Anda di halaman 1dari 24

Defisiensi Glukosa-6-Fosfat Dehidrogenase Pada Neonatus

Kelompok B2
Filian Tuhumury (102016036)
Alexander Zethiawan Bang (102017083)
Kadek Yoga Trisnayasa (102017181)
Jessica Leatemia (102016095)
Sheila Natalia (102017033)
Tiara (102017110)
Maria Oktaviana D. Lowa (102017165)
Octhavia Lidya Millennium Sitio (102017201)

Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jln. Arjuna Utara No. 6, Jakarta Barat 11510

Abstrak

Defisiensi G6PD merupakan enzimopati yang paling umum diderita manusia dan terkait dengan
kromosom X. Gen pengkode enzim ini terletak di lengan panjang kromosom X
(Xq28).Kebanyakan pasien defisiensi G6PD tidak menunjukan gejala hingga terpapar obat-
obatan pengoksidasi, infeksi, dan makan kacang fava.Pengobatan terpenting adalah dengan
menghindari bahan pengoksidasi yang dapat menginduksi anemia hemolitik. Skrining neonates
dan edukasi kesehatan berperan penting dalam mengurangi manifestasi klinis defisiensi G6PD.
Populasi Indonesia memiliki variasi genetik beraneka ragam, daerah pesisir merupakan daerah
terbuka dengan penduduk yang mempunyai mobilitas tinggi, terdapat percampuran berbagai
variasi genetik. Di daerah tersebut besar kemungkinan terjadi berbagai jenis mutan gen, karena
adanya pembauran (perkawinan) antar satu populasi dengan populasi lain yang dikenal dengan
aliran gen (genetic flow), sehingga memungkinkan terciptanya kombinasi genetik.

Kata kunci : Defisiensi, icterus, neonatus

Abstract

1
G6PD deficiency is the most common enzyme in humans and is associated with the X
chromosome. The encoding gene of this enzyme is located in the long arm of the X chromosome
(Xq28). The most important treatment is to avoid oxidizing substances that can induce hemolytic
anemia. Neonates screening and health education play an important role in reducing the clinical
manifestations of G6PD deficiency. Indonesia's population has a wide variety of genetic
variation, the coastal area is an open area with a high mobility population, there is a mixture of
various genetic variations. In these areas there is a high probability of different types of gene
mutants, due to the mixing (marriage) between one population with another population known
as gene flow (genetic flow), thus allowing the creation of genetic combinations.

Key words : Deficiency, icterus, neonate

PENDAHULUAN
Defisiensi G6PD merupakan penyakit dengan gangguan herediter pada aktivitas eritrosit
(sel darah merah), dimana terdapat kekurangan enzim glukosa-6-fosfat-dehidrogenase (G6PD).
Enzim G6PD ini berperan pada perlindungan eritrosit dari reaksi oksidatif. Karena kurangnya
enzim ini, eritrosit jadi lebih mudah mengalami penghancuran (hemolisis). Terjadinya hemolisis
ditandai dengan demam yang disertai jaundice dan pucat di seluruh tubuh dan mukosa. Urin juga
berubah warna menjadi jingga-kecoklatan dan ditemukan tanda syok.
Enzim G6PD bekerja pada jalur fosfat pentosa metabolisme karbohidrat. Diwariskan
secara X-linked, oleh karena itu mutasi pada gen G6PD, ditemukan lebih banyak pada laki-laki
daripada perempuan menyebabkan varian fungsional dengan beberapa biokimia dan fenotipe.
Paling banyak dilaporkan dari Afrika, Eropa, Timur Tengah dan Asia Tenggara. Perkiraan
konservatif menyebutkan paling sedikit 400 juta orang memiliki gen defisiensi G6PD. Di
beberapa daerah di area tropis maupun subtropis, frekuensi gen defisiensi G6PD bisa mencapai
20% atau lebih. G6PD sendiri merupakan contoh terbaik dari polimorfisme gen manusia.
Penelitian lapangan dan in vitro menunjukkan adanya kecenderungan penyakit malaria oleh
Plasmodium falciparum untuk tidak menjadi letal jika menyerang host yang defisiensi G6PD.

Skenario

2
Seorang bayi baru lahir, perempuan, dirawat di rumah sakit karena ikterus. Bayi lahir
aterm, berat badan 2850 gram. Waktu bayi dilahirkan, sampai pulang rumah sakit, bayi baik baik
saja. Setelah 2 hari dirumah bayi mengalami kuning dan mulai kejang. Bayi dibawa di UGD dan
dilakukan pemeriksaan didapatkan kadar bilirubin tinggi. Dugaan sementara adalah aktivitas
pemecahan eritrosit yang berlebihan.

ISI PEMBAHASAN
Anamnesis

 Identitas pasien
 Keluhan utama
 Keluhan tambahan:
1. Apakah terdapat ikterus (kuning) pada kulit dan sklera.
2. Apakah warna kencingnya coklat gelap hingga kehitaman.
3. Apakah gatal-gatal pada kulit.
4. Apakah ada nyeri perut atau perut makin lama makin membesar (pikirkan sudah
terjadinya splenomegali).
5. Apakah ada nyeri pinggang (pikirkan sudah terjadinya gagal ginjal akut).
6. Apakah mual muntah, menggigil, demam.
 Riwayat penyakit dahulu:
1. Apakah dulu pernah menderita penyakit infeksi seperti malaria, TBC, atau yang
lainnya.
2. Apakah menderita diabetes ketoasidosis (penyakit diabetes ketoasidosis dapat
memicu terjadinya krisis hemolitik akut).
3. Selain lemas, pucat, dan pingsan saat mencium kamfer apakah mengalami hal
yang serupa pada keadaan tertentu, misalnya sehabis makan fava bean/ broad
bean (fava bean juga memicu krisis hemolitik akut).
 Riwayat penyakit keluarga:
1. Apakah ada anggota keluarga yang mengalami hal serupa.
2. Apakah ibu minum obat penambah darah? (Jika ibu menderita anemia, biasanya
anak juga menderita anemia  diagnosis banding).

3
 Riwayat pengobatan:
1. Sudah pernah berobat sebelumnya dan minum obat apa.
2. Apakah sebelumnya pernah berpergian ke daerah endemis malaria (Papua) dan
minum obat antimalaria.
3. Dulu saat ibu sakit pernah mendapat obat-obatan apa saja (golongan sulfonamida,
aspirin, phenazopyridine, acetanilide, dan beberapa antibiotik non sulfa seperti
nalidixic acid, nitrofurantoin, isoniazid, dapson, furozolidone).

