Anda di halaman 1dari 69

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN KRONIK ANAK PADA SISTEM


PERKEMIHAN; HIPOSPADIA, EPISPADIA, NEFROTIK
SYNDROME, GAGAL GINJAL

DISUSU N OLEH
KELOMPOK V AJ1 B20

1. ALBINA JENITA 131711123005


2. ARIS SUCIPTO
131711123042
3. AZIZ NASHIRUDDIN HABIBIE
4. MUHAMMAD HADIYANUL HAQI 131711123045
131711123065

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2017
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kelainan konginetal pada penis menjadi suatu masalah yang sangat penting, karena
selain berfungsi sebagai pengeluaran urine juga berfungsi sebagai alat seksual yang pada
kemudian hari dapat berpengaruh terhadap fertilitas. Salah satu kelainan konginetal
terbanyak kedua pada penis setelah cryptorchidism yaitu hipospadia dan epispadia.
Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan berupa lubang uretra yang terletak di bagian
bawah dekat pangkal penis. (Ngastiyah, 2005 : 288).
Selain berpengaruh terhadap fungsi reproduksi yang paling utama adalah pengaruh
terhadap psikologis dan sosial anak. Penyebab dari hiposapadia ini sangat multifaktorial
antara lain disebabkan oleh gangguan dan ketidakseimbangan hormone, genetika dan
lingkungan. Ganguan keseimbangan hormon yang dimaksud adalah hormone androgen
yang mengatur organogenesis kelamin (pria). Sedangkan dari faktor genetika , dapat
terjadi karena gagalnya sintesis androgen sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
Dan untuk faktor lingkungan adalah polutan dan zat yang bersifat teratogenik yang dapat
mengakibatkan mutasi.
Belakangan ini di beberapa negara terjadi peningkatan angka kejadian hipospadia
seperti di daerah Atlantameningkat 3 sampai 5 kali lipat dari 1,1 per 1000 kelahiran pada
tahun 1990 sampai tahun1993. Banyak penulis melaporkan angka kejadian hipospadia
yang bervariasi berkisar antara 1 : 350 per kelahiran laki-laki. Bila ini kita asumsikan ke
negara Indonesia karenaIndonesia belum mempunyai data pasti berapa jumlah penderita
hipospadia dan berapaangka kejadian hipospadia. Maka berdasarkan data dari Biro Pusat
Statistik tahun 2000 menurut kelompok umur dan jenis kelamin usia 0 – 4 tahun yaitu
10.295.701 anak yangmenderita hipospadia sekitar 29 ribu anak yang memerlukan
penanganan repair hipospadia.
Penatalaksanaan hipospadia pada bayi dan anak dilakukan dengan
prosedur pembedahan. Tujuan utama pembedahan ini adalah untuk merekontruksi penis
menjadi lurus dengan meatus uretra ditempat yang normal atau dekat normal sehingga
pancaran kencing arahnya kedepan. Umumnya di Indonesia banyak terjadi kasus
hipospadia dan epispadia karena kurangnya pengetahuan para bidan saat menangani
kelahiran karena seharusnya anak yang lahir itu laki-laki namun karena melihat lubang
kencingnya di bawah maka di bilang anak itu perempuan. Oleh karena itu kita sebagai
seorang tenaga medis harus menberikan informasi yang adekuat kepada para orang tua
tentang penyakit ini. Para orang tua hendaknya menghindari faktor- faktor yang dapat
menyebabkan hipospadia dan mendeteksi secara dini kelainan pada anak mereka sehingga
dapat dilakukan penanganan yang tepat.

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang
sampah metabolisme dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan dari
tubuh. Tetapi pada kondisi tertentu karena adanya gangguan pada ginjal, fungsi tersebut
akan berubah. Gagal ginjal adalah ketidakmampuaan ginjal untuk mengekskresikan zat
sisa tubuh,memekatkan urin dan menyimpan elektrolit. Keadaan ini dapat terjadi secara
tiba-tiba (GGA) sebagai respon terhadap perfusi darah yang tidak adekuat, atau dapat
terjadi secara perlahan-lahan (GGK) sebagai akibat dari penyakit atau anomali ginjal
yang berlangsung lama.Gagal ginjal akut (GGA) adalah sindrom yang ditandai oleh
penurunan laju filtrasi glomerulus secara mendadak dan cepat (hitungan jam-minggu)
yang mengakibatkan terjadinya retensi produk sisa nitrogen seperti ureum dan kreatinin
Sedangkan Gagal ginjal kronik biasanya terjadi secara perlahan-lahan sehingga
biasanya diketahui setelah jatuh dalam kondisi parah. Gagal ginjal kronik tidak dapat
disembuhkan. Gagal ginjal kronik dapat terjadi pada semua umur dan semua tingkat
sosial ekonomi. Pada penderita gagal ginjal kronik, kemungkinan terjadinya kematian
sebesar 85%.
Lebih dari 90 % sindrom nefrotik atau gagal ginjal pada anak merupakan akibat dari
penyakit ginjal primer yang tidak tahu penyebabnya. Insiden penyakit ginjal yang banyak
terdapat pada anak adalah gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik pada anak lebih jarak
dibandingkan orang dewasa, tetapi memiliki akibat yang lebih buruk terhadap
pertumbuhan dan perkembangan. Biasanya gejala klinis belum terlihat hingga terjadi
penurunan fungsi ginjal sampai 60-80 %. Gejala klinis mungkin tidak jelas yaitu adanya
gagal tumbuh, anoreksia dan nokturia atau dapat berupa gejala akut pada krisis kronik
yang dapat disebabkan oleh infeksi .
Melihat kondisi seperti tersebut di atas, maka perawat harus dapat mendeteksi secara
dini tanda dan gejala klien dengan gagal ginjal kronik. Sehingga dapat memberikan
asuhan keperawatan secara komprehensip pada klien anak dengan gagal ginjal kronik.
Anak dengan gagal ginjal kronik harus diawasi oleh tim nefrologi anak yang mampu
memberikan perawatan yang optimal yang terdiri dari diet khusus, kemungkinan tindakan
bedah dan persiapan psikologi jika diadakan dialisis atau transplantasi. Gangguan
pertumbuhan pada anak gagal ginjal kronik merupakan masalah multifaktoral tetapi
dengan pemberian diet yang agresif disertai suplemen pada anak usia 2 tahun pertama,
dapat membantu mencegah terjadinya perawakan pendek yang sering tampak pada anak
dengan gagal ginjal kronik.

Sindrom nefrotik (SN) adalah sekumpulan manifestasi klinis yang ditandai oleh
proteinuria masif (lebih dari 3,5 g/1,73 m2 luas permukaan tubuh per hari),
hipoalbuminemia (kurang dari 3 g/dl), edema, hiperlipidemia, lipiduria,
Hiperkoagulabilitas. Berdasarkan etiologinya, SN dapat dibagi menjadi SN primer
(idiopatik) yang berhubungan dengan kelainan primer glomerulus dengan sebab tidak
diketahui dan SN sekunder yang d isebabkan oleh penyakit tertentu.
Saat ini gangguan imunitas yang diperantarai oleh sel T diduga menjadi penyebab
SN. Hal ini didukung oleh bukti adanya peningkatan konsentrasi neopterin serum dan
rasio neopterin/kreatinin urin serta peningkatan aktivasi sel T dalam darah perifer pasien
SN yang mencerminkan kelainan imunitas yang diperantarai sel T.
Kelainan histopatologi pada SN primer meliputi nefropati lesi minimal,nefropati
membranosa, glomerulo-sklerosis fokal segmental, glomerulonefritis membrano-
proliferatif.
Penyebab SN sekunder sangat banyak, di antaranya penyakit infeksi, keganasan,
obat-obatan, penyakit multisistem dan jaringan ikat, reaksi alergi, penyakit metabolik,
penyakit herediter-familial, toksin, transplantasi ginjal, trombosis vena renalis, stenosis
arteri renalis, obesitas massif.
Di klinik (75%-80%) kasus SN merupakan SN primer (idiopatik). Pada anak-anak (<
16 tahun) paling sering ditemukan nefropati lesi minimal(75%-85%) dengan umur rata-
rata 2,5 tahun, 80% < 6 tahun saat diagnosis dibuat dan laki-laki dua kali lebih banyak
daripada wanita. Pada orang dewasa paling banyak nefropati membranosa (30%-50%),
umur rata-rata 30-50 tahun dan perbandingan laki-laki dan wanita 2 : 1.
Kejadian SN idiopatik 2-3 kasus/100.000 anak/tahun sedangkan pada dewasa
3/1000.000/tahun.Sindrom nefrotik sekunder pada orang dewasa terbanyak disebabkan
oleh diabetes mellitus. Pada SN primer ada pilihan untuk memberikan terapi empiris atau
melakukan biopsi ginjal untuk mengidentifikasi lesi penyebab sebelum memulai terapi.
Selain itu terdapat perbedaan dalam regimen pengobatan SN dengan respon terapi yang
bervariasi dan sering terjadi kekambuhan setelah terapi dihentikan. Berikut akan dibahas
patogenesis/patofisiologi dan penatalaksanaan SN.
B. Tujuan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah :


1. Memperoleh gambaran mengenai penyakit Hipospadia dan Epispadia
2. Mampu membuat ASKEP pada anak dengan penyakit Hipospadia dan Epispadia.
3. Memperoleh gambaran mengenai penyakit Gagal Ginjal.
4. Mampu membuat ASKEP pada anak dengan penyakit Gagal Ginjal.
5. Memperoleh gambaran mengenai penyakit Sindrom Nefrotik
6. Mampu membuat ASKEP pada anak dengan penyakit Sindrom Nefrotik

C. Manfaat

1. Menambah wawasan pengetahuan mengenai kasus Hipospadia dan Epispadia dan


penerapan konsep keperawatan pada kasus Hipospadia dan Epispadia.
2. Menambah wawasan pengetahuan mengenai kasus Gagal Ginjal dan penerapan
asuhan keperawatan pada kasus Gagal Ginjal
3. Menambah wawasan pengetahuan tentang penyebab-penyebab dari penyakit sindrom
nefrotik, tanda dan gejala dari penyakit sindrom nefrotik serta bagaimana cara
penanganan dan pengobatan.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. HIPOSPADIA DAN EPISPADIA


1. Pengertian

Hipospadia adalah suatu kelainan bawaan congenital dimana meatus uretra


externa terletak di permukaan ventral penis dan lebih ke proksimal dari tempatnya
yang normal (ujung glans penis). (Arif Mansjoer, 2000 : 374).
Epispadia adalah suatu kelainan bawaan berupa tidak adanya dinding uretra sebelah
atas atau susunan dorsal pada meatus uretra. (Ngastiyah, 2005 : 288).
Hipospadia adalah suatu keadaan dimana terjadi hambatan penutupan uretra penis
pada kehamilan minggu ke 10 sampai ke 14 yang mengakibatkan orifisium uretra
tertinggal disuatu tempat dibagian ventral penis antara skrotum dan glans penis. (A.H
Markum, 1991 : 257).
Epispadia adalah suatu anormali kongenital yaitu meatus uretra terletak pada
permukaan dorsal penis. Insiden epipadia yang lengkap sekitar 120.000 laki-laki.
Keadaan ini biasanya tidak terjadi sendirian, tetapi juga disertai anomali saluran
kemih. ( patofisiologi, konsep klinis proses-proses penyakit).
Hipospadia adalah keadaan dimana uretra bermuara pada suatu tempat lain pada
bagian belakang batang penis atau bahkan pada perineum ( daerah antara kemaluan
dan anus ). (Davis Hull, 1994 ).
Hipospadia adalah salah satu kelainan bawaan pada anak-anak yang sering ditemukan
dan mudah untuk mendiagnosanya, hanya pengelolaannya harus dilakukan oleh
mereka yang betul-betul ahli supaya mendapatkan hasil yang memuaskan.

2. Klasifikasi Hipospadia dan Epispadia


Tipe hipospadia berdasarkan letak orifisium uretra eksternum/ meatus :
a. Tipe sederhana/ Tipe anterior
Terletak di anterior yang terdiri dari tipe glandular dan coronal.
Pada tipe ini, meatus terletak pada pangkal glands penis. Secara klinis, kelainan ini
bersifat asimtomatik dan tidak memerlukan suatu tindakan. Bila meatus agak
sempit dapat dilakukan dilatasi atau meatotomi.
b. Tipe penil/ Tipe Middle
Middle yang terdiri dari distal penile, proksimal penile, dan pene-escrotal.
Pada tipe ini, meatus terletak antara glands penis dan skrotum. Biasanya disertai
dengan kelainan penyerta, yaitu tidak adanya kulit prepusium bagian ventral,
sehingga penis terlihat melengkung ke bawah atau glands penis menjadi pipih.
Pada kelainan tipe ini, diperlukan intervensi tindakan bedah secara bertahap,
mengingat kulit di bagian ventral prepusium tidak ada maka sebaiknya pada bayi
tidak dilakukan sirkumsisi karena sisa kulit yang ada dapat berguna untuk tindakan
bedah selanjutnya.
c. Tipe Posterior
Posterior yang terdiri dari tipe scrotal dan perineal.
Pada tipe ini, umumnya pertumbuhan penis akan terganggu, kadang disertai dengan
skrotum bifida, meatus uretra terbuka lebar dan umumnya testis tidak turun.
Klasifikasi hipospadia yang digunakan sesuai dengan letak meatus uretra yaitu tipe
glandular, distal penile, penile, penoskrotal, skrotal dan perineal.
Semakin ke proksinal letak meatus, semakin berat kelainan yang diderita dan
semakin rendah frekuensinya. Pada kasus ini 90% terletak di distal di mana meatus
terletak diujung batang penis atau di glands penis. Sisanya yang 10% terletak lebih
proksimal yaitu ditengah batang penis, skrotum atau perineum.
Berdasarkan letak muara uretra setelah dilakukan koreksi korde, Brown
membagi hipospadia dalam 3 bagian :
1. Hipospadia anterior : tipe glanular, subkoronal, dan penis distal.
2. Hipospadia Medius : midshaft, dan penis proksimal.
3. Hipospadia Posterior : penoskrotal, scrotal, dan perineal.
Tergantung pada posisi meatus kemih dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
bentuk :

1. Balanica atau epispadias kelenjar


adalah malformasi terbatas pada kelenjar, meatus terletak pada permukaan, alur
dari meatus di puncak kepala penis. Ini adalah jenis epispadias kurang sering
dan lebih mudah diperbaiki.
2. Epispadias penis
derajat pemendekan lebih besar dengan meatus uretra terletak di titik variabel
antara kelenjar dan simfisis pubis.
3. Penopubica epispadia
varian yang lebih parah dan lebih sering. Uretra terbuka sepanjang perpanjangan
seluruh hingga leher kandung kemih yang lebar dan pendek.
2. Etiologi
Penyebabnya sebenarnya sangat multifaktor dan sampai sekarang belum diketahui
penyebab pasti dari hipospadi dan epispadia. Namun, ada beberapa faktor yang oleh
para ahli dianggap paling berpengaruh antara lain:

a. Gangguan dan ketidakseimbangan hormone


Hormon yang dimaksud di sini adalah hormon androgen yang mengatur
organogenesis kelamin (pria). Atau bisa juga karena reseptor hormon androgennya
sendiri di dalam tubuh yang kurang atau tidak ada. Sehingga walaupun hormon
androgen sendiri telah terbentuk cukup akan tetapi apabila reseptornya tidak ada
tetap saja tidak akan memberikan suatu efek yang semestinya. Atau enzim yang
berperan dalam sintesis hormon androgen tidak mencukupi pun akan berdampak
sama.
b. GenetikaTerjadi karena gagalnya sintesis androgen.
Hal ini biasanya terjadi karena mutasi pada gen yang mengode sintesis androgen
tersebut sehingga ekspresi dari gen tersebut tidak terjadi.
c. Lingkungan
d. Biasanya faktor lingkungan yang menjadi penyebab adalah polutan dan zat yang
bersifat teratogenik yang dapat mengakibatkan mutasi.

