Anda di halaman 1dari 17

A.

Masa klasik

Permulaan dari hukum internasional, dapat kita lacak kembali wilayah Mesopotamia pada sekitar
tahun 2100 SM. Di mana telah ditemukannya sebuah perjanjian pada dasawarsa abad ke- 20 yang
ditandatangani oleh Ennamatum, pemimpin Lagash, dan pemimpin Umma. Perjanjian tersebut
ditulis di atas batu yang di dalamnya mempersoalkan perbatasan antara kedua, negara kota
tersebut. Perjanjian tersebut dirumuskan dalam bahasa Sumeria. perjanjian-perjanjian yang
berkarakter internasional lainnya dapat ditemukan misalnya dalam perjanjian yang dibuat seribu
tahun berikutnya oleh Ramses II dari Mesir dan raja Hittites yang ditujukan sebagai pernyataan
aliansi. raja Hittites pun dalam hukumnya memiliki referensi atas pentingnya deklarasi formal bagi
diberlakukannya sebuah keadaan perang. Tidak ketinggalan Hammurabi, raja Babilon pun dalam
hukum yang terkenal sebagai Kode Hammurabi memuat ketentuan mengenai pembebasan tawanan
perang lengkap dengan persoalan pembayaran tebusannya. Nilai-nilai kemanusiaan dalam hukum
internasional mulai merasuk melalui tindakan Cyrus, raja Persia, yang menuntut prajurit musuh yang
terluka harus mendapatkan perlakuan manusiawi sebagaimana yang diterima oleh prajuritnya
sendiri.

Selanjutnya, dengan kemunculan monoteisme, perlu diberikan perhatian terhadap sumbangan


ajaran agama monoteisme tertua, yakni Yahudi dengan deuteronomi-nya yang dapat dikatakan
sebagai hukum terlengkap pada masanya. Di dalamnya meliputi hukum perang,menurut hukum
Yahudi pembunuhan terhadap anak dan wanita dilarang dalam peperangan. Bangsa Israel dengan
menggunakan landasan agama sebagai dasar bagi pengaturan mengenai tindak perang dan etika
universal, misalnya memiliki pengaruh sangat kuat terhadap perkembangan umat manusia
berikutnya. Sejak Nabi Isa telah mengharuskan menepati janji bahkan dengan pihak musuh
sekalipun. Singkatnya, keadilan sosial dan perdamaian merupakan kunci dalam kehidupan umat
manusia.Bangsa-bangsa lain yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional
kuno adalah bangsa India, Yunani dan China. Ajaran-ajaran Hindu, dengan kitab-nya Manu,
menunjukkan pengintegrasian nilai-nilai yang memiliki derajat kemanusiaan yang tinggi. Hal ini
ditunjukkan oleh penekanan pada moralitas dan kebajikan. Sementara China memperkenalkan
pentingnya nilai-nilai etika dalam proses pembelajaran untuk kelompok-kelompok yang berkuasa.
Lebih signifikan dari itu adalah pencapaian yang dimiliki China dalam kaitannya dengan
pembentukan sistem kekuasaan negara bersifat regional tributary State. Pencapaian lain yang
menarik dari bangsa China adalah upaya pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok
dicanangkan oleh Kong Hu Cu, yang bisa dianggap telah sebanding dengan konsepsi Liga Bangsa-
Bangsa (LBB) pada masa modern Dalam praktek hubungan dengan negara luar, Yunani Kuno
memiliki sumbangan yang sangat mengesankan dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan publik.
Akan tetapi, sebuah hal yang sangat aneh, bagi sistem arbitrase moderm, yang dimiliki oleh arbitrase
Yunani adalah kelayakan bagi seorang arbitrator untuk mendapatkan hadiah dari pihak yang
dimenangkannya. Secara keseluruhan sumbangan Yunani terhadap hukum internasional tidak begitu
signifikan. Sangat kecilnya negara tersebut dalam berinteraksi dengan negara lain merupakan salah
satu kelemahan penting. Mungkin juga hal ini disebabkan karena adanya anggapan bahwa orang
Yunani sendiri merasa sebagai bangsa Suporior. Sedangkan bangsa lain ditakdirkan untuk menjadi
budak mereka. Sehingga, tidak mengherankan apabila pandangan dari orang terpelajar Yunani
seperti Aristoteles, menyatakan apabila perang melawan orang yang tidak mau tunduk sama halnya
dengan perang yang “benar menurut kodrat”. Akan tetapi, Yunani walupun tidak memiliki
perjanjian-perjanjian dengan negara-negara lain, Yunani sering memberikan hak-hak yang sama atau
memberikan perlindungan terhadap warga lain. Mungkin hal ini sebagai bukti betapa kuatnya
pengaruh dari paham hukum alam Sumbangan lain yang dihasilkan oleh Yunani kuno ialah dalam
bidang pemikiran, terutama pemikiran Aristoteles, yang kemudian menjadi basis bagi kelompok
hukum alam. Pemikiran Aristoteles ini mengasumsikan akan adanya sebuah hukum alam yang di luar
jangkauan manusia yang dapat berlaku secara universal. Kemudian pemikiran ini diambil alih oleh
kelompok Stoa dengan dengan Zeno sebagai tokoh utamanya. Pemahaman kelompok Stoa ini sangat
maju sebab ditandai dengan anggapan bahwa adanya dunia ini merupakan sebuah dunia yang satu
(kosmopolis) yang diatur oleh sebuah hukum alam yang sama. Cicero, seorang ahli hukum Romawi,
meneruskan tradisi hukum alam dengan berpegangan pada keyakinan bahwa hukum alam tersebut
di seluruh komunitas manusia, tidak berubah, dan abadi. Bangsa Romawi memiliki sumbangan yang
cukup signifikan bagi perkembangan hukum internasional yang dapat digunakan dalam penggunaan
istilah jus gentium yang terus berlanjut sampai abad pertengahan. Kontribusi Romawi tersebut jelas
dengan adanya istilah antara jus naturale dan jus gentium. Jus gentium hukum masyarakat)
menunjuk pada hukum yang merupakan sub sari hukum alam (Gus naturale). Kemudian pengertian
jus gentium hanya dapat dikaitkan dengan dunia manusia, sedangkan hukum alam meliputi seluruh
fenomena alam. Selain itu bangsa Romawi memberikan sumbangan yang luar biasa bagi
perkembangan hukum secara umum. Sumbangan tersebut dapat dikemukakan misalnya dengan
adanya kompilasi hukum Romawi yang dikenal sebagai corpus juris civilis pada masa Kaisar
Justisianus.