Pemeriksaan Fisik

a. Inspeksi
Yang perlu diperhatikan adalah:
- Keadaan kulit. Perlu diperhatikan telapak tangan dan bantalan kuku. Pada kondisi
anemia, daerah tersebut akan menjadi pucat (pallor).
- Kondisi konjungtiva dan sklera. Perlu diperiksa apakan skleranya berwarna kuning atau
konjungtiva pucat.
- Aktivitas anak yang diperiksa. Perlu diperhatikan apakah anak tersebut tampak lemas,
mengantuk, dan tidak bersemangat. Jika didapati kondisi tersebut, maka perlu
diperhatikan kemungkinan anak tersebut menderita anemia.

b. Palpasi
Mengantisipasi hepatoslpenomegali baik akibat anemia hemolitik maupun penyakit lain,
maka perlu dilakukan pemeriksaan fisik hepar pada anak.
 Palpasi hepar dilakukan dengan meletakkan tangan kiri dibelang penderita menyangga
costa ke-11/12 sejajar. Hepar didorong ke depan, diraba dari depan dengan tangan kanan
(bimanual palpasi). Tangan kanan ditempatkan pada lateral otot rektus kanan, jari di batas
bawah hepar dan tekan lembut ke arah atas.
 Pasien diminta bernafas dalam sehingga terasa sentuhan hepar bergerak ke bawah (tangan
dikendorkan agar hepar meluncur dibawah jari sehingga meraba permukaan yang lunak
tidak berbenjol, tepi tegas/tajam, tidak ada pembesaran).

c. Perkusi
4
Perkusi berguna untuk mendapatkan orientasi keadaan abdomen secara
keseluruhan, menentukan besarnya hati, limpa, ada tidaknya asites, adanya massapadat
atau massa berisi cairan (kista), adanya udara yang meningkat dalam lambungdan usus,
serta adanya udara bebas dalam rongga abdomen. Suara perkusi abdomen yang normal
adalah timpani (organ berongga yang berisi udara), kecuali di daerah hati (redup; organ
yang padat).
Perkusi batas bawah hepar: Mulai dari bawah umbilikus kanan, perkusi dari bawah ke
atas sampai suara redup (tidak ada pergeseran ke bawah/ Obstruksi paru kronik).
Dilanjutkan perkusi batas atas hepar: daerah paru ke bawah sampai suara redup. Tinggi
antara daerah redup (tidak ada pembesaran hepar) diukur.

d. Auskultasi
Auskultasi perlu dilakukan terutama pada bagian dada. Suara pernapasan dan suara
jantung perlu diperhatikan. Pada kondisi anemia berat, seringkali ditemukan murmur
pada bunyi jantung.

Pemeriksaan Penunjang

1. Complete Blood Count (CBC)


Tabel 1. Nilai normal pemerksaan darah lengkap

Kadar Hb Hematokrit Jumlah Eritrosit


Pria dewasa 14 - 17 g/dL 42 - 53 % 4,6 - 6,2 juta/µL
Wanita dewasa 12 - 15 g/dL 38 - 46 % 4,2 - 5,4 juta/µL
Anak anak 11 – 16 g/dL 31 – 45 % 3,6 – 4,8 juta/ µL
Batita 10 - 14,5 g/dL 31 - 43 % 3,8 – 6,1 juta/ µL
Bayi 10 – 17 g/dL 29 – 54 % 3,8 – 6,1 juta/ µL
Neonatus 14 – 27 g/ dL 40 – 68 % 3,8 – 6,1 juta/ µL
Pada wanita hamil, terdapat penurunan Hb sampai 11 - 12 g/dL pada trimester
kedua dan ketiga, penurunan ini disebabkan oleh ekspansi volume plasma dan tidak
merepresentasikan anemia. Pada bayi baru lahir, hemoglobin rata - rata berkisar
antara 17 g/dL dengan hematokrit 52 %.

 Nilai eritrosit rata - rata :

5
o MCV - Mean Corpuscular Volume, nilai rujukan 82 - 92 fL
o MCH - Mean Corpuscular Hemoglobin, nilai rujukan 27 - 31 pg
o MCHC - Mean Corpuscular Hemoglobin Concentration, nilai rujukan 32 -
37 %
 Jumlah trombosit
 Hitung jenis leukosit dan morfologi
 Morfologi darah : ukuran sel, hemoglobinisasi, anisositosis, poikilositosis,
polikromasi
 Hitung retikulosit : indeks produksi retikulosit, normal berkisar antara 0,5 - 1,5 %
 Apabila pemeriksaan darah lengkap dapat dilakukan secara otomatis, maka red
cell distribution width (RDW) juga dapat ditentukan. Normalnya adalah 11.5-14.5
coefficient of variation. Peningkatan RDW menunjukkan anisositosis yang
merujuk pada anemia hemolitik.
 Laju endap darah (LED): pria (0-15 mm/jam); wanita (0-20 mm/jam)

2. Pemeriksaan sumsum tulang

Pemeriksaan meliputi morfologi sel, selularitas, precursor hematopoietik, dan cadangan


besi (pewarnaan Prussian blue).

3. Pemeriksaan hapus darah tepi

Ditemukan fragmentosit dan Heinz bodies seperti gambar berikut :

6
Gambar 2. Gambaran hapus darah tepi penderita defisiensi G6PD

4. Test of iron supply

a. Serum iron level (SI), merupakan pemeriksaan untuk menilai jumlah besi yang
terikat pada transferin. Nilai normal berkisar antara 50 - 150 µg/dL. Pembuatan
eritrosit dan hemoglobin pada sumsum tulang dipengaruhi oleh besi serum.

b. Total iron binding capacity (TIBC), mengukur jumlah besi yang dapat diikat oleh
transferin. Nilai normal 300 - 360 µg/dL.

c. Serum ferritin, nilai normal pada laki - laki dewasa 50 - 150 µg/L.

5. Permeriksaan untuk mencari penyebab pada hemolitik anemia :

a. Hemoglonin elektroforesis (hemoglobinopati)

b. Pemeriksaan untuk mendeteksi autoantibodi pada eritrosit (AIHA)

 Direct Antiglobulin Test (direct Coomb’s test): sel eritrosit pasien dicuci dari
protein-protein yang melekat dan direaksikan dengan antiserum atau antibodi
monoclonal terhadap berbagai imunoglobulin dan fraksi komplomen, terutama
IgG dan C3d. Bila pada permukaan sel terdapat salah satu atau kedua IgG dan
Cd3 maka akan terjadi aglutinasi.

