah), seperti Dalam Sahih Bukhârî, Hadis ‘khamsun min al-fithrah’
yang diperlihatkan dalam Q.s. Fâthir [35]: 1 dan Hadis terdapat pada kitab Libâs dan juga Isti’dzân, dan dalam
‘‫’كل مولود يولد على الفطرة‬. Madlûl Hadis ini menurutnya kitab Libâs terdapat pada bab Qashsh al-Syârib dan
adalah bahwa setiap orang kalau tetap dalam kondisi Taqlîm al-Azhfâr. Ini artinya, fokus utama pembahasan
seperti saat penciptaan awalnya (kelahirannya) dan Hadis ini bukanlah masalah khitan. Diterangkan Ibn
tidak dimasuki atau terbebas dari segala pengaruh yang Hajar, penempatan pada kitab Libâs dikarenakan
merubah dan merusak pemikiran dan pandangan­ Hadis itu membicarakan masalah yang terkait dengan
nya, maka ia pasti tetap dalam agama yang benar yaitu perhiasan dan keindahan yang merupakan makna Libâs
agama tauhid. Dengan makna ini maka dapat di­pahami itu sendiri. Libâs atau pakaian dipahami sebagai simbol
kelanjutan Hadis tersebut bahwa “orang tuanya­ umum dan unsur utama dari perhiasan dan keindahan.30
lah yang mempengaruhinya menjadi Yahudi ataupun Dari pelbagai pendapat yang dikemukakan berkena­
Nasrani”. Sama halnya, perbuatan-perbuatan yang an dengan dilâlah Hadis ‘khamsun min al-fithrah’, ter­
dinyatakan sebagai perbuatan fitrah dalam Hadis yang lihat bahwa dari segi penggunaan kata (sigat lafaz), dari
sedang dibahas ini, kalau dilakukan maka si pelaku­ segi makna fitrah, maupun dari segi konteksnya, Hadis
nya akan berada dalam karakter awal yang diberikan ini tidak dapat dikatakan mengimplikasikan perintah
Allah kepada setiap manusia, sebuah karakter yang Dia wajib. Hadis ini menjelaskan bahwa khitan adalah
jadi­kan manusia sangat membutuhkannya dan Dia pekerjaan yang tergolong kepada lingkup kepentingan
perintahkan manusia untuk melakukannya agar mereka manusia secara individu. Dengan kata lain, pelaksanaan
terus berada dalam karakter yang sebaik-baiknya dan khitan lebih terkait dengan aspek-aspek kepentingan
kondisi fisik yang memuliakan diri mereka.28 Akan manusiawi seseorang ketimbang kepentingan sosial
tetapi, tegas Abû Syâmah, perbuatan-perbuatan fitrah dan kepentingan ibadah dalam maknanya yang khusus.
yang disebutkan dalam Hadis tersebut adalah berkenaan Memang beberapa kitab Hadis menempatkannya pada
dengan kebaikan penampilan dan kesehatan fisik pembahasan tentang thahârah dalam konteks ibadah,
manusia, yaitu hal-hal yang terkait dengan kebersihan akan tetapi kondisi kebersihan yang akan dicapai
yang tidak membutuhkan adanya perintah wajib atau melalui pelbagai perbuatan dalam Hadis dimaksud
pemaksaan dari Tuhan, dan akan terlaksana melalui temasuk khitan bukanlah kesucian yang menjadi syarat
panggilan jiwa dan kebutuhan manusia sendiri, karena dan rukun pelaksanaan ibadah, dan kotoran yang
itu cukup dengan isyarat perintah sunat saja. Pendapat ditimbulkan akibat melalaikan perbuatan tersebut
al-Baydhawî senada dengan ini ketika mengatakan adalah termasuk kotoran yang dimaafkan atau bukan
bahwa makna fitrah mencakup semuanya yaitu al- merupakan najis yang menghalangi sahnya pekerjaan
Ikhtirâ‘ wa al-jiblah, al-dîn dan al-sunnah. Hal ini karena ibadah.
fitrah itu adalah Sunah umat-umat terdahulu yang
diseleksi dan dipraktikkan oleh Nabi dan kemudian Menariknya, ulama mazhab sepakat tentang hukum
dilegitimasi syariah. Jadi, perbuatan-perbuatan fitrah sunat perbuatan-perbuatan lainnya tetapi berbeda dalam
dalam Hadis dimaksud adalah perkara-perkara alamiah hal khitan. Ada yang menghukumi Sunah, ada yang
yang telah ditetapkan pada diri manusia sejak awal menghukum Sunah mu’akkadah dan ada pula yang
penciptaan mereka, berarti bagian dari diri dan mesti meng­hukumkan wajib.31 Jadi, bila hanya bersandar pada
sudah dimengerti oleh manusia. Logikanya, karena
29
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.352.
30
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.347
27
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.352. 31
Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh,(Damaskus:
28
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.352. Dar al-Fikri, 1997), Jilid III, h.461-463.
Nurasiah: Khitan dalam Literatur Hadis Hukum 87

