Handout: ALGA
Oleh: Lalu Japa
Pendahuluan
Alga adalah kelompok organisme berklorofil yang paling sederhana, multiseluler
(makro-alga) dan uniseluler (mikro-alga) berkoloni atau soliter. Alga termasuk group
tumbuhan “aquatic” purba. Makro-alga termasuk tumbuhan Thallus, dan mikro-alga lebih
dikenal dengan fitoplankton. Satu jenis atau lainnya telah berada sejak lebih dari 2 milyar
tahun yang lalu, akan tetapi sampai saat ini masih ditemukan species-species baru. Beberapa
ahli taksonomi menganggap alga sebagai protoctista (protista), tapi sekarang pendekatan ini
sudah tidak dipakai lagi. Sampai saat ini sudah dikenal sekitar 23.000 species alga. Alga
dipelajari dalam cabang ilmu pengetahuan tersendiri yaitu algalogi, atau disebut juga
phycology (bahasa Greek: Phycos = Alga dan Logos = Ilmu Pengetahuan). Algalogi adalah
istilah yang telah di sesuaikan dengan istilah dalam bahasa Indonesia.
1. Karakteristik Alga
a. Prokariot dan Eukaryot, mengandung nukleus (satu nukleus/uninucleate)
b. Bersel banyak (multiseluler) dan bersel tunggal (uniseluler)
c. Berupa thallus, menyendiri atau berkoloni
d. Berbinding sel terbuat dari sellulosa
e. Berklorofil
f. Autotrof (photosynthetik dan membuat karbohidrat dengan menggunakan sinar matahari)
g. Mempunyai banyak variasi struktur (1) berupa unisellular , (2) berupa multisellular dan
sangat besar.
h. Hidup sebagai benthos atau sebagai plankton (fitoplankton)
3. Ekologi Alga
Alga dapat ditemukan dimana saja di bumi. Jelasnya, dimana ada sinar yang
memungkinkan terjadinya fotosinthesis disana bisa dijumpai alga.
a. Tumbuh pada banyak tempat: (1) Semua lingkungan laut, (2) Lingkungan air tawar, (3)
Tanah, (4) Batuan (organisme cryptoendolithic), (5) Kulit kayu, (6) Udara (awan), (7) Debu
yang berterbangan
b. Symbiosis: (1) Lichen, (2) Beberapa tumbuh sebagai penghasil makanan endosymbiont
pada: protozoa, spong, karang, siput laut (sea slugs) dan sebagainya
c. Produser utama pada banyak habitat perairan: (1) Khususnya di samudera (lautan), (2)
Menghasilkan semua makanan untuk ekosistem, (3) Semua organisme lainnya bertumpu
pada alga.
Kehidupan di perairan air laut masih dapat dijumpai pada kedalaman 2000 meter di
bawah permukaan air. “Antartic” merupakan tempat yang sempurna untuk mempelajari
“marine science”. Konsentrasi alga mencapai 1000 kali lebih tinggi pada daerah dekat
permukaan es dibanding dengan daerah di kolom air di bawah es. Teori oceanography pertama
kali diperkenalkan pada tahun 1873.
Faktor yang mempunyai pengaruh sangat berarti terhadap laut adalah temperatur
(perbedaan suhu), revolusi dan angin. Revolusi dapat dimengerti karena sesungguhnya
kehirupan organisme itu bersifat dinamis, selalu berubah silih berganti.
a. Angin
Merupakan faktor besar terhadap kestabilan perairan laut. Bumi menerima energi
panas Matahari sehingga terjadi perbedaan panas pada permukaan bumi yang selanjutnya
menyebabkan angin berhembus dari daerah beriklim panas (tropik misalnya) ke daerah
beriklim dingin (kutub).
Pergerakan angin ini menyebabkan terjadi arus. Arah arus umumnya sejalan dengan
arah angin, kecuali arus yang terjadi karena perbedaan tekanan akibat perbedaan suhu. Air dari
Anthartic yang dingin dan kaya oksigen bergerak kebawah keberbagai wilayah samudera. Air
ini sangat essensial bagi kehidupan organisme di laut. Akan tetapi, terjadinya panas global
menyebabkan kandungan oksigen air tersebut menjadi berkurang yang selanjutnya akan
berpengaruh sangat serius bagi kehidupan laut. Akibat serius tersebut akan semakin menjadi
dari waktu ke waktu. Oleh karena itu diperkirakan 200-300 tahun yang akan datang, mungkin
akan tidak ada kehidupan lagi di laut atau paling tidak kehidupan akan sangat sulit dan
menjadi sangat kecil jumlahnya.
b. Temperatur
Temperatur bervariasi karena kedalaman dan musim. Pada zona campuran, temperatur
lebih panas terutama disebabkan oleh radiasi sinar Matahari secara langsung. Temperatur
untuk pertumbuhan maksimum juga bervariasi antara satu spesies dengan spesies lainnya.
Temperatur berngaruh terhadap kommunitas fitoplankton. Fitoplankton memerlukan
temperatur lebih tinggi untuk pertumbuhan optimalnya dapa kultur daripada di alam bebas.
Temperatur juga erak kaitan dengan salinitas. Salinitas cendrung naik pada temperatur tinggi
(musim panas), penguapan besar. Sel-sel spesies alga daerah tropik lebih berornamentasi
disamping karena beradaptasi dengan habitat perairan yang bersalinitas tinggi, juga mereka
hidup pada temperatur air yang lebih panas.
3
b. Faktor Kimia
Lebih banyak berhubungan dengan faktor nutrisi. Alga sebagaimana dengan tumbuhan tingkat
tinggi membutuhkan makronutrien dan mikronutrien.
Crusial makronutrien meliputi Oksigen (O), Karbon (C), Nitrogen (N), fosfor (P), dan
Silikon (Si) (untuk group alga/dinophyta tertentu). Oksigen berasal dari air dan karbon berasal
dari CO2. Perbandingan oksigen dengan karbondioksida adalah 1 : 1 ketika produk
fotosyntesis adalah gula, tetapi menjadi 1 : 4 jika produk fotosyntesis adalah protein dan/atau
lemak. Nitrogen tersedia dalam empat bentuk berbeda: N2 dapat difiksasi oleh alga hijau biru,
NO3- paling melimpah di laut, NO2- sedikit memerlukan energi untuk pengolahannya baru bisa
dimanfaatkan, dan NH4+ (sama halnya dengan NO2- ). Fosfor tersedia dalam bentuk yang
paling utama adalah “phosphate” (PO4), keberadaannya bergantung pada musim dan
kedalaman. Silikon, tersedia dalam bentuk SiO4- (“silicate”). Ketersediaan elemen ini juga
dipengaruhi oleh musim dan kedalaman.
