Anda di halaman 1dari 7

Jurnal Internasional Akuntansi dan Perpajakan

Juni 2020, Vol. 8, No. 1, hlm.27-33


ISSN: 2372-4978 (Cetak), 2372-4986 (Online) Hak
Cipta © Penulis (s). Seluruh hak cipta.
Diterbitkan oleh American Research Institute for Policy Development
DOI: 10.15640 / ijat.v8n1a4
URL: https://doi.org/10.15640/ijat.v8n1a4

Analisis Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas Uang Muka Properti
Bisnis Pengembang di Indonesia

Rinaldi 1 & Ismet Ismatullah 2

Abstrak

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis sejauh mana peran Peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pasal 4 UU 1 huruf a, dalam
menangani kegiatan usaha pengembang properti. Dalam Peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pasal 4 UU 1 huruf a disebutkan bahwa
penyerahan Barang Kena Pajak ke dalam daerah pabean merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Penelitian ini juga menganalisis
pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sesuai uang muka yang dibayarkan konsumen kepada perusahaan sedangkan pengangkutan rumah belum
dilakukan. Proses pengangkutan perumahan memakan banyak waktu dan selama proses tersebut akan ada ketidakpastian dan kemungkinan
yang membuat transaksi gagal. Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya kegagalan transaksi antara lain dari sisi konsumen, pihak
perusahaan sebagai penjual, atau bisa juga dari bank sebagai pihak ketiga yang memfasilitasi Kredit Pemilikan Rumah. Berdasarkan kondisi
tersebut, pelaku usaha pengembang properti harus mengenakan pajak pertambahan nilai kepada konsumen pada saat bangunan sebagai barang
kena pajak tersebut disampaikan kepada konsumen sebagai pembeli.

Kata kunci: Uang Muka, PPN, Bisnis Pengembang Properti

1. Perkenalan

Seiring dengan kemajuan teknologi, pertambahan penduduk, dan peningkatan pendapatan penduduk, banyak jenis usaha
yang berkembang dewasa ini. Semakin tinggi pendapatan seseorang maka semakin tinggi pula kemampuannya dalam
membelanjakan uangnya, seperti pengeluaran rumah tangga berupa belanja pendapatan dan beban berupa belanja modal. Untuk
memenuhi segala bentuk pengeluaran tersebut, muncul berbagai bentuk usaha yang akan memenuhi segala kebutuhan
masyarakat. Tak terkecuali untuk sandang dan perumahan. Untuk memenuhi kebutuhan hunian, pemerintah sebelumnya telah
membuat badan usaha bernama PT. PerumPerumnas. Perumahan murah disediakan bagi mereka yang berpenghasilan rendah dan
menengah. Jadi, animo masyarakat untuk memiliki rumah sangat tinggi saat itu. Akibatnya, permintaan perumahan tinggi sehingga
pemerintah tidak mampu memenuhi pangsa pasar rumah murah.

Perkembangan selanjutnya adalah swasta bergandengan tangan dengan perusahaan pemerintah yaitu Perumnas dalam memenuhi kebutuhan perumahan
bagi masyarakat. Pihak swasta yang bermodal kuat juga membangun berbagai jenis tipe rumah mewah dan juga membangun kondominium, apartemen, rumah
susun, dll.

Sebelumnya, tidak terlalu banyak pajak atas objek pajak yang mungkin ada dalam bisnis properti ini. Awalnya, otoritas pajak tidak begitu intens
melihat objek perpajakan atas bisnis ini. Kemudian, sejalan dengan kebutuhan belanja negara yang sebagian besar bersumber dari pajak, pemerintah telah
membuat aturan perpajakan untuk bisnis properti karena melihat bisnisnya berkembang pesat. Pengenaan pajak seperti pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan, Biaya Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Final dan Bukan Pajak Penghasilan Final, Pajak Pertambahan Nilai, dan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

1 Departemen Perpajakan, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sukabumi


2 Departemen Perpajakan, Fakultas Ekonomi, Universitas Muhammadiyah Sukabumi
28 Jurnal Internasional Akuntansi dan Perpajakan, Vol. 8, No. 1, Juni 2020

Lonjakan permintaan properti atas tanah dan bangunan langsung diapresiasi pemerintah. Terbukti dengan dikeluarkannya aturan yang
memudahkan masyarakat untuk memiliki properti. Hal ini sejalan dengan program pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, dengan
memiliki harta benda berupa rumah agar bisa hidup layak.