 Indirect Antiglobulin Test (indirect Coomb’s test): untuk


mendeteksi autoantibodi yang terdapat pada serum. Serum pasien direaksikan
dengan sel-sel reagen. Imunoglobulin yang beredar pada serum akan melekat
pada sel-sel reagen, dan dapat dideteksi dengan antiglobulin serta dengan
terjadinya aglutinasi.
c. Titer agglutinin tipe dingin / cold agglutinin titer (AIHA)
d. Level haptoglobin (hemolisis)
e. Serum / urin hemosiderin (intravascular hemolisis)
f. Fragilitas osmotik (sferositosis herediter)

7
g. G6PD screening
h. Heat/isopropanol denaturation test (hemoglobin tidak stabil)

Untuk mendeteksi hemolisis intravaskular :

 Plasma hemoglobin level, pada angka di atas 50 mg/dL mengindikasikan adanya


intravaskular hemolisis. Ketika melewati 150 - 200 mg/dL, juga akan terjadi
hemoglobinuria
 Hemoglobin urin
 Hemosiderin urin
 Serum haptoglobin (normal 50 - 200 mg/dL)
 Methemalbumin, merupakan heme yang terikat pada albumin.

Skrining Defisiensi G6PD pada Neonatus

Di berbagai negara, skrining defi siensi G6PD pada neonatus rutin dilakukan. Hal ini penting
karena kernikterus yang merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas pada neonatus defi
siensi G6PD dapat dicegah dengan menghindari faktor faktor penyebab hemolisis. Laporan dari
Singapura menunjukkan setelah program skrining defi siensi G6PD neonatus sejak tahun 1965
menggunakan sampel darah tali pusat, insidens kernikterus turun drastis dalam 20 tahun terakhir.
Dilaporkan hanya 1 kasus kernikterus pada neonatus defi siensi G6PD di Singapura. Neonatus
defisiensi G6PD dilindungi secara f sik di rumah sakit selama 2 minggu pertama dan orang
tuanya diberikan konseling mengenai obat-obatan yang dapat memicu krisis hemolisis. Insidens
hiperbilirubinemia pada neonatus defi siensi G6PD sebesar 32% dan pada neonatus dengan
G6PD normal hanya 12,3%, hal ini menunjukkan perlunya skrining defisiensi G6PD pada
neonatus. Pada neonatus lakilaki hemizigot defi siensi G6PD, kadar G6PD <4,6 u/g Hb dapat
digunakan sebagai cut off , sedangkan pada neonatus perempuan dianjurkan nilai cut off lebih
tinggi, yaitu <6,6 u/g Hb karena terdapat sejumlah populasi neonatus heterozigot defi siensi
G6PD parsial.

Diagnosis Kerja

8
defisiensi G6PD
Merupakan anemia yang disebabkan oleh defisiensi enzim glukosa 6 fosfatase
dehidrogenase, yang berfungsi dalam melindungi eritrosit dari produo – produk oksidan.
Defisiensi ini merupakan suatu penyakit genetik x-linked resesif, yang lebih banyak menyerang
laki – laki. Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya,
akan tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik
akut. Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak
diatasi dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen.
Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava
beans, infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise,
kelemahan, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari,
pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat
hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa
ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi
intravaskular. Oleh sebab itu, muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat
dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari
pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata)
dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri
khas dari anemia hemolitik akut. Hemolisis dapat timbul satu sampai dua hari setelah onset
terjadinya infeksi dan dapat menimbulkan anemia ringan. Biasanya terjadi pada pasien dengan
klinis pnemoni atau demam tifoid. Infeksi virus hepatitis pada pasien defisiensi G6PD dapat
memperparah timbulnya ikterus. Jumlah dan produksi retikulosit rendah dan hal ini akan pulih
setelah infeksi primer dapat disembuhkan.

Diferrent diagnosis

Hemolytic Disease of the Newborn (HDN)

paling sering terjadi ketika seorang ibu yang negatif Rh memiliki bayi dengan ayah Rh
positif. Ketika faktor Rh bayi positif, seperti ayah, masalah dapat berkembang jika sel-sel darah
merah bayi menyeberang ke ibu dengan Rh negatif. Hal ini biasanya terjadi pada saat persalinan

9
ketika plasenta dilepaskan. Namun, juga dapat terjadi kapan saja saat sel darah dari dua sirkulasi
campuran, seperti selama keguguran atau aborsi, dengan jatuh, atau selama prosedur pengujian
pralahir invasif (seperti amniocentesis atau chorionic villus sampling).

Sistem kekebalan tubuh ibu melihat Rh sel darah merah positif bayi sebagai “asing”.
Sama seperti ketika bakteri menyerang tubuh, sistem kekebalan tubuh merespon dengan
mengembangkan antibodi untuk melawan dan menghancurkan sel-sel asing. Sistem kekebalan
tubuh ibu kemudian membuat antibodi dalam kasus sel asing muncul lagi, bahkan pada
kehamilan masa depan.

Berikut ini adalah gejala yang paling umum dari penyakit hemolitik pada bayi baru lahir.
Namun, setiap bayi mungkin mengalami gejala yang berbeda.

Gejala selama kehamilan yang mungkin yaitu :

a) Dengan amniosentesis, cairan ketuban mungkin memiliki warna kuning dan


mengandung bilirubin.

b) USG janin menunjukkan pembesaran hati, limpa, dan penumpukan cairan di perut
janin, sekitar paru-paru, atau di kulit kepala.

Gejala setelah lahir dapat mencakup:

a) Sebuah pewarna pucat mungkin jelas, karena anemia.

b) Penyakit kuning, atau pewarna kuning cairan ketuban, tali pusat, kulit, dan mata dapat
hadir. Bayi mungkin tidak tampak kuning segera setelah lahir, tapi penyakit kuning dapat
berkembang dengan cepat, biasanya dalam waktu 24 sampai 36 jam.

c) Bayi dengan hidrops fetalis memiliki edema berat (pembengkakan) dari seluruh tubuh
dan bayi terlihat sangat pucat. Mereka sering mengalami kesulitan bernapas.