3. Patofisiologi
Hypospadia dan epispadia terjadi karena tidak lengkapnya perkembangan uretra
dalam utero. Hypospadia di mana lubang uretra terletak pada perbatasan penis dan
skortum, ini dapat berkaitan dengan crodee kongiental.
Paling umum pada hypospadia adalah lubang uretra bermuara pada tempat frenum,
frenumnya tidak berbentuk, tempat normalnya meatus uranius di tandai pada glans
penis sebagai celah buntuh.
Epispadia terbukanya uretra sebelah ventral. Kelainan ini meliputi leher kandung
kemih ( epispadia total ) atau hanya uretra ( epispadia persial ).Epispadia dimana
lubang uretra terdapat pada permukaan dorsum penis, dan tampak sebagai celah atau
alur tanpa tutup.Epispadia parsialis di mana muara uretra terdapat di sebelah atas dan
di belakang glans penis, permukaan dorsal penis biasanya bertarik sampai ujungnya
tetapi lubang uretra dapat berakhir pada corona atau di sebelah proksimalnya.
Pada embrio yang berumur 2 minggu baru terdapat 2 lapisan yaitu ektoderm dan
endoderm. Baru kemudian terbentuk lekukan di tengah-tengah yaitu mesoderm yang
kemudian bermigrasi ke perifer, memisahkan ektoderm dan endoderm, sedangkan di
bagian kaudalnya tetap bersatu membentuk membran kloaka.
Pada permulaan minggu ke-6, terbentuk tonjolan antara umbilical corddan tailyang
disebut genital tubercle.Di bawahnya pada garis tengah terbenuk lekukan dimana di
bagian lateralnya ada 2 lipatan memanjang yang disebut genital fold. Selama minggu
ke-7, genital tubercleakan memanjang dan membentuk glans.Bila terjadi agenesis dari
mesoderm, maka genital tubercletak terbentuk, sehingga penis juga tak terbentuk.
Bagian anterior dari membrana kloaka, yaitu membrana urogenitalia akan ruptur dan
membentuk sinus. Sementara itu genital foldakan membentuk sisi-sisi dari sinus
urogenitalia. Bila genital fold gagal bersatu di atas sinus urogenitalia, maka akan
terjadi hipospadia.
4. Pathway

Gangguan ketidakseimbangan

Hormon Genetik dan Lingkungan

Gangguan perkembangan embrio


Gangguan Eliminasi Urine

Aliran urin tidak lancar


Malformasi Kongenital Hipospadia/Epispadia

Urin menetes

Gangguan citra Tubuh Pembedahan


Urin mengiritasi kulit

sekitarnya

Kurangnya informasi Kerusakan Integritas Kulit


Post- Op
Mengenai Kondisi

Hospitalisasi Luka insisi Bedah Perawatan luka yang


Ansietas tidak adekuat

Ketakutan pada anak Nyeri Akut


Resiko Infeksi
Gangguan Pola Tidur
5. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada hipospadai dan epispadia, antara lain:

a. Glans penis bentuknya lebih datar dan ada lekukan yang dangkal di bagian bawah
penis yang menyerupai meatus uretra eksternus.
b. Kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung kearah bawah yang akan
tampak lebih jelas pada saat ereksi.
c. Preputium (kulup) tidak ada dibagian bawah penis, menumpuk di bagian
punggung penis.
d. Adanya chordee, yaitu jaringan fibrosa yang mengelilingi meatus dan
membentang hingga ke glans penis, teraba lebih keras dari jaringan sekitar.
e. Kulit penis bagian bawah sangat tipis.
f. Tunika dartos, fasia Buch dan korpus spongiosum tidak ada.
g. Dapat timbul tanpa chordee, bila letak meatus pada dasar dari glans penis.
h. Chordee dapat timbul tanpa hipospadia sehingga penis menjadi bengkok.
i. Sering disertai undescended testis (testis tidak turun ke kantung skrotum).
j. Kadang disertai kelainan kongenital pada ginjal.
Pada kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung ke arah bawah yang akan
tampak lebih jelas pada saat ereksi. Hal ini disebabkan oleh adanya chordee yaitu
suatu jaringan fibrosa yang menyebar mulai dari meatus yang letaknya abnormal ke
glands penis.Jaringan fibrosa ini adalah bentuk rudimeter dari uretra, korpus
spongiosum dan tunika dartos.Walaupun adanya chordee adalah salah satu ciri khas
untuk mencurigai suatu hipospadia, perlu diingat bahwa tidak semua hipospadia
memiliki chordee.

6. Pemeriksaan Diagnosis
Adapun pemeriksaan diagnostik tidak ada kecuali terdapat ketidak jelasan jenis
kelamin perlu ditegaskan atau pada kasus-kasus ketika abnormalitas lain dicurigai.
Namun dapat dilakukan pemeriksaan fisik untuk mengetahui letak dari meatus uretra
secara normal yang mengalami kelainan atau tidak mengalami kelainan.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik. Jika hipospadia terdapat di
pangkal penis, mungkin perlu dilakukan pemeriksaan radiologis untuk memeriksa
kelainan bawaan lainnya.
Untuk menilai beratnya epispadia, dilakukan pemeriksaan berikut:
a. Radiologis (IVP)
b. USG sistem kemih-kelamin.
c. Epispadia biasanya diperbaiki melalui pembedahan.

7. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan adalah dengan cara operasi, dikenal
banyak teknik operasi hipospadia, yang umumnya terdiri dari beberapa tahap yaitu:
a. Operasi pelepasan chordee dan tunneling
Dilakukan pada usia satu setengah hingga dua tahun. Pada tahap ini dilakukan
operasi eksisi chordee dari muara uretra sampai ke glans penis. Setelah eksisi
chordee maka penis akan menjadi lurus akan tetapi meatus uretra masih terletak
abnormal. Untuk melihat keberhasilan setelah eksisi dilakukan tes ereksi buatan
intraoperatif dengan menyuntikan NaCl 0,9% ke dalam korpus kavernosum.
b. Operasi uretroplasti
Biasanya dilakukan 6 bulan setelah operasi pertama. Uretra dibuat dari kulit penis
bagian ventral yang diinsisi secara longitudinal paralel di kedua sisi.
c. Dan pada tahun-tahun terakhir ini, sudah mulai deterapkan operasi yang dilakukan
hanya satu tahap, akan tetapi operasi hanya dapat dilakukan pada hipospadia tipe
distal dengan ukuran penis yang cukup besar.
Tujuan pembedahan :
a. Membuat normal fungsi perkemihan dan fungsi sosial.
b. Perbaikan untuk kosmetik pada penis.
Ada banyak variasi teknik, yang populer adalah tunneling Sidiq-Chaula, Teknik
Horton dan Devine.
1. Teknik tunneling Sidiq-Chaula, dilakukan operasi 2 tahap :
a. Tahap pertama eksisi dari chordee dan bisa sekaligus dibuatkan terowongan
yang berepitel pada glans penis. Dilakukan pada usia 1 ½ -2 tahun. Penis
diharapkan lurus, tapi meatus masih pada tempat yang abnormal. Penutupan
luka operasi menggunakan preputium bagian dorsal dan kulit penis.
b. Tahap kedua dilakukan uretroplasti, 6 bulan pasca operasi, saat parut sudah
lunak. Dibuat insisi paralel pada tiap sisi uretra (saluran kemih) sampai ke
glans, lalu dibuat pipa dari kulit dibagian tengah. Setelah uretra terbentuk, luka
ditutup dengan flap dari kulit preputium dibagian sisi yang ditarik ke bawah
dan dipertemukan pada garis tengah. Dikerjakan 6 bulan setelah tahap pertama
dengan harapan bekas luka operasi pertama telah matang.
2. Teknik Horton dan Devine, dilakukan 1 tahap, dilakukan pada anak lebih besar
dengan penis yang sudah cukup besar dan dengan kelainan hipospadi jenis distal
(yang letaknya lebih ke ujung penis). Uretra dibuat dari flap mukosa dan kulit
bagian punggung dan ujung penis dengan pedikel (kaki) kemudian dipindah ke
bawah.
Mengingat pentingnya preputium untuk bahan dasar perbaikan hipospadia, maka
sebaiknya tindakan penyunatan ditunda dan dilakukan berbarengan dengan
operasi hipospadi.
Berbeda dengan hipospadia di mana ada sejumlah besar teknik bedah yang
menawarkan pilihan terapi yang berbeda, karena koreksi epispadia termasuk
alternatif bedah dan hasil dari sudut pandang fungsional sering tidak memuaskan.
Ketika epispadias tidak terkait dengan inkontinensia urin perawatan bedah
terbatas pada rekonstruksi kepala penis dan uretra menggunakan plat uretra.
Ketika epispadias dikaitkan dengan inkontinensia urin pengobatan menjadi lebih
kompleks. Dalam rangka meminimalkan dampak psikologis, usia yang paling
cocok untuk perbaikan bertepatan dengan tahun pertama atau kedua kehidupan.
Yang penting untuk perbaikan epispadia sukses meliputi:
1. Pemanjangan penis
2. Urethroplasty
3. Cakupan cacat kulit dorsal penis.

8. Komplikasi

Adapun komplikasi yang dapat terjadi striktur uretra (terutama pada sambungan
meatus uretra yang sebenarnya dengan uretra yang baru dibuat) atau fisula, infertilitas,
serta gangguan psikososial.
a. Pseudohermatroditisme (keadaan yang ditandai dengan alat-alat kelamin dalam 1
jenis kelamin tetapi dengan satu beberapa ciri sexsual tertentu)
b. Psikis (malu) karena perubahan posisi BAK
c. Kesukaran saat berhubungan sexsual, bila tidak segera dioperasi saat dewasa
Komplikasi paska operasi yang terjadi:
1. Edema/pembengkakan yang terjadi akibat reaksi jaringan besarnya dapat
bervariasi, juga terbentuknya hematom/kumpulan darah dibawah kulit, yang
biasanya dicegah dengan balut tekan selama 2 sampai 3 hari paska operasi
2. Striktur, pada proksimal anastomosis yang kemungkinan disebabkan oleh angulasi
dari anastomosis
3. Rambut dalam uretra, yang dapat mengakibatkan infeksi saluran kencing berulang
atau pembentukan batu saat pubertas
4. Fitula uretrokutan, merupakan komplikasi yang sering dan digunakan sebagai
parameter untuyk menilai keberhasilan operasi. Pada prosedur satu tahap saat ini
angka kejadian yang dapat diterima adalah 5-10 %
5. Residual chordee/rekuren chordee, akibat dari rilis korde yang tidak sempurna,
dimana tidak melakukan ereksi artifisial saat operasi atau pembentukan skar yang
berlebihan di ventral penis walaupun sangat jarang
6. Divertikulum, terjadi pada pembentukan neouretra yang terlalu lebar, atau adanya
stenosis meatal yang mengakibatkan dilatasi yang lanjut.

