Anda di halaman 1dari 10

Ompahlitis dan Penatalaksanaannya

Dany Alfian

102017041 / B8

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Ukrida Semester 7 Angkatan 2017

Jalan Arjuna Utara No. 6 Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Dany.2017fk041@civitas.ukrida.ac.id

ABSTRAK

Kata Kunci :

ABSTRACT

Keywords:

Pendahuluan

Anamnesis

Anamnesis adalah pemeriksaan yang dilakukan melalui percakapan antara seorang dokter
dengan pasien secara langsung atau melalui perantara orang lain yang mengetahui kondisi pasien
dengan tujuan untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan medisnya. Anamnesis
dibagi menjadi dua yaitu autoanamnesis bila dokter bisa menanyakan secara keluhan-keluhan
yang dihadapi langsung dengan si penderita, dan alloanamnesis bila kondisi si penderita tidak
memungkinkan untuk ditanyai sehingga dokter menanyakan keluhan pada orang yang
mengetahui kondisi pasien. Apabila anamnesis dilakukan dengan cermat maka informasi yang
didapatkan sangat berharga untuk menegakkan diagnosis. Ditanyakan juga identitas nama
lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang tua atau suami atau isteri atau
penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, dan agama. Keluhan utama
keluhan yang dirasakan pasien sehingga membawanya datang ke dokter atau mencari
pertolongan.2

Riwayat penyakit sekarang riwayat perjalanan penyakit yang merupakan cerita yang
kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak sebelum keluhan utama
sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu mengetahui kemungkinan-kemungkinan
adanya hubungan antara penyakit yang pernah diderita dengan penyakit sekarang. Riwayat
keluarga – untuk mencari kemungkinan penyakit herediter, familial, atau penyakit infeksi.
Riwayat pengobatan, apakah yang sudah dilakukan atau diberikan ketika insiden terjadi. Riwayat
pribadi dan sosial, meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan dan kebiasaan.3

Anamnesis

 Identitas pasien
 Keluhan utama
- Keluhan dari sejak kapan?
- Kenapa bisa seperti itu ?
- Terus menerus / hilang timbul, apabila hilang timbul pada saat kapan?
 Keluhan tambahan:
- Apakah terdapat ikterus (kuning) pada kulit dan sklera.
- Apakah warna kencingnya coklat gelap hingga kehitaman.
- Apakah gatal-gatal pada kulit.
- Apakah ada nyeri perut atau perut makin lama makin membesar (pikirkan sudah
terjadinya splenomegali).
- Apakah muntah, demam, kejang.
- Apabila ada kejang, kejangnya sudah sejak kapan?
 Riwayat penyakit dahulu: Apakah sebelumnya pernah seperti ini?
 Riwayat penyakit keluarga: Apakah ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa.
 Riwayat kehamilan : (GPA, usia ibu, usia kehamilan, penyakit kehamilan)
 Riwayat persalinan : (spontan, SC, vakum)
 Riwayat kelahiran : (APGAR score, berat badan lahir, kondisi bayi saat lahir,
pemeriksaan fisik awal normal atau ada kongenital, meconium +/-, miksi +/-
 Riwayat imunisasi
 Riwayat pengobatan:
1. Sudah pernah berobat sebelumnya dan minum obat apa?
2. Dulu saat ibu sakit pernah mendapat obat-obatan apa saja (golongan sulfonamida,
aspirin, phenazopyridine, acetanilide, dan beberapa antibiotik non sulfa seperti
nalidixic acid, nitrofurantoin, isoniazid, dapson, furozolidone).
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yaitu keadaan umum, tingkat kesadaran (sadar, delirium, somnolen,
sopor/ stupor, koma), tanda-tanda vital: nadi, tensi, suhu, frekuensi pernapasan.

