Anda di halaman 1dari 6

Bakhtiar, A.Y.

Crustacea, Moluska, dan Sedimen Laut

CRUSTACEA, MOLUSKA, DAN SEDIMEN LAUT

Agim Yustian Bakhtiar1.a, Yana Melynia Situmeang1, Eva Yanti1, Lammartu Satria Sagala1 , Adam
Nicky Hermansyah1, Arjun Purwoko1, Valda Artamevia1, Aditya Ganda Agustin1, Simon Fedrik1.
Syifa Faranabila 1 ,Eva Apriliana1, Annisa Ulima Sabrina Fasya1, Muhammad Adrio1,
1
Program Studi Teknik Geologi, Jurusan Teknogi Produksi dan Industri, Institut Teknologi
a
Sumatera agim.118150026@student.itera.ac.id

Abstract
Crustacea and mollusca is some of aquatic biota which often to be found in shallow marine
environment. Both of this animal have same features, which almost species in this group have
calcareous exosceleton except nude snaill( gastropoda), cephalopoda, and shrimp( crustacea).
Calcareous exosceleton from both species will be defermod once the living creatures are die,
mixed with another material like sand from landward formed sea sediment which will turned
become limestone facies depends from condition of depotitional environment. In this experiment
we try to simulate normal condition of diagenesis of limestone facies using sea sediment that we
got fro excurtition at Mahitam Beach, 2 November 2019. Also we did some obsevation about
anatomy of crustacea an mollusca to learn more about it’s morphological structure. Result of
this experiment are we knew how to recognize and difference crustacea and mollusca. Also we
knew diagenesis of limestone facies based from it’s compotition dan expect the location of
limestone diagenesis.

Keyword: Bioclastic, Crustacea, Mollusca, Limestone, Diagenesa

Abstrak
Crustacea dan moluska adalah salah satu biota aquatis yang sering dijumpai di lingkungan laut
dangkal. Kedua hewan ini memiliki kesamaan dimana hampir seluruh spesies dalam kelompok
ini memiliki rangka luar dari kapur kecuali siput telanjang (gastropoda), cephalopoda dan
kelompok udang (crustacea). Rangka kapur dari hewan ini, kemudian akan mengalami
deformasi bentuk apabila nanti hewan hewan ini mati sehingga menjadi kumpulan bioklastik
dimana akan bercampur dengan sedimen lain seperti pasir dari daratan membentuk sedimen laut
yang nantinya akan menjadi berbagai macam fasies batugamping tergantung dari lingkungan
pengendapannya. Pada praktikum ini, kami mencoba menyimulasikan kondisi mula mula dalam
proses diagenesa batugamping menggunakan sedimen laut yang didapat dari ekskursi di Pantai
Mahitam, 2 November 2019. Selain itu pula kami melakukan beberapa pengamatan anatomi
pada crustasea dan moluska untuk lebih memahami struktur morfologinya. Hasil dari praktikum
ini ialah kami mampu mengenali beberap jenisi spesies dari moluska dan crustasea serta mampu
membedakan keduanya. Juga kami mampu mengetahui genesa dari batugamping berdasar
komponen penyusunnya serta memperkirakan lokasi terbentuknya.

Katakunci: bioklastik, crustacea, moluska, batugamping, diagenesa

1
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Crustasea dan moluska adalah salah satu jenis biota aquatik yang lazim dijumpai di
lingkungan laut dangkal. Kedua hewan ini berperan sebagai suplayer material organik
selain koral dan porifera. Cangkang yang umumnya dimiliki oleh hewan hewan ini
merupkan salah satu bagian yang kaya kandungan karbonatan dimana merupkana
material utama dalam menyusul batugamping atau limestone. Pada umumnya, fragmen
cangkang atau cangkang mini dari hewan hewan ini nantinya akan tersementasi dalam
bentuk agregat bersama dengan campuran sedimen lain dari darat yang kemudian
mengalami lithifikasi menjadi batugamping bio-klastik. Maka dari itu, perlu
mempelajari tentang moluska, crustasea dan sedimen laut untuk mempelajari lebih
lanjut batugamping sehingga dilakukan percobaan ini.

1.2 Rumusan Masalah


Permasalahan pada praktikum ini berkutat pada:
1. apa itu crustasea dan moluska
2. bagaimana anatomi crustasea dan moluska
3. apa itu sedimen laut dan kaitannya dalam pembentukan batugamping

1.3 Maksud dan Tujuan


Maksud dan tujuan dari praktikum ini adalah mempelajari apa itu moluska dan crustasea
serta anotominya juga mempelajari sedimen laut dan keterkaitannya dengan
batugamping..

1.4 Potensi dan Manfaat Praktikum


Potensi dan manfaat dari praktikum adalah
1. mengetahui kaitan sebaran crustasea dan moluska dan pengaruhnya bagi ketesediaan
suplai material karbonatan.
2. mempelajari kaitan antara biota laut dan ketersedian material karbonatan dan
pembentukan batugamping yang sangat berguna nantinya dalam berbagai tujuan
seperti eksplorasi hidrokarbon dan rekonstruksi lingkungan purba.