9. Konsep Asuhan Keperawatan


a. Pengkajian
1. Genitouria
a) Praoperasi
Yang terinspeksi pada Genitourinaria adalah:

1) pemeriksaan genitalia
2) tidak ada kulit katan (foreksin) ventral
3) palpasi abdomen untuk melihat distensi bladder atau pembesaran pada
ginjal.
4) Kaji fungsi perkemihan
5) Adanya lekukan pada ujung penis
6) Glans penis berbentuk sekop
7) Melengkungnya penis ke bawah dengan atau tanpa ereksi
8) Terbukanya urethral pada ventral (hypospadias)
b) Pascaoperasi
Yang terinspeksi pada Genitourinaria adalah:

1) Pembengkakan penis
2) Perdarahan pada sisi pembedahan
3) Disuria
2. Neurologis

a. Iritabilitas
b. Gelisah
3. Kaji riwayat kelahiran (adanya anomali konginetal, kondisi kesehatan)
4. Head to toe

a. Perhatikan adanya penis yang besar kemungkinan terjadi pubertas yang


terlalu dini
b. Pada anak yang obesitas penis dapat ditutupi oleh bantalan lemak di atas
simpisis pubis
c. Pada bayi, prepusium mengencang sampai usia 3 tahun dan tidak boleh
diretraksi
d. Palpasi abdomen atau melihat distensi bladder atau pembesaran pada
ginjal
e. Perhatikan lokasi pada permukaan dorsal atau ventral dari penis
kemungkinan tanda genetalia ganda
f. Kaji fungsi perkemihan
g. Kaji adanya lekukan pada ujung penis
h. Jika mungkin, perhatikan kekuatan dan arah aliran urin.
i. Perhatikan skrotum yang kecil dekat perineum dengan adanya derajat
pemisahan garis tengah
j. Rugae yang terbentuk baik menunjukkan turunya testis.
k. Kaji adanya nyeri urinasi, frekuensi, keraguan untuk kencing, urgensi,
urinaria, nokturia, poliuria, bau tidak enak pada urine, kekuatan dan arah
aliran, rabas, perubahan ukuran skrotum
5. Diskusikan pentingnya hygiene
6. Kaji faktor yang mempengaruhi respon orang tua pada penyakit anak dan
keseriusan ancaman pada anak mereka

a. Prosedur medis yang terlibat dalam diagnosis dan tindakan


b. Ketersediaan sistem pendukung
c. Kekuatan ego pribadi
d. Kemampuan koping keluarga sebelumnya
e. Stress tambahan pada sistem keluarga
f. Keyakinan budaya dan agama
7. Kaji pola komunikasi antaranggota keluarga

a. Menurunnya komunikasi pada anak, ekspresi, dan kontrol impuls dalam


penyampaian penyaluran perasaan
b. Anak dapat merasa terisolasi, bosan, gelisah, adanya perasaan malu terhadap
teman sebaya
c. Dapat mengekspresikan marah dan agresi

b. Diagnosa Keperawatan
1. Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksimekanik
2. Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga
dan klien.
3. Nyeri berhubungan dengan pembedahan
4. Resiko infeksi (traktus urinarius) berhubungan dengan pemasangan kateter
menetap
5. Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan trauma operasi

c. Intervensi
Diagnosa pre operasi
1). Perubahan eliminasi (retensi urin) berhubungan dengan obstruksimekanik
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
retensi urin berkurang.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengesankan kandung kemih secara komplet
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada
inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan
masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
2). Kecemasan berhubungan dengan akan dilakukan tindakan operasi baik keluarga
dan klien.
Tujuan : Setelah dilakukan tindkan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
kecemasan pasien berkurang.
NOC : Kontrol ansietas
Indikator :
a. Tingkat kecemasan di batas normal
b. Mengetahui penyebab cemas
c. Mengetahui stimulus yang menyebabkan cemas
d. Informasi untuk mengurangi kecemasan
e. Strategi koping untuk situasi penuh stress
f. Hubungan sosial
g. Tidur adekuat
h. Respon cemas
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Pengurangan cemas
Intervensi :
a. Ciptakan suasana yang tenang
b. Sediakan informasi dengan memperhatikan diagnosa, tindakan dan prognosa,
dampingi pasien untuk meciptakan suasana aman dan mengurangi ketakutan
c. Dengarkan dengan penuh perhatian
d. Kuatkan kebiasaan yang mendukung
e. Ciptakan hubungan saling percaya
f. Identifikasi perubahan tingkatan kecemasan
g. Bantu pasien mengidentifikasi situasi yang menimbulkan kecemasan

Diagnosa post operasi


1. Nyeri akut berhubungan dengan post prosedur operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
nyeri berkurang.
NOC 1 : Level nyeri
Indikator :
a. Melaporkan nyeri (frekuensi & lama)
b. Perubahan vital sign dalam batas normal
c. Memposisikan tubuh untuk melindungi nyeri
NOC 2 : Tingkat kenyamanan
Indikator :
a. Melaporkan kondisi fisik yang nyeman
b. Menunjukan ekspresi puas terhadap manajemen nyeri
NOC 3 : Kontrol nyeri
Indikator :
a. Mengungkap faktor pencetus nyeri
b. Menggunakan tetapi non farmakologi
c. Dapat menggunakan berbagai sumber untuk mengontrol nyeri
d. Melaporkan nyeri terkontrol
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Manajemen nyeri
Intervensi :
a. Kaji secara komperhensif mengenai lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi,
kualitas, intensitas, dan faktor pencetus nyeri
b. Observasi keluhan nonverbal dari ketidaknyamanan
c. Ajarkan teknik nonfarmakologi (ralaksasi)
d. Bantu pasien & keluarga untuk mengontrol nyeri
e. Beri informasi tentang nyeri (penyebab, durasi, prosedur antisipasi nyeri)

NIC 2 : Monitor tanda vital


Intervensi :
a. Monitor TD, RR, nadi, suhu pasien
b. Monitor keabnormalan pola napas pasien
c. Identifikasi kemungkinan perubahan TTV
d. Monitor toleransi aktivitas pasien
e. Anjurkan untuk menurunkan stress dan banyak istirahat
NIC 3 : Manajemen lingkungan
Intervensi :
a. Cegah tindakan yang tidak dibutuhkan
b. Posisikan pasien dalam posisi yang nyaman
2. Resiko tingggi infeksi berhubungan dengan invasi kateter
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
tidak terjadi infeksi.
NOC 1 : Deteksi resiko
Indikator :
a. Mengidentifikasi faktor yang dapat menimbulkan resiko
b. Menjelaskan kembali tanda & gejala yang mengidentifikasi faktor resiko
c. Menggunakan sumber & pelayanan kesehatan untuk mendapat sumber
informasi
NOC 2 : Kontrol resiko
Indikator :
a. Membenarkan faktor resiko
b. Memonitor faktor resiko dari lingkungan
c. Memonitor perilaku yang dapat meningkatkan faktor resiko
d. Memonitor & mengungkapkan status kesehatan
NOC 3 : Status imun
Indikator :
a. Tidak menunjukan infeksi berulang
b. Suhu tubuh dalam batas normal
c. Sel darah putih tidak meningkat
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC 1 : Kontrol infeksi
Intervensi :
a. Ajarkan pasien & kelurga cara mencucitangan yang benar
b. Ajarkan pada pasien & keluarga tanda gejala infeksi & kapan harus melaporkan
kepada petugas
c. Batasi pengunjung
d. Bersihkan lingkungan dengan benar setelah digunakan pasien
NIC 2 : Perawatan luka
Intervensi :
a. Catat karakteristik luka, drainase
b. Bersihkan luka dan ganti balutan dengan teknik steril
c. Cuci tangan dengan benar sebelum dan sesudah tindakan
d. Ajarkan pada pasien dan kelurga cara prosedur perawatan luka
NIC 3 : Perlindungan infeksi
Intervensi :
a. Monitor peningkatan granulossi, sel darah putih
b. Kaji faktor yang dapat meningkatkan infeksi.
1. Perubahan eliminasi urine (retensi urin) berhubungan dengan trauma operasi
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan
retensi urin berkurang.
NOC : Pengawasan urin
Indikator :
a. Mengatakan keinginan untuk BAK
b. Menentukan pola BAK
c. Mengatakan dapat BAK dengan teratur
d. Waktu yang adekuat antara keinginan BAK dan mengeluarkan BAK ke toilet
e. Bebas dari kebocoran urin sebelum BAK
f. Mampu memulai dan mengakhiri aliran BAK
g. Mengosongkan kandung kemih secara komplet
Keterangan skala :
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC : Perawatan retensi urin
Intervensi :
a. Melakukan pencapaian secara komperhensif jalan urin berfokus kepada
inkontinensia (ex: urin output, keinginan BAK yang paten, fungsi kognitif dan
masalah urin)
b. Menjaga privasi untuk eliminasi
c. Menggunakan kekuatan dari keinginan untuk BAK di toilet
d. Menyediakan waktu yang cukup untuk mengosongkan blader (10 menit)
e. Menyediakan perlak di kasur
f. Menggunakan manuver crede, jika dibutuhkan
g. Menganjurkan untuk mencegah konstipasi
h. Monitor intake dan output
i. Monitor distensi kandung kemih dengan papilasi dan perkusi
j. Berikan waktu berkemih dengan interval reguler, jika diperlukan.
B. GAGAL GINJAL
1. Definisi

Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah metabolik tubuh
atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang biasanya dieliminasi di urin
menumpuk dalam cairan tubuh akibat gangguan ekskresi renal dan menyebabkan
gangguan fungsi endokrin dan metabolic, cairan, elektrolit, serta asam basa.

Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari
berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal.

2. Jenis Gagal Ginjal

Gagal ginjal akut

a. Pengertian Gagal Ginjal Akut


Gagal ginjal akut merupakan suatu penyakit dimana ginjal secara tiba
- tiba kehilangan kemampuan untuk mengekskresikan sisa–sisa metabolisme.
(Suriadi dan Rita Y., 2001 : 111). Gagal Ginjal Akut adalah penurunan laju filrasi
glomerulus (LFP) dan fungsi tubulus yang bermakna dan terjadi secara tiba-tiba
(Karen J.Marcdante dkk, :667). Hal tersebut menyebabkan gangguaan
pengeluaran produk sisa metabolisme (kreatinin,urea dan fosfat) dan air sehingga
menyebabkan azotemia dan gangguaan homeostasis cairan tubuh. Gambaran
utama GGA adalah oliguria (diuresis < 1 ml/kg/jam pada neonatus atau <0,5
mlkg/jam pada anak) yang disertai dengan azotemia,asidosis metabolik dan
berbagai gangguan elektrolit. Produksi urine dapat menurun,normal atau
meningkat. GGA tidak umum terjadi selama masa kanak-kanak tetapi prognosis
penyakit ini bergantung pada penyebab,gambaran klinis yang menyertai dan
pengenalan serta penanganan yang segera.
b. Etiologi Gagal Ginjal Akut
1) Faktor prarenal (hipoperfusi renal)
Semua faktor yang menyebabkan peredaran darah ke ginjal berkurang
dengan terdapatnya hipovolemia, misalnya : perdarahan, dehidrasi, gagal
jantung,luka bakar, peritinitis, asites dan sirosis.
2). Faktor renal / intrinsik
Pada tipe ini Gagal Ginjal Akut timbul akibat kerusakan jaringan ginjal.
Kerusakan dapat terjadi pada glomeruli atau tubuli sehingga faal ginjal
langsung terganggu. Dapat pula terjadi karena hipoperfusi prarenal yang
ginjal. Prosesnya dapat berlangsung cepat dan mendadak, atau dapat juga
berlangsung perlahan–lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia.
Beberapa penyebab kelainan ini adalah :
a). Koagulasi intravaskuler, seperti pada sindrom hemolitik uremik,
renjatan sepsis dan renjatan hemoragik.
b). Glomerulopati (akut) seperti glomerulonefritis akut pasca
sreptococcoc, lupus nefritis, penolakan akut atau krisis donor ginjal.
c). Penyakit neoplastik akut seperti leukemia, limfoma, dan tumor lain
yang langsung menginfiltrasi ginjal dan menimbulkan kerusakan.
d). Nekrosis ginjal akut misal nekrosis tubulus akut akibat renjatan dan
iskemia lama, nefrotoksin (kloroform, sublimat, insektisida organik),
hemoglobinuria dan mioglobinuria.
e). Pielonefrits akut (jarang menyebabkan gagal ginjal akut) tapi
umumnya pielonefritis kronik berulang baik sebagai penyakit primer
maupun sebagai komplikasi kelainan struktural menyebabkan
kehilangan faal ginjal secara progresif.
f). Glomerulonefritis kronik dengan kehilangan fungsi progresif.
3) . Faktor pascarenal (Obstruksi atau stasis traktus urinarius)
Pascarenal yang biasanya menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat
dari obstruksi di bagian distal ginjal. Tekanan di tubulus ginjal meningkat,
akhirnya laju filtrasi glomerulus meningkat. Beberapa penyebabnya yaitu :
(a). Obstruksi uretra ; striktur,katup uretra posterior dan diverkulum,
(b). Obstruksi ureter ; kalkuli/kristal dan bekuaan darah,
(c) Ureterokal,
(d) Tumor ekstrinsik yang menekan pintu keluar kandung kemih,
(e) Neurogenic bladder dan
(f) Sindrom lisis tumor.
c. Manifestasi klinis GGA
Keluhan dan gejala Gagal Ginjal Akut pada anak tidak khas. Gagal Ginjal
Akut hendaknya dipertimbangkan pada anak-anak dengan gejala-gejala
sebagai berikut :
1). Gejala Spesifik : Oliguria (< 300 ml/m2/hari atau <1 ml/kg BB/jam),
anuria jarang dijumpai kecuali pada gangguan obstruksi.
2). Gejala Nonspesifik ; mual,muntah,anoreksia,drowsiness atau
kejang,keadaan mengantuk,edema, hipertensi.
3). Hiperventilasi karena asidosis
4). Kelainan sedimen urine, misalnya : hematuria, proteinuria.
5). Tanda-tanda obstruksi saluran kemih, misalnya : pancaran urine yang
lemah, kencing menetes atau adanya masa pada palpasi abdomen.
6). Keadaan-keadaan yang merupakan faktor predisposisi Gagal Ginjal Akut,
misalnya diare dengan dehidrasi berat, penggunaan aminoglikosida,
khemoterapi pada leukemia akut.
d. Fase Gagal Ginjal Akut
Secara klinis gagal ginjal akut dibagi menjadi 3 fase, yaitu :
1). Fase oliguri / anuria
Ju mlah urin berkurang hingga 10–30 ml sehari. Pada bayi, anak – anak
berlangsung selama 3–5 hari. Terdapat gejala–gejala uremia (pusing,
muntah, apatis, rasa haus, pernapasan kusmaul, anemia, kejang),
hiperkalemi, hiperfosfatemi, hipokalsemia, hiponatremia, dan asidosis
metabolik.
2). Fase diuretik
Pada fase ini urine bertambah setiap hari hingga menjadi poliuri. Hal ini
disebabkan karena kadar ureum tinggi dalam darah (diuresis osmotik),
faal tubulus belum baik, pengeluaran cairan berlebihan. Terjadi
hiponatremia karena kehilangan natrium melalui tubulus yang rusak.
Lamanya fase ini berlangsung selama 2 minggu.
3). Fase penyembuhan atau fase pasca diuretik
Pada fase ini poliuria berkurang demikian juga gejala uremia. Fungsi
glomerulus dan tubulus berangsur – angsur membaik.
e. Patofisiologi Ga gal Ginjal akut
Pada gagal ginjal akut terjadi ketidakmampuan ginjal untuk
memfiltrasi sisa buangan, pengaturan cairan, dan mempertahankan
keseimbangan kimia.
Tipe prerenal merupakan hasil dari penurunan perfusi renal yang dapat
disebabkan oleh dehidrasi, asfiksia perinatal, hipotensi, septic syok, syok
hemoragik atau obstruksi pada arteri renal, diare atau muntah, syok yang
disebabkan oleh pembedahan, luka bakar, hipoperfusi berat ( pada
pembedahan jantung ). Hal ini menimbulkan penurunan aliran darah renal dan
terjadi iskemik. Tipe intrarenal atau renal merupakan hasil dari kerusakan
jaringan ginjal yang mungkin disebabkan oleh nefrotoksin seperti
aminoglycosides, glomerulonefritis, dan pyelonefritis.Tipe postrenal adanya
obstruksi pada aliran urine. Obstruksi dapat meningkatkan tekanan dalam
ginjal yang mana dapat menurunkan fungsi renal. Penyebabnya dapat
obstruksiureteropelvic, obstruksi ureterovesical, neurogenik bladder, posterior
urethral valves, tumor atau edema.
f. Pathway Gagal Ginjal Akut