a. Inspeksi
- Keadaan kulit. Perlu diperhatikan telapak tangan dan bantalan kuku. Pada kondisi
anemia, daerah tersebut akan menjadi pucat (pallor).
- Kondisi konjungtiva dan sklera. Perlu diperiksa apakah skleranya berwarna kuning atau
konjungtiva pucat.3
b. Palpasi
- Palpasi apakah ada pembesaran limpa pada abdomen
c. Perkusi
- Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara keseluruhan,
menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massa padat atau massa
berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambung dan usus, serta adanya
udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal adalah
timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ yang
padat).
d. Auskultasi
- Auskultasi perlu dilakukan terutama pada bagian dada. Suara pernapasan dan suara
jantung perlu diperhatikan. Pada kondisi anemia berat, seringkali ditemukan murmur
pada bunyi jantung.3
Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1. Nilai normal pemerksaan darah lengkap

Kadar H
Pra sekolah 11 g/dL
Usia sekolah 12 g/dL
Wanita hamil 11 g/dL
36 bulan post partum 12 g/dL
Wanita dewasa 12 g/dL
Pria dewasa 13 g/ dL
 Kadar Hb
 Apusan darah tepi dapat ditemukan frgamentosit dan Heinz body
 Tes Bilirubin : meningkat
 Pemeriksaan DNA

Working diagnosis

Enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan enzim yang diperlukan dalam
proses oksidasi molekul glukosa melalui jalur pentosa fosfat (Hexoxe mono phosfat shunt / HMP
shunt). Dalam proses tersebut akan dihasilkan molekul Nicotinamide Adenine Dinucleotide
Phosphate tereduksi (NADPH) dan ribosa fosfat.1 Diketahui bahwa defisiensi enzim G6PD
dapat mengakibatkan sel darah merah mudah pecah sehingga menyebabkan keadaan anemia
hemolitik.

Diferrent diagnosis

Ikterus fisiologis

Ikterus fisiologis merupakan penyebab umum hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
Keadaan ini adalah diagnosis ekslusi yang dibuat setelah menyingkirkan kemungkinan penyebab
lain yang lebih serius. Ikterus fisiologis merupakan hasil dari berbagai faktor fisiologis normal
pada bayi lahir seperti peningkatan produksi bilirubin akibat peningkataan masssa SDM, usia
SDM yang pendek, dan imaturitas hati. Ikterus fisiologis dapat berlebihan pada bayi keturunan
yunani dan asia.
Pola klinis ikterus fisiologis pada bayi cukup bulan meliputi kadar bilirubinn indirek
puncak tidak lebih dari 12 mg/dL pada hari ke 3 kehidupan. Pada bayi prematur, puncak ini lebih
tinggi yaitu 15 mg/dL dan lambat (hari kelima). Kadar puncak bilirubin indirek selama periode
ikterus fisilogis lebih tinggi pada bayi yang mendapat ASI daripada formula 15 -17 mg/dL vs 12
mg/dL). Kadar yang lebih tinggi ini mungkin berhubungan dengan kurangnya asupan cairan
pada bayi ASI. Ikterus disebut patologis apabila terlihat sejak hari pertama kehidupan, bila kadar
bilirubin meningkat lebih dari 0,5 mg/dL/jam, kadar puncak bilirubin lebih tinggi dari 13 mg/dL
pada neonatus cukup bulan, bilitubin direk lebih dari 1,5 mg/dL atau bila terdapat
hepatosplenomegali dan anemia.

Hemolytic Disease of the Newborn (HDN)

paling sering terjadi ketika seorang ibu yang negatif Rh memiliki bayi dengan ayah Rh
positif. Ketika faktor Rh bayi positif, seperti ayah, masalah dapat berkembang jika sel-sel darah
merah bayi menyeberang ke ibu dengan Rh negatif. Hal ini biasanya terjadi pada saat persalinan
ketika plasenta dilepaskan. Namun, juga dapat terjadi kapan saja saat sel darah dari dua sirkulasi
campuran, seperti selama keguguran atau aborsi, dengan jatuh, atau selama prosedur pengujian
pralahir invasif (seperti amniocentesis atau chorionic villus sampling).

Sistem kekebalan tubuh ibu melihat Rh sel darah merah positif bayi sebagai “asing”.
Sama seperti ketika bakteri menyerang tubuh, sistem kekebalan tubuh merespon dengan
mengembangkan antibodi untuk melawan dan menghancurkan sel-sel asing. Sistem kekebalan
tubuh ibu kemudian membuat antibodi dalam kasus sel asing muncul lagi, bahkan pada
kehamilan masa depan.