Mikro (minor)-nutrien meliputi Fe, Mn, Mg, Cu, Zn, Mo, termasuk vitamin misalnya
B1, dan B12. Setidaknya fitoplankton memerlukan 10 jenis nutrien.
c. Faktor Biologi
Suksesi fitoplankton berhubungan dengan faktor biologi lebih bersifat perubahan bentuk
Adaptasi terhadap lingkungan biologisnya. 1) Simbion, satu dinoflagellata dapat mengubah
statusnya dari heterotrop ke autotrop jika bersimbisosis dengan group alga lainnya yang
berklorogil. 2) Parasitisme, misalnya spesies Copepod hanya memakan spesies alga tertentu
(makan secara selektif). 3) “Niche hyperspace” dan r dan K strategi. Keduanya merupakan
faktor penting dalam menentukan komposisi kommunitas fitoplankton. Spesies r, biasanya
kecil-kecil, tumbuh sangat cepat dan sangat effesien dalam hal nutrien. Spesies K, sebaliknya
besar-besar, pertumbuhannya sangat lambat tapi cukup effesien dalam hal energi dan cahaya.
d. Adaptasi Cahaya
Dapat dengan jelas dilihat dari warna makroalga (seaweed). Dikenal tiga bentuk
adaptasi cahaya oleh kommunitas alga: 1) Adapatasi “Chromatic”, speseies berbeda
berdasarkan responnya terhadap perbedaan warna cahaya. Hijau – Coklat – Merah. 2) Pigmen
larut dalam air, sebagai tambahan adaptasi chromatic. Cahaya hijau menyebabkan lebih
banyak pigmen warna merah, sebaliknya cahaya merah menyebabkan lebih banyak pigmen
berwarna biru. 3) Melipatgandakan pigmen sama, misalnya alga jari manusia mati (Death man
fingger algae) berwarna hitam karena menyerap semua jenis cahaya untuk dapat bertahan
hidup pada kedalaman yang sangat limit dengan qualitas dan quantitas cahaya.
5. Reproduksi
Pengetahuan tentang reproduski alga masih belum lengkap dan sebagian besar terfokus
terbatas pada tiga divisio yaitu Rhodophyta, Phaeophyta dan Chlorophyta. Lainnya sangat
terbatas pada spesies tertentu, genus dan family.
Reproduksi aseksual umumnya terjadi pada konsisi baik/menguntungkan untuk
pertumbuhan dan seksual umumnya terjadi pada kondisi lingkungan kurang menguntungkan.
Model reproduksi seksual seperi ini bertolak belakang dengan seperti yang terjadi pada
organisme lain, khususnya manusia.
a. Aseksual
Dapat terjadi dengan banyak cara. Bentuk reproduksi aseksaul paling sederhana adalah
pembelahan biner seperti yang terjadi pada Euglena. Bentuk pembelahan yang sedikit lebih
kompleks dari sekedar pembelahan dari satu individu menjadi dua individu baru (biner) adalah
yang dialami oleh umumnya diatom. Perpisahan dua teka diatom karena pembelahan diikuti
dengan pembentukan dinding sel baru pada masing-masing teka yang lepas. Dengan cara ini,
sel baru yang menerima dinding sel yang lebih kecil akan menjadi lebih kecil dari induknya.
Jika ukuran sel terkecil sudah tercapai, sel tersebut berhenti melakukan pembelahan dan
cendrung mengadakan perkawinan (reproduksi seksual) untuk mencapai ukuran sel normal
kembali seperti induknya. Pembelahan (reproduksi aseksual) diatom dapat berlangsung lebih
dari 5 tahun.
Bentuk lain dari reproduksi aseksual alga adalah fragmentasi sederhana seperti yang
terjadi pada filamentous alga. Misalnya spesies Cyanophyta, Oscilatoria. Posisi dimana
fragmentasi akan terjadi ditandai oleh sebuah sel mati. Perpisahan kedua bagian filamen yang
dibatasi oleh sel mati tersebut menghasilkan filamen yang lebih pendek. Pada spesies lain,
memodifikasi sel somatisnya dengan penebalan dinding sel yang kemudian berubah bentuk
dan fungsi sebagai “resting spores” yang dapat tetap hidup dan dalam kondisi dorman bahkan
sampai sel-sel somatis lainnya telah mati.
5
Spora aseksual terdiri dari dua: 1) Mitospora, senantiasa terbentuk melalui proses
mitosis, 2) meiospora, terjadi melalui meiosis dan merupakan salah satu tahap reproduski
seksual (akan dibahas lebih luas).
Mitospora, karena dihasilkan oleh satu induk, maka satu sama lain termasuk dengan
induknya adalah sama secara genetik. Populasi yang terbentuk dengan genetik sama kemudian
disebut “Clone”. Sel khusus yang menghasilkan mitospora disebut sporangia. Mitospora yang
dapat bergerak bebas disebut zoospora dan yang sebaliknya disebut aplonospora. Jumlah spora
yang terbentuk tergantung spesiesnya, tetapi biasanya 16 sampai 64 spora, yang sebagian
besar berbentuk seperti buah pear atau jambu dan/atau bulat. Mitospora yang bergerak
mempunyai flagella 2 atau 4 atau banyak juga tergantung spesiesnya. Pergerakan dan periode
aktifnya dipengaruhi oleh cahaya. Setelah periode aktifnya habis, mereka mengendap dan
menetap di dasar habitatnya (kolam, atau kultur dsb) dan flagellanya hilang yang kemudian
diikuti dengan pembelahan sel dan berkembang menjadi talus baru.
b. Seksual
Perkembangbiakan secara seksual bertanggung jawab terhadap variasi individu
didalam sebuah populasi. Semua individu dalam populasi berbeda genetiknya termasuk
dengan induknya. Generasi seksual cendrung lebih adaptif terhadap kondisi lingkungannya
dibanding dengan generasi aseksual.
