Anda di halaman 1dari 13

Jati Diri Melayu dan Multikulturalisme1:

Kontekstualisasi Jati Diri Melayu di Era Global


Oleh: Rina Rehayati2

Abstract

M alay I dentity and multiculturalism:


Contextualization of M alay I dentity in the Global Era
On the basis of Islamic values, philosophy of life developed by the Malay known earlier so wise, and seek to

their identity needs to be transformed to the current generation. Therefore, efforts need to be examined to be done
so that the glories of the Malay identity persisted, despite the world changing in any form.
Keywords: identity, Malay, Multiculturalism

Pendahuluan pernah diraih pada masa lalu akan redup dengan


pudarnya jati diri Melayu di tengah era global.
Sejarahgemilangeksistensi Melayu (baca: Melayu
Riau) pada masa lalu sangat membanggakan bagi Kekhawatiran sebagian orang Melayu terhadap
orang Melayu dan selalu dikenang dari masa ke masa. realitas di atas muncul dikarenakan sedemikian
Kegemilangan Melayu masa lalu ditandai dengan cepatnya perubahan sosial pada masyarakat
kekhasan jati diri Melayu yang santun, bersahaja, dan Melayu akibat perkembangan ilmu pengetahuan,
mampu beradaptasi dengan beragam kultur dengan arus informasi, transportasi, dan teknologi. Realita
tidak melepas kemelayuannya. Sejarah mencatat komposisi masyarakat yang multikultural di wilayah
bahwa begitu banyak bermunculan para penulis, Melayu dan perkembangan ilmu pengetahuan
ulama, dan cendekiawan Melayu, sehingga tidak dan teknologi yang sedemikian cepat, sementara
berlebihan kemudian bahasa Melayu pun dinobatkan pengetahuan masyarakat melayu untuk membendung
sebagai bahasa Nasional. Keputusan mengangkat beragam informasi yang diterima dari berbagai media
bahasa Melayu sebagai Bahasa Indonesia tentu telah cetak dan elektronik tidak berimbang menyebabkan
dikaji secara mendalam dan dipertimbangkan dengan jatidiri Melayu “ tergoyang” ibarat berada di tengah
matang oleh para pahlawan yang berbeda kultur gelombang samudra yang sedemikian luas (Pekanbaru
pada saat itu, baik ditinjau dari aspek sosial, politis, Pos, 27 Des 2011).
maupun psikologis. Namun, sangat disayangkan, Kondisi ini menjadi masalah karena derasnya
seiring dengan perkembangan zaman yang diiringi arus informasi yang dibawa oleh teknologi bukan
dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan hanya menawarkan ilmu pengetahuan, melainkan
dan teknologi, gaung pengaruh Melayu saat ini serasa juga menawarkan gaya hidup Barat yang tidak sesuai
tidak sekuat masa lalu. Kondisi ini menggambarkan dengan syari’ at Islam yang dianut oleh Orang Melayu,
bahwa pola hidup dan termasuk juga perkembangan termasuk juga beragam ideologi, yang ternyata tidak
pemikiran Melayu “perjalanannya” tidak beriringan seluruhnya sesuai dengan nilai-nilai Islam, sehingga
dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan adat basandi
teknologi. Kajian Melayu saat ini seolah hanya sebatas syara’ , syara’ basandi Kitabullah berhadapan
kajian sejarah, antropologi, dan pagelaran acara yang langsung dengan beragam tawaran ideologi, tradisi,
sarat dengan simbol-simbol Melayu untuk mengenang dan budaya dari luar yang tidak seluruhnya sesuai
masa kejayaan dan kegemilangan masa lalu saja. dengan adat dan budaya Melayu. Dalam konteks inilah
Baik itu melalui simbol pakaian, bangunan, tarian, kemudian menurut peneliti konsep multikulturalisme
dan sebagainya. Karya-karya orang Melayu tidak lagi relevan dikemukakan dalam dunia Melayu agar nilai-
nilai Islam yang menjadi prinsip hidup bagi orang
lalu. Sehingga, wajar kemudian ada kekhawatiran di Melayu tetap kuat dalam kehidupan khas Melayu dan
kalangan orang Melayu kegemilangan Melayu yang jati diri Melayu tetap kokoh di tengah arus globalisasi.

58
Rina Rehayati: Jati Diri Melayu dan Multikulturalisme: Kontekstualisasi Jati Diri Melayu di Era Global

Orang Melayu perlu mempelajari perangkat apa saja Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan
yang harus dipersiapkan untuk menghadapi serbuan kultur Melayu Riau seperti penelitian Antropologi
tawaran ideologi dunia non Melayu tersebut. Dan Budayadi Riau oleh Parsudi Suparlan padatahun 1982.
selanjutnya, mengembangkan “ nalar” Melayu yang Fokus penelitiannya mengenai Orang Sakai sebagai
bekerja kreatif, kuat dan beridentitas khas Melayu. masyarakat terasing di Riau. Hasil Penelitian Parsudi
Suparlan ini kemudian dibukukan pada tahun 1995.
Ada dua pandangan yang berkembang dalam
menanggapi multikulturalisme, yaitu pandangan Hasil penelitian ini bukan hanya mendeskripsikan
kehidupan masyarakat terasing, tetapi juga disertai
positif dan pandangan negatif. Bagi yang berpandangan
positif, cenderung melihat multikulturalisme sebagai dengan penjelasan mengenai berbagai budaya dan
realitas, suatu keniscayaan yang tidak mungkin
dihindari. Sedangkan bagi yang berpandangan dari Riau daratan dan Kepulauan Riau. Kepulauan
Riau saat ini sudah menjadi provinsi sendiri. Penulisan
negatif, cenderung melihat multikulturalisme sebagai
buku Suparlan merupakan proyek Departemen Sosial
ideologi.
mengenai pemulihan pembinaan kesejahteraan
masyarakat terasing.
orang Melayu terdahulu dikenal sedemikian bijak,
Buku yang terkait dengan Melayu kekinian
misalnya buku Isjoni, Orang Melayu di Zaman yang
kemelayuannya yang santun dan bersahaja, karena
Berubah (2007), yang mendeskripsikan tentang asal-
Islam mengajarkan demikian. Keberhasilan orang
usul orang Melayu, kehidupan orang Melayu, agama
Melayu dahulu yang sangat kuat dengan jatidirinya
perlu ditransformasi kepada generasi saat ini. Oleh Orang Melayu serta globalisasi sebagai tantangan
bagi orang Melayu kontemporer dalam menata masa
sebab itu, perlu ditelisik lebih dalam upaya apa saja
yang harus dilakukan sehingga kegemilangan jatidiri depan. Isjoni melihat adanya perubahan kuantitatif
dan kualitatif dalam kehidupan orang Melayu.
Melayu tetap bertahan, meskipun dunia berubah
dalam bentuk apa pun. Menurut Isjoni, perkembangan ilmu pengetahuan
yang sedemikian cepat dan melahirkan teknologi
M ultikultural dan Pluralitas sebagai modern telah menimbulkan benturan-benturan
yang cukup jauh dalam kecenderungan gaya hidup
Realitas orang Melayu kontemporer. Menurutnya, kebesaran
Konsep Multikulturalisme sangat terkait dan kemajuan yang pernah dicapai orang Melayu
dengan kultur, karena kultur menjadi fokus utama pada masa lalu mestinya juga diwujudkan pada
pembahasan multikulturalisme. Menurut Claude Levi masa depan. Untuk itu, ke depannya, orang Melayu
Strauss, seperti dikutip oleh Edith Kurzweil (2004: harus melakukan tindakan rasional dan menemukan
29), konsepsi yang relevan dengan masa kini. Isjoni hanya
universal dari pikiran manusia. Sedangkan Clifford mendeskripsikan dan memberikan stimulan berupa
Geertz (1992: 2-3) berpendapat bahwa kultur adalah permasalahan untuk dipikirkan secara bersama, dan
cara yang dipakai oleh semua anggota dalam sebuah selanjutnya diharapkan banyak tawaran konsep bagi
kelompok masyarakat untuk memahami siapa diri akademisi Melayu untuk menanggapi stimulan Isjoni
mereka dan kemudian memberi arti pada kehidupan tersebut.
mereka. Dari pendapat Levi Strauss dan Geertz
Informasi tentang Melayu juga terdapat pada
diketahui bahwa “ ada” nya kultur tidak “ berada”
buku-buku karya orang Melayu Riau sebagai berikut:
begitu saja, melainkan diupayakan melalui olah
Studi Melayu (Yusmar Yusuf, 2009), Orang Melayu
pikir oleh sekelompok orang dalam upaya untuk
(Isjoni , 2002), Teks dan Pengarang di Riau (Hamidy,
memahami, memberi arti, dan memberi identitas
1998), Riau Doeloe-Kini dan Bayangan Masa Depan
pada diri mereka, sehingga identitas kelompok
(Hamidy, 2002), Orang Melayu di Riau (Hamidy,
mereka sebagai “ pembeda” dengan kelompok lain
t.th), Good Governance dalam Perspektif Budaya
jelas terlihat. Inilah tantangan bagi Kultur Melayu
Melayu (Hamidy [ed.], 2004), Orang Melayu:
yang memiliki semboyan adat: “ Adat basandi
Agama, Keker abatan, Prilaku Ekonomi (2009), dan
syara’ , syar a’ basandi Kitabullah. Biarlah mati anak
sebagainya.
daripada mati adat. Mati anak gempar sekampung,
mati adat gempar sebangsa.”