Hadis ini, khitan adalah perbuatan untuk kepentingan juga oleh Ibn ‘Addi dan al-Bayhaqî dari Abû Hurayrah
kebersihan individu seorang manusia dan memiliki dari Nabi Saw.33
kedudukan hukum yang sama dengan memotong
kuku, mencukur kumis, mencabut bulu ketiak dan
‫َح َّدثَِن َع ْن َمالِك َع ْن َْي َي بْ ِن َس ِعي ٍد َع ْن َس ِعي ِد بْ ِن‬
kemaluan, yang semua hal ini dihukumi sebagai Sunah. ‫َال َكا َن إِْبـ َرا ِه ُيم َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم أَ َّو َل‬َ ‫الْ ُم َسيَّ ِب أَنَُّه ق‬
Akan tetapi, bagaimanakah ke-hujjah-an khitan dalam
Hadis khitan yang lain, dan bagaimana para ulama ِ ‫ت َوأَ َّو َل الن‬
‫َّاس‬ َ َ َ‫َّاس ْاخت‬ِ ‫الضيْ َف َوأَ َّو َل الن‬ َّ ‫َّاس َضيَّ َف‬ ِ ‫الن‬
mengargumentasikan Hadis yang lain ini sebagai dasar ‫َال يَا َر ِّب‬ َ ‫الشيْ َب َفـق‬ َّ ‫َّاس َرأَى‬ ِ ‫ِب َوأَ َّو َل الن‬ َ ‫الشار‬ َّ ‫َص‬ َّ ‫ق‬
ke-hujjah-an ataupun kelemahan hukum khitan. Untuk
ini akan dimulai dengan melihat Hadis khitan Ibrâhim َ ‫َار يَا إِْبـ َرا ِه ُيم َفـق‬
‫َال‬ ٌ ‫َال اللَّ ُه َتـبَ َار َك َوَتـ َع َال َوق‬
َ ‫َما َهذَا َفـق‬
berikut ini: ُ ‫س ْعت َقـ ْوله َتـ َع َال َيـق‬
‫ُول‬ ِ َ ‫َال َْي َي و‬ َ ‫َارا ق‬
ً ‫يَا َر ِّب ِزْد ِن َوق‬
‫ح ِن‬ َّ ‫َح َّدَثـنَا ُقـَتـيْبَ ُة بْ ُن َس ِعي ٍد َح َّدَثـنَا ُم ِغريَُة بْ ُن َعبْ ِد‬
َ ْ‫الر‬ ‫الش َف ِة َوُه َو ْالِ َط ُار‬ َّ ‫ِب َح َّت َيـبْ ُد َو َط َر ُف‬ ِ ‫الشار‬ َّ ‫ُيـ ْؤ َخ ُذ ِم ْن‬
‫الزنَا ِد َع ْن الَْ ْع َرِج َع ْن أَِب ُه َرْيـ َرَة َر ِض َي‬ ِّ ‫ُر ِش ُّي َع ْن أَِب‬ َ ‫الْق‬ ‫َوَل يَُ ُّزُه َفـيُ َمثِّ ُل بَِنـ ْف ِسه‬
‫ول اللَّ ِه َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم‬ ُ ‫َال َر ُس‬ َ ‫َال ق‬ َ ‫اللَّ ُه َعنْ ُه ق‬ Dalam riwayat lain alat khitan Nabi Ibrahim di­sebut
‫َدوِم‬ ُّ ‫ني َسنَ ًة بِالْق‬
َ ِ‫الس َلم َوُه َو ابْ ُن ثََان‬ َّ ‫ت إِْبـ َرا ِه ُيم َعلَيْ ِه‬ َ َ َ‫ْاخت‬ al-qaddûm dengan huruf dâl yang di-tasydîd. Kemudian
terdapat beberapa riwayat lain yang menyebutkan
َ ‫الزنَا ِد َوق‬
‫َال‬ ِّ ‫َح َّدَثـنَا أَبُو الْيَ َما ِن أَ ْخَبـ َرنَا ُش َعيْ ٌب َح َّدَثـنَا أَبُو‬ tentang usia Ibrahim ketika dikhitan adalah 120 tahun
‫اق َع ْن أَِب‬ َ ‫ِس َح‬ْ ‫ح ِن بْ ُن إ‬ َّ ‫بِالْ َق ُدوِم مَُ َّف َف ًة تَاَبـ َع ُه َعبْ ُد‬
َ ْ‫الر‬ dan bukan 80 tahun. Al-Mâwardî mengargumentasikan
Hadis khitan Ibrahim ini sebagai dalil wajib dengan
‫الزنَا ِد تَاَبـ َع ُه َع ْج َل ُن َع ْن أَِب ُه َرْيـ َرَة َوَرَوا ُه مَُ َّم ُد بْ ُن َع ْمرٍو‬ِّ alasan tidak mungkin Ibrahim berkhitan pada usia
‫َع ْن أَِب َسل ََم َة‬ sedemikian kalau bukan karena perintah wajib.34 Tetapi
kesimpulan ini tidak mutlak tepat karena mungkin juga
Hadis ini diriwayatkan oleh Bukhârî dan Muslim Ibrahim melaksanakan itu walaupun dengan perintah
secara muttafaq ‘alayh dimana keduanya menukil me­ Sunah dari Tuhan ataupun dikarenakan ketundukan dan
lalui jalur sanad yang persis sama mulai dari perawi inisiatif sendiri untuk mendapatkan keridaan Tuhan.
pertama sampai terakhir, dan selain itu diriwayatkan Begitupun, ternyata Ibn Hajar mendapati sebuah Hadis
juga oleh Imâm Ahmad dalam Musnad Ahmad Hadis yang dikatakannya sebagai rangkaian dari Hadis di atas,
no.7932. yang menjelaskan bahwa Ibrahim memang diwajibkan
Para perawi Hadis ini dikenal luas sebagai orang untuk mengerjakannya. Hadis dimaksud diterangkan
yang zhâbith dan tsiqat. Hadis khitan Ibrahim ini tidak Ibn Hajar diriwayatkan oleh al-Bukhârî dari sanad Mûsâ
diragukan kesahihannya. Hadis inilah yang paling ibn ‘Alî ibn Râbah dari Bapaknya.35
banyak digunakan sebagai dasar ke-hujjah-an khitan, Pertama sekali yang harus diajukan adalah per­
setelah dalil keharaman membuka aurat kecuali untuk soalan tentang status Hadis ini yang tidak terdapat
sesuatu yang wajib dan dalil qiyas kepada hukum dalam kitab koleksi Hadis yang mu‘tamad. Selain
kisas. Imâm al-Bayhâqî, setelah menyimpulkan bahwa itu, terlihat bahwa Hadis ini dikemukakan dalam
Hadis ‘khamsun min al-fithrah’ tidak bisa dijadikan kerangka mendemonstrasikan ketaatan dan kepatuhan
dalil kewajiban khitan, selanjutnya menyatakan bahwa Ibrahim dan bukan pembicaraan tentang perintah­
sebaik-baik hujjah kewajiban berkhitan hanyalah nya. Kalaupun memperlihatkan perintah khitan maka
Hadis Ibrahim dari Abû Hurayrah riwayat Bukhârî- perintah ini tunjukannya adalah bagi Ibrahim sendiri
Muslim tersebut.32 Terlihat bahwa redaksi Hadis dan tidak otomatis mengenai seluruh manusia. Arti­
Ibrahim di atas adalah berbentuk deskriptif (khabar), nya, efektifitas keberlakuannya secara umum mem­
yaitu bahwa Ibrahim mengkhitan dirinya pada usia butuhkan dukungan dalil yang lain. Al-Nawâwî
80 tahun dengan al-qadûm. Terdapat Hadis lain yang umpama­ nya mengajukan ayat-ayat Alquran tentang
juga berbentuk khabar mengkonfirmasi bahwa Nabi ke­wajiban mematuhi Ibrahim sebagai dasar wajibnya
Ibrahim melakukan khitan, tetapi Hadis yang kedua khitan bagi seluruh manusia sebagaimana diwajibkan
ini hanya diriwayatkan oleh Mâlik. Dalam al-Jazirî
diterangkan bahwa Hadis yang kedua ini adalah mursal, 33
Ibn al-Atsîr al-Jazirî, Jâmi‘ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rusul, Jilid 4,
h.776; Dalam al-Muwaththo’, Hadis no. 1437.
tetapi kemudian menjadi sahih karena diriwayatkan 34
Dikutip dalam Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-
Bârî, h.354.
32
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.353, 354. 35
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.354-355
88 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015

