Anda di halaman 1dari 21

1

Handout: ALGA
Oleh: Lalu Japa

Pendahuluan
Alga adalah kelompok organisme berklorofil yang paling sederhana, multiseluler
(makro-alga) dan uniseluler (mikro-alga) berkoloni atau soliter. Alga termasuk group
tumbuhan “aquatic” purba. Makro-alga termasuk tumbuhan Thallus, dan mikro-alga lebih
dikenal dengan fitoplankton. Satu jenis atau lainnya telah berada sejak lebih dari 2 milyar
tahun yang lalu, akan tetapi sampai saat ini masih ditemukan species-species baru. Beberapa
ahli taksonomi menganggap alga sebagai protoctista (protista), tapi sekarang pendekatan ini
sudah tidak dipakai lagi. Sampai saat ini sudah dikenal sekitar 23.000 species alga. Alga
dipelajari dalam cabang ilmu pengetahuan tersendiri yaitu algalogi, atau disebut juga
phycology (bahasa Greek: Phycos = Alga dan Logos = Ilmu Pengetahuan). Algalogi adalah
istilah yang telah di sesuaikan dengan istilah dalam bahasa Indonesia.

1. Karakteristik Alga
a. Prokariot dan Eukaryot, mengandung nukleus (satu nukleus/uninucleate)
b. Bersel banyak (multiseluler) dan bersel tunggal (uniseluler)
c. Berupa thallus, menyendiri atau berkoloni
d. Berbinding sel terbuat dari sellulosa
e. Berklorofil
f. Autotrof (photosynthetik dan membuat karbohidrat dengan menggunakan sinar matahari)
g. Mempunyai banyak variasi struktur (1) berupa unisellular , (2) berupa multisellular dan
sangat besar.
h. Hidup sebagai benthos atau sebagai plankton (fitoplankton)

2. Perbandingan Alga dengan Tumbuhan Tingkat Tinggi


Sama-sama bersifat autotroph, berfigmen klorophil a, b, dan c, dan figmen carotenoid,
berdinding sel sellulosa atau tidak sellulosa, lingkungan hidup perairan, symbiotik, daratan,
catatan fosil 500 mya, 250 mya, dan siklus hidup pergantian generasi bervariasi
Tiga dasar utama perbedaan alga dengan tumbuhan eukaryot lainnya. 1). Struktur
tubuh: Alga tidak memiliki spesialisasi untuk organ akar, batang dan daun (tidak
berpembuluh), potosynthethic porsi alga adalag thallus dan melekat pada medium tumbuhnya
dengan bulu-bulu serupa rhizoid. Alga dimasukkan ke dalam group thallophyta. Tumbuhan
tinggi memiliki sistem pembuluh (Tracheophyta). 2). Embryo: Untuk sebagian besar alga,
sperma dan telur begabung di dalam air dan zigot berkembang menjadi alga baru tanpa
pelindung. Tumbuhan tinggi, zigot didalam embryo terlindung dalam tubuh induknya
(embryophyta). 3). Struktur reproduksi: Gamet-gamet dihasilkan di dalam satu sel, tanpa ada
sel steril sebagai selubung gamet.
2

3. Ekologi Alga
Alga dapat ditemukan dimana saja di bumi. Jelasnya, dimana ada sinar yang
memungkinkan terjadinya fotosinthesis disana bisa dijumpai alga.
a. Tumbuh pada banyak tempat: (1) Semua lingkungan laut, (2) Lingkungan air tawar, (3)
Tanah, (4) Batuan (organisme cryptoendolithic), (5) Kulit kayu, (6) Udara (awan), (7) Debu
yang berterbangan
b. Symbiosis: (1) Lichen, (2) Beberapa tumbuh sebagai penghasil makanan endosymbiont
pada: protozoa, spong, karang, siput laut (sea slugs) dan sebagainya
c. Produser utama pada banyak habitat perairan: (1) Khususnya di samudera (lautan), (2)
Menghasilkan semua makanan untuk ekosistem, (3) Semua organisme lainnya bertumpu
pada alga.
Kehidupan di perairan air laut masih dapat dijumpai pada kedalaman 2000 meter di
bawah permukaan air. “Antartic” merupakan tempat yang sempurna untuk mempelajari
“marine science”. Konsentrasi alga mencapai 1000 kali lebih tinggi pada daerah dekat
permukaan es dibanding dengan daerah di kolom air di bawah es. Teori oceanography pertama
kali diperkenalkan pada tahun 1873.
Faktor yang mempunyai pengaruh sangat berarti terhadap laut adalah temperatur
(perbedaan suhu), revolusi dan angin. Revolusi dapat dimengerti karena sesungguhnya
kehirupan organisme itu bersifat dinamis, selalu berubah silih berganti.

a. Angin
Merupakan faktor besar terhadap kestabilan perairan laut. Bumi menerima energi
panas Matahari sehingga terjadi perbedaan panas pada permukaan bumi yang selanjutnya
menyebabkan angin berhembus dari daerah beriklim panas (tropik misalnya) ke daerah
beriklim dingin (kutub).
Pergerakan angin ini menyebabkan terjadi arus. Arah arus umumnya sejalan dengan
arah angin, kecuali arus yang terjadi karena perbedaan tekanan akibat perbedaan suhu. Air dari
Anthartic yang dingin dan kaya oksigen bergerak kebawah keberbagai wilayah samudera. Air
ini sangat essensial bagi kehidupan organisme di laut. Akan tetapi, terjadinya panas global
menyebabkan kandungan oksigen air tersebut menjadi berkurang yang selanjutnya akan
berpengaruh sangat serius bagi kehidupan laut. Akibat serius tersebut akan semakin menjadi
dari waktu ke waktu. Oleh karena itu diperkirakan 200-300 tahun yang akan datang, mungkin
akan tidak ada kehidupan lagi di laut atau paling tidak kehidupan akan sangat sulit dan
menjadi sangat kecil jumlahnya.

b. Temperatur
Temperatur bervariasi karena kedalaman dan musim. Pada zona campuran, temperatur
lebih panas terutama disebabkan oleh radiasi sinar Matahari secara langsung. Temperatur
untuk pertumbuhan maksimum juga bervariasi antara satu spesies dengan spesies lainnya.
Temperatur berngaruh terhadap kommunitas fitoplankton. Fitoplankton memerlukan
temperatur lebih tinggi untuk pertumbuhan optimalnya dapa kultur daripada di alam bebas.
Temperatur juga erak kaitan dengan salinitas. Salinitas cendrung naik pada temperatur tinggi
(musim panas), penguapan besar. Sel-sel spesies alga daerah tropik lebih berornamentasi
disamping karena beradaptasi dengan habitat perairan yang bersalinitas tinggi, juga mereka
hidup pada temperatur air yang lebih panas.
3

4. Suksesi Spesies Fitoplankton


Merupakan perubahan spesies fitoplankton di dalam sebauh habitat perairan.
Berhubungan erat dengan faktor fisika, faktor kimia dan faktor biologi.

a. Faktor Fisika (temperatur)


Telah diurai secara ringkas pada pembahasan terdahulu.

b. Faktor Kimia
Lebih banyak berhubungan dengan faktor nutrisi. Alga sebagaimana dengan tumbuhan tingkat
tinggi membutuhkan makronutrien dan mikronutrien.
Crusial makronutrien meliputi Oksigen (O), Karbon (C), Nitrogen (N), fosfor (P), dan
Silikon (Si) (untuk group alga/dinophyta tertentu). Oksigen berasal dari air dan karbon berasal
dari CO2. Perbandingan oksigen dengan karbondioksida adalah 1 : 1 ketika produk
fotosyntesis adalah gula, tetapi menjadi 1 : 4 jika produk fotosyntesis adalah protein dan/atau
lemak. Nitrogen tersedia dalam empat bentuk berbeda: N2 dapat difiksasi oleh alga hijau biru,
NO3- paling melimpah di laut, NO2- sedikit memerlukan energi untuk pengolahannya baru bisa
dimanfaatkan, dan NH4+ (sama halnya dengan NO2- ). Fosfor tersedia dalam bentuk yang
paling utama adalah “phosphate” (PO4), keberadaannya bergantung pada musim dan
kedalaman. Silikon, tersedia dalam bentuk SiO4- (“silicate”). Ketersediaan elemen ini juga
dipengaruhi oleh musim dan kedalaman.
Mikro (minor)-nutrien meliputi Fe, Mn, Mg, Cu, Zn, Mo, termasuk vitamin misalnya
B1, dan B12. Setidaknya fitoplankton memerlukan 10 jenis nutrien.

