Anda di halaman 1dari 20

Menjelajahi Isi, Peran dan Fungsi Museum Tsunami Aceh

March 23, 2016/1 Comment/in Ragam /by Aldian Makara


MUSEUM Tsunami aceh merupakan museum yang dijadikan tempat untuk mengenang
kembali peristiwa dahsyat yang pernah melanda bumi Aceh pada tanggal 26 Desember
2004 silam yang menelan sebanyak 240.000 jiwa. Museum ini terletak di pusat kota banda
aceh tepatnya di Jalan Sultan Iskandar Muda berdekatan dengan Lapangan Blang Padang
dan sekitar 400 meter dari Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

Museum ini di bangun oleh BRR Nad – Nias dan didesain oleh M. Ridwan Kamil salah satu
dosen ITB setelah memenangkan perlombaan desain. Museum Tsunami aceh ini
menghabiskan Rp.140 Milyar untuk pembangunannya. jika diperhatikan dari atas museum
ini menggambarkan gelombang tsunami, tetapi jika dilihat dari bawah nampak seperti
kapal penyelamat dengan geladak yang luas sebagai tempat penyelamatan.
Tujuan pembangunan Museum Tsunami Aceh
Tujuan pembangunan museum tsunami ini tidak hanya menjadi sebuah bangunan
monumen, tetapi juga sebagai salah satu objek bersejarah dan sebagai simbol kekuatan
masyarakat aceh dalam menghadapi musibah terbesar didunia, Selain itu bangunan ini
diharapkan menjadi warisan untuk generasi Aceh serta semua orang  indonesia di masa
mendatang sebagai pesan dan pelajaran bahwa tsunami pernah melanda Aceh yang telah
menelan banyak korban.
Fungsi Museum Tsunami Aceh
Fungsi Museum tsunami aceh adalah sebagai Sebagai monumen bersejarah tempat
menyimpan semua foto-foto dan video dokumentasi pada saat terjadinya tsunami aceh.
selain itu museum ini juga dijadikan tempat pendataan dan sebagai tempat pusat penelitian
dan pembelajaran tentang tsunami aceh. dan museum ini juga di jadikan sebagai tempat
Escape Building ( Tempat penyelamatan ) apabila terjadi tsunami dimasa yang akan
datang.
Isi dalam bangunan Museum tsunami

Isi dalam bangunan museum Tsunami – Bangunan museum ini terdiri dari 4 tingkat Pada
lantai dasar museum terdapat ruang terbuka yang dapat dimanfaatkan sebagai ruang
publik. Pada saat anda memasuki gedung ini, ruang pertama yang akan disinggahi
pengunjung adalah ruang renungan. Dalam ruangan ini terdapat sebuah lorong sempit dan
remang sekaligus dapat mendengarkan suara air yang mengalir beserta suara azan. Pada
kiri dan kanan dinding lorong tersebut terdapat air yang mengalir yang di ibaratkan
gemuruh tsunami yang pernah terjadi di masa silam.
Setelah melewati ruang renungan, anda akan memasuki ruang berkaca yang disebut
“Memorial hill” yang dilengkapi dengan monitor yang dapat digunakan untuk mengakses
informasi mengenai peristiwa tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 silam.

Setelah melewati ruang memorial hill, anda akan memasuki ruang “The Light of God”, yaitu
sebuah ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya remang-remang. Pada
puncak ruangan terlihat kaligrafi arab berbentuk tulisan ALLAH. Pada dinding-dinding
ruangan ini dipenuhi tulisan nama-nama korban tsunami yang tewas dalam peristiwa
besar tersebut. Bangunan ini mengandung nilai-nilai Religius yang merupakan cerminan
hubungan manusia dengan sang pencipta / Allah.
Pada Lantai dua museum, merupakan akses ke ruang-ruang multimedia seperti ruang
audio dan ruang 4 dimensi “tsunami exhibition room”, ruang pre-tsunami, while stunami,
dan post-tsunami.