Selain itu ada pula gejala-gejala lainnya, yaitu:

a) Anemia Akibat kerusakan sel darah merah janin menderita hypoxia (kekurangan
oksigen), asidosis (penimbunan asam), dan payah jantung. Dapat juga terjadi hydropsfoetalis

10
atau kematian janin di dalam rahim. Kadar hemoglobin dalam tali pusat dapat menjadi parameter
yang terbaik untuk mengetahui berat ringannya penyakit HDN tersebut.

b) Hyperbilirubinemia Selain hemoglobin, kadar bilirubin juga dapat menjadi parameter


yang baik. Batas transfusi tukar adalah bila kadar bilirubin dalam tali pusat mencapai 4 mg/dl
atau lebiih, walaupun kadar Hb masih dalam batas normal. Keadaan ini dapat diperburuk dengan
hati bayi yang belum mampu membuat enzim Glucuronyl transferase (mengubah bilirubin
menjadi bentuk yang dapat dikeluarkan melalui empedu), akibatnya bilirubin meningkat. Dalam
24 jam kadar bilirubin dapat meningkat terus-menerus hingga mencapai 0,5-1,0 mg/dl/jam.
Jumlah bilirubin yang diikat oleh albumin sangat sedikit dan sisanya akan melekat pada lipid
cerebellum, sehingga terjadi Kernicterus (kadar bilirubin >20 mg/dl) dengan tanda-tanda : tidak
nafsu makan, dyspathi, napas tidak teratur dan lain-lain.

c) Perubahan-perubahan pada jaringan Hancurnya sel darah merah dan aktifnya


erythropoiesis menimbulkan erythroblast, sehingga mengakibatkan terjadinya
hepatosplenomegaly.

GALAKTOSEMIA

Galaktosemia adalah suatu penyakit autosomal resesif yang diturunkan berupa gangguan
metabolisme galaktosa yang disebabkan oleh defisiensi enzim yang terlibat dalam metabolisme
galaktosa untuk dikonversi ke glukosa. Enzyme itu adalah galaktokinase(GALK), galaktose-1-
phosphate uridyltransferas(GALT), dan uridin-diposphate galactose-4’ epimerase(GALE).
Galaktosa adalah jenis gula sederhana yang merupakan hasil pemecahan dari laktosa.
Galaktosemia adalah kelainan metabolik genetik yang mempengaruhi kemampuan individu
untuk memetabolisme galaktosa. Galaktosemia salah satunya disebabkan oleh tidak adanya atau
defisiensi berat enzim galaktosa-1-fosfat uridiltranferasa ( Gal-1- PUT). Enzim ini penting untuk
mengubah galaktosa menjadi glukosa, karena laktosa yang merupakan gula utama susu adalah
disakarida yang mengandung glukosa dan galaktosa. Bayi dengan kondisi ini secara cepat
menderita galaktosemia jika disusui baik dengan ASI atau susu formula sapi. Metabolik yang
terbentuk dan berbahaya adalah galaktosa-1-fosfat. Galaktosemia biasanya pertama kali
terdeteksi melalui pemeriksaan bayi baru lahir. Anak dengan galaktosemia bisa mengalami efek
ireversibel atau bahkan mati dalam beberapa hari setelah lahir, hal ini menjadi penting untuk

11
tidak menunda melakukan pemeriksaan gangguan metabolisme pada bayi baru lahir.
Galaktosemia dapat dideteksi melalui Neonatal Birth Screening sebelum konsumsi galaktosa
pada susu formula atau ASI. Enzim untuk metabolisme galaktose rentan terhadap kerusakan, jika
analisa sampel ditunda atau terkena suhu tinggi maka kerusakan enzim ini bisa terjadi. Galaktosa
diubah menjadi glukosa oleh aksi tiga enzim. Ada 3 jenis galaktosemia, yaitu tipe 1, 2 dan 3.
Type Diseases Database OMIM Gene Locus Enzyme Name Type 1 5056 230400 GALT 9p13
galactose-1- phosphate uridyl transferase classic galactosemia Type 2 29829 230200 GALK1
17q24 galactokinase galactokinase deficiency Type 3 29842 230350 GALE 1p36- p35 UDP
galactose epimerase galactose epimerase deficiency, UDPGalactose-4- epimerase deficiency
Galaktosemia klasik, disebabkan kurangnya dua enzim utama dalam metabolisme galaktosa,
yaitu enzime galactosa-1-phosphat uridil transferase dan enzim galactokinase, disebut juga
galaktosa intolerans sehingga pasien sering mengalami muntah dan diare saat minum susu.
Kurangan enzim UDP-galactose4-epimerase juga akan mempengaruhi sel darah merah dan
putih. Satu-satunya pengobatan untuk galaktosemia klasik adalah menghilangkan laktosa dan
galaktosa melalui diet, namun beberapa individu yang sudah didiagnosis dini dan dilakukan diet
terbatas masih mengalami komplikasi seperti kesulitan berbicara, kesulitan belajar, gangguan
neurologis (misalnya tremor, dll), dan kegagalan ovarium pada pasien wanita. Bayi dengan
galaktosemia klasik tidak dapat minum ASI, karena adanya laktosa dalam ASI manusia sehingga
mereka mendapat susu formula berbasis kedelai. Galaktosemia kadang memiliki kemiripan
dengan intoleransi laktosa, tetapi galaktosemia adalah kondisi yang lebih serius. Individu dengan
intoleransi dikarenakan kekurangan enzim lactase, dan pasien sering mengalami sakit perut
setelah menelan produk susu, tetapi tidak ada efek jangka panjang. Sebaliknya, individu dengan
galactosemia dapat mengalami kerusakan permanen pada tubuh mereka. Komplikasi jangka
panjang dari galaktosemia meliputi: defisit dalam kemampuan bicara, dismetri ataksia, hilangnya
kepadatan tulang, ovarium prematur,dan katarak. Defisiensi Galaktosemia tranferase sering
terjadi pada periode neonatal. Tanda dan gejala klinis awal dari galaktosemia adalah gejala gagal
hati serta kerusakan ginjal, bayi cenderung mengalami muntah, hipoglikemia, Ikterus,
perdarahan, asidosis, gejala gagal tumbuh, kenaikan berat badan terganggu akibat kesulitan
makan, dan hyperbilirubinemia terkonjugasi yang memanjang, hipotonia selama beberapa hari
pertama setelah lahir dan pada urin penderita terdapat galaktosa, bukan glukosa. Oleh karena itu
diagnosis dapat ditegakkan dengan mencari zat dalam urine (galaktosa) menggunakan clinitest,

