Anda di halaman 1dari 22

Referat

ACUTE KIDNEY INJURY (AKI)

Oleh :

Bety Kurniati
Vudhya Ulhaq Kafrawi
Sari Rahma Yenti

Preseptor :
dr. Adji Mustiadji,Sp.An

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BAITURRAHMAH


BAGIAN ANESTESI
RSUD M. NATSIR SOLOK
2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyeelesaikan laporan kasus tepat pada
waktunya. Tak lupa shalawat beriring salam penulis kirimkan kepada junjungan alam yakni Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam yang buta akan pengetahuan alam ke alam
yang penuh dengan beribu ilmu seperti yang kita rasakan sekarang ini. Referat yang berjudul
“Acute Kidney Injury (AKI)” ini penulis buat sebagai tugas saat menjalani kepaniteraan klinik
anestesi.

Rasa terima kasih saya sampaikan kepada pembimbing saya dr. Adji Mustiadji, Sp.An
yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing saya dalam penulisan referat ini
sehingga menjadi baik dan terarah.

Penulis menyadari bahwa banyak kekurangan dalam penyusunan karya tulis ini. Untuk
itu, penulis memohon maaf atas segala kekhilafan dan kesalahan. Dan tidak lupa juga penulis
memohon saran serta kritik yang bersifat membangun agar tujuan menjadikan referat ini
sempurna dapat tercapai.

Solok, 31 Oktober 2019

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................... i

DAFTAR ISI ......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................................1

1.1. Latar Belakang .......................................................................................................1


1.2. TujuanPenulisan .................................................................... …………2
1.3. Manfaat ...................................................................................................................2

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN............................................................................3

2.1. AKI……................................................................................................................3

2.1.1 Definisi..........................................................................................................3

2.1.2 Epidemiologi.........................................................................……………….3

2.1.3 Etiologi…………………………….……………………………………….4

2.1.4Patofisiologi.................................................................................................5

2.1.5 GejalaKlinis..................................................................……………...........6

2.1.6 Diagnosa..............................................................................……………….7

2.1.7Laboratorium………………………………………………………………8

2.1.8 Penatalaksanaan..........................................................................................9

2.1.8 Pencegahan………………………………………………………………..10

2.1.9 Prognosis.....................................................................................................10

2.1.10 Komplikasi………………………………………………………………11

BAB III kESIMPULAN................................................................................................29

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................30
BAB I

PENDAHULUAN

Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan sebagai penurunan cepat
dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya ditandai oleh peningkatan
konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera
setelah cedera ginjal terjadi, tingkat konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan
adanya kerusakan ginjal adalah penurunan produksi urin.

Insidens di negara berkembang, khususnya di komunitas, sulit didapatkan karena tidak semua
pasien AKI datang ke rumah sakit. Diperkirakan bahwa insidens nyata pada komunitas jauh melebihi
angka yang tercatat. Peningkatan insidens AKI antara lain dikaitkan dengan peningkatan sensitivitas
kriteria diagnosis yang menyebabkan kasus yang lebih ringan dapat terdiagnosis. Beberapa laporan dunia
menunjukkan insidens yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada komunitas, 0,7-18% pada pasien yang
dirawat di rumah sakit, hingga 20% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU), dengan
angka kematian yang dilaporkan dari seluruh dunia berkisar 25% hingga 80% .

AKI telah menarik perhatian dengan adanya pengakuan bahwa perubahan kecil dalam fungsi
ginjal mungkin memiliki efek yang serius dalam diagnosa akhir. Meskipun kemajuan dalam diagnosis
dan staging AKI dengan emergensi biomarker menginformasikan kepada kita tentang mekanisme dan
jalur dari AKI, tetapi kita belum bisatahu bagaimana AKI berkontribusi terhadap peningkatan mortalitas
dan morbiditas pada pasien rawat inap. Perkembangan deteksi dini dan manajemen AKI telah sangat
ditingkatkan melalui pengembangandefinisi universal dan spektrum staging. Cedera AKI berubah dari
bentuk kurang parah menjadi staging severe injury, dimana gagal ginjal akut mungkin memerlukan terapi
pengganti ginjal.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi dan Kriteria Diagnosis


Secara konseptual AKI adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal untuk
mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia- tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan
intensivis di Amerika pada tahun 2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian
istilah renal menjadi kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan patologi gangguan
ginjal.

Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus mencakup: 1)
sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal, 2) penilaian terhadap
perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang cermat pada status volume, dan 4)
langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang untuk mengatasi atau mencegah memburuknya
fungsional atau struktural abnormali ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk
perbedaan antara prerenal, renal, dan penyebab pasca-renal.

Akut kidney injury(AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsiginjalyang terjadi


dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas dasar adanya kreatinin serum
yang meningkat dan blood urea nitrogen(BUN) dan urine output yang menurun, meskipun terdapat
keterbatasan. Perlu dicatat bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya
cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler atau penurunan
aliran darah ginjal.

Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut terpenuhi :

 Serum kreatinin naik sebesar ≥ 26μmol / L dalam waktu 48 jam atau


 Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang diketahui atau
dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau
 Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang terdiri dari 3 kategori
(berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG atau kriteria UO) yang menggambarkan

beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2 kategori yang menggam- barkan prognosis gangguan ginjal .

Tabel 1. Perbandingan antara kriteria diagnosis RIFLE dan AKIN (Ackay R, 2010).

RIFLE GFR Criteria Urine output criteria


CriteriaClass

R-Risk Creatinin increa x 1,5 or GFR loss > 25% 0,5 < ml/kg/hour > 6 hours

I-Injury Creatinin increa x 2 or GFR loss > 50% 0,5 < ml/kg/hour > 12 hours

F-Failure Creatinin increase x 3 or GFR loss > 75% Creatinin increase x 4 0,5 < ml/kg/hour > 12 hours
mg/dl (acute increase >0,5 mg/dl)

L-Loss Persistent loss of kidney function >4weeks

E-ESKD ESKD > 3 months

AKIN Ceriteria Serum Creatinin Criteria Urine Output criteria


Stage
B.
1 Creatinin increase x 1,5 or creatinine increase > 0,3 0,5 < mg/kg/hour x >6 hours K
mg/dl

2 Creatinine increase x 2 0,5 < mg/kg/hour x >12 hours

3 Creatinin increase x 3 or creatinine increase > 4 0,5 < mg/kg/hour x >24 hoursor
mg/dl (acute increase > 0,5 mg/dl Anuria > 12 hours

lasifikasi Etiologi dan pathogenesis


Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni (1) penyakit
yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal
(AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih (AKI
pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari tempat terjadinya AKI.4,9

Salah satu cara klasifikasi etiologi AKI dapat dilihat pada tabel .
Gambar 1: Kriteria RIFLE yang dimodifikasi (Markum, 2009)

Patogenesis AKI adalah kompleks. Iskemia dan toxin merupakan faktor utama yang memicu
cedera, dan meskipun kejadian awal mungkin berbeda, respon cedera berikutnya kemungkinan
melibatkan jalur yang sama. Sebagai contoh, AKI oleh karena iskemia disebabkan oleh penurunan
aliran darah ginjal dibawah batas autoregulasi aliran darah. Berbagai tanggapan molekul yang
"maladaptif" dan stereotip kemudian terjadi. Respon ini menyebabkan cedera sel endotel dan epitel
setelah timbulnya reperfusi. Faktor-faktor patogen seperti vasokonstriksi, leukostasis, vascular
congestion , apoptosis, dan kelainan pada modulator kekebalan tubuh dan faktor pertumbuhan telah
membentuk dasar rasional terapi intervensi.
Tabel 2 . Beberapa penyebab AKI yang dikelompokkan dalam AKI prarenal, AKI Renal, dan AKI
pascarenal (Sinto R, 2010)
Diperlukan pendekatan klinis untuk menentukan etiologi dari AKI. Dapat berupa
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.