1.5 Tinjauan Pustaka


Crustacea dan moluska adalah kelompok hewan invertebrata yang merupakan hewan
akuatik (Mason, 2018). Kelompok ini memiliki persamaan satu sama lain yaitu
memiliki rangka luar. Namun seringkali, hewan crustasea lebih sedikit memiliki jejak
fosil karena populasi crustasea kebanyakan bereksoskeleton kitin bukan karbonat
(P.McFall, 1972). Pada umumnya hewan hewan ini biasanya bersifat bentonik, sehingga
sangat baik dalam dijadikan salah satu petunjuk lingkungan pengendapan. (Raham,
2009). Sifat pergerakan dari dua hewan ini dapat bersifat mobile, atau sesil.hewan ini
sering kali berasosiasi dengan laut dangkal, dimana merupakan salah satu lingkungan
pengendapan karbonatan. Hali in juga berlaku pada crustasea dan moluska dimana
ketika mereka mati, maka rangka mereka akan terdeformasi fisiknya menjadi butiran
sedimen bioklastik yang nantinya akan menyusun berbagai macam fasies batugamping
yang sangat berpengaruh dengan zona atau wilayah ketersediaan sedimen. Fasies
batugamping menjadi sangat penting kaitannya dengan banyak aspek seperti reservoar,
bahan bangunan dan sebagainya (Stearn, 1989). Fasies selain tergantung dari komposisi
bioklastik, melainkan djuga dengan saturasi sedimen lainnya. Sehingga pada akhirnya
terbentuk berbagai fasies batugamping.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN


2.1 Crustasea dan Moluska
Pada percobaan ini, kami menggunakan beberapa hewan moluska dan crustasea seperti
cumi-cumi, gurita, kerang hijau, kepiting, dan udang. Pada percobaan ini, kami diminta
untuk menentukan orientasi tubuh dari hewan hewan tersebut. Hewan yang diujikan,
merupaka hewan triplobastik selomata dengan simetri tubuh simetri bilateral (Mason,
2018). Cumi-cumi, gurita, dan kerang hijau sendiri adalah moluska yang memiliki ciri
ciri bertubah lunak. Lunak yang dimaksud adalah memiliki tubuh seperti gumpalan
daging. Dari tiga hewan tersebut hanya kerang hijau saja yang memiliki kemungkinan
untuk dapat meninggalkan jejak sebagai fosil atau menjadi material penyusun dari
batuan sedimen bio-klastik. Hal ini dikarenakan kerang hijau memiliki dua katup atau
cangkang yang tersusun dari material karbonat. Sedangkan gurita dan cumi dari
cephalopoda tidak. Kerang hijau memiliki sendiri berorientasi hidup didasar di daerah
yang karakteristiknya ialah berupa pasir atau mud atau campuran. Mereka dapat
bergerak namun sangat jarang. Lebih sering diam sehingga dikenal sebagai organisme
sesil. Kerang hijau mendapat makan dari penangkapan material terlarut atau filterisasi
air disekitarnya. Pada umumnya diet makannya adalah partikel terlarut, dan plankton.
Gurita dan cumi-cumi memiliki kesamaan dalam hal alat gerak, meski terlihat jelas
perbedaan seperti dalam ukuran badan, morfologi bentuk kepala. Hewan hewan ini
hidup di kolom air sebagai organisme nektonik. Makanan dari hewan ini tidak jauh
beda, namun gurita ukuran kepala lebih besar dab juga bentuk tubuh gurita lebih
melebar. Secara umum, moluska ini memiliki orientasi tubuh basic pada umumnya,
seperti anterior, posterior, ventral, dorsal, dekstral dan sinistral. Crustasea pada
pecobaan ini ialah kepiting dan udang. Kepiting merupakan hewan yang memiliki
simetri radial serta orientasi tubuh anterior, posterior, ventral, dorsal, dekstral dan
sinistral. Kepiting memiliki 10 buah kaki bersegmen dan satu tubuh utama berperisai.
Kakinya terbagi menjadi 5 pasang kaki dimana sepasang kaki depan telah
berdifferensiasi menjadi sepasang capit dan kaki belakan berdifferensiasi sebagai kaki
dayung. Material cangkang kepiting umumnya karbonat, dengan pola hidup
bersembunyi di sela karang atau menggali lubang di material pasir. Kepiting ini
merupakan kepiting laut yang bernafas dengan insang layaknya makhluk air umumnya.
Diet darikepiting ini ada sebagai karnivor dan detrivor, memakan ikan keci, moluska
kecil, udang-udangan. Kemudian sampel udang, dimana karakteristi tubuhnya
memanjang dan bersegmen. Memiliki 10 kaki utama dan 10 kaki renang. Diet utamanya
adalah plankton dan alga, dan seringkali hidup diantara terumbu atau akar tanaman laut.
Gambar 2.1.1. spesimen crustasea dan moluska
2.2 Bioklast, Litoklas dan Fasies batugamping
Pengamatan material sedimen laut dilakukan untuk mengetahui sebaran material laut
dan faktor penyebarannya. Dalam hal ini digunakan analogi dengan diagram Hjulstorm
sebagai kerangka bayangan imaji, untuk membayangkan lokasi pengendapan. Dalam
hal in uji material dilakukan dengan mengamati sampel yang telah ada milik kelompok
saat ekskursi, dimana kami mendapatkan tugas menganalisis sampel milik kelompok 10
ekskursi. Analisis dilakukan dengan menganalisis kandungan bioklastik dan litoklastik
yang ada dimulai dari daerah terrestrial. Didaerah ini didapati material berupa pasir
sangat halus dan silt dengan campuran akar tanaman. Warna tanah yang didapat cukup
gelap yang diduga karena kandungan zat hara. Pada bagian ini tidak didapatkan bio-
klas. Kemungkinan daerah ini dapat membentuk siltstone dan very-fine sandstone
apabila terjadi proses yang memungkinkan seperti burial akibat orogenetik negatif.
Kemudian pada pantai dengan sampel +1,+2,+3,+4, jenis materia yang muncul secara
berurutan dari kiri ke kanan adalah berupa dominan mud-silt, silt- pasir sangat halus,
pasir sangat halus, pasir sangat halus – pasir halus. Hal ini dapat disebakan karena
adanya perubahan tinggi muka air laut temporer yang cukup signifikan akibat adanya
pasang surut sehingga sebaran sedimen akan mengikuti pola perubahan ketinggian air
laut. Perubaha sebaran juga diakibatkan karena perubahan kecepatan dari ombak yang
menghantam pesisir. Material bioklastik pada daerah ini umumnya adalah bivalvia dan
gastropoda dengan perbandingan 11:9 serta mayoritas didaerah ini persebaran bioklastik
pada daerah ini cukup jarang, dan masih di dominasi material darat. Kemungkinan yang
akan terbentuk di daerah ini adalah Batu gamping fasies wackstone atau packstone.
Kemudian di daerah backreef, kami mengambil sampel pada titik +14, +32, +35 dimana
pada sampel ini lebih banyak didominasi oleh material bioklastik yang berukuran
sekitar kurang lebih 2 mm dengan material litoklastik kurang dari 20% yang didominasi
oleh pasir sangat halus. Tetapi juga ditemukan gravel dengan volume <10% dari
material pasir halus. Pada bagian backreef, material pasir cukup halus karena kondisi
cukup tenang sehingga energi butir halus terendapkan disini. Sedangkan pada material
bioklastik, material berukuran cukup besar karena ada beberapa kemungkinan seperti
material itu berasal dari juvenil atau dari mikromoluska (Ray, 2008), dan dapat pula
berasal dari rombakan cangkang yang melapuk akibat interaksi dengan air laut terlalu
lama, sehingga natinya di daerah ini kemungkinan akan membentuk rudstone atau
grainstone (Embry & Kloven,1971).