WOC Gagal Ginjal Akut

Prarenal, Renal/intrinsik renal, pasca renal

Penurunan aliran darah Kerusakan sel tubulus Kerusakan glomerulus


ke ginjal

Aliran Darah Obstruksi Tubulus Kebocoran


Pelepasan NaCl ke filtrasi
makula densa Ultrafiltrasi glomerulus

Penurunan GFR

Gagal Ginjal Akut Respon psikologis

Tidak mampu mengekskresi Kurang informasi


urin Ansietas
tentang penyakit

GFR Retensi Na dan elektrolit

Sindrome Uremia
oedema Hipertensi

Penumpukan asam Beban jantung


Ureum pd saluran Kelebihan Volume
organik
cerna Cairan

Curah jantung
PH Darah Anoxresia, mual,
Napas bau amoniak muntah
Penurunan perfusi
Asidosis metabolik
jaringan
Intake Nutrisi tidak
Kuit kering, gatal adekuat

Kerusakan pertukaran
gas Pemenuhan nutrisi
Kerusakan integritas Kulit
g. Komplikasi Gagal Ginjal Akut

1). Infeksi
Asidosis metabolic terjadi karena gangguan sekresi ion hidrogen dan
produk sisa katabolisme
 Hiperkalemia akibat penurunan ekskresi kalium
Uremia
 Payah jantung
 Kejang uremik
Perdarahan
 Gagal ginjal kronik.

GAGAL GINJAL KRONIK (GGK)

a. Definisi Gagal Ginjal Kronik


Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah kemunduran fungsi ginjal yang
menyebabkan ketidakmampuan mempertahankan substansi tubuh dibawah
kondisi normal (Betz Sowden, 2002). Gagal ginjal kronik adalah kerusakan
ginjal yang terjadi selama lebih dari 3 bulan, berdasarkan kelainan patologis
atau petanda kerusakan ginjal seperti proteinuria. Jika tidak ada tanda
kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju
filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m², seperti pada tabel 2.1
berikut:
Tabel Batasan penyakit ginjal kronik
1. Kerusakan ginjal > 3 bulan, yaitu kelainan struktur atau
fungsi ginjal, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi
glomerulus berdasarkan: kelainan patologik dan petanda
kerusakan ginjal seperti proteinuria atau kelainan pada
pemeriksaan pencitraan
2. Laju filtrasi glomerulus < 60 ml/menit/1,73m² selama > 3
bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal
(Sumber: Chonchol, 2005)

Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium


ditentukan oleh nilai laju filtrasi glomerulus, yaitu stadium yang lebih
tinggi menunjukkan nilai laju filtrasi glomerulus yang lebih rendah.
Klasifikasi tersebut membagi penyakit ginjal kronik dalam lima
stadium. Stadium 1 adalah kerusakan ginjal dengan fungsi ginjal yang
masih normal, stadium 2 kerusakan ginjal dengan penurunan fungsi
ginjal yang ringan, stadium 3 kerusakan ginjal dengan penurunan yang
sedang fungsi ginjal, stadium 4 kerusakan ginjal dengan penurunan
berat fungsi ginjal, dan stadium 5 adalah gagal ginjal (Perazella, 2005).
Hal ini dapat dilihat pada table 2.2 berikut :

Tabel Laju filtrasi glomerulus (LFG) dan stadium penyakit ginjal


kronik
Stadium Deskripsi LFG (mL/menit/1.73 m2 )
1 Kerusakan ginjal minimal >90
2 Kerusakan ginjal dengan 60-89
penurunan LFG
3 Penurunan LFG sedang 30-59
4 Penurunan LFG berat 15-29
5 Gagal ginjal terminal < 15 atau dialisis
(Sumber: Karen J , 2005)

b. Etiologi Gagal Ginjal Kronik


1). Malformasi kongenital ginjal dan saluran kemih
2). Refluks vesikoureter yang berkaitan dengan infeksi saluran kencing
3). Pielonefritis kronik
4). Kelainan herediter
5). Glumerulonefritis kronis
6). Glomerulonefropati yang menyertai kelainan sistemik seperti purpura
anafilaktoid dan lupus eritematosus.
Secara praktis penyebab Gagal ginjal kronik dapat dibagi menjadi
kelainan kongenital, kelainan di dapat dan kelainan herediter.
1. Kelainan kongenital : hipoplasia renal, displasia renal, uropati
obstruktif
2. Kelainan herediter : nefritis herediter, sindrome alport.
3. Kelainan didapat : Refluks vesikoureter, Pielonefritis kronik,
Glumerulonefritis kronis, Glomerulonefropati.
Penyebab gagal ginjal kronik pada anak sangat erat hubungannya dengan
usia saat timbul gagal ginjal kronik. Gagal ginjal kronik yang timbul pada
anak dibawah 10 tahun sering ada hubungannya dengan kelainan anatomis
ginjal seperti hipoplasia, displasia, obstruksi dan kelainan malformasi
ginjal. Sedangkan gagal ginjal kronik yang timbul di atas 10 tahun dapat
disebabkan oleh penyakit glomeruler dan kelainan herediter.

c. Manifestasi klinis gagal ginjal kronik


1). Umum : malaise, debil, letargi, tremor, mengantuk, koma.
 Kulit : pucat, mudah lecet, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh,
rambut tipis dan kasar, leukonikia, warna kulit abu-abu mengkilat,
kulit kering bersisik.
 Mulut : lidah kering dan berselaput, fetor uremia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut
 Mata : mata merah.
 Kardiovaskuler : hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung,
pericarditis, pitting edema, edema periorbital, pembesaran vena
jugularis, friction rub perikardial.
 Respiratori : hiperventilasi, asidosis, edema paru, efusi pleura, krekels,
napas dangkal, kussmaul, sputum kental dan liat.
 Gastrointestinal : anorexia, nausea, gastritis, konstipasi/diare, vomitus,
perdarahan saluran GI.
 Muskuloskeletal : kram otot, kehilangan kekuatan otot, fraktur tulang,
foot drop, hiperparatiroidisme, defisiensi vit. D, gout.
 Genitourinari : amenore, atropi testis, penurunan libido, impotensi,
infertilitas, nokturia, poliuri, oliguri, haus, proteinuria,
10). Neurologi : kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang,
kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, perubahan
perilaku.
 Hematologi : anemia, defisiensi imun, mudah mengalami perdarahan.
(Brunner & Suddarth, 2001)

4. Patofisiologi GGK
Gagal ginjal kronis selalu berkaitan dengan penurunan progresif GFR.
Stadium gagal ginjal kronis didasarkan pada tingkat GFR(Glomerular
Filtration Rate) yang tersisa dan mencakup :
a. Penurunan cadangan ginjal; Yang terjadi bila GFR turun 50% dari
normal (penurunan fungsi ginjal), tetapi tidak ada akumulasi sisa
metabolic. Nefron yang sehat mengkompensasi nefron yang sudah rusak,
dan penurunan kemampuan mengkonsentrasi urin, menyebabkan
nocturia dan poliuri. Pemeriksaan CCT 24 jam diperlukan untuk
mendeteksi penurunan fungsi ginjal.
b. Insufisiensi ginjal; Terjadi apabila GFR turun menjadi 20 – 35% dari
normal. Nefron-nefron yang tersisa sangat rentan mengalami kerusakan
sendiri karena beratnya beban yang diterima. Mulai terjadi akumulasi
sisa metabolic dalam darah karena nefron yang sehat tidak mampu lagi
mengkompensasi. Penurunan respon terhadap diuretic, menyebabkan
oliguri, edema. Derajat insufisiensi dibagi menjadi ringan, sedang dan
berat, tergantung dari GFR, sehingga perlu pengobatan medis.
c. Gagal ginjal; yang terjadi apabila GFR kurang dari 20% normal.
d. Penyakit gagal ginjal stadium akhir; Terjadi bila GFR menjadi kurang
dari 5% dari normal. Hanya sedikit nefron fungsional yang tersisa. Di
seluruh ginjal ditemukan jaringan parut dan atrofi tubulus. Akumulasi
sisa metabolic dalam jumlah banyak seperti ureum dan kreatinin dalam
darah. Ginjal sudah tidak mampu mempertahankan homeostatis dan
pengobatannya dengan dialisa atau penggantian ginjal. (Corwin, 1994
1. Pathway Gagal Ginjal Kronik

Kelainan kongenital (hipoplasia renal, displasia renal, uropati obstruktif), kelainan


herediter (nefritis herediter, sindrome alport), Kelainan yang di dapat (refluks vesikoureter,
pielonefritis kronik, SLE, DM, GGA, SN,glomerulonefritis kronik

Kerusakan glomerulus

Ultrafiltrasi glomerulus

Penurunan GFR < 60 %

Gagal Ginjal Kronik


Penurunan cadang ginjal GFR Insufisiensi Ginjal GFR Penyakit gagal ginjal
Gagal Ginjal GFR < 20 %
50 % 20-35 % stadium akhir GFR < 5 %

Nefron yg sehat kompensasi Kematiaan nefron


Nefron sehat tidak bisa
nefron yg rusak meningkat
kompensasi nefron yg rusak

Konsentrasi urin Membentuk jaringan parut


dan arofi tubulus
Destruksi struktur ginjal secara progresif
Nocturia, Poliuri
GFR menyebabkan kegagalan mempertahankan
metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit

Penumpukan toksik uremik di dlm darah,


ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Aktivitas SRAA Asidosis metabolik Sindrome uremik


Vol. Cairan

G3 kondisi elektrikal
otot ventrikal Kelebihan Vol. Cairan
Pernpsan kussmaul,
Aritmia resiko tinggi kejang
Hipertensi sistemik Beban kerja jantung kesadaran menurun, edema
sel otak, letargi
Penurunan perfusi serebral
Curah jantung
Perubahan proses pikir
Defosit kalsium tulang
Penurunan
6. Komplikasi perfusikronik
gagal ginjal jaringan

Kelemahan Fisik Komplikasi


G3 yang mungkin timbul akibat gagal ginjal kronis antara lain;
mobilitas Fisik
a) Hiperkalemia
b) Perikarditis
c) Hipertensi
d) Anemia disebabkan oleh disfungsi hematologik, meliputi
pemekatan usia sel darah merah, kerusakan produk sel darah merah
yang berhubungan dengan penurunan produksi eritropoetin,
pemanjangan waktu perdarahan dan anemia gizi..
e) Retensi produk sampah terutama BUN dan kreatinin.
f) Retensi air dan natrium menyebabkan edema dan kongesti vaskuler.
g) Asidosis metabolic karena retensi ion hidrogen dan kehilangan ion
bikarbonat yang terus menerus.
h) Gangguan pertumbuhan karena asupan nutrisi yang adekuat
i) Gangguan kalsium dan fosfor mengakibatkan perubahan
metabolisme tulang, , yang selanjutnya menyebabkan penghentian
atau retardasi pertumbuhan, nyeri tulang, dan deformitas tulang
yang dikenal sebagai osteodistrofi ginjal..

3. Pemeriksaan Penunjang Gagal Ginjal pada Anak

a. Tes Darah
Nitrogen urea darah (BUN) dan kreatinin serum – meningkat. kadar kreatinin
10 mg/dl diduga tahap akhir, Natrium dan Kalsium serum – menurun, Kalium
dan Fosfor serum – meningkat, pH dan bikarbonat (HCO3) serum – menurun
(asidosis metabolik), Haemoglobin, hematokrit, trombosit – menurun (disertai
penurunan fungsi sel darah putih dan trombosit), Glukosa serum – menurun
(umum terjadi pada bayi), Asam urat serum – meningkat, Kultur darah –
positif (disertai infeksi sistemik), SDM: menurun, defisiensi eritropoitin,
GDA: asidosis metabolik, pH kurang dari 7, Protein (albumin) : menurun,
Magnesium: meningkat
b. Tes Urine
1) Urinalitas – sel darah putih dan silinder.
2) Elektrolit urine osmolalitas, dan berat jenis – bervariasi berdasarkan
proses penyakit dan tahap GGA.
3) Warna: secara abnormal warna urin keruh kemungkinan disebabkan oleh
pus, bakteri, lemak, fosfat atau uratsedimen. Warna urine kotor, kecoklatan
menunjukkan adanya darah, Hb, mioglobin, porfirin
4) Volume urine: biasanya kurang dari 400 ml/24 jam bahkan tidak ada urine
(anuria)
5) Berat jenis: kurang dari 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat
6) Osmolalitas: kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal
tubular dan rasio urin/serum sering 1:1
7) Protein: Derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkkan
kerusakan glomerulus bila SDM dan fragmen juga ada
8) Klirens kreatinin: mungkin agak menurun
9) Natrium: lebih besar dari 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu
mereabsorbsi natrium
c. Elektrokardiogram (EKG) – perubahan yang terjadi berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan gagal jantung.
d. Kajian foto toraks dan abdomen – perubahan yang terjadi berhubungan dengan
retensi cairan.
e. Osmolalitas serum: Lebih dari 285 mOsm/kg
f. Pelogram Retrograd: Abnormalitas pelvis ginjal dan ureter
g. Ultrasonografi Ginjal :
Untuk menentukan ukuran ginjal dan adanya masa , kista, obstruksi pada
saluran perkemihan bagian atas
i. Endoskopi Ginjal, Nefroskopi
Menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria dan pengangkatan tumor
selektif
k. Arteriogram Ginjal
Mengkaji sirkulasi ginjal dan mengidentifikasi ekstravaskular, masa

4. Penatalaksanaan Medis gagal ginjal

Gagal Ginjal Akut


a. Pemberian manitol atau furosemid jika dalam keadaan hidrasi yang
adekuat terjadi oliguria.
b. Diet tinggi kalori dan lemak, rendah protein, kalium dan garam, jika anak
tidak dapat makan melalui mulut maka makanan diberikan melalui
intravena dan zat nutrisi yang diberikan mengandung asam amino
esensial.
c. Monitoring keseimbangan cairan, pemasukan dan pengeluaran cairan atau
makanan, menimbang berat badan, monitoring nilai elektrolit darah, nilai
BUN dan nilai kreatinin.
d. Mengatasi hiperkalemia, pemberian kalsium glukonas 0,5 ml/kgbb,
diberikan intravena selama 2–4 menit disertai dengan monitoring EKG,
pemberian sodium bicarbonat, 2–3 mEq / kgbb, diberikan intravena selama
30–60 menit untuk meningkatkan pH darah.
e. Pemberian glukosa 50 % dan insulin, 1 U/kg, diberikan secara intravena,
mempercepat pembentukan glikogen menyebabkan glukosa dan kalium
masuk dalam sel.
f. Pemberian resin ion perubah seperti polystyrene sodium sulfonate
(kayexalate), 1/kgbb diberikan secara oral atau rektal yang bertujuan untuk
mengikat kalium dan mengeluarkannya dari tubuh.
g. Dialisis dilakukan jika disertai dengan tanda – tanda asidosis berat yang
sudah berlangsung lama, cara – cara lain sudah ditempuh untuk
mengurangi kalium, terlihat gejala – gejala uremik, overload sirkulasi,
hipertensi, gejala gagal jantung.