1. Prerenal Azotemia
Ada empat kriteria yang diperlukan untuk diagnosis azotemia prerenal: 1) peningkatan
akut BUN dan / atau serum kreatinin, 2) penyebab hipoperfusiginjal, 3) sedimen urin
hambar (tidak adanya sel dan gips selular) atau eksresi natrium (FE) kurang dari 1%, dan
4) Kembalinya keadaaan fungsi ginjal yang normal dalam 24-48 jam setelah keadaan
hipoperfusi diatasi.
2. Postrenal Azotemia
Obstruksi aliran urin di kedua ureter, kandung kemih, atau uretra atau obstruksi dari
ginjal soliter dapat menyebabkan AKI pasca-renal. Penyebab dari azotemia akut dalam
keadaan ini adalah obstruksi aliran urin. Pasien yang paling berisiko untuk azotemia akut
postrenal adalah pria tua dengan hipertrofi prostat atau kanker prostat. Pemeriksaan
pelvis wajib dalam evaluasi azotemia postrenal, karena pasien dengan karsinoma serviks
atau endometrium atau endometriosis dapat hadir dengan azotemia sekunder karena
obstruksi saluran kemih bilateral. Ultra-sonografi ginjal akan mendeteksi dilatasi
pelvicalyceal sekunder untuk obstruksi pada lebih dari 90% pasien.
3. Setelah azotemias prerenal dan postrenal telah disingkirkan, diagnosis AKI intrarenal
dapat dipertimbangkan.

C. Diagnosis

1) Pendekatan Diagnosis
Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang telah
dipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan
AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat
membedakan kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab
AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit (pemulihan
pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai. Misalnya, ginjal
umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal bahkan membesar
seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus

pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi .

2) Pemeriksaan Klinis

Petunjuk klinis AKI prarenal antara lain adalah gejala haus, penurunan UO dan berat
badan dan perlu dicari apakah hal tersebut berkaitan dengan penggunaan OAINS, penyekat
ACE dan ARB. Pada pemeriksaan fisis dapat ditemukan tanda hipotensi ortostatik dan
takikardia, penurunan jugular venouspressure (JVP), penurunan turgor kulit, mukosa kering,
stig- mata penyakit hati kronik dan hipertensi portal, tanda gagal jantung dan sepsis.
Kemungkinan AKI renal iskemia menjadi tinggi bila upaya pemulihan status hemodinamik
tidak memperbaiki tanda AKI. Diagnosis AKI renal toksik dikaitkan dengan data klinis
penggunaan zat-zat nefrotoksik ataupun toksin endogen (misalnya mioglobin, hemoglobin,
asam urat). Diagnosis AKI renal lainnya perlu dihubungkan dengan gejala dan tanda yang
menyokong seperti gejala trombosis, glomerulonefritis akut, atau hipertensi maligna.4,9,12
AKI pascarenal dicurigai apabila terdapat nyeri sudut kostover- tebra atau suprapubik akibat
distensi pelviokalises ginjal, kapsul ginjal, atau kandung kemih. Nyeri pinggang kolik yang
menjalar ke daerah inguinal menandakan obstruksi ureter akut. Keluhan terkait prostat, baik
gejala obstruksi maupun iritatif, dan pembesaran prostat pada pemeriksaan colok dubur
menyokong adanya obstruksi akibat pembesaran prostat. Kandung kemih neurogenik dapat
dikaitkan dengan pengunaan antikolinergik dan temuan disfungsi saraf otonom.

3) Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi glomerulus,


tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prarenal, sedimen yang
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI pascarenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada
obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang
dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown” granular cast,
cast yang mengandungepitel tubulus yangdapat ditemukan pada ATN; cast eritrosit pada
kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented
“muddybrown” granular cast pada nefritis interstitial.

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan urin (osmolalitas urin, kadar
Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan pada penentuan tipe AKI

Pada keadaan fungsi tubulus ginjal yang baik, vasokonstriksi pembuluh darah ginjal akan
menyebabkan peningkatan reabsorbsi natrium oleh tubulus hingga mencapai 99%. Akibatnya, ketika
sampah nitrogen (ureum dan kreatinin) terakumulasi di dalam darah akibat vaso- konstriksi pembuluh
darah ginjal dengan fungsi tubulus yang masih terjaga baik, fraksi ekskresi natrium (FENa = [(Na urin x
Cr plasma)/(Na plasma x Cr urin)] mencapai kurang dari 1%, FEUrea kurang dari 35%. Sebagai
pengecualian, adalah jika vasokonstriksi terjadi pada seseorang yang menggunakan diuretik, manitol, atau
glukosuria yang menurunkan reabsorbsi Na oleh tubulus dan menyebabkan peningkatan FENa. Hal yang
sama juga berlaku untuk pasien dengan PGK tahap lanjut yang telah mengalami adaptasi kronik dengan
pengurangan LFG. Meskipun demikian, pada beberapa keadaan spesifik seperti ARF renal akibat
radiokontras dan mioglobinuria, terjadi vasokonstriksi berat pembuluh darah ginjal secara dini dengan
fungsi tubulus ginjal yang masih baik sehingga FENa dapat pula menunjukkan hasil kurang dari 1%.