Berikut ini adalah gejala yang paling umum dari penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
Namun, setiap bayi mungkin mengalami gejala yang berbeda.

Gejala selama kehamilan yang mungkin yaitu :

a) Dengan amniosentesis, cairan ketuban mungkin memiliki warna kuning dan


mengandung bilirubin.

b) USG janin menunjukkan pembesaran hati, limpa, dan penumpukan cairan di perut
janin, sekitar paru-paru, atau di kulit kepala.
Gejala setelah lahir dapat mencakup:

a) Sebuah pewarna pucat mungkin jelas, karena anemia.

b) Penyakit kuning, atau pewarna kuning cairan ketuban, tali pusat, kulit, dan mata dapat
hadir. Bayi mungkin tidak tampak kuning segera setelah lahir, tapi penyakit kuning dapat
berkembang dengan cepat, biasanya dalam waktu 24 sampai 36 jam.

c) Bayi dengan hidrops fetalis memiliki edema berat (pembengkakan) dari seluruh tubuh
dan bayi terlihat sangat pucat. Mereka sering mengalami kesulitan bernapas.

Selain itu ada pula gejala-gejala lainnya, yaitu:

a) Anemia Akibat kerusakan sel darah merah janin menderita hypoxia (kekurangan
oksigen), asidosis (penimbunan asam), dan payah jantung. Dapat juga terjadi hydropsfoetalis
atau kematian janin di dalam rahim. Kadar hemoglobin dalam tali pusat dapat menjadi parameter
yang terbaik untuk mengetahui berat ringannya penyakit HDN tersebut.

b) Hyperbilirubinemia Selain hemoglobin, kadar bilirubin juga dapat menjadi parameter


yang baik. Batas transfusi tukar adalah bila kadar bilirubin dalam tali pusat mencapai 4 mg/dl
atau lebiih, walaupun kadar Hb masih dalam batas normal. Keadaan ini dapat diperburuk dengan
hati bayi yang belum mampu membuat enzim Glucuronyl transferase (mengubah bilirubin
menjadi bentuk yang dapat dikeluarkan melalui empedu), akibatnya bilirubin meningkat. Dalam
24 jam kadar bilirubin dapat meningkat terus-menerus hingga mencapai 0,5-1,0 mg/dl/jam.
Jumlah bilirubin yang diikat oleh albumin sangat sedikit dan sisanya akan melekat pada lipid
cerebellum, sehingga terjadi Kernicterus (kadar bilirubin >20 mg/dl) dengan tanda-tanda : tidak
nafsu makan, dyspathi, napas tidak teratur dan lain-lain.

c) Perubahan-perubahan pada jaringan Hancurnya sel darah merah dan aktifnya


erythropoiesis menimbulkan erythroblast, sehingga mengakibatkan terjadinya
hepatosplenomegaly.

Etiopatofisiologi

Enzim Glukosa 6 fosfat dehidrogenase merupakan polipeptida yang terdiri atas 515 asam
amino dengan berat molekul 59 kDa. Gen pengkode enzim tersebut terdiri atas 13 ekson dan 12
intron, terletak di lengan panjang kromosom X (Xq28).2 Enzim G6PD ditemukan dalam proses
metabolisme karbohidrat melalui jalur pentosa fosfat. Aktivitas enzim tersebut sangat bergantung
pada Nicotinamide Adenin Dinukleotida Phosphate (NADP), dependent NADP. Enzim Glukosa
6 fosfat dehidrogenase akan mengoksidasi/dehidrogenasi molekul glukosa 6-fosfat menjadi 6-
fosfoglukonat, bersamaan dengan proses tersebut akan dihasilkan NADPH (Gambar 1). Peranan
penting jalur pentosa fosfat adalah menghasilkan NADPH dan molekul ribosa fosfat.1

