Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN KASUS

Hirschsprung

Pembimbing:

dr. Leecarlo M L Galo, sp.BA

Disusun Oleh:

Friska Juliarty Koedoeboen 112019105

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH

PERIODE 18 Oktober 2021 – 20 November 2021

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA


WACANA JAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang masalah

Penyakit Hirschsprung (HSCR) adalah kelainan motilitas bawaan bawaan yang paling umum dan
ditandai dengan tidak adanya sel ganglion (aganglionosis) di pleksus mienterik dan submukosa dari
usus bagian distal. Hal ini terjadi karena kesalahan perkembangan ENS selama kehidupan janin, yang
mengganggu proses migrasi sel krista (ektoderm) dari sisi tabung saraf ke dinding usus.Insiden HSCR
di seluruh dunia mendekati 1 dalam setiap 5.000 kelahiran hidup.Laporan kasus ini dibuat untuk
mendapatkan gambaran tentang prevalensi dan penyebab dari hirschsprung disease. Prinsip yang
mendasari pengobatan operasi HSCR adalah untuk menghilangkan segmen aganglionik dan
anastomose usus proksimal.

Penyakit Hirschsprung adalah kondisi bawaan yang rumit dari usus, yang diakui sebagai asal genetik
dan hasil dari gangguan perkembangan normal sistem saraf enterik. Penyakit Hirschsprung (HSCR)
adalah kelainan motilitas bawaan bawaan yang paling umum dan ditandai dengan tidak adanya sel
ganglion (aganglionosis) di pleksus mienterik dan submukosa dari usus bagian distal. Diperkirakan
timbul dari kegagalan kolonisasi usus distal oleh prekursor sistem saraf enterik (ENS) selama
perkembangan embrionik.

Tidak adanya sel ganglion mengganggu ekspresi saraf parasimpatis penghambatan di pleksus
mienterik dari segmen yang terkena. Baru-baru ini, telah ditunjukkan bahwa inhibitor
neurotransmitter nitric oxide juga berkurang pada segmen aganglionik. Kurangnya aktivitas
penghambatan yang normal menghasilkan kontraksi tonik dari segmen yang terkena, menghasilkan
gejala obstruksi dan dilatasi serta hipertrofi kolon proksimal.

Mayoritas pasien dengan HCSR adalah pria, dengan rasio pria-wanita 1,5-2:1. Factor genetik telah
terlibat dalam etiologi HSCR. Diketahui bahwa HCSR terjadi dalam keluarga . insiden kasus keluarga
dalam rektosigmoid HSCR bervariasi dari 3,6% hingga 7,8% dalam seri yang berbeda.

HD muncul dengan gejala sembelit, seperti keterlambatan lebih dari 48 jam dalam menghilangkan
meconium, perut kembung, dan muntah. Dalam 80% kasus, penyakit ini didiagnosis pada tahun
pertama kehidupan, tidak umum pada masa remaja dan dewasa; kasus seperti itu biasanya muncul
dalam bentuk penyakit segmen ultrashort.
BAB II

STATUS PASIEN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : an. R
Usia : 2th
Jenis kelamin : laki-laki
Tgl lahir :13/01/2019
BB : 12,8kg
No.rm : 01415917
Ruangan : Alamanda
Agama : Islam
Tanggal Masuk RS : 6 November 2021
B. ANAMNESIS
Keluhan utama
- Stoma prolaps sejak 2 bulan terkahir
Riwayat penyakit sekarang
- Pasien datang ke poli Bedah Anak RSUD Tarakan dengan keluhan stoma yang sudah
menonjol beberapa bulan terakhir, dan pasien sulit BAB. BAB (+), BAK (+), darah (-),
lendir (-) , mual muntah (-), stoma (+), feses (+)