Bangsa Romawi dalam pembentukan perjanjian-perjanjian dan perang diatur melalui tata cara yang
berdasar pada upacara keagamaan. Sekelompok pendeta-pendeta istimewa, fetales, tergabung
dalam sebuah dewan yang bernama collegium fetialium yang ditujukan bagi kegiatan-kegiatan yang
terkait secara khusus dengan upacara-upacara keagamaan dengan relasi-relasi internasional.
Sedangkan tugas-tugas fetiales dalam kaitannya dengan pernyataan perang, merekalah yang
menyatakan apakah suatu bangsa (asing) telah melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-
hak bangsa Romawi. Atas adanya bukti pelanggaran peperangan menjadi tindakan yang dibenarkan.
Pada masa ini pun lahir konsep perang adil dan suci (bellum justum et pium), sebagai perang yang
telah memenuhi syarat-syarat yang terdpat dalam hukum Romawi. Perjanjian-perjanjian yang dibuat
oleh Romawi lebih banyak dihasilkan pada masa Republik. Akan tetapi, oleh Nussbaum dinyatakan
secara kasar mengakui bahwa kebanyakan perjanjian-perjanjian mencerminkan metode-metode
ekspansi politik dari Romawi.

Praktek praktek yang menarik dalam hubungan internasional yang masih berbekas sampai saat ini
adalah mereka telah mengenal akan perbedaan antara penandatanganan dan ratifikasi perjanjian.
Disamping itu, mereka juga mengakui kekebalan dan keistimewaan diplomatik bagi duta/perwakilan
asing. Meskipun Romawi menganggap orang asing berada di luar jangkauan hukum Romawi, namun
dalam kenyataannya mereka tidak memperlakukannya secara diskriminatif. Berbeda halnya dengan
perlakuan yang diberikan oleh orang Yunani terhadap orang asing.

B. Masa Pertengahan

Pada masa ini hukum alam mengalami transformasi di bawah bendera Gereja Katolik. Kelompok
rasionalis yang diwakili oleh Thomas Aquinas, beranggapan bahwa hukum alam dapat digali oleh
rasio manusia. Pada masa ini pemahaman terhadap hukum alam meluas meliputi kehidupan alam
dan sosial serta segala hal di luar itu -mulai dari pergerakan bintang sampai tindak-tanduk semua
makhluk--, termasuk malaikat.