Gagal Ginjal Kronis


a. Konservatif:
1) Penentuan dan pengobatan penyebab
2) Pengoptimalan dan maintanance keseimbangan garam dan air
3) Koreksi obstruksi saluran kemih
4) Deteksi awal dan pengobatan infeksi
5) Pengendalian hipertensi
6) Diet rendah protein, tinggi kalori
7) Deteksi dan pengobatan komplikasi
b. Terapi penggantian Ginjal
1) Hemodialisis (membran semipermiabel ada pada mesin)
2) Dialisis peritoneal
3) Transplantasi ginjal

DIALISIS
1. Pengertian
Dialisis adalah suatu proses pencucian darah dengan menggunakan alat bantu
atau mesin untuk membersihkan tubuh dari zat-zat limbah yang berbahaya
yang terdapat dalam aliran darah.

2. Jenis-jenis Dialisis
1) Hemodialisis
Hemodialisi berasal dari kata “hemo” artinya darah dan “dialisis” artinya
pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis atau cuci darah adalah proses
pembersihan darah dari zat-zat sampah melalui proses penyaringan di luar
tubuh. Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis.
Dialyzer atau filter hemodialisis memiliki dua bagian, satu untuk darah dan
satu untuk cairan cuci yang disebut dialisat. Sebuah membran tipis
memisahkan dua bagian ini. Sel darah, protein dan hal-hal penting lainnya
tetap dalam darah karena ukuran molekulnya terlalu besar untuk melewati
membran, sedangkan produk limbah yang berukuran lebih kecil didalam darah
seperti urea, kreatinin, kalium dan cairan yang berlebihan dapat melewati
membran dan dikeluarkan. Darah dari tubuh anak dikeluarkan melalui sebuah
selang untuk kemudian difilter (penyaringan) . Zat-zat sisa yang beracun dan
kelebihan cairan akan dikeluarkan dari darah. Kemudian darah yang sudah
dibersihkan dikembalikan lagi ke dalam tubuh. Rata-rata dilakukan 2-3 kali
seminggu dengan lama 4-5 jam setiap kalinya.

2) Dialisis peritoneal
Dialisis peritoneal adalah metode pencucian darah dengan meggunakan
peritoneum ( selaput yang melapisi perut dan pembungkus organ
perut).Sebuah selang yang disebut kateter diperlukan untuk memasukan cairan
dialisit ke dalam rongga perut anak. Dialysis peritoneal sangat mirip dengan
hemodialsis, dimana pada tehnik ini peritoneum berfungsi sebagai membrane
semi permeable. Dialysis peritoneal dilakukan dengan menginfuskan 1-2 L
cairan dialysis kedalam kavum peritoneal menggunakan kateter abdomen.
Ureum dan kreatinin yang merupakan hasil akhir metabolisme yang
diekskresikan oleh ginjal dikeluarkan dari darah melalui difusi dan osmosis.
Bedanya dengan hemodialisi metode ini dapat dilakukan di rumah dan tidak
memerlukan pengawasan tenaga medis terlatih. Orang tua penderita dan
penderita akan mendapatkan pelatihan khusus sebelum dapat melakukan
perawatan di rumah.

3. Iindikasi Dialisis
a. Gagal ginjal akut, ditandai dengan oliguri mendadak dan gejala toksik uremia,
gagal ginjal kronis berguna untuk menopang kehidupan selama penderita ada
dibawah pengawasan atau dibawah rencana transplantasi ginjal.
b. Gagal jantung dan udema paru yang sukar diatasi
c. Keracunan yang menimbulkan gagal ginjal atau gangguan keseimbangan
cairan dan elektrolit
d. Keracunan obat yang mendadak untuk mengeluarkan obat tersebut melalui
dialisis
e. Gejala uremia mayor menunjukan adanya gagal ginjal akut atau kronis yang
telah terminal dengan gejalanya muntah, kejang, disorentasi, somnolen sampai
koma, hidrasi berlebihan seperti udema paru, gagal jantung, hipertensi yang
tidak terkendali dan perdarahan.
4. Kontraindikasi Dialisis
a. Pasien yang mengalami perdarahan sangat serius disertai anamia
b. Pasien yang mengalami hipotensi berat atau syok
c. Pasien yang mengalami penyakit jantung koroner serius atau insufisiensi
miokard, aritmia serius, hipertensi berat, atau penyakit pembuluh darah otak.
d. Pasien pasca operasi besar, 3 hari pasca operasi.
e. Pasien yang mengalami gangguan mental atau tumor ganas
f. Perdarahan serebral akibat hipertensi dan anti pembekuan
g. Hematoma subdural
h. Tahap akhir uremia dengan komplikasi irreversibel serius.

5. Komplikasi Dialisis.
Hemodialisis
a. Hipotensi
Hipotensi intradialisis merupakan efek samping yang paling umum terjadi
pada saat hemodialisis. Mekanisme patogenesis hipotensi intradialisi ada
dua yaitu pertama kegagalan untuk menjaga volume plasma pada tingkat
optimal dan kedua kelainan kardiovaskuler. Mekanisme pertama berkaitan
dengan berat badan yang berlebihan yang membutuhkan osmolalitas
serum rendah dan ultrafiltrasi volume besar dan mekanisme kedua adalah
disfungsi otonom, pergeseran aliran darah ke daerah gastrointestinal
selama makan, penurunan dalam senyawa vasokonstriksi dan peningkatan
senyawa vasodilatasi, vasodilatasi terkait dengan dialisat berbasis asetat
dan enurunan respon kompensasi karena hipertrofi atau iskemia.
b. Sakit Kepala
c. Sakit dada
d. Hipoksemia
e. Gatal – gatal
f. Kram otot
g. Anemia
h. Amiloidosis
Amiloidosis terkait dialisis terjadi ketika protein dalam darah di simpan
pada sendi dan tendon sehingga menyebabkan nyeri, kekauan dan
penumpukan cairan pada sendi.
i. Depresi
Dialisys Peritoneal
a. Nyeri abdomen hebat
Nyeri hebat mendadak mungkin disebabkan ruptura peritonium bila
mengikuti drainase isi kembali ruang abdomen dengan sebagian dialisa.
b. Penyumbatan drain
Urut perut penderita dan penderita diubah posisinya. Manipulasi kateter atau
suntikan 20 ml diasilat dengan kuat ntuk membebaskan sumbatan. Bila gagal
pindahan kateter pada posisi lain, diberikan heparinpada dialisat untuk
mengurangi pembekuan darah dan merendahkan fibrin. Kontrol dengan
pemeriksaan sinar-X, kontrol kadar hematokrit diasilat untuk menilai lama
dan beratnya perdarahan.
c. Hipokalsemia
Dicegah dengan menambahkan 3,5-4 mEq/1 kalsium perliter diasilat.
d. Hidrasi berlebihan
Dapat diketahui dengan mengukur BB tiap 8 jam. BB penderita akan turun
0,5-1% setiap hari. Jika meninggi berikan
e. Hipovolemial
Dapat diketahui dengan mengukur tekanan darah dan mengawasi tanda-tanda
renjatan.
f. Hipokalemia
g. Infeksi
Infeksi dicurigai bila cairan dialisat yang dikeluarkan keruh atau berwarna.
Peritonitis terjadi biasanya karena kuman gram negatif atau staphylicoccus
aureus.
h. Hiperglikemia
Terjadi karena absorbsi glukosa dari diasilat.

5. Asuhan keperawatan gagal ginjal pada anak


a. Pengkajian

Menurut Wong, 2004 dalam Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik, fokus


pengkajian pada anak dengan gagal ginjal adalah :
Pengkajian awal
1) Lakukan pengkajian fisik rutin dengan perhatian khusus pada
pengukuran parameter pertumbuhan.
2) Dapatkan riwayat kesehatan, khususnya mengenai disfungsi ginjal,
perilaku makan, frekuensi infeksi, tingkat energi.
3) Observasi adanya bukti-bukti manifestasi gagal ginjal kronik.
Pengkajian terus menerus
1) Dapatkan riwayat untuk gejala-gejala baru atau peningkatan gejala.
2) Lakukan pengkajian fisik dengan sering, dengan perhatian khusus pada
tekanan darah, tanda edema, atau disfungsi neurologis
3) Kaki respons psikologis pada penyakit dan terapinya.
4) Bantu pada prosedur diagnostik dan pengujian (urinalisis, hitung darah
lengkap, kimia darah, biopsi ginjal).
a) Biodata
70 % kasus GGA terjadi pada bayi di bawah 1 tahun pada minggu
pertama kehidupannya.
b) Keluhan utama
c) Riwayat penyakit sekarang
Urine klien kurang dari biasanya kemudian wajah klien bengkak dan
klien muntah.
d) Riwayat penyakit dahulu
 Diare hingga terjadi dehidrasi
 Glomerulonefritis akut pasca streptokok
 Penyakit infeksi pada saluran kemih yang penyembuhannya tidak
adekuat sehingga menimbulkan obstruksi.
e) Riwayat penyakit keluarga
Tidak ada hubungan secara langsung dalam timbulnya penyakit gagal
ginjal.

f) Activity Daily Lifeng


1) Nutrisi : Nafsu makan menurun (anorexia), muntah
2) Eliminasi : Jumlah urine berkurang sampai 10–30 ml sehari
(fase oliguria)
3) Aktivitas : Klien mengalami kelemahan
4) Istirahat tidur : Kesadaran menurun
g) Pemeriksaan
1) Pemeriksaan Umum:
BB meningkat, TD dapat normal, meningkat atau berkurang
tergantung penyebab primer gagal ginjal.
2) Pemeriksaan Fisik:
1. Keadaan Umum : malaise, debil, letargi, tremor, mengantuk,
koma.
2. Kepala :Edema periorbital
3. Dada :Takikardi, edema pulmonal, terdengar suara nafas
tambahan.
4. Abdomen :Terdapat distensi abdomen karena asites.
5. Kulit : pucat, mudah lecet, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan
rapuh, rambut tipis dan kasar, leukonikia, warna kulit abu-abu
mengkilat, kulit kering bersisik.
6. Mulut : lidah kering dan berselaput, fetor uremia, ulserasi dan
perdarahan pada mulut
7. Mata : mata merah.
8. Kardiovaskuler : hipertensi, kelebihan cairan, gagal jantung,
pericarditis, pitting edema, edema periorbital, pembesaran
vena jugularis, friction rub perikardial.
9. Respiratori : heperventilasi, asidosis, edema paru, efusi pleura,
krekels, napas dangkal, kussmaul, sputum kental dan liat.
10. Gastrointestinal : anorexia, nausea, gastritis, konstipasi/diare,
vomitus, perdarahan saluran GI.
11. Muskuloskeletal : kram otot, kehilangan kekuatan otot,
fraktur tulang, foot drop, hiperparatiroidisme, defisiensi vit. D,
gout.
12. Genitourinari : amenore, atropi testis, penurunan libido,
impotensi, infertilitas, nokturia, poliuri, oliguri, haus,
proteinuria,
13. Neurologi : kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi,
kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak
kaki, perubahan perilaku.
14. Hematologi : anemia, defisiensi imun, mudah mengalami
perdarahan (Brunner & Suddarth, 2001).

b. Diagnosa Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal,


menurunnya filtrasi glomerulus, retensi cairan dan sodium.
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema polmonal.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia.
4. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan
pengobatan.
5. Gangguan istirahat tidur berhubungan berhubungan dengan edema
paru.
6. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan edema paru.
7. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kelebihan volume
cairan.
8. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar
ureum dalam darah.
9. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia
iskemik.

c. Intervensi Keperawatan

1. Dx. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal,


menurunnya filtrasi glomerulus, retensi cairan dan sodium.
Tujuan : Tidak memperlihatkan tanda-tanda kelebihan cairan.
Kriteria hasil : Tidak ada edema.
Intervensi:
1) Monitor intake dan output
2) Pertahankan pembatasan cairan
3) Monitor berat badan
4) Monitor TD dan HB
5) Kaji edema, turgor kulit, membran mukosa
2. Dx. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan edema polmonal.
Tujuan : Pola nafas anak menjadi efektif kembali.
Kriteria hasil : Bunyi nafas bersih.
Intervensi :
1) Kaji bunyi nafas
2) Bila sesak, posisikan kepala lebih tinggi, pemberian oksigen dan
latihan nafas dalam
3. Dx. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan anoreksia.
Tujuan : Anak menunjukkan BB yang sesuai dan ada nafsu makan
serta dapat menyelesaikan makanan sesuai diit.
Kriteria hasil : Klien menghabiskan porsi diitnya.
Intervensi :
1) Timbang BB tiap hari
2) Kaji pola makan anak dan pembatasan makanan
3) Jelaskan tentang diit yang diberikan dan alasannya
4. Dx. Kurang pengetahuan berhubungan dengan proses penyakit dan
pengobatan.
Tujuan : Anak dan keluarga akan memahami proses penyakit,
prognosis dan pengobatan yang diberikan.
Kriteria hasil : Pengetahuan klien dan keluarga meningkat dan
kooperatif terhadap tindakan keperawatan.
Intervensi:
1) Kaji tingkat pamahaman anak dan keluarga tentang proses penyakit,
prognosis dan pengobatan.
5. Dx. Gangguan istirahat tidur berhubungan berhubungan dengan edema
paru.
Tujuan : Kebutuhan istirahat terpenuhi
Kriteria hasil : Klien dapat beristirahat dengan tenang
Intervensi :
1) Temani dan bantu bila anak muntah.
2) Batasi aktivitas fisik dan hindarkan anak dari stress emosional
(menangis, sedih, bercanda berlebihan).
3) Anjurkan keluarga memberikan lingkungan yang tenang.
6. Dx. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan edema
paru.
Tujuan : Bersihan jalan nafas efektif, pola nafas dan pertukaran gas
efektif.
Kriteria hasil :Suara nafas vesikuler.
Intervensi :
1) Lakukan auskultasi suara 2 – 4 jam sekali.
2) Berikan posisi kepala lebih tinggi dari posisi badan dan kaki
3) Ubah posisi klien tiap 2 jam.
4) Monitor tanda vital tiap 4 jam.