Kemudian lantai 3 Museum ini tersedia beberapa fasilitas-fasilitas seperti ruang geologi,
perpustakaan, musalla, dan souvenir. Pada ruang geologi, anda dapat memperoleh
informasi mengenai bencana yaitu tentang bagaimana gempa dan tsunami terjadi, melalui
penjelasan dari beberapa display dan alat simulasi yang terdapat dalam ruangan tersebut.
Tingkat akhir Gedung Museum Tsunami Aceh, berfungsi sebagai tempat penyelamatan
darurat / Escape building apabila terjadi tsunami lagi di masa yang akan datang. Tingkat
atap ini tidak dibuka untuk umum karena mengingat konsep keselamatan dan keamanan
pengunjung, dan hanya akan dibuka saat darurat atau saat dibutuhkan saja.
Museum Tsunami Aceh  semula akan dibuat berbentuk kapal besar dan dimaksudkan hanya sebagai
penyimpanan semua dokumentasi yang terkait dengan bencana alam 26 Desember 2004. Agar
generasi penerus Aceh dan Indonesia mengetahui bahwa pernah terjadi peristiwa maha dasyat di
bumi rencong ini.

Namun kemudian rencana berubah, Pemerintah Aceh bersama BRR NAD-Nias mengadakan


sayembara untuk desain museum tsunami. Setelah menyisihkan 68 peserta lainnya, desain yang
berjudul "Rumoh Aceh'as Escape Hill" akhirnya dimenangkan oleh seorang dosen arsitektur ITB,
Bandung, M.Ridwan Kamil yang diumumkan pada 17 Agustus 2007.

Museum Tsunami Aceh yang terletak di depan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh ini memiliki
tiga lantai, dengan luas setiap lantai sebesar 2.500 meter dan menghabiskan dana hingga Rp60
miliar lebih. Goresan arsitektur Ridwan Kamil ini, sarat dengan nilai kearifan lokal dan didesain
dengan konsep memimesis kapal, seperti hendak mewartakan Banda Aceh adalah kota air alih-alih
daratan.

Di dalam gedung terdapat kolam luas yang indah dengan jembatan diatasnya. Selain itu, terdapat
ruangan yang dirupakan sebagai gua yang gelap serta ada aliran air mengalirKonsep yang
ditawarkan arsitek ini, dengan menggabungkan rumoh Aceh (rumoh bertipe panggung) dikawinkan
dengan konsep escape building hill atau bukit untuk menyelamatkan diri, sea waves atau analogi
amuk gelombang tsunami, tari tradisional saman, cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep
masyarakat urban.

Lahannya yang disediakan pemerintah Aceh juga berbatasan langsung dengan komplek
kuburan Kerkhoff, namun isi dan kelengkapannya disediakan Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh. Museum Tsunami Aceh adalah
sebuah Museum untuk mengenang kembali pristiwa tsunami yang maha daysat yang menimpa
Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2008 yang menelan korban lebih kurang
240,000 0rang.

Gedung Museum Tsunami Aceh dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus
merangkap panitia. Di antaranya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai
penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai
penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman
pengelolaan museum), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)sebagai penyedia lahan dan
pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana
lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)cabang NAD yang membantu penyelenggaraan
sayembara prarencana museum

Perencanaan detail Museum ,situs dan monumen tsunami akan mulai pada bulan Agustus 2006 dan
pembangunan akan dibangun diatas lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota
provinsi Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sekitar
Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk
bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk
isinya juga berisi berbagai benda peninggalan sisa tsunami.

Sebelum pembangunan dimulai panitia menyelenggarakan lomba design museum dengan Thema
"Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)", lomba yang ditutup tanggal 5 Agustus
2007 berhadiah Total Rp 275 juta dengan rincian pemenang I mendapatkan Rp 100 juta,ke II Rp 75
juta,ke III Rp 50 juta dan sisanya Rp 50 juta akan dibagikan sebagai penghargaan partisipasi
kepada 5 design inovatif @ Rp 10 juta. Museum Tsunami Aceh dibangun di kota Banda Aceh kira-
kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh

Fungsi Museum Tsunami Aceh

1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan
pembelajaran tentang bencana tsunami. 
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. 
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di
daerahnya pernah terjadi tsunami. 
4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah
Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi,
dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering
diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum tsunami tak hanya di desain sebagai tempat pembelajaran sekaligus menyimpan sejarah
tsunami Aceh. Bangunan yang di desain dengan perpaduan konsep bukit menyelamatkan diri,
analogi amuk tsunami, tari saman, cahaya Allah serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban
ini juga bisa digunakan sebagai tempat menyelamatkan diri saat tsunami, karena atapnya
merupakan ruang terbuka yang luas memang di rancang khusus.
Museum Tsunami Aceh Monumen Simbolis
Bencana Gempa Bumi dan Tsunami Aceh
2004
Posted on August 19, 2014 by Editor in Infrastructure // 0 Comments

Bukit pengungsian sarana penyelamatan awal terhadap banjir dan tsunami.