Jalur pentosa fosfat aktif terjadi di hati, jaringan adiposa, korteks adrenal, tiroid, eritrosit,
testis, dan kelenjar mamae yang sedang laktasi. Aktivitas jalur tersebut rendah pada kelenjar
mamae yang tidak sedang laktasi dan pada otot rangka. NADPH mempunyai peranan penting
dalam sintesis reduktif beberapa proses metabolism, di antaranya sintesis asam lemak, steroid,
asam amino melalui glutamat dehidrogenase, dan glutation tereduksi (GSH). Sementara itu,
ribosa fosfat penting dalam proses pembentukan asam nukleat seperti DNA dan RNA.1
Glutation adalah suatu peptida yang terdiri atas tiga molekul asam amino, yaitu asam amino
glutamat, sistein, dan glisin; struktur molekul glutation dapat dilihat pada Gambar 2. Di dalam
sel darah merah, jalur pentosa fosfat menghasilkan NADPH dengan peranan mereduksi glutation
teroksidasi (GSSG) membentuk glutation tereduksi (GSH) yang dikatalisis oleh enzim glutation
reduktase.1 Glutation tereduksi diperlukan untuk aktivitas enzim glutation peroksidase; suatu
enzim yang mengandung selenium. Enzim glutation peroksidase berperanan untuk mereduksi
peroksida organik dan senyawa toksik H2O2 menjadi H2O; Sebagai bagian dari pertahanan
tubuh terhadap peroksidasi lipid (Gambar 3). Aktivitas enzim glutation peroksidase sangat
bergantung pada pasokan NADPH yang hanya dapat dibentuk melalui jalur pentosa fosfat di
eritrosit.

Oleh karena defisiensi enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase dapat menyebabkan


kurangnya pembentukan NADPH, maka defisiensi enzim tersebut juga berakibat tidak
terbentuknya glutation tereduksi, sehingga enzim glutation peroksidase menjadi tidak aktif
bekerja mereduksi senyawa toksik H2O2. Akibatnya senyawa H2O2 akan terakumulasi.
Senyawa tersebut dapat menimbulkan radikal bebas sehingga dapat mengoksidasi membran sel
darah merah. Proses oksidasi terhadap membran sel darah merah ini dapat menyebabkan
terjadinya hemolisis / pecahnya membran sel darah merah.11 Peranan enzim G6PD adalah
memertahankan keutuhan sel darah merah serta menghindarkan kejadian hemolitik. Umumnya
defisiensi G6PD tidak bergejala. Hemolisis baru dapat terjadi bila penderita terpapar bahan
eksogen yang potensial menimbulkan kerusakan oksidatif, seperti: obat-obatan, bahan kimia,
infeksi dan kacang fava.

Manifestasi klinis

Aktivitas G6PD yang normal menurun sampai 50% pada waktu umur eritrosit mencapai
120 hari. Pada Tipe A- penurunan ini terjadi sedikit lebih cepat dan lebih cepat lagi pada varian
mediteranian. Meskipun umur eritrosit pada Tipe A- lebih pendek namun tidak menimbulkan
anemia kecuali bila terpajan dengan infeksi virus dan bakteri di samping obat-obatan atau toksin
yang dapat berperan sebagai oksidan yang mengakibatkan hemolisis. Obat-obatan dan zat yang
dapat mempresipitasi hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD adalah asetanilid, fuzolidon
(furokson), isobutil nitrit, metilen blue, asam nalidiksat, naftalen, niridazol, nitrofurantoin,
fenazopiriden (piridium), primakuin, pamakuin, dapson, sulfa setamid, sulfametoksazol,
sulfapiridin, tiazolsulfon, toluidine blue, trinitrotoluene, urat oksidase, vitamin k, doksorubisin.