7. Dx. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kelebihan volume


cairan.
Tujuan : Meningkatkan derajat rasa nyaman klien.
Kriteria hasil :Klien terlihat rileks, dapat tidur dan beristirahat.
Intervensi :
1) Biarkan pasien mengambil posisi yang nyaman pada waktu tidur
atau duduk di kursi. Tingkatkan istirahat di tempat tidur.
2) Dorong penggunaan tekhnik manajemen sterss, misalnya relaksasi.
3) Libatkan dalam aktivitas atau latihan yang direncanakan sesuai
petunjuk.

8. Dx. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan peningkatan kadar


ureum dalam darah.
Tujuan : Klien tidak menunjukkan tanda-tanda adanya kerusakan
integritas kulit.
Kriteria hasil :Mempertahankan kulit utuh / kulit tidak pecah-
pecah.
Intervensi :
1) Inspeksi kulit terhadap perubahan warna dan turgor kulit.
2) Pantau masukan cairan dan hidrasi kulit.
3) Inspeksi area tergantung terhadap edema.
4) Ubah posisi dengan sering, beri bantalan pada tonjolan tulang.
5) Pertahankan linen tetap kering.
6) Anjurkan menggunakan pakaian katun longgar.
9. Dx. Perubahan perfusi jaringan berhubungan dengan hipovolemia
iskemik.
Tujuan : Perfusi jaringan perifer tetap adekuat.
Kriteria hasil :
 Suhu ekstremitas hangat, tidak lembab, warna merah muda.
 Ekstremitas tidak nyeri, tidak ada pembengkakan.
 Turgor kembali dalam 1 detik.
Intervensi :
1) Kaji dan cacat tanda-tanda vital (kualitas dan frekuensi nadi, tensi,
capilarry refill).
2) Kaji dan catat sirkulasi pada ekstremitas (suhu, kelembaban dan
warna).
3) Nilai kemungkinan kematian jaringan ekstremitas lebih awal dapat
berguna untuk mencegah kematian jaringan.

d. Implementasi keperawatan

1) Mempertahankan keseimbangan cairan


2) Menjaga fungsi pernapasan
3) Memberikan stimulus untuk meningkatkan nafsu makan
4) Menciptakan metode komunikasi yang dapat dipahami oleh klien dan
keluarga.
5) Mempertahankan suhu tubuh dalam batas normal
6) Menciptakan lingkungan yang kondusif bagi klien untuk memenuhi
kebutuhan istirahat tidurnya.
7) Mempertahankan keefektifan bersihan jalan nafas
8) Memberikan suasana dan posisi yang nyaman bagi klien.
9) Mempertahankan agar tidak terjadi kerusakan integritas kulit.
10) Memantau terjadinya tanda-tanda perubahan perfungsi jaringan.
e. Evaluasi Keperawatan

1) Suhu tubuh 365 - 372 C


2) Adanya minat dan selera makan
3) Porsi makan sesuai dengan kebutuhan
4) Klien tidak sesak
5) Orang tua mengerti tentang penyakit anaknya
6) Kebutuhan istirahat tidur terpenuhi
7) Bersihan jalan nafas efektif
8) Klien menyatakan merasa nyaman
9) Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
10) Perfusi jaringan adekuat
C. SINDROM NEFROTIK
1. Definisi

Merupakan suatu kondisi dimana terjadi perubahan fungsi


ginjal yang bercirikan hipoproteinemia, oedema, hiperlipidemia,
proteinuri, ascites dan penurunan keluaran urine.

Sindrom Nefrotik adalah penyakit dengan gejala edema,


proteinuria, hipoalbunemia dan hiperkolesterolemia (Rusepno, H,
dkk. 2000, 832).

Sindrom Nefrotik adalah status klinis yang ditandai dengan


peningkatan permeabilitas membran glomerulus terhadap
protein, yang mengakibatkan kehilangan protein urinaris yang
massif (Donna L. Wong, 2004).

Sindrom Nefrotik merupakan kumpulan gejala yang


disebabkan oleh injuri glomerular yang terjadi pada anak dengan
karakteristik; proteinuria, hipoproteinuria, hipoalbuminemia,
hiperlipidemia, dan edema (Suriadi dan Rita Yuliani, 2001).

Sindrom nefrotik merupakan sekumpulan gejala yang terdiri


dari proteinuria masif (lebih dari 50 mg/kgBB/24 jam),
hipoalbuminemia (kurang dari 2,5 gram/100 ml) yang disertai
atau tidak disertai dengan edema dan hiperkolesterolemia.
(Rauf, 2002).

2. Etiologi

Secara etiologi sindroma nefrotik dibedakan atas :


1). Primary renal disease ( Sebagian besar tidak diketahui penyebabnya)

2). Secondary renal disesase

a. Kelainan genetik : Alport syndrome, sindrom nefrotik congenital


b. Penyakit metabolik : DM, Amyloidosis
c. Penyakit autoimmun : SLE, purpura Henoch-Schonlein
d. Penyakit keganasan : Multiple myeloma, leukemia, lymphoma
e. Penyakit infeksi : Endokarditis, HIV, Hepatitis
f. Penyebab lain : Obat-obatan, Kehamilan, dan kegagalan transplantasi.

Peristiwa awal pada kebanyakan kasus merupakan reaksi antigen-antibodi


pada glomerulus yang menyebabkan peningkatan permeabilitas membrana
basalis glomerulus, proeinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada sindroma
nefrotik sebagian besar eksresi protein adalah albumin. Hipoalbuminemia terjadi
melalui penurunan tekanan koloid osmotik, cenderung menimbulkan transudasi
cairan dari ruang vaskuler ke dalam intertisium. Hal ini merupakan penyebab
langsung terjadinya edema. Selain itu, hipovolemia akibat penurunan aliran
plasma ginjal dan GFR (Glomerulus Filtrating Rate) mengaktifkan mekanisme
renin-angiotensin. Akibatnya terjadi peningkatan kadar aldoateron serta
peningkatan produksi ADH (Anti Diuretik Hormon). Garam dan air diretensi
oleh ginjal, sehingga memperberat edema. Hiperlipidemia terjadi oleh karena
beberapa mekanisme yang belum jelas, tetapi diduga peningkatan produksi
lipoprotein oleh hati memegang peranan utama, walaupun penurunan
katabolisme lipis mungkin ikut berperan. Hati meningkatkan sintesis LDL,
VLDL dan lipoprotein oleh adanya hipoalbuminemia.

3. Klasifikasi

Penyebab umum penyakit tidak diketahui; akhir-akhir ini sering dianggap


sebagi suatu bentuk penyakit autoimun. Jadi merupakan reaksi antigen-antibodi.
Umumnya dibagi menjadi 4 kelompok :

1. Sindroma nefrotik bawaan


2. Sindroma nefrotik sekunder
3. Sindroma nefrotik idiopati
4. Glumerulosklerosis fokal segmental

4. Patofisiologi
Adanya peningkatan permiabilitas glomerulus mengakibatkan proteinuria
masif sehingga terjadi hipoproteinemia. Akibatnya tekanan onkotik plasma
menurun karean adanya pergeseran cairan dari intravaskuler ke intestisial.

Volume plasma, curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus berkurang


mengakibatkan retensi natrium. Kadar albumin plasma yang sudah merangsang
sintesa protein di hati, disertai peningkatan sintesa lipid, lipoprotein dan
trigliserida.

Meningkatnya permeabilitas dinding kapiler glomerular akan berakibat


pada hilangnya protein plasma dan kemudian akan terjadi proteinuria. Lanjutan
dari proteinuria menyebabkan hipoalbuminemia. Dengan menurunnya albumin,
tekanan osmotik plasma menurun sehingga cairan intravaskuler berpindah ke
dalam interstitial. Perpindahan cairan tersebut menjadikan volume cairan
intravaskuler berkurang, sehingga menurunkan jumlah aliran darah ke renal
karena hypovolemi.

Menurunnya aliran darah ke renal, ginjal akan melakukan kompensasi


dengan merangsang produksi renin - angiotensin dan peningkatan sekresi anti
diuretik hormon (ADH) dan sekresi aldosteron yang kemudian terjadi retensi
kalium dan air. Dengan retensi natrium dan air akan menyebabkan edema.

Terjadi peningkatan kolesterol dan trigliserida serum akibat dari


peningkatan stimulasi produksi lipoprotein karena penurunan plasma albumin dan
penurunan onkotik plasma

Adanya hiper lipidemia juga akibat dari meningkatnya produksi


lipopprtein dalam hati yang timbul oleh karena kompensasi hilangnya protein,
dan lemak akan banyak dalam urin (lipiduria)

Menurunya respon imun karena sel imun tertekan, kemungkinan


disebabkan oleh karena hipoalbuminemia, hiperlipidemia, atau defesiensi seng.
(Suriadi dan Rita yuliani, 2001 :217)

5. Pathway
6. Manifestasi Klinis
a. Berat badan meningkat
b. Pembengkakan pada wajah, terutama disekitar mata
c. Edema anasarka
d. Pembengkakan pada labia / skotum
e. Asites
f. Diare, nafsu makan menurun, absorbsi usus menurun à edema pada mukosa
usus
g. Volume urine menurun, kadang – kadang berwarna pekat dan berbusa
h. Kulit pucat
i. Anak menjadi iritabel, mudah lelah / letargi
j. Celulitis, pneumonia, peritonitis atau adanya sepsis
k. Azotemia
l. TD biasanya normal / naik sedikit

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium

a. Urine

Biasanya kurang dari 400 ml/24 jam (fase oliguria). Warna urine kotor,
sediment kecoklatan menunjukkan adanya darah, hemoglobin, mioglobin,
porfirin.

b. Darah

Hemoglobin menurun karena adanya anemia. Hematokrit menurun. Natrium


biasanya meningkat, tetapi dapat bervariasi. Kalium meningkat sehubungan
dengan retensi seiring dengan perpindahan seluler (asidosis) atau pengeluaran
jaringan (hemolisis sel darah merah). Klorida, fsfat dan magnesium
meningkat. Albumin.

2. Biosi ginjal dilakukan untuk memperkuat diagnosa.

8. Komplikasi
1. Infeksi sekunder mungkin karena kadar imunoglobulin yang rendah akibat
hipoalbuminemia.
2. Shock : terjadi terutama pada hipoalbuminemia berat (< 1 gram/100ml) yang
menyebabkan hipovolemia berat sehingga menyebabkan shock.
3. Trombosis vaskuler : mungkin akibat gangguan sistem koagulasi sehingga
terjadi peninggian fibrinogen plasma.
4. Komplikasi yang bisa timbul adalah malnutrisi atau kegagalan ginjal (Rauf,
2002 : .27-28).

9. Penatalaksanaan
1. Istirahat sampai edema tinggal sedikit. Batasi asupan natrium sampai kurang
lebih 1 gram/hari secara praktis dengan menggunakan garam secukupnya
dan menghindar makanan yang diasinkan. Diet protein 2 – 3
gram/kgBB/hari.
2. Bila edema tidak berkurang dengan pembatasan garam, dapat digunakan
diuretik, biasanya furosemid 1 mg/kgBB/hari. Bergantung pada beratnya
edema dan respon pengobatan. Bila edema refrakter, dapat digunakan
hididroklortiazid (25 – 50 mg/hari), selama pengobatan diuretik perlu
dipantau kemungkinan hipokalemi, alkalosis metabolik dan kehilangan
cairan intravaskuler berat.
3. Pengobatan kortikosteroid yang diajukan Internasional Coopertive Study of
Kidney Disease in Children (ISKDC), sebagai berikut :
a. Selama 28 hari prednison diberikan per oral dengan dosis 60 mg/hari
luas permukaan badan (1bp) dengan maksimum 80 mg/hari.
b. Kemudian dilanjutkan dengan prednison per oral selama 28 hari dengan
dosis 40 mg/hari/1bp, setiap 3 hari dalam satu minggu dengan dosis
maksimum 60 mg/hari. Bila terdapat respon selama pengobatan, maka
pengobatan ini dilanjutkan secara intermitten selama 4 minggu.
c. Cegah infeksi. Antibiotik hanya dapat diberikan bila ada infeksi.
d. Pungsi asites maupun hidrotoraks dilakukan bila ada indikasi vital
(Arif Mansjoer,2000).

10. Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Sindrom Nefrotik


1. Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan


merupakan suatu proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk
mengevaluasi dan mengidentifikasi status kesehatan klien
(Nursalam, 2001)

1. Pengumpulan data

Merupakan upaya untuk mendapatkan data sebagai


informasi tentang pasien. Data yang dibutuhkan tersebut
mencakup data tentang biopsikososial dan spiritual atau
data yang berhubungan dengan masalah pasien serta data
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi masalah
pasien (Hidayat, A. Aziz Alimul, 2006).

a. Identitas Klien : Umumnya 90 % dijumpai pada kasus anak.