No. Group alga Memerlukan Mengeluarkan


1. Diatom berkoloni kecil B12 Thiamin dan biotin
2. Crysophyta Thiamin dan biotin B12
3. Dinoflagellata musim panas B12 Thiamin dan biotin
4. Crysophyta musim gugur Thiamin dan biotin B12
5. Diatom musim gugur B12 Thiamin dan biotin

Keberadaan nutrien-nutrien ini juga ditentukan oleh tingkat “eutrophication”


(eutropikasi). Eutropikasi itu sendiri sangat erat kaitannya dengan sosial budaya aktivitas
manusia di daratan. Aktivitas manusia yang besar pengaruhnya tehadap terjadinya proses
eutropikasi ini adalah pertanian, penebangan hutan dan pembukaan lahan baru, pembuangan
limbah keluarga maupun industri ke sistem perairan dan budidaya perikanan. Aktivitas
manusia di daratan dapat menyebabkan kayanya air dataran (“runoff”) yang masuk ke
ekosistem perairan dengan bahan pupuk, humus dan bahan organik lainnya. Demikian juga
dengan pembuangan limbah dapat secara langsung memperkaya ekosistem perairan. Yang
tidak kalah besar pengaruhnya bagi kehidupan perairan (terutama alga) adalah terjadinya
pendangkalan. Daerah yang dangkal dan kaya dengan nutrien merupakan habitat yang sangat
potensial mendukung pertumbuhan populasi alga yang melimpah, sehingga kondisi “bloom”
tidak bisa dihindari lagi. Oleh karena itu apa yang dikenal dengan “red tide” sekarang ini telah
banyak dilaporkan terjadi dimana-mana diseluruh dunia.
4

c. Faktor Biologi
Suksesi fitoplankton berhubungan dengan faktor biologi lebih bersifat perubahan bentuk
Adaptasi terhadap lingkungan biologisnya. 1) Simbion, satu dinoflagellata dapat mengubah
statusnya dari heterotrop ke autotrop jika bersimbisosis dengan group alga lainnya yang
berklorogil. 2) Parasitisme, misalnya spesies Copepod hanya memakan spesies alga tertentu
(makan secara selektif). 3) “Niche hyperspace” dan r dan K strategi. Keduanya merupakan
faktor penting dalam menentukan komposisi kommunitas fitoplankton. Spesies r, biasanya
kecil-kecil, tumbuh sangat cepat dan sangat effesien dalam hal nutrien. Spesies K, sebaliknya
besar-besar, pertumbuhannya sangat lambat tapi cukup effesien dalam hal energi dan cahaya.

d. Adaptasi Cahaya
Dapat dengan jelas dilihat dari warna makroalga (seaweed). Dikenal tiga bentuk
adaptasi cahaya oleh kommunitas alga: 1) Adapatasi “Chromatic”, speseies berbeda
berdasarkan responnya terhadap perbedaan warna cahaya. Hijau – Coklat – Merah. 2) Pigmen
larut dalam air, sebagai tambahan adaptasi chromatic. Cahaya hijau menyebabkan lebih
banyak pigmen warna merah, sebaliknya cahaya merah menyebabkan lebih banyak pigmen
berwarna biru. 3) Melipatgandakan pigmen sama, misalnya alga jari manusia mati (Death man
fingger algae) berwarna hitam karena menyerap semua jenis cahaya untuk dapat bertahan
hidup pada kedalaman yang sangat limit dengan qualitas dan quantitas cahaya.

5. Reproduksi
Pengetahuan tentang reproduski alga masih belum lengkap dan sebagian besar terfokus
terbatas pada tiga divisio yaitu Rhodophyta, Phaeophyta dan Chlorophyta. Lainnya sangat
terbatas pada spesies tertentu, genus dan family.
Reproduksi aseksual umumnya terjadi pada konsisi baik/menguntungkan untuk
pertumbuhan dan seksual umumnya terjadi pada kondisi lingkungan kurang menguntungkan.
Model reproduksi seksual seperi ini bertolak belakang dengan seperti yang terjadi pada
organisme lain, khususnya manusia.

a. Aseksual
Dapat terjadi dengan banyak cara. Bentuk reproduksi aseksaul paling sederhana adalah
pembelahan biner seperti yang terjadi pada Euglena. Bentuk pembelahan yang sedikit lebih
kompleks dari sekedar pembelahan dari satu individu menjadi dua individu baru (biner) adalah
yang dialami oleh umumnya diatom. Perpisahan dua teka diatom karena pembelahan diikuti
dengan pembentukan dinding sel baru pada masing-masing teka yang lepas. Dengan cara ini,
sel baru yang menerima dinding sel yang lebih kecil akan menjadi lebih kecil dari induknya.
Jika ukuran sel terkecil sudah tercapai, sel tersebut berhenti melakukan pembelahan dan
cendrung mengadakan perkawinan (reproduksi seksual) untuk mencapai ukuran sel normal
kembali seperti induknya. Pembelahan (reproduksi aseksual) diatom dapat berlangsung lebih
dari 5 tahun.
Bentuk lain dari reproduksi aseksual alga adalah fragmentasi sederhana seperti yang
terjadi pada filamentous alga. Misalnya spesies Cyanophyta, Oscilatoria. Posisi dimana
fragmentasi akan terjadi ditandai oleh sebuah sel mati. Perpisahan kedua bagian filamen yang
dibatasi oleh sel mati tersebut menghasilkan filamen yang lebih pendek. Pada spesies lain,
memodifikasi sel somatisnya dengan penebalan dinding sel yang kemudian berubah bentuk
dan fungsi sebagai “resting spores” yang dapat tetap hidup dan dalam kondisi dorman bahkan
sampai sel-sel somatis lainnya telah mati.
5

Spora aseksual terdiri dari dua: 1) Mitospora, senantiasa terbentuk melalui proses
mitosis, 2) meiospora, terjadi melalui meiosis dan merupakan salah satu tahap reproduski
seksual (akan dibahas lebih luas).
Mitospora, karena dihasilkan oleh satu induk, maka satu sama lain termasuk dengan
induknya adalah sama secara genetik. Populasi yang terbentuk dengan genetik sama kemudian
disebut “Clone”. Sel khusus yang menghasilkan mitospora disebut sporangia. Mitospora yang
dapat bergerak bebas disebut zoospora dan yang sebaliknya disebut aplonospora. Jumlah spora
yang terbentuk tergantung spesiesnya, tetapi biasanya 16 sampai 64 spora, yang sebagian
besar berbentuk seperti buah pear atau jambu dan/atau bulat. Mitospora yang bergerak
mempunyai flagella 2 atau 4 atau banyak juga tergantung spesiesnya. Pergerakan dan periode
aktifnya dipengaruhi oleh cahaya. Setelah periode aktifnya habis, mereka mengendap dan
menetap di dasar habitatnya (kolam, atau kultur dsb) dan flagellanya hilang yang kemudian
diikuti dengan pembelahan sel dan berkembang menjadi talus baru.
b. Seksual
Perkembangbiakan secara seksual bertanggung jawab terhadap variasi individu
didalam sebuah populasi. Semua individu dalam populasi berbeda genetiknya termasuk
dengan induknya. Generasi seksual cendrung lebih adaptif terhadap kondisi lingkungannya
dibanding dengan generasi aseksual.
Reproduksi seksual diketahui sebagai peleburan gamet (setiap adalah gamet haploid).
Sebuah sel yang terbentuk dari hasil peleburan gamet adalah zigot yang diploid (2n
kromomosom). Dengan pembelahan sel, zigot berkembang menjadi organisme diploid yang
disebut “generasi sporofit". Pada generasi sporofit inilah kemudian dihasilkan meiospora
haploid (n kromosom) melalui meiosis. Meiosis terjadi pada sel yang berbeda dengan pada
siklus seksual yang kemudian disebut “meiocytes”, (meiosit).
Seperti halnya mitospora, meiospora juga ada yang bergerak (mobil) dan ada yang
tidak bisa bergerak (immobil). Baik yang bergerak maupun yang tidak akan berkecambah jika
kondisi lingkungan menguntungkan (sesuai) yang kemudian berkembang menjadi individu
baru yang disebut “generasi gametofit”. Gametofit memproduksi sel-sel seksual (gamet) pada
sel gametangia. Pada sebauh dametangia dapat terbentuk 16 sampai 32 sel secara mitosis.
Pada alga uniseluller, seperti alga hijau bergerak, Chlamidomonas, sel-sel tersebut adalah
secara nyata seperti sel-sel vegetatif (induknya), tetapi relatif lebih kecil. Demikian juga
dengan yang terjadi pada beberapa “filamentous alga” (alga benang), mislanya Ulothrix.
Sebuah sel vegetatif dapat menghasilkan 8 sampai 64 sel-sel berflagella, yang terbentuk pada
sporangium. Ketika 8 sel sudah terbentuk, mereka beraksi sebagai spora yang bergerak
(zoospora) yang berkecambah langsung menjadi individu baru yang haploid pada tubuh
gametofitnya. Akan tetapi ketika jumlahnya semakin banyak, mereka cendrung berkelakuan
seperti gamet yang kemudian bersatu/bergabung sepasang-sepasang membentuk sel-sel
diploid (zigot).
Gamet-gamet Chlamidomonas dan Ulothrix, adalah sama persis antara satu dengan
lainnya maka disebut isogamet. Peleburan isogamet disebut isogamy. Oleh karena itu
Chlamidomonas dan Ulothrix disebut organisme isogamous. Pada spesies lain, gamet-gamet
berbeda ukurannya, yang satu lebih kecil dari yang lainnya. Gamet seperti ini disebut
anisogamet (heterogamet), yang peleburannya disebut anisogamy atau heterogamy. Spesies
penghasil anisogamet kemudian disebut anisogamous. Spesies yang menghasilkan gamet yang
bukan saja berbeda ukurannya tetapi juga berbeda derajat/tingkat pergerakannya dan
dihasilkan oleh gametangium yang berbega juga. Sel-sel gamet yang banyak, kecil dan
bergerak (sperma) diproduksi pada tipe gametangium yang disebut antheridium. Selanjutnya,
6

sel-sel gamet yang jumlahnya terbatas, lebih besar dan tidak bergerak (telur) diproduksi pada
oogonium. Peristiwa bersatunya gamet seperti ini disebut oogamy yang dijumpai pada
makroalga misalnya: Laminaria, Fucus dan Polysiphonia. Berbeda lagi dengan reproduksi
seksualnya Spirogyra. Perkembangbiakan seksual Spirogyra diawali oleh persinggungan
antara dua dinding sel filamen yang berdekatan. Pelekatan dua dinding dilanjutkan dengan
bersatunya isi sel ke salah satu sel. Hasil peleburan isi sel tersebut adalah zygospora.
Zygospora selanjutnya akan berkecambah dan berkembang menjadi individu baru. Kedua
Spirogyra induk, baik yang menerima maupun yang memberi isi sel secara langsung juga
melakukan reproduksi aseksual melalui fragmentasi sel.
a). Meiosis: (1) Pengurangan inti pembelahan (perubahan dari diploid (2n) menjadi haploid (n)
atau dua copy materi genetik menjadi satu copy. (2) Khromosom: (a). Disortir kembali, (b)
diseleksi secrara rendom, (c) Persilangan dapat terjadi, (d) Keduanya mempunyai kombinasi
baru untuk karakteristik genetik (genotypes), (e) Mungking mengarah ke kombinasi baru
daripada karakteristik fisik (phenotypes), (f) Mungkin mempengaruhi ketahanan organisme-
seleksi alam. (3) Mulai dengan satu sel, berakhir dengan empat sel: (a) Sel-sel induk: diploid
(2n), dua copy materi genetik identik dengan sel-sel lain di dalam tubuh, (b) Sel-sel baru
(anakan): Haploid (n) yang mungkin mengandung kombinasi genetik baru, dan berbeda dari
sel induk, serta tidak semua sama b). Reproduksi mirip/sama dengan reproduksi hewan
c). Reproduksi mirip/sama dengan reproduksi tumbuhan