12
sedangkan pemeriksaan glukosa dalam urine negatif. Penatalaksanaan pada pasien adalah
pemberian susu formula bebas laktosa, yang harus diberikan segera setelah ada diagnosis
dugaan.Terapi ini menghasilkan koreksi abnormalitas secara cepat. Kondisi bisa menjadi fatal
jika diet membatasi laktosa/ galaktosa tidak diketahui. Komplikasi meliputi katarak, cedera otak
ringan, sirosis hepatis, ataxia, kesulitan bicara, retardasi mental, dan kegagalan perkembangan
ovarium. Makanan yang mengandung galaktosa dan laktosa adalah buah-buahan, sayuran,
kacang polong, daging segar, daging olahan, dan daging sandwich, susu, dan produk susu
lainnya.4,5 Tidak ada jalur katabolik untuk memetabolisme galaktosa, sehingga strategi yang
digunakan adalah mengkonversi galaktosa menjadi glukosa metabolit. Galaktosa diubah menjadi
glukosa 6-fosfat dalam empat langkah. Reaksi pertama melalui jalur glukosa galaktosa
interkonversi yaitu fosforilasi galaktosa ke galaktosa 1-fosfat oleh galactokinase. Kemudian
Galaktosa 1-fosfat mengakuisisi kelompok uridyl dari uridin difosfat glukosa(UDP-glukosa),
merupakan perantara dalam sintesis hubungan glikolisis, produk dari reaksi ini, yang dikatalisis
oleh galaktosa 1-fosfat transferase uridyl, yaitu UDP-galaktosa dan glukosa 1-fosfat. Pada bagian
galaktosa, UDP-galaktosa di epimerisi menjadi glukosa. Konfigurasi dari gugus hidroksil pada 4
karbon terbalik dengan UDPgalaktosa 4-epimerase. Jumlah reaksi yang dikatalisis oleh
galactokinase, para transferase, dan epimerase adalah: galaktosa + ATP à glukosa-1-P + ADP +
H +. Pada Metabolisme normal galaktosa terjadi sebagai berikut: • Lactosa diubah menjadi
glukosa dan galaktosa, dan di serap di usus halus. • Galaktosa diambil dari RBC (mediasi carier),
di fosforilasi ke Galaktose-1- hosphat (Gal-1-P) oleh Galaktokinase (GALK) • Gal-1-P di
konversi ke Glucosa-1-Phospat )Glu-1P) menggunakan epimerasi dari UDP-Glukosa menjadi
UDP- galaktosa oleh enzyme Galactose-1-Phosphate Uridyl Transferase (GALT). yaitu: UDP-
Galactose + Glu-1-P Gal-1-P + UDPGlucose • Glu-1-P memproses glikolisis. • UDP-Galactose
di ubah kembali menjadi UDP-Glucose oleh Uridyl Diphosphate Galactose 4-Epimerase (GALE)

Anemia sel sabit

 Definisi Anemia Sel Sabit

Anemia sel sabit adalah anemia hemolitik berat yang diakibatkan oleh defek molekul
hemoglobin dan berkenaan dengan serangan nyeri. Anemia ini ditemukan terutama pada orang
Mediterania dan populasi Afrika serta terutama pada orang kulit hitam. Defek ini adalah
substansi asam mino tunggal dalam rantai B hemoglobin. Hemoglobin sabit memerlukan
pembentukan serupa kristal bila terpajan pada tegangan oksigen rendah. Sel yang mengandung

13
hemoglobin S ini menjadi berubah bentuk,kekakuan,dan berbentuk sabit bila dalam sirkulasi
vena.

Sel kaki panjang tersangkut dalam pembuluh darah kecil dan aliran darah ke suatu region atau
organ menjadi lambat,mengakibatkan iskemia atau infark dimana disini dapat terjadi
nyeri,bengkak,atau demam

 Etiologi Anemia Sel Sabit

Hemoglobin sabit (Hb S) berbeda dengan Hb dewasa normal karena substitusi asam glutamat
pada posisi 6 rantai β oleh valin. Pada keadaan teroksigenasi fungsi Hb S normal. Bila Hb ini
mengalami deoksigensi, interaksi antara valin β6 dan regio yang komplementer pada rantai β
molekul yang berdekatan menyebabkan pembentukan polimer molekular bersusunan tinggi,
polimer ini memanjang membentuk struktur filamen, yang beragregasi menjadi batang yang
kaku, seperti kristal. Proses prolimerasi molekular ini menyebabkan sifat eritrosit sbait rapuh,
berduri pada keadaan penurunan oksigenasi.

Penyakit anemia sel sabit ini ditemukan di Afrika, Timur Tengah, daerah Mediterania, dan India,
yang diturunkan dengan sifat dominan autosomal. Sifat sel sabit ditemukan pada heterozigot
(HbA-HbS) yang dalam hemoglobinnya khas mengandung 60% HbA dan 40% HbS. Pasien
dengan sifat ini biasanya bebas gejala kecuali bila tekanan oksigen sangat rendah, misalnay di
ketinggian dan penggunaan anestesia anoksik. Gambaran umumnya sangat baik. Prevalensi gen
ini mungkin tinggi karena HbS melindungi dari efek malaria falcifarum yangs erius dan kadnag-
kadang mematikan.

Anemia sel sabit terjadi pada homozigot (HbS-HbS). Hemoglobin yang abnormal membuat RBC
rentan terhadap penurunan tekanan oksigen yang sangat kecil sekalipun. Ini menyebbakan
fenomena seperti sabit dan sekuenstrasi abnormal disertai trombosis pada arteriol yang kecil.
Selanjutnya bisa terjadi infark pada bagian manapun.

Anemia sel sabit ditandai dengan penyakit hemolitik kronis yang disebbabkan oleh destruksi eritrosit
prematur yang sukar berubah bentuk dan rapuh. Manifestasi penyakit sel sabit lain yang dianggap
berasal dari perubahan iskemik akibat oklusi vaskular oleh massa sel sabit. Perjalanan klinis anak yang
terkan adalah khas disertai dengan kejadian-kejadian episodik intermitten, sering disebut sebagai
“kritis”.