bagi Ibrahim. Q.s. al-Nahl [16]: 123, kata al-Nawâwî, Akan tetapi, walaupun Hadis-Hadis ini lebih jelas
memerintahkan manusia untuk mengikuti syariat Nabi tunjukan perintahnya, ternyata terdapat persoalan
Ibrahim A.s. yang hal ini berkonsekuensi bahwa segala sekitar status dan kesahihannya. Hadis pertama di
ajaran beliau wajib diikuti kecuali ada dalil lain yang atas diriwayatkan oleh Abû Dâwud dan Imâm Ahmad
mengkhususkan hanya untuk Ibrahim. Kenyataannya, melalui satu jalur sanad, dapat dilihat dalam Sunan Abû
banyak sekali ayat-ayat dan Hadis yang menunjuk­kan Dâwud Hadis no.129 dan 302. Dalam Musnad Ahmad
kekhususan Nabi Ibrahim serta kepatuhannya sebagai Hadis no.14885. Dalam Hadis ini dikatakan Nabi
hamba dan memerintahkan untuk mengikuti sifat memerintahkan kakek ‘Âshim ibn Kulayb untuk mem­
dan amalan Ibrahim.36 Akan tetapi, masih saja dapat bersihkan dan menghilangkan pemikiran-pemikiran
di­
ajukan argumentasi bahwa kewajiban mematuhi kufurnya dan berkhitan. Akan tetapi disepakati bahwa
Ibrahim ini tidak otomatis pemberlakuan kewajiban sanad Hadis ini adalah daif. Ibn Munzir mengatakan
pada detail perbuatannya, sebab kalau demikian maka bahwa Hadis ini sama sekali tidak bisa dipercaya terlepas
syariat khitan dapat ditangguhkan ketika berusia 80 dari kemungkinan untuk membuat khitâb Hadis yang
tahun sebagaimana halnya yang terjadi pada Nabi khusus tersebut menjadi umum.37
Ibrahim. Hadis kedua dari Ibn ‘Abbâs dinukil oleh Bukhârî
Terdapat beberapa Hadis lainnya yang lebih jelas dan Imâm Ahmad dalam Sahih Bukhârî Hadis
mengisyaratkan hukum khitan dengan menggunakan no.5825, 5826 dan Musnad Ahmad Hadis no.2259,
lafaz perintah (imperative) yaitu: 2470 dan 3185. Ibn Hajar mengatakan bahwa Bukhârî
menggugurkan sanad Hadis ini pada dua tingkat, (1)
‫َال أَ ْخَبـ َرِن َع ْن‬ َ ‫اق أَ ْخَبـ َرنَا ابْ ُن ُج َريْ ٍج ق‬ َّ ‫َح َّدَثـنَا َعبْ ُد‬
ِ ‫الرَّز‬ Dengan menisbahkannya kepada Ismâ’îl ibn Ja‘far
‫َّب َصلَّى‬ َّ ِ ‫ُعَثـيْ ِم بْ ِن ُكلَيْ ٍب َع ْن أَبِي ِه َع ْن َج ِّد ِه أَنَُّه َج َاء الن‬ padahal Hadis tersebut sampai ke Mûsâ tidak melalui
Ismâ’îl langsung melainkan melalui perantaraan
‫َال أَلْ ِق َعنْ َك َش َع َر‬ َ ‫َال قَ ْد أَ ْسل َْم ُت َفـق‬ َ ‫اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم َفـق‬ seseorang, apakah dia Qutaybah atau ‘Alî ibn Hajar.
‫َّب َصلَّى‬ َّ ِ ‫آخ ُر َم َع ُه أَ َّن الن‬َ ‫َال َوأَ ْخَبـ َرِن‬
َ ‫ُول أَ ْحلِ ْق ق‬ ُ ‫الْ ُك ْف ِر َيـق‬ Kemudian, dari Israil ke Ismâ’îl seharusnya melalui
perantaraan juga, apakah melalui ‘Abd Allâh ibn Mûsâ
‫ت‬ْ ِ َ‫َال ِل َخ َر أَلْ ِق َعنْ َك َش َع َر الْ ُك ْف ِر َو ْاخت‬ َ ‫اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق‬ atau melalui Muhammad Ibn Sâbiq. Ini pengujian dari
segi sanad, yang artinya Hadis ini berstatus munqathi‘.
‫وسى‬ َ ‫الرِحي ِم أَ ْخَبـ َرنَا َعبَّا ُد بْ ُن ُم‬ َّ ‫َح َّدَثـنَا مَُ َّم ُد بْ ُن َعبْ ِد‬ Dari segi matan, perawi Hadis Ismâ’îl sendiri me­
‫اق‬َ ‫ِس َح‬ ْ ‫يل َع ْن أَِب إ‬ َ ِ‫ِس َرائ‬
ْ ‫يل بْ ُن َج ْع َف ٍر َع ْن إ‬ َْ ‫َح َّدَثـنَا إ‬
ُ ‫ِسا ِع‬ ngatakan tidak mengetahui secara jelas perkataan siapa
atau siapa sebenarnya yang mengucapkan kalimat akhir
‫اس ِمثْ ُل َم ْن أَنْ َت‬ ٍ َّ‫َال ُسئِ َل ابْ ُن َعب‬ َ ‫َع ْن َس ِعي ِد بْ ِن ُجَبـ ْيٍ ق‬ Hadis ini yaitu:
‫َال أَنَا َيـ ْوَمئِ ٍذ‬َ ‫َّب َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق‬ ُّ ِ ‫ِض الن‬ َ ‫ني قُب‬ َ ‫ِح‬ َّ ‫َال َوَكانُوا َل َْيتِنُو َن‬
‫الرُج َل َح َّت يُ ْدرِك‬ َ‫ق‬
‫الرُج َل َح َّت يُ ْدرِك‬ َّ ‫َال َوَكانُوا َل َْيتِنُو َن‬ َ ‫َْمتُو ٌن ق‬ Yang pasti ini adalah perkataan sahabat dan bukan
perkataan Nabi.38
‫اج‬ِ ‫ال َّج‬ َْ ‫َح َّدَثـنَا ُس َريْ ٌج َح َّدَثـنَا َعبَّا ٌد َيـ ْع ِن ابْ َن الْ َع َّوا ِم َع ِن‬
Selain itu, al-Zuhrî mengatakan bahwa Hadis
‫َّب َصلَّى اللَّ ُه‬ َّ ِ ‫يح بْ ِن أُ َسا َم َة َع ْن أَبِي ِه أَ َّن الن‬ ِ ِ‫َع ْن أَِب الْ َمل‬ dari Ibn ‘Abbâs ini adalah mudhtarib (bertentangan
‫ِّسا ِء‬َ ‫ال َم ْك ُرَم ٌة لِلن‬ ِ ‫التَا ُن ُسنٌَّة لِ ِّلرَج‬
ِْ ‫َال‬ َ ‫َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق‬ dengan Hadis serupa dari riwayat lain yang sanadnya
sama kuat).39 Walaupun Ibn Hajar berusaha untuk
ِ ‫الد َم ْش ِق ُّي َو َعبْ ُد الْ َوه‬
‫َّاب‬ ِّ ‫ح ِن‬ َّ ‫َح َّدَثـنَا ُسلَيْ َما ُن بْ ُن َعبْ ِد‬
َ ْ‫الر‬ menggabungkan dan men-tarjîh beberapa riwayat yang
ada, tetapi usahanya itu tidak melepaskan status Hadis
‫َال َح َّدَثـنَا َم ْرَوا ُن َح َّدَثـنَا‬ َ ‫الرِحي ِم الَْ ْش َج ِع ُّي ق‬ َّ ‫بْ ُن َعبْ ِد‬ ini sebagai Hadis yang diperselisihkan.
‫وف َع ْن َعبْ ِد‬ ُّ ِ ‫َّاب الْ ُك‬
ِ ‫َال َعبْ ُد الْ َوه‬ َ ‫مَُ َّم ُد بْ ُن َح َّسا َن ق‬ Dari segi sanad, semua Hadis ini sama kuat. Hadis
dari al-Zuhrî disampaikan melalui rangkaian al-ashah
‫الْ َملِ ِك بْ ِن ُع َم ْيٍ َع ْن أُِّم َع ِطيََّة الَْنْ َصا ِريَّ ِة أَ َّن ا ْم َرأًَة َكانَ ْت‬ al-asânîd Ibn ‘Abbâs, maksudnya rangkaian melalui
‫َّب َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم َل‬ ُ ِ ‫َْت‬
َ ‫ت بِالْ َم ِدينَ ِة َفـق‬
ُّ ِ ‫َال لََا الن‬
‫ِن َذلِ َك أَ ْح َظى لِل َْم ْرأَِة َوأَ َح ُّب إ َِل الَْبـ ْع ِل‬ َّ ‫ِكي فَإ‬ِ ‫ُتـنْه‬
37

38
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.354.
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Jilid 6, h.89.
39
Pernyataan al-Zuhrî ini dinukil dalam Ahmad ibn ‘Alî ibn
Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.89. Tentang hadis Mudhtarib baca,
Misalnya dalam Hadis-Hadis Bukhârî pada ‘Kitâb Anbiyâ’, bab
36
misalnya, Mahmûd al-Tahhân, TaysÎr Mushthalah al-Hadîts, (Beirut:
‘Ibrahim sebagai Kekasih Allah’. Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1399 H/1979 M), h.112-113.
Nurasiah: Khitan dalam Literatur Hadis Hukum 89