Riwayat penyakit dahulu

- Hirschsprung disease on sigmoidetomi

Riwayat Penyakit dalam keluarga

C. PEMERIKSAAN FISIK
- Status present
Kesadaran : compos mentis
Keadaan umum : tampak sakit sedang
TTV
HR : 92x menit
RR : 24xmenit
Temp : 36.4’ C
- Inspeksi
Terdapat stoma
- Auskultasi
Bising usus (+)
- Palpasi
Supel
- Perkusi
Tidak dilakukan
- Status gizi
BB : 12,8kg
TB : 85cm

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium 8/11/2021
Darah rutin
Hb 12.1 g/dl
Ht 35.6 %
Eritrosit 4.97 10’6/ul
Leukosit 17.51 10’3/ul
Trombosit 383 10’3/ul
Mcv 71,6 fl
Mch 24.3 pg
Mchc 34.0 g/dl

Fungsi hati
Albumin 3.8 g/dl
Elektrolit
Natrium 134 mEq/L
Kalium 5.0 mEq/L
Klorida 111 mEq/L
Pemeriksaan laboratorium 11/11/2021
Darah rutin
Hb 9.9 g/dl
Ht 28.7 %
Eritrosit 4.01 10’6/ul
Leukosit 13.48 10’3/ul
Trombosit 71.6 10’3/ul
Mcv 71.6 fl
Mch 24.7 pg
Mchc 34.5 g/dl
E. DIAGNOSIS
Hirschsprung on sigmoideum
F. TATALAKSANA
- Prognosis sudah dilakukan Duhamel Prosedur pada tanggal 8/11/2021
- POD hari ke 8
- Pada pasien terpasang drain peritoneum
- Terpasang Rectal tube
G. PROGNOSIS
Ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Penyakit Hirschsprung”s (PH) adalah suatu penyakit akibat obstruksi fungsional yang berupa
aganglionis usus, dimulai dari sfingter anal internal ke arah proximal dengan panjang segmen
tertentu, setidak –tidaknya melibatkan sebagian rektum. Penyakit Hirschprung (PH) dtandai
dengan tidak adanya sel ganglion di pleksus auerbach dan meissner.
Penyakit Hirschsprung merupakan kelainan kongenital yang menjadi salah satu penyebab
obstruksi intestinal pada bayi. Obstruksi pada penyakit Hirschsprung disebabkan oleh
berkurangnya propagasi Gerakan peristaltic. Berkurangnya propagasi ini berhubungan dengan
absenya sel ganglion pada plesus mienterikus dan submucosa. Mayoritas absenya sel ganglion
ini terdapat pada segmen kolon rectosigmoid sekitar 75%. Penyakit Hirschsprung segmen
Panjang dimana usus yang aganglionosis daoat mencapai kolon descenden, fleksura splenikus
hingga kolon descenden, fleksura splenikus hingga kolon transversum terjadi kurang lebih
pada 15% kasus, diikuti 5-7% merupakan kasus total colon aganglionosis.
B. INSIDENSI
Insiden PH pada bayi aterm dan cukup bulan diperkirakan sekitar 1:5000 kelahiran dan lebih
banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Risiko
tertinggi terjadinya PH biasanya pada pasien yang mempunyai riwayat keluarga PH dan pada
pasien penderita Down Syndrome.
Insidensi ini dipengaruhi olhe group etni, untuk Afrika dan amerika adalah 2,1 dalam 10.000
kelahiran, kaukasian 1,5 dalam 10.000 kelahiran dan asia 2,8 dalam 10.000 kelahiran.
Berdasarkan tipe ketinggian segmen yang aganglionik 80% adalah short segmen dan 20%
adalah long segment sedang menurut Burki, dkk., 75% short segment dan 25% long segment.
Kelainan-kelainan penyerta yang sering didapatkan adalah palatoskisis, polidaktili, defek
katup jantung, malformasi kraniofasial dan sindrom hipoventilasi. Cherian dkk, menyatakan
bahwa 70% penyakit Hirschsprung adalah tanpa disertai kelainan bawaan yang lain dan
melaporkan terjadinya kelainan penyerta Bardet-Biedl sindrom pada saudara kandung
keluarga Arab. Bardet-Biedl sindrom merupakan kelainan pleiotropic autosomal recessive
dengan tanda-tanda obesistas,polidaktili, hipogentilasime,kelainan ginjal,retardasi mental dan
gangguan tumbuh kembang. Ekema dkk, menyatakan bahwa Cytomegalovirus kongenital
merupakan infeksi intra uterin yang paling kerap dijumpai pada manusia. Prevalensi kelainan