Terkait dengan meningkatnya permintaan atas tanah dan bangunan properti, perusahaan pengelola dan pengembang properti semakin
banyak jumlahnya di seluruh Indonesia, mulai dari perusahaan pengelola skala kecil, menengah hingga skala besar. Keadaan ini menimbulkan
persaingan antara pengelola perusahaan dan pengembang properti sehingga dapat bersaing dan memberikan promosi yang menarik bagi
konsumen. Promosi ini untuk memberikan kemudahan kepada konsumen, agar konsumen tertarik untuk membeli properti.

Perjanjian pembelian properti dan tanah, biasanya dilakukan dengan memberikan booking fee oleh konsumen kepada perusahaan pengelola
tanah dan bangunan properti. Biasanya booking fee ini terpisah dari harga tanah dan bangunan properti, sehingga jika transaksi dibatalkan biasanya
booking fee hangus. Jika transaksi berlanjut, sebagai pengikat konsumen membayar Uang Muka dengan mengikuti apa yang telah ditentukan oleh
perusahaan. Setelah konsumen membayar uang muka, langkah selanjutnya adalah perusahaan menyiapkan lokasi bangunan, dan kemudian rumah
dibangun.

Menurut peraturan pemerintah, perusahaan harus memungut PPN 10% dari konsumen untuk penjualan tanah dan bangunan properti
nonsubsidi. Ada fakta yang menarik, bahwa pengenaan PPN 10% atas barang kena pajak atas harta tanah dan bangunan tidak selalu langsung
disetorkan oleh perusahaan, hal ini disebabkan tingginya kemungkinan terjadinya transaksi seperti booking fee dan down pembayaran dibatalkan.

Beberapa faktor menyebabkan pembatalan transaksi. Pertama, pengajuan pinjaman untuk kepemilikan tanah dan bangunan melalui
KPR tidak dikabulkan oleh bank. Kedua, perusahaan membutuhkan waktu untuk membangun properti di atas tanah mereka. Pasalnya,
perusahaan menyiapkan areal (pematangan tanah), cut and feel, pembagian tanah, site plane, Izin Perumahan, dan pengelolaan Pajak Properti,
izin dari Kepala Badan Nasional Pertanahan hingga bangunan selesai sehingga disebut Barang Kena Pajak. . Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk menganalisis pengenaan PPN Uang Muka atas pengalihan tanah dan pembangunan properti.

Permasalahan penelitian

Peraturan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pasal 4 UU 1 huruf a disebutkan bahwa penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di daerah
pabean merupakan objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Persoalan yang akan dibicarakan adalah apakah PPN 10% langsung dikenakan pada uang muka
usaha properti tanah dan bangunan. Usaha ini unik karena tidak ada kepastian pemindahan barang kena pajak atau bangunan membutuhkan waktu lebih
lama untuk menyelesaikannya dan tidak menutup kemungkinan transaksi dibatalkan oleh penjual atau pembeli.

Tujuan penelitian

Menganalisis pengenaan PPN Uang Muka pada usaha properti tanah dan bangunan, karena adanya perbedaan dengan usaha lain,
terdapat kemungkinan adanya ketidakpastian pengalihan barang kena pajak atau kapan harta tersebut sudah selesai dibangun, dan kemungkinan
batalnya jatuh tempo. ke satu pihak. Selain itu, untuk menganalisis perbedaan dengan usaha lain, seperti usaha perdagangan, usaha manufaktur
yang memberikan kepastian pemindahan barang atau produk kena pajak dalam waktu yang singkat, sehingga dapat dikatakan Uang Muka
merupakan objek PPN.