jalur al-Zuhrî kemudian ‘Ubaydillâh ibn ‘Abd Allâh Ibn Hajar, walaupun dia mengajukan ada riwayat yang
ibn ‘Utbah lalu Ibn ‘Abbâs.40 Di pihak lain, Hadis yang bisa dipercaya berkenaan dengan Hadis ini, tetapi dia
diriwayatkan Bukhârî adalah Hadis yang terseleksi se­ beralasan bahwa kata-kata Sunah bila terdapat dalam
bagai sahih. Sementara riwayat Ahmad dari sanad Abû Hadis bukan bermakna hukum Sunah. Karenanya,
Bisyrin dipandang Ibn Hajar sebagai sambungan atau menurut beliau, walaupun Hadis ini dapat dijadikan
disandarkan kepada Hadis Bukhârî, dan karenanya juga pedoman, tetapi tidak mematahkan kesimpulan bahwa
sahih.41 Karena Hadis Bukhârî, Ahmad, dan al-Zuhrâ hukum khitan adalah wajib.
sama kuat, maka matan yang satu tidak dapat dikuatkan Terlepas dari kelemahan status Hadis ini secara
atas yang lainnya sehingga menjadi mudhtarib. Di atas sanad, matan Hadis ini tidak bertentangan dengan
semua ini, matan Hadis Ibn ‘Abbâs ini kalaupun dapat pemahaman yang lebih sahih terhadap Hadis khamsun
dipercaya, adalah lebih tepat menjadi bukti bahwa min al-fithrah, bahwa perbuatan-perbuatan yang ter­
praktik khitan telah menyebar dan masyhur pada masa sebut di dalamnya adalah Sunah, yang disimpulkan
Nabi dan bukan menjadi dalil bahwa Nabi mewajibkan berdasarkan kaidah bahasa dan dukungan nas Hadis
khitan pada usia ketika anak telah dapat memahami sahih lainnya. Selain itu, walaupun secara literal dan
sesuatu. redaksi Hadis ini diragukan eksistensinya, akan tetapi
Status Hadis ketiga dari ibn Usâmah dari bapaknya, secara makna Hadis ini cukup akurat merefleksi­kan
dinukil oleh Abû Dâwud dan Imâm Ahmad. Ini adalah konteks sosiologis khitan dalam masyarakat Islam
satu-satunya Hadis dengan redaksi yang jelas mem­ awal.45 Kelemahan status Hadis ini lebih menjelaskan
beritahu hukum khitan. Akan tetapi Hadis ini tidak lagi bahwa Nabi memang tidak mensabdakan hukum
memadai untuk dijadikan sandaran guna menyelesaikan khitan secara pasti apakah itu wajib atau sunat. Di
perbedaan dalam penetapan hukum khitan. Hal ini lain pihak, terlepas dari pelaksanaannya yang telah
karena secara status Hadis ini diklaim oleh ahli Hadis meluas, Hadis ini merefleksikan terjadinya perbedaan
sebagai daif dengan tingkatan paling rendah. Perawinya pandangan masyarakat tentang khitan dan karenanya
Hajjâj ibn Arthah diklaim sebagai mudallas (pemalsu memanifestasikan tuntutan akan kepastian hukum
Hadis atau tepatnya sering mengelirukan periwayatan tentang kedudukan khitan. Akan tetapi kemungkinan
Hadis).42 Akan tetapi, menurut Ibn Hajar terdapat besar perdebatan yang terjadi adalah tentang khitan
periwayat lain yaitu dari al-Thabrânî melalui sanad perempuan karena Hadis-Hadis yang ada meng­
Sa’îd ibn Basyar dari Qatâdah dari Jâbir ibn Zayd dari isyaratkan kenyataan yang kuat bahwa khitan laki-
Ibn ‘Abbâs. Begitu juga, kata Ibn Hajar, ada riwayat laki telah dipahami cara dan hukumnya di masa itu.
dari Imâm al-Bayhaqî dari Ibn ‘Abbâs yang sanadnya Hadis ini muncul dalam konteks dan permasalahan
marfû‘,43 tetapi menurut pernyataan al-Bayhaqî sendiri khitan perempuan. Kemungkinan tujuannya adalah
Hadis yang diriwayatkannya tersebut lemah, walaupun untuk menetapkan hukum khitan perempuan itu
sebenarnya dapat digolongkan kepada Hadis mauqûf.44 sendiri dan kemudian untuk tujuan pembedaan yang
Sementara itu, pandangan al-Bayhaqî bahwa khitan ingin dilakukan antara hukum khitan laki-laki dan
adalah Sunah bukan didasarkan pada Hadis ini, me­ perempuan, walaupun tujuan dan upaya ini akhir­
lainkan pada Hadis “khamsun min al-fithrah”, yang nya tidak tercapai. Hal ini karena pernyataan Hadis
telah dibahas di awal. bahwa khitan perempuan itu mulia bukan merupakan
Bagi golongan yang berpendapat bahwa hukum pandangan umum atau populer masyarakat masa itu,
khitan adalah wajib, baik bagi perempuan dan laki- terbukti Hadis ini muncul dari kalangan pinggiran dan
laki, kelemahan status Hadis ini dipakai sebagai bukti dari orang yang diklaim sebagai tidak tsiqat sehingga
memperkuat pendapat mereka. Sementara bagi pihak membuat Hadis ini menjadi daif.
yang menyimpulkan bahwa khitan adalah Sunah, maka Adalah menarik bahwa Hadis ini, terlepas dari
yang dilakukan adalah menolak kelemahan status Hadis status­nya yang diperselisihkan, menjadi referensi bagi
ini dan mengajukannya sebagai hujjah. Berbeda dengan sebagian fukaha untuk membedakan antara hukum
khitan bagi laki-laki dan perempuan. Padahal, dalam
alasan-alasan mereka tentang hukum khitan bagi laki-
40
Subhî al-Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushtalahuhu, (Beirut: Dâr
al-‘Ilm li al-Malâyin, 1973), h. 367 laki tidak secara khusus bisa dikenakan kepada laki-
41
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.90. laki saja. Berarti dasar dan alasan hukum khitan bagi
42
Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad al-Syawkânî, Nayl al- perempuan menurut golongan ini tidak jelas dan hanya
Awthâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr, Jilid 1, h.139; Ahmad ibn ‘Alî ibn
Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Jilid 10, h.353.
43
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.353. A. Azami, Studies in Hadis Methodology and Literature, (Indiana:
45

44
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.353. American Trusts Publications, 1978), h.52-55
90 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015