ini adalah 0,2% sampai 2,2% dan merupakan bagian dari virus herpes. Virus ini ditularkan
secara kontak langsung antar manusia. Penderita CMV dapat mengekresikan CMV lewat urin,
saliva ,serviks cerviks atau air susu. Sel usus yang telah terinfeksi CMV dihubungkan dengan
terjadinya enterocolitis nekrotikans pada neonates yang dapat meneybabkan terjadinya
stirktur kolon dengan manifestasi klinis mirip dengan penyakit Hirscsprung. Flageolo dkk,
melaporkan penderita dengan trisomy 21 pada penderita penyakit Hirscsprung yang disertai
konstipasi. William dan Burrington (1993) menemukan penderita penyakit Hirscsprung yang
disertai atresia kolon dan menyarankan agar bila terjadi obstruksi fungsional setelah operasi
atresia kolon harus dilakukan Tindakan biopsy rectum. Neilson dan Youssef melaporkan
terjadinya penyakit Hirscsprung pafa penderita umur 11 tahun yang disertai volvulus kolon.
Tindakan pertama adalah laparatomi dan dibuat sigmoidostomi, dan 7bulan kemudian
dilakukan operasi definitf dengan prosedur definitf dengan prosedur Duhamel.
C. GEJALA KLINIS
Pada bayi yang baru lahir, kebanyakan gejala muncul 24 jam pertama kehidupan. Dengan
gejala yang timbul: distensi abdomen dan bilious emesis. Tidak keluarnya mekonium pada 24
jam pertama kehidupan merupakan tanda yang signifikan mengarah pada diagnosis ini.
Beratnya gejala ini dan derajat konstipasi bervariasi antara pasien dan sangat individual untuk
setiap kasus. Beberapa bayi dengan gejala obstruksi intestinal komplit dan lainnya mengalami
beberapa gejala ringan pada minggu atau bulan pertama kehidupan.
Karakteristik gejala yang terlihat pada pasien penyakit Hirshcsprung adalah kesulitan dalam
proses pengeluaran mekonium pada neonatus dan konstipasi kronik sejak lahir pada anak
karena terjadinya obstruksi usus besar. Manifestasi penyakit Hirschsprung yang khas biasanya
terjadi pada neonates cukup bulan. Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni
pengeluaran mekonium yang terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.
Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis
yang signifikans. Pada lebih dari 90% bayi normal, meconium pertama keluar dalam usia 24
jam pertama, namun pada lebih dari 90% kasus penyakit Hirschsprung mekonium keluar
setelah 24 jam. Mekonium normal berwarna hitam kehijauan, sedikit lengket dan dalam
jumlah yang cukup.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala mekonium dapat
dikeluarkan segera. Distensi abdomen merupakan manifestasi obstruksi usus letak rendah dan
dapat disebabkan oleh kelainan lain, seperti atresia ileum dan lain-lain. Muntah yang
berwarna hijau disebabkan oleh obstruksi usus, yang dapat pula terjadi pada kelainan lain
dengan gangguan pasase usus, seperti pada atresia ileum, enterokolitis netrotikans neonatal,
atau peritonitis intrauterine. Tanda-tanda edema, bercak-bercak kemerahan khususnya di
sekitar umbilikus, punggung, dan di sekitar genitalia ditemukan bila telah terdapat komplikasi
peritonitis. Sedangkan enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi
penderita penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu.
Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feses berbau busuk dan disertai demam. Pada
anak, manifestasi klinis yang menonjol selain konstipasi kronis adalah biliousemesis atau
muntah hijau, distensi abdomen, penurunan nafsu makan, dan gagal tumbuh. Sekitar 10%
pada anak dengan penyakit Hirschsprung mengalami diare yang disebabkan oleh
enterokolitis. Hal ini dapat berkembang menjadi perforasi kolon yang menyebabkan sepsis.