6. Klasifikasi
Sebagian besar berdasarkan warna (figmen fotosintetik), materi cadangan dan
flagella dinding sel.
Alga merupakan group tumbuhan yang sangat heterogen. Satu yang paling mendasar
perbedaan antara group alga adalah struktur khloroplasnya. Alga hijau dan merah mempunyai
plastida sederhana dengan dua membran luar sementara group lain alga mempunyai plastida
komplek dengan tiga atau lebih membran penghubung.

a. Divisi Bacillariophyta (diatom)


Lebih mudah dikenal dengan Diatom (bahasa Greeck, di = dua; tom = potong). Diatom
berwarna coklat keemasan karena banyak mengandung senyawa “fucoxanthin” (Raven et al.,
1992). Bacillaria (bacil = batangan), telah dibicarakan sejak tahun 1786. Divisio
Bacillariophyta, kelas Bacillariophyceae terdiri dari dua ordo, lima subordo, 21 family
(Simonsen, 1979; Ross, 1982) dan 5500 sampai 10.000 spesies (Hostetter dan Stoemer, 1971).
Simetri sel diatom anggota ordo centrales dan fennales dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah
ini.
7

Ordo centrales

Ordo pennales

Gambar 1. Perbandingan simetri valve sel diatom ordo centrales dan pennales

Diatom termasuk organisme eukaryot sejati. Setiap sel diatom telah secara nyata
memiliki nukleus, thylakoid band, girdle thylakoid, kloroplas dengan dua membran dan juga
endoplasmik retikulum (ER).
Kedua ordo yang dimaksud adalah centrales dan fennales. Ordo centrales terdiri dari
satu subordo, Discineae dan satu family, Coscinodisceae. Contoh-contohnya adalah Melosira,
Cyclotella, Stephanodiscus, Skeletonema, Thalassiosira, Rhizosolenia, dsb.
Ordo fennales memiliki 4 subordo yaitu Araphidineae, Raphidineae, Monoraphidineae
dan Birophidineae. Subordo Araphidineae salah satu familynya yang paling terkenal adalah
Fragillariaceae dengan contoh-contohnya adalah Fragillaria, Synedra, Tabellaria,
Asterionella dan Diatoma. Subordo Raphidineae, family Eunatiaceae dengan wakil-wakilnya
adalah Eunatia dan Peronia. Subordo Monoraphidineae, family Acnanthaceae dengan contoh-
contohnya Coconeis dan Acnanthes. Subordo Birophidineae dengan 4 family populernya
adalah 1) Family Naviculaceae dengan contoh-contoh Navicula, Cyrosigma, Cymbella,
Comphoneria dan Amphora; 2) Family Epithemiaceae, contohnya Epithemia dan
Rhophalodia; 3) Family Nizschiaceae, contohnya Nitzschia, Hantzschia dan Pseudo-nitzschia;
4) Family Surriellaceae, contohnya Suriella, Camplylodis dan Cymatopleu.
Ordo Fennales bukan saja berbeda bentuk selnya dengan ordo Centrales, tetapi juga
berbeda gamet reproduksinya. Sel sperma dan sel telur diatom ordo Centrales memiliki ukuran
yang sama besar (isogamet). Sebaliknya dengan gamet (sel sperma dan sel telur) untuk diatom
ordo Fennnales sedikit berbeda ukurannya (anisogamet), sel sperma lebih kecil dibanding sel
telur. Seksual reproduksi kedua ordo diatom ini terjadi bila ukuran terkecil selnya telah
tercapai terutama sebagai akibat dari pembelahan vegetatif. Pertumbuhan diatom paling tidak
satu kali pembelahan setiap hari. Pada beberapa spesies dapat membelah sampai 5 kali sehari.
Diatom juga diklasifikasikan berdasarkan kesukaan hidup pada habitat dengan pH
yang sangat bervariasi. Berdasarkan data hasil pengamatan Hustedt selama kurun waktu 1937-
1939, dari 650 sampel yang dikoleksi dari hampir seluruh dunia, termasuk sampel yang
berasal dari Jawa, Bali dan Sumatra, Battarbee et al., (1999) menyimpulkan, bahwa diatom
dikelompokkan menjadi 5 group berdasarkan pH habitat kesukaannya yaitu: (1) Alkalibiontic,
group diatom yang menyukai habitat dengan pH lebih besar dari 7. (2) Alkaliphilous,
kelompok diatom yang menyukai habitat dengan pH sekitar 7 dengan distribusi lebih besar
pada pH diatas 7. (3) Indifferent, group diatom yang hidup normal pada kisaran pH yang sama
diatas dan dibawah pH 7. (4) Acidophilous, diatom yang hidup pada pH sekitar 7 dengan
8

distribusi lebih besar pada pH dibawah 7. (5) Acidobiontic, group diatom yang menyukai
habitat dengan pH lebih kecil dari 7 dengan distribusi optimal pada pH 5,5 atau lebih kecil.
Berbeda dengan tumbuhan secara umum, sebagian besar dinding selnya berupa silika,
karena oleh diatom mensinthesis silika jauh lebih irit (15 kali lebih irit) daripada mensinthesis
sellulose. Diatom mengakumulasikan silika dengan rasio (perbandingan) sekitar lima persen
atom. Artinya, satu atom silikon untuk 20 atom lainnya. Silikon merupakan komponen bumi
paling umum. Semua jenis hewan mengandung silikon. Hewan invertebrata mengandung
hanya 0,001 % silikon. Sedangkan satu sel diatom termasuk dinding selnya mengandung
silikon sampai 5000 kali lebih banyak.
Sebagai rumputan laut hampir semua organisme bergantung padanya. Sebagian besar
diatom menghasilkan cairan eksudat yang membuat sekelilingnya menjadi cerah sehingga
sangat mudah diamati/dilihat sekalipun dengan mikroskop biasa. Diatom pertama kali dilihat
dengan gejala hewan oleh Van Lowen Hock pada tahun 1703. Guano dan burung laut adalah
sumber terbaik diatom, mereka memakan ikan. Bentik diatom hidup di bawah permukaan
tanah yang membuat tanah menjadi berwarna coklat. Dijumpai pada pantai atau tempat-tempat
yang berpasir. Padang kapur (tanah deposit) di California sampai saat ini masih merupakan
obyek identifikasi diatom. Tidak sedikit spesies-spesies baru masih terus dilaporkan
ditemukan di daerah tersebut. Tanah deposit California tersebut kemudian dikenal dengan
“diatommeous ooze”.
Diatom berkoloni dengan umumnya berbentuk rantai. Diatom merupakan eukaryot
sejati dengan komposisi selnya: inti, kloroplas, membran kloroplas, thylakoid kloroplas dan
membran endoplasmik retikulum (ER).
Genus Pseuo-nitzschia belum dikenal sampai tahun 1977. Sekarang, pengetahuan
mengenai genus ini telah berkembang sangat pesat dan termasuk salah satu genus yang paling
banyak diteliti diseluruh dunia. Contoh-contoh genus ini termasuk paling sulit diidentifikasi
ketingkat spesies. Di perairan Lombok (Pelabuhan Lembar) diidentifikasi sebanyak 5 species
(Pseudo-nitzschia fraudulenta, P. turgidula, P. pseudodelicatissima, P. granii, dan P.
pungens) ditambah satu species yang secara morfologi sangat mirip dengan Pseudo-nitzschia
yaitu Nitzschia americana.

b. Divisi Dinophyta (dinoflagellata)


Dinos (bergerak), phton (tumbuhan), Dinophyta (tumbuhan bergerak). Divisio
Dinophyta juga dikenal dengan dinofalgellata (alga berflagella atau alga bergerak). Oleh ahli
botani lebih dikenal dengan Pyrrophyta dan oleh zoologis dikenal dengan dinofalgellata
(protozoa). Bahkan sampai sekarang masih terus terjadi perdebatan antara Botanis dengan
Zoologis, karena setengah dari mereka merupakan organisme berfotosynthesis dan setengah
lainnya tidak mampu berfotosynthesis. Struktur sel dinofalgellata secara umum seperti pada
Gambar 2 di bawah ini.
9

Gambar 2. Diagram umum struktur sel Dinophyta (dinoflagellata)

Serial endosimbiosis sangat penting artinya dalam deskripsi dinoflagellata.


