Anda di halaman 1dari 67

Modul 1

Lingkungan dan Bentuk Kehidupan


Prof. Dr. Ir. Djoni Prawira Rahardja, M.Sc.

PEN D A HU L UA N

M odul 1 mata kuliah Lingkungan Ternak ini bertujuan untuk


memberikan pemahaman dasar mengenai pentingnya pengetahuan
tentang lingkungan tempat hewan ternak dapat hidup, berkembang-biak, dan
berproduksi untuk memenuhi kebutuhan manusia.
Setelah membaca Modul 1 ini, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan
tentang asal-muasal kehidupan yang diuraikan dalam Kegiatan Belajar 1
sebagai berikut.
Asal muasal kehidupan – Vertebrata purba: pada bagian ini diuraikan
secara singkat tentang karakteristik lingkungan hidup dan karakteristik
bentuk-bentuk kehidupan para penghuninya. Sesuai dengan dugaan bahwa
perkembangan evolusi moyang hewan ternak – vertebrata purba - kehidupan
berawal dari kehidupan di perairan laut yang bermigrasi ke perairan tawar
dan ke terestrial (daratan); sebagian dari mereka ada yang tetap tinggal dan
atau kembali ke lingkungan asal. Kenyataan menunjukkan bahwa lingkungan
hidup yang berbeda menuntut kelengkapan mekanisme adaptif yang berbeda
yang harus dimiliki hewan-ternak.
Selain itu mahasiswa juga diharapkan dapat menjelaskan tentang Satwa
dan Ternak di Indonesia yang mencakup sejarah, pemanfaatan dan
potensinya yang diuraikan pada Kegiatan Belajar 2 sebagai berikut.
Satwa Indonesia: pada bagian ini diuraikan mengenai kelimpahan dan
keanekaragaman satwa di Indonesia, sejarah, dan pemanfaatannya. Di
samping untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengetahuan
tentang satwa Indonesia dipandang perlu tidak hanya terbatas pada yang
terlibat langsung, tetapi keterlibatan semua orang Indonesia diperlukan untuk
mempertahankan plasma nutfah kekayaan alamnya.
1.2 Lingkungan Ternak 

Kegiatan Belajar 1

Lingkungan Hidup, Kehidupan, dan


Zoogeografi
A. ASAL MUASAL KEHIDUPAN – VERTEBRATA PURBA

Bukti-bukti paleontologi memberikan petunjuk bahwa kehidupan


moyang hewan-ternak (vertebrata purba) bermula dari lingkungan perairan
laut. Dalam perkembangan evolusionernya, bentuk kehidupan yang sangat
primitif mengalami perubahan dari yang sederhana menjadi bentuk
kehidupan yang semakin kompleks. Sementara ada organisme yang masih
tetap tinggal di lingkungan perairan laut, ada sebagian organisme yang
berangsur-angsur pindah ke lingkungan hidup baru, yaitu ke perairan tawar
setelah melalui lingkungan perairan payau. Bahkan ada juga yang pindah ke
lingkungan terestrial (daratan). Perpindahan ke lingkungan hidup yang baru
tersebut mengandung makna yang memberi petunjuk perihal kemampuan
migran-migran untuk bertahan hidup di lingkungan yang baru berkat
perkembangan seperangkat mekanisme adaptif ke pola kehidupan yang baru.
Perubahan lingkungan hidup mutlak memerlukan dan harus disertai dengan
banyak perubahan pada pola hidup. Perubahan-perubahan ini disebut
perubahan adaptif atau adaptasi. Adaptasi ini dapat berupa perubahan
perilaku, fungsional atau perubahan struktural, namun dapat pula berupa
perubahan perilaku, perubahan fungsional, struktural, dan pola hidup
sekaligus.
Jika kita telaah lebih mendalam, akan tampak bahwa perubahan-
perubahan adaptif tersebut didasari dan dimulai oleh perubahan-perubahan
kimiawi. Di bawah ini akan dibahas modifikasi-modifikasi yang terjadi dan
ditemukan sehubungan dengan atau yang menyertai perubahan atau
pergantian lingkungan hidup. Perlu disadari bahwa modifikasi-modifikasi
tersebut tidak dilakukan secara sadar dan sengaja oleh organisme yang
bermigrasi. Hendaknya dihindari anggapan bahwa ada hewan yang dengan
sadar bersusah payah melakukan adaptasi ke lingkungan hidup yang berbeda
dari lingkungan hidupnya sendiri. Seekor hewan dapat atau tidak dapat hidup
di suatu lingkungan baru adalah semata-mata bergantung pada kemampuan
hewan tersebut untuk bertahan hidup di lingkungan barunya. Sebagai contoh,
hal ihwal perpindahan hewan perairan laut ke perairan tawar. Hanya hewan
 LUHT4214/MODUL 1 1.3

yang mempunyai kemampuan untuk memantapkan segala sesuatu yang ada


dalam tubuhnya dan tidak bergantung pada lingkungannya yang dapat
bertahan hidup. Kemampuan pemantapan ini di antaranya ialah
mempertahankan kadar garam dalam cairan tubuhnya agar tekanan
osmotiknya tetap lebih tinggi dibandingkan tekanan osmotik air tawar di
lingkungan barunya. Jika kemampuan tersebut tidak dimilikinya dan susunan
cairan tubuhnya terombang-ambing oleh perubahan air di lingkungannya
maka dapat dipastikan bahwa hewan tersebut tidak akan dapat bertahan hidup
walau usaha apa pun ia lakukan dengan sadar dan sengaja.
Dapat kita bayangkan betapa sulitnya hidup pada permulaan penghunian
perairan tawar oleh para migran asal perairan laut. Banyak sekali
penyesuaian dan modifikasi yang harus terjadi sebelum hewan perairan laut
dapat menerobos daerah estuarin, yaitu daerah perairan payau, atau daerah
yang memisahkan perairan laut dan perairan tawar. Penghunian daerah
daratan (terestrial) tidak kalah sulitnya pada tahap-tahap permulaan karena
penghunian daratan memerlukan perubahan adaptif yang sangat lanjut.
Sampai sekarang, masih ada daerah-daerah yang belum dapat dihuni oleh
suatu bentuk kehidupan.
1.4 Lingkungan Ternak 

Sumber: Rahardja, 2010

Gambar 1.1
Skema kemungkinan kemunculan hewan-hewan vertebrata dan migrasinya
dari satu lingkungan ke lingkungan yang berbeda dalam kurun waktu evolusi.

B. LINGKUNGAN DAN BENTUK KEHIDUPAN

1. Lingkungan Hidup
Bumi diperkirakan telah berumur 4,5 juta tahun dan memiliki luas
permukaan 509.712.000 km2 yang terdiri atas ± 29% lingkungan terestrial,
± 70% lingkungan perairan laut, dan hanya ± 1% lingkungan perairan tawar.
Berdasarkan lingkungan hidupnya, hewan-hewan dapat dibagi menjadi 3
kelompok besar, yaitu penghuni perairan laut, penghuni perairan tawar, dan
 LUHT4214/MODUL 1 1.5

penghuni terestrial. Selain itu, sesungguhnya ada bentuk-bentuk peralihan


yang jelas, misalnya yang habitatnya daerah litoral, yaitu daerah yang
memisahkan lingkungan perairan dan terestrial, dan yang hidup di
lingkungan estuarine yaitu daerah yang memisahkan perairan laut dan
perairan tawar sungai. Dan masih ada kelompok hewan yang hidup di daerah
rawa dan daerah genangan air yang berbeda dari lingkungan perairan sungai
ataupun terestrial.
Menurut kaidah dan teori evolusi, perubahan adaptif terjadi sangat
lamban dan bertahap, dan mungkin sekali melalui proses mutasi genetik
berkali-kali. Oleh karena itu, dapat diduga bahwa migrasi atau perubahan
habitat tidaklah terjadi secara drastis. Dalam hal ini, bentuk-bentuk habitat
peralihan mempunyai peranan yang sangat penting dalam perwujudan
kelompok-kelompok hewan yang hidup dan menetap di lingkungan perairan
laut, di perairan tawar, dan di daerah terestrial. Sebagai contoh, siput air
tawar (Hydrobia jenkinsi) pada awal abad XIX masih merupakan hewan
perairan payau atau estuarin. Dalam kurun waktu yang cukup lama, pada
akhirnya hewan tersebut memperoleh perubahan adaptif terakhir yang
diperlukan untuk dapat hidup di lingkungan perairan tawar. Kalau perubahan
adaptif terakhir ini saja yang kita tinjau, maka seolah-olah telah terjadi
perubahan adaptif yang dramatis secara mendadak.
Untuk memahami kejadian-kejadian tersebut di atas, di bawah ini akan
diuraikan tentang perbandingan tiga habitat, yaitu perairan laut, perairan
tawar, dan terestrial.
Sifat-sifat pokok ketiga habitat tersebut menentukan jenis-jenis
organisme yang dapat hidup wajar di dalamnya. (1) Massa. Lautan
mempunyai massa yang sangat besar sehingga perubahan yang dapat terjadi
karena pengaruh alam dapat dikatakan sangat kecil secara keseluruhan.
Sebagai contoh, gunung yang meletus hanya memberikan dampak lokal
untuk waktu yang singkat dan tidak mempengaruhi keadaan laut secara
keseluruhan. Selain itu, air memiliki (2) Panas Jenis yang tinggi sehingga
paparan terhadap panas yang banyak hanya akan mengubah suhu air sedikit
saja dan tidak berarti. (3) Viskositas yang tinggi menjamin terjadinya
gangguan yang minim walau ada pengaruh mekanik yang hebat, seolah-olah
terjadi peredaman pengaruh mekanik. Hal demikian tentunya tidak berlaku
bagi perairan yang sangat dangkal.
Di daerah atau wilayah terestrial terjadi hal yang sebaliknya. Perubahan
suhu sepanjang hari sangat terasa sekali. Ditambah viskositas udara yang
1.6 Lingkungan Ternak 

sangat kecil, guncangan klimatik akan dirasakan cukup hebat. Sehubungan


dengan sifat-sifat tersebut di atas maka perairan, terlebih perairan laut,
merupakan lingkungan hidup yang jauh lebih mantap dibandingkan terestrial,
walaupun ada juga sifat yang lebih menguntungkan di lingkungan terestrial.
Udara mengandung oksigen dengan kadar yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan yang terkandung di air. Ruang udara di atas daratan
memiliki viskositas yang minim sehingga memberi peluang gerakan yang
jauh lebih cepat dibandingkan dengan di dalam air yang viskositasnya tinggi.
Namun, dipandang dari segi kemantapan sifat-sifatnya, lingkungan perairan
jauh lebih baik daripada lingkungan terestrial.
Di samping itu, dapat pula dipahami bahwa lingkungan perairan tawar
kurang stabil dibandingkan dengan perairan laut. Keadaan ini dapat dilihat
dari massa perairan tawar yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan massa
perairan laut. Selain itu, masih ada sifat-sifat lain yang menjadikan perairan
tawar lebih inferior dibandingkan dengan perairan laut, yaitu (4) Sifat-sifat
Fisikokimiawi yang sangat berbeda antara kedua lingkungan tersebut.
Perairan laut mempunyai kadar garam yang 100-1000 kali kadar garam air
tawar. Perbedaan kadar garam yang menonjol tersebut merupakan hambatan
utama bagi calon-calon migran dari kehidupan di perairan laut ke kehidupan
di perairan tawar.
Sebagai ilustrasi, sel merupakan unit fungsional terkecil bagi organisme
multiseluler. Oleh karenanya, kehidupan organisme pada hakikatnya
merupakan resultante fungsi dari sel-sel yang menyusun jaringan tubuh
organisme tersebut, dan fungsi tersebut sangat bergantung pada dan
ditentukan oleh cairan tubuh yang melingkunginya. Suatu cairan hayati
buatan yang dapat digunakan sebagai pengganti cairan tubuh, misalnya
larutan ringer, dapat menjamin jantung tetap berdenyut untuk beberapa jam.
Jika larutan Ringer tersebut diubah sedikit saja komposisi bahan yang
menyusunnya maka hal itu sudah cukup untuk menyebabkan jantung berhenti
berdenyut. Sel-sel jantung mungkin dapat bertahan hidup lebih lama, namun
fungsinya sebagai bagian integral jantung telah menjadi kacau.
Di dalam tubuh hewan, cairan hayati yang melingkungi organ-organ
tubuh ialah darah dan cairan ekstra-sel lainnya, termasuk cairan interstitial.
Dalam cairan-cairan tubuh tersebut segala sesuatunya mengalami
pemantapan yang diatur secara osmotik untuk menjamin kemantapan susunan
kimiawi dan sifat-sifat fisikanya. Kadar garamnya, ragam dan rasio berbagai
ion yang terdapat di dalamnya, pH-nya, tekanan osmotiknya, suhunya, dan
 LUHT4214/MODUL 1 1.7

sifat-sifat fisikokimiawi lainnya dibuat mantap sepanjang kehidupan hewan.


Salah satu aspek Ilmu Faal yang secara khas mempelajari mekanisme
pemantapan cairan-cairan tubuh tersebut disebut homeostasis.
Organisme yang paling primitif tidak memiliki mekanisme pengaturan
kemantapan yang kompleks, akan tetapi organisme tersebut ternyata
memiliki ketahanan terhadap variasi lingkungan yang lebih luas
dibandingkan dengan hewan-hewan yang organisasinya telah sempurna.
Namun, organisme primitif tersebut juga memerlukan suatu kisaran
kemantapan lingkungan bagi hidupnya untuk bertumbuh dan berkembang
biak, dan ini lebih mudah diperoleh jika ia hidup hanya di lingkungan
perairan laut saja.
Selama suatu organisme hidup di lingkungan perairan laut, mekanisme
pengaturan kemantapan yang kompleks kurang begitu diperlukan. Keadaan
ini disebabkan karena perairan laut merupakan lingkungan hidup yang relatif
sangat mantap sehingga cairan tubuh organisme tidak mengalami guncangan
dalam susunan kimiawi dan sifat-sifat fisiknya. Jika organisme tersebut
bermigrasi ke lingkungan baru maka mulai diperlukan sarana pengaturan
supaya susunan kimia dan sifat-sifat cairan tubuhnya tidak menghambat
fungsi serta aktivitas normal sel-sel dan jaringannya. Perihal yang menarik
untuk penelusuran lebih mendalam adalah tahapan-tahapan evolusi
mekanisme penyangga/pembufferan, pengaturan kemantapan suhu, sampai
terwujudnya sistem osmotik yang kompleks yang dimiliki oleh manusia.

2. Kehidupan di Lingkungan Perairan


Suatu fakta yang sangat menarik ialah bahwa jumlah spesies hewan yang
hidup di lingkungan perairan tawar jauh lebih sedikit dibandingkan dengan
spesies yang hidup di lingkungan perairan laut. Lingkungan perairan tawar
tidak dihuni oleh jenis hewan yang tergolong ke dalam Echinodermata dan
Cephalopoda. Keadaan ini menunjukkan bahwa migrasi ke kehidupan di
perairan tawar terjadi secara selektif karena berbagai sebab:
a. Suhu perairan tawar yang massanya relatif kecil mudah berfluktuasi oleh
pengaruh klimatik. Keadaan ini tentu merupakan penghambat bagi
perpindahan hewan-hewan yang peka terhadap variasi suhu.
b. Pada umumnya, hewan perairan laut menetas dari telurnya dalam bentuk
larva yang secara morfologis sering sangat berbeda dari bentuk
dewasanya. Pada umumnya, larva tersebut bukanlah perenang yang baik,
1.8 Lingkungan Ternak 

dan nasibnya akan terombang-ambing dan hanyut oleh aliran air yang
selalu ada jika hidup di perairan tawar.
c. Di perairan laut, larva hewan laut akan melayang di lapisan atas di
bawah permukaan laut serta memperoleh pakan dari alga atau diatome
yang jumlahnya melimpah di lapisan tersebut. Di perairan tawar, niscaya
larva-larva tersebut akan tenggelam karena bobot jenis air tawar yang
rendah, dan akibatnya larva akan kekurangan pakan. Bagaimanapun dan
apa pun sebabnya, kenyataan menunjukkan bahwa jarang sekali hewan
perairan tawar berkembang melalui masa larva, kecuali untuk insekta.

Pada umumnya, hewan perairan tawar yang masih sangat muda tetap
tinggal di dalam telur sampai tahap larva berakhir sehingga pada waktu telur
menetas yang keluar ialah bentuk miniatur hewan dewasa dengan berbagai
perlengkapannya dan dapat berenang menentang arus. Karena masa larva
hewan perairan tawar tersebut sebagian besar dilalui di dalam telur maka
hewan tersebut tidak mandiri selama massa larva tersebut, dan pakannya
diperoleh dari telur itu juga. Secara logis dapat diduga bahwa hewan perairan
tawar menghasilkan telur yang kandungan nutrisinya relatif lebih tinggi
dibandingkan dengan telur hewan perairan laut.
Keadaan ini sangat jelas ditunjukkan pada udang Palaemonetes varians
yang terdiri atas 2 jenis, yaitu varietas Microgenitor yang hidup di perairan
laut dan varietas Macrogenitor yang hidup di perairan tawar. Varietas
Microgenitor bertelur sekitar 320 butir per tahun dengan penampang ± 0.5
mm, sedangkan varietas Macrogenitor bertelur hanya 25 butir per tahun
dengan ukuran penampang 1.5 mm. Siput perairan laut, Buccinum, bertelur ±
12.000 butir per tahun, sedangkan gastropoda perairan tawar hanya 20 – 100
butir per tahun. Kerang laut, Ostrea, telurnya berjumlah 1.8 juta per tahun
sedangkan Anodonta, saudara Ostrea yang hidup di perairan tawar, hanya
bertelur 18.000 butir per tahun. Keadaan ini tampaknya menjadi kelaziman
bahwa jenis-jenis hewan perairan tawar bertelur dalam jumlah yang lebih
sedikit dengan ukuran penampang yang lebih besar dibandingkan dengan
hewan-hewan perairan laut.
Hewan perairan tawar memiliki kemampuan menyediakan cadangan
pakan bagi keturunannya selama periode larva. Tahap larva tersebut telah di-
“padat”-kan menjadi periode pratetas. Selain itu masih disediakan pula
cadangan mineral dan pakan organik yang sangat diperlukan oleh larva.
Sebagai contoh, telur Sepia pada tahap awal perkembangan larva
 LUHT4214/MODUL 1 1.9

mengandung 0.8 mg abu, dan pada akhir perkembangan larvanya


mengandung tidak kurang dari 3.3 mg abu. Ini menunjukkan bahwa 3.3–0.8
mg abu berasal dari air laut. Telur Landak Laut juga memperoleh sebagian
besar kadar abunya dari air laut. Air tawar mengandung sedikit sekali mineral
dibandingkan air laut (< 1% air laut) dan terutama terdiri atas kalsium
bikarbonat. Dengan demikian, bagi perkembangan larvanya diperlukan
garam-garam yang harus diperoleh dari 100 × volume air laut jika hal ini
terjadi di perairan tawar. Oleh karena itu dapat disebutkan persyaratan bagi
telur hewan perairan tawar adalah sebagai berikut.
a. terjadi pemadatan bentuk larva;
b. tersedia cadangan pakan organik dan mineral yang cukup di dalam telur.