Enam (6) kasus pertahun setiap 100.000 anak terjadi pada
usia kurang dari 14 tahun. Rasio laki-laki dan perempuan
yaitu 2 : 1. Pada daerah endemik malaria banyak
mengalami komplikasi sindrom nefrotik.
b. Identitas penanggung jawab : nama, umur jenis kelamin,
alamat, pekerjaan, hubungan dengan klien.

2. Riwayat Keperawatan

a. Keluhan Utama
Badan bengkak, muka sembab dan nafsu makan
menurun.
b. Riwayat penyakit dahulu.
Edema masa neonatus, malaria, terpapar bahan kimia.
c. Riwayat penyakit sekarang.
Badan bengkak, muka sembab, muntah, napsu makan
menurun,konstipasi, diare, urine menurun.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Karena kelainan gen autosom resesif. Kelainan ini tidak
dapat ditangani dengan terapi biasa dan bayi biasanya
mati pada tahun pertama atau dua tahun setelah
kelahiran.
e. Riwayat kesehatan lingkungan.
Endemik malaria sering terjadi kasus NS.
f. Riwayat pertumbuhan dan perkembangan.
1) Berat badan = umur (tahun) X 2 + 8
2) Tinggi badan = 2 kali tinggi badan lahir.
3) Perkembangan psikoseksual : anak berada pada fase
oedipal/falik dengan ciri meraba-raba dan merasakan
kenikmatan dari beberapa daerah erogennya, senang
bermain dengan anak berjenis kelamin beda, oedipus
kompleks untuk anak laki-laki lebih dekat dengan ibu,
elektra kompleks untuk anak perempuan lebih dekat
dengan ayah.
4) Perkembangan psikososial : anak berada pada fase pre
school (inisiative vs rasa bersalah) yaitu memiliki inisiatif
untuk belajar mencari pengalaman baru. Jika usahanya
diomeli atau dicela anak akan merasa bersalah dan
menjadi anak peragu.
5) Perkembangan kognitif : masuk tahap pre operasional
yaitu mulai mempresentasekan dunia dengan bahasa,
bermain dan meniru, menggunakan alat-alat sederhana.
6) Perkembangan fisik dan mental : melompat, menari,
menggambar orang dengan kepala, lengan dan badan,
segiempat, segitiga, menghitung jari-jarinya, menyebut
hari dalam seminggu, protes bila dilarang, mengenal
empat warna, membedakan besar dan kecil, meniru
aktivitas orang dewasa.
7) Respon hospitalisasi : sedih, perasaan berduka,
gangguan tidur, kecemasan, keterbatasan dalam
bermain, rewel, gelisah, regresi, perasaan berpisah dari
orang tua, teman.
g. Riwayat nutrisi.

Usia pre school nutrisi seperti makanan yang


dihidangkan dalam keluarga. Status gizinya adalah
dihitung dengan rumus (BB terukur dibagi BB standar) X
100 %, dengan interpretasi : < 60 % (gizi buruk), < 30 %
(gizi sedang) dan > 80 % (gizi baik).

h. Riwayat Persistem
1) Sistem pernapasan.
Frekuensi pernapasan 15 - 32 X/menit, rata-rata 18
X/menit, efusi pleura karena distensi abdomen
2) Sistem kardiovaskuler.
Nadi 70 - 110 X/mnt, tekanan darah 95/65 - 100/60
mmHg,hipertensi ringan bisa dijumpai.
3) Sistem perkemihan.
Urine/24 jam 600-700 ml, hematuri, proteinuria,
oliguri.
4) Sistem pencernaan.
Diare, napsu makan menurun, anoreksia,
hepatomegali, nyeri daerah perut, malnutrisi berat,
hernia umbilikalis, prolaps anii.
5) Sistem integumen.
Edema periorbital, ascites.
6) Persepsi orang tua
Kecemasan orang tua terhadap kondisi anaknya.
2. Diagnosa Keperawatan
1. Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan
dengan perubahan status metabolik.
2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan
berhubungan dengan malnutrisi sekunder terhadap
kehilangan protein dan penurunan napsu makan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
4. gangguan pola tidur berhubungan dengan urgency
berkemih.
5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan
berhubungan dengan resiko penurunan,
peningkatan, perpindahan secara cepat cairan
intravaskuler, interstisial dan intraselular satu ke
yang lain.

3. Intervensi Keperawatan

1. Resiko kerusakan integritas kulit berhuungan


dengan perubahan status metabolik

Tujuan :

· Klien dapat mengidentifikasi intervensi yang


berhubungan dengan kondisi spesifik

· Berpartisipasi dalam pencegahan komplikasi dan


percepatan penyembuhan

INTERVENSI RASIONAL

a. Kaji integritas kulit untuk a. Memberikan informasi


melihat adanya efek samping untuk perencanaan asuhan dan
therapi kanker, amati mengembangkan identifikasi
penyembuhan luka. awal terhadap perubahan
integritas kulit.
b. Anjurkan klien untuk tidak
menggaruk bagian yang gatal. b. Menghindari perlukaan
yang dapat menimbulkan
c. Ubah posisi klien secara
infeksi.
teratur.
c. Menghindari penekanan
yang terus menerus pada suatu
d. Berikan advise pada klien daerah tertentu.
untuk menghindari pemakaian
d. Mencegah trauma berlanjut
cream kulit, minyak, bedak tanpa
pada kulit dan produk yang
rekomendasi dokter.
kontra indikatif

2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan


malnutrisi sekunder terhadap kehilangan protein dan penurunan napsu
makan.

Tujuan: Kebutuhan nutrisi terpenuhi, ditandai dengan

Kriteria Hasil:

a. Berat badan klien bertahan/bertambah dari keadaan sebelumya

b. Klien menyatakan keinginan mengikuti diet.

c. Klien menunjukkan toleransi terhadap diet yang dinajurkan

d. Nilai laboratoorium (misalnya: transferin, albumin, dan


elektrolit) dalam rentang normal.

e. Klien nampak segar dan tidak lemas.

Intervensi:
a. Kaji status nutrisi

R/ Mengetahui kodnsisi pasti status nutrisi

b. Kaji/catat pola dan pemasukan diet

R/ Kebiasaan makan klien sangat perlu untuk diketahui dalam rangka


penyesuaian dalam pemberian diet.

c. Motvasi klien untuk mengubah kebiasaan makan

R/ Dengan motivasi, diharapkan klie terpacu untuk meningkatkan


asupan makannya.

d. Berikan makanan sedikit tapi sering

R/ Sebagai antisipasi mual muntah yang dialami klien.

e. Berikan makanan dalam kondisi hangat

R/ Makanan yang hangat meningkatkan nadsu makan melalui


rangsangat indra penciuman dan pengecapan.

f. Berikan makanan sesuai kesukaan, kecuali jika kontra indikasi.

R/ Membantu meningkatka asupan makanan.

g. Lakukan perawatan mulut, berikan penyegar mulut.

R/ Kebersihan mulut akan meningkatkan kenyamanan dan


mengguggah naffsu makan.

h. Timbang berat berat badan klien setiap hari.

R/ Sebagai monitor perkembangan status nutrisi dan efek terapi yang


telah diberikan.

i. Kolaborasi pemberian jenis diet dengan team gizi

R/ Masing-masing kondisi penyakit mempunnyai jenis kebutuhan


akan nutrisi yang berbeda-beda.

j. Kolaborasi pemberian terapi tambahan nutrici dan cairan


R/ Meningkatkan asupan kebutuhan cairan.

k. Kolaborasi pemantauan hasil biokimia status gizi dengan team


laboratoorium

R/ Mengetahui perkembangan kebutuha gizi dari segi biokimia.

l. Kolaborasi pemberikan obat sesuai indikasi : sediaan besi;


Kalsium; Vitamin D dan B kompleks; Antiemetik

R/ Penanganan penyebab gangguan nutrisi bermanfaat untuk


mengatasi/membatasi masalah yang muncul akibat kekurangan asupan
nutrisi.

3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan


antara suplai dan kebutuhan oksigen.

Tujuan:

mentoleransi AKSI yang biasa dilakukan dan ditunjukkan dengan daya


tahan, penghematan energi, dan perawatan diri AKSI, ditandai dengan

Kriteria Hasil:

a. Penghematan energi

b. Perawatan diri AKSI

c. Menyeimbangkan aktivitas dengan istirahat

d. Klien berpartisipasi dalam aktivitas fisik yang ringan( AKS)


walau dengan beberapa bantuan.

Intervensi:

a. Kaji tingkat kelelahan, tidur, istirahat

R/ Pada klien dengan gangguan tidur, biasanya akan muncul berbagai


gejala, antara lain kelemahan.
b. Kaji kemampuan toleransi aktivitas

R/ Dengan mengetahui tingkat toleransi aktivitas klien, dapat


memudah kan dalam penentuan aktivitas yang dapat dianjurkan dan
yang tidak dapat dilakukan oleh klien.

c. Identifikasi factor yang menimbulkan keletihan

R/ Dengan mengetahui penyebab lain adanya keletihan, dapat


meminimalkan pengeluaran energi tersebut.

d. Rencanakan periode istirahat adekuat

R/ Istirahat yang adekuat, selain dapat mempercepat kesembuhan, juga


dapat memulihkan keletihan.

e. Berikan bantuan ADL dan ambulasi

R/ Dibutuhkan untuk aktivitas yang tidak dapat ditolerir dan


meminimlakan penggunaan energi.

f. Tingkatkan aktivitas sesuai toleransi, anjurkan aktifitas


alternative sambil istirahat

R/ Meningkatkan harga diri klien, sehingga tidak menambah beban


yang memicu muncullnya stressor baru. Karena tekanan secara
kejiwaan akan banyak menguras energi klien.

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan urgency berkemih.

Tujuan: Klien dapat mencapai kebutuhan tidurnya baik secara kualitas


dan kuantitasnya, ditandai dengan:

Kriteria hasil:

a. Jam tidur 8-9 jam/ hari (sesuaikan dengan kebiasann jumlah jam
tidur klien sebelumnya).

b. Klien melaporkan perasaan segar setelah bangun tidur.


c. Klien melaporkan waktu terjaga dengan waktu yang sesuai
(seperti biasa).

d. Klien tidak mengalami gangguan psikologis (peningkatan emosi,


perubahan mood ).

e. Klien mampu berkonsentrasi.

f. Tidak terdapat gambaran hitam pada kelopak mata bagian bawah.

Intervensi:

a. Kaji kebiasaan sebelum, selama dan setelah klien bangun dari


tidur.

b. Bantu klien untuk mengidentifikasi hal-hal yang mungkin


menyebabka kurang tidur, seperti ketakutan, masalah yang tidak
terselesaikan, atau konflik.

c. Fasilitasi siklus tidur/bangun yang teratur.

d. Ciptakan suasana yang nyaman dan tenang.

e. Anjurkan keluarga untuk mempertahankan suasana yang nyaman


dan tenang.

f. Yakinkan klien bahwa irritabilitas dan perubahan mood adalah


konsekwensi umum yang menyebabkan deprivasi tisur.

g. Ajarkan klien untuk menghindari makan dan minum pada waktu


jam tidur.

h. Berikan pijatan yang nyaman, pengaturan posisi, dan sentuhan


afektif.

i. Njurkan klien untuk mengurangi tidur di siang hari an aktivitas 2


jam sebelum tidur.

j. Anjurkan klien untuk minum susu sebelum tidur.


k. Ajarka klien dan keluarga tentang faktor-faktor (misalnya
fisiologis, psikologis, gaya hidup, perubahan sihft kerja, perubahan
zona awaktu, kerja berlebih, dll) dapat berpengaruh pada gangguan
pola tidur.

l. Kolaborasikan pemberian obat dengan dokter.

5. Resiko ketidakseimbangan volume cairan berhubungan dengan


resiko penurunan, peningkatan, perpindahan secara cepat cairan
intravaskuler, interstisial dan intraselular satu ke yang lain.

Tujuan: Defisit volume cairan akan dicegah, ditandai dengan

Kriteria Hasil:

a. Status nutrisi adekuat:asupan makanan dan cairan antara intake


dan output

b. Keseimbangan elektrolit dan asam-basa

c. Nadi perifer teraba

d. TTV dalam batas normal

Intervensi:

a. Observasi TTV

R/ sebagai gambaran keadaan umum klien

b. Ukur intake dan output cairan, hitung IWL yang akurat

R/ Pemasukan oral yang tidak adekuat dapat menyebabkan


hipovolemia.

c. Berikan cairan sesuai indikasi

R/ Kelebihan atau kekurang cairan, serta kesalahan pemilihan jenis


cairan akan memperberat kondidi klien.
d. Awasi tekanan darah, perubahan frekuensi jantung, perhatikan
tanda-tanda dehidrasi

R/ Tanda-tanda hipovolemia segera diketahui dengan adanya takikardi,


hipotensi dan suhu tubuh yang meningkat berhubungan dengan
dehidrasi.

e. Control asupan makanan tinggi natrium & suhu lingkungan

R/ Peningkatan suhu lingkungan akan meningkatkan kehilangan


cairan, sehingga akan memperparah kekurangan cairan yang terjadi.
Peningkatan jumlah Na+ akan meningkatkan retensi cairan sehingga
memperparah terjadinya edema.

f. Monitor hasil lab.

R/ Mengetahui perubahan yang terjadi dan efek terapi.

g. Kolaborasi pemberian terapi cairan penggati jika diperlukan

R/ Memenuhi kebutuhan cairan yang kurang.

D. Evaluasi

Hal-hal yang perlu dievaluasi dalam pemberian asuhan keperawatan


berfokus pada kriteria hasil dari tiap-tiap masalah keperawatan dengan
pedoman pembuatan SOAP, atau SOAPIE pada masalah yang tidak
terselesaikan atau teratasi sebagian.