2. Latar Belakang Properti Studi

Pada mulanya harta benda lebih mengarah pada aspek hukum yaitu berupa hak dan kepemilikan suatu bangunan. Bangunan disini dalam
arti segala bentuk fisiknya, baik itu permanen, semi permanen, atau sementara, beserta tanah tempatnya berdiri hingga kedalaman yang tak terbatas.

Kata property berasal dari bahasa inggris yang berarti sesuatu yang dimiliki oleh seseorang. Di Indonesia, istilah properti identik
dengan real estate, rumah, tanah, ruko, gedung, atau gudang.

Pengertian harta menurut KamusBesar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah Hartaberupatanah, dan bangunansertasarana dan prasarana
yang merupakanbagian yang tidakterpisahkandaritanah dan ataubangunan yang ada, tanahmilik dan bangunan.

Arti properti yang dikutip dalam wikipedia.com adalah milik atau dengan sesuatu, baik sebagai atribut atau sebagai komponen dari benda tersebut.
Properti saat ini sering dikaitkan dengan perumahan. Sebenarnya segala sesuatu yang merupakan kepemilikan bisa disebut properti.
Rinaldi & Ismet Ismatullah 29

Sedangkan harta benda adalah semua benda milik seseorang atau kelompok yang diakui secara hukum oleh pihak lain (pemerintah) atau
diakui secara hukum adat. Sifat abstrak juga ada, yaitu semua karya yang dibuat oleh individu atau kelompok, seperti karya ilmiah, dan ini sering
disebut sebagai kekayaan ilmiah.

Bisnis Properti

Kegiatan usaha properti ini secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan kebutuhan masyarakat. Bisnis properti ini mendukung
kebutuhan masyarakat dalam menyediakan hunian yang layak dan baik. Oleh karena itu, peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk memajukan
bisnis properti terkait bisnis properti. Agar dapat berkembang dengan baik dan cepat, diperlukan regulasi pemerintah oleh para pelaku bisnis
properti, sehingga terjalin sinergi antara pemerintah dengan pengusaha properti. Jadi, pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha mendapatkan
keuntungan yang sama.

Pengembang properti

Pengembang properti adalah perusahaan atau perseorangan yang bergerak di bidang properti, dapat disetujui sebagai pengembang dan memasarkan
properti itu sendiri, baik perumahan skala kecil maupun besar. Agar lebih mampu berkembang dan mampu bersaing dengan kompetitor sejenis maka perusahaan
pengembang properti harus memiliki legalitas yang jelas dan dapat diterima oleh masyarakat. Pasalnya, tanpa legalitas yang jelas, ada ketidaksetujuan dari
masyarakat. Jika perusahaan berjalan normal dan jujur, maka mudah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Kemudian selanjutnya adalah dana modal yang
dapat digunakan sebagai alat moneter untuk kegiatan perusahaan pengembangan properti. Seperti pembebasan lahan, perizinan, pengembangan properti, biaya
operasional perusahaan, dan biaya tak terduga lainnya. Kesiapan dana dalam bisnis pengembang properti akan menghasilkan keuntungan yang maksimal seperti
yang diharapkan.

PPN (Pajak Pertambahan Nilai)

Pengertian Pajak Pertambahan Nilai menurut Mardiasmo (2019: 270) adalah pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai barang
dan jasa dari produsen ke konsumen. Menurut Waluyo (2017: 2), Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi dalam negeri
(dalam bea cukai) baik konsumsi barang maupun jasa. Sedangkan menurut Untung Sukardji (2000: 22), Pajak Pertambahan Nilai adalah pengenaan
pajak atas pengeluaran untuk konsumsi baik oleh individu maupun lembaga, baik swasta maupun pemerintah dalam bentuk belanja barang atau jasa
yang dibebankan pada APBN.

Dari pengertian diatas dapat dikatakan bahwa pajak pertambahan nilai merupakan pajak tidak langsung yang dibebankan kepada konsumen atas penyediaan
barang kena pajak atau jasa kena pajak di daerah pabean. Apa yang dimaksud dengan penyerahan barang kena pajak disini termasuk dalam pendistribusian kepada
konsumen di dalam daerah pabean? Jadi, setiap kali terjadi penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak, maka pajak pertambahan nilai dihitung dalam harga jual,
apakah perjanjian akan menyertakan PPN atau tidak termasuk PPN.

Objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

Menurut UU PPN Nomor 46 Tahun 2009, objek PPN menurut PP pasal 4 UU 1 huruf a, b, c, d, e, f,
g, dan h adalah sebagai berikut:

Sebuah. Pemindahan Barang Kena Pajak di dalam daerah pabean dilakukan oleh pengusaha.
b. Barang kena pajak yang diimpor.
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam daerah pabean dilakukan oleh pengusaha.
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean
f. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud nyata oleh pengusaha kena pajak
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak
h. Ekspor jasa kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Uang muka

Menurut Sumarso, uang muka SR (2004: 257) adalah pendapatan yang sebenarnya bukan hak perusahaan pada periode tersebut, tetapi
pembayaran tersebut telah diterima dimuka oleh perusahaan. Karena pembayaran yang diterima perusahaan belum menjadi pendapatan pada periode
tersebut, jumlah tersebut diakui sebagai kewajiban lancar.
30 Jurnal Internasional Akuntansi dan Perpajakan, Vol. 8, No. 1, Juni 2020

Misal suatu perusahaan menerima uang muka secara tunai, maka akan dicatat pada jurnal berikut:
Tunai xxx
Uang muka xxx

Apabila ada uang muka yang diterima perusahaan yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), maka perusahaan PKP tersebut
wajib memungut PPN 10%. Jadi, saat menerima uang muka, perusahaan akan mencatatnya di jurnal sebagai berikut:

Tunai xxx
TONG xxx
Uang muka xxx

Setelah dicermati dan dianalisis dengan cermat, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan pembeli (konsumen) membayar uang muka kepada pembeli
sebagai berikut:
Sebuah. Ada kesepakatan pembayaran antara pembeli dan penjual
b. Kepastian barang yang akan dibeli oleh pembeli
c. Kepastian akan ada barang yang akan dikirim atau dipindahtangankan
d. Kepastian waktu pengiriman barang cepat dan tidak terlalu lama.

Laporan keuangan

Laporan keuangan adalah ringkasan transaksi keuangan yang terjadi selama tahun fiskal. Laporan keuangan ini disusun oleh
manajemen dengan maksud untuk mengambil tanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh pemiliknya. Selain itu laporan keuangan juga
dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pihak di luar perusahaan (ZakiBaridwan, 2004: 17)

Laporan keuangan yang disajikan kepada pihak internal dan eksternal oleh manajemen diperoleh kondisi perusahaan yang telah terjadi (historis),
apakah kondisi tersebut semakin baik atau malah sebaliknya. Untuk itu, pemilik dapat mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar perusahaan tetap
berjalan dengan baik dan berkelanjutan.

3. Analisis Hasil

Pengenaan PPN atas uang muka usaha pengembang properti.

Dalam bisnis pengembang properti, untuk memasarkan produk propertinya biasanya perusahaan akan memberikan kemudahan untuk menarik
konsumen agar membeli produk propertinya. Ada strategi khusus untuk menarik konsumen agar membeli produk properti, karena persaingan dalam bisnis
semakin ketat.
Pemerintah menetapkan kategori tipe rumah berdasarkan handcover property atas tanah dan bangunan Perumahan Bersubsidi
1.
Perumahan bersubsidi ini adalah tipe rumah 30/60. Pemerintah mensubsidi rumah itu dengan tidak membebankan PPN 10% atas serah terima rumah
kepada konsumen.
2. Perumahan Non Subsidi
Perumahan non subsidi ini adalah tipe rumah diatas 30/60. Pemerintah tidak memberikan subsidi kepada orang tersebut karena pemerintah yakin
mereka bisa memiliki rumah sendiri. Jadi, pemerintah mengenakan PPN 10% atas serah terima perumahan kepada konsumen.

