B. Indikator
1. Membedakan pengertian kondisi dan sumber daya
2. Membedakan ciri hewan ektotermal dan endotermal
3. Menjelaskan kisaran toleransi dan faktor pembatas
4. Memberikan contoh kisaran toleransi dan faktor pembatas hewan
C. Penyajian Materi
Pengamatan hewan di beberapa lokasi berbeda seringkali menunjukkan bahwa hewan
tertentu ditemukan pada semua lokasi, sedangkan jenis hewan yang lain hanya ditemukan pada
suatu lokasi tertentu. Fakta lain yang adalah tidak semua jenis hewan ditemukan pada semua lokasi
berbeda di belahan bumi. Contoh sederhana adalah ikan tidak ditemukan hidup bebas di daratan,
sebaliknya ayam tidak ditemukan hidup bebas di dalam air. Beberapa jenis burung, seperti Egretta
sp (Kuntul) melakukan beberapa aktivitas di danau asin Gili Meno (wilayah perairan). Akitivitas
tersebut ialah berburu ikan mujaer yang dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi. Jenis-jenis amfibi
di Pulau Lombok, kecuali spesies Oreophrine monticola, dapat hidup di air dan darat. Fase berudu
(tadpole) hidup di air, sedangkan juvenile-dewasa hidup di darat karena tidak memiliki insang.
Fenomena-fenomena tersebut memunculkan pertanyaan. Mengapa semua hewan tidak
ditemukan pada suatu lokasi? Sebagai contoh ayam dan ikan. Ikan memiliki insang yang hanya
dapat mengambil oksigen yang larut dalam air, sedangkan ayam memiliki paru-paru yang hanya
dapat mengambil oksigen di udara bebas. Bagaimana dengan ikan tongkol yang tidak bisa hidup
di sungai, sedangkan ikan emas tidak ditemukan di laut? Masalahnya karena perbedaan salinitas
air. Contoh fenomena lainnya: di Taman Wisata Ayam (TWA ) Kerandangan, terdapat berbagai
jenis hewan. Diantaranya adalah amfibi, burung hantu (Otus jolandae), capung dan kupu-kupu.
Amfibi dan burung hantu aktif pada malam hari (nocturnal), sedangkan capung dan kupu-kupu
aktif pada waktu sebaliknya (diurnal).
Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah disebutkan tersebut, maka kehidupan hewan
tergantung pada berbagai faktor di luar dirinya. Secara lebih spesifik, dapat dikatakan bahwa
ditemukannya jenis hewan tertentu pada suatu lokasi dan tidak ditemukannya pada lokasi yang
lain disebabkan oleh beroperasinya berbagai faktor di luar diri hewan tersebut. Jenis hewan
tertentu dapat hidup pada suatu lokasi karena faktor-faktor luar yang ada cocok baginya, atau
masih berada pada batas-batas yang ditoleransi oleh hewan tersebut. Sebaliknya, jenis hewan
tertentu tidak dapat ditemukan pada lokasi yang lain, salah satunya adalah karena terdapat faktor-
faktor yang tidak cocok atau berada di luar batas-batas yang dapat ditoleransi oleh hewan tersebut.
Berdasarkan Gambar 2.1 dapat diamati bahwa di sekitar Kodok Rumah ada batu, daun,
ranting, air dan ruang. Terdapat juga O2, suhu, kelembaban dan cahaya yang lebih kasatmata. Jika
mau dihitung, kamera dan orang yang mengambil gambar juga dapat dikatagorikan sebagai
lingkungan dari Kodok Rumah tersebut. Di antara faktor-faktor lingkungan tersebut, ruang dan O2
merupakan lingkungan yang diperlukan dimana keduanya berkurang karena dimanfaatkan.
Lingkungan lainnya seperti batu, daun, ranting, air, suhu, kelembaban dan cahaya secara
fungsional lebih menunjukkan suatu keadaan; x helai daun, y ranting, z batu, demikian seterusnya.
Di sini x, y dan z mewakili jumlah. Untuk suhu, kelembaban dan cahaya, lebih tepat digunakan
istilah intensitas. Ruang dan O2 dapat disebut sebagai sumberdaya sedangkan yang lain adalah
kondisi.
Kesimpulannya, lingkungan sebagai sumberdaya digunakan untuk menunjukkan sesuatu
faktor yang diperlukan oleh hewan, dan kuantitas ketersediaannya di lingkungan akan menjadi
berkurang apabila telah dimanfaatkan oleh hewan itu. Contoh Lingkungan sebagai kondisi
digunakan untuk menunjukkan keadaan (besaran, kadar, intensitas) dari faktor suatu lingkungan.
Konsep ini menginformasikan kepada kita bahwa faktor lingkungan suatu hewan, baik yang
bersifat abiotik maupun biotik, dapat ditinjau sebagai dua aspek fungsional yang berbeda yaitu
lingkungan sebagai sumberdaya dan kondisi. Di alam, perbedaan antara 2 hal tersebut seringkali
tidak jelas karena beberapa faktor lingkungan dapat berfungsi sebagai keduanya. Perihal ini dapat
dinyatakan sebagai irisan di antara dua aspek fungsional tersebut. Hubungan antara aspek
lingkungan sebagai kondisi dan lingkungan sebagai sumberdaya dapat diamati pada Gambar 2.2.
2. Ektotermi
Hewan-hewan poikiloterm, yaitu semua jenis hewan kecuali yang termasuk kelompok
Aves dan Mammlia, merupakan ektoterm. Ini berarti bahwa hewan-hewan tersebut sangat
bergantung pada sumber panas dari lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada
hewan-hewan ektoterm sangat terbatas sehingga suhu tubuhnya bervariasi mengikuti suhu
lingkungannya.
Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah ambang toleransinya, hewan
ektoterm mati. Pada suhu rendah yang masih dapat ditolerir, laju metabolisme tubuhnya dan segala
aktivitas lainnya pun rendah. Akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lamban, sehingga
akan mudah bagi predator untuk menangkapnya.
Sebenarnya, hewan-hewan ektoterm berkemampuan juga untuk mengatur suhu tubuhnya,
namun daya mengaturnya itu tidak fisiologis sifatnya, melainkan secara perilaku. Apabila suhu
lingkungan terlalu panas, hewan ektoterm akan berlindung di tempat-tempat teduh, dan bila suhu
lingkungan turun hewan akan berjemur di panas matahari atau berdiam diri di tempat-tempat yang
memberikan kehangatan baginya.
3. Konsep waktu-suhu
Waktu berlangsungnya perkembangbiakan hewan ektoterm merupakan fungsi suhu dari
lingkungan.
Contohnya Pada belalang mempunyai suhu ambang terjadi perkembangbiakan 160C dan pada suhu
200C (yaitu 40C di ats suhu ambang) lamanya waktu untuk menetaskan telur adalah 17,5 hari. Pada
suhu 300C (140C di atas suhu ambang) lamanya perkembangan telur sampai menetas adalah 5 hari
(dalam hal ini waktu perkembangan telur adalah 70 hari-derajat di atas suhu ambang).
Konsep waktu suhu ini penting untk memahami pewaktuan kejadian dinamika populasi
ektoterm gunamemprediksi ledakan hama. Laju metabolisme hewan ektoterm akan meningkat
dengan naiknya suhu. Keterkaitan ini disebut Kuosien Suhu (Q10). Q10 bervariasi untuk jenis
hewan. Misalnya kumbang Q10 = 2,5. ada juga Q10 = 3. Artinya setiap kenaikan suhu 100c maka
laju metabolisme naik 3 kali.
Hewan endoterm mempunyai kemampuan mengatur suhu tubuh. Untuk menyesuaikan
tubuh hewan dengan suhu lingkungan memerlukan biaya tinggi dari makanan, tapi mendapatkan
keuntungan yang tinggi. Berbeda dengan ektoterm menghadapi suhu lingkungan. membutuhkan
biaya rendah tapi mendapat keuntungan rendah.
Berdasarkan aspek ekologi, kepentingan suhu bagi hewan-hewan ektoterm tidak hanya
berkaitan dengan aktivitasnya, tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangan.
Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat
hubungan linier. Konsekuensinya adalah bahwa pada hewan-hewan ektoterm lamanya waktu
perkembangan tergantung dari kondisi suhu lingkungannya (Konsep waktu-suhu). Dengan kata
lain, pernyataan mengenai berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan
pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu, karena pada hewan-hewan
ektoterm lamanya waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu
lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu itu, yang seringkali dinamakan waktu fisiologis
mempunyai arti penting.
Dengan menggunakan konsep waktu-suhu, yang diwujudkan dalam bentuk satuan hari-
derajat seperti contoh di atas, maka suatu fenomena akibat proses perkembangan, seperti
peledakan populasi misalnya, dapat diramalkan kapan akan terjadinya. Dalam bidang pertanian
dan perkebunan, informasi mengenai akan timbulnya suatu ledakan populasi serangga hama
mempunyai nilai guna yang sangat penting, karena para petani dapat mengantisipasi dan mencegah
terjadinya dengan upaya yang efektif.
4. Endotermi
Hewan-hewan homeoterm, seperti kelompok Aves dan Mammalia, walaupun kondisi suhu
lingkungan berubah-ubah, suhu tubuhnya konstan. Hal ini disebabkan karena hewan-hewan itu
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengatur suhu tubuhnya melalui perubahan produksi
panas (laju metabolisme) dalam tubuhnya sendiri (endoterm).
Terjadinya kekonstanan suhu tubuh tersebut mengakibatkan hewan-hewan endoterm
mampu menunjukkan kinerja yang konstan pula. Kemampuan mengatur suhu tubuh itu
memerlukan energi (biaya) yang relatif tinggi (Gambar 2.7). Sehubungan dengan itu maka
persyaratan masukan sumber dasar energinya pun, yaitu makanan, relatif tinggi pula.
Dibandingkan dengan hewan-hewan ektoterm yang sebanding besar tubuhnya, suatu hewan
endoterm memerlukan masukan energi makanan yang lebih tinggi.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam meghadapi kondisi suhu
lingkungannya, hewan-hewan endoterm mempunyai strategi biaya tinggi, yang memberikan
keuntungan yang relatif tinggi pula. Tidak demikian halnya pada hewan-hewan ektoterm, dalam
menghadapi kondisi suhu lingkungannya itu hewan-hewan ektoterm menggunakan strategi biaya
rendah, yang kadang-kadang hanya memberikan keuntungan yang rendah pula. Biaya disini
maksudnya adalah materi dan energi yang diperoleh dari makanan.
3. Cahaya Matahari
Pada hawa atau sinar matahari mempengaruhi pola pewarnaan tubuh. Hewan yang hidup
di daerah terang umumnya warna tubuh cerah. Sebaliknya yang hidup di daerah gelap warna tubuh
gelap.
4. Gas-gas atmosfer
Gas atmosfer jarang sebagai faktor pembatas karena gas di atmosfer relatif konstan.
Namun akhir ini ketidak stabilan komposisi gas-polutan di atmosfer berdampak negatif pada
pernafasan dan suhu bumu
Tujuan Praktikum :
Mengetahui efek faktor suhu terhadap sebaran individu-individu dari jenis hewan akuatik yang
mobil serta menentukan kisaran suhu preferendumnya.
B. Tata Kerja
1. Menyusun kotak percobaan preferensi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk
diisi air dengan kondisi yang sejajar (merata).
2. Mengisi kotak percobaan dengan air kolam yang sudah disaring atau menggunakan air
ledeng yang sudah dikondisikan setinggi 3 – 5 cm.
3. Meletakkan potongan-potongan es batu pada salah satu ujung kotak percobaan dan
melakukan pemanasan pada salah satu ujung kotak percobaan yang lainnya dengan tidak
melebihi suhu 40^C.
4. Memasang thermometer pada tiap-tiap ruangan yang terdapat pada kotak percobaan dan
melakukan pencatatan suhunya sampai terjadi perbedaan suhu pada tiap-tiap ruangannya.
5. Memasukkan ikan percobaan sebanyak 20 ekor pada bagian tengah kotak.
6. Membiarkan ikan di dalam kotak percobaan selama 15 menit kemudian melakukan
pencatatan suhu dan jumlah ikan yang terdapat pada tiap-tiap kotak.
7. Melakukan pencatatan seperti langkah pada no. 6 sebanyak 5 kali dengan interval waktu
selama 5 menit.
8. Memasukkan hasil pengamatan ke dalam lembar data untuk dijadikan sebagai dasar dalam
membuat kesimpulan.
B. Tata Kerja
1. Meletakkan kotak reotaksis di selokan atau tepi sungai yang dangkal yang berarus tidak
begitu kuat (kecepatan arusnya tidak melebihi 0.2 m/dt pada kotak eksperimen) dan airnya
jernih (tidak kotor) serta terhindar dari panas matahari (ternaung).
2. Mengisikan air yang berasal dari perairan yang sama ke dalam parit control sehingga airnya
sama tinggi dengan yang ada di parit eksperimen (setinggi 10 cm).
3. Mengukur kecepatan arus dan suhu air pada kotak eksperimen sebanyak 3 kali. Pengukuran
suhu dilakukan pada bagian awal, tengah, dan akhir parit.
4. Memasukkan masing-masing 10 individu ikan Poecilia reticulata dari suatu kategori
kelompok ikan dengan menggunakan saringan kecil ke dalam parit eksperimen.
Membiarkan ikan percobaan selama 5 menit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan barunya.
5. Menghitung jumlah individu ikan yang memenuhi kriteria positif, negatif maupun
indiferent selama interval waktu 1 menit sebanyak 10 kali.
6. Melakukan pengukuran arus dan suhu air kembali pada akhir pengamatan masing-masing
sebanyak 3 kali.
7. Memindahkan ikan dari parit eksperimen secara hati-hati ke dalam salah satu parit control.
Apabila ditemukan individu-individu ikan yang tidak lagi gesit, cidera ataupun lepas, harus
diganti dengan ikan yang baru hingga jumlahnya tetap 10.
8. Melakukan prosedur percobaan yang sama dengan 4 – 6.
9. Pada akhir eksperimen, ikan yang digunakan bahan percobaan harus dikeluarkan dan
dilepaskan kembali ke perairan.
Bahan Laporan
1. Data yang diolah untuk dijadikan sebagai bahan laporan adalah data kelas.
2. Apabila dilihat dari kategori ikan yang digunakan dalam percobaan reotaksis, rumuskan
hipotesis yang berhubungan dengan respons ikan Poecilia reticulata terhadap kecepatan
arus dilihat dari kategori ikan yang berbeda-beda.
3. Berdasarkan angka-angka eksperimen yang didapat, berikan penjelasan tentang respons
ikan Poecilia reticulata jantan, betina gravid, dan betina non gravid terhadap arus. Katgeori
ikan yang mana yang memberikan respons yang paling kuat terhadap arus ?
4. Bandingkan hasil yang diperoleh pada poin 3 dengan hipotesis yang anda buat seperti yang
ada pada poin 2.
D. Evaluasi
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas :
1. Bedakan pengertian kondisi dengan sumber daya
2. Bedakan ciri hewan ektotermal dan endotermal
3. Jelaskan tentang kisaran toleransi dan faktor pembatas
4. Berikan contoh kisaran toleransi dan faktor pembatas pada hewan
E. Daftar Rujukan
Begon, M., Harper, J.L., Townsend, C.R. 1986. Ecology: Individual, Population. Blackwell
Sci.Publ., Oxford.
Brattstrom, B.H. 1963. A Preliminary Review of the Thermal Requirements of Amphibian.
Ecology 44: 238-255.
Dobben, W.H. van, Lowe-McConnel, R.H. (Eds.) 1975. Unifying Concepts in Ecology. Dr.W.Junk
B.V.Publ., The Hague.
Kendeigh, S.C., 1980. Ecology: With Special Reference to Animals and Man. Prentice Hall of
India Private Ltd., New York.
Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper &
Row, Publ., New York.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Saunders College Publishing., Philadelphia.
Price, P.W. 1997. Insect Ecology. John Wiley & Sons, Inc., New York.
Ricklefs, R. 1990. Ecology, 3rd ed. W.H. Freeman, San Francisco.
Rivai, M.A. & Ermitati (Ed), 1993. Glosarium Biologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Stiling, P. 1996. Ecology: Theory and Applications. Prentice Hall International, Inc., New Jersey.