Anda di halaman 1dari 5

Kacung Mintuno

“Met siang …?!”


“Siang juga.”
“A.s.l. pls ….?!”
“F.33. And u?”
“M. 30. Ker / kul?”
“Ker.”
“Kamu kerja di mana?”
“Apa penting …?”
“Kayaknya seeh.”
“Aku cuma seorang babu kok!”
“Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan
dan pakai web cam lagi. Keren banget.”
“Itu gak penting. Eh you-nya kerja di mana?”
“Aku arsitek. Tukeran foto yuuuk ..?!”
“Ok. Eh real name (nama asli) please ….!?”
“Namaku Kacung Mintuno. Namamu siapa?”
“Aku Tumi. Tapi biasa dipanggil Mimi. Ini buka deh! Nanti you bisa lihat
tampangku ok? Http://www. mimi boldrive.com. Atau ini http://mimi.multiply.com.”
“Ok. Thanks ya? Loh. Ini kan website??? Ah masak sih kamu kerja jadi
babu?”
“Ada yang aneh? Atau gak pantas kenalan dengan seorang babu?”
“Oh, no!! Sorry. Bukan begitu maksudku. Ini loh. Setelah kubuka isinya
ternyata web-mu luar biasa. Di luar negeri lagi. Ada fotomu yang pake toga segala.
Itu foto saat kamu sedang wisuda ya?”
“Ya begitulah adanya. Seperti yang you lihat. Aku memang babu. Sekarang
kerja di Hong Kong. Dulu pernah kerja di Taiwan.”
“Luar biasa. Hong Kong memang indah. Aku pernah dua kali main ke Hong
Kong tapi cuma mampir dan nginap di Hotel Peninsula saja. Trus mainnya di Star
Ferry deket Victoria Harbour. Ini kamu tak kirimi pic.-ku ya?”
“Makasih ya..? Jadi you tidak memandang rendah dirikukah?”
“Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang
membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah
kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama.”
“Duuhh… Terima kasih ya Mas Kacung, sang arsitek, atas luasnya
pandanganmu. Tapi maaf ya? Aku online sudah lama maka sudah saatnya off (cabut)
nih!”
“Sayang sekali ya? Tapi tak apa deh. Kita bisa sua lain kali. Eh makasih juga
ngobrolnya. Jangan lupa kalau mau online sms aku ya? Ini nomor hp-ku.
0815xxxxxxx.”
“Iya deh. Thanks (terima kasih) aja.”
Sepanjang perjalanan pulang dari holiday (liburan kerja) kali ini pikiranku
dipenuhi oleh sikap dan gaya bicara teman baruku, si Kacung Mintuno. Aku juga
agak heran mendengar nama orang tersebut, “Kacung”. Sebuah nama yang udik
banget. Tapi siapa sangka kalau benar seperti pengakuannya. Dia seorang arsitek.
Tadinya, percaya atau tidak, aku tidak peduli. Tapi begitu membuka kiriman foto-
fotonya yang sedang beraksi di Star Ferry dekat Victoria Harbour aku jadi percaya.
Tempat itu memang di Star Ferry. Itulah tempat yang biasanya aku nongkrong
bersama teman-teman setanah air. Tempat buat bersandar perahu pesiar dan dari
dalam perahu tersebut biasanya akan muncul tampang-tampang Jawa alias asli
Indonesia.
Menurut pendapatku Kacung Mintuno orangnya baik dan rendah hati.
Kapan-kapan aku sms dia deh kalau mau online. Eh tadi dia bilang aku aneh. Babu
kok bisa main internet malah punya website pribadi. Terus sebenarnya yang aneh
siapa ya?
Tak terasa kereta Teng-teng Che yang aku naiki telah berhenti di Cheswood.
Tempat tinggal bosku. Aku turun dengan tenang sambil benakku masih dipenuhi
bayangan Kacung Mintuno dengan segala obrolan tadi. Baru kali ini aku menemukan
seseorang yang asik diajak ngobrol dan rendah hati. Tidak sok seperti yang selama ini
aku alami. Pernah aku sekali ketemu dengan orang yang mengaku pemain figuran
film. Omongannya selangit dan sangat merendahkan profesiku. Aku memang tak
pernah menutupi profesiku pada siapapun teman yang ketemu di dunia maya. Namun
jarang yang awet.
Kutengok jam yang melingkar di pergelangan tanganku. “Baru jam delapan,”
kataku pada diriku. Aku belum ingin pulang ke flat. Paling bosku makan malam di
luar. Tadi mereka telpon dan katanya kalau aku pulang ya pulang aja. Konon mereka
mau makan Shushi di restorant Jepang dekat kompleks perumahan ini.
Telpon genggam yang kupegang bergetar sambil mengalunkan lagu 'without
you'-nya Mariah C. Tertera nama Iyem di layar handphone-ku.
“Wai (halo)…?!”
“Mi. Kamu di mana? Masih di Causeway Bay?”
“Tidak. Aku sudah pulang nih.”
“Ngapain kepagian pulang? Tadi gak online ya?”
“Online kok. Sorean. Cuma dua jam aja.”
“Dapat gacoan berapa? Dapat korea lagi ya? Ha, ha, ha.”
“Sampah! Gak lah. Aku ngobrol ama cowok dari Indon aja. Asik orangnya.”
“Namanya siapa? Kerja di mana dia?” tanya Iyem penasaran.
“Namanya Kacung Mintuno. Ngakunya sih seorang arsitek gitu.”
“Ha, ha, ha, ha, ha. Kamu kok mau sih dibohongi gitu. Mana ada kacung jadi