59
Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013

Para penulis Melayu di atas mengungkapkan lalu, kultur Melayu bisa menerima dan bisa bergaul
dengan kultur apa pun. Pergaulan dengan kultur
pada setiap kultur akan ditemui sejumlah sistem nilai lain itu hanya sebatas di kota-kota pelabuhan. Kota-
yang membentuk dan mewarnai pandangan hidup kota pelabuhan yang dimaksud oleh UU. Hamidy
kultur tersebut. Sistem nilai bagi kultur merupakan kegiatan jual-beli dalam berdagang yang dilakukan
tingkat tertinggi dan paling abstrak. Sistem nilai antar kultur di Selat Malaka. Selaras dengan pendapat
tersebut merupakan konsep-konsep mengenai segala Furnival yang mengatakan bahwa penerimaan
sesuatu yang dinilai sangat berharga dan merupakan Kultur Melayu terhadap kultur lain hanya sebatas
pandangan dunia (world view) mereka. Pada sistem pluralitas kepentingan-kepentingan utilitarian di
nilai Melayu misalnya, dapat dilihat dari tiga aspek, antara para pembeli dan penjual di pasar, bukan
yaitu: agama, adat, dan bahasa yang digunakan. pada aspek sosial dan politik, karena mereka belum
Sebagaimana menurut pendapat beberapa tokoh siap menerima perbedaan dan memberi pengakuan
Melayu bahwa seseorang atau sekelompok orang kesederajatan sebagaimana yang dikehendaki konsep
dikategorikan sebagai orang Melayu apabila dia multikulturalisme.
beragama Islam, sehari-hari berbahasa Melayu, dan
Furnivall, Miller, Hefner dan Hamidy berpendapat
beradat istiadat Melayu. Etnis Melayu ditentukan oleh
yang sama tentang “ sikap” Orang Melayu terhadap
kultur, bukan geneologis (keturunan darah) (Ismail
plural society. Mereka sepakat bahwa pada aspek
Hussein, 2001: 18-19; UU. Hamidy, t.th.: 8; Isjoni,
ekonomi dan sosial, kultur Melayu bisamengakomodir
2002: 50). Dalam konteks inilah dapat dilihat identitas
plural society, tetapi tidak pada kehidupan publik dan
Melayu dan perbedaan antara kultur Melayu dengan
politik. Sehingga, aspek sosial dan politik menjadi
kultur lain. Pada kultur di luat Melayu, etnis mereka
sesuatu yang amat riskan dibicarakan secara luas dan
ditentukan oleh geneologis, sedangkan Kultur Melayu
cenderung monokultur. Suatu kultur yang cenderung
melihat pada ketiga aspek di atas, yakni agama yang
dibentuk monokultur oleh penguasanya, tetap ada bias
dianut, bahasa sehari-hari yang digunakan dan adat
tatkala kultur tersebut dominan. Pengertian “ mono”
istiadat yang diterapkan dalam “ lingkar kehidupan”
bermakna satu, penyatuan atau penyeragaman.
seperti: kelahiran, pernikahan, dan kematian.
Sedangkan multikulturalisme yang menekankan
Adapun Peneliti asing yang pernah meneliti “ multi” yang berarti banyak, beragam dan majemuk.
tentang Melayu misalnya J.S. Furnivall, seorang Di satu sisi, keberagaman kultur dalam kultur yang
administrator dan penulis politik Inggris. Melalui multikultural yang menginginkan keseragaman bila
tulisannya dia memperkenalkan Asia Tenggara di tidak diwaspadai akan memunculkan ketegangan,

yang dia sebut sebagai masyarakat majemuk, seperti: tidak selamanya mengarah pada sesuatu yang negatif
Indonesia, Malaysia dan Singapura. Kemajemukan karena ketegangan bisa menjadi kekuatan apabila
tersebut merupakan warisan sekaligus tantangan disikapi dengan bijak. Ketegangan menjadi positif
pluralitas budaya. Menurut Furnivall, masyarakat apabila dikelola menjadi kreativitas. Meminjam
majemuk adalah masyarakat yang terdiri dari dua istilah Karl Jaspers, dalam kehidupan ini biarkan
atau lebih elemen atau tatanan sosial yang hidup saja tetap ada ketegangan antara dasen dan eksistens,
berdampingan, namun tanpa membaur dalam satu unit karena dibalik ketegangan tersebut sesungguhnya
politik. Hefner (2011) memberi contoh berbaurnya mengandung dinamika kehidupan. Jika dipaksakan
Orang Melayu, Cina, India, dan Arab sebagaimana menyatukan antara keduanya, maka satu sama
di Malaysia. Hefner pun mengutip pendapat Walzer lainnya akan kehilangan identitas (nihilisme) dan
(1996) yang merasa heran dengan perilaku berbagai kekhasan keberadaan (materialisme) masing-
kultur di wilayah Melayu. Menurutnya, ada sesuatu masingnya. Bila diterjemahkan, ketegangan yang
yang ironis pada kultur Melayu, mereka siap dalam dimaksud oleh Jaspers, membiarkan ketegangan
mengakomodir pluralitas kepentingan-kepentingan bukan berarti menutup diri, karena sewaktu-waktu
utilitarian3 di antara para pembeli dan penjual di
pasar, tetapi ketika sampai pada kehidupan publik dan hendaknya mampu mendesain ketegangan menjadi
politik, mereka tidak siap menghadapi kemajemukan kreativitas dalam menemukan format-format yang
kultur tersebut. Terkait dengan pendapat Walzer, UU. tepat untuk bisa membentuk kesepahaman dalam
Hamidy (t.th.: 11) juga berpendapat bahwa sejak masa keberagaman. Bisa melalui dialog, diskusi, seminar