Telah diketahui bahwa tidak dikenal Cephalopoda air tawar. Seperti


diketahui bahwa Cephalopoda menetas dalam bentuk miniatur dewasanya. Ia
menyediakan cukup banyak cadangan pakan organik bagi perkembangan
larvanya dalam telur, namun ia gagal dalam menyediakan cukup banyak
mineral. Oleh karena itu, jika perkembangan larva dalam telur terjadi di
perairan tawar, maka larvanya tidak akan dapat hidup.
Beberapa jenis hewan tidak berhasil dalam menyediakan nutrien organik
dan terutama mineral bagi keturunannya. Udang Leander yang dapat hidup di
perairan air tawar dan di perairan laut, harus pergi ke perairan laut setiap
musim bertelur karena larvanya tidak dapat hidup di air tawar setelah
menetas. Demikian pula belut Anguilla yang umumnya merupakan penghuni
perairan tawar, setiap musim bertelur selalu pindah ke perairan laut.
Kadar garam perairan tawar pada umumnya dapat bervariasi sangat luas.
Keadaan ini akan menyebabkan perbedaan nilai osmotik secara nyata dan
dapat menjadi sebab perbedaan karakteristik hewan-hewan penghuninya.
Tabel 1.1 menunjukkan kadar padatan terlarut di beberapa perairan tawar dan
perairan laut.
1.10 Lingkungan Ternak 

Tabel 1.1
Kadar padatan terlarut di beberapa sumber air

Kadar padatan terlarut


No. Sumber Pustaka
(mg/l)
1. Perairan laut (umum) 35.000 1
2. Danau Air asin (Utah – USA) 254.000 1
3. Mata air tanah (Nevada – USA) 36 1
Danau Maninjau (Sumatera Barat –
4. 26 2
Indonesia)
5. Perairan Pantai Selat Bali (Indonesia) 3580 3
6. Air hujan (Gunung Kidul – Indonesia) 90 – 208 4
Pustaka : 1. Drever, 1997; 2. Tim LIPI, 2008; 3. Poppo, dkk., 2008; 4. Danang, 2008.

Jelaslah bahwa jenis penghuni berbagai lingkungan perairan tersebut di


atas sangat berbeda-beda. Terlebih jika dijabarkan lebih lanjut susunan
padatan yang terdapat dalam berbagai padatan tersebut. Dengan demikian,
dapat dipahami mengapa perairan tertentu sangat langka penghuninya atau
hanya jenis tertentu saja penghuninya.

3. Kehidupan di Lingkungan Terestrial


Sekalipun banyak dugaan menyebutkan bahwa awal dari kehidupan
adalah dari lingkungan perairan laut, mayoritas dari bentuk-bentuk kehidupan
di terestrial yang ada sekarang ini kemungkinan besar berasal dari moyang
penghuni perairan tawar. Migrasi langsung dari perairan laut ke terestrial
jarang terjadi, namun demikian kepiting dan beberapa jenis siput
kemungkinan bermigrasi langsung dari perairan laut ke terestrial mengikuti
rute ini.
Perpindahan para migran dari kehidupan di lingkungan perairan ke
kehidupan di terestrial memerlukan perkembangan seperangkat mekanisme
adaptif baik struktural, fungsional, maupun pola hidup yang harus
dipersiapkan sebelum menjadi penghuni tetap terestrial.
Beberapa prasyarat yang mutlak diperlukan untuk kehidupan di terestrial
adalah kemampuan sistem respirasi memanfaatkan oksigen langsung dari
udara dan kemampuan mengatasi kehilangan air, terutama melalui evaporasi
yang terus menerus karena kandungan air yang rendah di atmosfer,
dibandingkan dengan tingkat jenuh air di dalam tubuh. Di samping itu,
keterbatasan ketersediaan air memerlukan modifikasi dalam metabolisme
nitrogen, yaitu dalam eliminasi hasil sisa metabolisme dalam urine.
 LUHT4214/MODUL 1 1.11

Berdasarkan penelaahan paleontologi terdapat 3 kelompok ikan yang


diduga menjadi moyang bangsa-bangsa hewan bertulang belakang di
terestrial, yaitu Lungfish, Bichir (Polypterus), dan Crossopterygian.
Ketiganya memiliki paru-paru, akan tetapi bukti-bukti fosil lebih mendukung
Crossopterygian sebagai moyang dari kelas hewan amfibia, dan amfibia
inilah yang kemudian dianggap sebagai hewan peralihan antara ikan yang
hidup di lingkungan perairan (tawar) dengan tetrapoda yang hidup di
terestrial.

Gambar 1.2
Ilustrasi skematis migrasi dan remigrasi hewan mulai dari lingkungan
perairan laut, perairan tawar, dan lingkungan terestrial

Anuran (katak dan sejenisnya) merupakan ordo terbesar kelas hewan


Amfibia, yang meliputi lebih dari 200 genus yang hidup tersebar mulai dari
lingkungan perairan tawar, beranjak ke terestrial, dan bahkan di antaranya
ada yang remigrasi kembali ke lingkungan perairan laut, seperti Rana
cancrivora. Pada katak, fase kehidupan larva umumnya merupakan masa
kehidupan di lingkungan perairan tawar, dan setelah mengalami
metamorfosis, katak memiliki kemampuan hidup di terestrial. Ditinjau dari
sisa metabolisme nitrogennya, masa larva merupakan hewan amoniotelism
yang mengeleminasi sisa metabolisme N dalam bentuk amonia, seperti
moyang pendahulunya. Setelah mengalami metamorfosis, hewan ini berubah
menjadi hewan ureotelism yang mengeliminasi sisa metabolisme N dalam
bentuk urea.
Sesuai dengan perkembangan evolusinya, kelas-kelas hewan selanjutnya
yang mengembangkan seperangkat mekanisme adaptif dan berhasil
menghuni lingkungan terestrial adalah Reptilia, Aves, dan Mamalia. Di
1.12 Lingkungan Ternak 

antara kelas-kelas hewan tersebut ada pula yang kini didapati beremigrasi
kembali ke lingkungan perairan tawar dan bahkan perairan laut.
Sebagai mana telah diuraikan bahwa migrasi dari satu lingkungan ke
lingkungan lain berlangsung secara bertahap melalui lingkungan-lingkungan
peralihan sampai dicapai bentuk kehidupan yang mantap menjadi penghuni
tetap atau bermigrasi lebih lanjut ke lingkungan lain. Gambar 1.2 secara
skematis memberikan ilustrasi tentang migrasi tersebut. Studi tentang
lingkungan dan bentuk kehidupan peralihan sering kali digunakan untuk
menjelaskan bagaimana proses migrasi tersebut terjadi perubahan mendasar
yang diperlukan untuk hidup di lingkungan baru.

C. ZOOGEOGRAFI DUNIA DAN INDONESIA

Pemahaman tentang cakupan mata kuliah Lingkungan Ternak masih


banyak memiliki kesenjangan sekalipun telah banyak penelitian dilakukan
atas berbagai fenomena fisiologis yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
Oleh karenanya, sebelum sampai pada uraian tentang fenomena-fenomena
tersebut, pada bagian ini dipandang perlu untuk menguraikan sejarah
kemunculan, perkembangan, dan distribusi atau penyebaran hewan-ternak
(zoogeografi) yang berlangsung secara alami dalam kurun waktu yang
domestikasi-evolusi. Pada bagian ini diuraikan beberapa teori tentang asal-
muasal kemunculan bangsa-bangsa hewan-ternak sejalan dengan terjadinya
lempeng-lempeng benua dan samudera di muka bumi ini.

1. Zoogeografi Dunia
Zoogeografi pada dasarnya mempelajari tentang distribusi dan
pergerakan hewan-hewan yang berlangsung secara alami dalam kurun waktu
evolusi, ribuan-jutaan tahun. Dalam kaitan dengan Ilmu Lingkungan Ternak,
pengetahuan ini dipandang perlu untuk lebih mengetahui bagaimana
mekanisme adaptif yang harus dimiliki dan ditempuh hewan dalam
perpindahannya dari satu tempat ke tempat lain yang merupakan lingkungan
barunya.
Sebelum Darwin (1859) dan Wallace (1858) mengemukakan teori
Seleksi Alami, para ahli lingkungan telah meyakini bahwa suatu lingkungan
tempat setiap spesies hewan dan tanaman dapat hidup dan berkembang di
dalamnya merupakan lingkungan terbaik yang sesuai dengan kebutuhan
organisme tersebut karena spesies tersebut memiliki kelengkapan mekanisme
 LUHT4214/MODUL 1 1.13

adaptif yang sesuai dengan tuntutan di lingkungan tersebut. Scalter, dalam


publikasinya tahun 1858, membagi daratan di bumi ini atas 6 daerah
berdasarkan distribusi bangsa-bangsa burung, dan dikenal sebagai teori
Center of Creation atau pusat penciptaan atau pusat asal-usul. Terdapat
anggapan bahwa lingkungan yang sesuai harus ada mendahului organisme
yang dapat hidup di dalamnya. Akan tetapi, penjelasan-penjelasan yang
diberikan oleh teori ini tidak didukung oleh bukti yang cukup, sekalipun ide
tentang pembagian daratan di bumi ini masih tetap digunakan dengan sedikit
modifikasi.
Jauh sebelum Sclater, seorang Inggris bernama Charles Lyell (1797-
1815) mengemukakan teori tentang Kekekalan Benua-Benua atau
Permanence Of Continents. Teori ini beranggapan bahwa benua-benua selalu
ada dalam bentuk dan tempat seperti yang ada sekarang. Akan tetapi, pada
180 juta tahun terakhir telah terjadi perubahan, yaitu penyusutan laut Tethys,
pembentukan dan pemutusan daratan antara benua-benua di belahan bumi
utara dengan Afrika dan Amerika Selatan, pembentukan pegunungan-
pegunungan, dan perubahan-perubahan lain yang disebabkan oleh
mencairnya es di belahan bumi utara.
Teori lain tentang penyebaran hewan ini sejalan dengan berlangsungnya
Drifting Continent atau pemisahan benua. Teori yang dilontarkan oleh Alfred
Wegener (1912) beranggapan sebaliknya dari pada teori Kekekalan Benua
bahwa pada satu saat 200 jutaan tahun yang lalu semua benua yang ada
sekarang merupakan satu massa daratan yang besar, yang disebut sebagai
Pangea. Pada akhir zaman Triassic (180 juta tahun yang lalu) benua besar
Pangea ini terbagi menjadi dua daratan, yaitu Laurasia di bagian utara dan
Gondwana di bagian selatan. Sampai pada zaman Kreta (135 juta tahun yang
lalu), bagian benua Asia, Eropa, dan Amerika Utara masih bersatu dan
merupakan belahan bumi bagian utara (Laurasia), demikian pula Amerika
Selatan dan benua Afrika yang ada sekarang masih bersatu sebagai
Gondwana, sedangkan benua Antartika dan Australia tetap masih bersatu
tetapi memisahkan diri dari Gondwana. Pemisahan massa benua terus
berlanjut dan pada zaman Tersier (65 juta tahun yang lalu), bagian Amerika
Selatan terpisah dari daratan benua Afrika, sedangkan Amerika Utara dan
Eropa masih berhubungan, sedangkan India terpisah. Setelah zaman tersebut,
pemisahan terus berlanjut sampai akhirnya terbentuk benua-benua yang kita
kenal sekarang ini; Amerika Utara dan Amerika Selatan semakin mendekat
dan hanya dipisahkan oleh laut Karibia yang semakin sempit, kepingan-
1.14 Lingkungan Ternak 

kepingan benua Afrika, Indo-Australia, kepingan Eurasia, dan kepingan


Afrika.
Jika satu spesies baru berhasil hidup dan berkembang maka populasinya
akan bertambah dan akan meluaskan daerah yang dihuninya sampai bertemu
barier (rintangan) yang tidak dapat dilampauinya. Barier tersebut dapat
berupa:
a. barier fisik, seperti samudera-lautan, pegunungan atau gurun pasir yang
panas, atau berupa,
b. barier lingkungan klimatik, atau
c. barier biologis, seperti ketersediaan pakan, kehadiran predator, dan
persaingan ruang hidup dengan spesies lain.

Samudera merupakan barier yang sangat efektif untuk spesies hewan


terestrial yang tidak dapat terbang, akan tetapi bagaimana spesies hewan-
hewan itu sampai ke sana? Sebagai ilustrasi, kepulauan Britania di waktu
yang lampau bersatu dengan daratan utama benua Eropa, akan tetapi dalam
kurun waktu geologis/evolusi, kepulauan Britania kini terpisah. Kedua
daratan tersebut (Britania dan daratan Eropa) mempunyai banyak spesies
yang sama. Akan tetapi, pulau-pulau terpencil di tengah perairan samudera
luas, seperti Kepulauan Galapagos yang terletak di Samudra Pasifik, 900 Km
sebelah barat Equador, terbentuk oleh aktivitas gunung berapi dan menurut
sejarah geologisnya tidak pernah berhubungan dengan Benua Amerika.
Dengan demikian, tidak mengherankan jika sebagian besar spesies yang ada
di kepulauan itu hanya terdapat di daerah geografis yang terbatas ini. Spesies
demikian disebut spesies endemik, dan bahkan banyak yang endemik untuk
tiap-tiap pulau di Kepulauan Galapagos ini.
Terdapat dugaan bahwa kepulauan Galapagos dihuni secara kebetulan.
Sebagai contoh, pohon dan tumbuhan lain terbawa arus sungai ke laut.
Beberapa di antaranya dibawa arus samudera jauh ke tengah laut. Kepulauan
Galapagos terletak pada persimpangan arus Humboldt yang mengalir ke utara
dari Amerika Selatan, dan arus Panama yang mengalir ke selatan dari
Amerika Tengah. Suatu kemungkinan bahwa leluhur spesies yang ada
sekarang tiba di kepulauan itu dengan menaiki pohon-pohon yang hanyut
tersebut. Katak dan hewan lain yang tidak tahan terhadap perjalanan laut
yang jauh, tidak terdapat di kepulauan ini. Hewan-hewan yang mampu
sampai di pulau akan mengalami spesiasi lebih lanjut dan berkembang biak.
Penelitian yang saksama mengenai distribusi – penyebaran hewan dan
tumbuh-tumbuhan mengungkapkan suatu pola yang jelas. Oleh karenanya,
 LUHT4214/MODUL 1 1.15

Scalter (1858) dapat dianggap merupakan orang pertama yang membagi 6


wilayah atau daerah hewan atau Zoogeografi di bumi ini berdasarkan
distribusi bangsa-bangsa burung. Pembagian tersebut dikonfirmasi oleh
Alfred Russel Wallace (1895) untuk bangsa burung (aves) dan hewan
menyusui (mamalia). Masing-masing wilayah ditandai dengan kehadiran
spesies hewan-hewan unik. Daerah-daerah tersebut dianggap merupakan
pusat asal-usul spesies dan migrasi mereka di masa lampau, serta barier yang
ditemuinya meliputi barier hasil penyatuan dan atau pemisahan benua di
masa lampau.
Telah diungkapkan bahwa Amerika Utara, Eropa, dan Asia dahulu
menyatu sebagai Laurasia dan terpisah dari belahan bumi bagian selatan.
Dengan demikian, tidak mengherankan jika terdapat banyak spesies yang
sama di ketiga bagian benua Laurasia itu, seperti rubah (Kugar), serigala
(Ajak), berang-berang, dan rusa besar (Karibau). Laurasia ini terkadang
disebut daerah holartik. Dalam perkembangan geologis selanjutnya, Amerika
Utara memisahkan diri dan hewan-hewan asli mengalami divergensi.

Sumber: Sugiri, 1988


Gambar 1.3
Zoogeografi Dunia dengan beberapa hewan khasnya

a. Kawasan Neartika; Kawasan ini terbentang dari daerah yang beriklim


ugahari (warm temperate) di bagian selatan sampai kutub utara di bagian
utara, atau dari bagian tengah benua Amerika sampai di bagian utara
benua Amerika, termasuk Kanada sekarang. Hasil pencacahan
1.16 Lingkungan Ternak 

menunjukkan bahwa di kawasan ini terdapat 24 famili hewan mamalia


endemik, tiga di antaranya adalah hasil introduksi. Famili Artiodacrtyla,
hewan berteracak genap, yang endemik di kawasan ini adalah
Antilocapridae (pronghorn, sebangsa rusa besar), terutama tersebar di
sebelah barat benua Amerika bagian utara. Hewan ini berbeda dari famili
Bovidae (bangsa sapi, bison) dan Cervidae (bangsa rusa) yang juga
ditemukan di kawasan ini.
b. Kawasan Neotropika; Bagian terbesar kawasan ini beriklim tropis yang
membentang dari bagian tengah Benua Amerika sampai di bagian
selatan Benua Amerika, dan dataran rendah tropika. Kawasan ini juga
mencakup India bagian barat. Pegunungan Andes membentang
sepanjang batas bagian barat Amerika Selatan dan Sungai Amazon dan
anak-anak sungainya dikelilingi hutan hujan yang sangat luas, sementara
di bagian selatan-timur Amerika Selatan ditemukan banyak luasan
padang rumput. Sampai akhir zaman tertier, Benua Amerika bagian
selatan masih terpisah dari bagian utaranya, dan sampai saat itu banyak
terdapat hewan-hewan unik, seperti Marsupialia dan Euteria primitif.
Pada akhir zaman tertier, ketika belahan benua bagian selatan bersatu
dengan bagian utara, terjadi banyak pertukaran fauna. Armadilo dan
Oposum pergi ke bagian utara, sebaliknya banyak kucing dan karnivora
lain pergi ke selatan, dan banyak menyebabkan hewan asli Amerika
Selatan mengalami kepunahan. Akan tetapi, perbedaan iklim tampaknya
tidak memungkinkan pertukaran fauna berlanjut terus dan Benua
Amerika bagian selatan tetap merupakan daerah tersendiri yang dihuni
oleh hewan-hewan endemik, seperti Ilama, kera berekor prehensil,
kukang, tapir, pemakan semut, dan sejenis burung betet yang tidak
ditemukan di daerah lain. Saat sekarang, tidak kurang dari 41 famili
hewan mamalia yang hidup dan berkembang di kawasan ini.
c. Kawasan Paleartika; Kawasan ini mencakup sebagian besar benua
Eropa, Asia, dan ujung utara benua Afrika. Umumnya, kawasan ini
beriklim ugahari (temparate). Jumlah famili dari kelas hewan mamalia di
kawasan ini adalah ± 33, lebih sedikit dibandingkan yang terdapat di
kawasan lain, termasuk keluarga hewan campuran asal kawasan
Neartika, Ethiopia, dan Oriental. Keluarga rusa (Cervidae) dan sapi
(Bovidae) yang terdapat di kawasan ini juga merupakan anggota
keluarga dari yang terdapat di kawasan Neartika, Neotropoka, dan
Oriental. Kemungkinan hanya 2 famili mamalia yang merupakan hewan
 LUHT4214/MODUL 1 1.17