Gambar 2.2.1. sampel backreef


Di reef crest, sampel yang didapat dari litoklastiknya berupa dominan pasir halus
dengan campuran pasir kasar. Untuk sampel ditemuka pecahan pecahan kerang dan
koral berukuran > 2mm yang jumlahnya relatif lebih sedikit dari litoklasnya. Di daerah
ini, timbulnya pasir kasar dimungkinkan berasal dari debris terumbu karang itu sendiri.
Dimana di daerah ini kemungkinan akan terbentuk floatstone (Embry & Kloven,1971).

Gambar 2.2.2. sampel reef crest


Pada sampel forereef, didapat bahwa komposisi yang didapat adalah litoklastik
didominasi pasir halus sebanyak 95% dann gravel sebanyak 5%. Material bioklastik pada
daerah ini sangat banyak , merupakan butiran yang berukuran >2 mm. Hal ini disebabkan
karena di daerah ini terjadi longsoran debris terumbu karang ke arah material halus yang
telah ada. Fasies yang terbentuk ialah fasies grainstone dan rudstone(Embry &
Kloven,1971).

3. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari praktikum ini adalah:
1. Crustasea memiliki perbedaan besar dengan moluska terutama pada morfologi tubuh
dan materi penyusun eksoskeleton
2. Moluska bercangkan seringkali terpreservasi menjadi fosil , sedangkan crustacea
jarang akibat mayoritas tertutup oleh kitin
3. Pembentukan batugamping bioklastik dipengaruhi suplai material baik dari laut
maupun daratan
4. Didaerah ini cenderung terbentuk gamping dengan campuran sedimen halus karena
wilayahnya adalah laut tenang.
5. Ukuran butir dari bioklastik cenderung besar akibat dari hasil pelapukan material
cangkang.

4. REFERENSI
Mason, K. A., 2018. Understanding Biology. 2nd ed. New York: McGraw-Hill
Education.
P.McFall, R., 1972. Fossil for Amateur. New York: Litton Educational Publishing, Inc..
Raham, G., 2009. Fossil. New York: Infobase Publishing.
Ray, A. K., 2008. Fossil in Earth Science. New delhi: PHI Learning Private Limited.
Stearn, C. W., 1989. Paleontology: The Record of Life. Montreal: Jhon wiley & son
inc..

Anda mungkin juga menyukai