Manifestasi Klinis Penyakit Sel Sabit

-        Asimptomatik sampai dengan satu tahun menderita penyakit ini

-        Bengkak luar biasa pada jari-jari tangan dan jempol kaki (hand-foot syndrome/dactylitis)

-        Dapat terjadi kerusakan pada kemampuan ginjal untuk mengkonsentrat urin sehingga
meningkatkan berkemih pada anak-anak dan mengompol

14
-        Kadar hemoglobin 6-9 g/dl atau kurang dari itu

-        Wajah pucat

-        Mudah lelah

-        Kehilangan nafsu makan

Pasien dengan penyakit sel sabit krisis, dapat terjadi:

-        Nyeri hebat pada abdomen

-        Spasme otot

-        Nyeri kaki

-        Nyeri dan bengkak pada persendian

-        Demam, muntah, hematuria, convulsion, kaku kuduk, koma, atau kelumpuhan juga dapat
terjadi tergantung pada organ yang terkait

-        Jaundice pada klien dapat terjadi

-        Pembesaran jantung dan murmur

Manifestasi Klinis Penyakit Sel Sabit per-sistem

·       Okular            : Pembuluh darah konjungtiva berkelok-kelok, retinopati proliferatif

·       Jantung          : Kegagalan curah tinggi, kor pulmonal

·       Paru               : Infark dengan emboli multiple, infeksi (pneumokokus, Mycoplasma),


atelektasis (infeksi, obstruksi)

·       GI track& hati : Kandung empedu (batu bilirubin), sekuestrasi limpa, infark, dan asplenia
fungsional, hyperbilirubinemia ekstrim

·       Muskuloskeletal : Infark (nekrosis aseptik, nyeri, sindrom tangan kaki), infeksi


(osteomielitis, Salmonella), artritis (kolagen-vaskular, gout)

·       Genitourinaria           : Defek konsentrasi ginjal, hematuria, nefrosis, gagal ginjal kronis,


priapismus

·       Endokrin        : Pubertas terlambat

·       Sistem imun  : Kerentanan terhadap infeksi, defek pada jalur komplemen alternatif, asplenia
fungsional, defek fagosit, hyperplasia limfoid (pembesaran tonsil dan adenoid)

15
·       Kulit              : Ulserasi

·       Hemaopoietik            : Anemia (hemolitik, krisis aplastik), defek fagosit, hiperurisemia

·       Neurologik    : Stroke, kejang, gangguan penglihatan

·       Psikiatrik       : Ketergantungan, kecanduan, separasi, maturase

·       Vaskular        : Proliferasi endotel, oklusi vena perifer

Etiologi

Gen yang mengekspresikan G6PD terletak pada kromosom X (pita X q28). Defisiensi
enzim diekspresikan pada laki – laki membawa gen yang bervariasi (XY), sedangkan pada
wanita yang dapat terjadi kekurang enzim seperti laki – laki pada gen homozigot XX, dan yang
memiliki gen heterozigot (XX) dapat bervariasi dari normal sampai kekurangan seperti pada laki
– laki XY.

Gambar 3. Pedigree penurunan genetik x-linked resesif

16
Gambar 4. Pedigree defisiensi G6PD tiga turunan

Terdapat beberapa varian G6PD yang telah ditemukan, seperti G6PD B, G6PD A+, G6PD
A- (kelas III), G6PD Mediterranian (kelas II), dan G6PD Canton. World Health Organization
(WHO), mengklasifikasikan varian mutan G6PD berdasarkan pengukuran aktivitas enzim dan
ada atau tidaknya anemia hemolitik, kemudian dibagi lagi atas dasar mobilitas elektroforesis
dalam setiap varian sebagai berikut :

1. Klas I: varian G6PD yang defisiensi enzimnya sangat berat (aktivitas enzim kurang
dari 10% dari normal) dengan anemia hemolitik kronis.

2. Klas II: varian G6PD yang defisiensi enzimnya cukup berat (aktivitas enzim kurang
dari 10% dari normal) namun tidak ada anemia hemolitik kronis.

3. Klas III: varian G6PD dengan aktivitas enzimnya antara 10%-60% dari normal dan
anemi hemolitik terjadi bila terpapar bahan oksidan atau infeksi.

4. Klas IV: varian G6PD yang tidak memberikan anemia hemolitik atau penurunan
aktivitas enzim G6PD

5. Klas V: varian G6PD yang aktivitas enzimnya meningkat.

Varian klas IV dan klas V secara biologis, genetik dan antropologis tidak didapat gejala klinik.

17
Epidemiologi

Defisiensi G6PD diperkirakan diderita 400 juta orang di seluruh dunia. Prevalensi
tertinggi ditemukan di negara-negara Sub- Sahara Afrika terutama di daerah-daerah dengan
endemisitas malaria tinggi. Prevalensi tinggi ditemukan di Afrika, Mediterania, Asia Tenggara
dan Amerika Latin. Di Amerika Serikat, defi siensi G6PD terutamadiderita keturunan Afrika dan
Mediterania. Di Indonesia, prevalensi defi siensi G6PD berkisar 2,7% hingga 14,2%. Prevalensi
defi siensi G6PD yang tinggi di daerah endemis malaria dikaitkan dengan resistensi terhadap
infeksi malaria.

Gejala Klinik

Sebagian besar manusia dengan defisiensi G6PD tetap asimtomatik selama hidupnya, akan
tetapi mereka semua beresiko tinggi mengalami neonatal jaundice dan anemia hemolitik akut.
Pada bayi dengan defisiensi G6PD, neonatal jaundice dapat menjadi berat, yang jika tidak diatasi
dengan tepat dapat menyebabkan kernikterus dan kerusakan saraf yang permanen.

Anemia hemolitik akut pada pasien yang defisiensi G6PD biasanya dipicu oleh fava beans,
infeksi, dan obat-obatan. Biasanya, serangan hemolitik diawali dengan malaise, kelemahan,
iritabilitas, dan nyeri abdominal atau lumbal. Kemudian dalam beberapa jam atau 2-3 hari,
pasien mengalami jaundice dan sering kali menghasilkan urin berwarna gelap akibat
hemoglobinuria. Onsetnya bisa tiba-tiba, terutama pada anak-anak. Anemia yang terjadi bisa
ringan sampai berat. Anemia biasanya normositik dan normokrom karena hemolisis yang terjadi
intravaskular. Oleh sebab itu, muncul hemoglobinuria, hemoglobinemia, LDH (Laktat
dehidrogenase) yang tinggi dan plasma haptoglobin yang rendah atau tidak ada sama sekali. Dari
pemeriksaan darah, ditemukan hemighosts (sel darah merah dengan hemoglobin tidak merata)
dan bite cells atau blister cells (sel darah merah yang tampak seperti digigit) yang merupakan ciri
khas dari anemia hemolitik akut.