60
Rina Rehayati: Jati Diri Melayu dan Multikulturalisme: Kontekstualisasi Jati Diri Melayu di Era Global

pertunjukkan seni atau festival berbagai kultur, dan masing individu tidak terikat kepada budaya tertentu.
sebagainya. Semua kegiatan tersebut tidak efektif Sebaliknya, mereka secara bebas terlibat dalam
jika masing-masing kultur mempertunjukkan sikap eksperimen-eksperimen interkultural dan sekaligus
egonya, karena tidak akan menghasilkan kreativitas, mengembangkan kehidupan kultural masing-masing
melainkan menimbulkan pertikaian. (http://www.wikipedia.or/wiki/multikulturalisme,
diakses 31 Desember 2010; Azyumardi Azra, 2007:
M acam-macam M ultikulturalisme 13-16).
Istilah multikulturalisme sebenarnya belum
lama menjadi objek pembicaraan (sekitar abad Sistem Nilai M elayu: I slam, Adat M elayu,
ke-20) oleh berbagai kalangan. Namun dengan Bahasa M elayu
cepat berkembang sebagai wacana yang menarik Sistem nilai Melayu dapat dilihat dari tiga aspek,
untuk dikaji dan didiskusikan. Dikatakan menarik yaitu: agama, adat, dan bahasa yang digunakan.
karena membicarakan keragaman etnis dan budaya, Dalam konteks inilah dapat dilihat identitas Melayu
serta penerimaan terhadap keberagaman tersebut. dan perbedaan antara kultur Melayu dengan kultur
Istilah ini, setidaknya memiliki tiga unsur, yaitu: lain. Pada kultur lain etnis mereka ditentukan oleh
budaya, keragaman budaya, dan cara khusus untuk geneologis, sedangkan Kultur Melayu melihat pada
mengantisipasi keanekaragaman budaya tersebut. ketiga aspek di atas, yakni agama yang dianut,
Untuk menentukan bentuk multikulturalisme bahasa sehari-hari yang digunakan dan adat istiadat
Melayu di Riau bisa ditelusuri dari berbagai macam yang digunakan dalam “ lingkar kehidupan” seperti:
multikulturalisme yang dikemukakan oleh ahli kelahiran, pernikahan dan kematian. Meskipun hanya
Multikulturalisme. Menurut Bikhu Parekh ada mengakui Islam sebagai agama resmi, namun kultur
lima macam multikulturalisme, yaitu: per tama, Melayu sangat terbuka dan tidak pernah menolak
multikulturalismeisolasionis, yakni multikulturalisme kedatangan kultur lain yang berbeda agama, etnis,
yang mengacu kepada masyarakat di mana berbagai bahasa, bangsa, negara, dan sebagainya. Sebagaimana
kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom yang ditulis oleh Hamidy (2004: 47), bahwa wilayah
dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu Melayu komposisi masyarakatnya majemuk.
sama lain. Kedua, multikulturalisme akomodatif, Kemajemukan tersebut selain membuat Orang
yakni masyarakat plural yang memiliki kultur Melayu menjadi luas wawasannya, berkembang ilmu
dominan, yang membuat penyesuaian dan akomodasi- pengetahuannya juga memberi peluang bersatunya
akomodasi bagi kebutuhan kultural kaum minoritas. keberagaman kultur. Melayu dan Islam dua hal yang
Ketiga, multikulturalisme otonomis, yaitu masyarakat tidak bisa dipisahkan. Melayu berkembang karena
majemuk yang masing-masing kelompok kultur Islam dan Islam merupakan Jatidiri kultur Melayu
berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan (Heddy Shri Ahimsa-Putra, [ed.], 2007: 73-74).
kultur dominan dan berkeinginan kehidupan otonom Gambaran Segi tiga Sistem Nilai Melayu sebagai
dalam kerangka politik yang secara kolektif dapat berikut:
diterima. Tujuan utama kelompok kultural pada pola
ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka Islam
dan memiliki hak yang sama dengan kelompok Adat
yang dominan. Mereka menentang kelompok kultur
dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat Tradisi
dimana semua kultur dapat eksis sebagai mitra sejajar.
Keempat, multikulturalisme kritikal atau interaktif,
Segi tiga di atas dapat diinterpretasikan bahwa
yakni masyarakat majemuk yang menginginkan tradisi yang sedemikian banyak muncul dalam
terciptanya kultur kolektif, tetapi mencerminkan dan kehidupan Orang Melayu akan menyesuaikan dengan
menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka Adat. Jika sesuai dengan adat, maka tradisi tersebut
tanpa harus menciptakan kultur otonom. Kelima, tidak dilarang untuk dikembangkan. Tetapi, jika tidak
multikulturalisme kosmopolitan, yakni paham yang sesuai menurut adat, maka tradisi tersebut tidak boleh
berusaha menghapuskan batas-batas kultural sama dikembangkan. Ukuran adat untuk membenarkan
sekali untuk menciptakan masyarakat yang masing- atau melarang suatu tradisi berdasarkan syari’ at Islam

61
Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013

yang diterjemahkan oleh ulama setempat. Meskipun kepada kultur lain atau bangsa lain mereka ungkapkan
raja dan sesepuh adat yang diberi wewenang melalui bahasa lisan dengan bait pantun. Sehingga,
menguasai, namun keputusan boleh atau tidaknya pantun dikenal sebagai ciri khas dan keunikan bagi
mengembangkan suatu tradisi dan pemikiran tetap orang Melayu (Ediruslan Pe Amanriza dan O.K.
berada di tangan ulama. Nizami Jamil, 218-219). Sebagaimana pendapat
Ding Cho Ming dalam tulisan Darwis A. Soelaiman:
Kesultanan Melayu berhasil mengembangkan
agama Islam, terutama pada masa pemerintahan Yang “ Pantuns not only embodies the philosophy, values,
culture, wisdom, imagination anda life of Malays
Tuan Muda Raja Abdul Rachman (1833-1844), Yang
world people, but also has been playing a prominent
Tuan Muda Raja Ali (1845-1857), dan Yang Tuan
social symbol in the Malay wor ld all along (Mahyudin
Muda Raja Abdullah (1857-1858). Pada masa itu,
telah didatangkan ahli agama dari luar, seperti Syekh al-Mudra dalam Abdul Kadir Ibrahim, 2004: 463).
Ahmad Jabrati, Syekh Muhammad Arsyad Banjar,
dalam dunia Melayu, juga sebagai simbol sosial bagi
dan Sayid Abdullah Bahrin (Sham, 1980). Dalam
orang Melayu yang sangat berperan penting dalam
pengembangan agama Islam, juga dikembangkan
komunikasi multikultural dalam realitas kehidupan
satu aliran tarekat, yaitu Tarekat Naqsyabandiah.
orang Melayu dari dulu sampai sekarang.
Tarekat ini dikembangkan oleh pemerintah mulai
dari pemerintahan Yang Dipertuan Muda Raja Ali Pantun, pepatah dan gurindam4 merupakan simbol
(1845-1857) sampai Raja Mohammad Yusof dari dalam kehidupan Melayu, digunakan oleh orang
Penyengat. Tarekat ini berkembang ke Babussalam, Melayu sebagai media untuk mengkomunikasikan
Langkat Sumatera Utara, Semenanjung Melayu, nilai-nilai tentang Tuhan, manusia, dan alam semesta.
serta Singapura dan sekitarnya. Penyengat kemudian Pantun dan pepatah digunakan oleh orang Melayu
berhasil dikembangkan sebagai pusat agama, bahasa jauh sebelum mereka mengenal tulisan dan terus
dan sastra, adat dan kesenian Melayu yang sampai berlangsung hingga saat ini (Mahyudin al-Mudra
sekarang masih dapat disaksikan peninggalan dan dalam Abdul Kadir Ibrahim, 2004: 465). Dengan
bekas-bekasnya (Heddy Shri Ahimsa-Putra, [ed.], demikian, pantun, pepatah, dan gurindam yang
2007: 74-75). terkesan sederhana, ternyata memiliki peranan penting
bagi orang Melayu, yakni sebagai penjelas terhadap
Jauh sebelum kemerdekaan, ada beberapa
ilmuwan Belanda yang memberi komentar tentang konsep, ide-ide, dan gagasan yang masih abstrak.
Gagasan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-
Melayu, di antaranya Vallentinjn (1712), C. Lekkerker
(1916) dan Prof. J.V. Van Eerde (1919). Para ilmuwan kata kemudian dirujuk kepada benda-benda yang ada
di sekitar kehidupan mereka. Tujuannya agar pesan
tersebut menulis bahwa orang Melayu masyarakat
moral yang masih bersifat abstrak dapat dipahami
yang enerjik, sopan, dan gigih mempelajari dan
oleh pendengar. Contoh pepatah tentang adat Melayu
menyebarkan Islam. Berkembangnya Islam di
sebagai berikut:
Nusantara dan di Asia Tenggara termasuk atas
kegigihan para ulama Melayu dengan cara berlayar “ Adat di atas tumbuhnya, mufakat di atas dibuatnya” ,
(Isjoni, 2002: 47-49). Islam mewarnai seluruh tradisi “ Biar mati anak daripada mati adat”
kultur Melayu dengan semboyan “ adat bersendi “ Mati anak gempar sekampung, mati adat gempar
sebangsa”
syara’ , syara’ ber sendi Kitabullah.” Terkait dengan
“ Adat itu tidur menjadi tilam,
hal ini, keistimewaan Islam jugadiakui oleh intelektual
jika berjalan menjadi payung,
Barat, Ernest Gellner (1981: 4) yang berpendapat jika di laut menjadi perahu,
bahwa hanya Islam yang esensi ajarannya tetap jika di tanah menjadi pusaka” (Isjoni, 2002: 50).
relevan dengan tuntutan segi positif modernitas.
Bulat lengkungan menjadi lembaga,
Bulat lembaga menjadi undang-undang,
Pantun sebagai Simbol dalam Falsafah Bulat undang-undang menjadi keadilan (UU. Hamidy,
M elayu 2004: 46).
Orang Melayu umumnya pandai berpantun. Bulat air karena pembetungan,
Orang Melayu kerap menggunakan pantun dan Bulat manusia karena mufakat;
pepatah sebagai “ bahasa halus” ketika berkomunikasi. Faham sesuai,
Sopan santun yang diperlihatkan orang Melayu Benar seukur,