Reproduksi seksual diketahui sebagai peleburan gamet (setiap adalah gamet haploid).
Sebuah sel yang terbentuk dari hasil peleburan gamet adalah zigot yang diploid (2n
kromomosom). Dengan pembelahan sel, zigot berkembang menjadi organisme diploid yang
disebut “generasi sporofit". Pada generasi sporofit inilah kemudian dihasilkan meiospora
haploid (n kromosom) melalui meiosis. Meiosis terjadi pada sel yang berbeda dengan pada
siklus seksual yang kemudian disebut “meiocytes”, (meiosit).
Seperti halnya mitospora, meiospora juga ada yang bergerak (mobil) dan ada yang
tidak bisa bergerak (immobil). Baik yang bergerak maupun yang tidak akan berkecambah jika
kondisi lingkungan menguntungkan (sesuai) yang kemudian berkembang menjadi individu
baru yang disebut “generasi gametofit”. Gametofit memproduksi sel-sel seksual (gamet) pada
sel gametangia. Pada sebauh dametangia dapat terbentuk 16 sampai 32 sel secara mitosis.
Pada alga uniseluller, seperti alga hijau bergerak, Chlamidomonas, sel-sel tersebut adalah
secara nyata seperti sel-sel vegetatif (induknya), tetapi relatif lebih kecil. Demikian juga
dengan yang terjadi pada beberapa “filamentous alga” (alga benang), mislanya Ulothrix.
Sebuah sel vegetatif dapat menghasilkan 8 sampai 64 sel-sel berflagella, yang terbentuk pada
sporangium. Ketika 8 sel sudah terbentuk, mereka beraksi sebagai spora yang bergerak
(zoospora) yang berkecambah langsung menjadi individu baru yang haploid pada tubuh
gametofitnya. Akan tetapi ketika jumlahnya semakin banyak, mereka cendrung berkelakuan
seperti gamet yang kemudian bersatu/bergabung sepasang-sepasang membentuk sel-sel
diploid (zigot).
Gamet-gamet Chlamidomonas dan Ulothrix, adalah sama persis antara satu dengan
lainnya maka disebut isogamet. Peleburan isogamet disebut isogamy. Oleh karena itu
Chlamidomonas dan Ulothrix disebut organisme isogamous. Pada spesies lain, gamet-gamet
berbeda ukurannya, yang satu lebih kecil dari yang lainnya. Gamet seperti ini disebut
anisogamet (heterogamet), yang peleburannya disebut anisogamy atau heterogamy. Spesies
penghasil anisogamet kemudian disebut anisogamous. Spesies yang menghasilkan gamet yang
bukan saja berbeda ukurannya tetapi juga berbeda derajat/tingkat pergerakannya dan
dihasilkan oleh gametangium yang berbega juga. Sel-sel gamet yang banyak, kecil dan
bergerak (sperma) diproduksi pada tipe gametangium yang disebut antheridium. Selanjutnya,
6
sel-sel gamet yang jumlahnya terbatas, lebih besar dan tidak bergerak (telur) diproduksi pada
oogonium. Peristiwa bersatunya gamet seperti ini disebut oogamy yang dijumpai pada
makroalga misalnya: Laminaria, Fucus dan Polysiphonia. Berbeda lagi dengan reproduksi
seksualnya Spirogyra. Perkembangbiakan seksual Spirogyra diawali oleh persinggungan
antara dua dinding sel filamen yang berdekatan. Pelekatan dua dinding dilanjutkan dengan
bersatunya isi sel ke salah satu sel. Hasil peleburan isi sel tersebut adalah zygospora.
Zygospora selanjutnya akan berkecambah dan berkembang menjadi individu baru. Kedua
Spirogyra induk, baik yang menerima maupun yang memberi isi sel secara langsung juga
melakukan reproduksi aseksual melalui fragmentasi sel.
a). Meiosis: (1) Pengurangan inti pembelahan (perubahan dari diploid (2n) menjadi haploid (n)
atau dua copy materi genetik menjadi satu copy. (2) Khromosom: (a). Disortir kembali, (b)
diseleksi secrara rendom, (c) Persilangan dapat terjadi, (d) Keduanya mempunyai kombinasi
baru untuk karakteristik genetik (genotypes), (e) Mungking mengarah ke kombinasi baru
daripada karakteristik fisik (phenotypes), (f) Mungkin mempengaruhi ketahanan organisme-
seleksi alam. (3) Mulai dengan satu sel, berakhir dengan empat sel: (a) Sel-sel induk: diploid
(2n), dua copy materi genetik identik dengan sel-sel lain di dalam tubuh, (b) Sel-sel baru
(anakan): Haploid (n) yang mungkin mengandung kombinasi genetik baru, dan berbeda dari
sel induk, serta tidak semua sama b). Reproduksi mirip/sama dengan reproduksi hewan
c). Reproduksi mirip/sama dengan reproduksi tumbuhan
6. Klasifikasi
Sebagian besar berdasarkan warna (figmen fotosintetik), materi cadangan dan
flagella dinding sel.
Alga merupakan group tumbuhan yang sangat heterogen. Satu yang paling mendasar
perbedaan antara group alga adalah struktur khloroplasnya. Alga hijau dan merah mempunyai
plastida sederhana dengan dua membran luar sementara group lain alga mempunyai plastida
komplek dengan tiga atau lebih membran penghubung.
Ordo centrales
Ordo pennales
Gambar 1. Perbandingan simetri valve sel diatom ordo centrales dan pennales
Diatom termasuk organisme eukaryot sejati. Setiap sel diatom telah secara nyata
memiliki nukleus, thylakoid band, girdle thylakoid, kloroplas dengan dua membran dan juga
endoplasmik retikulum (ER).
Kedua ordo yang dimaksud adalah centrales dan fennales. Ordo centrales terdiri dari
satu subordo, Discineae dan satu family, Coscinodisceae. Contoh-contohnya adalah Melosira,
Cyclotella, Stephanodiscus, Skeletonema, Thalassiosira, Rhizosolenia, dsb.