Dalam kaitannya dengan hukum internasional pada saat ini tidak mendapatkan sentuhan sama
sekali, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran- Peran keagamaan secara berlebihan
mendominasi sektor-sektor sekular. Kemunduran luar biasa ini berakibat pada terpinggirkannya
rasio. Karena itu tidak mengherankan apabila abad pertengahan disebut sebagai masa

kegelapan (the dark age). Pada masa ini pun muncul kembali apa yang dikenal sebagai perang adil.
Konsep ini semula berasal dari Romawi yang pada masa ini mendapatkan sentuhan dari ajaran
agama Kristen. Dalam ajaran aslinya tidak dibenarkan peperangan diperlakukan sebagai jalan keluar,
sebab ajaran Kristen sangat menekankan pada kasih. Konsepsi perang adil muncul ketika perdebatan
mengenai apakah seorang umat Kristiani diperbolehkan untuk ambil bagian dalam perang yang jelas-
jelas bertolak belakang dengan ajaran yang dikandung oleh Alkitab Injil. Sebagai jalan tengah maka
dimunculkanlah konsep perang adil, yakni perang yang sesuai dengan ajaran Kristen. Perang adil
tersebut harus bertujuan untuk melakukan tindakan yang motifnya tidak bertentangan dengan
semangat ajaran agama tersebut, yakni atas dasar demi cinta kepada nilai-nilai kemanusiaan.
Elaborasi mengenai perang mendapatkan tempat yang sentral dalam polemik para teoris hukum
internasional pada abad kegelapan. Pada umumnya isu perang tersebut harus diperlakukan sebagai
persoalan sekuLar. Sebagai contoh Bartolo dari Sassoferrato seorang ahli hukum dari Italia, yang
menulis mengenai tindakan balas yang tak seimbang (reprisals). Contoh lain adalah penulisan
mengenai hukum perang yang dilakukan oleh John dari Lenagno Dan munculnya buku yang sangat
berpengaruh, yakni The Tree of Battles pada tahun 1380, yang ditulis oleh Honore de Bonet,
Kenamaan pada masa kegelapan.

Benih-benih perkembangan hukum internasional dapat ditemukan di daerah-daerah yang berada di


luar jangkauan kekuasaan Gereja Roma. Negara-negara ini antara lain Inggris, Perancis, Venesia,
Swedia, Portugal, dan Aragon. Perjanjian-perjanjian pada zaman ini mencerminkan semangat
jamannya yakni mengatur tentang peperangan. Persoalan-persoalan penting lainnya antara lain
meliputi perdamaian, gencatan senjata, netralitas, dan persekutuan-pesekutuan. Melemahnya
kekuasaan keagamaan ditandai dengan maraknya upaya-upaya sekularisasi yang tidak terlepas dari
proses terbentuknya negara-negara banga Modern yang mendasarkan kekuasaannya pada legitimasi
faktor-faktor sekular. Keadaan ini dapat tercermin dengan jelas dalam tulisan Machiavelli yang
berjudul II Principe yang secara kontroversional menelanjangi kekuasaan, dan pemikiran tokoh
reformasi Martin Luther van yang mengingginkan adanya pemisahan kekuasaan, di satu sisi wilayah
spiritual dengan sekular di sisi lain.

Pengaruh luar biasa terhadap sekulafrisasi hukum internasional yang bersifat terus-menerus adalah
karya penulis Perancis, Jean Bodin, berjudul Six Livres de la Republique; yang terbit pada tahun 1576.
Dalam buku tersebut Bodin berkeyakinan bahwa sebuah kedaulatan atau kekuasaan untuk
pembentukan hukum merupakan hal yang mutlak bagi lahirnya sesuatu entitas untuk dikatakan
sebagai sebuah negara. Akan tetapi, paham kedaulatan tersebut pada masa modern mendapatkan
tempatnya pada argumen dari negara-negara yang terpojokkan untuk membela diri. Tidak luput dari
itu, Hugo de Groot, ahli hukum Belanda, juga melakukan gerakan sekularisasi terhadap hukum
internasional. Bahkan di kemudian hari de Grotius ini dinobatkan sebagai bapak hukum internasional
Sejak akhir abad pertengahan hukum internasional digunakan dalam isu-isu politik, pertahanan dan
militer. Hukum mengenai pengambil-alihan wilayah menjadi sangat penting, karena berkaitan
dengan eksplorasi besar-besaran yang dilakukan oleh Eropa terhadap Afrika dan benua baru,
Amerika. Salah satu sarjana hukum internasional awal adalah Francisco de Victoria, yang
memberikan serangkaian kuliah di Universitas Salamanca, Spanyol, bertujuan untuk menjustitikasi
praktek penaklukan Spanyol. Sebelumnya di akhir abad empat belas, seorang penulis dari Italia
Alberico Gentilli menghasilkan sebuah studi yang sistematik mengenai hukum perang doktrin perang
adil, dan beberapa persoalan yang muncul daripelaksanaan peperangan. Di samping itu, Gentilli
dengan karya utamanya yang berjudul De jure Belli Libri Tres yang muncul pada tahun 1598, yang
juga merupakan seorang profesor hukum sipil di Oxford, Inggris, mengabdikan dirinya pada
persoalan-persoalan yang terkait dengan pembentukan perjanjian, penggunaan kekerasan, hak-hak
budak dan kebebasan di laut.