18
Patofisiologi

HMP shunt merupakan satu – satunya sumber NADPH dalam sel darah merah, yang
digunakan sebagai kofaktor penting dalam metabolisme glutation. Di dalam sel darah merah
terdapat konsentrasi tinggi glutation yang tereduksi (GSH), yang berfungsi sebagai agen
pereduksi untuk melindungi sel dari jejas oksidan. Okisidan, seperti anion superoksida dan
hidrogen peroksida dikeluarkan oleh faktor eksogen (obat, infeksi) dan juga dari dalam sel darah
merah sebagai konsekuensi bersatunya hemoglobin dengan oksigen.

Tetapi ketika oksidan – oksidan tersebut terakumulasi dalam sel darah merah,
hemoglobin dan protein teroksidasi sehingga menyebabkan menurunnya fungsi SDM dan

berujung pada kematian sel. Pada keadaan normal, ini tidak terjadi karena GSH menginaktifasi
oksidan – oksidan ini. Dalam proses detoksifikasi oksidan, GSH berubah menjadi glutation yang
teroksidasi (GSSG), dan konsentrasi GHS menurun.

Untuk mempertahankan mekanisme tersebut, konsentrasi GSH harus dipertahankan, dan


ini dilakukan oleh glutation reduktase (GSSG-R), yang mengkatalisasi reduksi GSSG menjadi
GSH. Reaksi ini memerlukan NADPH yang dihasilkan uleh glukosa-6-fosfat dehidrogenase
(G6PD), proses enzimatik pertama dari HMP shunt. Karena itu, jalur HMP shunt serta
metabolisme glutation sangat berperan dalam melindungi protein intraselular dari bahan
oksidatif.

Saat SDM menua, aktivitas G6PD menurun. Enzim normal (G6PD B) memiliki waktu
half-life 62 hari pada in-vivo. Walaupun terdapat kekurangan ini pada aktifitas enzim, SDM tua
normal memiliki aktivitas G6PD yang cukup untuk memproduksi NADPH sehingga dapat
mempertahankan konsentrasi GSH untuk mengatasi oksidan. Sedangkan, G6PD varian yang
diasosiasikan dengan hemolisis sangat tidak stabil dan memiliki half-life yang lebih singkat.
Aktivitas G6PD A- pada retikulosit tergolong normal, tetapi setelah itu menurun drastis sampai
mencapai half-life 13 hari. Pada G6PD Mediterranian, penurunan lebih drastis, sampai hanya
beberapa jam. Ini menyebabkan hemolisis pada G6PD A- ringan, dan hanya terbatas pada

19
eritrosit yang tua, sedangkan pada G6PD Mediterranian hemolisis lebih parah dan dapat
mengenai semua eritrosit.

Eritrosit dengan defisiensi G6PD yang terpapar dengan oksidan (infeksi, obat, fava
beans) menjadi kekurangan GSH. Oksidasi sulfhidril pada hemoglobin menyebabkan
pembentukan formasi globin yang terdenaturasi atau sulfhemoglobin. Sehingga menyebabkan
massa tidak larut yang menempel pada membran eritrosit, yang disebut sebagai Heinz body.
Hasil akhirnya berupa eritrosit yang kaku sehingga rentan terhadap stagnansi dan destruksi oleh
makrofag retikuloendotelial di limpa dan hepar. Hemolisis terjadi pada intravaskular dan
ekstravaskular, pada hemolisis intravaskular menyebabkan meningkatnya hemoglobinemia dan
hemoglobinuria.

Tatalaksana

Kebanyakan individu dengan kelainan dehidrogenase glukosa-6-fosfat (G6PD) tidak


memerlukan pengobatan. Namun, mereka harus diajarkan untuk menghindari obat-obatan dan
pajanan terhadap zat kimia yang dapat menyebabkan stres oksidan. Pasien juga harus
menghindari kacang-kacangan seperti kacang fava. Identifikasi dan penghentian agen pencetus
sangat penting untuk mengelola hemolisis pada pasien dengan defisiensi G6PD. Anemia harus
ditangani dengan tindakan yang tepat, diketahui bahwa hemolisis sering sembuh sendiri dalam 8-
14 hari. Transfusi jarang diindikasikan. Splenektomi biasanya tidak efektif. Bayi dengan ikterus
neonatorum berkepanjangan yang merupkan akibat dari defisiensi G6PD harus menerima
fototerapi. Beberapa hal yang perlu diperhatikan selama berlangsung terapi sinar ini ialah:

a) Diusahakan agar tubuh bayi terpapar sinar seluas mungkin, bila perlu bukalah pakaian
bayi
b) Kedua mata dan gonad ditutup dengan penutup yang memantulkan cahaya untuk
melingungi sel-sel retina dan mencegah gangguan maturasi seksual
c) Bayi diletakkkan 8 inci di bawah sinar lampu, jarak ini ialah jarak terbaik untuk
mendapat energi cahaya yang optimal
d) Posisi bayi diubah setiap 18 jam agar seluruh badan terpapar sinar
e) Pengukuran suhu bayi setiap 4-6 jam/kali

20
f) Kadar bilirubin diukur setiap 8 jam atau sekurang-kurangnya sekali dalam 24 jam
g) Perhatikan hidrasi bayi, bila perlu tingkatkan konsumsi cairan bayi
h) Lama terapi sinar dicatat

Bila terapi sinar tidak menunjukkan ada penurunan kadar bilirubin serum yang berarti, dapat
diduga kemungkinan lampu yang tidak efektif atau adanya komplikasi pada bayi berupa
dehidrasi, hipoksia, infeksi atau gangguan metabolisme yang harus diperbaiki.

Transfusi tukar mungkin diperlukan dalam kasus-kasus ikterus neonatorum berat atau
anemia hemolitik yang disebabkan oleh favism. Transfusi tukar pada umumnya, transfusi tukar
dilakukan dengan indikasi sebagai berikut:

a) Pada semua keadaan dengan kadar bilirubin indirek < 20 mg%


b) Kenaikan kadar bilirubin indirek yang cepat, yaitu 0,3-1 mg%/jam
c) Anemia yang berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung
d) Bayi dengan kadar hemoglobin talipusat <14 mg% dan uji Coombs direk positif

Transfusi tukar dilakukan dengan indikasi untuk menghindari efek toksisitas bilirubin
ketika semua modalitas terapeutik telah gagal atau tidak mencukupi. Sebagai tambahan, prosedur
ini dilakukan dengan bayi yang memiliki indikasi eritroblastosis dengan anemia hebat, hidrops,
atau bahkan keduanya bahkan ketika tidak adanya kadar bilirubin serum yang tinggi. Pasien
dengan hemolisis kronis atau anemia non-sferositik harus ditempatkan pada suplemen asam folat
setiap hari. Konsultasi dengan ahli hematologi dan ahli genetika harus dicari.