gambar 1. Gejala klinik pada bayi


D. DIAGNOSIS
Diagnosis penyakit Hirchsprung harus ditegakkan sedini mungkin. Berbagai teknologi
tersedia untuk menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung. Namun demikian, dengan
melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik yang teliti, pemeriksaan radiologi, serta
pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rectum dan manometri, diagnosis penyakit
Hirschsprung pada sebagian besar kasus dapat ditegakkan.
Anamnesis
a. Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, yang pada keadaan normal
keluar dalam 24 jam.
b. Adanya muntah berwarna hijau.
c. Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin
sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.
d. Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya
anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat
defekasi dan kesulitan untuk buang gas (flatus).
Pemeriksaan Fisik
Bayi yang baru lahir jarang dilakukan pemeriksaan fisik secara lengkap seperti inspeksi,
palpasi, perkusi dan auskultasi sehingga pemeriksaan fisik pada kasus penyakit Hirschspung
sering dilakukan setelah beberapa jam kemudian, pada penilaian inspeksi (melihat) sering
terlihat perut buncit yang membesar tanpa diketahui sebelumnya. Pemeriksaan perkusi dan
auskultasi pada pasien penyakit Hirschsprung sering di dengar suara berisi suatu masa
ataupun
kontraksi usus yang meningkat, penurunan bising usus, dan suara timpani akibat abdominal
mengalami kembung. Pada palpasi akan teraba dilatasi kolon pada abdominal. Namun pada
anak-anak, perut buncit dan di tambah tidak mengeluarkan mekonium (kotoran pertama)
dapat dipertimbangkan bahwa penyebabnya adalah penyakit Hirschprung. Bila dilakukan
colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam
jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologi merupakan pemeriksaan yang penting pada penyakit Hirschsprung.
Biasanya gambaran foto polos abdomen menggambarkan distensi lipatan usus dengan sedikit
udara pada rectum. Dan diagnosis didasarkan pada adanya bagian transisi antara usus bagian
proksimal yang melebar dan kolon bagian distal yang mengecil karena disebabkan oleh
nonrelaxation dari usus aganglionik. Bagian transisi ini biasanya tidak terjadi pada 1-2
minggu kelahiran. Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa
penyakit Hirschsprung adalah foto dengan barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda
khas:
a. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang
panjangnya bervariasi.
b. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah
daerah dilatasi.
c. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi.
Foto radiografi diambil segera setelah injeksi kontras dan 24 jam selanjutnya.
Apabila dari foto barium enema tidak terlihat tanda-tanda khas penyakit
Hirschsprung, maka dapat dilanjutkan dengan foto retensi barium, yakni foto setelah 24-48
jam barium dibiarkan membaur dengan feses. Gambaran khasnya adalah terlihatnya barium
yang bercampur dengan feses kearah proksimal kolon.