Dinoflagellata yang kurang memiliki warna bersimbiosis dengan diatom, Crysophyta,
Cryptomonad dan group alga hijau lainnya. Bentuk lain hidup bersama antara dinoflagellata
adalah misalnya Zooxanthellae (dinoflagellata karang) berasosiasi dengan hewan karang
(coral reef). Bentuk simbiosis hewan karang dengan dinoflagellata ini sangat besar artinya
bagi ukuran keaslian kondisi suatu ekosistem perairan laut, termasuk qualitas air laut.
Cara mendapatkan nutrisinya dapat dengan fotosinthesis dan heterotrophic termasuk
phagotrophic, osmotrophic dan parasitic.
Secara umum dikelompokkan menjadi dua yaitu spesies yang kaya dengan selulosa
disebut armoured dan yang miskin dengan selulosa disebut anarmoured. Kelompok
dinoflagellata yang armoured antara lain: 1) Prorocentroid (Prorocentrum gracile dan
Prorocentrum micans) termasuk tidak memiliki girdle band. 2) Dinophysoid (Dinophysis
acuta, D. caudata, D. tripos, D. accuminata dan D. fortii), juga tidak bergirdle bend. 3)
Peridinoid (Peridinium spp., Protoperidinium quinquecorne, Scripsiella dengan ukuran
diameter 20 m, dan lain-lainnya), memiliki girdle band, dan lubang apicalnya selalu
berbentuk tabung, tubuh symmetri dan tidak pernah dilaporkan beracun tetapi termasuk
penyebab terjadinya “red tide” pada keadaan bloom. 4) Gonyaulacoid (Gonyaulax sp.,
Alexandrium sp.) bergirdle dengan lubang apicalnya berbentuk segitiga atau kail dan struktur
tubuh yang asymmetris. 5) Gymnodinioid (Gymnodinium catenatum), termasuk dinoflagellata
yang tidak bersellulosa dan merupakan spesies yang sangat beracun. Sering dilaporkan terjadi
bloom di Jepang sampai menyebabkan matinya ikan sampai jutaan ekor.
Inti selnya sengat besar dan secara terus menerus berisi kromosom yang besar juga
sehingga dapat dilihat dengan mikroskop biasa.
10

c. Divisi Lainnya

1). Cryprophyta
Crypton (sembunyi), phyton (tumbuhan). Cryptophyta (tumbuhan sembunyi).
Cryptomonad adalah salah satu contoh kelasnya. Cryptomonad adalah organisme yang aktif
berenang naik dan turun dalam kolom air, sehingga dapat menyebabkan warna air berubah
sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bentuk tubuhnya asymmetris, berfalgella dua dengan
masing-masing dua baris bulu-bulu halus (bulu tubular), berwarna cerah, merah atau biru, dan
dinding selnya terbuat dari bahan protein (berupa lembaran-lembaran protein). Semua spesies
Cryptomonad mempunyai dua buah nukleus, satu nukleus besar berada pada sisi bawah sel
dan satu nukleus kecil yang disebut “nucleomorphi” berada dekat bagian tengah sel atau pada
sisi atas sel. Dalam kondisi bloom dapat menimbulkan warna air yang sangat spektakuler,
misalnya merah, biru, ungu, hijau dan sebainya.

2). Crysophyta
Termasuk divisio besar “picophytoplankton”. Dua kelas yang paling umum dikenal
adalah 1) kelas Raphidophyceae, contohnya Chatonella fragile dengan ukuran diameter selnya
70-100 m mempunyai banyak kloroplas (ratusan kloroplas). Contoh lain adalah Heterosigma
sp., berukuran diameter antara 10-15 m. 2) Kelas Crysophyceae merupakan group yang
paling melimpah di lingkungan perairan air tawar. Mereka berdinding sel terbuat dari silika
seperti halnya diatom. Salah satu group dari kelas ini adalah “Silicoflagellates”. Contohnya
Mallomonas sp., berwarna coklat keemasan.

3). Haptophyta (Prymnesiophyta)


Group alga ini mempunyai flagella ketiga yang disebut “haptonema”, dan juga
mempunyai sisik terbuat dari bahan organik. Mereka makan dengan dua cara (mixotrophy)
yaitu fotosyntetik dan “pagotrophy”. Contohnya meliputi group Crysochromulina yang sudah
dikenal sekitar 150 spesies, Phaeocystis terkenal sebagai organisme membentuk koloni
berlendir, Coccolithophorids yang sisik organiknya terbuat dari kalsium karbonat (CaCO3).
Sisik-sisik organik tersebut dihasilkan oleh organel sel “Badan Golgy”. Telah dipelajari secara
mendalam oleh ahli sitologi.

4). Group Alga Hijau


Meliputi divisio Euglenophyta dan Chlorophyta. Kedua divisio ini berwarna hijau
rumput. Chlorophyta dijumpai lebih melimpah di lingkungan perairan air tawar. Kelas
Prasionphyceae dari divisio Euglenophyta mempunyai bintik mata (eye spot) sebagai sensor
fotosyntesis. Bintik mata terletak pada posisi bagian kepala dengan warna coklat sampai
merah.

5). Seaweeds (makroalga)


Phaeophyta (alga coklat) dengan genus Macrosystis termasuk alga yang terbesar
dengan ukuran panjang 30-60 meter, terutama ditemukan di daerah beriklim dingin. Walaupun
demikian mereka masih belum mempunyai akar, batang dan daun sejati.
Rhodophyta (alga merah) lebih dekat hubungannya dengan group diatom dan dinoflagellata.
Sedangkan seaweed hijau lebih jelas sebagai bagian Chlorophyta (alga hijau). Semua group
11

seaweed berbeda struktur kloroplasnya, pigmen fotosyntetiknya, zat cadangan makanannya,


dan selubung selnya. Makroalga (seaweed) bersifat indemisme, berbeda dengan mikroalga
adalah cosmopolitanisme.
Berdasarkan perbedaan warna group makroalga ini Engelman (1882) memperkenalkan
zonasi makroalga (tiga zonasi). 1) Zonasi makroagla hijau yang banyak mengandung klorofil a
dan b ditemukan tumbuh dominan di lingkungan perairan dangkal (kering bila pasang surut
dan terendam bila pasang naik). Makroagla hijau (misalnya Ulva spp. adalah sangat ekstrim
tinggi daya toleransinya terhadap pollusi. 2) Zonasi makroalga coklat mengandung klorofil a
dan c dan pigmen “fucoxanthin” ditemukan tumbuh dominan pada zonasi setelah zonasi
makroalga hijau (senantiasa terendam air). 3) Makroalga merah tumbuh mendominasi zonasi
yang lebih dalam. Group alga ini mengandung klorofil a dan pigmen “biliprotein”.
Ada beberapa faktor yang menentukan zonasi makroalga ini seperti cahaya Matahari
(kedalaman), aksi gelombang, substrat tumbuh dan „grazing‟ (herbivora). Qualitas dan
intensitas sinar Matahari adalah faktor utama terjadinya zonasi tersebut. Cahaya Matahari
merupakan faktor yang paling penting bagi kommunitas alga.
Qualitas cahaya Matahari hilang sangat banyak bahkan pada kedalaman 1 cm di bawah
permukaan air. Intensitas cahaya Matahari hilang 50 % pada kedalaman 1 m. Kedalaman 1 %
cahaya dikenal dengan zona photic/euphotic (zona cahaya) adalah juga disebut zona
fotosyntesis. Pada daerah yang berkarang (qualitas air sangat baik/jernih) kedalaman zona
fotosyntesis tersebut dapat mencapai 200 m. Kedalaman penetrasi cahaya Matahari ke dalam
kolom air tergantung pada warna cahaya. Dapat dilihat pada warna makroalga (seaweed).
Sebagian besar makroalga yang tumbuh di dekat daratan berwarna hijau dan bagi yang
tumbuh pada daerah yang semakin dalam cendrung berwarna coklat atau merah. Kedalaman
penetrasi cahaya dapat ditentukan dengan alat “Secchi disc”. Kedalaman dimana cahaya tidak
tampak lagi disebut kedalaman “Secchi disc”.
Cahaya tampak dengan panjang gelombang () 400-700 nm. Mata manusia mampu
menangkap cahaya dengan  555 nm. Cahaya dengan panjang gelombang () 280-320 nm
adalah UV-B (ultraviolet B) sangat bersifat merusak, dan cahaya dengan panjang gelombang
() 320-400 nm (UV-A) kurang berbahaya dibanding UV-B. Cahaya dengan panjang
gelombang di atas ultraviolet adalah cahaya biru ( = 450 nm), selanjtunya cahaya hijau ( =
550 nm), cahaya merah ( = 600 nm), kemudian cahaya infrared (IR). Air bersifat melepaskan
cahaya panjang gelombang merah. Warna kolom air banyak ditentukan oleh qualitas air itu
sendiri. Sedangkan alga melepaskan cahaya panjang gelombang hijau. Ini dapat dimengerti
karena sebagian besar alga mempunyai klorofil a.

d. Ringkasan Divisi Alga

1). Divisi Chrysophyta


Memiliki klorofil a, b, c dan karotenoid termasuk fucoxanthin. Cadangan makanannya
berupa karbohidrat chrysolaminarin. Tidak berdinding sel atau terdiri dari sellulose dengan
sisik silika. Ada sekitar 6650 spesies yang masih hidup.
a. Klas Chrysophyceae (alga keemasan), sebagian besar merupakan organisme bersel
tunggal. Meliputi sekitar 500 spesies.
b. Klas Xanthophyceae (alga hijau kuning), umumnya bersel tunggal, tak bergerak, dan
berklorofil a dan c, tetapi tidak memiliki fucoxabthin. Ada sekitar 550 spesies.
12

c. Klas Bacillariophyceae (diatom), group Chrysophyta yang berscangkang (bershell)


silika dobel. Diatom berklorofil a dan c serta memiliki fucoxanthin. Yang masih hidup
sekitar 5600 spesies. Sejumlah lebih besar lagi telah punah.

2). Divisi Pyrrophyta (Dinoflagellata)


Dikenal juga dengan divisio Dinophyta. Group alga ini memiliki klorofil a dan c dan
karotenoid. Cadangan makanannya berupa zat tepung (amilum). Berdinding sel yang terdiri
dari selllulosa. Meliputi lebih dari 1100 spesies yang sebagian besar berflagella dua.