Untuk mengenang peristiwa tsunami yang terjadi pada Minggu pagi 26 Desember 2004 di Nanggroe
Aceh Darussalam, maka dibangunlah Museum Tsunami di lokasi kejadian. Seperti dituturkan
perancangnya, arsitek M Ridwan Kamil, museum ini harus menjadi simbol struktur yang antitsunami,
yakni berupa kombinasi antara bangunan panggung yang diangkat (elevated building) di atas sebuah
bukit.
Selain sebagai monumen mengenang bencana gempa bumi dan tsunami di Aceh pada tahun
2004, museum ini juga menjadi tempat pendidikan dan sekalligus tempat perlindungan darurat
andai terjadi tsunami kembali.
Arsitek mengungkapkan, pilihan terhadap bangunan panggung terinspirasi dari rumah panggung
tradisional Aceh yang terbukti tahan terhadap bencana alam. Sedangkan konsep bukit diambil
dari konsep bukit penyelamatan (escape hill) sebagai antisipasi jika terjadi tsunami di masa yang
akan datang.
Water courtyard

Dalam mendesain museum, ia mencoba merespon beberapa aspek penting dalam perancangan
seperti: memori terhadap peristiwa bencana tsunami, fungsionalitas sebuah bangunan
museum/memorial, identitas kultural masyarakat Aceh, estetika baru yang bersifat modern dan
responsif terhadap konteks urban.

Bangunan megah Museum Tsunami tampak dari luar seperti kapal besar yang sedang berlabuh.
Sementara di bagian bawah terdapat kolam ikan. Museum ini merupakan satu-satunya di
Indonesia dan tidak mustahil akan menjadi museum tsunami dunia.

Ruang audio visual

Konsep Perancangan
Beberapa konsep dasar yang mempengaruhi perancangan Museum Tsunami antara lain: rumah
adat Aceh, bukit penyelamatan (escape hill), gelombang laut (sea waves), tarian khas
Aceh (Saman dance), cahaya Tuhan (the light of God) dan taman untuk masyarakat (public
park).
Tampak luar

Desain Tsunami Memorial ini mengambil ide dasar dari rumah panggung Aceh sebagai contoh kearifan
arsitektur masa lalu dalam merespon tantangan dan bencana alam. Begitu pula dengan bentuk bukit
penyelelamatan pada bangunan merupakan antisipasi terhadap bahaya tsunami di masa datang.

Sedangkan mengenai bentuk denah bangunan yang menyerupai gelombang laut, itu merupakan
analogi dan sekaligus sebagai pengingat akan bahaya tsunami. Sementara konsep tarian khas
Aceh yang ada pada bangunan, menurut Emil sebagai lambang dari kekompakan dan kerjasama
antar manusia yang kemudian diterjemahkan menjadi kulit bangunan eksterior.

Di dalam bangunan juga terdapat ruang berbentuk sumur silinder yang


menyorotkan cahaya ke atas sebagai simbol hubungan manusia dengan
Tuhannya. Tidak ketinggalan ia juga membangun sebuah taman terbuka bagi
masyarakat yang bisa diakses dan dipergunakan setiap saatsebagai respon
terhadap konteks urban.

Bukit pengungsian sarana penyelamatan awal terhadap banjir dan tsunami.

Efek Psikologis Ruang

Untuk membangkitkan kenangan lama akan tragedi tsunami. Tata letak


ruangan di dalam museum dirancang secara khusus. Emil menjelaskan, urut-
urutan (sequence) ruang di bangunan yang harus dilalui pengunjung dirancang
secara seksama. Hal ini untuk menghasilkan efek psikologis yang lengkap
tentang persepsi manusia akan bencana tsunami. Untuk mewujudkannya
ruang dirancang dalam tiga zona yakni: spaces of memory; spaces of
hope dan spaces of relief.
Escape roof merupakan atap bangunan yang dirancang berupa rooftop yang bisa
ditanami rumput. Atap ini juga dirancang sebagai area evakuasi.

Pada zona spaces of memory direalisasikan dalam tsunami


passage dan Memorial Hall. Area penerima tamu (tsunami passage) di museum

ini berupa koridor sempit berdinding tinggi dengan air terjun yang bergemuruh
untuk mengingatkan betapa menakutkannya suasana disaat terjadinya
tsunami. Sedangkan Memorial Hall merupakan area di bawah tanah yang
menjadi sarana interaktif untuk mengenang sejarah terjadinya tsunami. Pada
Aceh Memorial Hall ini juga dilengkapi dengan pencahayaan dari lubang-
lubang sebuah reflecting pool yang berada diatasnya.
Sedangkan pada zona spaces of hope diwujudkan dalam bentuk Blessing
Chamber dan Atrium of Hope. Blessing Chamber merupakan ruang transisi
sebelum memasuki ruang-ruang kegiatan non memorial. Ruang ini berupa
sumur yang tinggi dengan ribuan nama-nama korban terpatri di dinding.
Sumur ini diterangi oleh skylight berbentuk lingkaran dengan kaligrafi Allah
SWT sebagai makna hadirnya harapan bagi masyarakat Aceh.

Ruang pameran

Sementara atrium of hope berupa ruang atrium yang besar sebagai simbol dari


harapan dan optimisme menuju masa depan yang lebih baik. Pengunjung
akan menggunakan ramp melintasi kolam dan atrium untuk merasakan
suasana hati yang lega. Atrium dengan refelecting pool ini bisa diakses secara
visual kapan saja namun tidak bisa dilewati secara fisik.
North elevation

Untuk zona spaces of relief diterjemahkan dalam the hill of light dan escape


roof. The hill of light merupakan taman berupa bukit kecil sebagai sarana
penyelamatan awal terhadap tsunami. Taman publik ini dilengkapi dengan
ratusan tiang obor yang juga dirancang untuk meletakkan bunga dukacita
sebagai tanda personal space.

West elevation
Jika seluruh obor dinyalakan maka bukit ini akan dibanjiri oleh lautan cahaya.
Sangat personal sekaligus komunal. Sedang escape roof merupakanatap
bangunan yang dirancang berupa rooftop yang bisa ditanami rumput atau
lansekap. Atap ini juga dirancang sebagai area evakuasi bilamana di
kemudian hari terjadi bencana banjir dan tsunami.
Konsep Museum Tsunami Aceh

Museum Tsunami Aceh memiliki 6 konsep dalam pembangunannya. Diantara konsep tersebut adalah sebagai
berikut:

1.       Rumoh Aceh

Design Museum Tsunami ini mengambil ide dasar dari rumah panggung Aceh sebagai contoh kearifan
arsitektur masa lalu dalam merespon tantangan dan bencana alam. Design ini mengacu pada keadaan Aceh
pada masa silam yang juga pernah dilanda bencana. Konsep ini merefleksikan keyakinan terhadap agama dan
adaptasi terhadap alam.

2.       Escape Building

Design Museum Tsunami ini berbentuk bukit penyelamatan sebagai antisipasi terhadap bahaya tsunami di
masa yang akan datang.

3.       Sea Waves

Denah bangunan merupakan analogi dari episenter sebuah gelombang laut sebagai pengingat akan tsunami.

4.       Saman Dance (Hablumminannas)

Tarian khas Aceh yang melambangkan kekompakan dan kerjasama masyarakat Aceh, mencerminkan
kehidupan sosial yang kental akan gotong-royong dan tolong-menolong, direfleksikan melalui kulit bangunan
pada eksterior Museum Tsunami Aceh.

5.       The Light of God (Hablumminallah)

Di dalam bangunan Museum Tsunami ini terdapat ruang berbentuk sumur silinder yang menyorotkan cahaya
ke atas sebagai simbol hubungan manusia dengan Tuhannya.

6.       Public Park

Museum Tsunami ini juga merupakan taman terbuka publik yang dapat diakses dan difungsikan setiap saat
oleh masyarakat, sebagai respon terhadap konteks urban.
Museum Tsunami Aceh  semula akan dibuat berbentuk kapal besar dan dimaksudkan hanya sebagai
penyimpanan semua dokumentasi yang terkait dengan bencana alam 26 Desember 2004. Agar
generasi penerus Aceh dan Indonesia mengetahui bahwa pernah terjadi peristiwa maha dasyat di
bumi rencong ini.

Namun kemudian rencana berubah, Pemerintah Aceh bersama BRR NAD-Nias mengadakan


sayembara untuk desain museum tsunami. Setelah menyisihkan 68 peserta lainnya, desain yang
berjudul "Rumoh Aceh'as Escape Hill" akhirnya dimenangkan oleh seorang dosen arsitektur ITB,
Bandung, M.Ridwan Kamil yang diumumkan pada 17 Agustus 2007.

Museum Tsunami Aceh yang terletak di depan Lapangan Blang Padang, Banda Aceh ini memiliki
tiga lantai, dengan luas setiap lantai sebesar 2.500 meter dan menghabiskan dana hingga Rp60
miliar lebih. Goresan arsitektur Ridwan Kamil ini, sarat dengan nilai kearifan lokal dan didesain
dengan konsep memimesis kapal, seperti hendak mewartakan Banda Aceh adalah kota air alih-alih
daratan.