gambar2.radiografi abdomen loop


melebar usus. Kontras enema menunjukan karakteristik “zona transisi” yaitu transisi antara
recto menyempit.
Pemeriksaan patologi anatomi
Diagnosa histopatologi penyakit Hirschsprung didasarkan atas absennya sel ganglion pada
pleksus mienterik (Auerbach) dan pleksus sub-mukosa (Meissner). Disamping itu akan
terlihat dalam jumlah banyak penebalan serabut syaraf (parasimpatis). Akurasi pemeriksaan
akan semakin tinggi jika menggunakan pengecatan immunohistokimia asetilkolinesterase,
suatu enzim yang banyak ditemukan pada serabut syaraf parasimpatis, dibandingkan dengan
pengecatan konvensional dengan haematoxylin eosin. Disamping memakai
asetilkolinesterase, juga digunakan pewarnaan protein S-100, metode peroksidase-
antiperoksidase dan pewarnaan enolase. Hanya saja pengecatan imunohistokimia memerlukan
ahli patologi anatomi yang berpengalaman, sebab beberapa keadaan dapat memberikan
interpretasi yang berbeda seperti dengan adanya perdarahan. Biopsi isap, yakni mengambil
mukosa dan submukosa dengan alat penghisap dan mencari sel ganglion pada daerah
submukosa. Biasanya biopsi isap dilakukan pada 3 tempat: 2, 3, dan 5 cm proksimal dari anal
verge. Akan tetapi, menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa akurasi diagnostic biopsy isap
rektum bergantung pada spesimen, tempat spesimen diambil, jumlah potongan seri yang
diperiksa dan keahlian dari spesialis patologi anatomi. Apabila semua kriteria tersbeut
dipenuhi akurasi pemeriksaan dapat mencapai
yaitu 99,7%. Apabila hasil biopsi isap meragukan, barulah dilakukan biopsi eksisi otot rektum
untuk menilai pleksus Auerbach. Biopsi otot rektum, yakni pengambilan lapisan otot rektum.
Di samping itu teknik ini dapat menyebabkan beberapa komplikasi seperti perforasi,
perdarahan rektum, dan infeksi.
Pemeriksaan Manometri
Pemeriksaan manometri anorektal adalah suatu pemeriksaan objektif mempelajari fungsi
fisiologi defekasi pada penyakit yang melibatkan spinkter anorektal. Dalam prakteknya,
manometri anorektal dilaksanakan apabila hasil pemeriksaan klinis, radiologis dan histologis
meragukan.
Beberapa hasil manometri anorektal yang spesifik bagi penyakit Hirschsprung adalah :
a. Hiperaktivitas pada segmen yang dilatasi
b. Tidak dijumpai kontraksi peristaltik yang terkoordinasi pada segmen usus
aganglionik
c. Tidak dijumpai relaksasi spinkter interna setelah distensi rektum akibat
desakan feses. Tidak dijumpai relaksasi spontan.
Diagnosis Banding
Banyak kelainan-kelainan yang menyerupai penyakit Hirschsprung akan tetapi pada
pemeriksaan patologi anatomi ternyata didapatkan sel-sel ganglion.
Kelainan-kelainan tersebut antara lain:
1. Megakolon Akut
2. Megakolon Kronik
3. Konstipasi
4. Hipotiroidisme
5. Gangguan Motilitas Usus
6. Irritable Bowel Syndrome / Sindrom iritasi usus besar
7. Toxic Megacolon
E. ETIOLOGI
Ada berbagai teori penyebab dari penyakit hirschsprung, dari berbagai penyebab tersebut
yang banyak dianut adalah teori karena kegagalan sel-sel krista neuralis untuk bermigrasi ke
dalam dinding suatu bagian saluran cerna bagian bawah termasuk kolon dan rektum.
Akibatnya tidak ada ganglion parasimpatis (aganglion) di daerah tersebut. sehingga
menyebabkan peristaltik usus menghilang sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat
serta dapat menimbulkan terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal
sehingga timbul gejala obstruktif usus akut, atau kronis tergantung panjang usus yang
mengalami aganglion.
F. PATOFISOLOGI
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal dan sphincter anus
interna sehingga terjadi obstruksi. Maka dari itu bagian yang abnormal akan mengalami
kontraksi di segmen bagian distal sehingga bagian yang normal akan mengalami dilatasi di
bagian proksimalnya.Dasar patofisiologi dari penyakit hirschprung adalah tidak adanya
gelombang propulsif dan abnormalitas atau hilangnya relaksasi dari sphincter anus internus
yang disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis atau disganglionosis pada usus yang
terkena.
Tidak terdapatnya ganglion (aganglion) pada kolon menyebabkan peristaltik usus menghilang
sehingga profulsi feses dalam lumen kolon terlambat yang menimbulkan terjadinya distensi
dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah aganglionik sebagai akibat usaha
melewati daerah obstruksi dibawahnya. Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus
akut, atau
kronis yang tergantung panjang usus yang mengalami aganglion. Obstruksi kronis
menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang disertai iritasi
feses sehingga menyebabkan terjadinya invasi bakteri. Selanjutnya dapat terjadi nekrosis,
ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon. Keadaan ini menimbulkan
gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan terjadi sepsis akibat dehidrasi dan
kehilangan cairan rubuh yang berlebihan.