asli kawasan ini dan tidak ditemukan di kawasan lain, yaitu famili
Splacidae dan Seleviniidae (keduanya merupakan sejenis tikus).
d. Kawasan Ethiopia (Afrika); Kawasan ini mencakup sebagian besar
benua Afrika, Madagaskar, dan ujung barat daya Arabia. Bagian terbesar
kawasan ini beriklim tropis, tetapi ujung selatan Afrika beriklim ugahari
panas (warm temperate). Penghuni kawasan ini yang amat mencolok
adalah mamalia bertubuh besar, terutama yang termasuk hewan-hewan
ungulata (hewan berteracak), termasuk ordo Proboscidae (gajah), ordo
Perrisodactyla (ungulata berteracak tunggal, seperti Zebra), dan ordo
Artiodactyla (ungulata berteracak genap). Terdapat 5 famili endemik dari
ordo Artiodactyla ini, yaitu, yang termasuk (1) famili Suidae: babi hutan
besar, (2) famili Giraffidae : jerapah, (3) famili Hippopotamidae (kuda
nil), (4) famili Tragulidae, dan (5) famili Bovidae di antaranya adalah
kerbau Afrika, Blue and Black wildebeest, Blasbok, Impala, dan masih
banyak lagi (> 60 spesies) (Leuthold, 1977). Di samping itu, beberapa
famili yang termasuk dalam ordo karnivora merupakan hewan-hewan
pemangsa, di antaranya adalah singa, cheetah, dan leopard. chimpanzee
dan gorila adalah termasuk ordo primata yang juga merupakan hewan
endemik benua Afrika.
e. Kawasan Oriental (India Dan Asia Tenggara, Termasuk Indonesia);
Kawasan ini mencakup banyak daerah beriklim tropis Asia, termasuk
India, Indochina, bagian selatan China, Malaya, Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan pulau-pulau Filipina. Bentangan Pegunungan Himalaya
menjadi batas di bagian utara Kawasan Oriental; sedangkan Samudera
Hindia dan Pasifik menjadi batas di kedua sisi, akan tetapi sulit membuat
batas di bagian timur laut kawasan ini. Hewan-hewan yang terdapat di
Kawasan Oriental sangat berbeda dari yang menghuni Kawasan
Australia. Garis batas imajiner pertama digambarkan oleh Wallace
(1860) dan sering disebut sebagai Garis Wallace. Garis ini memberikan
petunjuk bahwa fauna penghuni pulau-pulau di bagian barat Indonesia
berbeda (termasuk kawasan Oriental) dari fauna penghuni pulau-pulau di
bagian timur Indonesia (termasuk Kawasan Australia: mulai dari Pulau
Sulawesi sampai Irian-Papua). Perbedaan tersebut terutama terlihat pada
bangsa-bangsa burung.
f. Kawasan Australia Dan Pulau Di Sekitarnya; Kawasan ini mencakup
Benua Australia keseluruhan dan pulau-pulau kecil di sekitarnya, New
Guinea (Papua), Tasmania, dan beberapa pulau kecil yang termasuk
1.18 Lingkungan Ternak 

wilayah Indonesia. Bagian dalam Benua Australia merupakan daerah


kering (padang pasir), dan ini merupakan bagian terbesar dari Kawasan
Australia. Sementara Tasmania beriklim ugahari dingin. Hewan utama
penghuni Kawasan Australia ini adalah termasuk dalam Ordo
Marsupialia (mamalia berkantung). Beberapa di antaranya juga termasuk
dalam Ordo Carnivora (pemakan daging) dan Insectivora (pemakan
serangga), yaitu Famili Dasyuridae dari yang bertubuh kecil:
Sminthopsis, sampai yang bertubuh besar: Tasmanian Devil (Sarcophilus
sp.), Serigala marsupial (Thylacinus sp.), dan kucing marsupial besar
(Dasyurus sp.), dan marsupial pemakan semut (anteater), Myrmecobius
sp. Marsupial pemakan serangga lainnya adalah yang termasuk dalam
Famili Paramelidae (memiliki ukuran tubuh yang besar). Famili lainnya
dari Ordo Marsupialia asal Australia ini termasuk Famili Phalangeridae
(seperti Phascolarctus sp. atau Koala atau Teddy Bear, Petaurus sp.,
atau flying phalanger), Famili Phascolomyidae dan Macropodidae dari
yang memiliki ukuran tubuh kecil (Wallabi), bertubuh sedang (Wallaros)
sampai yang bertubuh besar (kangaroo). Ketiga famili tersebut terakhir
merupakan hewan-hewan herbivora. Di samping marsupialia, kawasan
ini secara endemik dihuni pula oleh Ordo Monotremata (egg-laying
mammal atau mamalia bertelur), di antaranya yang termasuk dalam
Famili Tachiglossidae (mamalia pemakan semut) dan
Ornithorhynchidae (platypus atau sosor bebek). Beberapa bangsa
kelelawar (mamalia berplasenta) juga merupakan penghuni endemik di
Kawasan Australia. Penghuni pendatang yang kini hidup secara liar
adalah Famili Leporidae (kelinci), Muridae (tikus), dan Canidae (dingo,
hampir mengalami kepunahan).

Indonesia termasuk dalam Kawasan Oriental yang terbentang sepanjang


± 6000 Km dari ujung Barat sampai di ujung timur, yang merupakan daerah
yang beriklim tropis, dan dihuni oleh banyak jenis mamalia dan jenis burung.

2. Zoogeografi Indonesia dan Garis Wallace


Di Indonesia, nama Charles Darwin tidak asing di telinga sebagai
seorang yang merumuskan Teori Evolusi melalui seleksi alamnya, bahkan
memakai namanya – Darwin. Dibandingkan dengan Darwin, nama Wallace
yang bernama lengkap Alfred Russel Wallace (1858) kurang dikenal, padahal
 LUHT4214/MODUL 1 1.19

dari hasil penelusuran beberapa sumber menunjukkan bahwa keduanya


memiliki gagasan yang kurang-lebih sama.
Sebuah surat dari Wallace yang berisi sebuah Naskah yang dikirimkan
dari Indonesia kepada Darwin, telah mendorong menuliskan gagasannya;
Dari Naskah yang ada itu, jelas bahwa Wallace dan Darwin sampai pada
kesimpulan yang kurang lebih sama. Keduanya mendapat semangat dari
tempat yang berbeda yang mereka lihat selama perjalanannya keliling dunia,
tetapi interpretasi pengamatan mereka tidak sesuai dengan kepercayaan di
dunia Barat tentang penciptaan dunia. Wallace, khususnya, sangat terpesona
dalam kunjungannya di Sulawesi, dan naskah pertama yang ia kirimkan
kepada Darwin ditulisnya di Ternate setelah meninggalkan Manado. Gagasan
kedua orang ini pada dasarnya adalah tentang agihan (wilayah penyebaran)
dan Evolusi (terutama) jenis hewan.
Bila Darwin memiliki latar belakang pendidikan yang baik dan berasal
dari keluarga yang kaya, Wallace meninggalkan sekolahnya pada usia 14
tahun di tahun 1837, dan memperoleh penghasilan dari mengumpulkan
hewan (specimen) dari banyak tempat jauh yang dikunjunginya, untuk dijual
ke museum-museum. Selama 8 tahun Wallace menghabiskan waktu
perjalanannya di Serawak dan Indonesia (dari Sumatera sampai Irian), dan
laporan perjalanannya sejauh 22.000 Km sampai saat ini menjadi bacaan
yang menarik sekali, terutama bagi orang yang berminat mempelajari
zoogeografi – kelimpahan satwa asli Indonesia – Lingkungan Ternak
(Wallace, 1869 – The Malay Archipelago, The Land of Orang Utan and The
Bird of Paradise).
Wallace mengemukakan pandangannya bahwa berdasarkan agihan
fauna, terutama jenis-jenis burung, kepulauan Indonesia dapat dibagi menjadi
2 bagian, yaitu bagian Barat dan bagian Timur, dan menetapkan batas-
batasnya, yaitu:
a. antara pulau Lombok dan pulau Bali,
b. antara pulau Kalimantan dan pulau Sulawesi.

Dalam hasil pengamatannya, ia terpesona mengamati mengapa burung-


burung penghuni Pulau Kalimantan dan Sulawesi demikian berbeda, padahal
kedua pulau besar itu tidak terpisahkan oleh perintang fisik dan iklim yang
berarti. Ia meyakini bahwa pulau Kalimantan bersama-sama dengan pulau
Jawa dan pulau Sumatera merupakan bagian dari Asia – Kawasan Oriental;
sedangkan pulau Timor, Maluku, Irian, dan Sulawesi termasuk kawasan
1.20 Lingkungan Ternak 

Australia. Fauna di pulau Sulawesi tampak demikian khas sehingga terdapat


dugaan bahwa pada ribuan tahun yang lalu, pulau Sulawesi pernah menjadi
bagian dari benua Asia maupun benua Australia (Wallace, 1859);
Berdasarkan hasil pengamatannya ini, Wallace menarik Garis Imajiner mulai
dari sebelah timur Filipina melalui Selat Makassar, dan antara pulau Bali dan
pulau Lombok (Wallace 1863), yang kemudian dikenal sebagai Garis
Wallace.
Pada tahun 1910, tiga tahun sebelum ia meninggal, Wallace menentukan
bahwa keunggulan bentuk-bentuk Asia di Sulawesi dapat dicerminkan
dengan menggeser garis tadi ke sebelah timur Sulawesi; Terdapat beberapa
analisis lain yang telah dilakukan mengenai agihan jenis-jenis hewan lain,
termasuk satwa perairan laut, dan menghasilkan garis yang berbeda-beda
(Simpson, 1977).
Garis Weber berusaha menentukan batas imbangan fauna Asia dan
Australia 50:50; Weber menggunakan dasar agihan aves dan mamalia dalam
analisisnya. Agihan reptilia dan kupu-kupu Asia lebih jauh ke arah timur dari
pada aves.
Garis Lydekker menentukan batas barat fauna Australia yang
sesungguhnya dengan cara yang hampir sama seperti garis Wallace dalam
menentukan batas timur fauna Asia. Kedua garis ini secara efektif mengikuti
kontur (garis kedalaman) laut 180-200 m sekitar Paparan Sahul dan
Paparan Sunda. Wilayah antara kedua garis ini diusulkan sebagai daerah
peralihan, dan dinamakan Wallacea; pertama-tama usulan ini dikecam keras
karena tidak dihuni oleh fauna yang homogen dan melintasi wilayah itu
secara berangsur-angsur terdapat perubahan komposisi fauna, bahkan
terdapat jenis-jenis satwa endemik (Simpson, 1977). Sampai saat ini, nama
Wallacea dapat dipertahankan, tetapi lebih untuk memisahkan zona Oriental
dan Zona Australia daripada sebagai nama zona zoogeografi tersendiri.
Sejalan dengan zoogeografi yang dirintis oleh Wallace, Veevers-Carter
(1978) membagi Indonesia atas 3 zona zoogeografis berdasarkan hewan
mamalia penghuni di ketiga zona, yaitu:
ZONA 1: Zona Indo-Malaya meliputi pulau-pulau yang pada waktu
sebelumnya diperkirakan pernah bersatu dengan benua Asia
karena adanya daratan Sunda, meliputi: Sumatera, Jawa,
Kalimantan, dan pulau-pulau kecil sekitarnya, termasuk Bali.
ZONA 2: Zona Peralihan merupakan daerah di mana terjadi percampuran
antar hewan-hewan di Zona Indo-Malaya dengan yang hidup di
 LUHT4214/MODUL 1 1.21

Zona Australia sehingga banyak di antaranya merupakan hewan


endemik (seperti yang terdapat di Pulau Sulawesi: Anoa, Babi
rusa, kera Sulawesi, kuskus dsb.). Termasuk dalam zona ini
adalah P. Sulawesi, Maluku, Seram dan pulau-pulau Nusa Kecil
mulai dari Lombok sampai Timor.
ZONA 3: Zona Australia meliputi daerah-daerah Kepulauan Kai, Aru,
dan Papua. Hewan-hewan (aves dan mamalia) penghuni zona ini
memiliki banyak kesamaan dengan hewan-hewan penghuni
Benua Australia dan tidak ada lagi hewan dari Zona Indo-
Malaya. Penghuni khas Zona Australia ini terutama mamalia-
marsupialia (mamalia berkantung), dan mamalia monotremata
(mamalia bertelur).

Satwa mamalia yang hidup di Zona 1 (Zona Indo-Malaya) mencakup


jenis:
a. Satwa Primata, di antaranya Mawas atau Orang Hutan (Pongo
pygmeaus), Siamang (Symphalangus syndactylus), Bekantan atau kera
hidung panjang (Nasalis larvatus), dan Kukang (Nycticebus coucang).
b. Satwa Karnivora, seperti Harimau (Panthera tigris), Macan tutul
(Panthera pardus), Kucing Bakau (Felis viverrina), Binturong – sejenis
musang (Arcticus binturong), Musang Tenggalong (Viverra tangalunga),
dan Beruang madu (Helarctos malayanus).
c. Satwa Proboscidae atau binatang berbelalai – Gajah Sumatera (Elephas
maximus sumateranus).
d. Satwa Perisssodactyla – binatang berkuku ganjil, – Badak (Rhinoceros
sondaicus), Tapir.
e. Satwa Artiodactyla atau binatang berkuku genap – Babi hutan (Sus
scrofa), Babi janggut (Sus barbatus), Rusa sambar (Cervus unicolor),
Kancil (Tragalus javanicus), dan Banteng (Bos javanicus).
f. Satwa Logomorpha atau jenis kelinci – Arnab Sumatera (Nesolagus
netscheri).

Kelimpahan keragaman satwa mamalia yang hidup di Zona 2 (Zona


Peralihan) tidak sebanyak yang hidup di Zona 1; di antaranya yang menjadi
satwa mamalia endemik adalah:
a. Satwa Artiodactyla – Rusa Timor (Cervus timorensis), Babi rusa
(Babyrousa babirussa), dan Anoa (Bubalus depressicornis);
1.22 Lingkungan Ternak 

b. Satwa Primata – Kera hitam Yaki (Macaca nigra);


c. Satwa Marsupialia – satwa mamalia berkantung – Walabi semak
(Thylogale bruijni)
d. Satwa Monotremata atau mamalia bertelur – Nokdiak moncong panjang
(Zaglossus bruijni).

Satwa mamalia yang hidup di Zona 3 (Zona Australia) hampir tidak ada
lagi mamalia dari Zona Indo-Malaya dan sebagai penggantinya adalah satwa
marsupialia atau mamalia berkantung. Kelimpahan satwa ini terutama
ditemukan di Papua, New Guinea, Australia dan pulau-pulau sekitarnya.

Gambar 1.4
(1) Zona Indo-Malaya; (2) Zona Peralihan; (3) Zona Australia

Sesuai dengan namanya, karakteristik yang paling menarik dari Satwa


Marsupialia adalah caranya berkembang biak. Berbeda dari mamalia
plasentalia (kebanyakan dari mamalia di Zona1), anaknya hanya sebentar saja
tinggal dalam rahim induk; sekalipun lahir sangat lemah, kecil dan hampir
menyerupai ulat, dengan instingnya anak yang lahir itu merayap memasuki
kantung atau marsupium di bagian depan perut induknya. Kantung ini
semacam lipatan kulit yang menutupi puting susu; Sambil berkembang, anak
itu menempel pada puting susu selama beberapa minggu, di samping
berfungsi juga sebagai sarang yang aman, hangat, dan dapat berpindah-
 LUHT4214/MODUL 1 1.23

pindah sekalipun sebenarnya anak-anak tersebut dapat keluar dari kantung


dan berjalan sendiri.
Banyak satwa marsupialia di Zona 3 ini telah mengalami evolusi; Seperti
mamalia berplasenta, terdapat marsupialia pemakan serangga, pemakan
tanaman, dan pemakan daging; dan berdasarkan ukuran tubuhnya ada
kelompok tikus berkantung, kucing berkantung, bajing berkantung, dan
beruang berkantung. Kelompok Satwa mamalia berkantung ini juga ada yang
hidup di pohon-pohon, di tanah, di bawah tanah dan air, akan tetapi
tampaknya sulit hidup berdampingan dengan satwa mamalia berplasenta.

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!
1) Jelaskan tentang teori Permanence Continents!
2) Jelaskan tentang daerah Holartik dan binatang khas penghuninya!
3) Jelaskan tentang Garis Wallace!

Petunjuk Jawaban Latihan

Untuk dapat menjawab pertanyaan di atas, bacalah dengan teliti


penjelasan tentang:
1) Asal muasal kehidupan vertebrata purba.
2) Zoogeografi dunia.
3) Zoogeografi dunia.
4) Zoogeografi Indonesia dan Garis Wallace.

R A NG KU M AN

1. Sesuai bukti paleontologi kehidupan moyang ternak vertebrata


purba bermula dari lingkungan perairan laut, yang kemudian
bermigrasi ke daerah lingkungan payau, perairan air tawar, menuju
daerah terestrial (daratan) melalui serangkaian mekanisme adaptif.
2. Terdapat tiga habitat hidup organisme yaitu habitat perairan laut,
perairan tawar, dan terestrial. Sifat pokok dari tiga habitat yang
1.24 Lingkungan Ternak 

dapat menentukan organisme hidup di dalamnya adalah: (a) Massa,


(b) Panas Jenis, (c) Viskositas, dan (d) sifat-sifat fisikokimiawi.
3. Kehidupan di lingkungan perairan sangat bervariasi tergantung pada
susunan yang terdapat dalam padatan di lingkungan tersebut.
4. Kehidupan di lingkungan terestrial memiliki prasyarat mutlak yaitu
kemampuan sistem respirasi memanfaatkan oksigen langsung dari
udara dan kemampuan mengatasi kehilangan air terutama melalui
evaporasi karena kandungan air yang rendah di atmosfer.
5. Zoogeografi ilmu yang mempelajari tentang distribusi dan
pergerakan hewan-hewan yang berlangsung secara alami dalam
kurun waktu evolusi yaitu ribuan sampai jutaan tahun.
a. Sclater membagi daratan bumi menjadi 6 daerah berdasarkan
distribusi bangsa burung yang disebut dengan teori Center of
Creation (Pusat Penciptaan atau Pusat Asal Usul) yang
dikonfirmasi oleh Alfred Russel Wallace dengan berdasarkan
pada distribusi burung (Aves) dan binatang menyusui
(Mamalia).
b. Charles Lyell mengemukakan teori tentang Permanence of
Continents (Kekekalan Benua-benua).
c. Teori Drifting Continent (Pemisahan Benua) menyatakan
daratan yang ada sekarang merupakan satu massa daratan besar
(Pangea) dan kemudian dibagi menjadi dua yaitu Laurasia
(Holartik) di bagian Utara dan Gondwana di bagian Selatan.
d. Daerah Laurasia (Holartik) dibagi menjadi kawasan Neartika
(iklim ugahari atau warm temperate), Neotropika (iklim tropis),
Paleartika (iklim ugahari/temperate), Ethiopia/Afrika (berikilim
tropis dan ugahari), Oriental (India dan Asia Tenggara), dan
Kawasan Australia dan pulau di sekitarnya (iklim ugahari).
6. Zoogeografi Indonesia, berdasarkan wilayah penyebaran (agihan)
fauna terutama burung Indonesia dibagi menjadi dua yaitu (1)
Antara pulau Lombok dan Pulau Bali, dan (2) antara pulau
Kalimantan dan pulau Sulawesi. Dari perbedaan yang ada Wallace
menarik garis imajiner yang disebut dengan Garis Wallace.
7. Pada zoogeografi Indonesia terdapat juga Garis Weber, Garis
Lydekker, dan daerah peralihan yang disebut Wallacea. Sedangkan
Veevers-Carter membagi Indonesia menjadi 3 zona geografis yaitu
Zona Indo-Malaya, Zona Peralihan dan Zona Australia.
 LUHT4214/MODUL 1 1.25

TES F OR M AT IF 1

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Yang tidak merupakan penyebab perbedaan karakteristik hewan di


perairan adalah ....
A. Kadar garam
B. Nilai osmotic
C. Kadar padatan terlarut
D. Kadar asam amino

2) Teori penyebaran hewan berdasarkan Permanence of Continents


bertentangan dengan Drifting Continent. Teori ini dikemukakan oleh ....
A. Harles Darwin dan Charles Lyell
B. Charles Lyell dan Alfred Wegener
C. Alfred Wegener dan Sclater
D. Charles Darwin dan Sclater

3) Batas imbangan fauna Asia dan Australia yang menggunakan garis


kedalaman laut di sekitar paparan Sahul dan paparan Sunda disebut garis
A. Wallace
B. Weber
C. Lydekker
D. Veevers - Carter

Jawablah soal dibawah ini dengan memilih:


A. Bila jawaban 1 dan 2 benar
B. Bila jawaban 1 dan 3 benar
C. Bila jawaban 2 dan 3 benar
D. Bila jawaban 1, 2, dan 3 benar

4) Kemunculan ikan perairan air tawar yang pertama diperkirakan berasal


dari ...
1. Moyang Agnatha
2. Ikan tak berahang dari perairan laut
3. Ikan yang berasal dari perairan laut
1.26 Lingkungan Ternak 

5) Sifat habitat yang sangat berpengaruh terhadap organisme yang hidup di


suatu daerah adalah ...
1. Massa
2. Panas jenis
3. Viskositas

6) Sesuai dengan bukti paleontologi yang diduga sebagai nenek moyang


hewan terestial bertulang belakang adalah ...
1. Lungfish
2. Bichir
3. Crossopterygian

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang
belum dikuasai.
 LUHT4214/MODUL 1 1.27

Kegiatan Belajar 2

Satwa dan Ternak Di Indonesia


A. SATWA DI INDONESIA

Pada Kegiatan Belajar 2 – Modul 1 ini akan diuraikan tentang Satwa dan
Ternak di Indonesia mencakup sejarah, pemanfaatan dan potensi satwa dan
ternak di Indonesia.

1. Sejarah dan Pemanfaatan Satwa


Dua pertanyaan sederhana berikut ini mengajak Anda untuk berpikir
tentang keadaan fauna Indonesia. Pertanyaan pertama: Mengapa tidak
terdapat Anoa pada hutan-hutan di Pulau Jawa? Pertanyaan kedua: Mengapa
tidak terdapat badak di Sulawesi? Dengan perkataan lain, mengapa terdapat
wilayah-wilayah di bumi ini yang dihuni oleh biota yang berbeda-beda?
Kunci dari serangkaian jawaban pertanyaan itu terletak pada geologi dan
iklim di bumi kita yang terus berubah. Ternyata, dalam kurun waktu jutaan
tahun sampai saat ini, sebaran maupun letak daratan dan lautan selalu
mengalami pergeseran dan pergerakan. Hal tersebut berdampak pada iklim
yang juga turut berubah-ubah. Sebagai gambaran, di zaman Pleistosen atau
sekitar 100.000 sampai 1.5 juta tahun yang lalu, suhu bumi telah mengalami
perubahan sebanyak 20 kali. Di saat suhu global turun drastis, es menutupi
hampir seluruh permukaan bumi dan membekukan air laut sehingga
permukaan air laut di daerah tropis jauh lebih rendah dari permukaan pada
masa sekarang. Pada zaman es terakhir di masa Pleistosen, sekitar 18.000
tahun yang lalu, permukaan air laut di daerah tropis turun hingga mencapai
120 meter. Hal itu menyebabkan dasar laut dangkal terpapar dan berfungsi
sebagai jembatan darat (land bridge) yang memungkinkan berlangsungnya
percampuran antara fauna khas Asia dan fauna khas Australia di Kepulauan
Indonesia.
Sebagai contoh, dipostulasikan bahwa pada masa ini, suatu jenis babi
yang khas Asia telah mencapai Sulawesi melalui Kalimantan dan akhirnya
berevolusi sebagai apa yang kita kenal sebagai Babirusa, yang merupakan
satwa endemik Sulawesi.
Petunjuk lain berasal dari pendekatan paleontologi. Sebagai contoh, di
Sulawesi Selatan telah ditemukan empat mamalia Asia yang kini telah punah,
1.28 Lingkungan Ternak 

yaitu tiga spesies gajah (Stegodon Triginicephalus yang berukuran besar,


Stegodon Sompoensis, dan Elephas Celebensis yang berukuran kecil) serta
satu spesies babi berukuran raksasa (Celebochoerus Heekerenii).
Kesemuanya diperkirakan hidup pada masa Holosin, namun hal (tentang
masa hidup keempat mamalia) ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang
masih berlangsung hingga sekarang.
Sejarah pemanfaatan satwa di Indonesia diperkirakan mengikuti proses
domestikasi beberapa spesies mamalia dan unggas yang bermula di Eurasia,
sekitar perbatasan Eropa bagian tenggara dan Asia barat, sekitar 10.000
sampai 15.000 tahun yang lalu. Menurut catatan satwa yang didomestikasi
pertama kali adalah kelompok ruminansia (kambing, domba, dan sapi), yang
kemudian diikuti dengan babi dan kuda. Sementara itu, unggas dilaporkan
baru didomestikasi masyarakat di China pada sekitar 3.400 tahun yang lalu.
Pada saat masyarakat purba itu bermigrasi ke berbagai penjuru bumi, mereka
membawa serta satwa dan teknik domestikasi untuk dicobakan di tempat
yang baru. Tidak semua satwa dapat didomestikasi untuk menyuplai
kebutuhan protein manusia. Dari 148 herbivora dan omnivora yang ada di
dunia, hanya sekitar 14 spesies yang telah didomestikasi dengan 5 spesies
mendominasi kegiatan ekonomi global, yaitu kuda, sapi, domba, kambing,
dan babi. Meskipun memang tidak semua satwa dapat didomestikasi untuk
menyuplai kebutuhan pangan protein manusia, pemetaan potensi satwa yang
berkerabat dengan ternak seharusnya tetap menjadi upaya strategis untuk
mengantisipasi kebutuhan protein yang semakin meningkat. Upaya pemetaan
potensi satwa liar juga diperlukan untuk mengetahui sumber plasma nutfah
yang dapat digunakan untuk memperkaya ragam genetika ternak dan menjadi
modal dasar pemanfaatan berkelanjutan satwa-satwa tersebut. Sebagai salah
satu pusat keanekaragaman hayati dunia, Indonesia seharusnya juga menjadi
pusat inovasi pemanfaatan dan pelestarian satwa.
Manfaat satwa dapat dikategorikan ke dalam beberapa bentuk dan
fungsi, tetapi sering kali melihat satwa hanya bagi kepentingan manusia.
Kategori yang umum adalah satwa untuk pangan, obat-obatan, wisata
hidupan liar, layanan ekosistem seperti penyerbukan, ornamental, dan
lainnya. Satwa sebagai sumber pangan umumnya untuk sumber protein
hewani. Satwa yang sering menjadi bahan sumber protein hewani berasal dari
kelas avertebrata (tripang, moluska, serangga, dan lainnya), dan vertebrata
(ikan, amfibia, reptil, burung, dan mamalia).
 LUHT4214/MODUL 1 1.29

Pemanfaatan satwa avertebrata sudah berkembang dengan


membudidayakan berbagai jenis moluska. Satwa vertebrata, sebaliknya sudah
banyak didomestikasi menjadi satwa sumber protein. Khusus budi daya ikan,
bandeng, ternyata sejak Kerajaan Majapahit kita telah berhasil
membudidayakannya. Hanya setelah itu, dari lebih seribu spesies ikan, hanya
sedikit sekali spesies lokal yang berhasil dibudidayakan. Banyak ikan
konsumsi kita berasal dari luar Indonesia, seperti ikan Mujair (Oreochromis
Mossambicus) dan Nila (Oreochromis Niloticus) dari Afrika, ikan Gurame
(Osphronemus gouramy), ikan Mas (Cyprinus carpio), ikan Tambakan
(Helostoma teminckii) dari daratan Asia, bahkan ikan lele pun yang populer
adalah lele dari Thailand. Dari 6 jenis lele (Claris spp), yang ada di
Indonesia, sekarang berada dalam keadaan yang sulit berkembang karena
kalah dalam kompetisi makan dengan lele impor.
Kita sangat beruntung mempunyai cukup banyak jenis dan galur ayam,
itik, dan burung lainnya dari hutan dan yang dibudidayakan oleh masyarakat
baik sebagai sumber protein, peliharaan, ataupun untuk ornamental/hiasan
rumah dan berbagai acara adat – kearifan lokal (local wisdom). Begitu juga
kambing, khusus kambing hutan Sumatra (Capricornis sumatraensis), kita
belum pernah mencoba untuk membudidayakannya. Namun masyarakat kita
sudah berhasil mendomestikasi satwa banteng (Bos javanicus) menjadi sapi
Bali.
Pada tahun 1950‐1970-an, Indonesia merupakan negara yang mampu
mengekspor sapi potong ke Singapura dan Hong Kong, bahkan sampai ke
negeri Cina. Sapi yang diekspor adalah sapi Bali atau sapi lokal lainnya
dalam kondisi hidup dengan bobot badan cukup bagus. Sejak tahun 1990-an
Indonesia justru menjadi importir sapi; hal ini disebabkan karena kebutuhan
daging sapi di Indonesia pada tahun 1970-an kecil sehingga Indonesia dapat
mencukupi kebutuhan pasar domestik dan bahkan mampu mengekspor.
Dengan meningkatnya jumlah penduduk Indonesia dan perkembangan
ekonomi, permintaan daging sapi terus meningkat, namun tidak dapat
dibarengi dengan peningkatan produksi daging di dalam negeri yang
memadai. Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 ketergantungan Indonesia
pada impor daging dapat mencapai 70%. Hal ini terjadi karena
kecenderungan permintaan daging yang terus meningkat, dan diperkirakan
pada tahun 2020 akan melonjak tiga kali lipat dibanding rata‐rata konsumsi
tahun 2000.
1.30 Lingkungan Ternak 

Ternak kerbau yang ada di Indonesia berasal dari kerbau liar atau kerbau
domestikasi yang berasal dari spesies Bubalis bubalis. Ada 2 kerbau
domestikasi, yaitu kerbau sungai dan kerbau rawa atau kerbau lumpur.
Kerbau kalang dari Kalimantan dan kerbau belang dari Toraja merupakan
keturunan dari dua kerbau domestikasi itu dan termasuk kerbau rawa.
Sementara itu, kerbau liar lainnya adalah anoa pegunungan (Bubalis quarlesi)
dan anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis).
Terdapat beberapa rumpun kambing di Indonesia; kambing Kacang yang
merupakan kambing asli Indonesia; sedangkan kambing Etawa sudah lama
dikenal di negeri ini. Kambing Gembrong (asal Karang Asem Bali) dan
kambing Kosta (kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing
Kasmir di Serang Banten). Kambing dimanfaatkan terutama sebagai
penghasil bahan pangan sumber protein hewani, penghasil daging, dan susu.
Sumber protein hewani lainnya adalah domba; dikenal ada domba Ekor
Tipis (DET) dan domba Ekor Gemuk (DEG). Di samping penghasil daging,
domba dan kambing juga menghasilkan bahan baku untuk kerajinan kulit
(jaket, sepatu dll.); di Jawa Barat, khususnya Garut, budaya seni adu domba
merupakan salah satu bentuk kearifan lokal yang masih dipertahankan
sampai saat ini.
Babi yang dimanfaatkan di Indonesia terdiri atas beberapa spesies
dengan daerah persebaran berbeda. Babi yang dikembangkan di Indonesia
sebagai penghasil daging adalah babi impor, seperti babi rumpun Landrace,
Large White, Duroc, dan Berkshire yang berasal dari Sus scrofa. Sementara
itu, babi di Indonesia adalah Babi Bali, Nias, Tangerang Jambi, Babi hutan,
Batak, Sulawesi, dan Babirusa.
Di Indonesia, ayam adalah sumber lain penghasil bahan pangan sumber
protein hewani (daging dan telur) yang lebih umum dimanfaatkan
masyarakat, baik di perdesaan maupun di perkotaan. Indonesia mempunyai
ayam lokal, yaitu ayam Hutan Merah (Gallus gallus). Tidak kurang dari 31
rumpun ayam lokal Indonesia hasil domestikasi, yang disebut ayam Buras,
singkatan ayam bukan ras. Di samping pemanfaatannya sebagai ayam
pedaging dan ayam petelur, ayam buras juga dibudidayakan karena
keindahan suaranya; ayam Pelung, ayam Bekisar, ayam Gaok, dan ayam
Ketawa. Untuk persembahan dalam upacara adat yang digunakan adalah
ayam Cemani, ayam Kedu Hitam, ayam Kedu Putih; ayam hias
dibudidayakan karena keindahan warnanya, seperti ayam Kapas, ayam
 LUHT4214/MODUL 1 1.31

Mutiara; sedangkan contoh ayam aduan adalah ayam Bali, ayam Bangkok,
dan lain-lain.
Jika pemanfaatan dan pengelolaan kelimpahan keanekaragaman satwa
dilakukan secara bijak dengan menerapkan prinsip-prinsip pemanfaatan
berkelanjutan, kekayaan hayati Indonesia merupakan modal pembangunan
untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Namun, keterbatasan informasi
tentang potensi ekonomi keragaman hayati menyebabkan hanya sebagian
kecil saja spesies tumbuhan dan satwa yang dimanfaatkan masyarakat. Hal
itu menjadikan spesies-spesies yang sudah diketahui manfaatnya sebagai
target eksploitasi berlebih, sementara sebagian besar spesies lainnya
dianggap tidak mempunyai nilai ekonomi sehingga terabaikan dalam
kebijakan pengelolaan sumber daya alam hayati.
Manfaat lain yang sangat penting dari satwa liar adalah wisata alam atau
lebih spesifik lagi adalah wisata hidupan liar. Wisata hidupan liar saat ini
sangat populer di dunia. Pada dasarnya kegiatan wisata ini adalah menikmati
alam secara non-konsumtif melalui kegiatan seperti berjalan kaki, menyelam,
fotografi, mengamati ikan paus, burung, dan lainnya. Nilai moneter kegiatan
tersebut sering kali disebut dengan nilai amenitas dan berjumlah cukup besar.
Sebagai contoh, 84% penduduk Kanada ternyata melakukan kegiatan wisata
yang berhubungan dengan alam dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Banyak sekali yang mengelompokkan jenis wisata seperti Ekowisata
alami (wildlife tourism). Ekowisata demikian adalah wisata untuk melihat
kehidupan alami dari flora dan fauna-satwa, baik perilaku, habitat, maupun
populasinya. Ekowisata merupakan industri yang populer di negara
berkembang di seluruh dunia. Wisatawan mendatangi negara-negara tropis
dan membelanjakan uangnya untuk melihat keanekaragaman hayati dan
spesies tertentu (flagship species). Dengan membebankan karcis masuk yang
tinggi, Rwanda mengembangkan pariwisata yang mengeksploitasi gorila,
yang merupakan sumber devisa ketiga bagi negara tersebut.
Ekowisata di kehidupan alami merupakan industri kunci di negara-
negara Afrika Timur seperti Kenya dan Tanzania dan berkembang pesat di
negara-negara Amerika dan Asia. Pada awal tahun 1970-an, nilai seekor
singa di Taman Nasional Emboseli sebesar US$ 27.000 per ekor dan gajah
US$ 610.000 per ekor. Nilai tersebut tentunya menjadi lebih tinggi lagi pada
saat sekarang. Di Indonesia, ekowisata demikian belum berkembang,
walaupun saat ini sangat populer turis untuk melihat komodo, orangutan,
gajah, harimau, dan satwa karismatik lainnya. Di laut, banyak turis melihat
1.32 Lingkungan Ternak 

biota laut mulai dari terumbu karang, berbagai jenis ikan, penyu, ular laut
sampai mamalia seperti lumba-lumba dan paus.
Menyadari potensi keanekaragaman fauna yang sangat besar di
Indonesia, walaupun dibalik itu terjadi penyusutan keanekaragaman yang
sangat tinggi di semua tingkatan taksa flora maupun fauna, maka masalah
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita memprioritaskan komponen
dasar dari upaya konservasi yang terintegrasi, yaitu penelitian,
pemanfaatan, dan pelestarian. Bagaimana hubungan ketiga komponen itu
dan juga potensi keanekaragaman hayati Indonesia perlu menjadi perhatian.
a. Tampaknya kekurangan yang mencolok dari hasil riset mengenai
keanekaragaman hayati adalah kurang teridentifikasinya potensi, baik
ekonomi maupun sosiokultural sehingga yang diperlukan bukan hanya
inventarisasi jenis dan kandungan bahan alamnya tetapi juga bagaimana
pemanfaatannya. Karakterisasi jenis biota perlu dilakukan dengan segera
sebelum terjadi kepunahan yang disebabkan oleh kerusakan lingkungan,
kebakaran hutan, dan perubahan iklim global. Teknik dan kebijakan
mengenai biological prospecting harus direkomendasikan sehingga
upaya pencarian materi genetika dari jenis biota untuk pemanfaatannya
tidak merusak dan tidak menjadi bumerang di masa depan.
b. Penelitian keanekaragaman hayati yang sudah menjadi komoditas
pertanian, perikanan, peternakan, kehutanan, kesehatan, industri, dan
lainnya perlu lebih diprioritaskan dan ditingkatkan. Selain itu,
penangkaran spesies yang mempunyai potensi pertanian harus digali
lebih jauh dengan teknik rekayasa lanjut.
c. Domestikasi biota Indonesia baik melalui cara-cara tradisional oleh
masyarakat maupun yang lebih canggih, seperti genetika molekuler dan
teknik propagasi modern, perlu ditingkatkan, khususnya teknologi yang
berhubungan dengan propagasi/reproduksi, teknologi rekayasa, teknologi
panen, teknologi pascapanen, teknologi konservasi, dan teknologi
industri.
d. Oleh karena potensi lahan, status keanekaragaman hayati dan ekologi
dari setiap kawasan baik di tingkat provinsi maupun pulau sangat
berbeda, maka pengembangan keanekaragaman hayati tidak seharusnya
seragam untuk setiap daerah, tetapi menyesuaikan dengan keadaan sosio-
ekonomi dan iklim kawasan tersebut.
e. Diharapkan adanya penelitian yang dapat mengungkap daya lentur
ekosistem, resiliensi ekosistem dan spesies sehingga kita dapat
 LUHT4214/MODUL 1 1.33

memanfaatkan keanekaragaman hayati secara berkesinambungan, baik


untuk pemanfaatan tidak langsung, seperti jasa ekosistem dan
ekoturisme, maupun pemanfaatan langsung dari alam, seperti
pemanenan.

2. Kelimpahan dan Keanekaragaman Satwa


Sekalipun sejauh ini pengertian Ternak umumnya terbatas pada bangsa
hewan menyusui atau mamalia dan burung atau aves, untuk memahami
kelimpahan dan keanekaragaman fauna Indonesia, Prof. DTH. Sihombing
(2008) dalam Modul Lingkungan Ternak menggunakan istilah Satwa
Harapan sebagai ungkapan sementara untuk spesies-spesies fauna yang
diprediksi memiliki potensi manfaat dan nilai ekonomi, namun belum
dibudidayakan atau diternakkan. Fauna-fauna tersebut termasuk ke dalam
kelas-kelas hewan invertebrata (hewan tidak bertulang belakang : Moluska,
Arthropoda, dan Nematoda) dan lima kelas hewan vertebrta (ikan, amfibia,
reptilian, aves, dan mamalia). Mendukung pemikiran tersebut, uraian di
bawah ini diharapkan akan membantu Anda untuk mendapatkan wawasan
tentang kekayaan alam Indonesia, terutama faunanya.
Kelimpahan Keanekaragaman atau Biodiversitas adalah keseluruhan
gen, spesies, dan ekosistem di suatu kawasan (totality of genes, species and
ecosystems in a region) (Behera dan Das 2008). Biodiversitas merupakan
bidang kajian yang sangat menarik karena memiliki banyak aspek kajian.
Dalam diskusi biodiversitas dunia, Indonesia adalah negara yang tidak dapat
ditinggalkan. Indonesia sangat kaya biodiversitas, baik di daratan maupun di
lautan. Selama ini, diskusi mengenai kekayaan biodiversitas umumnya hanya
didasarkan pada spesies daratan. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya
penelitian maritim maka biodiversitas di lautan juga mulai terungkap. Hal ini
berdampak pada rangking Indonesia sebagai salah satu negara utama
biodiversitas karena negeri ini adalah negara kepulauan terbesar di dunia
(Schroeder 2011).
Indonesia adalah salah satu dari 17 negara yang disebutkan sebagai
negara mega biodiversitas. Negara-negara tersebut adalah Afrika Selatan,
Amerika Serikat, Australia, Brasil, Cina, Ekuador, Filipina, India, Indonesia,
Kolombia, Kongo, Madagaskar, Malaysia, Meksiko, Papua Nugini, Peru, dan
Venezuela (CI 1997; Mittermeier et al. 2005). Hutan tropis Indonesia beserta
Brazil dan Kongo adalah wilayah dengan kelimpahan keanekaragaman
spesies darat tertinggi di dunia.
1.34 Lingkungan Ternak 

Negara mega biodiversitas dihuni oleh sedikitnya 2/3 dari semua spesies
vertebrata non-ikan dan 3/4 dari semua spesies tumbuhan tinggi. Konsep
negara megabiodiversitas disusun atas 4 alasan, yaitu:
a. Keanekaragaman hayati setiap negara sangat penting bagi kelangsungan
hidup negara itu, dan harus menjadi komponen dasar setiap strategi
pembangunan nasional atau regional.
b. Keanekaragaman hayati tidak merata di bumi, dan beberapa negara,
terutama di daerah tropis, memiliki konsentrasi biodiversitas yang jauh
lebih besar daripada negara-negara lain.
c. Beberapa negara yang paling kaya spesies dan keanekaragaman hayati
juga memiliki ekosistem yang berada di bawah ancaman paling parah.
d. Untuk mencapai dampak maksimum dari sumber daya yang terbatas ini,
upaya konservasi harus dikonsentrasikan (tapi tidak eksklusif) di negara-
negara yang memiliki tingkat kelimpahan biodiversitas dan endemisme
tinggi namun paling parah kerusakannya.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak di kawasan Asia


Tenggara, di antara benua Asia dan Australia, Samudra Pasifik dan Samudra
Hindia. Jumlah pulau yang dimiliki Indonesia mencapai 17.000 buah, 13.466
pulau sudah diberi nama dan 11.000 pulau sudah berpenghuni. Secara
keseluruhan, luas daratan Indonesia mencapai 1.919.440 km2 dan luas
perairan 3.257.483 km2 dengan garis pantai sepanjang 54.716 km
(Bakosurtanal. 2012). Indonesia terletak di antara 6°LU-11°LS dan 95°BT-
141°BT, karena itu Indonesia termasuk daerah tropis. Secara geologis,
Indonesia dilalui oleh dua jalur pegunungan muda dunia, yaitu Pegunungan
Mediterania di sebelah Barat dan Pegunungan Sirkum Pasifik di sebelah
Timur. Adanya dua jalur pegunungan tersebut menyebabkan Indonesia
memiliki banyak gunung api yang aktif dan sering disebut sebagai the pacific
ring of fire (Gambar 1.5), serta rawan terjadi gempa bumi. Gunung berapi di
Indonesia dibentuk oleh 3 lempengan tektonik aktif, yaitu lempengan
Eurasia, Pasifik, dan Indo‐Australia.
 LUHT4214/MODUL 1 1.35

Sumber: LIPI., KEMEN PPN/BAPENAS., dan KLH, 2014)

Gambar 1.5
Cincin Api (Ring of Fire) – kawasan (garis biru) gempa dan letusan gunung
berapi di cekungan Samudra Pasifik (termasuk sepanjang pantai selatan
Indonesia) berbentuk seperti tapal kuda mencakup wilayah sepanjang 40.000
km; disebut juga Sabuk Gempa Pasifik.

Letusan gunung berapi yang sangat dahsyat yang pernah terjadi di


Indonesia adalah Gunung berapi di Toba yang menghasilkan kaldera Danau
Toba yang terjadi 74.000 SM, dan G. Krakatau tahun 1883. Meletusnya G.
Tambora pada tahun 1815 menyebabkan kegagalan panen di Eropa Utara,
Timur Laut Amerika dan Timur Kanada di tahun 1816 yang dikenal dengan
istilah “Year without summer”. Saat ini gunung paling aktif di Indonesia
adalah G. Kelud dan G. Merapi di Pulau Jawa. G. Kelud setidaknya tercatat
sudah lebih dari 30 kali meletus sehingga termasuk tingkat ke-5 dari Indeks
eksplosif gunung berapi (Volcanic Explosivity Index). Sementara itu G.
Merapi telah mengalami erupsi setidaknya 80 kali.
Maryanto (2012) membagi Indonesia menjadi tujuh biogeografi
berdasarkan pengelompokan pulau besar, yaitu Sumatera (1), Jawa dan Bali
(2), Kalimantan (3), Sulawesi (4), Kepulauan Sunda Kecil (lesser sunda
island) (5), Maluku (6), dan Papua (7).
1.36 Lingkungan Ternak 

Bio-geografi adalah kawasan yang memiliki bentang alam luas serta


kekayaan keanekaragaman hayati (flora dan fauna) yang tinggi yang
mempengaruhi fungsi ekosistemnya. Menurut Berg dan Rasmann (1977)
biogeografi ditentukan berdasarkan informasi klimatologi, fisiografi,
geografi, flora dan fauna, sejarah alami, dan aspek alami lainnya.

Sumber : KPPN-BAPPENAS, 2016.

Gambar 1.6
Keanekaragaman Fauna Indonesia

Dengan keadaan Indonesia tersebut maka menjadi beralasan bahwa


Indonesia memiliki kelimpahan keanekaragaman hayati tertinggi kedua
setelah Brazil untuk flora maupun fauna darat dan bahkan tertinggi untuk
keanekaragaman hayati lautnya. Kekayaan ini harus dapat dimanfaatkan dan
dikelola dengan optimal sehingga memberikan manfaat bagi masyarakat,
negara secara khusus, dan dunia secara umum. Hal ini mengingat dampak
yang terjadi di satu negara akan berperilaku seperti efek domino dengan
rentetannya ke seluruh wilayah di dunia, yang umum dikenal sebagai efek
global.
Kelimpahan keanekaragaman fauna Indonesia dibedakan dalam dua
kelompok, yaitu Vertebrata dan Invertebrata. Kelompok hewan dari filum
Vertebrata-Chordata adalah kelas hewan Mamalia, Aves (burung), Reptilia,
Amphibia, dan Ikan; Kelompok hewan dari filum Invertebrate-Chordata
 LUHT4214/MODUL 1 1.37

adalah Moluska, Athropoda, Porifera, Cnidaria, Platyhelmintes, Nematoda,


Annelida, dan Echinodermata. Kelompok-kelompok hewan tersebut
didapatkan hidup tersebar di lingkungan perairan laut, perairan tawar,
maupun terestrial.

Tabel 1.2
Perbandingan Keanekaragaman dan Endemisitas Fauna Dunia dan Indonesia

% ENDEMISITAS
FAUNA DUNIA(1) INDONESIA(1)
DUNIA (%)
VERTEBRATA
MAMALIA 5.416 720 13 26,6
Burung 10.140 1.605 16 9,1
Reptilia 9.084 723 8 21
Amfibia 6.433 385 6 31,4
+Ikan Perairan Tawar 14.000 2.616 14 -
INVERTEBRATA
MOLUSKA
- Gastropoda – Siput 181.525 4.000 2 -
- Bivalvia – Kerang 9.947 1.000 10 -
- Scaphopoda – Siput - 70 - -
Gading
- Cephalopoda – Cumi cumi 952 100 11 -
- Amphineura – Kiton - - - -
ARTHROPODA
- Crustasea – Decapoda 66.900 1200 5 -
Udang Air Tawar - 122 - -
Kepiting Air tawar - 120 - -
Kepiting Bakau - 99 - -
- Arachinoidea – Octopoda 57.228 2.489 - -
– Laba laba - -
- Insecta – Hexapoda - 151.87
Apis sp. – Lebah Madu 7 6 86
Lepidoptera – Kupu-kupu 17.775 1.900 11 -
Collembola – Sebangsa - 461 - -
Rayap
Sumber : KPPN-BAPPENAS, 2016.

Memahami keadaan geografis Indonesia sebagai rangkaian dari ribuan


pulau-pulau yang membentang sepanjang Khatulistiwa, telah menginspirasi
Alfred Russel Wallace, seorang penjelajah Inggris abad ke-18, untuk
mengembangkan teori evolusi bersama Charles Darwin. Jika Darwin
1.38 Lingkungan Ternak 

memperoleh inspirasinya dari Kepulauan Galapagos di Pasifik, Wallace


mengembangkan gagasan serupa tentang seleksi alam dan pola distribusi
satwa dari penjelajahannya di pulau-pulau Nusantara.
Perbedaan komposisi fauna yang mencolok antara Kalimantan dan
Sulawesi, begitu pula antara Bali dan Lombok, yang dilaporkan Wallace
menjadi titik tolak lahirnya garis biogeografi yang paling dikenal dunia
sampai saat ini. Garis imajiner yang kemudian disebut sebagai Garis Wallace
itu memisahkan fauna Kawasan Sunda (Semenanjung Malaysia, Sumatera,
Jawa, Bali, dan Kalimantan) yang diwakili oleh burung merak, barbet,
kucing besar, badak, kijang, kera, dan bajing pohon, dari fauna Kawasan
Australasia yang diwakili oleh kakatua, cendrawasih, dan hewan berkantung .
Sementara itu, pulau-pulau yang berada di antara Garis Wallace dan Papua,
yaitu Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, merupakan daerah transisi
yang dikenal sebagai Wallacea. Di dalam daerah transisi ini terkandung
kekayaan satwa endemik yang sangat khas, seperti babi rusa, anoa, burung
paruh bengkok, kuskus, dan monyet Sulawesi. Tidak hanya kaya spesies
endemik (khas untuk satu lokasi geografi tertentu) di kawasan itu dapat
ditemukan primata dan burung rangkong dari Kawasan Sunda hidup di hutan
yang sama dengan hewan berkantung dan burung kakatua dari Australasia.
Semua pulau di bagian Barat Indonesia, yang mewarisi kekayaan biologi
dan budaya dari Semenanjung Malaysia, sebagian Kalimantan, Kepulauan
Palawan di Filipina, Selatan Thailand, terletak di kawasan yang disebut
Sundaland. Kawasan ini terletak di atas Lempeng Sunda yang dangkal,
dengan kedalaman kurang dari 40 m, dan merupakan bagian dari Benua
Asia. Pada masa lalu, ketika Lempeng Sunda belum tergenang air terjadi
migrasi fauna antarpulau yang berada di Indonesia bagian barat dan Benua
Asia. Tidak seperti di Barat, pulau-pulau di Timur Indonesia tidak bersatu
dengan benua manapun, kecuali Papua yang merupakan bagian dari Lempeng
Sahul, dan merupakan bagian dari Benua Australia.
Geologi kepulauan Indonesia serta Filipina pada umumnya, dan
Indonesia Timur pada khususnya, termasuk yang paling rumit di dunia.
Sejarah pembentukan kepulauan Indonesia telah bermula semenjak 200 juta
tahun silam. Ketika itu, di dunia ini hanya terdapat dua benua berukuran
raksasa, yaitu Laurasia (yang terdiri atas Amerika Utara, Eropa, dan sebagian
besar benua Asia) di belahan bumi utara, dan Gondwana (terdiri atas
Antartik, Australia, India, Amerika Selatan, Selandia Baru, dan Kaledonia
Baru serta sebagian Asia timur dan tenggara) di belahan bumi selatan. Sekitar
 LUHT4214/MODUL 1 1.39

160 juta tahun yang lalu, pada akhir masa Jura, terjadi fenomena pelebaran
dasar lautan sehingga fragmen Asia tenggara (termasuk Sumatera,
Semenanjung Malaysia, Birma/Myanmar, Kalimantan, dan Sulawesi barat)
terdorong ke utara, terpecah dari Australia dan Papua-Nugini di ujung timur
laut Gondwana. Semenjak masih bergabung dengan Gondwana sampai
sekarang, fragmen Asia tenggara tersebut selalu berada di permukaan laut
sehingga berfungsi sebagai kapal Nabi Nuh yang membawa flora dan fauna
khas Gondwana. Di antara 160 juta sampai 100 juta tahun yang lampau,
fragmen Asia Tenggara ini “mengapung” dan terisolasi di Samudera Tethys,
lautan kuno yang luas, yang terletak di antara Laurasia dan Gondwana.
Kemudian, sekitar 70 juta tahun yang lampau, lempeng yang membawa
Australia, Papua, Sulawesi Timur, Seram, Timor, dan Tanimbar terpecah
dari lempeng Antartika (bagian yang tersisa dari Gondwana) dan berlayar
menuju utara. Sebagian Australia pada awalnya berada di bawah laut, namun
dalam proses pergerakannya ke utara lempengan itu muncul ke permukaan
laut dengan kecepatan 10 cm per tahun. Dari Gondwana, Australia telah
membawa bentuk-bentuk primitif satwa mamalia dan burung serta tumbuhan
berbunga, Selanjutnya, sekitar 40 juta tahun yang lalu, fragmen Asia
Tenggara telah mencapai wilayah khatulistiwa. Pada masa itu, Indonesia
bagian barat telah berada dalam posisi yang relatif sama dengan masa kini.
Ketika itu semenanjung Malaysia telah bersatu dengan Laurasia. Pada posisi
ini diperkirakan fragmen tersebut mulai berfungsi sebagai batu loncatan yang
efektif, yang memungkinkan perpindahan dua arah antara biota benua Asia
dan Australia, khususnya yang mampu melewati lautan pemisah.
Sekitar 40 juta tahun yang lalu juga terjadi pertemuan antara lempengan
yang membawa benua Australia dan Papua-Nugini dengan suatu lempengan
laut yang menyebabkan sebagian Papua terangkat dari bawah permukaan
laut. Peristiwa itu menambah luas pulau tersebut. Pertumbukan yang masih
berlangsung hingga kini itulah yang membentuk pegunungan tengah Papua.
Pada waktu yang hampir bersamaan, Lempengan Australia, yang
bertumbukan dengan Lengkungan Banda, mengalami subduksi (proses
pengimpitan) sehingga di kawasan sekitar Pulau Banda muncul dua jejeran
pulau-pulau, yaitu jejeran pulau vulkanik dan jejeran pulau yang berasal dari
lempeng benua yang terangkat.
Pertumbukan langsung antara kepingan Asia Tenggara dari Gondwana
dengan Asia diperkirakan terjadi 15 juta tahun lalu. Pada masa ini, Sulawesi
Timur (yang membawa flora dan fauna khas Gondwana) menumbuk
1.40 Lingkungan Ternak 

Sulawesi Barat (yang telah banyak dikolonisasi biota Laurasia). Seperti


tombak yang mematahkan sasarannya di bagian tengah, tumbukan itu
membuat Sulawesi Barat terputar sedemikian sehingga bagian utara pulau
Sulawesi terputar 90 derajat searah jarum jam. Inilah asal muasal bentuk
Sulawesi yang mirip huruf “K”.
Proses geologis yang rumit akhirnya menciptakan keanekaragaman
ekosistem Indonesia sebagai suatu fenomena yang luar biasa. Topografinya,
dengan berbagai ketinggian, membentuk berbagai ekosistem mulai dari hutan
dataran rendah, rawa-rawa, kawasan pesisir, gua yang sangat panjang, hingga
hutan pegunungan dan puncak gunung es. Setidaknya tercatat 50 tipe
ekosistem di Indonesia yang menempatkan Indonesia menjadi negara dengan
ekosistem terlengkap, jauh menandingi negara-negara yang terkenal dengan
keanekaragaman biogeografinya, seperti Peru, Kolombia, Meksiko, Cina,
India, dan Amerika Serikat.

B. TERNAK DI INDONESIA

1. Ternak dan Pemanfaatannya di Indonesia


Kata ternak sering kali digunakan untuk semua jenis hewan peliharaan,
padahal tidak semua hewan peliharaan tergolong ternak dan dengan
sendirinya tidak semua hewan peliharaan dapat diusahakan sebagai ternak.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 2014 hasil perbaikan/perubahan
dari undang-undang sebelumnya (UU RI No. 6 Tahun 1967 dan UU RI No.
41 Tahun 2009), tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan mendefinisikan
beberapa istilah yang selanjutnya menjadi rujukan dan digunakan dalam mata
kuliah ini.
Ternak adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai
penghasil pangan, bahan baku industri, jasa, dan/atau hasil ikutannya yang
terkait dengan pertanian. Hewan peliharaan adalah hewan yang sebagian
atau seluruh kehidupannya bergantung pada manusia untuk maksud tertentu.
Hewan adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus
hidupnya berada di lingkungan perairan, daratan dan/atau udara, baik yang
dipelihara maupun yang hidup di habitatnya. Definisi Satwa Liar adalah
semua binatang yang hidup di darat, air, dan/atau udara yang masih
mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh
manusia.
 LUHT4214/MODUL 1 1.41

Berdasarkan definisi di atas, terutama dikaitkan dengan perbedaan


peruntukannya, dapat diinterpretasikan bahwa keseluruhan pengelolaan
kehidupan ternak, mencakup perkandangan, ketersediaan pakan,
perkembangbiakan, dan kesehatan diatur dan diarahkan oleh dan untuk
memenuhi kebutuhan manusia.
Jajaran kepulauan Indonesia berada di antara dua benua besar (Asia dan
Australia) yang memiliki keanekaragaman sumber daya hayati, dan
karenanya dikenal sebagai kawasan mega-biodiversitas. Keanekaragaman
tersebut juga dipandang sebagai sumber daya kehidupan dan penghidupan
manusia. Keanekaragaman ini juga membuat satwa nusantara memiliki
endemisme yang tinggi dan dipengaruhi oleh keragaman hayati dari dua
benua tersebut. Sejarah geologi pembentukan masing-masing pulau di
Indonesia yang bervariasi mempengaruhi pembentukan ekosistem dan jenis-
jenis satwa penghuninya, termasuk terbentuknya berbagai spesies endemik di
Indonesia. Oleh karena itu, sekalipun luas wilayah Indonesia hanya sekitar
1.916.000 km2 atau 1.3% luas daratan dunia, akan tetapi dihuni oleh 17% dari
seluruh spesies burung dunia, 12% dari seluruh spesies mamalia, 16% dari
seluruh spesies reptilian, dan amphibian. Hanya beberapa negara, seperti
Brazilia, Colombia di Amerika Selatan, dan Kongo di Afrika yang dapat
menyaingi tingkat keanekarangam hayati yang dimiliki Indonesia.
Berdasarkan National Report on Animal Genetic Resources Indonesia
(Director General of Livestock Services, Agricultural Departement, 2003),
beberapa jenis ternak saat ini berkembang, baik hasil domestikasi hewan asli
dan atau telah lama menjadi pendatang dan telah beradaptasi di Indonesia
adalah:
a. Sapi: Aceh, Bali, Ongole-grade, Sumba-Ongole, Madura, Java, Pesisir,
Grati.
b. Kerbau: Rawa atau swamp buffalo, Kalang, Belang atau Spotted-
buffalo, dan Murrah.
c. Kambing: Kacang, Gembrong, Kosta, Persilangan Etawah, Merica.
d. Domba: Priangan, Ekor Gemuk, Ekor Tipis, dan Komposite.
e. Babi: Bali, Nias, Tangerang, Jambi, Babi hutan, Batak, Sulawesi,
Babirusa.
f. Kuda: Gayo, Batak, Priangan, Java, Bali, Lombok, Sumbawa, Sandel,
Timor, Flores, Sumbar, Kuda Pacu Indonesia.
g. Rusa: Timorensis, Sambar, Bawean, Totol (Spotted-deer), Muncak atau
Menjangan.
1.42 Lingkungan Ternak 

h. Kelinci: Gekbrong.
i. Ayam; Publikasi Nataamijaya mengungkapkan bahwa ayam lokal
Indonesia banyak memiliki keragaman dan karakteristik morfologis yang
berbeda dan tidak kurang dari 31 rumpun yang telah dapat diidentifikasi,
seperti: Ayam Kedu (hitam dan putih), Nunukan, Pelung, Kuning,
Merawang, Merawas, dan lain-lain.
j. Itik: Tegal, Mojosari, Alabio, dan lain-lain.