Ordo fennales memiliki 4 subordo yaitu Araphidineae, Raphidineae, Monoraphidineae
dan Birophidineae. Subordo Araphidineae salah satu familynya yang paling terkenal adalah
Fragillariaceae dengan contoh-contohnya adalah Fragillaria, Synedra, Tabellaria,
Asterionella dan Diatoma. Subordo Raphidineae, family Eunatiaceae dengan wakil-wakilnya
adalah Eunatia dan Peronia. Subordo Monoraphidineae, family Acnanthaceae dengan contoh-
contohnya Coconeis dan Acnanthes. Subordo Birophidineae dengan 4 family populernya
adalah 1) Family Naviculaceae dengan contoh-contoh Navicula, Cyrosigma, Cymbella,
Comphoneria dan Amphora; 2) Family Epithemiaceae, contohnya Epithemia dan
Rhophalodia; 3) Family Nizschiaceae, contohnya Nitzschia, Hantzschia dan Pseudo-nitzschia;
4) Family Surriellaceae, contohnya Suriella, Camplylodis dan Cymatopleu.
Ordo Fennales bukan saja berbeda bentuk selnya dengan ordo Centrales, tetapi juga
berbeda gamet reproduksinya. Sel sperma dan sel telur diatom ordo Centrales memiliki ukuran
yang sama besar (isogamet). Sebaliknya dengan gamet (sel sperma dan sel telur) untuk diatom
ordo Fennnales sedikit berbeda ukurannya (anisogamet), sel sperma lebih kecil dibanding sel
telur. Seksual reproduksi kedua ordo diatom ini terjadi bila ukuran terkecil selnya telah
tercapai terutama sebagai akibat dari pembelahan vegetatif. Pertumbuhan diatom paling tidak
satu kali pembelahan setiap hari. Pada beberapa spesies dapat membelah sampai 5 kali sehari.
Diatom juga diklasifikasikan berdasarkan kesukaan hidup pada habitat dengan pH
yang sangat bervariasi. Berdasarkan data hasil pengamatan Hustedt selama kurun waktu 1937-
1939, dari 650 sampel yang dikoleksi dari hampir seluruh dunia, termasuk sampel yang
berasal dari Jawa, Bali dan Sumatra, Battarbee et al., (1999) menyimpulkan, bahwa diatom
dikelompokkan menjadi 5 group berdasarkan pH habitat kesukaannya yaitu: (1) Alkalibiontic,
group diatom yang menyukai habitat dengan pH lebih besar dari 7. (2) Alkaliphilous,
kelompok diatom yang menyukai habitat dengan pH sekitar 7 dengan distribusi lebih besar
pada pH diatas 7. (3) Indifferent, group diatom yang hidup normal pada kisaran pH yang sama
diatas dan dibawah pH 7. (4) Acidophilous, diatom yang hidup pada pH sekitar 7 dengan
8
distribusi lebih besar pada pH dibawah 7. (5) Acidobiontic, group diatom yang menyukai
habitat dengan pH lebih kecil dari 7 dengan distribusi optimal pada pH 5,5 atau lebih kecil.
Berbeda dengan tumbuhan secara umum, sebagian besar dinding selnya berupa silika,
karena oleh diatom mensinthesis silika jauh lebih irit (15 kali lebih irit) daripada mensinthesis
sellulose. Diatom mengakumulasikan silika dengan rasio (perbandingan) sekitar lima persen
atom. Artinya, satu atom silikon untuk 20 atom lainnya. Silikon merupakan komponen bumi
paling umum. Semua jenis hewan mengandung silikon. Hewan invertebrata mengandung
hanya 0,001 % silikon. Sedangkan satu sel diatom termasuk dinding selnya mengandung
silikon sampai 5000 kali lebih banyak.
Sebagai rumputan laut hampir semua organisme bergantung padanya. Sebagian besar
diatom menghasilkan cairan eksudat yang membuat sekelilingnya menjadi cerah sehingga
sangat mudah diamati/dilihat sekalipun dengan mikroskop biasa. Diatom pertama kali dilihat
dengan gejala hewan oleh Van Lowen Hock pada tahun 1703. Guano dan burung laut adalah
sumber terbaik diatom, mereka memakan ikan. Bentik diatom hidup di bawah permukaan
tanah yang membuat tanah menjadi berwarna coklat. Dijumpai pada pantai atau tempat-tempat
yang berpasir. Padang kapur (tanah deposit) di California sampai saat ini masih merupakan
obyek identifikasi diatom. Tidak sedikit spesies-spesies baru masih terus dilaporkan
ditemukan di daerah tersebut. Tanah deposit California tersebut kemudian dikenal dengan
“diatommeous ooze”.
Diatom berkoloni dengan umumnya berbentuk rantai. Diatom merupakan eukaryot
sejati dengan komposisi selnya: inti, kloroplas, membran kloroplas, thylakoid kloroplas dan
membran endoplasmik retikulum (ER).
Genus Pseuo-nitzschia belum dikenal sampai tahun 1977. Sekarang, pengetahuan
mengenai genus ini telah berkembang sangat pesat dan termasuk salah satu genus yang paling
banyak diteliti diseluruh dunia. Contoh-contoh genus ini termasuk paling sulit diidentifikasi
ketingkat spesies. Di perairan Lombok (Pelabuhan Lembar) diidentifikasi sebanyak 5 species
(Pseudo-nitzschia fraudulenta, P. turgidula, P. pseudodelicatissima, P. granii, dan P.
pungens) ditambah satu species yang secara morfologi sangat mirip dengan Pseudo-nitzschia
yaitu Nitzschia americana.
c. Divisi Lainnya
1). Cryprophyta
Crypton (sembunyi), phyton (tumbuhan). Cryptophyta (tumbuhan sembunyi).
Cryptomonad adalah salah satu contoh kelasnya. Cryptomonad adalah organisme yang aktif
berenang naik dan turun dalam kolom air, sehingga dapat menyebabkan warna air berubah
sesuai dengan kondisi lingkungannya. Bentuk tubuhnya asymmetris, berfalgella dua dengan
masing-masing dua baris bulu-bulu halus (bulu tubular), berwarna cerah, merah atau biru, dan
dinding selnya terbuat dari bahan protein (berupa lembaran-lembaran protein). Semua spesies
Cryptomonad mempunyai dua buah nukleus, satu nukleus besar berada pada sisi bawah sel
dan satu nukleus kecil yang disebut “nucleomorphi” berada dekat bagian tengah sel atau pada
sisi atas sel. Dalam kondisi bloom dapat menimbulkan warna air yang sangat spektakuler,
misalnya merah, biru, ungu, hijau dan sebainya.