G. TATALAKSANA
Tujuan umum dalam penatalaksaan penyakit Hirchsprung meliputi:
(1) untuk memperbaiki gejala klinis dan komplikasi yang tidak teratasi,
(2) untuk memonitor tindakan sementara sampai bedah rekonstruksi, dan
(3) untuk menjaga fungsi usus pasca pembedahan
Pada prinsipnya, sampai saat ini, penyembuhan penyakit Hirschsprung hanya dapat dicapai
dengan pembedahan. Tindakan-tindakan medis dapat dilakukan tetapi hanya untuk sementara
dimaksudkan untuk menangani distensi abdomen dengan pemasangan pipa anus atau
pemasangan pipa lambung dan irigasi rektum. Pemberian antibiotika dimaksudkan untuk
pencegahan infeksi terutama untuk enterokolitis dan mencegah terjadinya sepsis. Cairan infus
dapat diberikan untuk menjaga kondisi nutrisi penderita serta untuk menjaga keseimbangan
cairan,elektrolit dan asam basa tubuh.
Pilihan bedah bervariasi tergantung pada usia pasien, status mental, kemampuan untuk
melakukan aktivitas hidup sehari-hari, panjang segmen aganglionik, derajat dilatasi kolon,
dan kehadiran enterokolitis. Pilihan bedah kolostomi termasuk pada tingkat usus normal,
irigasi rektal diikuti oleh reseksi usus dan prosedur kolostomi.
Penanganan bedah pada umumnya terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama dengan
pembuatan kolostomi dan tahap kedua dengan melakukan operasi definitif. Tahap pertama
dimaksudkan sebagai tindakan darurat untuk mencegah komplikasi dan kematian. Pada
tahapan ini dilakukan kolostomi, sehingga akan menghilangkan distensi abdomen dan akan
memperbaiki kondisi pasien. Tahapan kedua adalah dengan melakukan operasi definitif
dengan membuang segmen yang aganglionik dan kemudian melakukan anastomosis antara
usus yang ganglionic dengan dengan bagian bawah rektum.
Dikenal beberapa prosedur tindakan definitif yaitu prosedur Swenson, prosedur Duhamel,
prosedur Soave, prosedur Rehbein dengan cara reseksi anterior, prosedur Laparoscopic Pull-
Through, prosedur Transanal Endorectal Pull-Through dan prosedur miomektomi anorectal
Tindakan bedah sementara pada penderita penyakit Hirschsprung adalah berupa kolostomi
pada usus yang memiliki ganglion normal paling distal.
Tindakan ini dimaksudkan guna menghilangkan obstruksi usus dan mencegah enterokolitis
sebagai salah satu komplikasi yang berbahaya. Manfaat lain dari kolostomi adalah:
menurunkan angka kematian pada saat dilakukan Tindakan bedah definitif dan mengecilkan
kaliber usus pada penderita penyakit Hirschsprung yang telah besar sehingga memungkinkan
dilakukan anastomose.
Kolostomi tidak dikerjakan bila dekompresi secara medic berhasil dan direncanakan bedah
definitif langsung. Kolostomi merupakan kolokutaneostomi yang disebut juga anus
preternaturalis yang di buat untuk sementara atau menetap. Indikasi kolostomi adalah
dekompresi usus pada obstruksi, stoma sementara untuk bedah reseksi usus pada radang, atau
perforasi, dan sebagai anus setelah reseksi usus distal untuk melindungi anastomosis distal.
Kolostomi dapat berupa stoma ikat atau stoma ujung. Kolostomi dikerjakan pada:
1. Pasien neonatus.
Tindakan bedah definitif langsung tanpa kolostomi menimbulkan banyak komplikasi dan
kematian. Kematian dapat mencapai 28,6%, sedangkan pada bayi 1,7%. Kematian ini
disebabkan oleh kebocoran anastomosis dan abses dalam rongga pelvis.
2. Pasien anak dan dewasa yang terlambat terdiagnosis.
Kelompok pasien ini mempunyai kolon yang sangat terdilatasi, yang terlalu besar untuk
dianastomosiskan dengan rectum dalam bedah definitif. Dengan tindakan kolostomi, kolon
dilatasi akan mengecil kembali setelah 3 sampai 6 bulan pascabedaah, sehingga anastomosis
lebih mudah dikerjakan dengan hasil yang lebih baik.
3. Pasien dengan enterokolitis berat dan dengan keadaan umum yang buruk.