arsitek. Cari yang keren. Kebarat-baratan gitu loh! Kayak Kacung gitu sih, not my
level (bukan standarku).”
“Ya wes (udah). Itu hak asasi kok. Terserah yang menilai aja.” Aku agak
tersinggung. Entah kenapa aku tidak terima kalau teman baruku itu diejek oleh Iyem
sahabat karibku.
“Oh ya. Kapan kamu jadi ambil cuti pulang Indo?”
“Minggu depan. Ada apa?”
“Mau nitip barang sedikit.”
“Ogah ah! Berat. Kalau mau nitip tuh duit. Sebanyak apa aku bawain deh.”
“Cuma handphone (telpon genggam) buat adikku kok. Biar aku bisa
menghubungi orang rumah.”
“Iya wes. Aku mau naik lift nih. Bye (sampai jumpa) ….?!”
“Bye ….!?”
Uh ! Iyem nyebelin. Selalu saja menilai seseorang dari nama dan ujud luarnya
doang. Aku sih berharap bisa bertemu Kacung Mintuno lagi. Bukan title (gelar
kesarjaan)-nya yang aku suka. Namun sikap dan pembawaan yang rendah hatilah
yang mampu membuatku punya penilaian lain terhadapnya.
***
Tak terasa persahabatanku dengan Kacung Mintuno makin dekat. Apalagi
setelah jumpa darat. Kedekatan makin terasa bahkan nadanya ada sinyal-sinyal cinta
antara aku dan dia. Juga sebaliknya. Tiga tahun berlalu bersamaan habisnya kontrak
kerja yang aku ambil. Aku tak ingin lagi merantau. Aku mau berdagang lagi seperti
dulu. Selain itu akan aku kembangkan bakat sastra yang aku punya.
***
Sejak aku bergelut di bidang sastra istilah sastra profetik yang pernah ditulis
oleh Prof. Kuntowijoyo (alm.) selalu kupakai. Alhamdulilah istilah itu menggelinding
dengan menggembirakan. Awalnya berat juga menggelar wacana sastra tersebut. Tapi
dorongan yang Kacung Mintuno berikan tidak kusia-siakan. Berbagai kegiatan sastra
kami kunjungi baik di kota sendiri maupun di luar kota. Bahkan Jakarta, Yogyakarta
dan Surabaya sering kami datangi. Tak aneh bila mendengar teman-teman ada yang
memanggil kami dengan cara menyatukan nama menjadi Mimi Mintuno. Dimana ada
aku di situ pula ada Kacung Mintuno yang telah menjadi belahan hati.
Aku dan Kacung tak pernah meladeni ledekan maupun sindiran teman yang
membanding-bandingkan antara aku dan Kacung. Ada yang iri padaku. Orang-orang
itu pernah berkata tentang posisi Kacung. Bagi mereka Kacung rugi mendapat
pasangan mantan babu. Tapi bagi kami tak ada istilah untung rugi untuk bercinta.
Komitmen telah mengikat kami. Cinta Mimi Mintuno adalah cinta yang tak
membedakan status tapi punya wawasan ke depan secara bersama.
Satu titik pandang yang bernama kebahagiaan akan kita tempuh bersama
meski harus melewati jalan yang berliku. Jurang dan ngarai sekalipun. Sang waktulah
yang selalu menguji perjalanan cinta Mimi Mintuno. Cinta aku dan Kacung.
***
Lima tahun telah berlalu sejak aku kenal dengan Mas Kacung Mintuno. Kini
aku bahagia hidup bersama Mas Kacung yang telah resmi menjadi suamiku dan Mas
Kacung yang dulu beda agama kini telah menjadi seorang mu’alaf. Dengan sabar dia
turut mengaji, ikut tahlilan di rumah tetangga dan kemana-mana selalu ada buku
suratan atau Juz Amma. Aku bahagia melihatnya.
Aku senang dan tidak pernah tersinggung dengan sebutan mantan babu.
Terkadang dengan mantan tkw. Itulah kenyataan. Untuk apa aku harus malu. Justru
dengan aku menjadi tkw alias babu, aku menjadi aku yang sekarang. Yang pasti Aku
telah bisa mengalahkan aku. Tidak seperti dulu. Aku begitu egois. Setiap ada yang
bertanya padaku, ”Mbak, sampeyan kerja menjadi babu ya? Sampeyan jadi tkw?”
Telingaku akan merah dan mukaku bagai udang direbus saking (akibat) malu dan
tersinggung. Tapi itu dulu sebelum Aku terkalahkan oleh aku.
Kini aku nikmati hari-hari dengan bahagia. Berkumpul dengan anak-anak dan
Mas Kacung. Suamiku selalu setia memotivasi aku dalam segala hal. Tak bosan dia
mengingatkan akan egoku di sela waktu kerjanya, baik lewat telpon maupun
berdiskusi langsung saat sedang makan bersama anak-anakku.
***
Enam tahun hampir berlalu. Namun kata-kata Mas Kacung di awal perkenalan
masih terngiang di telingaku.
“Babu juga manusia. Tapi, apa iya ya? Babu kok bisa main internet. Chatingan
dan pakai web cam lagi.”
Masih ada lagi,
“Ya enggak lah. Apapun profesi kita pada dasarnya sama saja. Yang
membedakan, bagaimana orang menyebut dan memandangnya. Bagiku tak masalah
kenal dengan siapapun. Toh di mata Tuhan kita berkedudukan sama.”
Itulah kata-kata Mas Kacung yang membuat aku merasa bahwa aku adalah
manusia.

@ Istana Rumbia, 01 Maret 2007

Anda mungkin juga menyukai