2). Crysophyta
Termasuk divisio besar “picophytoplankton”. Dua kelas yang paling umum dikenal
adalah 1) kelas Raphidophyceae, contohnya Chatonella fragile dengan ukuran diameter selnya
70-100 m mempunyai banyak kloroplas (ratusan kloroplas). Contoh lain adalah Heterosigma
sp., berukuran diameter antara 10-15 m. 2) Kelas Crysophyceae merupakan group yang
paling melimpah di lingkungan perairan air tawar. Mereka berdinding sel terbuat dari silika
seperti halnya diatom. Salah satu group dari kelas ini adalah “Silicoflagellates”. Contohnya
Mallomonas sp., berwarna coklat keemasan.
7. Manfaat Alga
Peranan alga dapat dibedakan menjadi dua kelompok besar yaitu peranan ekologis dan
peranan ekonomis.
a. Nilai Ekologis
13
4). Simbion
Telah umum dikenal, bahwa beberapa sepesies alga tertentu mempunyai kemampuan
untuk hidup berdampingan bersama dengan organisme lain. Misalnya Zooxantellae dengan
hewan karang, Annabaena dan cyanophyceae lainnya dengan Azolla, dan beberapa jenis
lainnya dengan jamur. Simbiosis alga tertentu dengan jamur menghasilkan bentuk baru yang
lebih dikenal dengan likenes. Dalam bentuk likenes, kedua organisme yang hidup bersama-
sama saling menguntungkan satu sama lainnya dan masing-masing organisme menjadi lebih
tahan misalnya terhadap situasi kekeringan.
b. Nilai Ekonomis
Dalam bentuk segar, misalnya Ulva dapat dimakan sebagai sayuran hijau dan beberapa
jenis dari kelas Rhodophyceae dapat dimakan langsung dalam bentuk rebusan. Nilai ekonomis
alga digolongkan menjadi tiga bentuk utama yaitu algenate, agar, dan carrageenan.
(1). Sebagai bahan makanan (agar dan carageenan) (2). Polymer, digunakan sebagai
emulsifiers (penggumpal), sebagai bahan pelembut pada pembuatan es cream (3). Diatom,
sebagai pembersih abrasive (4). Dasar rantai makanan di perairan (5). Bahan pupuk (6). Bahan
pelarut industri makanan (7). Pakaian bedah (8). Media tumbuh mikroorganisme (9). Rambu-
rambu jalan (diatom) (10). Filter kolam renang (diatom)
15
160 species yang sebagian besar dari tiga genus (Porphyra, Laminaria dan Undaria)
dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Undaria misalnya dikenal sangat efektif memperlancar
penyerapan kalsium dari usus yang sangat penting untuk pertumbuhan tulang.
1). Alginat
Macrocystis pyrifera (USA), Ascophyllum nodosum, Laminaria cloustoni dan L.
digitata (UK), L. digitata (Norwegia) bersama dengan Ecklonia dan Durvillaea dikenal
sebagai penghasil alginate (polysaccharide seperti gel). Orang-orang Indian mengklaim,
Macrocystis mempunyai berat sampai beberapa ratus kg. Industri asam alginic dimulai di
Jepang sejak tahun 1923. Sekarang Cina membudidayakan Laminaria untuk phycocolloids.
Pada industri makanan, alga dan produk alga dipergunakan sebagai bahan pelapis (penebal),
bahan emulsifiers, bahan penstabil coloid (penyetop pembentukan kristal es pada pembuatan
es creams, dan pada pembuatan keju), bahan suspensi, penjernih bir, penstabil (busa, sauces,
soups, roti, bir) filter pada pembuatandan penstabil manisan, alginate bahan metal, pembuatan
makanan artifisial (buatan), bahan pengawet temporer daging dan ikan di daerah tropik.
2). Agar-agar
Pertama kali ditemukan kegunaannya oleh Frau Franny Eilshemius (istri sorang ahli
fisika, Robert Koch). Kemudian, Jepang sendiri telah memperkenalkannya sejak tahun 1658
sebagai kanten (artinya langit dingin), karena secara tradisional diproduksi selama musim
dingin. Agar-agar diproduksi dari alga merah (misanya: Gelidium amansii, Chondrus crispus,
Mastocarpus stellata, Gelidium pulchellum, G. latifolium, G. cartillagineum, G. arborescens,
G. nudifrons, Ahnfeltia plicata, Phyllophora nervosa, Frucillaria fastigiata, Pterocladia dan
Acanthopeltis). Sampai sekarang sumber yang paling umum adalah Gelidium spp.
3). Carrageenan
Carrageenan telah lama dikenal sebagai jelly, desserts dan pudding. Karena memiliki
titik didih yang tinggi, maka sangat berguna pada pembuatan desserts (pencuci mulut) di
daerah beriklim panas. Digunakan juga sebagai bahan pengikat pada pasta gigi dan membuat
gigi berkilau/mengkilat dan sebagai bahan pada industri kulit.
Dapat juga digunakan sebagai bahan cat yang dapat mempertahankan warna/figmen pada
rentang temperatur yang luas. Sebagai bahan pengisi kertas, industri perlasan, bahan plastik,
bahan penambal gigi, sebagai bahan boreh, bahan dasar cosmetika, bahan diagnostik dan
penelitian, medium mikroorganisme (mikrobiologi), biokimistri, bahan elektophoresis dan
sebagai fiber untuk meningkatkan kualitas suara speaker (audio speakers). Dalam bentuk fosil
diatom digunakan sebagai filter larutan gula kaleng.
4). Obat-obatan
Phycocoloids yang dihasilkan oleh alga dimanfaatkan untuk bahan medik, meliputi
bahan pengikat obat-obatan, pemberantas parasit, perangsang penguapan kalsium dalam usus
yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tulang. Ekstrak dari Sargassum sp., Codium
pugniformis, Laminaria japonica dan Spirulina dikenal cukup ampuh menghambat
pertumbuhan kanker mulut. Phycocyanin juga dikenal sebagai anti tumor dan menambah
sistem kekebalan tubuh. Sterol pada Spirulina, Chlorella dan Scenedesmus adalah rendah
kolesterol, maka ekstrak dari jenis alga ini dapat dimanfaatkan untuk mengurangi kolesterol.
Laminaria japonica juga tercatat untuk mencegah hipertensi (diduga efeknya berhubungan
dengan iodium). Disamping itu masih dikenal juga “brominated phenolic”, anti bakteri
16
diekstrak dari Rhodomela larix. Ekstrak Ascophyllum nodosum sangat efektif menghambat
pertumbuhan bakteri gram positif maupun bakteri gram negatif. Produksi zat anti bakteri dari
jenis alga ini tertinggi pada musim semi (spring) dan mencapai titik terendah pada musim
dingin (winter).
5). Forensik
Tergantung seberapa banyak diatom tumbuh pada mayat, dapat diketahui telah berapa
lama seseorang terbunuh.
6). Architec
Ide untuk membuat design bangunan yang lebih kuat dan kokoh telah banyak diadopsi
dari struktur silika sel diatom.
c. Kandungan gizi
1). Protein
Sprirulina (alga hijau) mengandung protein tambahan sangan baik dan banyak (72 %
berat keringnya). Kandungan protein sebesar ini sebanding dengan 10 ton per acre (1 acre
sama dengan 4.050 m2) Spirulina. Dengan demikian kandungan protein Spirulina jauh lebih
besar dengan hanya 0.16 ton untuk gandum atau sapi per satuan luas yang sama (satu acre).
Spirulina telah dikenal sebagai pakan ayam yang sangat baik.
2). Vitamin
Alga kaya dengan berbagai vitamin seperti vitamin A, D, B, B12, E, riboflavin, niacin,
asam pantothenic dan asam folic (asam folat).
1995). Suku Indian lokal menganggap suatu yang tabu mengkonsumsi kerang ketika air laut
menjadi bioluminescent akibat bloomingnya dinoflegellata (Hallegraeff, 1999).Pada awal
tahun 1993 terjadi 180 kasus sakit karena NSP terjadi di New Zaeland, menyebabkan
hilangnya $NZ 4,5 juta ditambah menurunnya permintaan domestik shellfish sampai 25 %
(Hallegreaff, 1999). Kasus keracunan “microcystin” jenis racun yang dihasilkan oleh
cyanobacteria, Microcystis aeruginosa terjadi di Armidle NSW Australia pada tahun 1981
karena jeleknya perlakuan pengolahan air minum (Falconer, 1999).
Kejadian-kejadian pahit ini telah mendorong banyak ilmuan mencurahkan
perhatiannya untuk meneliti mulai dari identifikasi spesies yang berbahaya dan beracun,
sampai kepada pola kemunculannya serta rantai efek keracunannya.
Dalam banyak laporan hasil penelitian, beberapa jenis mikro-flora dapat
membahayakan kehidupan organisme lain dengan tiga cara utama yaitu kontak fisik, efek
kimiawi, dan persaingan.
a. Kontak Fisik
Kontak fisik dengan jenis tertentu dapat mengakibatkan luka (terjadinya pendarahan)
terutama organ insang karena tertusuk duri (chaeta) dari diatom genus Bactriastrum dan
Chaetoceros. Diatom ini dapat sampai ke insang karena terbawa oleh aliran masuknya air
selama pernafasan. Dalam kondisi blooming, dimana konsentrasi sel lebih pekat, maka
semakin besar efek melukainya.
b. Kontak Kimiawi
Efek negatif secara kimiawi terjadi karena racun sebagai produk sekunder aktivitas
fisiologis mikro-flora (fitoplankton). Kelompok mikro-flora yang menghasilkan racun adalah
genus Nitzschia, Pseudo-nitzschia, Dinophysis, Gonyaulax, Microcystis, Peridinium dan
Prorocentrum sangat mematikan sifatnya. Hallegraeff (1999), menyimpulkan paling kurang
40 dari 300 spesies mikro-flora laut adalah penghasil racun yang terakumulasi pada ikan dan
kerang-kerangan, dan zat racun yang dihasilkan dapat berupa, senyawa alkaloid, polyester
sampai asam amino dan peptida. Genus Pseudo-nitzschia menghasilkan racun yang disebut
asam domoic (domoic acid) Horner et al., (1997) dan Bates et al., (1998), yang juga dikenal
dengan ASP (Horner et al., 1997). “Domoic acid” mulai diproduksi pada fase stationer dan
berlangsung sampai beberapa hari (Dauglas et al., 1997). Microcystis aeruginosa
menghasilkan microcystin yang dapat menyebabkan kerusakan hati (Falconer, 1999).
Keracunan mikro-flora meliputi PSP (paralytic shellfish poisoning), DSP (Diarrhetic
shellfish poisoning), NSP (neurotoxic shellfish poisoning), ASP (amnesic shellfish poisoning),
dan CFP (ciguatera fish poisoning). Hallegraeff (1999) menyimpulkan PSP terjadi karena
memakan bivalvia shellfish atau ikan pemakan plankton, DSP, ASP dan NSP karena memakan
shellfish, dan CFP karena memakan ikan kerang tropika. PSP dan DSP adalah dua tife
keracunan shellfish dihasilkan oleh mikro-flora kelompok dinoflagellata (Wang et al., (1993)
dan Fritz et al., (1992). Fenomena pertama DSP didokumentasikan di Jepang (Fritz et al.,
1992). Racun ini menyebabkan sakit serius dan kematian manusia di Kanada pada tahun 1987
(Bates et al., 1998).
Dinoflagellata yang bertanggung jawab terhadap DSP adalah Dinophysis fortii
(Jepang), D. acuminata (Eropah), D. acuta dan D. norvegica (Scandinavia), D. mitra, D.
rotundata dan Prorocentrum lima. Di perairan Galician, DSP dihasilkan oleh Dinophysis cf.
acuminata dan D. acuta (Reguera et al., 1993).
18
c. Persaingan
Persaingan terjadi terutama untuk mendapatkan oksigen. Sebagai tumbuhan komunitas
mikro-flora menyerap oksigen untuk oksidasi. Dalam keadaan blooming sangat potensial
menyebabkan suatu ekosistem perairan kekurangan oksigen, yang selanjutnya menyebabkan
mati lemas sejumlah hewan air, termasuk ikan.