Di dalam gedung terdapat kolam luas yang indah dengan jembatan diatasnya. Selain itu, terdapat
ruangan yang dirupakan sebagai gua yang gelap serta ada aliran air mengalirKonsep yang
ditawarkan arsitek ini, dengan menggabungkan rumoh Aceh (rumoh bertipe panggung) dikawinkan
dengan konsep escape building hill atau bukit untuk menyelamatkan diri, sea waves atau analogi
amuk gelombang tsunami, tari tradisional saman, cahaya Allah, serta taman terbuka berkonsep
masyarakat urban.

Lahannya yang disediakan pemerintah Aceh juga berbatasan langsung dengan komplek
kuburan Kerkhoff, namun isi dan kelengkapannya disediakan Departemen Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), pemerintah Aceh dan Pemerintah Kota Banda Aceh. Museum Tsunami Aceh adalah
sebuah Museum untuk mengenang kembali pristiwa tsunami yang maha daysat yang menimpa
Nanggroe Aceh Darussalam pada tanggal 26 Desember 2008 yang menelan korban lebih kurang
240,000 0rang.

Gedung Museum Tsunami Aceh dibangun atas prakarsa beberapa lembaga yang sekaligus
merangkap panitia. Di antaranya Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) NAD-Nias sebagai
penyandang anggaran bangunan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sebagai
penyandang anggaran perencanaan, studi isi dan penyediaan koleksi museum dan pedoman
pengelolaan museum), Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)sebagai penyedia lahan dan
pengelola museum, Pemerintah Kotamadya Banda Aceh sebagai penyedia sarana dan prasarana
lingkungan museum dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI)cabang NAD yang membantu penyelenggaraan
sayembara prarencana museum

Perencanaan detail Museum ,situs dan monumen tsunami akan mulai pada bulan Agustus 2006 dan
pembangunan akan dibangun diatas lahan lebih kurang 10,000 persegi yang terletak di Ibukota
provinsi Nanggroes Aceh Darussalam yaitu Kotamadaya Banda Aceh dengan anggaran dana sekitar
Rp 140 milyar dengan rincian Rp 70 milyar dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk
bangunan dan setengahnya lagi dari Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) untuk
isinya juga berisi berbagai benda peninggalan sisa tsunami.

Sebelum pembangunan dimulai panitia menyelenggarakan lomba design museum dengan Thema
"Nanggroe Aceh Darussalam Tsunami Museum (NAD-TM)", lomba yang ditutup tanggal 5 Agustus
2007 berhadiah Total Rp 275 juta dengan rincian pemenang I mendapatkan Rp 100 juta,ke II Rp 75
juta,ke III Rp 50 juta dan sisanya Rp 50 juta akan dibagikan sebagai penghargaan partisipasi
kepada 5 design inovatif @ Rp 10 juta. Museum Tsunami Aceh dibangun di kota Banda Aceh kira-
kira 1 km dari Masjid Raya Banda Aceh

Fungsi Museum Tsunami Aceh

1. Sebagai objek sejarah, dimana museum tsunami akan menjadi pusat penelitian dan
pembelajaran tentang bencana tsunami. 
2. Sebagai simbol kekuatan masyarakat Aceh dalam menghadapi bencana tsunami. 
3. Sebagai warisan kepada generasi mendatang di Aceh dalam bentuk pesan bahwa di
daerahnya pernah terjadi tsunami. 
4. Untuk mengingatkan bahaya bencana gempa bumi dan tsunami yang mengancam wilayah
Indonesia. Hal ini disebabkan Indonesia terletak di “Cincin Api” Pasifik, sabuk gunung berapi,
dan jalur yang mengelilingi Basin Pasifik. Wilayah cincin api merupakan daerah yang sering
diterjang gempa bumi yang dapat memicu tsunami.
Museum tsunami tak hanya di desain sebagai tempat pembelajaran sekaligus menyimpan sejarah
tsunami Aceh. Bangunan yang di desain dengan perpaduan konsep bukit menyelamatkan diri,
analogi amuk tsunami, tari saman, cahaya Allah serta taman terbuka berkonsep masyarakat urban
ini juga bisa digunakan sebagai tempat menyelamatkan diri saat tsunami, karena atapnya
merupakan ruang terbuka yang luas memang di rancang khusus.

Anda mungkin juga menyukai