Anda di halaman 1dari 4

Bibir-bibir Ibu-ibu

 
            Nyinyir bibir-bibir tua ibu-ibu yang setiap hari kerjaannya ngerumpiin
tetangga. Malam ini tidak lagi sama. Terdengar suara merdu ditelinga kala bibir
nyinyir itu menyenandungkan lagu.
            “Nasabun tahsibul’ullabihulahu.” Bersamaan dan senada lagunya meluncur
merdu dari bibir ibu-ibu. Aku kagum malam ini karena biasanya mereka mempunyai
hoby berat ngerumpi di rumah tetangga. Baik saat sedang arisan maupun saat sekedar
berkumpul di beranda depan rumahku.
            Aku melirik Yu Siti. Dia baru saja menyandang gelar ibu Hajah beberapa
bulan yang lalu. Malam ini tanpa disengaja dia memimpin setiap bacaan Kitab
Albarzanji yang selalu ada disetiap malam sejak bulan maulud ini. Bergiliran dari satu
rumah ke rumah yang lain dengan sukacita menyambut giliran pengajian sholawat
Nabi tersebut.
            “Fikhubissayyidina Muhammad, Ya habibi…nurullibadrilhuda mutammam,
Ya Alloh.”
          Merdu sekali terdengar karena mereka semua kompak mengucapkannya
bersahut-sahutan dari pojok sana dan pojok sini. Aku hitung setiap malam yang
datang adalah satu Rt 03 termasuk aku dan berjumlah dua puluh tiga ibu-ibu. Aku
tersenyum sekaligus terharu melihat bibir mbah Somo tidak bisa mengikuti lagu yang
dibawakan oleh yang dianggap pemimpin malam itu. Namun mbah Somo tetap
semangat dan tak kentara kalau suaranya tenggelam oleh kekompakan suara ibu-ibu
yang lebih keras membaca Sholawat. Tertatih-tatih Mbok Karso berdiri dari duduknya
saat terdengar.
            “Asyroqol Badru‘Alaina, Fahthafat minhulbudur. Mislakhusnikmaro’aina
khotuyawajhassurrurr.” Semua semangat. Karena semuanya hafal lagu dan bacaan itu.
Aku mengedipkan sebelah mataku pada anakku yang ikut serta tetapi tidak ikut ber
Asroqol. Dengan ogah-ogahan anakku yang berusia tujuh tahun itu berdiri bersedekap
menirukan sikapku dan bibirnya ikut mengucap sholawat seperti bibir ibu-ibu. Bisa.
Anakku bisa mengucapkannya karena setiap malam kuajak dia membaca kitab
Albanzanji. Berpindah dari satu rumah ke rumah lainnya di sekitar Rt ku selama bulan
maulid ini. Kitab ini berisi syair yang indah. Mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w.
Serta memperingati hari kelahiran Nabi.
            Saat sedang Asroqol. Mataku selalu usil. Kadang memandangi tikar lusuh
milik si empunya hajat yang sedang menggilir. Kadang, memandangi sosok anak
kecil yang dibawa oleh salah satu ibu atau salah satu cucu mereka yang tidur
bergelintingan di tengah kalangan dengan lucu. Anak itu gembira mendengar nada
lagu yang riang yang ibu-ibu itu bawakan. Mereka meniru nada lagunya kasidah
nasidaria atau meniru lagu dangdut. Tak pelak mbah Somo dan mbah karso pun ikut
gembira berdendang lagu sholawat Nabi dengan riang.
            “Allohummafirlanna dhunubana, waj’alilljannah mi’adana ya allah.
Robbifarhamna jami’a bijami’issholikhati ya allah.” Anakku dan mbok Ijah yang tadi
berdirinya sudah hampir menyandar di tembok. Kini ceria kembali dan bersemangat
lagi. Mbah Somo yang berdirinya sudah membungkuk, kini di tegakkan lagi
mendengar kawan-kawannya begitu ceria membaca shalawat itu, karena kalau sudah
sampai dibaca di bait itu, artinya sebentar lagi akan duduk kembali.
            Yu Sutar kebagian membaca beberapa lembar Alkitab tersebut. Kulihat mbok
Karso sudah duduk terkantuk-kantuk, dan anakku nyaris memejamkan matanya di
pangkuanku. Lagi-lagi mereka semua terbangun dengan gembira tanpa ada yang
membangunkannya. Setelah mereka mendengar  sang pemimpin si Ibu Hajah itu
mulai membaca “Allahumma ya Basittol yadaini bil’adiah.” Dan seterusnya. Semua