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN KASUS

1. CONTOH KASUS

Pada tanggal 20 0ktober 2017 jam 18.00 Orang tua An.Fa (4 tahun) membawa anaknya ke RS
dengan keluhan bengkak pada kaki, tangan & wajah sejak 1 minggu yang lalu.Awalnya
bengkak pada wajah ± 2 bulan yang lalu, dirasakan timbulnya pada pagi hari setelah bangun
tidur, disertai mata yang berat. Setelah siang hari bengkak mulai berkurang.± 1 bulan
berikutnya bengkak mulai dirasa pada kakinya terutama pada siang hari.± 2 minggu
kemudian bengkak mulai timbul di tangan, bengkak mulai menetap.Bengkak tidak disertai
demam, sesak napas, mudah lelah, & anak Fa dapat tidur memakai satu bantal.
Sebelumnya anak Fa sering batuk sejak umur 5 bulan, tanpa disertai darah, tidak berat,
sembuh bila berobat ke dokter & tidak pernah mendapat pengobatan yang lama. Anak Fa
sering minum jamu-jamuan gendong sejak usia 3 tahun, berupa jamu beras kencur, tidak ada
riwayat memakai obat-obatan secara rutin, tidak pernah ada riwayat alergi, tidak pernah
timbul bercak kemerahan pada kedua pipi & tidak pernah sakit kuning. BAK-nya sedikit, ±
3x sehari, ± ½ gelas kecil & berwarna pekat dan berbusa, BAB 1x/hari. Napsu makan
menurun, kadang muntah, makan bubur habis 1/3 porsi yang disiapkan, minum 1000 cc /24
jam

II. ANAMNESIS

a. IDENTITAS
 Nama penderita : An. Fa
 Jenis kelamin : Laki-laki
 Umur : 4 tahun
 Nama Ayah : Tn. j

Umur : 45 tahun

Pekerjaan : Buruh

Pendidikan : SD

 Nama Ibu : Ny.M

Umur : 32 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Pendidikan : SD

 Hub. dg orangtua : Anak kandung


 Agama : Islam
 Suku : Jawa
 Alamat : Karang menjangan 1c kel mojo kec. Gubang Kota Surabaya

b. Riwayat Penyakit
Keluhan utama : Bengkak-bengkak pada kaki,tangan & wajah, napsu makan menurun,
kadang muntah, makan bubur habis 1/3 porsi yang disiapkan.

Keluhan tambahan : Mata berat ketika pagi, BAK sedikit.

1. Riwayat Penyakit Sekarang

Anak Fa datang dengan keluhan bengkak pada kaki, tangan & wajah sejak 1 minggu yang
lalu.Awalnya bengkak pada wajah ± 2 bulan yang lalu, dirasakan timbulnya pada pagi hari
setelah bangun tidur, disertai mata yang berat. Setelah siang hari bengkak mulai berkurang.±
1 bulan berikutnya bengkak mulai dirasa pada kakinya terutama pada siang hari.± 2 minggu
kemudian bengkak mulai timbul di tangan, bengkak mulai menetap.Bengkak tidak disertai
demam, sesak napas, mudah lelah, & An. Fa dapat tidur memakai satu bantal. Sebelumnya
An. Fa sering batuk sejak umur 5 bulan, tanpa disertai darah, tidak berat, sembuh bila berobat
ke dokter & tidak pernah mendapat pengobatan yang lama. An Fa sering minum jamu-jamuan
gendong sejak usia 3 tahun, berupa jamu beras kencur, tidak ada riwayat memakai obat-
obatan secara rutin, tidak pernah ada riwayat alergi, tidak pernah timbul bercak kemerahan
pada kedua pipi & tidak pernah sakit kuning. BAK-nya sedikit, ± 3x sehari, ± ½ gelas kecil
& berwarna pekat dan berbusa. Napsu makan menurun, kadang muntah, makan bubur habis
1/3 porsi yang disiapkan .

2. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah menderita sakit seperti ini

Riwayat Penyakit Keluarga

Dalam keluarga tidak ada yang menderita sakit seperti ini.

Riwayat Kehamilan
Ibu pasien sering memeriksakan kehamilannya ke bidan,dan dikatakan bahwa pasien
memiliki anak kembar pada kehamilan ke-3. Anak kembar yang ke-1 (an. Fa) lahir
dibidan, spontan, langsung menangis, 2200 gr, 43 cm. Anak kembar ke-2 lahir di
RSAM karena lahirnya lama, spontan, langsung menangis, 2400 gr, 41 cm.

Riwayat Makanan

Umur : 0 - 4 bulan : ASI

4 - 6 bulan : ASI + Bubur Susu + Buah/Biskuit

6 – 12 bulan : ASI + Biskuit + Nasi tim + Buah

1 - 2 tahun : ASI + Nasi tim + Buah + Biskuit

> 2 tahun : ASI + Nasi biasa (nasi + lauk pauk)

Riwayat Imunisasi

B C G : 1x, umur 1 bulan


Polio : 3x, umur 2,3,4 bulan

D P T : 3x, umur 2,3,4 bulan

Campak : 1x, umur 9 bulan

III. PEMERIKSAAN FISIK

Status pasien
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, kesadaran composmentis.

Tanda-tanda vital : Nadi : 120x/menit, Respirasi : 32 x/menit, Suhu : 37,3 ºC,

Antropometri

BB : 11 kg, BB sebelum sakit 13 kg, TB : 95 cm, Ling.LA : 6 cm, Status gizi : kurang

Status Generalis

a. Sistem pernapasan
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi sela iga (-), Tidak ada kelainan

ANTERIOR POSTERIOR

KIRI KANAN KIRI KANAN

Inspeksi Pergerakan Pergerakan Pergerakan Pergerakan


pernafasan pernafasan pernafasan pernafasan
simetris simetris simetris simetris

Palpasi Fremitus taktil Fremitus taktil Fremitus Fremitus


= kanan = kiri taktil taktil
= = kiri
kanan

Perkusi Sonor Sonor Sonor Sonor

Auskultas Suara Suara Suara Suara


i nafas nafas nafas nafas
vesik vesik vesik vesik
uler uler uler uler

Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-) Ronkhi (-)

Wheezing Wheezing Wheezing Wheezing


(-) (-) (-) (-)
b. Sistem kardiovaskuler
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba pada ICS V linea mid klavikula sinistra
Perkusi : Batas atas sela iga II linea parasternal sinistra

Batas jantung kanan sela iga V linea parasternal dextra

Batas jantung kiri sela iga V linea midklavikula sinistra

Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni, murmur (-)

c. Sistem Perkemihan
BAK sedikit, ± 3x sehari, ± ½ gelas kecil & berwarna pekat dan berbusa

d. Sistem pencernaan
 Mulut : Bibir tidak kering, sianosis (-), lidah tidak kotor, tidak hiperemis, faring
tidak hiperemis, tonsil T₁-T₁, nafsu makan menurun, kadang muntah, makan
bubur habis 1/3 porsi yang disiapkan. BAB normal 1x/hari. Inspeksi : Datar,
simetris
 Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), Hepar & lien tak teraba, undulasi (-)
 Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-), Nyeri (-)
 Auskultasi : Bising usus (+) normal

e. Sistem muskuloskeletal
Kekuatan otot baik 5555.
Superior : Oedem (+/+),sianosis (-)
Inferior : Oedem (+/+),sianosis (-)

f. Sistem Integumen
Pucat : (-)
Sianosis : (-)
Ikterus : (-)
Perdarahan : (-)
Oedem umum : (+)
Turgor : Cukup

g. Sistem Pengindraan

 Bentuk kepala : Bulat, simetris


 Rambut : Hitam, lurus, tidak mudah dicabut, pertumbuhan merata
 Muka : Oedem (+)
 Kulit : Tidak ada kelainan
 Mata : Palpebra Oedem (+/+), konjungtiva ananemis, sclera anikterik, kornea
jernih, lensa jernih, refleks cahaya (+/+)
 Telinga : Bentuk normal, simetris, liang lapang, serumen (-/-)
 Hidung : Bentuk normal, septum deviasi (-), pernafasan cuping hidung
(-), sekret (-)

c. Leher

 Bentuk : Simetris
 Trakhea : Di tengah
 KGB : Tidak membesar
 JVP : Tidak meningkat (R + 1)

h. Genitalia eksternal

Kelamin : Laki-laki, tidak ada kelainan, Skrotum oedem (+/+)

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Darah Rutin

 Hb : 11 gr%
 Leukosit : 11.000/ul
 LED : 30 mm/jam
 Diff count : 0/0/2/51/43/4

2. Urine

 Warna : pekat dan berbusa


 Protein : (++++)
 Reduksi : (-)
 Bilirubin : (-)
 Sedimen : Leukosit : 1-2/LPB
 Eritrosit : 1-2/LPB
 Epitel : (-)
 Silinder : (-)
3. Lab Albumin 2,0 gr

V. Therapi

1. Tirah baring

2. Diet rendah garam( ± 2 gr/hr), cukup protein (22 gr/hr)

3. Medikamentosa

Inj. Ampicillin 250 mg/6jam

Furosemid 1x 10 mg

Prednison 3 x 1 tablet
VI. ASUHAN KEPERAWATAN

1. Analisa Data

No Data Masalah Etiologi


1. DS : Orang tua An.Fa mengatakan Kelebihan volume cairan Penurunan tekanan onkotik
bengkak pada kaki, tangan & koloid
wajah sejak 1 minggu yang
lalu.Awalnya bengkak pada
wajah ± 2 bulan yang lalu,
dirasakan timbulnya pada pagi
hari setelah bangun tidur,
disertai mata yang berat.
Setelah siang hari bengkak
mulai berkurang.± 1 bulan
berikutnya bengkak mulai
dirasa pada kakinya terutama
pada siang hari. ± 2 minggu
kemudian bengkak mulai timbul
di tangan, bengkak mulai
menetap.
DO : Muka : Oedem (+),Mata :
Palpebra Oedem (+/+),
ekstermitas Superior : Oedem
(+/+), Inferior : Oedem (+/
+),Skrotum oedem (+/+), hasil
lab UL protein : (++++), Lab
Albumin 2 gr/dl.
Produksi urine ½ gelas kecil atau
100 cc, minum 1000 cc

2. Ds : Ny. M mengatakan An. Fa napsu Gangguan nutrisi kurang Intake yang inadekuat
makan menurun, kadang muntah, dari kebutuhan tubuh
makan bubur habis 1/3 porsi yang
disiapkan, BB sebelum sakit 13 kg.
DO : Ku nampak sedang, BB saat ini 11
kg TB : 95 cm, Ling.LA : 6 cm

3. DS : Ny. M mengatakan An. Fa cepat Intoleransi aktivitas Kelelahan


capeh saat beraktivitas, kadang
sesak.
DO : Ku nampak sedang

2. Diagnosa Keperawatan

1) Kelebihan cairan tubuh b.d penurunan tekanan onkotik koloid


2) Gangguan nutrisi; kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake yang inadekuat
3) Intoleransi aktivitas b.d kelelahan
BAB IV
PENUTUP

1.1. KESIMPULAN
Sistem urinal (urinary tract) adalah sistem saluran dalam tubuh manusia, meliputi
ginjal dan saluran keluarnya yang berfungsi untuk membersihkan tubuh dari zat-zatyang
tidak diperlukan. Zat yang diolah oleh sistem ini selalu berupa sesuatu yang larut dalam
air.
Sistem ini terdiri dari sepasang ginjal (ren,kidney) dengan saluran keluar urine berupa
ureter dari setiap ginjal. Ureter itu bermuara pada sebuah kandung kemih (urinary
bladder, vesica urinaria) di perut bagian bawah di belakang tulang kemaluan (pubic
bone). Urine selanjutnya dialihkan keluar melalui sebuah urethra.

1.2. SARAN
Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan
masukan yang bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan
yang akan datang, diantaranya :

1. Bagi perawat dan tenaga medis


Askep gangguan perkemihan pada anak ini bisa sebagai acuan dalam melakukan
peraktek pada rumah sakit supaya hasilnya sesuai dengan harapan.

2. Bagi masyarakat
Dengan adanya Askep gangguan perkemihan pada anak ini masyarakat dapat
mengetahui tindakan hemodialisa.
3. Bagi mahasiswa
Dengan adanya Askep gangguan perkemihan pada anak ini dapat digunakan sebagai
pembanding oleh mahasisiwa kesehatan dalam pembuatan tugas.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2012. Makalah Hipospadia. Diakses pada 17 Oktober 2014 jam 04.34
http://tririzkiperuri.blogspot.com/2012/11/makalah-hypospadia.html
Berhman, Kliegman, Arvin. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC
Http://www.medicastore.comDiakses pada 18 Oktober 2014 jam 21.23
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Media Aesculapius: FKUI
Muscari, Mary E. 2005. Panduan Belajar : Keperawatan Pediatrik Ed.3. Jakarta: EGC
Nettina, Sandra M. 2001. Pedoman Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC
Pillitteri, Adele. 2002. Buku Saku Perawatan Kesehatan Ibu dan Anak. Jakarta: EGC
Speer, Kathleen Morgan. 2007. Rencana Asuhan keperawatan pediatrik dengan Clinical
Pathways. Jakarta: EGC
Suriadi, Yuliani. 2001. Asuhan Keperawatan pada Anak. Perpustakaan Nasional RI:
Katalog dalam Terbitan
Wicaksono, Emirza nur. 2013. Epispadia. Diakses pada tanggal 15 Oktober 2014 jam 20.15
http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/04/20/epispadia/
Karen J, Marcdante.dkk.Ilmu Kesehatan Anak Esensial,Edisi 6,

Donna L.Wong.dkk. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik, Edisi 6, Vol. 2, EGC, Jakarta

Dosen Keperawatan Medikal-Bedah indoneia.Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-


Bedah : Diagnosis NANDA-1 2015-2017 intervensi NIC Hasil NOC, EGC

Doenges, Marilynn, E. dkk. Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi 3, 2000. EGC, Jakarta.
Bare Brenda G, Smeltzer Suzan C. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 8, Vol. 1, EGC,
Jakarta.
Price Anderson Sylvia, Milson McCarty Covraine, Patofisiologi, buku-2, Edisi 4, EGC,
Jakarta.
Betz Cecily L, Sowden Linda A. (2002). Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta : EGC.
Diposkan oleh Kapevi Hatake di 6:03 PM
Masjoer, arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid II. Media
Aesculapius : Jakarta.

Wilkinson, judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan intervensi NIC dan
Kriteria Hasil NOC. EGC : Jakarta

Santosa, Budi. 2005. Panduan Dignosa Keperawatan Nanda 2005-2006. Prima


Medika : Jakarta.

Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak Buku 2. Salemba
Medika : Jakarta.

Suhanyanto, Toto. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Perkemihan. Trans Info Media : Jakarta

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah dari Brunner &
Suddarth, Edisi 8. EGC : Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai