Anda di halaman 1dari 15

BAB II

HEWAN DAN LINGKUNGANNYA


A. Kemampuan Akhir yang Diharapkan
Menjelaskan tentang kondisi, sumber daya pada hewan dan kisaran Toleransi, faktor
Pembatas

B. Indikator
1. Membedakan pengertian kondisi dan sumber daya
2. Membedakan ciri hewan ektotermal dan endotermal
3. Menjelaskan kisaran toleransi dan faktor pembatas
4. Memberikan contoh kisaran toleransi dan faktor pembatas hewan

C. Penyajian Materi
Pengamatan hewan di beberapa lokasi berbeda seringkali menunjukkan bahwa hewan
tertentu ditemukan pada semua lokasi, sedangkan jenis hewan yang lain hanya ditemukan pada
suatu lokasi tertentu. Fakta lain yang adalah tidak semua jenis hewan ditemukan pada semua lokasi
berbeda di belahan bumi. Contoh sederhana adalah ikan tidak ditemukan hidup bebas di daratan,
sebaliknya ayam tidak ditemukan hidup bebas di dalam air. Beberapa jenis burung, seperti Egretta
sp (Kuntul) melakukan beberapa aktivitas di danau asin Gili Meno (wilayah perairan). Akitivitas
tersebut ialah berburu ikan mujaer yang dimanfaatkan sebagai sumber nutrisi. Jenis-jenis amfibi
di Pulau Lombok, kecuali spesies Oreophrine monticola, dapat hidup di air dan darat. Fase berudu
(tadpole) hidup di air, sedangkan juvenile-dewasa hidup di darat karena tidak memiliki insang.
Fenomena-fenomena tersebut memunculkan pertanyaan. Mengapa semua hewan tidak
ditemukan pada suatu lokasi? Sebagai contoh ayam dan ikan. Ikan memiliki insang yang hanya
dapat mengambil oksigen yang larut dalam air, sedangkan ayam memiliki paru-paru yang hanya
dapat mengambil oksigen di udara bebas. Bagaimana dengan ikan tongkol yang tidak bisa hidup
di sungai, sedangkan ikan emas tidak ditemukan di laut? Masalahnya karena perbedaan salinitas
air. Contoh fenomena lainnya: di Taman Wisata Ayam (TWA ) Kerandangan, terdapat berbagai
jenis hewan. Diantaranya adalah amfibi, burung hantu (Otus jolandae), capung dan kupu-kupu.
Amfibi dan burung hantu aktif pada malam hari (nocturnal), sedangkan capung dan kupu-kupu
aktif pada waktu sebaliknya (diurnal).
Berdasarkan fenomena-fenomena yang telah disebutkan tersebut, maka kehidupan hewan
tergantung pada berbagai faktor di luar dirinya. Secara lebih spesifik, dapat dikatakan bahwa
ditemukannya jenis hewan tertentu pada suatu lokasi dan tidak ditemukannya pada lokasi yang
lain disebabkan oleh beroperasinya berbagai faktor di luar diri hewan tersebut. Jenis hewan
tertentu dapat hidup pada suatu lokasi karena faktor-faktor luar yang ada cocok baginya, atau
masih berada pada batas-batas yang ditoleransi oleh hewan tersebut. Sebaliknya, jenis hewan
tertentu tidak dapat ditemukan pada lokasi yang lain, salah satunya adalah karena terdapat faktor-
faktor yang tidak cocok atau berada di luar batas-batas yang dapat ditoleransi oleh hewan tersebut.

1.1 Lingkungan Sebagai Kondisi dan Sumberdaya


Sebelum masuk pada konsep lingkungan sebagai kondisi dan sumberdaya, ada baiknya kita
perhatikan Gambar 2.1 berikut ini.

Gambar 2.1 Kodok Rumah (Bufo melanostictus/Dutaphrynus melanostictus) di sungai TWA


Kerandangan.

Berdasarkan Gambar 2.1 dapat diamati bahwa di sekitar Kodok Rumah ada batu, daun,
ranting, air dan ruang. Terdapat juga O2, suhu, kelembaban dan cahaya yang lebih kasatmata. Jika
mau dihitung, kamera dan orang yang mengambil gambar juga dapat dikatagorikan sebagai
lingkungan dari Kodok Rumah tersebut. Di antara faktor-faktor lingkungan tersebut, ruang dan O2
merupakan lingkungan yang diperlukan dimana keduanya berkurang karena dimanfaatkan.
Lingkungan lainnya seperti batu, daun, ranting, air, suhu, kelembaban dan cahaya secara
fungsional lebih menunjukkan suatu keadaan; x helai daun, y ranting, z batu, demikian seterusnya.
Di sini x, y dan z mewakili jumlah. Untuk suhu, kelembaban dan cahaya, lebih tepat digunakan
istilah intensitas. Ruang dan O2 dapat disebut sebagai sumberdaya sedangkan yang lain adalah
kondisi.
Kesimpulannya, lingkungan sebagai sumberdaya digunakan untuk menunjukkan sesuatu
faktor yang diperlukan oleh hewan, dan kuantitas ketersediaannya di lingkungan akan menjadi
berkurang apabila telah dimanfaatkan oleh hewan itu. Contoh Lingkungan sebagai kondisi
digunakan untuk menunjukkan keadaan (besaran, kadar, intensitas) dari faktor suatu lingkungan.
Konsep ini menginformasikan kepada kita bahwa faktor lingkungan suatu hewan, baik yang
bersifat abiotik maupun biotik, dapat ditinjau sebagai dua aspek fungsional yang berbeda yaitu
lingkungan sebagai sumberdaya dan kondisi. Di alam, perbedaan antara 2 hal tersebut seringkali
tidak jelas karena beberapa faktor lingkungan dapat berfungsi sebagai keduanya. Perihal ini dapat
dinyatakan sebagai irisan di antara dua aspek fungsional tersebut. Hubungan antara aspek
lingkungan sebagai kondisi dan lingkungan sebagai sumberdaya dapat diamati pada Gambar 2.2.

Gambar 2.2 Hubungan antara Gambar 2.3 Hubungan antara K dan


lingkungan sebagai kondisi (K) dan S pada suatu H dengan faktor
lingkungan sebagai sumberdaya (S) lingkungan berupa pH,
pada suatu habitat (H). kelembaban, suhu, oksigen, air,
ruang dan mangsa.
Dualisme fungsi dari suatu faktor lingkungan terjadi karena tiap jenis hewan memberikan
respon yang berbeda terhadap lingkungannya. Misalnya, kandungan oksigen dan air, selain
merupakan lingkungan sebagai kondisi, keduanya dapat juga disebut sebagai faktor lingkungan
sebagai sumberdaya. Oksigen diperlukan oleh hewan aerob, dan air dijadikan sebagai sumberdaya
ruang oleh hewan yang hidup di dalamnya. Dualism ini tidak hanya dapat ditinjau dari jenis
hewannya, namun juga dapat diamati dari aspek perbedaan stadium perkembangan pada spesies
hewan yang sama. Misalnya kodok dan capung. Air merupakan sumberdaya ruang bagi larva
kodok dan capung, sedangkan ketika dewasa air lebih cenderung bersifat sebagai kondisi.
Selama hidupnya, umumnya lingkungan hewan mengalami perubahan, baik yang
berfungsi sebagai kondisi maupun sumberdaya. Perubahan terjadi seiring dengan berjalannya
waktu. Berdasarkan hal ini, secara garis besar terdapat 3 sifat perubahan, yaitu siklik, terarah dan
menentu (eratik). Perubahan siklik adalah suatu perubahan yang terjadinya berulang-ulang secara
berirama, seperti malam dan siang, laut pasang dan surut, perubahan musim kemarau-penghujan,
dan lain sebagainya. Perubahan terarah merupakan suatu perubahan yang terjadi berangsur-angsur,
secara terus menerus dan progresif menuju ke suatu arah tertentu. Proses perubahan tersebut
berlangsung lama, melebihi panjang umur individu hewan yang hidup di lngkungan itu. Contoh
perubahan yang demikian adalah terjadinya erosi progresif garis pantai atau pengendapan lumpur
di suatu estuaria, dan proses suksesi. Perubahan eratik adalah suatu perubahan yang tak berpola
dan tidak menunjukkan konsistensi mengenai arah perubahannya. Misalnya, terjadinya
pengendapan jatuhan debu dari letusan gunung, serta terjadinya banjir ataupun kebakaran hutan.
Ketersediaan sumberdaya yang merupakan fungsi dari ruang dan waktu dengan corak
yang berbeda, maka hewan memerlukan suatu strategi untuk dapat mengantisipasinya. Contoh,
ketika mendekati–saat musim panen padi, kawanan burung pipit akan mencari sumberdaya
makanan di sawah, setelahnya burung tersebut akan mencari makanan di tempat lain. Katak dan
kodok melakukan perkawinan pada musim hujan karena tersedia sumberdaya ruang berupa kolam-
kolam pemijahan yang terbentuk secara alami.

1.2 Suhu, Ektotermi dan Konsep Waktu-Suhu, Endotermi


1. Suhu
Suhu dapat sebagai faktor pembatas karena pertumbuhan dan perkembangan makhluk
hidup/hewan tergantung suhu.
Contohnya,
meningkatnya suhu menyebabkan menaikkan laju transpirasi tumbuhan. Pada belalang dan kupu-
kupu suhu yang bervariasi menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih cepat daripada suhu
konstan.
Sebagai faktor lingkungan yang utama, suhu memberikan efek yang berbeda-beda pada
hewan di bumi ini. Variasi suhu lingkungan alami dapat ditinjau dari berbagai segi, misalnya dari
sifat sikliknya (harian, musiman), dari kaitannya dengan letak terhadap garis lintang bumi
(latitudinal) atau ketinggian di atas permukaan laut (altitudinal) dan kedalaman (perairan air tawar,
lautan, tanah). Di samping itu dikenal juga variasi suhu alami dalam hubungan yang lebih akrab
dengan organisme (mikroklimatik).
Berdasarkan hubungan antara suhu tubuh dan suhu lingkungannya, hewan dapat dibedakan
menjadi kelompok hewan poikiloterm dan homeoterm. Hewan poikiloterm suhu tubuhnya
berubah-ubah mengikuti dan selaras dengan suhu lingkungannya. Hewan homeoterm suhu
tubuhnya relatif konstan meskipun suhu lingkungan berubah-ubah. Hal ini disebabkan hewan
homeoterm mempunyai kemampuan untuk mengatur suhu tubuh secara fisiologis.
Poikilotermi dan homeotermi, pada dasarnya menyangkut masalah produksi panas dalam
tubuh dan pemanfaatannya dalam menghadapi perubahan suhu dan panas lingkungan hewan.
Contoh hewan poikiloterm adalah ikan, amfibi, reptile sedangkan contoh hewan homeoterm adalah
burung dan mamalia.

2. Ektotermi
Hewan-hewan poikiloterm, yaitu semua jenis hewan kecuali yang termasuk kelompok
Aves dan Mammlia, merupakan ektoterm. Ini berarti bahwa hewan-hewan tersebut sangat
bergantung pada sumber panas dari lingkungannya. Kemampuan mengatur suhu tubuh pada
hewan-hewan ektoterm sangat terbatas sehingga suhu tubuhnya bervariasi mengikuti suhu
lingkungannya.
Pada kondisi suhu lingkungan yang ekstrim rendah di bawah ambang toleransinya, hewan
ektoterm mati. Pada suhu rendah yang masih dapat ditolerir, laju metabolisme tubuhnya dan segala
aktivitas lainnya pun rendah. Akibatnya gerakan hewan tersebut menjadi sangat lamban, sehingga
akan mudah bagi predator untuk menangkapnya.
Sebenarnya, hewan-hewan ektoterm berkemampuan juga untuk mengatur suhu tubuhnya,
namun daya mengaturnya itu tidak fisiologis sifatnya, melainkan secara perilaku. Apabila suhu
lingkungan terlalu panas, hewan ektoterm akan berlindung di tempat-tempat teduh, dan bila suhu
lingkungan turun hewan akan berjemur di panas matahari atau berdiam diri di tempat-tempat yang
memberikan kehangatan baginya.

3. Konsep waktu-suhu
Waktu berlangsungnya perkembangbiakan hewan ektoterm merupakan fungsi suhu dari
lingkungan.
Contohnya Pada belalang mempunyai suhu ambang terjadi perkembangbiakan 160C dan pada suhu
200C (yaitu 40C di ats suhu ambang) lamanya waktu untuk menetaskan telur adalah 17,5 hari. Pada
suhu 300C (140C di atas suhu ambang) lamanya perkembangan telur sampai menetas adalah 5 hari
(dalam hal ini waktu perkembangan telur adalah 70 hari-derajat di atas suhu ambang).
Konsep waktu suhu ini penting untk memahami pewaktuan kejadian dinamika populasi
ektoterm gunamemprediksi ledakan hama. Laju metabolisme hewan ektoterm akan meningkat
dengan naiknya suhu. Keterkaitan ini disebut Kuosien Suhu (Q10). Q10 bervariasi untuk jenis
hewan. Misalnya kumbang Q10 = 2,5. ada juga Q10 = 3. Artinya setiap kenaikan suhu 100c maka
laju metabolisme naik 3 kali.
Hewan endoterm mempunyai kemampuan mengatur suhu tubuh. Untuk menyesuaikan
tubuh hewan dengan suhu lingkungan memerlukan biaya tinggi dari makanan, tapi mendapatkan
keuntungan yang tinggi. Berbeda dengan ektoterm menghadapi suhu lingkungan. membutuhkan
biaya rendah tapi mendapat keuntungan rendah.
Berdasarkan aspek ekologi, kepentingan suhu bagi hewan-hewan ektoterm tidak hanya
berkaitan dengan aktivitasnya, tetapi juga mengenai pengaruhnya terhadap laju perkembangan.
Dalam suatu kisaran suhu tertentu, antara laju perkembangan dengan suhu lingkungan terdapat
hubungan linier. Konsekuensinya adalah bahwa pada hewan-hewan ektoterm lamanya waktu
perkembangan tergantung dari kondisi suhu lingkungannya (Konsep waktu-suhu). Dengan kata
lain, pernyataan mengenai berapa lamanya waktu perkembangan selalu perlu disertai dengan
pernyataan pada suhu berapa berlangsungnya proses perkembangan itu, karena pada hewan-hewan
ektoterm lamanya waktu (berlangsungnya proses perkembangan) merupakan fungsi dari suhu
lingkungan, maka kombinasi waktu-suhu itu, yang seringkali dinamakan waktu fisiologis
mempunyai arti penting.
Dengan menggunakan konsep waktu-suhu, yang diwujudkan dalam bentuk satuan hari-
derajat seperti contoh di atas, maka suatu fenomena akibat proses perkembangan, seperti
peledakan populasi misalnya, dapat diramalkan kapan akan terjadinya. Dalam bidang pertanian
dan perkebunan, informasi mengenai akan timbulnya suatu ledakan populasi serangga hama
mempunyai nilai guna yang sangat penting, karena para petani dapat mengantisipasi dan mencegah
terjadinya dengan upaya yang efektif.
4. Endotermi
Hewan-hewan homeoterm, seperti kelompok Aves dan Mammalia, walaupun kondisi suhu
lingkungan berubah-ubah, suhu tubuhnya konstan. Hal ini disebabkan karena hewan-hewan itu
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk mengatur suhu tubuhnya melalui perubahan produksi
panas (laju metabolisme) dalam tubuhnya sendiri (endoterm).
Terjadinya kekonstanan suhu tubuh tersebut mengakibatkan hewan-hewan endoterm
mampu menunjukkan kinerja yang konstan pula. Kemampuan mengatur suhu tubuh itu
memerlukan energi (biaya) yang relatif tinggi (Gambar 2.7). Sehubungan dengan itu maka
persyaratan masukan sumber dasar energinya pun, yaitu makanan, relatif tinggi pula.
Dibandingkan dengan hewan-hewan ektoterm yang sebanding besar tubuhnya, suatu hewan
endoterm memerlukan masukan energi makanan yang lebih tinggi.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam meghadapi kondisi suhu
lingkungannya, hewan-hewan endoterm mempunyai strategi biaya tinggi, yang memberikan
keuntungan yang relatif tinggi pula. Tidak demikian halnya pada hewan-hewan ektoterm, dalam
menghadapi kondisi suhu lingkungannya itu hewan-hewan ektoterm menggunakan strategi biaya
rendah, yang kadang-kadang hanya memberikan keuntungan yang rendah pula. Biaya disini
maksudnya adalah materi dan energi yang diperoleh dari makanan.

1.3 Kisaran Toleransi dan Faktor Pembatas


Setiap organisme hanya dapat hidup dalam kondisi faktor lingkungan yang dapat
ditolerirnya. Dinyatakan secara lain, yaitu menurut hukum toleransi (Shelford), setiap organisme
mempunyai suatu minimum dan maksimum ekologis, yang merupakan batas bawah dan batas atas
dari kisaran toleransi organisme itu terhadap kondisi faktor lingkungannya. Misalnya, amfibi
memliki kisaran suhu toleransi dari 10oC sampai dengan 30oC.
Apabila organisme terdedah pada suatu kondisi faktor lingkungan yang mendekati batas
kisaran toleransinya, maka organisme akan mengalami keadaan cekaman (“stress”) fisiologis.
Dengan perkataan lain, hewan berada pada kondisi kritis yang menentukan sintas tidaknya.
Sebagai contoh, hewan yang didedahkan pada suhu ekstrim rendah akan menunnjukkan kondisi
kritis berupa hipotermia, sedang pada suhu ekstrim tinggi akan mengakibatkan gejala hipertermia.
Apabila kondisi lingkungan suhu yang mendekati batas-batas kisaran toleransi hewan itu
berlangsung lama dan tidak segera berubah menjadi baik, maka hewan akan mati. Setiap kondisi
faktor lingkungan yang besarnya atau intensitasnya mendekati atas kisaran toleransi organisme,
akan beroperasi sebagai faktor pembatas, yang berperan sangat penting bagi kesintasan hewan.
Tidak mudah untuk menetukan batas-batas kisaran toleransi suatu hewan terhadap suatu
faktor lingkungan, terlebih-lebih lagi dalam lingkungan alami. Setiap organisme terdedah pada
sejumlah faktor lingkungan, dan oleh adanya suatu interaksi faktor maka suatu faktor lingkungan
dapat saja mengubah efek faktor lngkungan lain. Misalnlya, suatu individu hewan akan merasakan
efek suhu tinggi yang lebih besar apabila kelembaban udara tinggi, dibandingkan dengan pada
kelembaban udara yang relatif lebih rendah. Dengan perkataan lain, hewan akan lebih tahan
terhadap suhu tinggi apabila udara kering dibandingkan dengan pada kondisi udara yang lembab.
Kisaran toleransi terhadap suatu faktor lingkungan tertentu pada berjenis-jenis hewan, baik
yang berkohabitasi maupun tidak, dapat berbeda-beda. Jenis hewan yang satu mungkin saja
kisaran toleransinya lebar (euri-) sedangkan jenis hewan lainnya sempit (steno-). Ikan mujaer
mempunyai kisaran toleransi terhadap salinitas yang lebar (eurihalin), sedangkan berjenis-jenis
ikan yang berkohabitasi dengannya di daerah muara sungai bersifat stenohalin dan juga oligohalin.
Selain itu suatu jenis hewan tertentu dapat berbeda-beda pula rentang kisaran toleransinya terhadap
faktor-faktor lingkungan yang berbeda. Misalnya, suatu jenis hewan kisaran toleransinya terhadap
kandungan air sempit (stenohidris) tetapi terhadap kondisi suhu lingkungan toleransinya lebar
(euritermal), ataupun kebalikannya. Jenis-jenis hewan yang kisaran tolernasinya terhadap banyak
faktor lebar, biasanya mempunyai daerah sebaran yang relatif luas, dan hewan demikian seringkali
kisaran seleksi habitat yang dapat dihuninya juga lebar (euriesius). Contohnya adalah Fejervarya
cancrivora (katak sawah). Rentang toleransi yag lebar terhadap salinitas air menyebabkannya
dapat ditemukan di sawah, sungai (salinitas rendah), estuaria atau payau, sampai perairan dengan
salinitas tinggi di danau asin Gili Meno.
Stadia muda hasil berbiak (telur, larva, anak) pada umumnya mempunyai kisaran toleransi
yang sempit untuk beragai faktor lingkungan. Demikian pula dengan kisran toleransi hewan
dewasa yang sedang berbiak bila dibandingkan yang tidak berbiak. Karena relatif sempitnya
kisaran-kisaran toleransi stadia muda dan hewan yang sedang berbiak terhadap berbagai faktor
lingkungan, maka perubahan kondisi faktor-faktor lingkungan itu relatif tinggi peluangnya untuk
beroperasi sebagai faktor pembatas. Karena itu maka musim perkembangbiakan hewan sering kali
dianggap sebagai perioda kritis.
Kisaran toleransi terhadap sebuah faktor lingkungan ditentukan secara herediter. Namun
demikian, kisaran toleransi dapat mengalami perubahan oleh terjadinya proses aklimatisasi (di
alam) atau aklimasi (di laboratorium)

1.4 Aspek Terapan Kisaran Toleransi


Konsep kisaran toleransi, berikut faktor pembatas dan preferendum sudah sering
diterapkan di bidang-bidang pertanian, peternakan, konservasi dan lain sebagainya. Pada dasarnya,
untuk jenis hewan-hewan yang berguna, yang produksinya diupayakan agar sebanyak mungkin
lingkungan hidupnya akan dibuat sedemikian rupa oleh si pemelihara agar kondisi berbagai faktor
lingkungan hewan itu mendekati kondisi preferendumnya. Untuk jenis-jenis hewan yang
merugikan kondisi lingkungan itu biasanya dibuat sebaliknya, yaitu agar mendekati kondisi batas
atas dan batas bawah kisaran toleransinya.
Pemupukan oleh kotoran bebek, komposisi Fitoplankton normal terdiri dari jenis-jenis
Dinoflagellata, Flagellata hijau serta Diatomae, yang terutama terdiri dari genus-genus
Nitzschia.Sebelum terjadinya pemupukan oleh kotoran bebek, perairan itu telah mendukung suatu
industri tiram yang berhasil. Setelah ekosistem mengalami perubahan banyak sekali tiram yang
mati kelaparan. Tiram-tiram yang mati itu ususnya penuh dengan Nannochloris dan Stichococcus
yang tidak dapat dicerna.
Contoh kasus di atas juga menunjukkan bahwa bila kondisi lingkungan berubah maka
organisme-organisme “spesialis”, yang dalam keadaan normal jumlahnya jarang, dapat berubah
dan mengambil alih peranan menjadi predominan.

1.5 Gambaran Umum Faktor-Faktor Lingkungan


1. Suhu
Suhu dapat sebagai faktor pembatas krna pertumb dan perkem mh/hewan tergantung suhu.
Contoh suhu menyebabkan menaikkan laju transpirasi.
Pada belalang dan kupu-kupu suhu, yang bervariasi menghasilkan laju pertumbuhan yang
lebih cepat daripada suhu konstan. Berbagai jenis hewan biasa hidup pada suhu lingkungan yang
bervariasi, aktivitas hidupnya akan terganggu jika dipelihara pada suhu konstan.

2. Air dan kelembaban


Pengukuran kelembaban relatif satuan ppm atau persen. Hewan mempunyai strategi
menghadapi air dan kelembaban yang tidak cocok. M airisalnya Estivasi yaitu tidur musim kering.
Nokturnal yaitu aktif malam hari dan hewan padang pasir memiliki urine dan feses padat dan
kering untuk mengatasi air yang dijumpai terbatas.

3. Cahaya Matahari
Pada hawa atau sinar matahari mempengaruhi pola pewarnaan tubuh. Hewan yang hidup
di daerah terang umumnya warna tubuh cerah. Sebaliknya yang hidup di daerah gelap warna tubuh
gelap.

4. Gas-gas atmosfer
Gas atmosfer jarang sebagai faktor pembatas karena gas di atmosfer relatif konstan.
Namun akhir ini ketidak stabilan komposisi gas-polutan di atmosfer berdampak negatif pada
pernafasan dan suhu bumu

5. Arus dan tekanan


Arus angin dapat sebagai faktor pembatas yaitu jika angin terlalu kencang dapat
menggangu pergerakan serangga dan burung. Sebaliknya arus angin yg terlalu rendah mengurangi
penyebaran senyawa volatail (bau) sebagai alat komunikasi serangga. Arus pada air menimbulkan
respon taksis pada organisme air (ikan). Ikan melawan arus : respon reotaksis positif. Ikan
mengikuti arus : respon reotaksis negatif.

1.6 Percobaan Respon Hewan terhadap Faktor Lingkungannya


Percobaan I
Preferensi Hewan Terhadap Suhu Lingkungan

Tujuan Praktikum :
Mengetahui efek faktor suhu terhadap sebaran individu-individu dari jenis hewan akuatik yang
mobil serta menentukan kisaran suhu preferendumnya.

Bahan dan Tata Kerja :


A. Hewan Percobaan
Jenis hewan yang akan digunakan dalam praktikum ini adalah Poecilia reticulate yang diambil
dari kolam-kolam atau parit yang ada di sekitar kampus dan daerah sekitarnya. Hewan hasil koleksi
yang akan digunakan untuk semua percobaan harus berasal dari habitat yang sama. Hewan yang
akan digunakan untuk praktikum sebaiknya dipisah-pisahkan tempatnya berdasarkan jenis
kelamin dan kondisi fisiologisnya (jantan, betina gravid, dan betina non gravid). Setiap percobaan
yang menggunakan masing-masing kategori ikan tersebut harus memiliki ukuran yang sama.

B. Tata Kerja
1. Menyusun kotak percobaan preferensi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk
diisi air dengan kondisi yang sejajar (merata).
2. Mengisi kotak percobaan dengan air kolam yang sudah disaring atau menggunakan air
ledeng yang sudah dikondisikan setinggi 3 – 5 cm.
3. Meletakkan potongan-potongan es batu pada salah satu ujung kotak percobaan dan
melakukan pemanasan pada salah satu ujung kotak percobaan yang lainnya dengan tidak
melebihi suhu 40^C.
4. Memasang thermometer pada tiap-tiap ruangan yang terdapat pada kotak percobaan dan
melakukan pencatatan suhunya sampai terjadi perbedaan suhu pada tiap-tiap ruangannya.
5. Memasukkan ikan percobaan sebanyak 20 ekor pada bagian tengah kotak.
6. Membiarkan ikan di dalam kotak percobaan selama 15 menit kemudian melakukan
pencatatan suhu dan jumlah ikan yang terdapat pada tiap-tiap kotak.
7. Melakukan pencatatan seperti langkah pada no. 6 sebanyak 5 kali dengan interval waktu
selama 5 menit.
8. Memasukkan hasil pengamatan ke dalam lembar data untuk dijadikan sebagai dasar dalam
membuat kesimpulan.

Bahan Diskusi (Laporan)


1. Bandingkan hasil yang didapat dari tiap kategori percobaan dan berikan komentar serta
kesimpulan anda mengenai sebaran ikan pada kisaran zona suhu dan suhu preferendumnya.
2. Apakah aklimasi ikan pada kondisi suhu yang berbeda dapat mengubah pola sebaran dan
suhu preferendumnya
Percobaan 2
Reotaksis
Tujuan Praktikum :
Mengetahui respons hewan akuatik mobil terhadap arus air.
Bahan dan Tata Kerja :
A. Peralatan
Kelengkapan yang harus dibawa sebelum melakukan kegiatan praktikum di lapangan adalah kotak
reotaksis, thermometer, arloji henti (stopwatch), saringan, tempat menyimpan ikan (bejana, ember,
kantung plastik) dan jala siuk atau alat lain yang dapat digunakan untuk menangkap dan
memindahkan ikan. Hewan yang digunakan dalam percobaan adalah ikan Poecilia reticulata
paling sedikit 15 spesimen dari masing-masing kategori (jantan dewasa, betina gravid, dan betina
non gravid).

B. Tata Kerja
1. Meletakkan kotak reotaksis di selokan atau tepi sungai yang dangkal yang berarus tidak
begitu kuat (kecepatan arusnya tidak melebihi 0.2 m/dt pada kotak eksperimen) dan airnya
jernih (tidak kotor) serta terhindar dari panas matahari (ternaung).
2. Mengisikan air yang berasal dari perairan yang sama ke dalam parit control sehingga airnya
sama tinggi dengan yang ada di parit eksperimen (setinggi 10 cm).
3. Mengukur kecepatan arus dan suhu air pada kotak eksperimen sebanyak 3 kali. Pengukuran
suhu dilakukan pada bagian awal, tengah, dan akhir parit.
4. Memasukkan masing-masing 10 individu ikan Poecilia reticulata dari suatu kategori
kelompok ikan dengan menggunakan saringan kecil ke dalam parit eksperimen.
Membiarkan ikan percobaan selama 5 menit untuk menyesuaikan diri dengan kondisi
lingkungan barunya.
5. Menghitung jumlah individu ikan yang memenuhi kriteria positif, negatif maupun
indiferent selama interval waktu 1 menit sebanyak 10 kali.
6. Melakukan pengukuran arus dan suhu air kembali pada akhir pengamatan masing-masing
sebanyak 3 kali.
7. Memindahkan ikan dari parit eksperimen secara hati-hati ke dalam salah satu parit control.
Apabila ditemukan individu-individu ikan yang tidak lagi gesit, cidera ataupun lepas, harus
diganti dengan ikan yang baru hingga jumlahnya tetap 10.
8. Melakukan prosedur percobaan yang sama dengan 4 – 6.
9. Pada akhir eksperimen, ikan yang digunakan bahan percobaan harus dikeluarkan dan
dilepaskan kembali ke perairan.

Bahan Laporan
1. Data yang diolah untuk dijadikan sebagai bahan laporan adalah data kelas.
2. Apabila dilihat dari kategori ikan yang digunakan dalam percobaan reotaksis, rumuskan
hipotesis yang berhubungan dengan respons ikan Poecilia reticulata terhadap kecepatan
arus dilihat dari kategori ikan yang berbeda-beda.
3. Berdasarkan angka-angka eksperimen yang didapat, berikan penjelasan tentang respons
ikan Poecilia reticulata jantan, betina gravid, dan betina non gravid terhadap arus. Katgeori
ikan yang mana yang memberikan respons yang paling kuat terhadap arus ?
4. Bandingkan hasil yang diperoleh pada poin 3 dengan hipotesis yang anda buat seperti yang
ada pada poin 2.

D. Evaluasi
Jawablah pertanyaan di bawah ini dengan jelas :
1. Bedakan pengertian kondisi dengan sumber daya
2. Bedakan ciri hewan ektotermal dan endotermal
3. Jelaskan tentang kisaran toleransi dan faktor pembatas
4. Berikan contoh kisaran toleransi dan faktor pembatas pada hewan

E. Daftar Rujukan
Begon, M., Harper, J.L., Townsend, C.R. 1986. Ecology: Individual, Population. Blackwell
Sci.Publ., Oxford.
Brattstrom, B.H. 1963. A Preliminary Review of the Thermal Requirements of Amphibian.
Ecology 44: 238-255.
Dobben, W.H. van, Lowe-McConnel, R.H. (Eds.) 1975. Unifying Concepts in Ecology. Dr.W.Junk
B.V.Publ., The Hague.
Kendeigh, S.C., 1980. Ecology: With Special Reference to Animals and Man. Prentice Hall of
India Private Ltd., New York.
Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. Harper &
Row, Publ., New York.
Odum, E.P. 1983. Basic Ecology. Saunders College Publishing., Philadelphia.
Price, P.W. 1997. Insect Ecology. John Wiley & Sons, Inc., New York.
Ricklefs, R. 1990. Ecology, 3rd ed. W.H. Freeman, San Francisco.
Rivai, M.A. & Ermitati (Ed), 1993. Glosarium Biologi. Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.
Stiling, P. 1996. Ecology: Theory and Applications. Prentice Hall International, Inc., New Jersey.

Anda mungkin juga menyukai