ibu-ibu yang tadi duduknya berselonjor kaki, kini menekuk kakinya. Anakku bangun
sendiri dan menengadahkan kedua tangannya sambil mengucap Amiiiiinn. Setiap Ibu
Hajah selesai satu ayat, mereka semua menyambutnya dengan ucapan Amin.
            Kantuk lenyap seketika. Mereka semua membaca dengan kompak menimpali
bacaan doa yang ibu Hajah bacakan. “Ya Arhamma Rohimin, ya arhamma rohimin.
Ya arhamma rohimin warij’alal muslimin.”
            Tanganku dicubit oleh tangan kecil anakku, kala anakku melihat berbagai
hidangan muncul dari ambang pintu dapur si empunya hajat. Tak sabar rupanya
anakku untuk segera mengambil makanan dan minuman yang sedang dikeluarkan.
Aku tersenyum. Karena memang setiap anak yang ikut ibunya atau neneknya akan
berbuat yang sama yaitu minta jajan dulu selagi jajanan belum keluar semua. Tak ada
satupun ibu-ibu yang mencegah karena semua maklum adanya.
Namun saat makanan sudah keluar semua. Disitulah diskusi mulai
dibuka tanpa ada yang memimpin dan tanpa ada yang membuka. Dengan sendirinya
bibir nyinyir ibu-ibu tak bisa dicegah untuk tidak nyinyir. Ya. Perbincangan seru baru
akan dimulai dan baru akan berakhir bila makanan dihadapannya sudah amblas.
Akupun salah satu dari mereka yang berbibir nyinyir. Apapun jadi perbincangan di
arena perkumpulan di manapun berada. Bersyukurnya. Bukan gunjingan. Namun
sekedar berbagi rasa karena mahalnya bahan pokok makanan di daerahnya, hingga,
tontonan televisi yang menyesatkan bahkan ngomongin hantu yang bergentayangan di
layar kaca.
Konon betapa hebatnya anak kecil sekarang. Karena tidak lagi takut dengan
hantu pocong. Karena setiap kali ditakuti hantu pocong, si anak akan meleletkan
lidahnya pada Emaknya sambil bilang.
“Wek. Hantunya sudah jadi Artis Mak. Malah kalau aku ketemu hantu aku
akan minta duit padanya buat Emak.” si Emakpun hanya angkat bahu mendengar
komentar anaknya.
Tentu aku tidak ketinggalan untuk tidak ngoceh di kalangan. Aku bilang
dengan bangga pada mereka kalau di rumahku tak ada televisi. Bukan aku tidak bisa
membeli, namun aku lebih suka anakku baca buku atau main game di komputer.
Mereka tidak percaya bahkan setengan mencemooh. Katanya aku tidak sayang anak.
Masa televisi saja tidak mau belikan buat hiburan mereka. Aku tak perlu menjawab
komentar mereka. Toh aku sendiri yang tahu anakku akan pinter atau keblinger
setelah menonton sajian televisi yang begitu menghipnotis. sampai lupa waktu sholat
bahkan mengkorupsi waktu belajarnya.
Dan topik terhangat. Kalau baru saja terjadi pembunuhan dan pemerkosaan di
daerah Jawa Tengah. Iih serem. Aku lihat si Nunuk gadis anak tetanggaku yang masih
duduk dibangku SMP, meriding, meringkuk, mendengar berita dari bibir ibu-ibu yang
sedang bercerita dan cerita tersebut baru di dapatkannya dari layar kaca. ada cerita
dari ibu-ibu yang berada di pojok sana. Katanya baru saja ada berita tentang mayat
yang terpotong dan jasadnya di buang terpencar. Aku tidak merinding mendengar
hantu pocong. Karena di rumahku tak ada televisi dan aku tidak melihatnya. Aku
kasihan mendengar nyawa manusia tak ada harganya dan di buang begitu saja.
Kerupuk singkong dan pisang goreng yang ditaruh di hadapanku sudah habis.
Rasanya tak ada alasan lagi untuk duduk lebih lama di sini. Akupun berpamit pada si
empunya hajat sambil bilang kalau besok malam tiba giliran di rumahku. Mereka
mengikuti langkahku untuk berpamit pada yang punya rumah. Tak bosan, tak jenuh.
Kami warga desaku rutin mengadakan shalawatan setiap tahunnya sebulan penuh di
bulan maulud.
“Marhaban ya nurul’aini marhaban jadalkhusaini... Marhaban Ya marhaban.”
 
 
*** Lipursari, Wonosobo***
05 April 2007

Anda mungkin juga menyukai