62
Rina Rehayati: Jati Diri Melayu dan Multikulturalisme: Kontekstualisasi Jati Diri Melayu di Era Global

Bulat segolek, dalam Abdul Kadir Ibrahim, 2004: 30), Citra warna
Pipih selayang. sebagai iconic message dituturkan melalui pantun
Rundingan jangan selisih, oleh ketua adat Melayu ketika menyampaikan
Mufakat jangan bercanggahan; pesan leluhur mengenai adat-istiadat yang bernilai
Tuah pada sekata,
sakral, dan diyakini sebagai pedoman hidup yang
Berarti pada seiya (UU. Hamidy, 2004: 47). mengatur perilaku hidup masyarakat Melayu untuk
Esa elang dua belalang, memperoleh kebahagiaan dan terhindar dari musibah.
Takkan kayu berbatang jerami Terkait dengan simbol warna, berarti ada perbedaan
Esa hilang dua terbilang status manusia yang disimbolkan dengan warna-
Takkan Melayu hilang di bumi ” (Isjoni, 2002: 53). warna tertentu. Jika di Barat yang diperjuangkan
Dalam setiap kesempatan, orang Melayu dalam konsep multikulturalisme adalah penerimaan
dibiasakan berpantun dan berpepatah, mulai dari dan pengakuan terhadap perbedaan warna kulit, maka
usia kanak-kanak sampai generasi tua. Oleh sebab dalam realitas kehidupan Melayu (masa kerajaan)
itu, bila berada di wilayah Melayu, akan cukup adalah perbedaan status dalam masyarakatnya yang
mudah menemukan orang berpantun, baik ketika disimbolkan dengan warna kain, baik di payung,
penyampaian pidato resmi, ketika bermusyawarah, pakaian, dan pada atribut upacara adat. Pembedaan ini
dan ketika berdakwah. Bisa dikatakan bahwa pantun dikarenakan pengaruh sistem pemerintahan Kerajaan
merupakan world view-nya orang Melayu. Sehingga di Malaysia. Sebagaimana ungkapan puteri raja
apabila berpidato tanpa pantun, dianggap tidak berada ketika dia berbicara kepada hulu balangnya (tentara
di negeri Melayu. Bukan hanya pantun, pepatah, dan kerajaan): “ ...Jika orang bergelar itu patut bergajah,
dibawa gajah; Yang patut ber kuda dibawa ber kuda;
gurindam juga menjadi simbol orang Melayu, bahkan
dan jika tiada patut bergajah dan ber kuda...” dan
“ warna” kain juga dijadikan simbol oleh mereka
seterusnya. Maksud kalimat ini menurut penulis, dia
tentang “ warna” sebagai sistem nilai dalam kultur ingin mengatakan sesuaikan penggunaan kendaraan,
Melayu merupakan pedoman bagi orang Melayu warna kain, dan warna payung yang digunakan
dalam menginterpretasi dan mengadopsi dunianya. dengan status dan kedudukan seseorang di kerajaan.
“ Warna” menjadi penting karena warna mempunyai Bagi orang Melayu Riau, “ warna” tidaklah dimaknai
makna dan arti tertentu yang diproyeksikan sebagai sebagai simbol status, melainkan sebagai ciri khas
lambang dalam kehidupan manusia, sehingga jadilah dari orang Melayu. Warna kuning sebagai warna
warna memiliki makna kultural. Bagi orang Melayu, lingkungan kerajaan di Malaysia, dipakai oleh hampir
warna kuning merupakan simbol status raja dan anak- seluruh lapisan masyarakat melayu dan mendominasi
anak raja. Simbol warna menunjuk kepada status pada perlengkapan pada upacara adat istiadat Melayu,
seseorang diungkapkan sebagai berikut: baik Melayu di Malaysia, Singapura, termasuk di
Riau sebagai proto type Melayu di Indonesia.
“ Jika orang bergelar itu patut bergajah, dibawa
gajah; Perangkat simbol yang terdapat dalam kultur
Melayu tersebut berasal dari kerajaan-kerajaan
Yang patut berkuda dibawa berkuda; dan jika tiada
patut Melayu yang besar di masa lampau, yang kemudian
banyak mewarnai kehidupan Orang Melayu dan
Bergajah dan berkuda, tapi ada payung itu ada hijau,
ada biru, ada merah. Payung kuning untuk anak-anak
mendapat pengakuan dari sukubangsa lain sebagai
raja dan orang-orang besar dengan payung ungu dan perangkat simbol Melayu. Perangkat simbol ini
merah dan hijau itu untuk sida-sida dan bentara menurut Supardi Suparlan berupa “ kombinasi
Hulu balang biru dan hitam itu akan payung orang
seperangkat motif dan nilai-nilai abstrak.”
bergelar juga....” (Achmad Sopandi Hasan dalam Perangkat Simbol ini merupakan kerangka
Abdul Kadir Ibrahim, 2004: 26). acuan yang penting bagi Orang Melayu dalam
Bagi Orang Melayu Malaysia pepatah di atas
berinteraksi dengan sesama Orang Melayu dan
menunjukkan kedudukan warna sebagai simbol status mereka yang bukan Melayu. Ciri-ciri perangkat
dalam kehidupan orang Melayu. Warna menunjukkan simbol Melayu tersebut menggambarkan
status dan pangkat seseorang. Menurut Raja Fauziah, “ keramahtamahan dan keterbukaan” yang dapat
sebagaimana yang dikutip oleh Achmad Sopandi “ mengakomodasi perbedaan.” Ciri-ciri tersebut