Pada awal transaksi, perusahaan meminta pelanggan untuk membayar biaya pemesanan, sebagai deposit. Biaya pemesanan ini belum
termasuk harga jual dan pajak, Biaya Pengalihan Hak Bangunan, biaya notaris, dan biaya penanganan lainnya. Jadi, biaya pemesanan terpisah dari
harga jual properti.

Kemudian untuk membantu pelanggan membeli properti tersebut, perusahaan menyediakan beberapa cara pembayaran. Pelanggan dapat membayar secara
tunai, pembayaran bertahap, atau menggunakan fasilitas Pinjaman Kepemilikan Rumah melalui bank.

Sebelum melangkah ke tahap pembelian selanjutnya, perusahaan biasanya menetapkan besaran uang muka konsumen yang
ditentukan dengan persentase. Misalnya 10% dari Harga Jual, 30% dari Harga Jual, dan seterusnya.

Untuk penjualan rumah non subsidi, setiap serah terima properti dikenakan PPN 10%. Tergantung kebijakan perusahaan, apakah
perusahaan menetapkan PPN 10% sudah termasuk atau tidak termasuk harga jual.
Perusahaan harus memilih salah satu kebijakan sebagai bagian dari strategi bisnisnya karena menyangkut harga jual yang harus bersaing dengan
perusahaan pesaing sejenis.
Rinaldi & Ismet Ismatullah 31

Sebagai contoh harga jual rumah belum termasuk PPN 10% untuk harga jual rumah Rp. 500.000.000, - maka PPNnya adalah Rp. 50.000.000 yang Pengenaan
Pajak Dasar sebesar Rp. 500.000.000. Jadi, konsumen akan membayar Rp. 550.000.000.
Jika harga jual rumah sudah termasuk PPN 10%, untuk harga jual Rp. 500.000.000, - maka PPN tersebut
x Rp. 500.000.000 = Rp. 45.454.545,45, yang mana Pengenaan Pajak Dasar (DPP) adalah x Rp. 500.000.000 = Rp.
454,545,454,55. Jadi konsumen akan membayar Rp. 500.000.000.
Pengenaan PPN atas uang muka penjualan properti tanah dan bangunan memang berbeda dengan pengenaan PPN atas
Barang Kena Pajak (BKP) oleh distributor dalam perdagangan, oleh perusahaan yang mengolah bahan baku menjadi produk jadi.

Perbedaannya, tidak ada bentuk penyerahan bangunan kena pajak. Pasalnya, jangka waktu pembangunannya relatif lebih lama dan
membutuhkan waktu untuk pengurusan izin, pembuatan site planes, serta cut-end filing, pembukaan lahan mentah, hingga membelah lahan
yang sudah menjadi lahan matang.

Kemudian kemungkinan resiko transaksi dibatalkan, bisa disebabkan oleh konsumen itu sendiri, atau oleh pengembang itu sendiri, atau
oleh pihak ketiga, bank, yang memfasilitasi pinjaman kepemilikan rumah. Berdasarkan kemungkinan adanya risiko tersebut, maka menurut
saya, harus ada pengecualian bagi pelaku usaha properti dan pengembang dalam pengenaan PPN untuk uang muka. Artinya pengenaan PPN
tetap dibebankan atas serah terima Properti Bangunan, namun penghitungan PPN ditentukan setelah sebenarnya penyerahan Barang Kena
Pajak berupa serah terima satuan bangunan, yaitu mengikuti UU PPN Pasal 4 ayat 1 poin a.

Pengenaan PPN ini berbeda dengan uang muka pada perusahaan dagang atau perusahaan manufaktur. Ketika konsumen
(pembeli) membayar uang muka penjualan, maka pada saat itu penjual akan memungut PPN 10% atas uang muka tersebut. Hal ini
dikarenakan konsumen menerima barang kena pajak dalam bentuk nyata, maka jarak uang muka dengan pengiriman barang tidak terlalu
jauh. Artinya ada kepastian berupa Barang Kena Pajak dan waktu penyerahan Barang Kena Pajak tersebut, serta ada keterikatan antara
pembeli dan penjual dalam bentuk perjanjian jual beli.