didasarkan pada persepsi bahwa hukum antara laki-laki Ini kalau Hadis tersebut tidak diklaim lemah oleh para
dan perempuan harus dibedakan. ahli Hadis. Informasi yang diberikan Hadis ini tentang
Kalau Hadis di atas menginformasikan tentang per­ telah berjalannya tradisi khitan perempuan didukung
debatan khitan perempuan secara hukum, maka Hadis oleh Hadis lainnya dari ‘Âisyah, yang diriwayatkan oleh
di bawah ini mengisyaratkan adanya perdebatan dan seluruh pen-takhrîj Hadis yang masyhur dan mu’tamad.
perbedaan sekitar pelaksanaan khitan perempuan: Kenyataan bahwa Nabi membiarkan praktik khitan
perempuan dalam Hadis ini sejalan dengan kesimpulan
ِ ‫الد َم ْش ِق ُّي َو َعبْ ُد الْ َوه‬
‫َّاب‬ ِّ ‫ح ِن‬ َّ ‫َح َّدَثـنَا ُسلَيْ َما ُن بْ ُن َعبْ ِد‬
َ ْ‫الر‬ bahwa aturan tentang kebersihan dalam Hadis khamsun
‫َال َح َّدَثـنَا َم ْرَوا ُن َح َّدَثـنَا‬ َ ‫الرِحي ِم الَْ ْش َج ِع ُّي ق‬ َّ ‫بْ ُن َعبْ ِد‬ min al-fithrah adalah berlaku untuk laki-laki dan
perempuan.
‫وف َع ْن َعبْ ِد‬ ُّ ِ ‫َّاب الْ ُك‬
ِ ‫َال َعبْ ُد الْ َوه‬ َ ‫مَُ َّم ُد بْ ُن َح َّسا َن ق‬
Terlepas dari sanadnya yang lemah, Hadis di atas
‫الْ َملِ ِك بْ ِن ُع َم ْيٍ َع ْن أُِّم َع ِطيََّة الَْنْ َصا ِريَّ ِة أَ َّن ا ْم َرأًَة َكانَ ْت‬ sejalan dan memperkuat pesan dasar Hadis khitan yang
‫َّب َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم َل‬ ُ ِ ‫َْت‬
َ ‫ت بِالْ َم ِدينَ ِة َفـق‬
ُّ ِ ‫َال لََا الن‬
sahih. Pesan umum Hadis yang sahih adalah bahwa
khitan untuk kebersihan dalam rangka kenyamanan
‫ِن َذلِ َك أَ ْح َظى لِل َْم ْرأَِة َوأَ َح ُّب إ َِل الَْبـ ْع ِل‬ َّ ‫ِكي فَإ‬ِ ‫ُتـنْه‬ dan kebahagiaan manusia. Konsekuensinya, tata cara
khitan harus menyampaikan tujuan dari dilakukannya
Hadis dari Umm ‘Atiyyah ini hanya di-takhrîj oleh khitan itu sendiri. Dalam hal ini, ulama fikih sepakat
Abû Dâwud seorang dalam kitabnya Hadis no.4587. bahwa pemotongan kulit kelamin pada pria adalah
Abû Dâwud mengatakan selain dari Umm ‘Atiyyah, seluruh bagian yang menutupi hasyafah. Sementara
Hadis ini juga diriwayatkan oleh ‘Ubayd Allâh ibn ‘Amr pemotongan kulit kelamin pada perempuan adalah
dari ‘Abd al-Mâlik. Sedangkan Ibn Hajar menemukan bagian farj paling atas yaitu cukup memotong bagian
riwayat Hadis ini dari Dihâk ibn Qays yang di-takhrîj yang menonjol saja, tidak boleh berlebih dan tidak
al-Bayhaqî dan oleh Bukhârî di-takhrîj dari Anas dan boleh memotong semua bagian itu.48
Umm Aymân. Tetapi menurut Abû Dâwud, Hadis dari
Sayyid Sâbiq menyatakan bahwa pemotongan kulit
‘Ubayd Allâh adalah mursal. Dan Hadis dari Umm
yang menutupi hasyafah adalah agar tidak menyimpan
‘Atiyyah terdapat perawi Muhammad ibn Hasan yang
kotoran, mudah dibersihkan ketika kencing dan dapat
tidak dikenal (majhûl) dan karenanya Hadis ini adalah
me­rasakan kenikmatan jimak secara maksimal. Sementara
daif. 46Ibn Hajar juga menyatakan bahwa para pakar
tujuan khifadh, sebagaimana dikemukakan oleh Ibn
Hadis ada yang menyatakan Hadis ini bermasalah
Taymiyah, sebagai satu cara menstabilkan syahwat dan
(ma’lûl), ada yang menyatakan lemah (daif ) dan ada
me­nanggulangi perbuatan zina. Sebaliknya, bila khifadh
yang mengatakan tidak dikenal (majhûl). Dia juga
dilaksanakan secara berlebihan maka akan menimbulkan
mengutip Ibn al-Munzir yang mengatakan bahwa
akses lemah syahwat. Oleh karena itu dibutuhkan kehati-
Hadis ini sama sekali tidak bisa dipercaya.47
hatian dalam melaksanakannya.49
Seperti disebutkan di atas, Hadis ini merefleksi­
kan terjadinya perdebatan mengenai cara khitan
Hadis tentang Waktu Berkhitan
perempuan. Kemungkinan salah paham pada khitan
perempuan ini adalah lebih besar karena walaupun Beberapa Hadis terkait dengan waktu pelaksanaan
secara tradisi diketahui bagian mana yang dipotong, khitan antara lain adalah:

َ ‫الرِحي ِم أَ ْخَبـ َرنَا َعبَّا ُد بْ ُن ُم‬


َّ ‫َح َّدَثـنَا مَُ َّم ُد بْ ُن َعبْ ِد‬
tidak ada kejelasan mengenai seberapa ukuran yang
harus dipotong, berbeda dengan laki-laki yang di­
‫وسى‬
ketahui secara tegas bagian dan ukuran yang di­ ‫اق‬َ ‫ِس َح‬ ْ ‫يل َع ْن أَِب إ‬َ ِ‫ِس َرائ‬
ْ ‫يل بْ ُن َج ْع َف ٍر َع ْن إ‬ َْ ‫َح َّدَثـنَا إ‬
ُ ‫ِسا ِع‬
potong. Kalau Hadis ini dipercaya sebagai berasal dari
Nabi, maka kesimpulannya Nabi juga menyetujui ‫اس ِمثْ ُل َم ْن أَنْ َت‬ ٍ َّ‫َال ُسئِ َل ابْ ُن َعب‬َ ‫َع ْن َس ِعي ِد بْ ِن ُجَبـ ْيٍ ق‬
khitan perempuan. Seperti dapat dibaca, teks tersebut َ ‫َّب َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم ق‬
‫َال أَنَا َيـ ْوَمئِ ٍذ‬ ُّ ِ ‫ِض الن‬َ ‫ني قُب‬ َ ‫ِح‬
menginformasikan bahwa Nabi mengetahui adanya
praktik khitan perempuan dan mengetahui pula dampak َّ ‫َال َوَكانُوا َل َْيتِنُو َن‬
‫الرُج َل َح َّت يُ ْدرِك‬ َ ‫َْمتُو ٌن ق‬
bila terjadi kelebihan pemotongan pada kelamin
perempuan, tetapi Nabi tidak mengeluarkan larangan. ‫ِش ٍر َع ْن‬ ْ ‫َح َّدَثـنَا مَُ َّم ُد بْ ُن َج ْع َف ٍر َح َّدَثـنَا ُش ْعبَ ُة َع ْن أَِب ب‬
‫ول اللَّ ِه‬ ُ ‫ات َر ُس‬ َ ‫َال َم‬ َ ‫اس ق‬ ٍ َّ‫َس ِعي ِد بْ ِن ُجَبـ ْيٍ َع ِن ابْ ِن َعب‬
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud, Hadis no. 5271.
46

Ibn Hajar al-‘Asqalânî, Talkhîsh al-Habîr, (Madina al-


47 48
Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, Jilid 3, h.640.
Munawwarah: t.p, 1964), Jilid 4, h. 83. 49
Sayyid Sâbiq, Fiqh Sunnah, (Kairo: Dâr al-Fikr, 1987), Jilid 1, h.36.
Nurasiah: Khitan dalam Literatur Hadis Hukum 91

‫ني َوأَنَا َْمتُو ٌن‬ َ ِ‫َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم َوأَنَا ابْ ُن َع ْش ِر ِسن‬
yang menganjurkan khitan dilaksanakan pada masa-
masa bayi dan masa kanak-kanak, yaitu seumur 7
‫ِش ٍر َما‬ ْ ‫ْت ِلَ ِب ب‬ ُ ‫َال َفـ ُقل‬ َ ‫َوقَ ْد َقـ َرأْ ُت الْ ُم ْح َك َم ِم ْن الْق ُْرآ ِن ق‬ hari, 40 hari atau masa-masa giginya tumbuh setelah
tanggalnya gigi susuan (waktu ishghâr). Adapun waktu
َ ‫الْ ُم ْح َك ُم ق‬
‫َال الْ ُم َف َّص ُل‬ selambat-lambatnya adalah umur 7 sampai 10 tahun.
Pendapat ini dipegang oleh ulama-ulama tertentu dari
‫ِش ٍر َع ْن َس ِعي ِد بْ ِن‬ ْ ‫َح َّدَثـنَا َوِكي ٌع َح َّدَثـنَا ُش ْعبَ ُة َع ْن أَِب ب‬ seluruh madzhab, antara lain al-Mâwardî, al-Sarakhsî,
‫َّب َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه‬ ُّ ِ ‫ِض الن‬ َ ‫َال قُب‬َ ‫اس ق‬ ٍ َّ‫ُجَبـ ْيٍ َع ِن ابْ ِن َعب‬ sebagian ulama-ulama Hanbali dan Imam Malik.50