63
Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013

menurut Supardi Suparlan merupakan hasil dari dan secara ekonomi tidak agresif. ketidakagresifan
pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang orang Melayu menggambarkan bahwa orang Melayu
selama berabad-abad telah berhubungan dengan cenderung tenang dalam berinteraksi, baik dengan
kebudayaan asing (Heddy Shri Ahimsa-Putra, sesama kelompok sosial mereka maupun dengan
[ed.], 2007: ixv). Dengan kata lain, Orang Melayu kultur lain. Dalam ketenangan hidup bersama antar
memiliki kemampuan yang tinggi untuk menyerap kultur (multikultur) tersebut patut juga disadari,
jangan sampai yang tercipta adalah “ multikulturalisme
unsur-unsur budaya dari sukubangsa lain. Ini
butik” suatu istilah yang digunakan oleh Stanley
menggambarkan kekayaan simbol yang terdapat
Fish, untuk menjelaskan bentuk multikulturalisme
dalam ruang lingkup kehidupan Orang Melayu. 5

sebagaimana yang terjadi di Poso, Ambon, dan


Pandangan Tokoh M elayu terhadap Plural
Lampung, yang sepertinya terlihat tenang, tetapi
Society dan M ultikulturalisme Pada Kultur
M elayu
Berkenaan dengan ini, UU. Hamidy (t.th.: 11) kekerasan dan berdarah-darah. Demikian yang kita
juga berpendapat bahwa sejak masa lalu, kultur lihat di Ambon-Poso, Kalimantan, Papua, Jawa
Melayu bisa menerima dan bisa bergaul dengan kultur Barat, Lampung, dan sebagainya. Ketegangan dan
apa pun dan dari manapun, tetapi itu hanya dalam
batas-batas sosial budaya saja, sejauh tidak melanggar perlu dipelajari gejala-gejalanya, sehingga kultur
syari’ at Islam. Pergaulan dengan Kultur lain itu hanya Melayu Riau survive tatkala menghadapi tantangan
sebatas di kota-kota pelabuhan. Kota-kota pelabuhan multikulturalisme di era global saat ini. Melayu tetap
yang dimaksud oleh UU. Hamidy adalah kegiatan eksis dengan kemelayuannya di tengah keberagaman.
jual-beli dalam berdagang yang dilakukan antar Dengan demikian, multikultur tidak harus dihindari
kultur di wilayah Melayu (Asia Tenggara). Selaras dengan menjadikan monokultur, karena justru akan
dengan pendapat Furnival yang mengatakan bahwa menimbulkan masalah.
penerimaan Kultur Melayu terhadap Kultur lain hanya Suatu kultur yang cenderung dibentuk mono-
sebatas pluralitas kepentingan-kepentingan utilitarian kultur oleh penguasanya, tetap ada bias tatkala kultur
di antara para pembeli dan penjual di pasar, bukan tersebut dominan. Pengertian “ mono” bermakna
pada aspek sosial dan politik, karena mereka belum satu, penyatuan atau penyeragaman. Berbeda dengan
siap menerima perbedaan dan memberi pengakuan Multikulturalisme yang menekankan “ multi” yang
kesederajatan sebagaimana yang dikehendaki konsep berarti banyak, beragam dan majemuk. Keberagaman
multikulturalisme. Sehingga aspek sosial dan politik dalam kultur yang seragam bila tidak diwaspadai
menjadi sesuatu yang amat riskan dibicarakan secara
luas dan cenderung monokultur. term yang
Dengan demikian, baik intelektual Barat maupun dikembangkan kami dan kamu, bukan kita. Karena,
tokoh Melayu berpendapat sama mengenai “ sikap” jelas ada perbedaan makna antara kami, kamu, dan
Orang Melayu terhadap plural society. Mereka kita. Tetapi, ketegangan itu tidak selamanya negatif
sepakat bahwa pada aspek ekonomi dan sosial, kultur karena ketegangan bisa menjadi kekuatan jika disikapi
Melayu bisa mengakomodir plural society, tetapi dengan bijak.
tidak pada kehidupan publik dan politik. Oleh sebab itu, perlu disadari oleh setiap individu
dalam suatu kultur bahwa keberagaman sudah
“M ultikulturalisme Butik”: M asyarakat dirancang oleh Sang Pencipta, tidak ada satu pun yang
M ultikultural yang Patut diwaspadai bagi bisa menolaknya. Allah memang sengaja menciptakan
Orang M elayu perbedaan–berdasarkan tingkat rasionalitas masing-
masing manusia–karena sekiranya Allah SWT
Dalam penelitian Supardi Suparlan tentang
menghendaki, niscaya manusia dijadikan-Nya satu
Orang Melayu ditulis bahwa Orang Melayu secara
umat saja atau satu kultur saja. Tetapi, Allah hendak
ekonomi tidak seagresif kultur pendatang di
menguji manusia atas pemberian-Nya. Allah pun
wilayahnya, misalnya kultur Minang dan Batak.
memerintahkan manusia berlomba-lomba berbuat
Orang Melayu dikenal sebagai kultur yang religius

64
Rina Rehayati: Jati Diri Melayu dan Multikulturalisme: Kontekstualisasi Jati Diri Melayu di Era Global

kebajikan. Hanya kepada Allah jualah kembali semua Isolasionis


manusia, lalu diberitahukan-Nya tentang apa-apa
yang telah manusia perselisihkan (Q.S. 5: 48; Q.S. Akomodatif
49: 13). Interpretasi atau penafsiran Ayat al-Qur’ an
Multikulturalisme Otonomis
ini kemudian diurai dalam pepatah Melayu sebagai
berikut: Kritikal/Interaktif
Seikat seperti sirih,
Serumpun seperti serai; Kosmopolitan
Seciap seperti ayam,
Sedencing seperti besi; Dari kelima macam Multikulturalisme di atas,
Malu tak boleh di agih, secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi tiga
Suku tak boleh dianjak; kategori pendekatan, sebagaimanayang dilakukan oleh
Melompat sama patah, beberapa negara Barat yang telah berhasil mengelola
Menyerudup sama bengkok; keberagaman (diver sity) kultur dan etnis di negara
Jalan sedundun,
mereka. Pertama, melalui pendekatan integrasionis
Selenggang seayun (UU. Hamidy, 2004: 49).
atau asimilasionis. Pendekatan ini digunakan oleh
Pepatah Melayu di atas menggambarkan bahwa pemerintah Perancis untuk menjaga kesatuan dengan
kultur Melayu sangat mengakomodir kultur lain menghindari eksistensi minoritas kebangsaan
di wilayah Melayu. Meskipun yang diwujudkan dan bahasa di dalam ikatan kewarganegaraannya.
tidak seperti apa yang terkandung dalam paradigma Mereka menamakan pendekatan ini dengan nama
multikulturalisme,6 namun setidaknya terpenuhi hal jus soli. Dengan pendekatan ini, setiap warga negara
yang fundamental dalam multikulturalisme, yakni Perancis, apa pun asal etnisnya dapat menikmati
menerima dan mengakui “ keberadaan” kultur lain. persamaan, hak-hak bahasa, dan kultural mereka
Memang, untuk menciptakan tatanan kultur Melayu sebagai individu, bukan sebagai kelompok.
yang multikultural tentulah tidak mudah, karena Kedua, pendekatan diferensialisme. Pendekatan
paling tidak, membutuhkan beberapa konsep yang ini digunakan oleh Jepang, Singapura, dan Jerman.
mendukung untuk terwujudnya tatanan multikultural Kewarganegaraan di negara ini atas dasar darah atau
yang betul-betul berpijak pada konsep yang kuat asal-usul etnik. Mereka memberi istilah pendekatan
sehingga tidak mudah terombang-ambing oleh ini dengan nama jus sanguinis. Misalnya warga
kondisi lingkungan. Oleh sebab itu, untuk kultur negara Jerman, mereka adalah individu-individu
Melayu sejak dulu telah menerima tatanan kehidupan yang mempunyai hubungan darah dengan nenek
yang multikultural perlu diperkuat dengan konsep- moyang bangsa Jerman. Warga negara pendatang
konsep yang berkembang di era post-modern, agar meskipun sudah keturunan ketiga dan menggunakan
Orang Melayu go international, dikenal dan diakui bahasa Jerman, tetap tidak diakui nasionalitasnya
oleh dunia, bukan hanya Indonesia. Dalam hal inilah sebagai warga negara Jerman. Ketiga, pendekatan
kemudian perlu dipahami konsep multikulturalisme akomodasionis, yaitu pendekatan yang mengadopsi
yang berkembang di Era Post-Modern saat ini. klaim-klaim identitas yang ada. Pendekatan inilah
yang menjadi model multikulturalisme. Pendekatan
Bentuk M ultikulturalisme M elayu: Suatu ini dapat dilihat di Australia dan Kanada (Zakiyuddin
Tawaran Baidhawi, 2005: 37). Dengan demikian, melihat
dari bentuk-bentuk multikulturalisme tersebut, maka
Untuk menentukan bentuk multikulturalisme
implementasi kehidupan multikultural ternyata
Melayu di Riau bisa ditelusuri dari berbagai
memberi gambaran tentang kedewasaan suatu kultur,
macam multikulturalisme yang dikemukakan oleh
karena masing-masing kultur tidak memaksakan
ahli Multikulturalisme. Misalnya pemetaan yang
kultur lain harus melebur dengan kultur mereka demi
dilakukan Bikhu Parekh yang dikenal dengan lima
untuk menyeragamkan kultur atau menyeragamkan
macam multikulturalisme. Untuk memudahkan
kepercayaan. Karena bagaimanapun kepercayaan
memahami konsep ini, bisa dilihat pada skema di
dan keyakinan merupakan pilihan bebas dari masing-
bawah ini:
masing kultur. Jadi, keberagaman tidak perlu dicegah
atau dihapus melainkan dikelola secara bijaksana,
sehingga terjalin hubungan yang manusiawi dan