Berdasarkan situasi di atas, maka dapat dikatakan bahwa kepastian serah terima barang kena pajak lebih melekat pada transaksi di perusahaan
perdagangan dan perusahaan manufaktur dibandingkan dengan pengembang properti. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari Laporan Keuangan Perusahaan
Pengembang Properti sebagai berikut:
32 Jurnal Internasional Akuntansi dan Perpajakan, Vol. 8, No. 1, Juni 2020

Tabel 3.1 Catatan keuangan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan keuangan

PTNUSAPERSADA REALTY
NERACA PERBANDINGAN
Per 31 Desember 2016
(Dinyatakan dalam Rupiah, kecuali dinyatakan lain)

Catatan 31 Desember 2016 31 Desember 2015


AKTIVA
ASET LANCAR
Tunai 3.a 925.171.900 261.519.358
Piutang dagang 3.b 1.257.912.908 1.080.696.508
Retensi Piutang 3. c 302.300.000 -
Piutang Lainnya 3.d 11.900.000 7.800.000
Inventaris 3.e 20.760.880.247 24.579.117.899
Total aset saat ini 23.258.165.055 25.929.193.765

JANGKA PANJANG
(Aktiva Lancar - Akumulasi Penyusutan) * (Rp.
3.f 1.737.739.701 1.909.936.909
557.220.500 - Rp. 376.898.291)
* = per 31 Desember 2015
Total Aset Jangka Panjang 1.737.739.701 1.909.936.909

TOTAL ASET

KEWAJIBAN DAN EKUITAS


KEWAJIBAN JANGKA PENDEK
Uang muka 3. g 1.653.98.398 939.799.188
Hutang pajak 3.h 86.350.000 -
Hutang Jangka Pendek Lainnya 3. i 90.000.000 130.000.000
Total Kewajiban Jangka Pendek 1.830.333.398 1.069.799.188

KEWAJIBAN JANGKA PANJANG


Hutang Bank 3.j 3.270.921.754 4.256.072.899
Hutang Leasing 3.j 4.603.000 62.600.000
Hutang Jangka Panjang Lainnya 3.k 45.000.000 328.000.000
Total Hutang Jangka Panjang 3.320.524.754 4.646.672.899

KEADILAN
Modal 3. l 5.000.000.000 5.000.000.000
Tambahan Modal Disetor 3.m 12.124.294.258 14.713.424.255
Penghasilan Renternaid 3.n 2.409.234.332 3.714.668.821
Penghasilan Tahun Ini 3.n 311.518.014 (1.305.434.489)
Ekuitas Total 19.845.046.604 22.122.658.587

TOTAL KEWAJIBAN DAN EKUITAS 24.995.904.756 27.839.130.674

Dari data di atas dapat diketahui bahwa pada tahun 2015 perusahaan menerima uang muka dari konsumen sebesar Rp. 939.799.188, - dan pada
tahun 2016 sebesarRp. 1.653.983.398. Jumlah yang diterima belum termasuk PPN 10%, karena perusahaan mengakui adanya pengenaan PPN pada
saat bangunan diserahkan kepada konsumen. Jadi, PPN itu jatuh tempo pada saat bangunan tersebut diserahkan kepada konsumen. Sebelum bangunan
diserahkan kepada konsumen, biasanya perusahaan melakukan penjilidan dengan konsumen terlebih dahulu. Ini disebut Perjanjian Penjualan dan
Pembelian yang Mengikat di L&B. Jika konsumen telah memenuhi kewajibannya untuk membayar Biaya Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan, Izin
Perumahan, Pajak Properti, Biaya Notaris, Biaya Penilaian, Perjanjian Jual Beli Notaris dilakukan melalui
Rinaldi & Ismet Ismatullah 33

seorang notaris. Setelah itu, perusahaan harus menyerahkan perjanjian jual beli dengan Notaris & Pejabat Pemberi Sertifikat Akta. Jadi,
kewajiban pengenaan PPN kepada konsumen harus disetor ke Kas Negara oleh perusahaan.