3). Divisi Euglenophyta


Sekitar sepertiga dari 40 genus yang diperkirakan memiliki kloroplast, dengan klorofil
a dan c dan karotenoid. Sisanya bersifat heterotropik dan besar kemungkinan merupakan
anggota dari phylum Zoomastigina. Cadangan makanan mereka berupa paramylon
(karbohidrat tak seperti biasanya). Biasanya mereka memiliki satu flagellum dan sebuah
kontraktil vakuola. Ada lebih dari 800 spesies yang sebagian besar hidup pada air tawar.

4). Divisi Rhodophyta (alga merah)


Utamanya adalah alga laut dan berklorofil a dan phycobilin. Karbohidrat cadangan
makannya adalah zat tepung (amilum). Dinding selnya tersusun atas sellulosa dan kalsium
karbonat. Meliputi lebih dari 4000 spesies.

5). Divisi Phaeophyta (alga coklat)


Alga ini bersel banyak (multiselluler), berklorofil a dan c dan berfucoxanthin.
Karbohidrat cadangan makannya berupa “laminarin”, berinding sel sellulosa dan asam alginat
dalam matrik dinding selnya. Sebagian besar alga coklat merupakan anggota dari ordo
Laminariales. Ada sekitar 1500 spesies.

6). Divisi Chlorophyta (alga hijau)


Uniselluler atau multiselluler. Memiliki klorofil a dan b dan bermacam variasi karotenoid.
Cadangan makannya berupa zat tepung (amilum) yang tersimpan di dalam plastida. Dinding
selnya terbentuk dari polysakarida, kadang-kadang sellulosa. Ada sekitar 7000 spesies yang
telah diketahui.
a. Klas Charophyceae, Uniselluler, berkoloni dalam jumlah sel terbatas, dan berupa
filamen (alga benang). Sel-sel bergerak memiliki dua flagella. Dominan hidup di air
tawar.
b. Klas Ulvophyceae, sel-sel yang bergerak memiliki dua, empatatau banyak flagella.
Umumnya dominan hidup di laut.
c. Klas Chlorophyceae, sel-sel beregeraknya berflagella dua, empat atau banyak.
Dominan terjadi pada air tawar. (Sumber: Raven et al., Biology of Plants, 1992).

7. Manfaat Alga
Peranan alga dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu peranan ekologis dan
peranan ekonomis.

a. Nilai Ekologis
13

1). Bahan Makanan


Nilai ekologis utama alga adalah sebagai bahan makanan (dasar utama rantai makanan)
di ekosistem perairan. Semua organisme perairan dan sebagian besar organisme lainnya
bertumpu pada alga. Alga mempunyai arti yang sangat besar bagi kesinambungan rantai
makanan di ekosistem perairan (Harder et al., 1995). Alga menjadi besar peranannya dalam
pemenuhan bahan makanan tersebut, karena sebagai organisme berfotosintesis mereka
mempunyai kemampuan mengubah senyawa anorganik dengan bantuan energi matahari
menjadi energi kimia (senyawa organik) yaitu seperti dalam bentuk karbohidrat, lemak,
minyak, asam amino, protein dan senyawa organik lainnya.
Sebagai organisme berklorofil di ekosistem perairan, maka alga pada total persentase
perairan dunia yang mencapai lebih dari 70 % itu merupakan padang rumput yang sangat luar
biasa luasnya. Produktivitas bersih lautan dari fitoplankton saja adalah 32,6 x 1016 kkal.
Produktivitas sebesar ini sama besarnya dengan tiga kali produktivitas rumput daratan dunia
dan empat kali produktivitas tanaman budidaya di seluruh dunia. Sebagai dasar jaring-jaring
makanan semua organisme bertumpu padanya. Produktivitas alga ini dapat berkurang atau
bertambah tergantung pada faktor lingkungan seperti cahaya, suhu, dan nutrisi. Produktivitas
primer lautan secara umum dari fitoplankton adalah 45-50 Gegaton per abad (Gt Cyr-1),
sedangkan tumbuhan daratan sedikit lebih besar yaitu 45-68 Gegaton per abad.
Akan tetapi, pada kondisi tertentu alga juga menjadi sangat potensial berbahaya bagi
organisme perairan lainnya dan juga pada akhirnya bagi manusia. Pada kondisi tertentu
sebagai akibat dari pertumbuhan populasi alga yang sangat cepat sehingga pada puncak
pertumbuhannya jumlahnya menjadi sangat melimpah dan sangat padat konsentrasinya
(dikenal dengan istilah “blooms”) yang secara potensial dapat mengubah warna air menjadi
merah, biru, coklat dan sebagainya (populer disebut sebagai “red tides”). Kejadian seperti ini
banyak sekali dilaporkan terjadi di pantai utara India, barat daya Afrika, California selatan,
Texas, Florida, Peru dan Jepang. Faktor pemicu terjadinya blooms tersebut adalah dialaminya
hari panjang pada musim panas (summer), suhu atau temperatur, air masuk dari daratan,
pendangkalan, eutropikasi, tingginya konsentrasi nitrogen dalam bentuk nitrat (NO3) dan
phosphor dalam bentuk phosphat (PO4).
Red tides umumnya disebabkan oleh species Gymnodinium atau Gonyaulax. Keduanya
mampu menghasilkan racun yang larut dalam air dan berpotensi mempengaruhi sistem syaraf
hewan dan manusia. Racunnya 10 kali lebih efektif dari sianida. Sepanjang periode tahun
1947 diperkirakan 500 juta ikan mati di perairan Florida.
Akhir-akhirnya ini, keadaan blooms alga di beberapa tempat di belahan bumi telah
diadopsi sebagai pertunjukan untuk touris (pariwisata). Karena dalam kondisi seperti itu sudah
tentu banyak spesies berbahaya (beracun) yang muncul maka cukup mengganggu aktivitas
wisata lainnya seperti berenang.

2). Penghasil gas dan uap air


Selanjutnya dalam aktivitas fotosintesis mereka menghasilkan gas oksigen (O2) dan air
(H2O) dalam bentuk uap air. Oksigen yang dihasilkan selanjutnya sangat penting untuk
pembentukan air dan atmosfere bumi. Kedua jenis produk sampingan ini mempunyai arti yang
sangat penting bagi atmosfere bumi. Perubahan iklim secara global dilaporkan disuport oleh
aktivitas alga, misalnya dengan produksi O2nya yang kemudian membentuk awan.
Fitoplankton laut juga merupakan penyerap utama gas karbon dioksida (CO2)
atmosfere (Harder et al., 1995). Harder (1996) lebih lanjut juga menyimpulkan, bahwa lautan
mempunyai peranan kunci dalam kaitannya dengan panas global (“global warming”).
14

3). Biologi kontrol


Khususnya diatom merupakan indikator tingkat polusi lingkungan perairan semenjak
ditemukan pertumbuhannya terhambat karena polusi (Vinyard, 1979). Dengan kata lain,
diatom umumnya dipergunakan sebagai indikator biologi untuk memonitor kualitas air.

4). Simbion
Telah umum dikenal, bahwa beberapa sepesies alga tertentu mempunyai kemampuan
untuk hidup berdampingan bersama dengan organisme lain. Misalnya Zooxantellae dengan
hewan karang, Annabaena dan cyanophyceae lainnya dengan Azolla, dan beberapa jenis
lainnya dengan jamur. Simbiosis alga tertentu dengan jamur menghasilkan bentuk baru yang
lebih dikenal dengan likenes. Dalam bentuk likenes, kedua organisme yang hidup bersama-
sama saling menguntungkan satu sama lainnya dan masing-masing organisme menjadi lebih
tahan misalnya terhadap situasi kekeringan.

5). “Blooming” dan “Red Tides”


Beberapa species uniseluler fitoplankton pada kondisi tertentu pertumbuhan
populasinya sangat cepat sekali sehingga konsentrasi sel-selnya cukup tinggi untuk mengubah
warna air menjadi merah, biru, coklat, oranye dan sebagainya. Keadaan seperti ini disebut
“bloom”. Bloom fitoplankton banyak dilaporkan terjadi di pantai barat daya India, pantai barat
daya Afrika, California selatan, Texas, Florida, Peru dan Japang. Keadaan bloom dapat dipicu
oleh hari panjang, pendangkalan habitat, cuaca panas, air masukan dari daratan (runoff) dan
tingginya konsentrasi nitrogen dan phosphor.
“Red tides” umumnya disebabkan oleh spesies Gymnodinium atau Ganyaulax.
Keduanya dapat memperoduksi recun yang larut dalam air dan berpotensi mempengaruhi
sistem syaraf hewan dan manusia. Racunnya bisa 10 kali lebih efektif dari sianida. Selama
periode tahun 1947 diperkirakan 500 juta ikan terbunuh di Florida karena bloom kedua spesies
dinophyta ini.
Efek fatal tidak beracun dari diatom adalah dengan memproduksi sejenis senyawa
penghambat yang efeknya mirip dengan inhibitor “colchicine”. Ekstrak diatom dilaporkan
dapat secara efektif memblok perkembangan embrio Copepods (Copepoda) (Ianora et al.,
1995). 5-10 unit konsentrasi ekstrak centrik diatom Thalassiosira rotula dapat menghambat
secara total pembelahan sel pertama zygot sea urchin (bulu babi) dan secara positif
menghambat polimerisasi mikrotule pada umur zygot 15 menit (Buttino et al., 1999).

b. Nilai Ekonomis
Dalam bentuk segar, misalnya Ulva dapat dimakan sebagai sayuran hijau dan beberapa
jenis dari kelas Rhodophyceae dapat dimakan langsung dalam bentuk rebusan. Nilai ekonomis
alga digolongkan menjadi tiga bentuk utama yaitu algenate, agar, dan carrageenan.
(1). Sebagai bahan makanan (agar dan carageenan) (2). Polymer, digunakan sebagai
emulsifiers (penggumpal), sebagai bahan pelembut pada pembuatan es cream (3). Diatom,
sebagai pembersih abrasive (4). Dasar rantai makanan di perairan (5). Bahan pupuk (6). Bahan
pelarut industri makanan (7). Pakaian bedah (8). Media tumbuh mikroorganisme (9). Rambu-
rambu jalan (diatom) (10). Filter kolam renang (diatom)
15

160 species yang sebagian besar dari tiga genus (Porphyra, Laminaria dan Undaria)
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Undaria misalnya dikenal sangat efektif memperlancar
penyerapan kalsium dari usus yang sangat penting untuk pertumbuhan tulang.