Komplikasi
Komplikasi yang mungkin adalah gagal ginjal kronis, splenomegali, sepsis, disfungsi
hepar, dan keracunan preparat besi. kernikterus, palsi serebral dan kematian. Defisiensi G6PD
juga dapat menyebabkan krisis hemolisis pada anak dan usia dewasa bila mengkonsumsi obat
atau kacang fava. Frekuensi dan beratnya komplikasi ini sangat dipengaruhi oleh faktor
ekstrinsik dan kecenderungan genetik.

Konseling Genetik

21
Tujuan dari konseling genetik bukanlah untuk menyembuhkan penyakit genetiknya,
karena penyakit genetik tidak bisa disembuhkan. Tetapi dengan konseling genetik dapat
memahami pola penurunan, dan resiko berulang pada keturunan. Konseling genetik membuat
pasien dapat memahami pilihan-pilihan terhadap tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan
agar penyakit tidak bertambah parah, serta membantu pasien menyesuaikan diri dengan kondisi
yang dialami.

Pencegahan

Pencegahan primer

Upaya pencegahan primer termasuk skrining untuk mengetahui frekuensi (angka


kejadian) kelainan enzim G6PD di masyarakat yang membantu diagnosis dini karena sebagian
besar defisiensi G6PD tidak menunjukkan gejala klinis, sehingga pemahaman mengenai akibat
yang mungkin timbul pada penderita defisiensi G6PD yang terpapar bahan oksidan masih belum
sepenuhnya dipahami serta disadari yang dapat mengakibatkan diagnosis dini terlewatkan. Masih
termasuk pencegahan primer yaitu dengan memberikan informasi dan pendidikan kepada
masyarakat mengenai kelainan enzim G6PD, termasuk berupa konseling genetik pada pasangan
resiko tinggi.

Pencegahan sekunder

Upaya pencegahan sekunder berupa pencegahan terpaparnya penderita defisiensi enzim


G6PD dengan bahan bahan oksidan yang dapat menimbulkan manifestasi klinis yang merugikan
seperti yang terdapat pada tabel III sehingga dapat tercapai sumber daya manusia yang optimal.

Sekali diagnosa defisien enzim G6PD ditegakkan, orang tua harus dianjurkan untuk menghindari
bahan bahan oksidan termasuk obat obat tertentu, juga harus dijelaskan mengenai resiko
terjadinya hemolisis pada infeksi berulang. Selain itu juga perlu dilakukan skrining G6PD pada
saudara kandung dan anggota keluarga yang lainnya.

Pencegahan tersier

22
Upaya pencegahan tersier berupa pencegahan terjadinya komplikasi akibat paparan bahan
oksidan maupun infeksi yang menimbulkan gejala klinik yang merugikan, seperti mencegah
terjadinya kern ikterus pada hiperbilirubinemi neonatus yang dapat menyebabkan retardasi
mental, mencegah kerusakan ginjal maupun syok akibat hemolisis akut masif maupun mencegah
terjadinya juvenile katarak pada penderita defisiensi enzim G6PD.

Kesimpulan

Defisiensi enzim G6PD merupakan kelainan genetik yang diturunkan melalui kromosom X dan
bersifat resesif sehingga membutuhkan sepasang allel yang sama untuk menimbulkan penyakit
tersebut. Secara klinis, pasien tidak menunjukkan gejala namun manifestasi yang sering
ditemukan adalah kejadian anemia hemolitik yang dipicu oleh zat-zat yang dapat menimbulkan
stress oksidatif. Konseling genetik harus dilakukan untuk mengetahui implikasi dari penyakit
tersebut. Penegakkan diagnosis dapat didasarkan atas anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Skrinning defisiensi G6PD disarankan untuk dilakukan untuk
menghindari timbulkan komplikasi klinis pada pasien. Tatalaksana yang dapat dilakukan adalah
dengan menghindari hal-hal yang dapat memicu terjadinya hemolitik dan jika terjadi krisis
hemolitik dan anemia berat, maka dapat dilakuka transfusi darah.

Daftar Pustaka

1. Kurniawan LB. 2014. Skrining, diagnosis dan aspek klinis defisiensi glukosa-6-fosfat
dehidrogenase (G6PD). http://www.researchgate.net/publication/271508222 diakses
pada 19 September 2020
2. Welsby PD. Pemeriksaan fisik dan anamnesis klinis. Jakarta:EGC; 2009.p.77-89.
3. Bickley LS, Szilagyi PG. Bates buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. 8th ed.
Jakarta: EGC; 2009.p.166-290.
4. Kliegman RM, et al. Nelson textbook of pediatrics. 19th ed. USA: Elsevier; 2011.p.1648-
80.
5. Harmening DM. Clinical hematology and fundamentals of hemostasis. 5th ed.
Philadelphia: FA Davis Company; 2009.p.265-6.

23
6. Fauci AS, et al. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. USA: McGraw-Hill
Companies; 2011.p.872-86.
7. Thomas AT. Wintrobe’s Clinical Hematology. Hereditary spherocytes. In Lee GR,
Foerster J, Lukens J. 10th ed. Williams Lipppincott & Wilkins; 2002.p.1233-55.
8. Murray RK, Granner DK, Rodwell VW. Biokimia harper. 27th ed. Jakarta: EGC;
2009.p.636-41.
9. Seidlein LV, Auburn S, Espino F, Shanks D, Cheng Q, McCarthy J, et al. Review of key
knowledge gaps in glucose-6-phosphate dehydrogenase defi ciency detection with regard
to the safe clinical deployment of 8-aminoquinoline Seidlein LV, Auburn S, Espino F,
Shanks D, Cheng Q, McCarthy J, et al. Review of key knowledge gaps in glucose-6-
phosphate dehydrogenase defi ciency detection with regard to the safe clinical
deployment of 8-aminoquinoline treatment
10. Peters AL, Noorden CJV. J Histochem Cytochem. Glucose – 6 – phospate
dehydrogenase deficiency and malaria: cythochemical detection of heterozygous G6PD
deficiency in women. 2009.p.1003-11.

24

Anda mungkin juga menyukai