Jika dibandingkan dengan usaha lain, seperti usaha perdagangan dan manufaktur, terdapat perbedaan kepastian dan waktu penyerahan barang
kena pajak kepada konsumen. Jadi, inilah yang menjadi dasar bagi perusahaan untuk lebih mudah memungut PPN dari konsumen, dan nantinya akan
disetorkan ke Kas Negara.

4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

Dalam bisnis properti dan bangunan, ada cara yang lebih mudah untuk memiliki properti dan bangunan. Konsumen membayar uang
muka kepada perusahaan, sebagai tanda pengikat kepemilikan properti dan bangunan. Untuk bangunan non subsidi, pemerintah menetapkan
pengenaan PPN 10% kepada konsumen atas penyerahan barang kena pajak berupa properti dan bangunan oleh perusahaan. Sesuai
Undang-Undang PPN Pasal 4 ayat 1 huruf a, pengenaan PPN terjadi karena penyerahan barang kena pajak di daerah pabean.

Namun penyerahan barang kena pajak berupa bangunan memiliki ketidakpastian yang tinggi karena ada kemungkinan transaksi tersebut dapat
dibatalkan oleh pembeli atau konsumen, oleh penjual atau produsen, atau bisa juga oleh pihak ketiga, bank, yang menyediakan fasilitas Pinjaman
Kepemilikan Rumah.

Karena resiko pembatalan transaksi, uang muka belum dikenakan PPN. Selain itu, faktor lainnya adalah lamanya waktu penyerahan
barang kena pajak berupa bangunan. Hal ini disebabkan proses pematangan lahan, seperti cut and fil, land clearing, site plane, mature land split,
hingga bangunan berdiri kokoh. Kegiatan tersebut membutuhkan waktu yang lebih lama hingga bangunan tersebut diserahkan kepada konsumen.

Rekomendasi

Dalam kenyataannya, seringkali terjadi perdebatan tentang pengenaan PPN atas uang muka usaha properti dan bangunan. Hal ini
disebabkan oleh otoritas pajak yang mengakumulasi semua Uang Muka untuk bisnis apa pun, yang dikenai PPN 10%. Otoritas pajak tidak melihat
apakah transaksi ini termasuk ketidakpastian, pengikatan perjanjian transaksi, dan lamanya waktu penyerahan barang kena pajak. Pasalnya, otoritas
pajak menerapkan prinsip yang sama untuk semua bisnis.

Rekomendasi saya untuk bisnis properti dan bangunan, harus ada kemudahan dalam pengenaan PPN atas Uang Muka.
Bisnis properti dan bangunan agak unik dibandingkan bisnis lain. Pasalnya, ada kemungkinan transaksi dibatalkan oleh salah
satu pihak, atau Kredit Pemilikan Rumah tidak disetujui bank, konsumen tidak lolos pemeriksaan Bank Indonesia karena
konsumen bermasalah dengan bank, dan serta lamanya waktu penyelesaian bangunan. Oleh karena itu, pengenaan PPN
Properti dan Bangunan pada saat perusahaan menyerahkan Barang Kena Pajak berupa bangunan kepada konsumen di daerah
pabean, sesuai dengan UU PPN pasal 4 ayat 1 huruf a.

Referensi

Baridwan, Zaki. 2004. Akuntansi Menengah. Jakarta: Erlangga


Indonesia, Properti. 2018. Online [http://www.propertyindonesia.co.id]. Diakses tanggal 11 Juni 2019 Kamus Besar Bahasa
Indonesia. 2019. Online [https://kbbi.web.id/property]. Diakses tanggal 11 Juni 2019 Mardiasmo. Perpajakan Ed 2019. Yogyakarta:
Penerbit Andi
Republik Indonesia. Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) No.42 Tahun 2009 Sukardji, Untung. 2000.
Pajak Pertambahan Nilai. Jakarta: Wikipedia Salemba Empat. 2017. Online [http://www.id.wikipedia.org].
Diakses tanggal 11 Juni 2019 Waluyo. 2017. Perpajakan Indonesia Ed 12 Buku 1. Jakarta: Salemba Empat

Anda mungkin juga menyukai