1). Alginat
Macrocystis pyrifera (USA), Ascophyllum nodosum, Laminaria cloustoni dan L.
digitata (UK), L. digitata (Norwegia) bersama dengan Ecklonia dan Durvillaea dikenal
sebagai penghasil alginate (polysaccharide seperti gel). Orang-orang Indian mengklaim,
Macrocystis mempunyai berat sampai beberapa ratus kg. Industri asam alginic dimulai di
Jepang sejak tahun 1923. Sekarang Cina membudidayakan Laminaria untuk phycocolloids.
Pada industri makanan, alga dan produk alga dipergunakan sebagai bahan pelapis (penebal),
bahan emulsifiers, bahan penstabil coloid (penyetop pembentukan kristal es pada pembuatan
es creams, dan pada pembuatan keju), bahan suspensi, penjernih bir, penstabil (busa, sauces,
soups, roti, bir) filter pada pembuatandan penstabil manisan, alginate bahan metal, pembuatan
makanan artifisial (buatan), bahan pengawet temporer daging dan ikan di daerah tropik.

2). Agar-agar
Pertama kali ditemukan kegunaannya oleh Frau Franny Eilshemius (istri sorang ahli
fisika, Robert Koch). Kemudian, Jepang sendiri telah memperkenalkannya sejak tahun 1658
sebagai kanten (artinya langit dingin), karena secara tradisional diproduksi selama musim
dingin. Agar-agar diproduksi dari alga merah (misanya: Gelidium amansii, Chondrus crispus,
Mastocarpus stellata, Gelidium pulchellum, G. latifolium, G. cartillagineum, G. arborescens,
G. nudifrons, Ahnfeltia plicata, Phyllophora nervosa, Frucillaria fastigiata, Pterocladia dan
Acanthopeltis). Sampai sekarang sumber yang paling umum adalah Gelidium spp.

3). Carrageenan
Carrageenan telah lama dikenal sebagai jelly, desserts dan pudding. Karena memiliki
titik didih yang tinggi, maka sangat berguna pada pembuatan desserts (pencuci mulut) di
daerah beriklim panas. Digunakan juga sebagai bahan pengikat pada pasta gigi dan membuat
gigi berkilau/mengkilat dan sebagai bahan pada industri kulit.
Dapat juga digunakan sebagai bahan cat yang dapat mempertahankan warna/figmen pada
rentang temperatur yang luas. Sebagai bahan pengisi kertas, industri perlasan, bahan plastik,
bahan penambal gigi, sebagai bahan boreh, bahan dasar cosmetika, bahan diagnostik dan
penelitian, medium mikroorganisme (mikrobiologi), biokimistri, bahan elektophoresis dan
sebagai fiber untuk meningkatkan kualitas suara speaker (audio speakers). Dalam bentuk fosil
diatom digunakan sebagai filter larutan gula kaleng.

4). Obat-obatan
Phycocoloids yang dihasilkan oleh alga dimanfaatkan untuk bahan medik, meliputi
bahan pengikat obat-obatan, pemberantas parasit, perangsang penguapan kalsium dalam usus
yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tulang. Ekstrak dari Sargassum sp., Codium
pugniformis, Laminaria japonica dan Spirulina dikenal cukup ampuh menghambat
pertumbuhan kanker mulut. Phycocyanin juga dikenal sebagai anti tumor dan menambah
sistem kekebalan tubuh. Sterol pada Spirulina, Chlorella dan Scenedesmus adalah rendah
kolesterol, maka ekstrak dari jenis alga ini dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kolesterol.
Laminaria japonica juga tercatat untuk mencegah hipertensi (diduga efeknya berhubungan
dengan iodium). Disamping itu masih dikenal juga “brominated phenolic”, anti bakteri
16

diekstrak dari Rhodomela larix. Ekstrak Ascophyllum nodosum sangat efektif menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Produksi zat anti bakteri dari
jenis alga ini tertinggi pada musim semi (spring) dan mencapai titik terendah pada musim
dingin (winter).

5). Forensik
Tergantung seberapa banyak diatom tumbuh pada mayat, dapat diketahui telah berapa
lama seseorang terbunuh.

6). Architec
Ide untuk membuat design bangunan yang lebih kuat dan kokoh telah banyak diadopsi
dari struktur silika sel diatom.

c. Kandungan gizi

1). Protein
Sprirulina (alga hijau) mengandung protein tambahan sangan baik dan banyak (72 %
berat keringnya). Kandungan protein sebesar ini sebanding dengan 10 ton per acre (1 acre
sama dengan 4.050 m2) Spirulina. Dengan demikian kandungan protein Spirulina jauh lebih
besar dengan hanya 0.16 ton untuk gandum atau sapi per satuan luas yang sama (satu acre).
Spirulina telah dikenal sebagai pakan ayam yang sangat baik.

2). Vitamin
Alga kaya dengan berbagai vitamin seperti vitamin A, D, B, B12, E, riboflavin, niacin,
asam pantothenic dan asam folic (asam folat).

8. Sisi Negatif Keberadaan Alga


Racun adalah salah satu bentuk produk sekunder aktivitas fitoplankton. Ada beberapa
jenis racun, DSP, PSP dan ASP (Domoic acid). ASP (amnesic shellfish poisoning) juga
dikenal dengan nama DAP (domoic acid poisoning) dihasilkan oleh genus Pseudo-nitzschia.
DSP (diarrhetic shellfish poisoning) dan PSP (paraletic shellfish poisoning) adalah dua type
keracunan shellfish. DSPdihasilkan dinflagellata dan PSP diproduksi oleh diatom. Satu lagi
type racun yang dihasilkan oleh dinoflagellata adalah “Ciguatera”.
Mikro-flora (fitoplankton) mempunyai peranan yang sangat besar, sebagai dasar utama
jaring-jaring makanan pada ekosistem perairan (Harder et al., 1995). Namun dibalik itu, sejak
beberapa puluh tahun lalu telah banyak dilaporkan kasus-kasus akibat negatif dari kehadiran
mikro-flora ini. Misalnya, ikan mati masal sampai ratusan ton terjadi di Jepang, Kanada,
Amerika, Inggris dan New Zealand dilaporkan disebabkan oleh mikro-flora. Belum lagi kasus
keracunan sampai meninggalnya sejumlah orang di beberapa negara maju (Kanada, Amerika
Serikat, Jepang, Inggris dsb), adalah juga karena mengkonsumsi ikan yang terkontaminasi
racun organisme ini.
Pada skala global mendekati 2000 kasus keracunan manusia (15 % berakibat fatal)
karena makan ikan dan shellfish dilaporkan setiap tahun (Hallegraeff, 1999). Kasus pertama
keracunan manusia karena memakan shellfish (kerang) terkontaminasi racun alga terjadi pada
tahun 1793 di British Columbia (Hallegraeff, 1999). Kasus PSP yang terjadi di Indonesia
dilaporkan oleh Adnan (1984). Kasus serupa dilaporkan terjadi di Ambon pada tahun 1992
dengan tiga orang anak meninggal dan 33 sakit setelah memakan shellfish (Ngurah et al.,
17

1995). Suku Indian lokal menganggap suatu yang tabu mengkonsumsi kerang ketika air laut
menjadi bioluminescent akibat bloomingnya dinoflegellata (Hallegraeff, 1999).Pada awal
tahun 1993 terjadi 180 kasus sakit karena NSP terjadi di New Zaeland, menyebabkan
hilangnya $NZ 4,5 juta ditambah menurunnya permintaan domestik shellfish sampai 25 %
(Hallegreaff, 1999). Kasus keracunan “microcystin” jenis racun yang dihasilkan oleh
cyanobacteria, Microcystis aeruginosa terjadi di Armidle NSW Australia pada tahun 1981
karena jeleknya perlakuan pengolahan air minum (Falconer, 1999).
Kejadian-kejadian pahit ini telah mendorong banyak ilmuan mencurahkan
perhatiannya untuk meneliti mulai dari identifikasi spesies yang berbahaya dan beracun,
sampai kepada pola kemunculannya serta rantai efek keracunannya.
Dalam banyak laporan hasil penelitian, beberapa jenis mikro-flora dapat
membahayakan kehidupan organisme lain dengan tiga cara utama yaitu kontak fisik, efek
kimiawi, dan persaingan.

a. Kontak Fisik
Kontak fisik dengan jenis tertentu dapat mengakibatkan luka (terjadinya pendarahan)
terutama organ insang karena tertusuk duri (chaeta) dari diatom genus Bactriastrum dan
Chaetoceros. Diatom ini dapat sampai ke insang karena terbawa oleh aliran masuknya air
selama pernafasan. Dalam kondisi blooming, dimana konsentrasi sel lebih pekat, maka
semakin besar efek melukainya.