65
Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013

harmonis antar komunitas budaya. adil dan fair, sehingga menguntungkan bagi semua
orang yang terlibat dalam distribusi tersebut, baik
bagi mereka yang belum beruntung maupun yang
cara berada “ yang lain” (the others). Paradigma ini
telah beruntung. Distribusi nilai-nilai tersebut diatur
penekanannya bukan lagi pada komunitas-komunitas
berdasarkan kesepakatan semua pihak, sehingga
berhadapan dengan penguasa, akan tetapi sebagai
hasilnya akan fair dan tidak ada pihak yang dirugikan.
komunitas yang terbentuk sebagai kelompok-
Semua pihak memperoleh kebebasan dan kesetaraan,
kelompok swadaya masyarakat atau kelompok
karena mereka memiliki dua kekuatan moral yang
sub-sub kultur dari ragam etnik (cross cultural ), di
krusial, yaitu rasa keadilan dan kemampuan untuk
mana relasi antara kelompok-kelompok ini memakai
membentuk, merevisi, dan mencapai sebuah konsepsi
konsep “ dialogis” (Zakiyuddin Baidhawi, 2005: 2)
mengenai kebaikan John Rawls (2001: 66).
dan otherness (cara berada “ yang lain). Setiap kultur
berinteraksi tanpa harus menanggalkan identitas,
kekhasan dan keunikan dari masing-masing. Model berdasarkan konsep keadilan Rawls, dapat dikatakan
ini menurut Gadis Arivia (2005: 9-11) akan menjamin bahwa kultur Melayu–yang dalam teks sejarah dikenal
keutuhan kultur dan tidak dapat disentuh oleh sebagai kelompok masyarakat yang memiliki kekuatan
pemerintah yang umumnya lebih mengedepankan moral dan konsepsi mengenai kebaikan–akan lebih
monokulturalisme dan mengabaikan pluralitas dan berkembang konsep kebaikannya jika dipadukan
perbedaan kultur. Sikap penguasa yang mengambil dengan konsep multikulturalisme John Rawls.
“ jalan aman” dengan cara melakukan penyeragaman, Perpaduan konsep ini tentu masih harus dibincangkan
kemungkinan efektif pada masa tertentu, tetapi tidak secara serius, sehingga akan menemukan format yang
efektif untuk masa-masa selanjutnya, karena orientasi tepat bentuk multikulturalisme untuk wilayah kultur
pemahaman dan situasi kondisi kultur yang selalu melayu, karena akan ada konsekuensinya ketika
berubah dari masa ke masa. menerima kultur lain, misalnya terjadi perubahan
dalam tatanan hukum pada kultur Melayu dan adanya
Dengan demikian, multikulturalisme bukan hanya
perubahan dalam sikap dan cara berpikir (rasional
sebatas wacana, melainkan “ gerak” ideologi yang
dan metodologis). Namun, tetap mempertahankan
harus diperjuangkan. Multikulturalisme dibutuhkan
kekuatan jatidiri kultur Melayu dan kultur-kultur
sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi dan
lainnya yang ada di wilayah Melayu.
keadilan, sehingga terwujud kesejahteraan hidup bagi
masyarakat. Multikulturalisme yang terkait dengan Selain mengakui cara berada “ yang lain” , bisa
keadilan, secara luas dan mendalam dikemukakan juga dengan cara menjadikan diri seolah diperlakukan
oleh John Rawls dalam teorinya A Theor y of Justice. oleh orang lain. Misalnya, tatkala kultur Melayu
John Rawls (2001: 65) berpendapat bahwa subjek bisa diterima dengan baik oleh kultur lain ketika
primer keadilan adalah struktur dasar masyarakat. sedang berada di luar wilayah kultur Melayu, maka
Struktur dasar masyarakat yang dimaksudkan oleh seharusnyanya kultur Melayu juga harus menerima
Rawls adalah institusi-institusi ekonomi, sosial, dan dengan baik kultur lain di wilayah kultur Melayu.
politik dalam suatu negara atau wilayah. Struktur Sehingga, setiap individu dalam kelompok kultur apa
dasar tersebut sangat berpengaruh dalam hal pun, akan merasa sebagai manusia seutuhnya ketika
pendistribusikan nilai-nilai sosial pada masyarakat. tidak ada tekanan dan diskriminasi. Dengan demikian,
Adil atau tidak adilnya distribusi tersebut dipengaruhi setiap kelompok kultur hidup dengan identitas mereka
oleh kondisi dan Struktur dasar masyarakat tersebut. sendiri dan enjoy bersama kelompoknya. Sebagaimana
Oleh sebab itu, menurut Rawls, sebelum mengatur yang dikatakan oleh Isaiah Berlin (1991: 19-27)
skema distribusi nilai-nilai dalam masyarakat terlebih bahwa setiap manusia dalam hidupnya membutuhkan
dahulu harus diatur dan ditertibkan terlebih dahulu kelompok. Menjadi manusia berarti mampu merasa
Struktur Dasar masyarakat dalam suatu kultur. Ide at home di manapun mereka berada dengan caranya
pokok John Rawls adalah justice as fairness, yaitu sendiri. Bila orang Melayu berhasil menggunakan
teori keadilan yang memperhatikan kebebasan dan paradigma ini, berarti kultur Melayu telah berhasil
kesamaan pada semua individu dalam masyarakat, menangkap sinyal dalam mewujudkan harmonitas
serta mendukung distrubusi nilai-nilai sosial. Nilai- di wilayahnya. Dengan demikian, paradigma
nilai sosial menurutnya harus didistribusikan secara multikulturalisme telah dijadikan sebagai kebijakan