C. Hukum Internasional Islam

Samual Huntington merupakan seorang pemerhati perkembangan Islam yang mengangkat isu akan
terjadinya clash of civilization, antara peradaban Islam dan dunia Barat. Prediksi Huntington tersebut
dapat diragukan dengan menggunakan beberapa alasan. Salah satu alasan adalah makin
terintegrasinya nilai-nilai modern di negara-negara Muslim. Hal ini tercermin dalam hukum
internasional, bila ditinjau dari aspek sejarah hukum internasional menunjukkan bahwa Islam telah
memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap perkembangan hukum internasional.
Kontribusi ini tentu saja tidak sekedar bersifat teoritis belaka, melainkan juga dalam dimensi praktis
hubungan antara negara-negara Islam termasuk organisasinya dengan negara-negara Barat lainnya.
Pada saat ini umat Islam terbagi-bagi pada beberapa negara-bangsa, sehingga tidak
dimungkinkannya untuk menyatakan suatu pandangan Islam yang dapat mewakili semua kelompok
yang terdapat di dalamnya. Beberapa Sarjana memiliki anggapan bahwa apabila hukum
internasional modern tidak murni sebagai hukum yang secara eksklusif warisan dari Eropa. Sehingga
mereka berkesimpulan akan terdapatnya pengaruh-pengaruh yang indispensable dari peradaban-
peradaban lain, yang di antaranya peradaban Islam, yang pada saat itu merupakan kekuatan
ekonomi di atas bangsa Eropa. Pengaruh Islam terhadap sistem hukum internasional Eropa
dinyatakan oleh beberapa sejarawan Eropa, di antaranya Marcel Boissard dan Theodor Landschdeit.

Sementara dalam hubungan internasional, Islam secara umum Dr. M Abu Zahralho mengemukakan
sepuluh prinsip dasar tentang kelangsungan hubungan internasional dalam teori dan praktek kaum
Muslimin di masa lalu, yaitu:

(1) Islam menempatkan kehormatan dan martabat manusia sebagai makhluk terhormat. la sebagai
khalifah di muka bumi

(2) manusia sebagai umat yang satu dan disatukan, bukan saja oleh proses teori evolusi historis dari
satu keturunan Nabi Adam, melainkan juga oleh sifat kemudiaan yang universal

(3) prinsip kerjasama kemanusiaan (ta’awun insani) dengan menjunjung tinggi kebenaran dan
keadilaan.

(4) prinsip toleransi (tashomah) dan tidak merendahkan pihak lain.

(5) adanya kemerdekaan (harriyah). Kemerdekaan menjadi sangat penting sebab merupakan akar
pertumbuhan dan kesempurnaan manusia

(6) akhlak yang mulia dan keadilan

(7) perlakuan yang sama dan anti diskriminasi

(8) pemenuhan atas janji

(9) Islam menyeru kepada perdamaian, karena itu harus mematuhi kesepakatan merupakan
kewajiban hukum dan agama.

(10) prinsip kasih sayang dan mencegah kerusakan

Dalam tataran praktis, menurut para pendukung paham akan terdapatnya aspek Islami dalam
hukum internasional dapat kita temukan dalam prinsip non-diskriminatif terhadap non-Muslain yang
telah diinkorporasikan ke dalam Las Siete Partidas, kodifikasi hukum yang dibuat di bawah patronase
Raja Kastilia Alphonse x. Selain itu, tulisan Grotius atau Hugo de Groot pun mungkin sangat
terpengaruh oleh hukum Islam yang disebabkan karena bapak hukum internasional itu sendiri
memiliki pemahaman hukum Islam yang sangat baik. Di sisi lain, yang sangat mengembirakan pada
saat ini adalah telah dimulainya untuk membuat hukum internasional sebagai hukum universal,
salah satunya upaya-upaya untuk melakukan kodifikasi, makin memperkuat bukti akan pernyataan
law in large has a certain unity, and no body of law is an island complete into it self.