Pemeriksaan yang cukup sensitif untuk menyingkirkan AKI pascarenal adalah pemeriksaan urin
residu pasca- berkemih. Jika volume urin residu kurang dari 50 cc, didukung dengan pemeriksaan USG
ginjal yang tidak menunjukkan adanya dilatasi pelviokalises, kecil kemungkinan penyebab AKI adalah
pascarenal. Pemeriksaan pencitraan lain seperti foto polos abdomen, CT-scan, MRI, dan angiografi ginjal
dapat dilakukan sesuai indikasi. Pemeriksaan biopsi ginjal diindikasikan pada pasien dengan penyebab
renal yang belum jelas, namun penyebab pra- dan pascarenal sudah berhasil disingkirkan. Pemeriksaan
tersebut terutama dianjurkan pada dugaan AKI renal non- ATN yang memiliki tata laksana spesifik,
seperti glome- rulonefritis, vaskulitis, dan lain lain.

D. Penatalaksanaan

Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan utama hemodinamik,
dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi. Sampai saat ini, tidak ada terapi khusus untuk
mendirikan AKI intrinsik renal karena iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus
fokus pada penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari penghinaan
tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari penyebab lain dari
AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari.

1) AKI Prarenal
Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat hipovolemia
harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang. Hipovolemia berat akibat
perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells, sedangkan saline isotonik biasanya
pengganti yang sesuai untuk ringan sampai sedang perdarahan atau plasma loss
(misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan kemih dan gastrointestinal dapat sangat
bervariasi dalam komposisi namun biasanya hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline
0,45%) biasanya direkomendasikan sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA
prerenal akibat meningkatnya kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun
salin isotonik mungkin lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya harus
didasarkan pada pengukuran volume dan isi ionik cairan yang diekskresikan. Kalium
serum dan status asam-basa harus dimonitor dengan hati-hati. Gagal jantung mungkin
memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload
mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon
intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu terapi
untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume
intravaskular sulit.
2) AKI intrinsic renal
AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau
vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan / atau plasmapheresis,
tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada beberapa
kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik adalah penting
penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas nephrosclerosis, toxemia
kehamilan, dan penyakit pembuluh darah lainnya. Hipertensi dan AKI akibat scleroderma
mungkin sensitif terhadap pengobatan dengan inhibitor ACE
3) AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist,
urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya dikelola
awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter kandung kemih, yang
memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang menghalangi diidentifikasi dan
diobati secara definitif. Demikian pula, obstruksi ureter dapat diobati awalnya oleh
kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal. Memang, lesi yang menghalangi seringkali dapat
diterapi perkutan (misalnya, kalkulus, sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan
stent ureter (misalnya, karsinoma). Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat
selama beberapa hari setelah relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan
sindrom garam-wasting sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium
intravena untuk menjaga tekanan darah.

Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan pada
tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi (kriteria
RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana opti- mal penyakit dasar
untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini meliputi rehidrasi
bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis, penghentian zat
nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng- hindari penggunaan zat nefrotoksik.
Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus dilakukan secara rutin.4,17 Selama
tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal perbaikan), beberapa pasien dapat
mengalami defisit cairan yang cukup berarti, sehingga pemantauan ketat serta pengaturan
keseimbangan cairan dan elektrolit harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus
diawasi secara ketat dengan pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta
elektrolit urin dan serum.

1. Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya dan
kondisi komorbid yang dijumpai. Se- buah sistem klasifikasi pemberian nutrisi

berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 (Sinto R, 2010).