b. Kontak Kimiawi
Efek negatif secara kimiawi terjadi karena racun sebagai produk sekunder aktivitas
fisiologis mikro-flora (fitoplankton). Kelompok mikro-flora yang menghasilkan racun adalah
genus Nitzschia, Pseudo-nitzschia, Dinophysis, Gonyaulax, Microcystis, Peridinium dan
Prorocentrum sangat mematikan sifatnya. Hallegraeff (1999), menyimpulkan paling kurang
40 dari 300 spesies mikro-flora laut adalah penghasil racun yang terakumulasi pada ikan dan
kerang-kerangan, dan zat racun yang dihasilkan dapat berupa, senyawa alkaloid, polyester
sampai asam amino dan peptida. Genus Pseudo-nitzschia menghasilkan racun yang disebut
asam domoic (domoic acid) Horner et al., (1997) dan Bates et al., (1998), yang juga dikenal
dengan ASP (Horner et al., 1997). “Domoic acid” mulai diproduksi pada fase stationer dan
berlangsung sampai beberapa hari (Dauglas et al., 1997). Microcystis aeruginosa
menghasilkan microcystin yang dapat menyebabkan kerusakan hati (Falconer, 1999).
Keracunan mikro-flora meliputi PSP (paralytic shellfish poisoning), DSP (Diarrhetic
shellfish poisoning), NSP (neurotoxic shellfish poisoning), ASP (amnesic shellfish poisoning),
dan CFP (ciguatera fish poisoning). Hallegraeff (1999) menyimpulkan PSP terjadi karena
memakan bivalvia shellfish atau ikan pemakan plankton, DSP, ASP dan NSP karena memakan
shellfish, dan CFP karena memakan ikan kerang tropika. PSP dan DSP adalah dua tife
keracunan shellfish dihasilkan oleh mikro-flora kelompok dinoflagellata (Wang et al., (1993)
dan Fritz et al., (1992). Fenomena pertama DSP didokumentasikan di Jepang (Fritz et al.,
1992). Racun ini menyebabkan sakit serius dan kematian manusia di Kanada pada tahun 1987
(Bates et al., 1998).
Dinoflagellata yang bertanggung jawab terhadap DSP adalah Dinophysis fortii
(Jepang), D. acuminata (Eropah), D. acuta dan D. norvegica (Scandinavia), D. mitra, D.
rotundata dan Prorocentrum lima. Di perairan Galician, DSP dihasilkan oleh Dinophysis cf.
acuminata dan D. acuta (Reguera et al., 1993).
18

Gejala keracunan racun mikro-flora ini adalah “gastrointestine”: mual, muntah-


muntah, kejang perut, rasa sakit pada perut, pendarahan lambung, mencret; “neurological”:
pusing, lemah, lesu, mengantuk (ingin tidur), hilang ingatan, orientasi salah (disorientasi),
koma dan mati mendadak. Hallegreaff (1999) melaporkan, gejala “neurological” tidak pernah
dilaporkan ditemukan terjadi pada ikan dan kerang (shellfish). Ini mengisaratkan bahwa ikan
dan kerang lebih tahan terhadap racun mikro-flora dibandingkan manusia dan hewan lainnya.
Efek kimiawi yang ditimbulkan oleh genus Thalassiosira berbeda dengan genus-genus
penghasil zat kimia (racun) berbahaya lainnya, dimana ekstrak zat kimia Thalassiosira bukan
menyebabkan matinya organisme target secara langsung, melainkan menghambat
pertumbuhan zigotnya (zigot bulu babi). Beberapa spesies genus Prorocentrum yang memiliki
distribusi luas di dunia dilaporkan oleh Landsberg et al., (1999) mampu manghasilkan zat
perangsang tumor, asam okadaic (OA/okadaic acid). Sedangkan Microcystis aeruginosa
dengan “microcystin”nya menyebabkan kerusakan hati (Falconer, 1999).
Penampilan/kenampakan dan cita rasa makanan seafood (ikan dan kerang) tidak ada
bedanya antara yang mengandung racun dengan yang tidak beracun (normal), dan racun
tersebut tidak rusak karena dimasak atau perlakuan lainnya (Hallegraeff, 1999).

c. Persaingan
Persaingan terjadi terutama untuk mendapatkan oksigen. Sebagai tumbuhan komunitas
mikro-flora menyerap oksigen untuk oksidasi. Dalam keadaan blooming sangat potensial
menyebabkan suatu ekosistem perairan kekurangan oksigen, yang selanjutnya menyebabkan
mati lemas sejumlah hewan air, termasuk ikan.
Efek-efek negatif kehadiran mikro-flora yang diuraikan diatas, terutama sekali sanga
potensial terjadi dalam kondisi “blooming”. Keadaan “blooming” itu sendiri merupakan gejala
normal alami sebagai akibat dari berbagai bentuk aktivitas manusia. Meningkatnya kadar
nutrisi lingkungan dipengaruhi oleh air limbah domestik dan industri (Meksumpun et al.,
1995), dan aliran air dari daratan (Horner et al., 1997). Quequiner dan Trequer (1984)
menyimpulkan, bahwa tingginya kadar nutrisi dari aliran sungai merupakan faktor utama
pengontrol suksesi spesies mikro-flora (fitoplankton). Thalassiosira sp. adalah jenis diatom
yang dominan ketika rasio N/P < 16 (Riegman et al., 1993).

9. Profil Komunitas Mikro-Flora Perairan Pulau Lombok


Pada tulisan ini juga ditampilkan gambaran singkat profil komunitas mikro-flora yang
berhasil diidentifikasi di perairan Lembar Lombok. Tampilan terbatas khusus untuk beberapa
genus yang banyak dilaporkan berbahaya secara fisik maupun kimiawi. Profil terbatas ini
diharapkan dapat memberikan gambaran obyektif, bahwa beberapa kelompok mikro-flora
berbahaya ternyata secara menyakinkan keberadaannya di perairan pulau Lombok.
Japa (2000) melaporkan, dari total 178 spesies mikro-flora yang berhasil diidentifikasi,
kelompok yang potensial penghasil racun meliputi genus Amphora (2 spesies), Bactriastrum
(4 spesies), Chaetoceros (23 spesies), Nitzschia (12 spesies), Pseudo-nitzschia (6 spesies),
Thalassiosira (10 spesies), Dinophysis (5 spesies), Gonyaulax (2 spesies), Peridinium (2
spesies), dan Prorocentrum (2 spesies) secara menyakinkan keberadaannya di perairan
pelabuhan Lembar Lombok.
Kehadiran genus-genus mikro-flora ini di perairan pulau Lombok perlu diwaspadai
kemungkinan efek negatifnya. Terlebih-lebih dengan kehadiran genus Pseudo-nitzschia, group
alga yang paling berbahaya (ditakuti) di pantai barat Amerika Serikat (Horner et al., 1997).
Lima spesies (Pseudo-nitzschia fraudulenta, P. granii, P. pungens, P. pseudodelicatissima,
19

dan P. turgidula) secara menyakinkan berdomisili di perairan pelabuhan Lembar, Lombok


Nusa Tenggara Barat (Japa, 2000). Bates et al., (1989) melaporkan, bahwa P. pungens,dan P.
pseudodelicatissima disamping P. multiseries, P. asutralis, P. delicatissima, dan P. seriata
adalah spesies-spesies penghasil asam domoic (domoic acid). Keberadaan Chaetoceros
dengan 23 spesies juga patut diperhitungkan, mengingat kelompok mikro-flora ini terlah
banyak dilaporkan sebagai penyebab mati masalnya ikan karena pendarahan organ insang.
Profil terbatas mengenai komunitas mikro-flora perairan Lembar Lombok ini,
selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan kewaspadaan terutama pada musim-musim
tertentu yang dapat menjadi pemicu kedaan blooming. Keadaan blooming mikro-flora di
daerah tropika belum dilaporkan, namun karena perubahan iklim secara menyeluruh akibat
panas global, mungkin saja menjadi pemicu terjadinya blooming. Kedaan ini akan lebih
dipacu lagi dengan banyaknya bentuk aktivitas masyarakat didaratan maupun dilautan
potensial menjadi penyebabkan melimpahnya zat-zat nutrisi yang dialirkan dari areal
pertanian, selokan, kali ke badan air (laut, dam, dan danau) yang dikenal dengan istilah
eutropikasi. Eutropikasi selanjutnya sangat diyakini sebagai salah satu faktor yang berpotensi
menyebabkan bloomingnya kelompok tertentu mikro-flora sebagaimana yang banyak
dilaporkan terjadi di negara-negara lainnya. Pola aktivitas dibidang pertanian dengan sistem
intensifikasi sangat besar peluangnya menyumbangkan tambahan nutrisi yang lebih dari cukup
ke badan perairan. Tingginya kadar nutrisi lingkungan dipengaruhi oleh limah domestik dan
industri (Meksumpun et al., 1995) dan aliran dari daratan (Horner et al., 1997).