Tindakan ini dilakukan untuk mencegah komplikasi pasca bedah, dengan kolostomi pasien
akan cepat mencapai perbaikan keadaan umum. Pada pasien yang tidak termasuk dalam
kategori 1, 2, dan 3 tersebut dapat langsung dilakukan tindakan bedah definitif.

H. KOMPLIKASI
Komplikasi potensial untuk operasi kompleks terkait dengan penyakit Hirschsprung
mencakup seluruh spektrum komplikasi dari tindakan bedah gastrointestinal. Komplikasi
termasuk peningkatan insiden enterokolitis pasca operasi dengan prosedur Swenson, sembelit
setelah perbaikan Duhamel, dan diare dan inkontinensia dengan prosedeur Soave. Secara
umum, komplikasi kebocoran anastomosis dan pembentukan striktur (5-15%), obstruksi usus
(5%), abses pelvis (5%), infeksi luka (10%), dan membutuhkan re-operasi kembali (5%),
seperti prolaps atau striktur. Kemudian, komplikasi yang terkait dengan manajemen bedah
penyakit Hirschsprung termasuk enterokolitis, gejala obstruktif, inkontinensia, sembelit
kronis (6-10%), dan perforasi.
Enterokolitis menyumbang morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien dengan
penyakit Hirschsprung. Hasil enterokolitis dari proses inflamasi pada mukosa dari usus besar
atau usus kecil. Sebagai penyakit berlangsung, lumen usus menjadi penuh dengan eksudat
fibrin dan berada pada peningkatan risiko untuk perforasi. Proses ini dapat terjadi di kedua
bagian aganglionik dan ganglionik usus. transisi. Pasien mungkin hadir pasca operasi dengan
distensi abdomen, muntah, sembelit atau indikasi obstruksi yang sedang berlangsung.
Obstruksi mekanik dapat dengan mudah didiagnosis dengan rektal digital dan barium enema.
Komplikasi ini perlu diketahui secara dini karena dapat mengakibatkan kematian pada setiap
saat bila penanganan tidak memadai.
I. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien penyakit Hirschsprung yang telah dilakukan terapi definitif
pembedahan pada umunya baik. Pasca pembedahan, pada 90% pasien bisa kembali buang air
besar secara normal dan komplikasi tidak bertahan lama. Namun, pada beberapa kasus pasien
penyakit Hirschsprung masih berlanjut megalami gejala dan tanda, termasuk konstipasi
sertamembutuhkan Tindakan kolostomi permanen. Pasien dengan abnormalitas genetik dan
sindrom lain memiliki prognosis yang lebih buruk.