Tabel 3. Klasifikasi dan Kebutuhan Nutrisi pada pasien AKI (Sinto R, 2010)

Manajemen nutrisi untuk AKI tidak jauh berbeda untuk pasien sakit kritis, tetapi lebih
rumit karena rejimen tersebut harus dirancang dengan tetap melihat perubahan kompleks dalam
sisa metabolisme dan nutrisi yang terjadi dengan hilangnya fungsi ginjal akut. Selain dukungan
nutrisi harus dikoordinasikan dengan terapi pengganti ginjal (RRT). Masalah utama dalam
pengelolaan AKI adalah retensi air dan produk dari Asam Amino karena gangguan fungsi
ekskresi yang membatasi pemberian cairan dan elektrolit.

Tujuan utama terapi nutrisi tidak semata-mata untuk menggantikan kebutuhan gizi makro
dan mikro, tetapi dukungan nutrisi adalah dukungan kualitatif dari intervensi metabolik yang
bertujuan untuk memodulasi keadaan inflamasi, memperbaiki kebutuhan oksigen sistem radikal,
dan memperbaiki Imunokompetensi. Tergantung pada tingkat keparahan penyakit, kebutuhan
nutrisi dapat bervariasi antara pasien dan fase penyakit kritis.
Tabel 4. Kebutuhan nutrisi pada pasien AKI

2. Terapi Farmakologis

Dalam pengelolaan AKI, terdapat berbagai macam obat yang sudah digunakan selama
berpuluh-puluh tahun namun kesahihan penggunaannya bersifat kontoversial. Obat- obatan
tersebut antara lain diuretik, manitol, dan dopamin. Diuretik yang bekerja menghambat
Na+/K+-ATPase pada sisi luminal sel, menurunkan kebutuhan energi sel thick limb Ansa Henle.
Selain itu, berbagai penelitian melaporkan prognosis pasien AKI non-oligourik lebih baik
dibandingkan dengan pasien AKI oligourik. Atas dasar hal tersebut, banyak klinisi yang
berusaha mengubah keadaan AKI oligourik menjadi non-oligourik, sebagai upaya
mempermudah penanganan ketidakseimbangan cairan dan mengurangi kebutuhan dialisis.
Namun, penelitian dan meta-analisis yang ada tidak menunjukkan kegunaan diuretik untuk
pengobatan AKI (menurunkan mortalitas, kebutuhan dialisis, jumlah dialisis, proporsi pasien
oligouri, masa rawat inap), bahkan peng- gunaan dosis tinggi terkait dengan peningkatan risiko
ototoksisitas (RR=3,97; CI: 1,00-15,78). Meskipun demikian, pada keadaan tanpa fasilitas
dialisis, diuretik dapat menjadi pilihan pada pasien AKI dengan kelebihan cairan tubuh.
Beberapa hal yang harus diperhatikan pada peng- gunaan diuretik sebagai bagian dari
tata laksana AKI adalah:

 Pastikan volume sirkulasi efektif sudah optimal, pastikan pasien tidak dalam keadaan
dehidrasi. Jika mungkin, dilakukan pengukuran CVP atau dilakukan tes cairan
dengan pemberian cairan isotonik 250-300 cc dalam 15- 30 menit. Bila jumlah urin
bertambah, lakukan rehidrasi terlebih dahulu.
 Tentukan etiologi dan tahap AKI. Pemberian diuretik tidak berguna pada AKI
pascarenal. Pemberian diuretik masih dapat berguna pada AKI tahap awal (keadaan
oligouria kurang dari 12 jam).

Pada awalnya, dapat diberikan furosemid i.v. bolus 40 mg. Jika manfaat tidak
terlihat, dosis dapat digandakan atau diberikan tetesan cepat 100-250 mg/kali dalam 1-6 jam
atau tetesan lambat 10-20 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum 1 gram/hari. Usaha tersebut
dapat dilakukan bersamaan dengan pemberian cairan koloid untuk meningkatkan translokasi
cairan ke intravaskuler. Bila cara tersebut tidak berhasil (keberhasilan hanya pada 8-22% kasus),
harus dipikirkan terapi lain. Peningkatan dosis lebih lanjut tidak bermanfaat bahkan dapat
menyebabkan toksisitas.