66
Rina Rehayati: Jati Diri Melayu dan Multikulturalisme: Kontekstualisasi Jati Diri Melayu di Era Global

politik dalam kultur melayu umtuk menjawab yang khusus membahas tentang bagaimana cara hidup
tantangan-tantangan kehidupan dalam keberagaman. bagi masyarakat yang multikultur. Kultur Melayu yang
Multikulturalisme sebenarnya bukan hanya sebagai terbiasa hidup dalam keberagaman bisa bercermin dari
konsep multikulturalisme, dengan tujuan selain untuk
gagasan abstrak untuk kultur, melainkan tindakan
melihat persamaan dan perbedaan multikultur pada
yang terukur dari moral integrity yang sesungguhnya kultur Melayu dengan multikultur pada negara lain juga
telah dimiliki oleh setiap kultur. sebagai upaya memperkuat jati diri Melayu di era global
saat ini.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau.
metode yang dikembangkan oleh Orang Melayu masa Utilitarian adalah teori Teleologis Universalis yang
lalu yang sedemikian kuat sehingga mampu memberi menilai benar salahnya suatu perbuatan manusia ditinjau
dari segi manfaat akibatnya. Dengan kata lain, perbuatan
identitas Melayu sebagai “ pembeda” dengan kultur
yang baik adalah perbuatan yang mendatangkan akibat-
lain adalah melalui bahasa simbol berupa pantun, akibat baik bagi kepentingan semua orang yang dapat
pepatah, gurindam sebagai “ bahasa halus” dalam kita pengaruhi. Misalnya: Berbohong perbuatan tidak
berkomunikasi, sehingga mudah diterima oleh kultur baik, tapi apabila tidak berbohong akibatnya lebih buruk,
lain. maka berbohong dalam konteks ini dianggap baik, karena
ada upaya untuk menghasilkan manfaat yang sebesar-
Metode yang digunakan oleh Orang Melayu besarnya dari akibat-akibat baik melalui berbohong.
(baca: cendekiawan Melayu masa lalu) tersebut Lihat: Juhaya S. Praja (2008: 64; Bertens, 1994: 246-
sangat cocok dengan konsep multikulturalisme 247).
yang secara sederhana dapat dipahami sebagai
pengakuan bahwa sebuah negara atau masyarakat itu simbol bagi orang Melayu untuk menyampaikan nilai-
beragam dan majemuk. Dapat pula dipahami sebagai
“ kepercayaan” kepada normalitas dan penerimaan yang sangat terkenal di dunia akademik adalah Gurindam
Dua Belas karya Raja Ali Haji. Seorang sastrawan dan
Pahlawan Nasional yang berasal dari Pulau Penyengat
ada cara berada “ yang lain” ( the other s), sehingga
Provinsi Kepulauan Riau.
melalui pembacaan peneliti tentang kultur Melayu
Multikulturalisme Butik” yang dimaksudkan
dan konsep multikulturalisme dapat dikatakan
oleh Stanley Fish adalah gejala yang ditandai dengan
bahwa bentuk multikulturalisme yang relevan untuk
kultur Melayu kontemporer adalah dengan integr asi Perbedaan yang terdapat dalam masyarakat multikultural
kultural, yakni dengan cara mengintegrasikan kultur- dirayakan dalam fashion-fashion, festival akhir pekan
kultur minoritas ke dalam kultur Melayu yang dan restoran etnik. Namun, di balik itu tetap saja ada
mayoritas, sehingga akan terbentuk kultur baru, tanpa persoalan yang tidak terselesaikan. Penghargaan terhadap
meleburkan dan menghilangkan identitas masing- pluralitas dan multikultural hanya sebatas tontonan yang
masing kultur tersebut. Kultur Melayu dan kultur eksotik. Lihat: B. Hari Juliawan (2004: 9).
lain tetap eksis dengan ciri khasnya masing-masing.
Bentuk ini biasanya dikenal dengan salad bowl. ketidakadilan, kemiskinan, penindasan, dan
keterbelakangan kelompok-kelompok minoritas dalam
berbagai bidang, seperti: sosial, budaya, ekonomi,
Catatan: (Endnotes) pendidikan dan sebagainya. Paradigma seperti ini
kemudian memunculkan kajian ethnic studies. Tujuannya
terkait dengan melayu sebagai etnis dan Melayu untuk mencapai pemberdayaan (empowerment) bagi
kelompok-kelompok minoritas.
kesalahpahaman, maka penulis membatasi bahwa yang
dimaksud Melayu dalam tulisan ini untuk menyebut Daftar Referensi
Orang Melayu khusus di Provinsi Riau (etnis dan
prototype Orang Melayu di Indonesia. A. Alois Nugroho. “ Benturan Peradaban,
Penulis menggunakan istilah Orang Melayu bagi Multikulturalisme dan Fungsi Rasio” . Makalah.
Orang Melayu Riau meminjam istilah yang sering juga
digunakan oleh tokoh Melayu Riau dalam karya-karya Abdul Kadir Ibrahim (penanggung jawab). (2004).
mereka, seperti: Tenas Efendi, UU Hamidy, Isjoni Tanjung Pinang: RBM.
dan Soewardi MS. Adapun multikulturalisme dalam
Achmad Syauqi Ngainun Naim. (2008). Pendidikan

67
Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013

Multikultural: Konsep dan Aplikasi. Yogyakarta: Gadis Arivia. (2005). “ Multikulturalisme: Re-
Ar-Ruzz Media. Imagining Agama” . : Jurnal Kajian
Agama dan Filsafat. Vol. VIII, no. 1, 2005.
Agus Salim. (2002). Perubahan Sosial: Sketsa
Geertz, Clifford. (1960). The Religion of Java. New
Yogyakarta: Tiara Wacana. York: The Free Press.
Ainul M. Yaqin. (2007). Pendidikan Multikultur al. -------. (1992). Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta:
Cet. II. Yogyakarta: Pilar Media. Kanisius.