Hukum internasional Islam sebagaimana diakui oleh pakar Hukum Internasional Islam Modern,
Madjid Khadduri, Islam memiliki karakter agresif dengan lebih mengarah pada penaklukan
dibandingkan Kristen, sebagaimana tercantum dalam Wasiat Lama ataupun Baru. Akan tetapi, hal ini
menunjukkan kelebihan dari Hukum Islam yang dalam hal pengaturan mengenai hukum perang lebih
komprehensif, yang dibuktikan dengan pengecualian wanita, anak-anak, orang tua, lingkungan
sebagai kategori non-combatants sebagaimana dinyatakan dalam pidato dari Abu Bakar. Ataupun
praktek pertukaran tawanan secara besar-besaran yang diduga bermula dari Khalifah Harus al-
Rasyid.

Pengertian hukum internasional dalam Islam mendapatkan bandingannya dalam konsepsi siyar, yang
mana merupakan cabang dari shariah. Tetapi pengertian siyar memiliki cakupan pengertian yang
unik. Keunikan yang dikandung oleh siyar dapat ditemukan dalam perlakuan yang membedakan
antara hubungan negara Muslim dan Non-Muslim. Di samping itu, juga meliputi hubungan antara
negara-negara Muslim itu sendiri. Yang terakhir ini dikelompokkan pada hubungan antar negara-
negara Muslim, yang didasarkan pada ummah dan solidaritas sebagai sesama Muslim. Setidak-
tidaknya kontribusi Islam dapat dibuktikan melalui teori dan rumusan konsep pengelompokan
negara dalam keadaan perang dan damai. Dalam konsepsi siyar terdapat beberapa kelompok:
negara Islam (darul Islam), negara Islam yang ada dalam kekuasaan negara non-Islam (darul harb),
dan negara dalam keadaan perjanjian (darul ahd). Di samping itu, konsep kedaulatan dalam siyar
terkait dengan sumber klasik Islam, yaitu dari Ad-Daulat dan sikap netralitas dari satu negara Islam
terhadap dua negara yang sedang berperang

siyar memiliki sumber-sumber tambahan, di samping sumber-sumber yang telah menjadi sumber-
sumber shari’ah seperti Al-Quran dan As-Sunnah, yang diantaranya adalah praktek-praktek Empat
Khalifah pertama yang diklaim oleh para ahli hukum Islam dapat melengkapi Al-Quran. Kemudian,
sumber-sumber di atas dikelompokkan ke dalam sumber-sumber utama. Sedangkan praktek-
praktek yang dilakukan oleh para pimpinan Umat Islam sesudahnya (para Wali Allah dan ijma’
Ulama) diakui dalam hal ketiadaan pertentangan dengan sumber-sumber utama.

Sumber-sumber tambahan jauh melampaui sumber-sumber yang dikenal dalam shariah. Sumber-
sumber ini di antaranya adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat antara pimpinn-pimpinn Islam dan
non-Islam, Instruksi-instruksi resmi yang diberikan oleh Khalifah kepada para pejabat di bawahnya,
pendapat-pendapat Sarjana Hukum Islam, putusan arbitrase, hukum nasional yang terkait dengan
materi siyar dan deklarasi unilateral yang terkait dengan siyar, dan arena sumber-sumber ini
memiliki kemiripan dengan sumber-sumber hukum yang didaftar dalam Statuta ICJ maka beberapa
sarjana Muslim beranggapan bahwa dalam kedua hukum tersebut tak terdapat pertentangan.

Kontribusi lain yang lebih praktis, yaitu tumbuhnya negara- negara Muslim sekitar pertengahan abad
ke dua puluhan, terutama sejak dideklarasikannya Sepuluh Dasa Sila Bandung. Hasil Konferensi Asia
Afrika di Bandung tahun 1955. Banyak negara di belahan benua Afrika yang pada akhirnya
melepaskan diri dari penjajahan dan merdeka. Dua puluh tahun kemudian, yaitu sekitar tahun 1973,
negara-negara Islam sepakat untuk mendirikan Organisasi dunia yang dinamakan Organisasi
Konferensi Islam Internasional atau OKI. Soekarno, Gamal Abdul Natsir, telah memaiankan peranan
penting dalam pembentukan OKI tersebut.