َ ِ‫َو َسلَّ َم َوأَنَا ابْ ُن َع ْش ِر ِسن‬


‫ني َْمتُو ٌن َوقَ ْد َقـ َرأْ ُت ُْم َك َم الْق ُْرآ ِن‬ Pandangan yang mengkaitkan khitan sebagai per­
buatan untuk tujuan suatu kepentingan seperti ke­
Terdapat perbedaan penekanan makna dan tujuan bersihan atau kesucian atau bahkan untuk kepentingan
khitan antara Hadis khamsun min al-fithrah dengan jimak akan menetapkan umur khitan pada usia di atas
Hadis khitan Ibrahim, walaupun sebenarnya keduanya 10 tahun atau pada saat menjelang akil balig atau pada
tidak bertentangan dan dapat saling melengkapi. umur dewasa ketika memerlukannya untuk berjimak.
Seperti telah diungkapkan, Hadis khitan Ibrahim Dalam hal ini terdapat pendapat dalam Madzhab Syafi’i
adalah menginformasikan aspek kepatuhan dan ke­ yang mengharamkan khitan sebelum usia 10 tahun,
tundukan Ibrahim sebagai Nabi kepada Tuhan. dengan alasan anak boleh dipukul untuk melaksanakan
Perbuatan khitan Ibrâhîm adalah suatu objek ujian shalat adalah mulai umur 10 tahun. Lantas, kalau untuk
dan merupakan syariat dari Tuhan kepada Ibrahim. kepentingan shalat saja anak baru boleh dipukul pada
Sementara dalam Hadis khamsun min al-fithrah terlihat usia 10 tahun, bagaimana mungkin untuk menyakiti­
penekanan tujuannya pada kepatuhan seorang Muslim nya dengan khitan untuk kepentingan kebersihannya
mengikuti Sunah Nabinya, tetapi dalam posisi Nabi sebelum umur 10 tahun. Ini adalah argumen yang
(Muhammad) sebagai seorang manusia yang Muslim, dikemukakan Qâdhî Husayn dan al-Baghawî.51 Satu
bukan dalam rangka menguji keimanannya kepada pendapat ulama Hanafiyyah mengatakan bahwa
Tuhan. Pada Hadis Ibrahim tidak diisyaratkan motif- khitan adalah untuk kesucian dan kesucian diperlukan
motif dan rasionalitas perbuatan khitan, sedangkan setelah akil baligh, maka khitan dilaksanakan setelah
pada Hadis yang kedua dapat dipahami secara jelas akil baligh karena anak-anak tidak wajib bersuci.52
motif, rasionalitas dan tujuan pelaksanaan khitan, yaitu Ibn Hajar berpendapat bahwa tujuan khitan tidaklah
untuk kepentingan dan kesenangan manusia itu sendiri terbatas untuk kepentingan jimak sehingga harus me­
setidaknya, yang paling jelas, untuk kebersihan dan nunggu pelaksanaannya pada saat diperlukan untuk
kenyamanan mereka sebagai makhluk manusia. memfungsikan anggota tubuh tersebut. Tujuan yang
Perbedaan pendekatan dalam memahami makna, lebih utama adalah untuk menjaga kebersihan, karena
tujuan dan fungsi khitan ini berimplikasi kepada itu ketika timbul kekhawatiran tertahannya sisa kotoran
perbedaan dalam menetapkan hukum dan juga waktu dari kemaluan di kulit yang tergantung (qulfah) hingga
pelaksanaan khitan. Hal ini terbukti dari alasan-alasan dapat mengotori pakaian atau badan, maka saat itu
yang dikemukakan ulama dalam menetapkan waktu langsung diperlukan untuk memotongnya, yaitu ketika
khitan. Seperti terlihat dalam kitab-kitab fikih atau mendekati usia akil baligh pada saat anak mulai disuruh
rangkuman pelbagai pendapat fukaha tentang khitan, untuk shalat.53
ulama dalam satu madzhab memiliki alasan dan dalil Semua ketentuan waktu khitan yang ditetapkan
kewajiban khitan yang berbeda dan konsekuensinya ulama di atas mereka sandarkan kepada Hadis tanpa
dalam satu madzhab perbedaan pendapat juga terjadi mementingkan status Hadis itu bisa dijadikan hujjah
tentang waktu dilaksanakannya khitan. Bagi pendapat atau tidak. Apa yang terlihat mereka mengambil
yang berpandangan bahwa khitan adalah pelaksanaan suatu Hadis yang bisa mendukung kerangka pikir
dan kepatuhan kepada syariat murni, maka logika yang dan pendekatan mereka terhadap khitan. Pelaksanaan
berkembang adalah bahwa pelaksanaan khitan harus khitan pada usia bayi yaitu 7 hari ditemukan Hadisnya
dilaksanakan dalam waktu sedini mungkin, yaitu dalam
jangka waktu mulai lahir sampai masa kanak-kanaknya. 50
Dirangkum secara detail misalnya dalam Sa’ad Muhammad al-
Kalau terdapat halangan yang membutuhkan penundaan Marshafî, Ahâdîst al-Khitan-Hujjiyatuhâ wa Fiqhuhâ”, diterjemahkan oleh
pelaksanaan khitan pada diri seseorang, maka tuntutan Amir Amin Zakaria, Khitan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 53.
51
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, h.355.
khitan tidak gugur sampai masa seseorang berumur 52
Dikutip dalam Sa’ad Muhammad al-Marshafî, Ahâdîst al-Khitan-
80 tahun, yaitu umur Ibrahim melaksanakan khitan. Hujjiyatuhâ wa Fiqhuhâ”, h.49.
Termasuk dalam lingkup alasan ini pendapat-pendapat 53
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Jilid 6, h.89-90.
92 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015