Efek-efek negatif kehadiran mikro-flora yang diuraikan diatas, terutama sekali sanga
potensial terjadi dalam kondisi “blooming”. Keadaan “blooming” itu sendiri merupakan gejala
normal alami sebagai akibat dari berbagai bentuk aktivitas manusia. Meningkatnya kadar
nutrisi lingkungan dipengaruhi oleh air limbah domestik dan industri (Meksumpun et al.,
1995), dan aliran air dari daratan (Horner et al., 1997). Quequiner dan Trequer (1984)
menyimpulkan, bahwa tingginya kadar nutrisi dari aliran sungai merupakan faktor utama
pengontrol suksesi spesies mikro-flora (fitoplankton). Thalassiosira sp. adalah jenis diatom
yang dominan ketika rasio N/P < 16 (Riegman et al., 1993).
KEPUSTAKAAN
Adnan, Q., 1984, Distribution of Dinoflagellates at Jakarta Bay; Taman Jaya, Banten; and Benoa Bay,
Bali and A Report of an Accident of Fish Poisoning in Eastern Nusa Tenggara, In: A.W. White,
M. Anraku and K.K. Hooi (Editors), Toxic Red Tides and Shellfish Toxicity in Southeast Asia,
Southeast Asian Fisheries Development Center, Singapore, and International Development
Research Centre, Canada.
Allen, W.E., and E.E. Cupp, 1935, Plankton Diatoms of the Java Sea, Annales du Jardin Botanique de
Buitenzorg, 44: 101-174.
Anderson, D.M., Cembella, A.D., Hallegraeff, G.M., (Editors), The Physiological Ecology of Harmful
Algal Blooms, NATO-ASI Series Vol. G.41, Springer-Verlag, Heidelberg.
Bates, S.S., C.J. Bird, A.S.W. de Freitas, R.A. Foxall, M.W. Gilgan, L.A. Hanic, G.E. Johnson, A.W.
McCulloch, P. Odense, R. Pocklington, M.A. Quilliam, P.G. Sim, J.C. Smith, D.V. Subba Rao,
E.C.D. Todd, J.A. Walter, and J.L.C. Wright, 1989, Pennate Diatom Nitzschia pungens as the
Primary Source of Domoic Acid, a Toxin in Shellfish from Eastern Prince Edward Island,
Canada, Canadian Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 46: 1203-1215.
Bates, S.S., D.L. Garrison, and R.A. Horner, 1998, Bloom Dynamics and Physiology of Domoic-Acid
Producing Pseudo-nitzschia Species, In: The Physiological Ecology of Harmful Algal Blooms,
D.M. Anderson, A.D. Cembella and G.M. Hallegraeff (Editors), NATO-ASI Series Vol. G.41,
Springer-Verlag, Heidelberg, pp. 267-292.
Battarbee, R.W., D.F. Charles, S.S. Dixit, dan I. Renberg, 1999, In: E.F. Stoermer dan J.P. Smol
(Editors), The Diatoms: Aplications for the Environmental and Earth Sciences, Cambridge
University Press.
Belcher, J.H., and E.M.F. Swale, 1976, A Beginner’s Guide to Freshwater Algae, Institude of
Terrestrial Ecology Natural Environmental Research Council, Cambridge, London.
Chapman, V.J., 1970, Seaweeds and Their Uses, Methuen and Co.
Clayton, M.N., and King, R.J. (Editors), 1990, Biology of Marine Plants, (2nd edition), Longman
Cheshire, Pty. Ltd., Australia.
20
Cox, Eileen, J., 1996, Identification of Freshwater Diatoms from Live Material, Chapman and Hall,
London, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras.
Douglas, D.J., E.R. Kenchington, C.J. Bird, R. Pocklington, B. Bradford, and W. Silvert, 1997,
Accumulation of Domoic Acid by the Sea Scallop (Placopecten magellanicus) Fed Cultured
Cells of Toxic Pseudo-nitzschia multiseries, Canadian Journal of Fisheries Aquatic Science, 54:
907-913.
Falconer, I.A., 1999, Cyanobacterial Tozins in dringking water: Health and safety Aspects,
Microbiology Australia: Official Journal of the Australian Society for Microbiology Inc., 20(2):
6-7.
Fritz, L., M.A. Quilliam, J.L.G. Wright, A.M. Beale, and T.M. Work, 1992, An Outbreak of Domoic
Acid Poisoning Attributed to the Pinnate Diatom Pseudo-nitszchia australis, Journal of
Phycology, 28: 439-442.
Fuhrer, B., Christianson, I.G., Clayton, M.N., and Alexancer, B.M., 1981, Seaweeds of Australia,
Reed Pty Ltd., Sydney.
Hallegraeff, G.M., 1999, Algal Toxins off Our Coast, Microbiology Australia: Official Journal of the
Australian Society for Microbiology Inc., 20(2): 6-7.
Hallegraeff, G., Anderson, D.M., and Cembella, A.D., (Editors), 1995, Manual on Harmful Marine
Microalgae, IOC-UNESCO Manuals and Guides.
Harder, D.P., R.C. Worrest, H.D. Kumar, and R.C. Smith, 1995, Effects of Increased Solar Ultraviolet
Radiation on Aquatic Ecosystems, Ambio, 24(3): 174-180.
Harris, G.P., 1986, Phytoplankton Ecology, Structure, Function and Fluctuation, Chapman and Hall
Ltd., London, New York.
Horner, R.A., D.L. Garrison, and F.G. Plumley, 1997, Harmful Algal Blooms and Red Tide Problems
on the U.S. West Coast, Limnology and Oceanography, 42(5, part 2): 1076-1088.
Jan Stevenson, R., Bothwell, M.L, and Lowe, R.L., 1996, Algal Ecology Freshwater Benthic
Ecosystems, Academic Press.
Japa, L., 2000, Seasonal Succession of Phytoplankton Communities in Lombok Indonesian Coastal
Waters, with Emphasis on Species of the Diatom Genera Pseudo-nitzshia and Thalassiosira,
Thesis Program Master, Universitas Tasmania.