D. Hukum Internasional Modern

Pada abad ketujuhbelas dan delapanbelas,tercatat sebagai semangat baru memasuki era tumbuhnya
hukum internasional. Hugo de Groot atau Grotius, pakar hukum dari Belanda merupakan orang yang
paling berpengaruh atas perkembangan hukum internasional modern. Buku Grotius yang berjudul
on the Law of War and Peace ( de jure belli ac pacis) yang diterbitkan di Paris 1625, merupakan buku
yang sangat tebal dan seseorang dapat menghabiskan waktu seumur hidupnya untuk
mempelajarinya. Di sisi lain Grotius dianggap sebagai orang yang paling berjasa dalam upaya
skularisasi hukum internasional yang tercermin dalam Bab Pendahuluan ( Preamble) bukunya yang
menyatakan bahwa hukum alam akan tetap sama walaupun Tuhan tidak ada

Sumbangan pemikiran Grotius sangat berbekas pada perkembangan hukum internasional


selanjutnya. Dalam pemikirannya, ia menekankan perbedaan antara hukum bangsa-bangsa dan
hukum alam. Akan tetapi, hukum bangsa-bangsa dianggapnya sebagai bagian dari hukum alam.
Meskipun demikian, hukum bangsa-bangsa berdiri sendiri dan mendapatkan kekuatan mengikatnya
berasal dari kehendak negara-negara itu sendiri. Menurut Grotius, hukum ini tidak terkait dengan
persoalan-persoalan yang di luar jangkauan seperti keadaan pikiran, namun hanya mengikat sikap
luar dari negara-negara dan pemimpinnya?

Penulis lain, yakni Samuel Pufendolf dalam karyanya De Jure Nature et Gentium menyatakan
pandangannya bahwa hukum internasional dibentuk atas dasar hak-hak alamiah universal, dan
beranggapan bahwa perang sebagai alat yang hanya dapat disahkan setelah melengkapi syarat-
syarat yang sangat ketat. Dengan kata lain perang hanya dapat dilakukan dalam hal hukum alam
telah dilanggar. Di samping itu, menurut Stephen C. Neff, secara insidental pula Pufendolf menjabat
sebagai ketua akademik dalam hukum alam dan bangsa-bangsa di Universitas Heidelberg pada tahun
1660.

Pendekatan yang sama sekali bertentangan dengan yang dimiliki Pufendolf adalah Ricahrd Zouche,
sama-sama menjabat profesor hukum sipil di Oxford, sebagaimana Gentilli. Zouche merupakan
perintis dari paham positivisme yang ditandai dengan ketidak peduliannya terhadap doktrin-doktrin
tradisional. la lebih memberikan perhatian terhadap hukum internasional dalam keadaan damai (law
of peace) dibanding pada hukum perang. Penerus Zouche dapat kita lihat pada Cornelis van
Bynkershoek yang menekankan pada pentingnya kebiasaan atau actual practice dari negara-negara
dibanding pada hukum alam. Sumbangan yang besar diberikan oleh Bynkershoek adalah teori
mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki oleh negara-negara netral. Positivisme
berkembang sejalan dengan makin jelasnya bentuk negara-negara bangsa yang bergandengan
dengan teori kedaulatan yang dikemukakan oleh Jean Bodin dan Thomas Hobbes. Teori ini
dikembangkan oleh Emerich de Vattel yang memperkenalkan prinsip persaman antara negara-
negara. Sementara doktrin hukum alam melengkapinya dengan memberikan justifikasi bagi
keabsolutan sifat kedaulatan itu sendiri. Hukum bangsa-bangsa mulai mendapatkan pengertian yang
jelas yakni hukum yang secara eksklusif mengatur hubungan-hubungan antar negara-negara. Pada
akhir abad ke-18 hukum bangsa-bangsa mendapatkan nama baru ‘hukum internasional” dari filsuf
jenial Inggris, Jeremy Bentham. Pengertian baru lebih lanjut berpengaruh terhadap isi dari hukum
internasional itu sendiri. Hal yang paling menonjol adalah munculnya pembagian antara persoalan
domestik dan internasional. Pembedaan ini merupakan akibat dari munculnya konsep kedaulatan
dari perjanjian the Peace of Westphalia yang ditujukan untuk mengakhiri perang antar agama yang
telah berlangsung selama tiga puluh tahun di Eropa. Pada abad ke-19 muncul kelompok dengan
paham Positivistic yang bisa dikatakan sebagai pewaris dari paham voluntaris Perbedaannya positivis
lebih doktriner, yang pemahamannya diungkapkan sebagai hukum yang mengikat negara adalah
hukum yang mana negara tersebut telah memberikan persetujuan Kemudian muncul pemahaman
bahwa hukum internasional merupakan hukum antar negara, bukanlah hukum yang di atas negara
sebagaimana yang terdapat dalam pemahaman kelompok naturalis. Pemahaman positivis ini
meninggalkan pemahaman kelompok sebelumnya yang menekankan pada kesatuan yang terdapat
dalam hukum alam abad pertengahan. Pemahaman ini lebih jauh, kependekannya, menempatkan
hukum sebagai hamba. Kemudian hukum internasional menjadi sangat kaku yang berbeda dengan
hukum alam pada masa sebelumnya, oleh karena sangat terkait erat dengan kritik sosial. Implikasi
pemahaman potivistik ini adalah mdnempatkan keputusan suatu negara untuk pergi berperang
semata-mata karena persoalan negara bersangkutan merupakan persoalan yang mengkhawatirkan1
ada abad ke-19, ditandai oleh berdirinya dua organisasi yang menampung para ahli hukum
internasional, yakni the International Law Association dan Institut de droit internationale.
Perkembangan lain adalah hukum intemasional telah menjadi objek studi alam skala luas dan
memungkinkan penanganan persoalan hukum İnternasional secara lebih profesional. Penulisan
mengenai hukum internasional makin marak, yang diantaranya George Friedrich de Martens yang
berhasil menulis buku yang semata-mata hanya didasarkan pada praktek dari negara-negara, tidak
pada doktrin hukum alam. Diikuti oleh Henry Wheaton, seorang diplomat dan sarjana hukum
Amerika Serikat yang menulis buku berjudul Elements of International Law yang telah diterjemahkan
ke dalam berbagai bahasa Eropa.

Paham hukum alam pada abd ke-19 secara menakjubkan masih dapat bertahan dalam hal persoalan
penggunaan perang sebagai instrumen kebijakan. Kategori yang sangat penting dalam hal ini adalah
‘reprisals, yakni suatu metode yang melibatkan penggunaan kekerasan yang ditujukan pada suatu
negara yang dituduh telah melanggar hukum. Kelompok historisis, dengan Georg Wilhelm Friedrich
Hegel, merupakan versi lanjutan dari hukum alam memiliki kesamaan pendapat dengan pemahaman
positivis bahwa fundamental unit dari studi adalah negara-bangsa. Lebih jauh pemahaman Hegel ini
menuntut individu untuk tunduk kepada kehendak negara, mengingat negara merupakan wujud dari
kehendak semua. Pemahaman kelompok ini lebih dogmatis dibandingkan dengan positivis,
mengingat mereka mendamandang apabila negara-bangsa merupakan satu-satunya alat bagi
penyampaian aspirasi psikologis dan kultural dari suatu bangsa. Kelompok historisis ini hanya
memiliki dua orang penulis utama, yakni James Lorimer dari Skotlandia dan Pasquale Mancini dari
Italia. Paham kelompok ini tidak lama kemudian dilupakan oleh para ahli hukum. Paham Historisis
tidak terlepas dari nasionalisme yang pada saat itu mencapai puncaknya. Seiring dengan bangkitnya
negara-bangsa (nation state), negara-negara baru tersebut memiliki persoalan, yakni dalam hal
pelaksanaan hubungan luar negerinya. Perkembangan pada abad ini akan sangat mempengaruhi
perkembangan hukum internasional di abad dua puluh. Perkembangan yang sangat penting pada
masa ini yang terkait dengan hukum internasional adalah mulai diperlakukannya hukum
internasional sebagai sebuah cabang studi yang dipelajari secara serius di tingkat universitas.
Kemunculan buku-buku teks baru menjadikan buku E. Vattel mulai kehilangan relevansinya. Di
Inggris Kementerian Luar Negerinya mulai mempekerjakan staf-staf husus memberikan masukan
atas implikasi hukum dari hubungan luar negeri. Dan secara gradual hukum intermasional mulai
terpengaruh oleh tulisan-tulisan para profesor dari Universitas dan artikel-artikel ilmiah yang ditulis
oleh para staf diplomatik kementerian luar negeri. pada abad ke sembilanbelas pemberontakan
dalam negeri lah perang meningkatkan pertanyaan mengenai hukum internasional di pengadilan-
pengadilan dalam negeri. Konferensi Den Haag pada tahun 1898 mendirikan komisi internasional
yang diperuntukan sebagai pemecah pertikaian, yang kemudian sistem ini diadopsi oleh Konvensi
Den Haag 1907. Pembentukan konvensi ini tidak lepas dari peran Palang Merah Internasional (ICRC).
Pada waktu yang bersamaan terdapat peningkatan penggunaan arbitrase intenasional sebagai
alternatif penyelesaian sengketa. Dengan meningkatnya persetujuan-persetujuan internasional
kebiasaan dan pengaturan-pengaturan menimbulkan terpecahnya para teoritisi dalam hukum
internasional menjadi dua kelompok dalam kaitannya dengan hubungan antara hukum internasional
dan nasional. Kelompok pertama, beranggapan bahwa adanya suatu kesamaan wilayah berlakunya
antara kedua bidang hukum tersebut. yang lebih jauh menuntut adanya kepatuhan salah satu bidang
hukum. Sementara kelompok lain menganggap kedua hukum tersebut memiliki wilayah berlaku
yang berbeda-beda, sehingga mustahil akan adanya keterkaitan antara kedua bidang hukum itu.