Ikterus yang nyata secara klinis, urin berwarna gelap, sebagai akibat dari pigmen
bilirubin, hemoglobinuria bila hemolisis terjadi intravaskular, dan penurunan kadar haptoglobin
biasa terjadi pada episode hemolitik. Pada permulaannya, hemolisis melampaui kemampuan
sumsum tulang untuk mengkompensasinya, sehingga hitung retikulosit dapat menjadi rendah
selama 3-4 hari

Hemolisis akut terjadi beberapa jam setelah terpajan dengan oksidan, diikuti
hemoglobinuria dan kolaps pembuluh darah perifer pada kasus yang berat. Hemolisis biasanya
self-limited karena yang mengalami destruksi hanya populasi eritrosit yang tua saja. Pada tipe A-
massa eritrosit menurun hanya 25-30%. Ketika hemolisis akut hematokrit turun cepat diiringi
oleh peningkatan hemoglobin dan bilirubin tak terkonjugasi dan penurunan haptoglobin.
Sebagian kecil pasien defisiensi G6PD ada yang sangat sensitif dengan fava beans (buncis) dan
dapat mengakibatkan krisis hemolisis fulminan secara terpajan.

Epidemiologi

Defisiensi enzim glukosa 6 fosfat dehidrogenase (G6PD) merupakan kelainan enzim


yang paling umum, terjadi pada lebih dari 400 juta orang di dunia. Kejadian defisiensi G6PD
banyak pada daerah tropis dan subtropis.2,3 Diketahui pada umumnya insidens defisiensi G6PD
dapat mencapai 25% pada beberapa populasi seperti di daerah Mediterania, Afrika, Asia Selatan,
Eropa Selatan, dan Timur Tengah.4

Insidens defisiensi G6PD di Indonesia diperkirakan sebesar 1-14%,5 Menurut penelitian


Soemantri dkk diketahui prevalensi insidens defisiensi G6PD di Jawa Tengah sebesar 15%.6
Sementara hasil penelitian Suhartati dkk insidens defisiensi enzim tersebut di pulaupulau kecil di
Indonesia (pulau Babar, Tanimbar, Kur, dan Romang di Propinsi Maluku) adalah 1,6-6,7%
populasi.7 Defisiensi enzim G6PD merupakan kelainan genetik herediter, terkait kromosom seks
(X- linked).3 Hasil penelitian Kaban dkk menyatakan bahwa frekuensi kejadian defisiensi enzim
G6PD pada bayi laki-laki baru lahir (6,26%) lebih besar daripada kejadian pada perempuan
(4,07%).8

Terapi dan Pencegahan

Terapi defisiensi G6PD bersifat suportif. Transfusi terindikasi bila timbul asalah
kardiovaskular yang bermakna. Mempertahankan hidrasi dan alkalinisasi urin melindungi ginjal
terhadap kerusakan akibat hemoglobin bebas yang mengalami presipitasi. Hemolisis dicegah
dengan penghindaran terhadap oksidan yand diketahui, terutama sulfonamide dengan masa kerja
yang panjang, nitrofurantoin, primakuin dimerkaprol dan kapur barus (naftalen). Kacang fava
(favisme) memicu hemolisis, khususnya pada pasien dengan varian mediterania. Infeksi juga
merupakan pencetus hemolisis utama pada anak usia muda yang mengalami defisiensi G6PD

Prognosis

Apabila penderita G6PD bisa menghindari dari zat-zat atau obat-obatan tertentu yang
dapat membuat hemolisis progonsisnya baik karena G6PD ini merupakan penyakit yang self
limited.

Kesimpulan
Daftar pustaka

1. Purnamasari L. Perawatan Topikal Tali Pusat untuk Mencegah Infeksi pada Bayi Baru
Lahir. CDK-240. 2016; 43(5).
2. Bickley LS. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Ed 8. Jakarta:
EGC;2012.
3. Painter K, Feldman J. Omphalitis. Diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK513338/ pada tanggal 25 april 2020.
4. Kasiati, Santoso B, Yunitasari E, Nursalam. Topikal asi : model asuhan keperawatan tali
pusat pada bayi. Jurnal Ners. 2013; 8(1).
5. USCF Department of urology. Urachal abnormalities. Diunduh dari
https://urology.ucsf.edu/patient-care/children/urachal-abnormalities pada tanggal 25 april
2020.
6. Nagar H. Umbilical granuloma: a new appoarch to an old problem. Diunduh dari
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/11666047 pada tanggal 25 spril 2020.
7. Tita TNT, Andrews WW. Diagnosis and management of clinical chorioamnionitis.
Diunduh dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3008318/ pada tanggal 25
april 20202.

Anda mungkin juga menyukai