Sejarah tentang kehadiran dan peranan ternak di Indonesia sejak masa


lalu dapat dilihat dari relief dinding candi Borobudur yang dibuat pada
pertengahan abad ke-8. Relief tersebut menunjukkan berbagai jenis ternak
dan hewan lainnya, seperti gajah, sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, dan
unggas yang tergambar bersama manusia pemeliharanya bahkan cara
pemanfaatannya (Martoyo, 1992). Walaupun sebagian besar sejarah
perkembangan peternakan di Indonesia itu tidak banyak tercatat dan
terdokumentasi dengan baik, namun ada beberapa informasi penting
mengenai upaya meningkatkan produktivitas ternak lokal Indonesia yang
dilakukan pemerintah Hindia Belanda, khususnya pada ternak sapi. Pada
zaman penjajahan tersebut, sapi pejantan Zebu (sapi Benggala) diimpor ke
Indonesia untuk disilangkan dengan sapi lokal pada tahun 1806 dan 1812 di
wilayah Jawa Timur (Markens, 1926). Sapi dari India tersebut makin banyak
diminati, terutama oleh para pemilik perkebunan di Jawa Timur dan Jawa
Tengah untuk menghasilkan sapi silangan yang lebih besar yang digunakan
sebagai tenaga tarik. Impor sapi Zebu semakin meningkat dan dihentikan
pada tahun 1897. Impor sapi dari India dibuka kembali pada tahun 1905
dengan persyaratan lebih ketat, khususnya terkait dengan pencegahan
masuknya penyakit (Martoyo, 1992). Perkembangan peternakan setelah
masa kemerdekaan berawal pada tahun 50-an. Selain mempertahankan
kemurnian rumpun ternak lokal yang sudah ada di Indonesia, salah satu
kebijakan pemerintah Indonesia waktu itu adalah mengimpor beberapa
rumpun ternak, terutama dari komoditas babi, ayam, dan sapi perah ke
Indonesia. Berbagai rumpun asing tersebut disilangkan dengan rumpun
ternak lokal dalam upaya meningkatkan produktivitasnya sebagai penghasil
telur, daging, dan susu. Proses perkembangan peternakan di Indonesia hingga
saat ini akan terus berlanjut dan telah menghasilkan sumber daya genetika
ternak yang lebih beragam (Martoyo, 1992).
 LUHT4214/MODUL 1 1.43

Setelah mengalami rangkaian proses domestikasi, selanjutnya


dikembangkan dan dibudidayakan untuk memenuhi berbagai kegunaan; dan
spesies atau jenis-jenis ternak tersebut dapat dibagi menjadi 4 kelompok,
yaitu:
a. Ternak Unggas (Kelas Aves: tipe pedaging dan petelur) antara lain
Ayam (Gallus domesticus), Itik (Anas planthyrynchos), Entog (Cairina
moschata), Angsa (Anser anser), Kalkun (Melegris galopavo), dan
Tiktok (itik x entog).
b. Ternak Potong (Kelas : Mamalia biasanya tipe pedaging) antara lain
Ternak Potong Besar : Sapi (Bos sp.), Kerbau (Buballus bubalis), Kuda
(Equs caballus), Keledai (Equs asinus), Zebra (Equs hipotigris), dan
Unta (Camell dromedarius). Ternak Potong Kecil: Kambing (Capra sp.),
Domba (Ovis sp.), dan Babi (sus sp.).
c. Ternak Perah (Kelas : Mamalia biasanya tipe perah) antara lain Sapi
Perah, Kerbau Perah, Kuda Perah, Kambing Perah, dan Unta Perah.
d. Aneka Ternak adalah ternak-ternak yang tidak dalam satu kelas antara
lain : Kelinci (Lepus cuniculus), Lebah (Apis species), Puyuh (Coturnix
coturnix), Bekicot, Walet, Katak dan lain-lain.

Beragam pemanfaatan ternak di Indonesia


a. Sebagai Sumber Gizi; Produksi ternak, seperti telur, daging, dan susu
merupakan bahan makanan yang bergizi tinggi karena banyak
mengandung protein, mudah dicerna, dan lezat. Bahkan air susu
merupakan komponen penyempurnaan dari pemenuhan 4 sehat 5
sempurna.
b. Sebagai Sumber Tenaga; Keberadaan ternak besar dimanfaatkan untuk
sumber tenaga menarik alat-alat pertanian dan alat transportasi.
Keberadaan sumber tenaga ternak sebagai pembajak sawah masih
dipertahankan karena topografi tanah pertanian yang berbukit-bukit
sehingga sangat sulit penerapan mekanisasi pertanian modern.
c. Sebagai Sumber Pupuk dan Biogas; Pengelolaan kotoran ternak (padat
– feses dan cair – urine) merupakan hasil sampingan yang memiliki nilai
ekonomis yang tinggi sebagai pupuk organik dan biogas.
d. Sebagai Sumber Penghasilan; Dengan memelihara ternak maka dapat
merupakan sumber untuk memperoleh uang. Bagi kebanyakan petani di
pedesaan, kehadiran ternak merupakan peluang sebagai sumber tabungan
dan menambah penghasilannya di samping usaha tani tanaman.
1.44 Lingkungan Ternak 

e. Sebagai Sumber Bahan Industri; Hasil utama dan hasil samping dari
ternak dapat digunakan untuk bahan baku industri. Telur, daging dan
susu dapat digunakan dalam berbagai industri makanan. Kulit, bulu,
tulang, dan lainnya dapat digunakan untuk industri kerajinan.
f. Sebagai Sumber Lapangan Kerja; Dengan semakin berkembangnya
usaha peternakan maka akan membutuhkan tenaga kerja yang lebih
banyak. Industri peternakan adalah industri biologis sehingga campur
tangan manusia mutlak diperlukan.
g. Sebagai Materi Pengembangan Ilmu dan Teknologi; Bagi
perkembangan ilmu pengetahuan, maka ternak merupakan sarana
penelitian yang efektif bagi pemenuhan kebutuhan manusia.
h. Sebagai Sumber Pariwisata; Dari segi sosial, ternak memiliki daya
tarik wisata tersendiri, khususnya terkait dengan hobi atau kesenangan
(Funcy).
i. Sebagai Sumber Status Sosial; Kepemilikan ternak dapat
meningkatkan status sosial bagi seseorang atau sekelompok orang,
khususnya kepemilikan ternak-ternak pilihan.
j. Sebagai Sumber Sosial Budaya; Di Indonesia masih sangat banyak
dibutuhkan ternak-ternak sebagai kelengkapan dalam sesaji, kepercayaan
yang berkaitan dengan tata cara atau adat daerah.

2. Potensi Ternak di Indonesia


Berdasarkan data dalam Buku Statistika Peternakan dan Kesehatan
Hewan tahun 2016, populasi ternak di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi Ternak besar (sapi potong, sapi perah, kerbau, dan kuda), Ternak
kecil (kambing, domba, dan babi), Ternak unggas (ayam buras, ayam ras
petelur, ayam ras pedaging, itik, dan itik manila), dan Aneka ternak (kelinci,
puyuh, dan merpati).
Tinjauan biogeografis dari 34 provinsi menunjukkan bahwa bagian
terbesar dari populasi ternak utama terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Pulau
Bali, berdampingan dengan populasi penduduk terpadat di Indonesia.
Proporsi tersebut: 99% sapi perah, 50% sapi potong/pedaging, 24-25%
kerbau, 44-45% ayam buras, 60-61% ayam ras petelur, dan 67-68% ayam ras
pedaging. Keadaan ini tentunya menimbulkan pertanyaan tentang persaingan
kebutuhan lahan yang layak untuk kehidupan ternak dan manusia di Pulau
Jawa dan Pulau Bali dibandingkan pulau lainnya di Indonesia.
 LUHT4214/MODUL 1 1.45

a. Sapi Potong/Pedaging; Terdapat tiga spesies sapi di Indonesia, yaitu


Bos indicus, Bos taurus, dan Bos javanicus. Kebanyakan sapi Bos
indicus berasal dari India, Bos taurus dari negara subtropis, dan hanya
Bos javanicus atau Banteng yang asli dari Indonesia, dan menjadi tetua
sapi Bali. Beberapa rumpun sapi keturunan Bos indicus yang dikenal di
Indonesia di antaranya adalah: (1) sapi Madura, yang diduga merupakan
hasil silangan antara Banteng atau sapi Bali dengan sapi Zebu (Nijman,
dkk. 2003); (2) sapi Aceh yang diduga kuat juga merupakan hasil
silangan sapi Bali atau Banteng dengan sapi Zebu (Abdullah, dkk. 2008);
(3) sapi Ongole yang aslinya diimpor dari wilayah Madras-India ke
pulau Jawa dan Madura, serta ke pulau Sumba. Adapun sapi Peranakan
Ongole (PO) merupakan Sumba – Ongole yang disilangkan dengan sapi
Jawa; (4) Sapi pesisir yang merupakan sapi berbobot badan terkecil
dibandingkan dengan sapi-sapi lain di Indonesia. Dari spesies Bos
taurus, beberapa rumpun yang sangat populer saat ini adalah sapi
Limousin dan sapi Simmental.
Lebih dari 99% sapi potong di Indonesia dikelola oleh peternak berskala
kecil dengan skala kepemilikan 1-3 ekor per peternak. Tidak jarang pula
ternak sapi yang dipelihara adalah milik orang lain, sedangkan peternak
hanya memelihara saja sehingga keuntungan dari penjualan sapi dibagi
dua atau dibagi secara proporsional berdasarkan kesepakatan awal.
Pemeliharaan sapi juga dilakukan secara tradisional dengan pemberian
pakan yang sering kali tidak optimal dan tidak berkualitas. Hal ini
membuat performa sapi jauh di bawah potensi genetiknya.
Sejak pemerintah mendirikan Balai Inseminasi Buatan, persilangan antar
rumpun sapi banyak dilakukan dalam rangka meningkatkan
produktivitasnya (bukan meningkatkan mutu genetika) sehingga
diharapkan dapat menghasilkan daging lebih banyak. Pada umumnya,
peternak memilih menggunakan semen yang berasal dari pejantan
Simmental atau Limousin.
Pejantan tersebut biasanya diimpor dari luar negeri, sedangkan semennya
diproduksi di balai inseminasi buatan. Namun, pada tanggal 1 September
2012 lalu, Menteri Pertanian RI telah mencanangkan tekad swasembada
sapi pejantan unggul pada tahun 2013 dengan harapan semua sapi
pejantan unggul tidak akan diimpor lagi dari luar negeri, tetapi
dihasilkan sendiri. Ini dilakukan karena peternak lebih suka memilih
menggunakan semen rumpun atau bangsa sapi exotic (sapi unggul hasil
1.46 Lingkungan Ternak 

pemuliabiakan – umumnya rumpun sapi import) daripada sapi lokal


karena hasil persilangan dengan sapi exotic lebih besar daripada rumpun
sapi lokal.
Walaupun persilangan sapi terbukti meningkatkan produktivitas ternak
sapi yang ditunjukkan dengan bobot badan yang lebih besar, penerapan
inseminasi buatan secara besar-besaran tanpa perencanaan berpotensi
mengancam eksistensi sapi lokal yang telah beradaptasi sangat baik
dengan kondisi alam Indonesia. Selain perencanaan yang baik,
diperlukan juga upaya melestarikan sebagian populasi ternak sapi lokal
dalam wilayah sumber bibit yang dilindungi dengan perangkat hukum
yang kuat. Oleh karena itu, upaya pemerintah pusat atau pemerintah
daerah yang telah menetapkan beberapa sentra ternak menjadi wilayah
sumber bibit ternak perlu diapresiasi. Sebagai contoh, pulau Bali yang
hanya digunakan untuk pengembangbiakan rumpun sapi Bali. Demikian
juga pulau Sapudi yang tidak boleh kemasukan sapi rumpun apa pun
selain sapi Madura. Wilayah lain yang berpotensi dapat digunakan
sebagai wilayah sumber bibit perlu segera ditetapkan pemerintah. Segera
setelah penetapan wilayah sumber bibit, program seleksi terarah dalam
rangka meningkatkan mutu genetikanya perlu dilakukan secara
berkelanjutan. Di luar wilayah sumber bibit, sapi dapat dikawin
silangkan tanpa memperhatikan mutu genetikanya sepanjang sapi hasil
persilangan menghasilkan produktivitas tinggi.
Selama ini upaya perbaikan mutu genetika belum dilakukan pada ternak
lokal Indonesia dan justru terjadi seleksi negatif karena sapi yang baik
banyak dipotong atau dijual keluar wilayah sumber bibit. Terbukti
hingga saat ini, tidak ada sapi lokal Indonesia dapat diklasifikasikan
sebagai bibit, yaitu sapi yang memiliki catatan asal-usul dan
produktivitas secara jelas, serta bersertifikat bibit. Perilaku seperti ini
lambat laun akan mendegradasi mutu genetika sapi lokal. Oleh karena
itu, kebijakan pemerintah untuk lebih meningkatkan pengadaan pejantan
sapi lokal sebagai penghasil semen harus didukung oleh para peternak.
Melalui pengadaan pejantan sapi lokal yang terseleksi, maka semen dari
pejantan bermutu genetika tinggi dapat diinseminasikan ke sapi betina
rumpun yang sama sehingga akan meningkatkan mutu genetika anaknya.
Pada skala yang lebih kecil, teknologi alih janin (embrio transfer/ET)
juga digunakan dalam konteks meningkatkan produktivitas ternak karena
selama ini teknologi ET lebih banyak dimanfaatkan untuk memindahkan
 LUHT4214/MODUL 1 1.47

janin yang dihasilkan dari perkawinan ternak sapi eksotik (impor) ke


dalam sapi lokal sebagai resipien. Di sini, sekali lagi, ternak impor yang
menjadi fokusnya, sedangkan ternak betina lokal hanya digunakan
sebagai media bertumbuh kembangnya janin sapi impor yang
dipindahkan tadi. Dengan demikian, teknologi ET ini belum berperan
maksimal dalam meningkatkan mutu genetika ternak lokal, tetapi sangat
berperan dalam menghasilkan ternak sapi eksotik (sapi asing) secara
lebih cepat tanpa harus mengimpor lagi.
Untuk pembuatan ternak sapi transgenik dalam rangka peningkatan
produktivitas ternak, tampaknya belum mendesak untuk dilakukan.
Namun, teknik molekuler yang secara efektif dapat memanfaatkan
berbagai macam sekuens DNA sebagai penciri genetika dalam program
seleksi dapat membantu upaya peningkatan mutu genetika ternak lokal
melalui seleksi dini untuk sifat yang diinginkan.
Terkait dengan penggunaan semen dan embrio untuk peningkatan
produksi daging sapi, pada tahun 2012, pihak swasta telah mendirikan
perusahaan perbenihan dan perbibitan sapi Red Wagyu yang berorientasi
ekspor. Ini adalah perusahaan swasta pertama di Indonesia di bidang
benih ternak sapi. Salah satu target yang diinginkan melalui pendirian
industri tersebut adalah menghasilkan Red Wagyu Indonesia melalui
persilangan antara ternak sapi lokal Indonesia dan sapi Red Wagyu yang
dirancang secara sistematis, terstruktur, dan terukur. Dengan dihasilkan
rumpun baru Red Wagyu Indonesia, maka pengadaan genetika sapi Red
Wagyu di suatu saat nanti tidak bergantung lagi pada negara lain.
Sepanjang memberi makna dalam peningkatan keanekaragaman hayati,
kesejahteraan peternak, dan peluang lapangan pekerjaan di dalam negeri,
kita perlu mengapresiasi pemerintah yang telah memberikan izin
pendirian usaha perbenihan oleh sektor swasta. Yang perlu diperhatikan
pemerintah adalah pengawasan atas penggunaan semen sapi Red Wagyu
untuk disilangkan ke sapi lokal secara serampangan agar eksistensi sapi
lokal tetap terlindungi. Satu hal penting lainnya adalah bahwa orientasi
ekspor produk sapi Red Wagyu ke luar negeri akan mendorong
pemerintah Indonesia untuk lebih serius lagi mengamankan wilayahnya
dari ancaman penyakit menular, seperti Penyakit Mulut dan Kuku
sehingga produk ternak dari Indonesia dapat diterima masyarakat global.
Sapi Bali di Pulau Bali; Rumpun atau bangsa sapi potong yang
berkembang di Provinsi Bali hanya sapi Bali murni. Pemerintah Provinsi
1.48 Lingkungan Ternak 

Bali mengambil kebijakan bahwa tidak ada kegiatan persilangan dengan


bangsa sapi lainnya, baik secara kawin alam maupun inseminasi buatan
(IB). Oleh karena itu Provinsi Bali merupakan satu-satunya provinsi
yang diakui hanya melestarikan dan mengembangkan sapi Bali secara
murni. Dengan demikian, dapat diharapkan bahwa Provinsi Bali dapat
dijadikan sebagai salah satu sumber bibit murni sapi Bali bagi
pembangunan peternakan sapi potong nasional menuju swasembada
daging sapi yang berkelanjutan.
Pada tahun 1980, telah dinyatakan bahwa mutu sapi Bali mengalami
kemunduran, rata-rata bobot badannya hanya mencapai 336 kg
(Darmadja, 1980). Hal tersebut terjadi karena telah terjadi over stocking,
karena populasi sudah mencapai 334 ribu ekor dan padang pangonan
umum sudah tidak ada. Peringatan “lampu kuning” yang dilontar kan 36
tahun yang lalu tersebut ternyata tidak terbukti karena berdasarkan hasil
sensus tahun 2011 populasi sapi masih mencapai 637 ribu atau dua kali
lipat dibanding kondisi tahun 1980. Sementara itu bobot badan sapi Bali
juga masih cukup bagus, dan di BPTU Sapi Bali bobot badan sapi bali
jantan dewasa masih dapat mencapai lebih dari 700-800 kg.
Populasi sapi tersebar di seluruh kabupaten, namun ada tiga kabupaten
yang memiliki populasi sangat tinggi, yaitu Buleleng, Karangasem, dan
Bangli. Sementara itu, tingkat kepadatan sapi per km2 terpadat berada di
Kabupaten Bangli, Karangasem, dan Gianyar (Gambar 1.6).
Berdasarkan data di ketiga Kabupaten tersebut di atas maka kepadatan
sapi per satuan luas wilayah di Provinsi Bali sangat padat (1,18 ekor/ha)
dan mungkin terpadat di Indonesia. Bila tingkat kepadatan ini dihitung
berdasarkan luas lahan pertanian/perkebunan yang saat ini merupakan
kawasan yang menyediakan biomassa untuk pakan, maka tingkat
kepadatannya sudah sangat tinggi, yaitu 3,09 ekor/ha. Dengan kondisi
tersebut di atas sering terlontar pertanyaan apakah masih ada peluang
untuk meningkatkan populasi sapi di Bali.
 LUHT4214/MODUL 1 1.49

Sumber BPTP Bali, 2011


Gambar 1.7
Tingkat kepadatan sapi Bali di 3 Kabupaten dan seluruh Provinsi Bali

Berdasarkan hasil simulasi (BPTP Bali, 2011) diketahui bahwa, pada


tahun 2014, ketersediaan pakan mencapai maksimum untuk memenuhi
kebutuhan pakan sapi Bali terus meningkat. Diperkirakan bahwa pada
tahun 2018 pasokan pakan (rumput, pohon legum, limbah pertanian, dan
sebagainya) hanya akan memenuhi kebutuhan 97% populasi sapi, ketika
itu populasi diperkirakan mencapai 880 ribu ekor bila pertumbuhannya
seperti perkiraan saat ini.
Berdasarkan Statistika Peternakan dan Kesehatan Hewan, data Populasi
Sapi di Pulau Bali dari tahun 2011 sd. 2015 menunjukkan dinamika yang
menarik; antara tahun 2011 sd. 2013 populasi menunjukkan penurunan
dari 637.473 menjadi 478.146 ekor (- 24.9%), dan antara tahun 2013 sd.
2015 menunjukkan peningkatan kembali menjadi 543.642 (+13.7%);
Sementara itu, data sebelumnya dari Dinas Peternakan Provinsi Bali
menunjukkan bahwa antara tahun 2006 sd. 2011, jumlah pemotongan
mencapai 36 ribu ekor per tahun (6 ribu ton daging per tahun), dan
pengeluaran ternak mencapai 60-70 ribu ekor per tahun, dan selama
periode tersebut tidak ada pemasukan sapi hidup dari luar Bali, dan
populasi hanya meningkat 2.78%.
b. Sapi Perah; Untuk tipe perah di Indonesia, mayoritas sapi yang
dipelihara peternak adalah rumpun sapi Friesian Holstein (FH) atau
peranakannya atau sering disebut Peranakan Friesian Holstein (PFH).
Sapi FH termasuk dalam spesies Bos taurus. Pada awalnya sapi FH
1.50 Lingkungan Ternak 

murni didatangkan dari West Fries land, kemudian juga dari Australia,
New Zealand, USA, Jepang, dan Kanada. Sapi perah lainnya dalam
jumlah yang tidak terlalu banyak adalah sapi Grati. Sapi ini merupakan
sapi perah hasil silangan antara sapi PFH, PO, dan rumpun lainnya.
Penyebaran sapi perah hanya padat di Pulau Jawa saja, sedangkan di
pulau lain sedikit sekali atau bahkan tidak ada. Umumnya, sapi perah
dipelihara di kawasan dataran tinggi yang berhawa udara agak sejuk.
Pada tahun 2012, dalam jumlah terbatas, sapi rumpun Jersey yang juga
termasuk dalam spesies Bos Taurus dimasukkan ke Indonesia.
Penggunaan inseminasi buatan pada sapi perah lebih intensif karena
secara teknis lebih mudah mengingat pola pemeliharaan sapi perah
dilakukan secara intensif dan ternak dikandangkan sepanjang waktu.
Tingkat reproduksi harus tinggi sehingga melalui teknik IB diharapkan
dapat menaikkan tingkat kebuntingan dan interval beranak. Dalam hal
ini, peran inseminasi buatan sangat signifikan. Namun, kondisi di
lapangan menunjukkan bahwa service per conception (S/C) masih tinggi.
Selain itu penggunaan semen yang berasal dari satu pejantan tertentu
dengan frekuensi tinggi sangat berpengaruh pada peningkatan derajat
inbreeding pada populasi sapi perah. Apabila fenomena “pejantan
favorit” tidak dihentikan, produksi susu sapi perah tidak mustahil akan
menurun.
Uji Zuriat telah pula dilakukan pada sapi perah untuk menentukan
pejantan paling unggul di dalam populasi sapi perah di masyarakat. Jika
hasilnya baik, usaha ini juga mendukung tekad pemerintah dalam
swasembada sapi pejantan unggul sehingga dapat mengurangi atau
bahkan menghentikan ketergantungan pada impor benih atau impor sapi
pejantan dari luar negeri. Namun, kebijakan ini bukan berarti melarang
impor benih atau sapi pejantan unggul secara total. Ketika produksi susu
cenderung menurun yang kemungkinan disebabkan oleh peningkatan
derajat inbreeding, maka salah satu alternatif solusinya adalah
mendatangkan pejantan baru atau semen dari pejantan baru.
c. Kerbau; Ternak kerbau di Indonesia hanya terdiri atas kerbau
domestikasi dan kerbau liar dan keduanya termasuk dalam spesies
Bubalus bubalis. Kerbau domestikasi ada dua, yaitu kerbau sungai (river
buffalo) atau Bubalus bubalis bubalis dan kerbau rawa atau kerbau
lumpur (swamp buffalo) atau Bubalus bubalis carabanesisAdapun
kerbau liar terdiri atas anoa pegunungan (Bubalus quarlesi) dan anoa
 LUHT4214/MODUL 1 1.51

dataran rendah (Bubalus depressicornis). Secara genetika, perbedaan


antara kerbau rawa dan kerbau sungai terdapat pada jumlah
kromosomnya. Kerbau rawa memiliki 48 kromosom, sedangkan kerbau
sungai memiliki 50 kromosom. Kerbau lainnya yang berkembang di
beberapa wilayah di Indonesia merupakan keturunan dari dua kerbau
domestikasi tersebut, seperti kerbau Kalang yang berkembang biak di
Kalimantan (Hamda dkk. 2010) atau kerbau Belang (spotted buffalo)
yang banyak terdapat di Toraja. Biasanya, kerbau Belang digunakan
untuk kegiatan keagamaan bagi masyarakat Toraja Timur. Keduanya
termasuk kerbau rawa. Adapun yang termasuk ke dalam kerbau sungai
adalah kerbau Murrah yang merupakan kerbau tipe perah.
Keberadaan kerbau yang umumnya digunakan untuk membajak sawah
hampir tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan Statistik
Peternakan dan Kesehatan Ternak 2016, terdapat 8 provinsi yang
memiliki populasi ternak kerbau lebih dari 100.000 ekor pada tahun
2015, yaitu: (1) Daerah Istimewa Aceh (171 ribu ekor), (2) Provinsi
Nusa Tenggara Timur (141ribu ekor), (3) Provinsi Nusa Tenggara Barat
(125 ribu ekor), (4) Provinsi Sumatera Barat (122 ribu ekor), (5) Provinsi
Sumatera Utara (115 ribu ekor), (6) Provinsi Jawa Barat (110 ribu ekor),
(7) Provinsi Sulawesi Selatan (108 ribu ekor), dan (8) Provinsi Banten
(123 ribu ekor). Populasi kerbau di provinsi lain kurang dari 100.000
ekor bahkan ada provinsi yang tidak memiliki kerbau di wilayahnya,
yaitu Provinsi Sulawesi Utara dan Provinsi Papua.
Tidak seperti pada sapi (potong maupun perah), penggunaan inseminasi
buatan pada kerbau tidak populer karena kesulitan mendeteksi berahi
pada ternak ini. Fenomena silent heat (berahi yang tak tampak) pada
kerbau sangat jamak terjadi. Namun, bukan berarti tidak dapat digunakan
kawin suntik. Bagi inseminator berpengalaman, pelaksanaan kawin
suntik pada kerbau tidak menimbulkan masalah dan berhasil juga.
Karena lebih mengandalkan kawin alam, pengaturan penggunaan
pejantan secara proporsional dan rotasional menjadi sangat penting
untuk diperhatikan dalam rangka mencegah peningkatan derajat
inbreeding.
d. Kambing; Kambing berasal dari pegunungan Asia Barat dan
domestikasi terjadi sekitar 7000-8000 tahun sebelum Masehi. Kambing
hasil domestikasi (Capra aegagrus hircus) berasal dari kambing liar
Eropa (Capra aegagrus), kambing liar India (Capra aegagrus blithy),
1.52 Lingkungan Ternak 

dan kambing dari pegunungan Himalaya (Capra falconery). Hasil


domestikasi kemudian menyebar ke berbagai tempat dan beradaptasi
dengan lingkungan setempat sehingga menghasilkan berbagai rumpun
yang dikenal saat ini termasuk yang berkembang di Indonesia.
Pada tahun 2015, populasi kambing di Indonesia sekitar 19 juta ekor
dengan populasi terbesar di Jawa Tengah sebanyak 4,1 juta ekor, Jawa
Timur sebanyak 3,2 juta ekor, Jawa Barat sebanyak 2,6 juta ekor, dan
Lampung sebanyak 1,2 juta ekor (Statistik Peternakan dan Kesehatan
Hewan, 2015). Jika dilihat dari angka tersebut, populasi kambing di
Pulau Jawa mencapai 58% dari total populasi kambing di Indonesia.
Rumpun kambing yang banyak dijumpai di Indonesia meliputi (1)
kambing Kacang yang merupakan kambing asli Indonesia, (2) kambing
Peranakan Etawa yang merupakan hasil persilangan antara kambing
Etawa dan kambing Kacang. (3) kambing Jawa Randu atau disebut juga
Bligon atau Gumbolo atau Koplo atau Kacukan. Kambing ini sebenarnya
juga merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Etawa
dengan kambing Kacang, dengan warna dominasi hitam; (4) kambing
Gembrong yang merupakan plasma nutfah endemik Bali. Keunikan
kambing ini ialah rambutnya berukuran panjang sekitar 15-25 cm; (5)
kambing Kosta yang diduga terbentuk dari persilangan kambing Kacang
dan kambing Khasmir (kambing impor); (6) kambing Merica juga
berstatus langka, dengan sebaran wilayahnya meliputi Kabupaten Maros,
Jeneponto, Sopheng, Makassar di Provinsi Sulawesi Selatan; (7)
kambing Muara yang banyak dipelihara di Kecamatan Muara,
Kabupaten Tapanuli Utara di Provinsi Sumatera Utara; dan (8) kambing
Samosir yang berada di tengah Danau Toba, Kabupaten Samosir,
Provinsi Sumatera Utara.
Menelusuri pembentukan berbagai rumpun kambing yang ada di
Indonesia, Zein et al. (2012) melakukan analisis keragaman genetika
lima kambing lokal Indonesia, yaitu kambing Kacang, Jawarandu,
Peranakan Etawa, Kosta, dan Gembrong dengan menggunakan 13 DNA
mikrosatelit sebagai penciri genetika yang dipilih berdasarkan
rekomendasi ISAG/FAO 2004. Hasilnya mengindikasikan bahwa secara
genetika, rumpun kambing lokal Indonesia tersebut terbentuk dari garis
keturunan berbeda. Hasil ini memberi makna bahwa pengembangan
kambing lokal Indonesia harus berbasis pada perlindungan kemurnian
rumpun kambing lokal Indonesia yang telah terbentuk dari hasil
 LUHT4214/MODUL 1 1.53

pengembangan di masa lalu. Masing-masing rumpun kambing yang


digunakan dalam penelitian tersebut perlu segera ditetapkan oleh
pemerintah sebagai rumpun lokal Indonesia.
Hal penting yang perlu menjadi perhatian pemerintah adalah bahwa
rumpun kambing Gembrong di Kabupaten Karangasem, Provinsi Bali
dan kambing Kosta di Provinsi Banten menunjukkan diversitas genetika
yang sangat rendah. Di samping itu, Board on Agriculture National
Research Council (1993) melaporkan bahwa populasi kedua rumpun
kambing tersebut terus menurun, yaitu kambing Kosta sudah berstatus
langka dan kambing Gembrong berstatus kritis.
Perlu juga diwaspadai bahwa populasi kambing Muara, kambing Merica,
dan kambing Samosir distribusinya terbatas dan jumlahnya dalam
populasi cenderung kecil. Keadaan demikian sangat rawan untuk
berstatus menjadi langka dan tidak tertutup kemungkinan menjadi kritis
serta menuju kepunahan.
Secara umum, pemanfaatan kambing di Indonesia bagi para peternak
adalah sebagai bahan baku pangan, terutama daging dan susu; serta
sebagai bahan baku industri, yaitu kulit. Tubuh berukuran kecil dan
jumlah anaknya sering lebih dari satu dalam setiap kelahiran
menyebabkan pemeliharaan ternak kambing menjadi jauh lebih murah
dan lebih mudah daripada ternak ruminansia besar (sapi atau kerbau)
sehingga disukai peternak di perdesaan. Usaha ternak ini melalui pola
gaduhan (bagi hasil) sangat jamak dilakukan oleh masyarakat Indonesia,
yaitu peternak sebagai pemelihara sehari-hari, sedangkan mitranya
sebagai pemodal dalam pengadaan bakalan kambing. Biasanya,
pemeliharaan kambing berorientasi pada penyediaan daging pada hari
besar Islam Idul Adha yang memang disunatkan untuk menjadikan
kambing sebagai hewan korban. Pada hari-hari biasa, daging kambing
yang diolah sebagai sate atau gulai merupakan makanan sangat populer
di Indonesia. Walaupun sering kali daging yang digunakan untuk
membuat sate atau gulai berasal dari ternak domba, masyarakat tetap saja
menyebutnya sebagai sate atau gulai kambing. Tidak ada atau belum
pernah dijumpai orang berjualan sate/gulai domba.
Hingga saat ini, populasi ternak kambing terkendali secara baik dan
boleh dikatakan telah mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Oleh
karena itu, perlu tantangan baru dalam usaha pemeliharaan kambing ini,
yaitu ekspor ke luar negeri, khususnya ke negara-negara berpenduduk
1.54 Lingkungan Ternak 

mayoritas Islam, sebagai ternak korban. Tantangan tersebut harus


disertai upaya peningkatan mutu genetika ternak kambing melalui
program seleksi dalam kegiatan pemuliaan yang terarah, terencana, dan
terukur. Sebenarnya secara tradisional, peternak telah melakukan seleksi
khususnya pada kambing PE, namun dalam jumlah yang tidak terlalu
besar. Kebiasaan peternak melakukan seleksi untuk memilih ternak
bermutu berdasarkan sifat-sifat produksi dan reproduksinya perlu
didorong dan difasilitasi pemerintah secara lebih baik lagi.
e. Domba; Secara umum domba di Indonesia diklasifikasikan menjadi
Domba Ekor Tipis (DET) dan domba Ekor Gemuk (DEG). Bagi
masyarakat Indonesia, DET sering disebut juga sebagai domba Gembel
dan dipercaya sebagai domba asli Indonesia, sedangkan DEG dikenal
juga dengan sebutan domba Kibas yang asal muasalnya dari Asia Barat
Daya dan dibawa ke Indonesia oleh pedagang Arab. Dari dua macam
domba tersebut, terbentuk beberapa rumpun domba di Indonesia antara
lain adalah (1) domba Garut yang merupakan hasil persilangan antara
domba Kaapstad, Merino, dan domba Ekor Tipis. Domba ini menjadi
sangat terkenal, khususnya yang berjenis kelamin jantan karena
digunakan sebagai adu seni ketangkasan oleh masyarakat Jawa Barat; (2)
domba Batur yang diduga kuat merupakan hasil persilangan DET,
domba Sufflok, dan domba Texel. Untuk tujuan produksi, domba dibagi
dalam tipe pedaging dan tipe adu seni ketangkasan. Belum banyak
peternak domba yang mengkhususkan untuk tujuan penghasil wol di
Indonesia karena kualitas wolnya kurang baik. Penyebaran domba
terdapat di pulau Jawa dengan populasi terpadat di Provinsi Jawa Barat
yaitu 7.041.437 ekor pada tahun 2011, diikuti Provinsi Jawa Tengah
yaitu 2.226.709 ekor, sedangkan populasi domba di provinsi lainnya di
bawah satu juta bahkan ribuan atau tidak ada sama sekali. Seperti
diuraikan di atas, penggunaan daging domba sebagai bahan baku pangan
untuk membuat sate dan gulai kurang terdengar karena masyarakat
Indonesia selalu menyebutnya sate/gulai kambing walaupun dagingnya
berasal dari ternak domba. Selain sebagai penghasil daging yang
potensial, kulit domba banyak digunakan sebagai bahan baku pengrajin
oleh masyarakat Garut dengan membuat jaket, sepatu/sandal, tas, dan
aksesoris lainnya.
Seni adu ketangkasan domba yang sudah menjadi tradisi atau budaya
masyarakat Jawa Barat memberikan dampak positif bagi peningkatan
 LUHT4214/MODUL 1 1.55

mutu genetika domba Garut, khususnya ternak jantan. Karena perhatian


utama peternak adalah menghasilkan ternak domba Garut jantan, maka
program seleksi untuk ternak betina menjadi agak terabaikan sehingga
mutu genetikanya di bawah mutu genetika domba Garut jantan. Namun
perlu disampaikan di sini bahwa dalam menghasilkan domba jantan
aduan, faktor induk juga diperhatikan. Komunitas pencinta domba dan
kambing yang tergabung dalam Himpunan Peternak Domba dan
Kambing Indonesia (HPDKI) sangat peduli pada upaya mengembangkan
potensi kedua ternak tersebut. Melalui himpunan tersebut, seleksi
terhadap domba jantan dilakukan berdasarkan beberapa kriteria yang
mempengaruhi performa domba sebagai ternak aduan. Dalam konteks
pembibitan, cukup banyak ternak domba Garut yang berkualifikasi
sebagai bibit. Karena seleksi telah dilangsungkan berpuluh-puluh tahun,
dalam rangka untuk mempertahankan gen yang penting untuk
produktivitas domba, perlu kiranya mengabadikan benih dari beberapa
ternak domba Garut jantan terpilih dalam bentuk sperma atau DNA-nya
dalam bank gen.
Penggunaan semen ternak kambing/domba untuk inseminasi buatan juga
telah dilakukan. Balai Besar Inseminasi Buatan (BBIB) Singosari telah
memiliki semen yang diproduksi dari rumpun kambing PE dan kambing
Boer.
f. Ayam; Dalam klasifikasi hewan, ayam termasuk kelas Aves, ordo
galliformes, dan famili phasianidae. Sifat morfologik yang membedakan
antara ayam dan burung ialah ayam mempunyai jengger (comb) di
kepala bagian atasnya dan dua gelambir (wattles) di dagu bagian
bawahnya. Dalam bahasa Latin, gallus artinya jengger/comb, karenanya
kata tersebut dipakai sebagai nama marga ayam. Jadi ayam hasil
domestikasi dinamakan Gallus domesticus. Sulit menelusuri awal
mulanya masyarakat Indonesia menernakkan ayam, namun yang jelas
Indonesia memiliki berbagai jenis ayam sebagai ternak sebelum ayam
ras diperkenalkan ke Indonesia. Dari hasil penelitian Sulandari, dkk.
2008-2009, diketahui bahwa nenek moyang ayam lokal Indonesia adalah
Ayam Hutan Merah atau Gallus gallus. Hasil domestikasi ini secara
umum disebut ayam lokal Indonesia (ayam Buras atau ayam Bukan Ras).
Mungkin karena budaya masyarakat yang beragam, lingkungan hidup
yang beragam pula, dan sejarah pembudidayaan yang panjang
menyebabkan ayam lokal Indonesia menjadi bermacam-macam pula.
1.56 Lingkungan Ternak 

Menurut Nataamijaya (2000), ayam lokal Indonesia banyak memiliki


keragaman dengan karakteristik morfologis yang berbeda dan telah
teridentifikasi sebanyak 31 rumpun.

Selama ini pemanfaatan ayam di Indonesia tidak terbatas pada ayam


pedaging dan petelur saja, tetapi ayam juga dimanfaatkan untuk keindahan
suara (kokok) nya seperti ayam Pelung, ayam Bekisar, ayam Ketawa, dan
ayam Gaok; untuk persembahan dalam upacara adat, seperti ayam Cemani,
ayam Kedu hitam, dan ayam Kedu putih; untuk ayam hias karena keindahan
warnanya, seperti ayam Kapas dan ayam Mutiara; serta ayam aduan seperti
ayam Bali.
Ketidakjelasan awal mulanya keberadaan ayam di Indonesia tampaknya
berkorelasi dengan hasil penelitian intensif kerja sama antara Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan International Livestock Research Institute
(ILRI) di Nairobi yang menyimpulkan bahwa ternyata Indonesia merupakan
salah satu pusat domestikasi ayam di dunia. Temuan penting ini memiliki
makna bahwa ayam lokal Indonesia memiliki nilai sangat tinggi karena
banyaknya gen unik yang dimilikinya.
Dalam penelitian berikutnya, dengan menggunakan rumpun ayam lokal
Indonesia lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia menunjukkan hasil
bahwa secara alamiah ayam lokal Indonesia memiliki kemampuan untuk
mempertahankan diri dari serangan virus avian influenza yang artinya ayam
tersebut memiliki gen resistan atau toleransi terhadap penyakit. Kemampuan
untuk melawan serangan virus dikendalikan oleh gen anti viral yaitu gen Mx
yang telah diketahui dapat mengendalikan kemampuan ayam menjadi
resistan atau sensitif terhadap serangan Avian Influenza (AI).
Dengan menggunakan gen anti viral Mx sebagai penciri DNA, hasil
penelitian menunjukkan bahwa frekuensi alel resistan ayam lokal Indonesia
terhadap serangan virus flu burung sekitar 60% dan membuktikan bahwa
ayam yang hidup akibat serangan virus mempunyai daya resistan yang cukup
tinggi. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai rekomendasi ke
pemerintah bahwa ayam yang terserang penyakit flu burung saja yang
dibunuh, sedangkan ayam di sekitarnya yang sehat sebaiknya tidak
dieliminasi. Temuan ini juga dapat menginspirasi pembentukan ayam ras
tertentu yang tahan terhadap serangan penyakit AI sehingga dapat
mengurangi mortalitas dan meningkatkan produktivitasnya.
 LUHT4214/MODUL 1 1.57

LAT IH A N

Untuk memperdalam pemahaman Anda mengenai materi di atas,


kerjakanlah latihan berikut!

1) Jelaskan tentang kelimpahan dan keanekaragaman satwa di Indonesia!


2) Apa yang dimaksud dengan zoogeografi, dan bagaimana keadaannya di
dunia dan di Indonesia?
3) Jelaskan peranan Alfred Russel Wallace dalam zoogeografi di Indonesia!
4) Jelaskan apa yang dimaksud dengan satwa harapan, dan bagaimana
keadaannya di Indonesia?
5) Apa yang dimaksud dengan ternak dan hewan peliharaan?
6) Jelaskan secara singkat tentang potensi dan pemanfaatan ternak di
Indonesia!

Petunjuk Jawaban Latihan

1) Untuk menjawab soal-soal di atas, Anda dimohon membaca kembali –


dan buat catatan singkat dari setiap yang terkait dengan soal-soal di atas
2) Dibandingkan Charles Darwin yang terkenal dengan teori evolusinya,
saat ini kita hanya mengenal Alfred Russel Wallace sebagai garis
imajiner yang melintas di bagian timur Indonesia yang memisahkan
kelompok hewan-hewan (burung maupun mamalia) asal kawasan
Oriental dan kawasan Australia.

R A NG KU M AN

Saat ini kita memiliki berbagai jenis hewan – ternak (spesies dan
bangsa ternak) yang telah didomestikasi, yaitu hewan ternak dari kelas
Mamalia dan Aves yang telah dikembangkan untuk memenuhi
sementara kebutuhan manusia untuk berbagai kegunaannya. Di samping
itu, jajaran kepulauan Indonesia dikenal sebagai salah satu kawasan di
dunia yang memiliki kelimpahan dan keragaman satwa, diharapkan
dapat dikembangkan pemanfaatannya menjadi hewan-ternak tanpa
mengabaikan pelestarian moyangnya. Kenyataan menunjukkan bahwa
dengan populasi ternak yang dimiliki saat ini, Indonesia belum dapat
menempatkan diri sebagai negara yang mandiri dalam memenuhi
1.58 Lingkungan Ternak 

kebutuhan pangan asal hewan-ternak; Sampai saat ini, ketergantungan


pada importasi ternak masih sangat besar, program swasembada daging
yang dicanangkan sejak 1-2 dekade yang lalu belum mencapai sasaran.

TES F OR M AT IF 2

Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!

1) Satwa yang mengalami didomestikasi pada awalnya adalah ....


A. Babi, kuda, dan ayam
B. Kambing, domba, dan sapi
C. Kambing, domba dan ayam
D. Ayam, sapi, dan babi

2) Indonesia mempunyai ayam asli (lokal) bukan hasil domestikasi yaitu ....
A. Ayam Bekisar
B. Ayam Pelung
C. Ayam Hutan Merah
D. Ayam Kapas

3) Biodiversitas adalah ....


A. Keseluruhan gen, spesies, dan ekosistem di suatu kawasan
B. Keseluruhan tumbuhan yang ada di suatu ekosistem
C. Keseluruhan hewan yang ada dalam suatu ekosistem
D. Keseluruhan organisme yang penunjang kehidupan

Jawablah soal dibawah ini dengan memilih:


A. Bila jawaban 1 dan 2 benar
B. Bila jawaban 1 dan 3 benar
C. Bila jawaban 2 dan 3 benar
D. Bila jawaban 1, 2, dan 3 benar

4) Biogeografi menurut Berg dan Rasmann (1977) ditentukan berdasarkan:


1. Informasi klimatologi
2. Flora dan fauna
3. Fisiografi, geografi dan sejarah alami

5) Yang termasuk dalam kelompok aneka ternak adalah ...


1. Puyuh
2. Ayam
3. Walet
 LUHT4214/MODUL 1 1.59

6) Pemurnian sapi Bali yang dilakukan khusus di daerah Bali, meskipun


berhasil tapi masih terkendala oleh ...
1. Kebutuhan pakan meningkat, pasokan terbatas
2. Peningkatan populasi sapi Bali mulai melambat
3. Terjadi over stocking namun padang penggembalaan terbatas

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang


terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar.
Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan
Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Jumlah Jawaban yang Benar


Tingkat penguasaan =  100%
Jumlah Soal

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali


80 - 89% = baik
70 - 79% = cukup
< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat


meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%,
Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang
belum dikuasai.
1.60 Lingkungan Ternak 

Kunci Jawaban Tes Formatif

Tes Formatif 1

1) D. Jawaban 1, 2, dan 3 benar.


2) B. Yang mengemukakan Permanence of Continents adalah C Lyell dan
drifting Continent adalah A. Wegener.
3) C. Menggunakan garis kedalaman laut paparan Sahul dan paparan
Sunda.
4) D. Asam amino bukan merupakan penyebab perbedaan karakteristik
hewan diperairan.
5) D. Kehidupan organisme di suatu habitat ditentukan oleh massa, panas
jenis, dan viskositas.
6) D. Semua jawaban adalah sesuai dengan bukti paleontologi sebagai
moyang hewan terestial bertulang belakang.

Tes Formatif 2
1) B. Kambing, domba, dan sapi adalah binatang yang didomistifikasi
paling awal.
2) C, Ayam asli Indonesia.
3) A. Menurut Bahera dan Das totality of genes, species and ecosystems in
a region.
4) D. Biogeografi ditentukan oleh Informasi klimatologi, Flora dan fauna,
Fisiografi, geografi dan sejarah alami.
5) B. Yang termasuk kelompok aneka ternak adalah Puyuh dan Walet.
6) D. Jawaban 1, 2, dan 3 benar.
 LUHT4214/MODUL 1 1.61

Daftar Pustaka
Abdulhadi R., Waluyo E.B., dkk. (editor). 2014. Kekinian Keanekaragaman
Hayati Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Kementerian
PPN/ Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup. Jakarta.

Abdullah M.A.N., Noor R.R., Martojo H., and Solihin DD. 2008. Genetic
characterization of Aceh cattle utilizing Microsatellite DNA analysis.
J.Indon.Trop.Anim.Agric. 33(3): 165-175.

Andersson L. 2012. Chap. 10, Genetics of Animal Domestication, In:


Biodiversity in Agriculture Domestication, Evolution, and Sustainability,
Ed. By : Gepts P., Famula T.R., Bettinger R.L., Brush S.B., Damania
A.B., McGuire P.E., and Qualset C.O., Cambridge University Press,
New York. Pp. 260-274.

Assenmacher, I., and Farner, D.S. 1978. Environmental Endocrinology.


Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg, New York.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP – Bali). 2011. Menelisik masa


depan sapi potong di Bali. Disampaikan pada RTD di BPTP Bali,
tanggal 2 November 2011.

Bamualim A., Tiesnamurti B., 2009. Status Terkini Dunia Sumber daya
Genetik Ternak untuk Pangan dan Pertanian, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Peternakan, Kementrian Pertanian Republik Indonesia,
Bogor, terjemahan : The State of the World’s Animal Genetic Resources
for Food and Agriculture, ed. by Rischkowsky B and Pilling.D. Food
and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Board on Agriculture National Research Council. 1993. Managing global


genetic resources. Livestock. Committee on managing global resource:
agriculture imperative. National Academy Press. Washington DC, USA.

Bentley, P.J. 1971. Endocrine and Osmoregulation, A Comparative Account


of the Regulation of Water and Salt in Vertebrate. Springer-Verlag,
Berlin, Heidelberg, New York.
1.62 Lingkungan Ternak 

Blackburn H.W., and Cornelis de Haan C. 1999. Chap. 6 Livestock and


Biodiversity, In: Biodiversity in agroecosystems, ed, by Collins W.W.,
and Qualset C.O. CRC Press LLC, USA. Pp. 91-105.

Campbell, J.W., and Goldstein, L. 1972. Nitrogen Metabolism and


Environment. Academic Press, London, New York.

Chamberlin T.C. 1900. On the Habitat of the Early Vertebrates. J. Geology, 8


(5) : pp. 400-412.

Chamdi A.N. 2005. Review : Karakteristik Sumber daya Genetik Ternak


Sapi Bali (Bos-bibos banteng) dan Alternatif Pola Konservasinya - The
Characteristics of Genetic Resource of Bali Cattle (Bos-bibos banteng)
and the Alternative of It's Conservation Methods. B I O D I V E R S I T A
S, 6 (1) : 70-75.

Costa, D.P., and Sinervo, B. 2004. Field Physiology: Physiological insight


from animal in nature. Ann. Rev.Physiol., 66 : 209-238.

Darmaja D. 1980. Setengah abad peternakan sapi Bali tradisionil dalam


ekosistem pertanian di Bali. Disertasi Doktor Universitas PAdjadjaran,
Bamndung.

Dawson, W.R., Pinshow, B., Bartholomew, G.A., Seely, M.K., Shkolnik, A.,
Shoemaker, V.H., and Teeri, J.A. 1989. What’s special about the
physiological ecology of desert organism?. J.Arid Environments, 17 :
131-143.

Diamond J. 2002. Evolution, consequences and future of plant and animal


domestication. Nature, 418 : 701-707.

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2015. Statistik


Peternakan dan Kesehatan Hewan 2015. Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.
 LUHT4214/MODUL 1 1.63

Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, 2016. Statistik


Peternakan dan Kesehatan Hewan 2016. Direktorat Jenderal Peternakan
dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian Republik Indonesia.

Drever, J.I. 1997. Geochemistry of Natural Water: Surface and Underground


Water Environments. 3rd ed., Englewood Cliffs, Prentice Hall, NY.

Ebach M.C. 2015. Origins of Biogeography – The role of biological


classification in early plant and animal geography. Springer Dordrecht
Heidelberg New York London.

Feder, M.E., Bennett, A.F., and Huey, R.B. 2000. Evolusionary Physiology.
Ann.Rev.Ecol.Sys., 31 : 315-341.

Firdhausi, N.F., 2010. The Origin of Madura Cattle Based on Mitochondrial


DNA., MSc Thesis, Sekolah Pasca Sarjana – Institut Pertanian Bogor.

Folk Jr., G.E. 1966. Introduction to Environmental Physiology:


Environmental Extremes and Mammalian Survival. Lea & Febiger,
Philadelphia.

Gordon, M.S., Bartholomew, G.A., Grinnell, A.D., Jorgensen, A.B., and


White, F.N. 1971. Animal Fucntion: Principles and Adaptations.
Amerind, Publishing Co., PVT., Ltd. New Delhi.

Hahn, G.L., Mader, T.L., Eigenberg, R.A. 2003. Perspective on development


of thermal indices for animal studies and management, pp. 31044, In:
Interactions Between Climate and Animal Production, (Eds. N. Lacetera,
U. Bernabucci, H.H. Khalifa, B. Ronchi, and A. Nardone), EAAP Tech.
Series No. 7, Wageningen Academic Publishers, The Netherlands (ISSN
1570-7318).

Hamdan A, Rohaeni E.S., dan Subhan. 2010. Karakteristik kerbau kalang


(rawa) sebagai plasma nutfah di Kalimantan selatan. Prosiding Seminar
dan Lokakarya Nasional Kerbau.
1.64 Lingkungan Ternak 

Hochachka P.W., and Somero G.N. 2002. Biochemical adaptation:


mechanism and process in physiological evolution. Oxford University
Press, Inc. NewYork.

Jorge V. Crisci J.V., Katinas L., and Posadas P. 2003. Historical


biogeography: an introduction. Harvard University Press, London,
England.

KPPN/BAPENAS., KLHK., dan LIPI. 2016. Indonesian Biodiversity and


Action Plan (IBSAP) 2015-2020. Penyelaras akhir: Murniningtyas, E.
dkk.

Larson G., Fuller D.Q. 2014. The Evolution of Animal Domestication. Annu.
Rev. Ecol. Evol. Syst. 45:115-36.

Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia, KPPN/BAPENAS dan KLH. 2014.


Kekinian Keamnekaramhan Hayati Indonesia. editor Abdulhadi R., dkk.

Lockwood, A.P.M. 1971. Animal Body Fluid and Their Regulation. ELBS
and Heinemann Educational Books Ltd., New Delhi.

Maloiy, G.M.O. 1979. Comparative Physiology of Osmoregulation in


Animals. Vol. 2. Academic Press, London.

McFarland, W.N., Pough, F.H., Cade, T.J., and Heiser, J.B. 1979. Vertebrate
Live., Cornell Univ., Macmillan Pub.Co.,Inc., New York.

Murniningtyas E, Darayati W., Sumardja E.S., dkk. 2016. Indonesian


Biodiversity – Strategy and Action Plan 2015-2020. Kementrian
Perencanaan Pembangunan Nasional/BAPPENAS.

Nataamijaya A.G. 2000. The native chicken of Indonesia. Bull. Plasma


Nutfah, 6 (1) : 1-6.

Nijman I.J., Otsen M., Verkaar E.L., de Ruijter C., and Hanekamp E. 2003.
Hybridation of Banteng (Bos javanicus) and Zebu (Bos indicus) revealed
 LUHT4214/MODUL 1 1.65

by mitochondrial DNA, Satellite DNA, AFLP and microsatellite.


Heredity, 90: 10-16.

Philippe J. 1996. Early Vertebrates. Oxford University Press, New York.

Phyllips, J.G. 1975. Environmental Physiology. Blackwell Scientific


Publications, Melbourne.

Pierce, E.O. 2002. Animal Domestication and Behaviour. CABI International


Pub., USA.

Piersma, T., and Drent, J. 2003. Phenotypic flexibility and evolution


organismal design. Trends in Ecology and Evolution, 18 : 228-233.

Poppo, A., Mahendra, M.S., dan Sundra, I Ketut., 2008. Studi kualitas
perairan pantai di kawasan industri peikanan Desa Pengambangan,
Kecamatan Negara, Kabupaten Jemberana. Ecotrophic, 3 (2) : 98-103.

Rahardja, D.P. 1995. Effects of hot environment and salt ingestion on


digestion, water and salt metabolism in Australian feral goats, in Studies
on Water and Salt Metabolism in Sheep and Goats, Dissertation, The
University of New England, Armidale, Australia.

Rahardja, D.P. 2010. Ilmu Lingkungan Ternak. Masagena Press, Makassar.

Rosenberg, M. 2017. Ring of Fire Home to the Majority of the World's Active
Volcanoes. https://www.thoughtco.com/ring-of-fire-1433460.

Sastradipradja, D., dan Muladno (editor). 2013. Kajian AIPI – Mengentas


Biodiversitas Fauna Nusantara yang Tertindas. Komisi Ilmu
Pengetahuan Dasar AIPI, Jakarta.

Schmidt-Nielsen, K. 1975. Animal Physiology: Adaptation and Environment.


Cambridge University Press. USA.

Setiawan, D. P. 2008. Studi kualitas air pada penampungan air hujan di Desa
Hargosari, Kecamatan Tanjungsari, Gunung Kidul menggunakan filter
1.66 Lingkungan Ternak 

karbon aktif dan UV, Tugas Akhir, Fakultas Teknik Sipil dan
Perencanaan, Univ. Islam Indonesia, Yogyakarta.

Smith, L.S. 1982. Introduction to Fish Physiology. T.F.H. Publication, Inc.,


London.

Sugiri, N., dan Sugiri. 1988. Zoologi Umum, terjemahan dari General
Zoology, by Villee, C.A, Walker Jr., W.F., and Barnes, R.D. Ed.6.,
Penerbit Erlangga, Jakarta, Indonesia.

Sulandari, S. And M.S.A. Zein. 2009. Analisis D-loop DNA Mitokondria


untuk Memposisikan Ayam Hutan Merah dalam Domestikasi Ayam di
Indonesia. Media Peternakan, 32(1): 31-39.

Sulandari, S., M.S.A. Zein and T. Sartika. 2008. Molecular characterization


of Indonesian Indigenous chickens based on mitochondrial DNA
Displasment (D)-loop sequences. Hayati 15(4):145-154.

Taylor, S.R. 1967. The Origin and Growth of Continents. Tectonophysics,


4(l) : 17-34.

Terrell E.D., John P. Hart, J.P., Barut S., and Cellinese, N. 2003.
Domesticated Landscapes: The Subsistence Ecology of Plant and
Animal Domestication. J.Archaeol. Method and Theory, 10 (4) :323-368.

Thom H. 2008. THE PREHISTORIC EARTH – The First Vertebrates:


Oceans of the Paleozoic Era. Chelsea House Infobase Publishing,
NewYork.

Tiasnamurti B., Inounu I., Bamualim A., dan Hasinah H (Pengalih Bahasa).
2011. Rencana Aksi Global Sumber Daya Genetik Ternak Dan Deklarasi
Interlaken Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Judul Buku
asli : Global Plan of Action for Animal Genetic Resources and the
Interlaken Declaration, FAO 2007.
 LUHT4214/MODUL 1 1.67

Tim Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 2009. Ringkasan Kegiatan


Tahun 2008 –Danau Maninjau – Sumatera Barat, Pusat Penelitian
Limnologi. LIPI.

Veevers-Carter W. 1978. Mamalia Darat Indonesia. PT Intermasa, Jakarta.

Vernberg, F.J., and Vernberg, W.B. 1970. The Animal and The Environment.
Holt, Rinehart and Winston.

Villee, C.A., Walker. Jr. W.F., and Barnes, R.D. 1984. General Zoology 6th
edition. CBS College Publishing.

Wallace A. R. 1869. The Malay Achipelago – The land of the orangutan,


and the bird or paradise: a narrative of travel with studies of man and
nature. eBooks@Adelaide, The University of Adelaide Library, 2014.

Wegener, A. 2002. The origins of Continents. Int. J. Earth. Sci. (Geol


Rundsch) 91: S4-S17.

William G.C. 1996. ADAPTATION AND NATURAL SELECTION – A


Critique of Some Current Evolutionary Thought. Princeton University
Press, Chichester, West Sussex, United Kingdom.

Zeder M.A. 2012. Chap. 9, Pathways to Animal Domestication, In:


Biodiversity in Agriculture Domestication, Evolution, and Sustainability,
Ed. By: Gepts P., Famula T.R., Bettinger R.L., Brush S.B., Damania
A.B., McGuire P.E., and Qualset C.O., Cambridge University Press,
New York. Pp. 227-259.

Anda mungkin juga menyukai