Andre Ata Ujan (ed.). (2009). Multikulturalisme: H.A.R. Tilaar. (2004). Multikulturalisme: Tantangan
Belajar Hidup Bersama dalam Per bedaan Global Masa Depan dalam Tr ansformasi
Jakarta: PT. Indetz. Pendidikan Nasional. Jakarta: Gramedia
Widiasarana Indonesia.
Andrik Purwasito. (2003). Komunikasi Multikultur al.
Hari B. Juliawan. (2004). “ Kutukan Menara Babel”
Surakarta: Muhammadiyah University Press.
dalam Basis, No. 01-02, tahun ke-53, Januari-
Andy Dermawan. (2009). Dialektika Islam dan Februari, 2004.
Multikulturalisme di Indonesia. Yogyakarta: PT.
Heddy Shri Ahimsa-Putra. (2001). Strukturalisme
Kurnia Alam Semesta.
Levy Str auss, Mitos dan Kar ya Sastra.
Azyumardi Azra. (2001). Merawat Kemajemukan, Yogyakarta: Bentang Budi.
Merawat Indonesia. cet. Ke-5. Yogyakarta: ------- (ed.). (2007). Masyar akat Melayu dan Budaya
Kanisius. Melayu dalam Perubahan,Yogyakarta: Balai
Badcock, R. Christopher. (2008). Levi Strauss: Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu.
Stucturalism and Sociological Theory. Heddi -------. (2008) Kata Pengantar dalam buku Christoper
Shri Ahimsa Putra (pen.), Strukturalisme dan R. Badcock. Levi-Str auss:Stucturalism and
Teor i Sosiologi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sociological Theory, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bauman, Gerd. (1999). The Multicultural Riddle; Hefner, Robert W. (ed.). (2011). Politik
Rethinking National, Ethnic, and Religious Multikulturalisme: Menggugat Realitas
Identities.New York: Routledge. Kebangsaan. Cet. Ke-5. Yogyakarta: Kanisius.
Budhy Munawar Rachman (Penyunting). (2006). Hinnells, John R. (1995). The Penguin Dictionar y of
Ensiklopedi Nurcholish Madjid. Vol. 4. Jakarta: Religions. London: Penguin Books.
Mizan. Hornby, AS. (1980). Oxford Advanced Lear ner s
Choirul Mahfud. (2009). Pendidikan Multikultural. Dictionar y of Current English. Third Edition.
Cet. Ke-3. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Oxford University Press.
Collins, T. James. (2011). Bahasa Melayu Bahasa http://www.scribd.com/doc.26994716/konsep-kuasa-
Dunia: Sejar ah singkat. Jakarta: Yayasan Pustaka Michel, diakses tanggal 20 Februari 2010.
Obor Indonesia. http://www.scribd.com/bahan-sejarah-teori, diakses
Durkheim, Emile. (1976). The Elementary Form of tanggal 7 April 2010.
Religion Life, London: George Allen dan Unwin Isjoni. (2002). Orang Melayu: Sejarah, Sistem,
Ltd. Norma dan Nilai Adat. Pekanbaru: UNRI Press.
-------. (2005). The Elementar y Forms of the Religious -------. (2007). Orang Melayu di Zaman yang
Life. terj. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Berubah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
IRCiSoD. Ismail Husein. (2001). Tamadun Melayu:
Eriyanto. (2001). Analisis Wacana. Yogyakarta: L kiS. Menyongsong Abad Kedua Puluh Satu. Bangi:
University Kebangsaan Malaysia.
Esposito, John L. (1995). The Oxford Encyclopedia of
the Moder n Islamic World. Vol. 2 & 4. New York: Jary, David and Julia Jary. (t.th.). The Harper Collins
Oxford University Press. Dictionary of Sociology. New York: Harper
Collins Publishers.

68
Rina Rehayati: Jati Diri Melayu dan Multikulturalisme: Kontekstualisasi Jati Diri Melayu di Era Global

Jones, PIP. (2009). Pengantar Teori-Teor i Sosial. Nottingham, Elizabet K. (1997). Agama dan
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press.
Khadziq. (2009). Islam dan Budaya Lokal: Belajar Nur Syam. (2005). Islam Pesisir . Yogyakarta: L kiS.
Memahami Realitas Agama dalam Masyarakat.
-------. (2009). Tantangan Multikultur alisme
Yogyakarta: Teras.
Indonesia: dari Radikalisme Menuju
Komaruddin Hidayat. (2008). Islam Kebangsaan dan Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius.
Kemerdekaan Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.
Pals, Daniel L. (2001). Seven Theories of Religion. Ali
Kuhn, Thomas S. (1989). Noer Zaman (pen), cet. 1. Yogyakarta: Qalam.
Revolutions. Tjun Surjaman (pen.), Peran
Parekh, Bikhu. (2000). Rethinking Multicultur alism:
Par adigma dalam Revolusi Sains. Bandung:
Cultural Diversity and Political Theory.
Remaja karya Offset.
Massachussetts: Harvard University Press.
Kurzweil, Edith. (2004). The Age of Structur alism,
Parsudi Suparlan. (1995). Orang Sakai di Riau:
Levi-Str auss to Foucault. Diterjemahkan
Masyarakat Ter asing dalam Masyarakat
oleh Nurhadi. Jar ing Kuasa Strukturalisme
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Strukturalisme: Dar i Claude Levi-Strauss sampai
Foucault. Yogyakarta: Kreasi Wacana. -------. (2004). “ Masyarakat Majemuk, Masyarakat
Multikultural dan Minoritas” , Makalah,
Kymlicka, Will. (1990). Contemporar y Political
dipresentasikan dalam Workshop Yayasan
Philosophy: an Introduction. New York: Oxford
Interseksi, Hak-hak Minoritas dalam Landscape
University.
Multikultural, Mungkinkah di Indonesia? Wisma
-------. (2002). Multicultural Citizenship. alih bahasa PKBI, 10 Agustus 2004.Pemprov Riau. (2006).
oleh F. Budi Hardiman. Kewargaan Multikultural.
Jakarta: Pustaka LP3ES.
Rawls, John. (2001). A Theory of Justice. revised
Lash, Scott . (2004). The Sociology of Postmoder n, edition. Harvard University Press.
alih bahasa A. Gunawan Admiranto. Sosiologi
Rida Ahida (2008). Keadilan Multikultur al. Jakarta:
PostModern. Yogyakarta: Kanisius.
Ciputat Press.
Ritzer, George, et.al. (2010). Sociological Theory.
Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” . Jur nal
Nurhadi (pen.), Teor i Sosiologi : dari Teori
Par amadina. Volume I Nomor 1, Juli–Desember
Klasik Sampai Perkembanagn Mutakhir Teori
1998.
Postmodern. cet. IV. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
MA. Siregar. (t.th.). Kamus Lengkap Indonesia-
Runes, Dagobert D. (1962). Dictionary of Philosophy.
Inggr is. T.tp.: t.p.
New Jersey:
M.S. Kaelan. (2005). Metode Penelitian Kualitatif
Smith, Jonathan Z. (ed.). (1995). The Harpercollins
Bidang Filsafat. Cet. Ke-1. Yogyakarta:
Dictionary of Religion. San Francisco: Herper
Paradigma.
SanFrancisco.
Moeslim Abdurrahman. (2007). Kr isis Sosial, Kr isis
Sutrisno, et.al. (2005). Sejarah Filsafat Nusantara.
Politik, Krisis Bangsa Majemuk: Beber apa
Yogyakarta.
Yogyakarta: Impulse.
Suwardi MS. (2008). Dari Melayu ke Indonesia:
Monk, Robert C. Dkk. (1979). Exploring Religious
Peranan Kebudayaan Melayu dalam
Meaning. London: Prentice Hall International,
Memperkokoh Identitas dan Jati Diri Bangsa.
Inc.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Moodod, Tariq. (2007). Multikulturalism: A Civic
Thwaites, Tony, et.al. (2009). Introducing Cultural
Idea. USA: Polity Press.
and Media Studies: Sebuah Pendekatan Semiotik.
Nasrul Azwar. (2007). “ Mengintip Visi Riau 2020” . Yogyakarta: Jalasutra.
Kompas. 30 Oktober 2007

69
Toleransi, Vol. 5 No. 1 Januari – Juni 2013

Tibi, Bassam. (1999). Islam Kebudayaan dan


Perubahan Sosial . Yogyakarta: Tiara Wacana.
Tim Peneliti UNRI. (2005). Budaya Tradisional Riau.
Pekanbaru: UNRI.
UU. Hamidy. (1993). Ker ukunan Hidup Beragama di
Daer ah Riau. Pekanbaru: UIR Press.
-------. (1998) Teks dan Pengar ang di Riau Pekanbaru:
UNRI Press.
-------. (t.th.) Orang Melayu di Riau. Pekanbaru: UIR
Press.
-------. (2002). Riau Doeloe-Kini dan Bayangan Masa
Depan. Pekanbaru: UIR Press.
-------. (2003). Riau Sebagai Pusat Bahasa dan
Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: UNRI Press.
-------. (2004). Good Gover nance dalam Perspektif
Budaya Melayu. Riau: Pemprov Riau.
“ Visi Riau 2020; Pusat Kebudayaan Melayu” ,
Kompas, Jumat, 25 Mei 2001.
Yusmar Yusuf. (2009). Studi Melayu. Jakarta:
Wedatama Widya Sastra.
Zakiyuddin Baidhawiy. (t.th.). Pendidikan Agama
Berwawasan Multikultur al. Jakarta: Erlangga.

70

Anda mungkin juga menyukai