BAB IV
KESIMPULAN
Anak laki – laki berusia 2 tahun datang ke Poli Bedah Anak RSUD Tarakan dengan keluhan
stoma prolpas, dengan sulit BAB beberapa bulan terkahir disertai dengan perut kembung.
Pada laporan kasus ini dari anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang seperti
colon in loop dan kemudian dilakukan tindakan bedah dan Didapatkan diagnosis
Hirschsprung Disease.
Berdasarkan kasus dan pemaparan tinjauan pustaka yang telah disampaikan pada bab
sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa hirschsprun gmerupakan salah satu kelainan
kongenital pada perkembangan sistem saraf. Tidak adanya sel ganglion pada dinding usus
menyebabkan penjalaran saraf yang tidak sempurna, sehingga usus tidak mampu untuk
mengeluarkan feses. Feses yang semakin menumpuk dapat menyebabkan distensi
kolon, hal tersebutmenyebabkan ketidakadekuatan pemenuhan kebutuhan dasar eliminasi
pada bayi. Selain terganggunya kebutuhan dasar eliminasi, hirschsprung juga
akanberdampak pada kebutuhan dasar lain seperti cairan, nutrisi, istirahat dan tidurpada bayi
yang pada akhirnya akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan pada
anak. Penatalaksanaan medis untuk kelainan hirschsprung yaitu operasi kolostomi
dengan dibuatkan stoma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Moore SW. Hirschsprung disease: current perspectives. Open Access Surg. 2016 May;39.
2. Chhabra S, Kenny SE. Hirschsprung’s disease. Surg Oxf. 2016 Dec;34(12):628–32.
3. Puri P, editor. Hirschsprung’s Disease and Allied Disorders [Internet]. Cham: Springer
International Publishing; 2019
4. Gunadi, Kalim AS, Budi NYP, Hafiq HM, Maharani A, Febrianti M, et al. Aberrant
Expressions and Variant Screening of SEMA3D in Indonesian Hirschsprung Patients.
Front Pediatr. 2020
5. Demehri, et al. (2013) Hirschsprung-associated enterocolitis: pathogenesis,treatment and
prevention. Springer-Verlag Berlin Heidelberg
6. Ilmu bedah anak : kasus harian UGD, bangsal , & kamar operasi/ Leecarlo M.Lumban
Gaol, Willy Hardy Marpaung, Padli Sitorus -Jakarta : EGC 2016
7. Depkes RI (2010) Buku Saku Pelayanan Kesehatan Neonatal. Jakarta.
8. Effendi, S. H. dan Indrasanto (2008) Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia: Jakarta.
9. Hidayat, M. (2009) 'Anorectal Function of Hirschsprung’s Patient after Definitive
Surgery', The Indonesian Journal of Medical Science, vol. 2, , pp. 77–85.
10. Imseis, E. dan Gariepy, C. E. (2012) '‘Hirschsprung Disease’ in Pediatric', in Walker, A.
(ed.) Gastrointestinal Disease vol. 1. PMPH-USA.
11. Irwan, B. (2003) Pengamatan Fungsi Anorektal pada Penderita Penyakit Hirschsprung
pasca Operasi Pull-Through. Available at: USU Digital Library
12. Kapur, Raj P. (2009) 'Practical pathology and genetics of Hirschsprung’s disease'. in
Seminars in Pediatric Surgery (2009). 18, p. 212-223.
13. Kartono, D. (2010) Penyakit Hirschsprung. 1st edn. Sagung Seto: Jakarta.
14. Krisnanto, A. (2013) Faktor Prognostik yang Mempengaruhi Terjadinya Komplikasi Dini
Enterokolitis dan Konstipasi pada Penderita Hirschsprung yang Dioperasi dengan Tehnik
ERPT di RSUP Dr. Sardjito. UGM. Yogyakarta.
15. Westfal ML, Goldstein AM. Diagnosing and Managing Hirschsprung Disease in the
Newborn. NeoReviews. 2018.

Anda mungkin juga menyukai