Secara hipotesis, manitol meningkatkan translokasi cairan ke intravaskuler sehingga


dapat digunakan untuk tata laksana AKI khususnya pada tahap oligouria. Namun kegu- naan
manitol ini tidak terbukti bahkan dapat menyebabkan kerusakan ginjal lebih jauh karena bersifat
nefrotoksik, menyebabkan agregasi eritrosit dan menurunkan kecepatan aliran darah. Efek
negatif tersebut muncul pada pemberian manitol lebih dari 250 mg/kg tiap 4 jam. Penelitian lain
menunjukkan sekalipun dapat meningkatkan produksi urin, pemberian manitol tidak
memperbaiki prognosis pasien.

Dopamin dosis rendah (0,5-3 μg/kgBB/menit) secara historis digunakan dalam tata
laksana AKI, melalui kerjanya pada reseptor dopamin DA1 dan DA2 di ginjal. Dopamin dosis
rendah dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah ginjal, menghambat Na+/K+-ATPase
dengan efek akhir peningkatan aliran darah ginjal, LFG dan natriuresis. Sebaliknya, pada dosis
tinggi dopamin dapat menimbulkan vasokonstriksi. Faktanya teori itu tidak sesederhana yang
diperkirakan karena dua alasan yaitu terdapat perbedaan derajat respons tubuh terhadap
pemberian dopamin, juga tidak terdapat korelasi yang baik antara dosis yang diberikan dengan
kadar plasma dopamin. Respons dopamin juga sangat tergantung dari keadaan klinis secara
umum yang meliputi status volume pasien serta abnormalitas pembuluh darah (seperti
hipertensi, diabetes mellitus, aterosklerosis), sehingga beberapa ahli berpendapat sesungguhnya
dalam dunia nyata tidak ada dopamin “dosis renal” seperti yang tertulis pada literatur. Dalam
penelitian dan meta-analisis, penggunaan dopamin dosis rendah tidak terbukti bermanfaat
bahkan terkait dengan efek samping serius seperti iskemia miokard, takiaritmia, iskemia
mukosa saluran cerna, gangren digiti, dan lain-lain. Jika tetap hendak digunakan, pemberian
dopamin dapat dicoba dengan pemantauan respons selama 6 jam. Jika tidak terdapat perubahan
klinis, dianjurkan agar menghentikan penggunaannya untuk menghindari toksisitas. Dopamin
tetap dapat digunakan untuk pengobatan penyakit dasar seperti syok, sepsis (sesuai indikasi)
untuk memperbaiki hemodinamik dan fungsi ginjal.17,24,25 Obat-obatan lain seperti agonis
selektif DA1 (fenoldopam) dalam proses pembuktian lanjut dengan uji klinis multisenter untuk
penggunaannya dalam tata laksana AKI. ANP, antagonis adenosin tidak terbukti efektif pada
tata laksana AKI.

Terapi Pengganti Ginjal ( RRT )

Dengan adanya komplikasi AKI seperti misalnya hipervolemia, edema paru akut atau
keseimbangan cairan besar kumulatif positif, hiperkalemia, asidosis metabolik (pH kurang dari
7,1) dan gejala uremik (mual dan muntah persisten, peri-karditis, neuropati, atau tidak jelas
penyebabnya penurunan status mental) dialisis harus dipertimbangkan sebagai terapi andalan.
Modalitas RRT termasuk hemodialisis intermiten (IHD), terapi pengganti ginjal berkelanjutan
(CRRTs), dan terapi hybrid, seperti berkelanjutan rendah efisiensi dialisis (SLED). Meskipun
teknik ini bervariasi, angka kematian pada pasien dengan AKI tetap lebih besar dari 50% pada
pasien sakit berat. Ada kemungkinan bahwa variasi dalam waktu inisiasi, modalitas, dan / atau
dosis dari RRT dapat mempengaruhi hasil klinis, khususnya kelangsungan hidup (Akcay A,
2010).

Beberapa indikasi utama untuk melakukan terapi pengganti Ginjal adalah sebagai
berikut : (Dube S et al, 2007)

 Fluid overload
 Metabolic acidosis
 Oliguria (urine output <200 mL/12 h)
 Anuria /extreme oliguria (urine output <50 mL/12 h)
 Hyperkalemia ([K] >6.5 mEq/L)
 Clinically significant organ (especially pulmonary) edema
 Uremic encephalopathy
 Uremic pericarditis
 Uremic neuropathy/myopathy
 Severe dysnatremia ([Na] <115 or >160 mEq/L)
 Hyperthermia
 Drug overdose with filterable toxin (lithium, vancomycin, procainamide, etc)
 Imminent or ongoing massive blood product administration

Pertimbangan utama ketika memulai pasien dengan AKI pada dialisis adalah sebagai
berikut: 1) waktu inisiasi dialisis, 2) modalitas dialisis, dan 3) dosis dialisis.

1) Waktu Inisiasi Dialisi

Baru-baru ini, penelitian telah mengevaluasi hubungan antara waktu inisiasi CRRT
dan hasil klinis. Dalam sebuah penelitian retrospektif dari unit trauma tunggal, pasien
dicirikan sebagai "awal" atau "akhir" permulaan, berdasarkan BUN kurang dari atau lebih
besar dari 60 mg / dL, sebelum memulai CRRT. Kelangsungan hidup adalah 39% pada
permulaan awal dibandingkan dengan 20% pada permulaan akhir (P = 0,041) . Dua
analisis pasien AKI setelah operasi jantung menunjukkan tingkat kelangsungan hidup
lebih tinggi pada pasien yang terus menerus menggunakan hemofiltration venous - vena
(CVVH) dimulai sebagai respon terhadap urin output kurang dari 100 mL dalam waktu
delapan jam berturut-turut setelah operasi meskipun tanpa pemberian diuretik,
dibandingkan dengan pasien dengan terapi ditahan dengan kriteria laboratorium yang
menggunakan serum kreatinin, BUN, dan kalium. 243 pasien dari Program to Improve
Care in Acute Renal Disease (Picard) studi, risiko kematian ditentukan pada pasien
dengan BUN lebih besar dari atau kurang dari 76 mg / dL pada inisiasi dialisis. Setelah
penyesuaian untuk usia, kegagalan hati, sepsis, trombositopenia, dan serum kreatinin.

2) Modalitas dialisis
Beberapa Penelitian retrospektif dan prospektif membandingkan hasil untuk
modalitas dariContinous dan Intermitent dialisis. Secara umum, penelitian sulit untuk
melakukan seperti saat sakit (misalnya, saat pasien hipotensi umumnya dimulai pada
CVVH) dan kurang sakit (misalnya, mobile, pasien non hipotensi umumnya dimulai pada
IHD). Dalam sebuah penelitian retrospektif terhadap 349 pasien, tingkat kematian lebih
tinggi untuk cuci darah terus menerus (continuous) dibandingkan intermiten (68% versus
41%, P, 0,001) .90 Namun, ketika multivariat cox analisis digunakan untuk
menyesuaikan alasan untuk penugasan pasien dalam pengobatan terus menerus
(continuous) (misalnya, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg, kegagalan hati dll)
tidak ada peningkatan risiko kematian dengan pengobatan terus menerus (continuous).
Dalam studi prospektif yang lain, 225 pasien di ICU dibagi menjadi tiga kelompok:
kelompok I (kelompok kontrol): 156 pasien dengan AKI yang tidak menerima dialisis,
kelompok II: 21 pasien yang menerima dialisis peritoneal atau IHD, dan kelompok III: 43
pasien yang menerima hemodiafiltration terus menerus (contonous). Mortalitas lebih
tinggi pada pasien dengan gagal ginjal dimana terapi dialisis diperlukan. Tidak ada
perbedaan angka kematian antara pasien yang diperlukan IHD dibandingkan CRRT.

3) Dosis Dialisis
Tiga studi terbaru pada pusat penelitian telah menunjukkan bahwa dosis
peningkatan dialisis dikaitkan dengan kematian yang lebih rendah.

Tabel 5. Dosis Dialisi yang diperlukan pada pasien AKI (Ackay A, 2010)

Tata Laksana Komplikasi

Pengelolaan komplikasi yang mungkin timbul dapat dilakukan secara konservatif, sesuai dengan
anjuran yang dapat dilihat pada tabel 6. Pengelolaan komplikasi juga dapat dilakukan dengan terapi
pengganti ginjal yang diindikasikan pada keadaan oligouria, anuria, hiperkalemia (K>6,5 mEq/l), asidosis
berat (pH<7,1), azotemia (ureum>200 mg/dl), edema paru, ensefalopati uremikum, perikarditis
uremikum, neuropati atau miopati uremikum, disnatremia berat (Na>160 mEq/l atau <115 mEq/l),
hipertermia, kelebihan dosis obat yang dapat didialisis.26 Tidak ada panduan pasti kapan waktu yang
tepat untuk menghentikan terapi pengganti ginjal. Secara umum, terapi dihentikan jika kondisi yang
menjadi indikasi sudah teratasi (Sinto R, 2010).

Prognosis

Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal. Perlu
diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi yang menyertai,
perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan memperburuk prognosa. Penyebab
kematian tersering adalah infeksi (30-50%), perdarahan terutama saluran cerna (10-20%),
jantung (10-20%), gagal nafas (15%), dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi,
septikemia, dan sebagainya. Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya
sebesar 50-60%, karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan.
DAFTAR PUSTAKA

Akcay A, Turkmen A, Lee D, Edelstein C.L, 2010, Update on the diagnosis and management of acute
kidney injury, International Journal of Nephrology and Renovascular Disease, vol 3 :129–140

Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL,Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, edi- tor. Harrison’s principle of internal medicine. Ed 16. New York: McGraw-
Hill, Inc; 2005.p.1644-53

Dube S, Sharman V.K, 2009, Renal Replacement Therapy in Intensive Care Unit, Journal of the
Assocation of Physician of India, Vol 57

Himellfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa M.D et al, 2008, Evaluation and Initial
Mangement of Acute Kidney Injury, Clin J Am Soc Nephrol, Vol 3: 962–967

Ho K.M, Power BM, 2009, Benefits and Risks of Furosemid in Acute Kidney Injury, Journal of the
Assocation of Anaesthetists of Great Britain and Ireland, Vol 65: 283-293

Jo S.K, Rosner M.H, Okusa M.D, 2007, Pharmacologic Treatment of Acute Kidney Injury: Why Drugs
Haven’t Worked and What Is on the Horizon, Clin J Am Soc Nephrol 2: 356–365.

KDIGO Clinical Pratice of Acute Kidney Injury, 2012, Official Journal of the International Society of
Nephrology, Vol 2: 1

Kumar VS. Renal dose dopamine in acute renal failure, 2000, Indian J Urol, Vol 16:175

Lameire N, Biesen WV, Vanholder R, 2006, The rise of prevalence and the fall of mortality of patients
with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not tell us. J Am Soc Nephrol.
Vol 17:923-5.

Lewington A, Kanagasundaram A, 2011, AKI: Definition, epidemiology, and outcomes, Clinical Pratice
AKI Guidline

Markum H.M.S, 2009, Gangguan Ginjal Akut, DalamBuku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed 2, edi-tor,
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrta MKSetiati S, Jakarta: Interna Publishing, Vol II: 1041-
1058

Mehta R.L, 2011, Management of Acute Kidney Injury: It’s the Squeaky Wheel That Gets the Oil!, Clin J
Am Soc Nephrol, Vol 6: 2102–2104
Saxena A, 2012, Dietary Management in Acute Kidney Injury, Clinical Queries: Nephrology 0101:58–69

Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A, 2004, Acute renal failure: definitions, diagnosis, pathogenesis,
and therapy. J. Clin. Invest, Vol 114:5-14.

Sedgewick J, 2011, Invited editorial.Acute kidney injury: responding to the deficits in management and
care. Renal Society of Australasia Journal, 7(2), 53-54.

Sinto R, Nainggolan G, 2010, Acute Kidney Injury: Pendekatan Klinis dan Tata Laksana, Maj Kedokt
Indon, Volume 60:2

Waikar SS,2006, Declining mortality in patients with acute renal fail- ure, 1988 to 2002. J Am Soc
Nephrol. Vol 17:1143-50.

Anda mungkin juga menyukai