KEPUSTAKAAN
Adnan, Q., 1984, Distribution of Dinoflagellates at Jakarta Bay; Taman Jaya, Banten; and Benoa Bay,
Bali and A Report of an Accident of Fish Poisoning in Eastern Nusa Tenggara, In: A.W. White,
M. Anraku and K.K. Hooi (Editors), Toxic Red Tides and Shellfish Toxicity in Southeast Asia,
Southeast Asian Fisheries Development Center, Singapore, and International Development
Research Centre, Canada.
Allen, W.E., and E.E. Cupp, 1935, Plankton Diatoms of the Java Sea, Annales du Jardin Botanique de
Buitenzorg, 44: 101-174.
Anderson, D.M., Cembella, A.D., Hallegraeff, G.M., (Editors), The Physiological Ecology of Harmful
Algal Blooms, NATO-ASI Series Vol. G.41, Springer-Verlag, Heidelberg.
Bates, S.S., C.J. Bird, A.S.W. de Freitas, R.A. Foxall, M.W. Gilgan, L.A. Hanic, G.E. Johnson, A.W.
McCulloch, P. Odense, R. Pocklington, M.A. Quilliam, P.G. Sim, J.C. Smith, D.V. Subba Rao,
E.C.D. Todd, J.A. Walter, and J.L.C. Wright, 1989, Pennate Diatom Nitzschia pungens as the
Primary Source of Domoic Acid, a Toxin in Shellfish from Eastern Prince Edward Island,
Canada, Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 46: 1203-1215.
Bates, S.S., D.L. Garrison, and R.A. Horner, 1998, Bloom Dynamics and Physiology of Domoic-Acid
Producing Pseudo-nitzschia Species, In: The Physiological Ecology of Harmful Algal Blooms,
D.M. Anderson, A.D. Cembella and G.M. Hallegraeff (Editors), NATO-ASI Series Vol. G.41,
Springer-Verlag, Heidelberg, pp. 267-292.
Battarbee, R.W., D.F. Charles, S.S. Dixit, dan I. Renberg, 1999, In: E.F. Stoermer dan J.P. Smol
(Editors), The Diatoms: Aplications for the Environmental and Earth Sciences, Cambridge
University Press.
Belcher, J.H., and E.M.F. Swale, 1976, A Beginner’s Guide to Freshwater Algae, Institude of
Terrestrial Ecology Natural Environmental Research Council, Cambridge, London.
Chapman, V.J., 1970, Seaweeds and Their Uses, Methuen and Co.
Clayton, M.N., and King, R.J. (Editors), 1990, Biology of Marine Plants, (2nd edition), Longman
Cheshire, Pty. Ltd., Australia.
20

Cox, Eileen, J., 1996, Identification of Freshwater Diatoms from Live Material, Chapman and Hall,
London, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras.
Douglas, D.J., E.R. Kenchington, C.J. Bird, R. Pocklington, B. Bradford, and W. Silvert, 1997,
Accumulation of Domoic Acid by the Sea Scallop (Placopecten magellanicus) Fed Cultured
Cells of Toxic Pseudo-nitzschia multiseries, Canadian Journal of Fisheries Aquatic Science, 54:
907-913.
Falconer, I.A., 1999, Cyanobacterial Tozins in dringking water: Health and safety Aspects,
Microbiology Australia: Official Journal of the Australian Society for Microbiology Inc., 20(2):
6-7.
Fritz, L., M.A. Quilliam, J.L.G. Wright, A.M. Beale, and T.M. Work, 1992, An Outbreak of Domoic
Acid Poisoning Attributed to the Pinnate Diatom Pseudo-nitszchia australis, Journal of
Phycology, 28: 439-442.
Fuhrer, B., Christianson, I.G., Clayton, M.N., and Alexancer, B.M., 1981, Seaweeds of Australia,
Reed Pty Ltd., Sydney.
Hallegraeff, G.M., 1999, Algal Toxins off Our Coast, Microbiology Australia: Official Journal of the
Australian Society for Microbiology Inc., 20(2): 6-7.
Hallegraeff, G., Anderson, D.M., and Cembella, A.D., (Editors), 1995, Manual on Harmful Marine
Microalgae, IOC-UNESCO Manuals and Guides.
Harder, D.P., R.C. Worrest, H.D. Kumar, and R.C. Smith, 1995, Effects of Increased Solar Ultraviolet
Radiation on Aquatic Ecosystems, Ambio, 24(3): 174-180.
Harris, G.P., 1986, Phytoplankton Ecology, Structure, Function and Fluctuation, Chapman and Hall
Ltd., London, New York.
Horner, R.A., D.L. Garrison, and F.G. Plumley, 1997, Harmful Algal Blooms and Red Tide Problems
on the U.S. West Coast, Limnology and Oceanography, 42(5, part 2): 1076-1088.
Jan Stevenson, R., Bothwell, M.L, and Lowe, R.L., 1996, Algal Ecology Freshwater Benthic
Ecosystems, Academic Press.
Japa, L., 2000, Seasonal Succession of Phytoplankton Communities in Lombok Indonesian Coastal
Waters, with Emphasis on Species of the Diatom Genera Pseudo-nitzshia and Thalassiosira,
Thesis Program Master, Universitas Tasmania.
Landesberg, J.H., G.H. Balazs, K.A. Steidinger, D.G. Baden, T.M. Work, D.J. Russell, 1999, The
Potential Role of Natural Tumor Promouters in Marine Turtle Fibropapillomatosis, Journal of
Aquatic Animal Health, 11: 199-210.
Lassus, P., Arzul, G., E. Erard, Gentien, P., and Marcaillou, C., (Editors), 1995, Harmful Marine
Algal Blooms: Proceedings of the Sixth International Conference on Toxic Marine
Phytoplankton, October 1993, Nantes, France, Technique & Documentation-Lavoisier,
Intercept Ltd. New York.
Lebour, M.V., 1930, The Planktonic Diatoms of Northern Seas, Adlard and Son, Limited, London.
Lee, R.E., 1999, Phycology (3rd edition, in press), Cambridge University Press.
Mason, C.F., 1991, Biology of Freshwater Pollution, 2nd Edition Essex: Longman Group (FE) Ltd.
Medlin, L.K., and Priddle, J., 1990, Polar Marine Diatoms, British Antarctic Survey, Cambrodge,
London.
Meksumpun, S., S. Montani, K. Ichimi, K. Tada, S. Yoshimatsu, and T. Okaichi, 1995, Relationships
between the Biochemical Composition and the Environmental Conditions of Gymnodinium sp.
Red Tide in the Seto Inland Sea, In: Harmful Marine Algal Blooms: Proceedings of the Sixth
International Conference on Toxic Marine Phytoplankton, October 1993, Nantes, France, P.
Lassus, G. Arzul, E. Erard, P. Gentien, and C. Marcaillou (Editors), Technique &
Documentation-Lavoisier, Intercept Ltd, New York.
Michael, P., 1984, Ecology Methods for Field and Laboratory Investigations, Tata McGraw-Hill Publ.
Co. Ltd., Toronto.
21

Ngurah, N. W., T. Sidabutar, K. Matsuoka, T. Ochi, M. Kodama, and Y. Fukuyo, 1995, Notes on the
Occurrence of Pyrodinium in Eastern Indonesian Waters, In: Abstracts of Seventh International
Conference on Toxic Phytoplankton July 12-16, 1995, Sendai, Japan.
Pentecost, A., 1984, Introduction to Freshwater Algae, The Richmond Publishing Co. Ltd, England.
Queguiner, R., and P. Treguer, 1984, Studies on the Phytoplankton in the Bay of Brest (Western
Europe). Seasonal Variations in Composition, Biomass and Production in Relation to
Hydrological and Chemical Features (1981-1982), Botanica Marina, 27: 449-459.
Raven, P.H., R.F. Evert dan S.E. Eichhorn, 1992, Biology of Plants, 5th eddition, Worth Publishers
Inc., USA.
Reguera, B., J. Marino, M.J. Campos, I. Bravo, S. Fraga, and A. Carbonell, 1993, Trends in the
Occurrence of Dinophysis spp. in Galician Waters, In: Toxic Phytoplankton Blooms in the Sea,
Proceedings of the Fifth International Conference on Toxic Marine Phytoplankton, Newport,
Rhode Island, U.S.A., 28 October-1 November 1991, Smayda, T.J., and Y. Shimizu (Editors),
Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam.
Reynolds, C.S., 1984, The Ecology of Freshwater Phytoplankton, Cambridge University Press,
Cambridge, UK.
Riegman, R., A. Rowe, A.A.M. Noordeloos, and G.C. Cadee, 1993, Evidence for Eutrophication
Induced Phaeocystis sp. Blooms in the Marsdiep Area (the Netherlands), In: Toxic
Phytoplankton Blooms in the Sea, Proceedings of the Fifth International Conference on Toxic
Marine Phytoplankton, Newport, Rhode Island, U.S.A., 28 October-1 November 1991, Smayda,
T.J., and Y. Shimizu (Editors), Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam.
Round, F.E., R.M. Crawford, dan H. Simola, 1990, The Diatom: Biology and Morphology of the
Genera, Cambriage University Press, Cambridge, UK.
Smayda, T.J., and Shimizu, Y., (Editors), 1993, Toxic Phytoplankton Blooms in the Sea, Proceedings
of the Fifth International Conference on Toxic Marine Phytoplankton, Newport, Rhode
Island, U.S.A., 28 October – 1 November 1991, Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam.
Stoermer, E.F. dan J.P. Smol (Editors), 1999, The Diatoms: Applications for the Environmental and
Earth Sciences, Cambride University Press, United Kingdom.
Taylor, F.J.R. (Editor), 1987, The Biology of Dinoflagellates, Botanical Monographs, Blackwell
Scientific Publications.
Tomas, C.R. (Editor), 1996, Identifying Marine Diatoms and Dinoflagellates, Academic Press.
Van den Hoek, C. Mann, D.G., and Jahns, H.M., 1995, Algae: An Introduction to Phycology,
Cambridge University Press.
Vinyard, W.C., 1979, Diatoms of North America, Mad River Press, Inc., California.
Wang, R., L. Maranda, P.E. Hargraves, and Y. Shimizu, 1993, Chemical Variation of Nitzschia
pungens as Demonstrated by the Co-occurrence of Domoic Acid and Bacillariolides, In: Toxic
Phytoplankton Blooms in the Sea, Proceedings of the Fifth International Conference on Toxic
Marine Phytoplankton, Newport, Rhode Island, U.S.A., 28 October-1 November 1991, Smayda,
T.J., and Y. Shimizu (Editors), Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam.
Wetzel, R.G., 1983, Limnology, 2nd Edition, New York, NY: CBS College Publishing.
Womersley, H.B.S., 1984, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.1. Clorophyta,
Government Printer, Adelaide.
Womersley, H.B.S., 1987, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.2. Phaeophyta,
Government Printer, Adelaide.
Womersley, H.B.S., 1994, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.3A. Rhodophyta
(Bangiophyceae and Florideophyceae), Government Printer, Adelaide.
Womersley, H.B.S., 1996, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.3B. Rhodophyta
(Gracilariales, Rhodymeniales, Corallinales, Bonnemaisoniales), Government Printer,
Adelaide.

Anda mungkin juga menyukai