Landesberg, J.H., G.H. Balazs, K.A. Steidinger, D.G. Baden, T.M. Work, D.J. Russell, 1999, The
Potential Role of Natural Tumor Promouters in Marine Turtle Fibropapillomatosis, Journal of
Aquatic Animal Health, 11: 199-210.
Lassus, P., Arzul, G., E. Erard, Gentien, P., and Marcaillou, C., (Editors), 1995, Harmful Marine
Algal Blooms: Proceedings of the Sixth International Conference on Toxic Marine
Phytoplankton, October 1993, Nantes, France, Technique & Documentation-Lavoisier,
Intercept Ltd. New York.
Lebour, M.V., 1930, The Planktonic Diatoms of Northern Seas, Adlard and Son, Limited, London.
Lee, R.E., 1999, Phycology (3rd edition, in press), Cambridge University Press.
Mason, C.F., 1991, Biology of Freshwater Pollution, 2nd Edition Essex: Longman Group (FE) Ltd.
Medlin, L.K., and Priddle, J., 1990, Polar Marine Diatoms, British Antarctic Survey, Cambrodge,
London.
Meksumpun, S., S. Montani, K. Ichimi, K. Tada, S. Yoshimatsu, and T. Okaichi, 1995, Relationships
between the Biochemical Composition and the Environmental Conditions of Gymnodinium sp.
Red Tide in the Seto Inland Sea, In: Harmful Marine Algal Blooms: Proceedings of the Sixth
International Conference on Toxic Marine Phytoplankton, October 1993, Nantes, France, P.
Lassus, G. Arzul, E. Erard, P. Gentien, and C. Marcaillou (Editors), Technique &
Documentation-Lavoisier, Intercept Ltd, New York.
Michael, P., 1984, Ecology Methods for Field and Laboratory Investigations, Tata McGraw-Hill Publ.
Co. Ltd., Toronto.
21
Ngurah, N. W., T. Sidabutar, K. Matsuoka, T. Ochi, M. Kodama, and Y. Fukuyo, 1995, Notes on the
Occurrence of Pyrodinium in Eastern Indonesian Waters, In: Abstracts of Seventh International
Conference on Toxic Phytoplankton July 12-16, 1995, Sendai, Japan.
Pentecost, A., 1984, Introduction to Freshwater Algae, The Richmond Publishing Co. Ltd, England.
Queguiner, R., and P. Treguer, 1984, Studies on the Phytoplankton in the Bay of Brest (Western
Europe). Seasonal Variations in Composition, Biomass and Production in Relation to
Hydrological and Chemical Features (1981-1982), Botanica Marina, 27: 449-459.
Raven, P.H., R.F. Evert dan S.E. Eichhorn, 1992, Biology of Plants, 5th eddition, Worth Publishers
Inc., USA.
Reguera, B., J. Marino, M.J. Campos, I. Bravo, S. Fraga, and A. Carbonell, 1993, Trends in the
Occurrence of Dinophysis spp. in Galician Waters, In: Toxic Phytoplankton Blooms in the Sea,
Proceedings of the Fifth International Conference on Toxic Marine Phytoplankton, Newport,
Rhode Island, U.S.A., 28 October-1 November 1991, Smayda, T.J., and Y. Shimizu (Editors),
Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam.
Reynolds, C.S., 1984, The Ecology of Freshwater Phytoplankton, Cambridge University Press,
Cambridge, UK.
Riegman, R., A. Rowe, A.A.M. Noordeloos, and G.C. Cadee, 1993, Evidence for Eutrophication
Induced Phaeocystis sp. Blooms in the Marsdiep Area (the Netherlands), In: Toxic
Phytoplankton Blooms in the Sea, Proceedings of the Fifth International Conference on Toxic
Marine Phytoplankton, Newport, Rhode Island, U.S.A., 28 October-1 November 1991, Smayda,
T.J., and Y. Shimizu (Editors), Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam.
Round, F.E., R.M. Crawford, dan H. Simola, 1990, The Diatom: Biology and Morphology of the
Genera, Cambriage University Press, Cambridge, UK.
Smayda, T.J., and Shimizu, Y., (Editors), 1993, Toxic Phytoplankton Blooms in the Sea, Proceedings
of the Fifth International Conference on Toxic Marine Phytoplankton, Newport, Rhode
Island, U.S.A., 28 October – 1 November 1991, Elsevier Science Publisher B.V., Amsterdam.
Stoermer, E.F. dan J.P. Smol (Editors), 1999, The Diatoms: Applications for the Environmental and
Earth Sciences, Cambride University Press, United Kingdom.
Taylor, F.J.R. (Editor), 1987, The Biology of Dinoflagellates, Botanical Monographs, Blackwell
Scientific Publications.
Tomas, C.R. (Editor), 1996, Identifying Marine Diatoms and Dinoflagellates, Academic Press.
Van den Hoek, C. Mann, D.G., and Jahns, H.M., 1995, Algae: An Introduction to Phycology,
Cambridge University Press.
Vinyard, W.C., 1979, Diatoms of North America, Mad River Press, Inc., California.
Wang, R., L. Maranda, P.E. Hargraves, and Y. Shimizu, 1993, Chemical Variation of Nitzschia
pungens as Demonstrated by the Co-occurrence of Domoic Acid and Bacillariolides, In: Toxic
Phytoplankton Blooms in the Sea, Proceedings of the Fifth International Conference on Toxic
Marine Phytoplankton, Newport, Rhode Island, U.S.A., 28 October-1 November 1991, Smayda,
T.J., and Y. Shimizu (Editors), Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam.
Wetzel, R.G., 1983, Limnology, 2nd Edition, New York, NY: CBS College Publishing.
Womersley, H.B.S., 1984, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.1. Clorophyta,
Government Printer, Adelaide.
Womersley, H.B.S., 1987, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.2. Phaeophyta,
Government Printer, Adelaide.
Womersley, H.B.S., 1994, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.3A. Rhodophyta
(Bangiophyceae and Florideophyceae), Government Printer, Adelaide.
Womersley, H.B.S., 1996, The Marine Benthic Flora of Southern Australia. Pt.3B. Rhodophyta
(Gracilariales, Rhodymeniales, Corallinales, Bonnemaisoniales), Government Printer,
Adelaide.