dari praktek Nabi sendiri, dari sanad Wâlid ibn Muslim tersebut yang mengantarkan kepada kekhususan wajib­
dari Zuhayr ibn Muhammad dari ibn al-Minkadar nya khitan. Perintah khitan terdapat dalam Hadis
dan lainnya dari Jâbir bahwa Nabi Saw mengkhitan tentang kebersihan dan itu digandengkan dengan
cucunya Hasan dan Husayn ketika berumur 7 hari. perbuatan-perbuatan pembersihan tubuh lainnya. Arti­
Begitu juga Hadis riwayat al-Bayhaqî dari sanad Jâbir nya, secara substansial, syariat khitan adalah untuk
dan juga dari sanad Mûsâ ibn ‘Alî dari bapaknya bahwa men­ capai tujuan tentang kebersihan dan kesucian
Ibrahim A.s. mengkhitan Ishaq A.s. pada saat berusia 7 tubuh yang menjadi jalan bagi terpeliharanya maqâshid
hari.54 Untuk pendapat yang mengatakan usia 10 tahun, al-syarî’ah melindungi jiwa. Karena itu, secara lafaz
mendekati akil baligh dan saat akil baligh mendasarkan dan makna perintah khitan sama pentingnya dengan
diri pada Hadis Ibn ‘Abbâs yang di-takhrîj oleh Bukhârî perbuatan pembersihan tubuh lainnya. Hal ini men­
dan Imam Ahmad. Semua ulama sepakat tidak ada jelas­
kan bahwa terbentuknya kepentingan khusus
perbedaan waktu khitan bagi laki-laki dan perempuan.55 khitan bahkan hingga menjadi stampel status keislaman
seorang Muslim banyak dipengaruhi oleh budaya dan
Walimah Khitan kultur masyarakat. Dalam hal ini, pemikiran yang
dikembangkan misalnya bahwa khitan menyangkut
Ada satu Hadis yang menjelaskan tentang walimah organ vital dan paling pribadi manusia dimana
khitan, yaitu: perlakuan terhadapnya menuntut kehati-hatian dan
‫اق َيـ ْع ِن‬
َ ‫ِس َح‬ ْ ‫ان َعن ابْ ِن إ‬ َْ ‫َح َّدَثـنَا مَُ َّم ُد بْ ُن َسل ََم َة‬
ُّ ِ ‫ال َّر‬ dipenuhi mitos-mitos. Misalnya lagi bahwa khitan
hanya dilakukan sekali seumur hidup sehingga perlu
َ ‫مَُ َّم ًدا َع ْن ُعبَيِ ِد اللَّ ِه أَ ْو ُعَبـيْ ِد اللَّ ِه بْ ِن َطل‬
‫ْح َة بْ ِن َكرِي ٍز َع ِن‬ dilakukan upacara khusus yang di sebagian masyarakat
‫اص إ َِل ِختَا ٍن فَأَ َب‬ ِ ‫َال ُد ِع َي ُعثْ َما ُن بْ ُن أَِب الْ َع‬ َ ‫ال َس ِن ق‬ َْ malah disamakan dengan upacara perkawinan karena
perkawinan justru mungkin terjadi dua kali.
‫التَا َن َعلَى َع ْه ِد‬ ِْ ‫َال إِنَّا ُكنَّا َل نَْأ ِت‬ َ ‫يل لَُه َفـق‬ َ ‫ِيب فَ ِق‬َ ‫أَ ْن ُي‬ Adalah menarik bahwa Nabi tidak memberikan
‫ول اللَّ ِه َصلَّى اللَّ ُه َعلَيْ ِه َو َسلَّ َم َوَل نُ ْد َعى لَُه‬ ِ ‫َر ُس‬ satu keterangan yang jelas, tegas dan terbuka tentang
hukum khitan. Begitu juga beliau sama sekali tidak
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam menyinggung tentang bagaimana beliau melaksanakan
Musnadnya, Hadis no.17.333. Dalam Hadis ini di­ Sunah tersebut. Adalah suatu kesimpulan kuat bahwa
sebutkan bahwa Utsman diundang untuk menghadiri khitan bukanlah sesuatu yang wajib dan sebagai syariat
walimah khitan tetapi dia menolak dan mengatakan inti agama karena kalau demikian halnya tidak mungkin
bahwa sesungguhnya para Sahabat tidak pernah meng­ Alquran dan juga Nabi tidak memiliki keterangan tegas
hadiri acara khitan pada masa Rasulullah Saw dan tidak tentang kewajiban ini. Memang terdapat riwayat-riwayat
diundang untuk menghadirinya. yang menyebutkan khitan Nabi. Ada yang menyebut­kan
Pendapat ini bukan Hadis tetapi perkataan dan bahwa Nabi telah terkhitan sewaktu lahir, riwayat lain
keterangan Sahabat. Bukhârî menerangkan bahwa yang menyebutkan Nabi dikhitan oleh Jibril sewaktu malaikat
dimaksud dalam Hadis ini adalah berkenaan dengan itu mendatanginya untuk membersihkan dadanya
walimah khitan perempuan. Jadi tidak ada Hadis marfû‘ dan ada yang menyebutkan bahwa Nabi dikhitan oleh
dari Nabi yang menerangkan tentang walimah khitan. kakek­­nya, ‘Abd al-Muththalib sewaktu anak-anak karena
Keterangan-keterangan tentang walimah khitan, baik khitan telah menjadi adat bangsa Arab masa itu. Akan
itu walimah khitan laki-laki atau perempuan, adalah tetapi semua riwayat ini telah diteliti sebagai daif, syâdz
dari para Sahabat. dan tidak bisa dijadikan hujjah.56
Selanjutnya, berkenaan dengan perbuatan-perbuatan
Penutup yang disebutkan dalam Hadis sahih “khamsun min al-
Dari penelitian terhadap Hadis-Hadis khitan yang fithrah”, para ulama sepakat bahwa semua hukumnya
sahih, yaitu Hadis dengan redaksi “khamsun min al- sunat, kecuali dalam hal khitan mereka terbagi menjadi
fithrah dan Hadis tentang khitan Ibrahim tidak di­ 4 yaitu: (1) Pendapat yang masyhur dari Madzhab Syafi’i
temukan alasan dari segi lafaz dan makna Hadis-Hadis bahwa khitan wajib bagi laki-laki dan perempuan.
(2) Pendapat yang masyhur dari Mazhab Maliki dan
Hanafi bahwa khitan adalah sunat bagi laki-laki dan
54
Hadis-Hadis ini diselidiki tidak kuat oleh Ibn Qayyim. Lihat perempuan. (3) Pendapat yang masyhur dari Madzhab
bukunya, Ibn Qayyim, Tuhfah al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd,
(Kairo: Dâr al-Syurûq, t.t), h.107. Hanbali, juga merupakan pendapat sebagian ulama
55
Sa’ad Muhammad al-Marshafî, Ahâdîst al-Khitan-Hujjiyatuhâ
wa Fiqhuhâ”, h.48-56. 56
Ibn Qayyim, Tuhfah al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd, h.127-128.
Nurasiah: Khitan dalam Literatur Hadis Hukum 93

Syafi’i bahwa khitan adalah wajib bagi laki-laki dan Maksudnya, aspek kepentingan dan tujuan khitan
sunat bagi perempuan. (4) Pendapat lain dari ulama lebih mengarah kepada kebutuhan fisik dan biologis
Hanafi, Maliki dan Hanbali bahwa khitan adalah sunat individu manusia ketimbang kepada kepentingan
bagi laki-laki dan mustahab bagi perempuan.57 Terlihat keyakinan dan sosial kemasyarakatan mereka. Dengan
bahwa sebagian pendapat tidak membuat pembedaan kata lain, orientasi kemaslahatan individu adalah se­
hukum antara laki-laki dan perempuan dan sebagiannya suatu yang mendasari legitimasi keberadaan dan pen­
lagi melakukan pembedaan. syariatan khitan. Karena karakternya yang bersifat
Adapun ulama yang mewajibkan khitan, kesimpulan manusiawi dan personal, maka setiap individu, baik
mereka tidak didasarkan kepada dalil teks nas melain­kan laki-laki atau perempuan, telah memahami dengan
dengan dalil analisis dan rasional. Ada yang mencoba sendirinya dan memiliki kebebasan yang relatif penuh
mengajukan dalil Hadis tetapi oleh ahli Hadis diklaim me­ndapatkan kemaslahatan, manfaat dan ke­pentingan
sebagai Hadis daif.58 khitan bagi diri mereka sendiri. Dengan pemikiran
ini, jelaslah bahwa praktik-praktik khitan yang me­
Apa yang ditemukan dalam makalah ini memper­ ngorban­kan kemaslahatan manusia adalah merupa­kan
kuat pernyataan syekh Mahmud Syaltut dan beberapa penyimpangan dan anomali dari fungsi dan tujuan
ulama lainnya, bahwa perintah khitan, baik untuk laki- khitan itu sendiri.
laki maupun perempuan, tidak bersandar langsung
pada teks nas agama karena tidak ada satu Hadis pun Hadis memang tidak memberikan petunjuk yang
yang sahih mengenai perintah khitan dan alasan yang jelas dan teknis tentang bagaimana tata cara khitan itu
dikemukakan ulama yang pro wajib khitan adalah dilakukan. Dalam khitan perempuan misalnya, tidak
sangat lemah. Menurut Mahmud Syaltut, pensyariatan ditegaskan apakah sebatas menyentuh ujung klitoris
khitan dalam Islam sebenarnya diakomodasi hanya atau membuang sebagian klitoris dan bagaimana
lewat kaidah fikih bahwa melukai anggota tubuh ukuran sebagian tersebut. Akan tetapi prinsip ke­
makhluk hidup (dalam hal ini khitan) diperbolehkan maslahatan individu, yang merupakan dasar dan misi
apabila dengan itu ada kemaslahatan yang diperoleh pelaksanaan khitan dalam Islam, baik bagi laki-laki
darinya.59 dan perempuan, jelas akan menghindarkan masyarakat
Muslim dari praktik-praktik khitan yang menindas,
Adalah menarik bahwa tidak didapati redaksi Hadis seperti membuang sebagian besar atau seluruh klitoris,
Nabi yang tegas tentang hukum khitan, disamping memotong sebagian atau seluruh labia minora (bibir
bukti-bukti yang cukup kuat bahwa praktik khitan kecil vagina) atau pun menjahit labia majora (bibir luar)
telah tersebar dan meluas pada masa Nabi. Kesimpulan setelah terlebih dahulu membuang seluruh klitoris yang
yang dapat diajukan adalah bahwa khitan merupakan semua ini dibuktikan merugikan dan mensengsarakan
sesuatu yang kepentingannya tidak terkait langsung perempuan secara seksual dan fisik.60
dengan syariat inti agama Islam dan artinya disunahkan.
Karena itu, Nabi mencukupkan keterangannya tentang Terakhir adalah menarik untuk melihat per­
khitan tersebut dengan redaksi Hadis “khamsun min kembangan yang terjadi dalam pemahaman dan
al-fithrah’. Kemungkinan kedua adalah tidak terjadi praktik sebagian masyarakat Indonesia berkenaan
perdebatan tentang hukum khitan pada masyarakat dengan walimah khitan dan waktu pelaksanaan khitan
Muslim masa Nabi yang menuntut Nabi memberikan perempuan, mengingat Hadis tentang walimah khitan
jawabannya atau masyarakat Muslim masa Nabi telah jelas tidak mengimplikasikan perintah apalagi tuntutan
memahami kedudukan dan hukum sunat khitan. dan mengingat semua pendapat dalam fikih klasik
Ditinjau dari konteks pembahasan Hadis-Hadis 60
Nahid Toubia, Female Genital Mutilation: A Call For Global Action
yang memuat keterangan tentang khitan terlihat bahwa (USA: United Nation Plaza, 1993), h.211. Toubia mengungkapkan
khitan muncul dalam konteks Hadis tentang kebersihan bahwa termasuk bentuk-bentuk mutilation perempuan yang menindas
yang sifatnya sangat personal dan alamiah manusiawi. adalah: (1) Clitoridectomy, yaitu menghilangkan sebagian besar atau
seluruh alat kelamin luar. Yang termasuk dalam kategori ini yaitu
menghilangkan sebagian besar atau seluruh klitoris dan menghilangkan
57
Lihat ulasan detail Sa’ad Muhammad al-Marshafî, Ahâdîst al- klitoris dan sebagian bibir kecil vagina (labia minora). (2) Infibulation,
Khitan-Hujjiyatuhâ wa Fiqhuhâ”, h.25-32, 36-42; Ahmad ibn ‘Alî yaitu menghilangkan seluruh klitoris serta sebagian atau seluruh
ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Jilid 10, h.354. Muhammad ibn labia minora, kemudian labia majora dijahit dan hampir menutupi
‘Alî ibn Muhammad al-Syawkânî, Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqâ seluruh vagina. Bagian yang terbuka hanya disisakan sedikit saja
al-Akhbâr, Jilid 1, h.138. Wahbah al-Zuhaylî, Al-Fiqh al-Islâmî wa untuk pembuangan darah menstruasi yang kadangkala hanya sekecil
Adillatuh, h.642. kepala batang korek api. Jika perempuan tersebut menikah dan akan
58
Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar al-‘Asqalânî, Fath al-Bârî, Jilid 10, bersenggama (sexual intercourse), baru kulit tersebut dipotong atau
h.354. dibuka kembali. Hal ini salah satu adat untuk menjaga keperawanan si
59
Mahmud Syaltut, al-Fatâwâ, (Kairo: Dâr al-Qalam, t.t.), h. 302. gadis.
94 Ahkam: Vol. XV, No. 1, Januari 2015

menetapkan bahwa umur khitan perempuan dan laki- Ibn Qayyim, Tuhfah al-Maudûd bi Ahkâm al-Maulûd,
laki tidak dibedakan. Seperti yang telah disebutkan Kairo: Dâr al-Syurûq, t.t.
dalam pendahuluan, kuatnya penerimaan masyarakat Imâm Mâlik, al-Muwaththa’.
terhadap suatu ajaran keagamaan dan bagaimana suatu Jazirî, al-, Ibn al-Atsîr, Jâmi‘ al-Ushûl fî Ahâdîts al-Rusul,
ajaran dipahami dan dikembangkan sangat ditentukan Beirut: Dâr al-Fikr, 1403/1983.
oleh harmonisasinya dengan kepentingan budaya dan Marshafî, al-, Sa’ad Muhammad, Ahâdîst al-Khitan-
sosial masyarakat tersebut. Dari sini dapat dimengerti Hujjiyatuhâ wa Fiqhuhâ”, diterjemahkan oleh Amir
kenapa suatu Hadis yang jelas-jelas pinggiran dan Amin Zakaria, Khitan, Jakarta: Gema Insani Press,
marginal (daif ) menjadi sangat sentral dalam satu 1996.
kelompok masyarakat dan tidak bagi kelompok Mazdî, al-, Jamâl al-Dîn Abû al-Hajjâj Yûsuf, Tahdzîb
masyarakat lainnya.[] al-Kamâl fî Asmâ’ al-Rijâl, Beirut: Mausû’ah al-
Risâlah, 1988.
Pustaka Acuan Muslim, Shahîh al-Muslim.
Sâbiq, Sayyid, Fiqh Sunnah, Kairo: Dâr al-Fikr, 1987.
‘Asqalânî, al-, Ahmad ibn ‘Alî ibn Hajar, Fath al-Bârî, Shâlih, al-, Subhî, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushtalahuhu,
al-Qâhirah: Dâr al-Maktabah al-Salafiyah, 1407 H. Beirut: Dâr al-‘Ilm li al-Malâyin, 1973.
‘Asqalânî, al-, Ibn Hajar, Talkhîsh al-Habîr, Madina al- Shan‘ânî, al-, Muhammad ibn Ismâ‘îl, Subul al-Salâm,
Munawwarah: t.p, 1964. Mesir: Mushhaf al-Babi al-Halabi, 1369/1950.
A. Azami, Studies in Hadis Methodology and Literature, Shihab, Alwi, Islam Inklusif, Bandung: Mizan, 2001.
Indiana: American Trusts Publications, 1978. Suyuthî, al-, Jalâl al-Dîn, Tadrîb al-Râwî, Beirut: Dâr
Abû Dâwud, Sunan Abû Dâwud. al-Fikri, 1414 H/1993 M.
Anees, Munawar Ahmad, Islam & Biologis umat manusia; Syaltut, Mahmud, al-Fatâwâ, Kairo: Dâr al-Qalam, t.t.
Etika, Gender, dan Tekhnologi, Terj. Rahmani Astuti, Syawkânî, al-, Muhammad ibn ‘Alî ibn Muhammad,
Bandung: Mizan, 1994. Nayl al-Awthâr Syarh Muntaqâ al-Akhbâr,Beirut:
Bukhârî, al-, Shahîh al-Bukhârî. Dâr al-Fikr, 1403/1983.
Hathout, Hassan, Revolusi Seksual Perempuan, Obstetri Tahhân, al-, Mahmûd, TaysÎr Mushthalah al-Hadîts,
dan Ginekologi dalam Tinjauan Islam, Jakarta: Beirut: Dâr al-Qur’ân al-Karîm, 1399 H/1979 M.
Remaja Rosdakarya, 1996. Toubia, Nahid, Female Genital Mutilation: A Call For
Ibn al-Manzhûr, Lisân al-‘Arab, Beirut: Dar al-Fikri, Global Action, USA: United Nation Plaza, 1993.
1410 H/1990 M. Zuhaylî, al-, Wahbah, Al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh,
Ibn Faris, Ahmad, Mu’jam Maqâyis al-Lughah, Mesir: Damaskus: Dar al-Fikri, 1997.
Maktabah al-Khanaji, 1981.

Anda mungkin juga menyukai