Pada abad duapuluh, terdapat dua kekuatan non-Eropa, yakni Amerika Serkar dan Jepang. Menurut
John O Brien, pada abad ini terapatnya peningkatan jumlah negara-negara baru dan tingkat salin
ketergantungan yang cukup tinggi, yang mana merupakan karakteristik yang belum ada pada abad-
abad sebelumnya. Pada waktu yang bersamaan terdapatnya perkembangan teknologi yang cepat
memberikan ekses-ekses yang sebelumnya tak terbayangkan Salah satu persoalan yang mencolok
dalam hubungan internasional yang merupakan peningkatan abad sebelumnya adalah ketimpangan
kekayaan antara negara-negara. Terutama antara negara berkembang (developing countries) di
Selatan, dan negara-negara maju (developed countries) di Utara Perkembangan pertama yang
sangat signifikant bagi hukum internasional pada abad ini adalah pecahnya Perang Dunia I (1914-
1918). Pengaruh dari perang ini memberikan kesadaran bagi komunitas internasional untuk
mengkaji ulang secara lebih serius konsep yang mendasari hubungan internasional. Dalam upayanya
untuk menghindari terulangnya Perang Dunia, komunitas internasional melalui Perjanjian Versailes
yang di dalamnya meliputi Kovenan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) mendesain provisi-provisi yang dapat
ditujukan untuk mengurangi upaya-upaya yang dapat menjerumuskan dunia pada situasi
peperangan. Bahkan pada saat yang hampir bersamaan terdapatnya pengaturan mengenai
perlindungan minoritas di dalam wilayah-wilayah negara-negara Ketentuan ini ditujukan untuk
penjaminan HAM di negara-negara yang menjadi subjek dari sistem mandat. Liga Bangsa-Bangsa
memiliki organ eksekutif dan majelis, tetapi LBB memiliki kelemahan, karena absennya AS dan Uni
Soviet, yang kemudian menjadikannya secara eksklusif milik Eropa. Kegagalan LBB makin terlihat
ketika Jepang menginvasi China, dan dua tahun kemudian mundur dari LBB. Italia menyerang
Etiopia, dan Jerman melakukan agresi-agresi. Sementara Uni Soviet dikeluarkan dari LBB setelah
melakukan invasi ke Finlandia. Di Versailes didirikan sebuah komite yang beranggotakan para ahli
hukum untuk melakukan perancangan Statuta bagi the Permanent Court of International Justice
(PCIJ), yang mulai beroperasi tahun 1822, dan berkedudukan di Den Haag. Struktur dari PCIJ ini di
kemudian hari akan menjadi basis dari the International Court of Justice (ICJ).5 Meskipun LBB tidak
berumur panjang, LBB berhasil memberikan landasan untuk pengenalan akan pentingnya bentuk
keamanan kolektif dan penyelesaian sengketa internasional secara damai. Kovenan LBB pun
merefleksikan tujuan dari Konferensi Den Haag, dan 14 poinnya Woodrow Wilson. Keempat belas
poin yang inyatakan oleh Wilson pada umumnya merupakan niatan baik dari W.Wilson untuk
merestrukturisasi tatanan di Eropa yang hancur sebagai akibat dari Perang Dunia I. Kegagalan LBB
lebih lanjut dibuktikan dengan pecahnya Perang Dunia II. Mekanisme internasional dalam LBB tidak
lebih hanya sebagai kenangan. Akan tetapi, upaya dari komunitas internasional tidak padam. Pada
bulan Mei 1940, PCIJ dipindahkan dari Den Haag jenewa. Dan upaya yang paling berpengaruh atas
terbentuknya system internasional Pasca Perang Dunia Il adalah upaya yang dilakukan oleh Presiden
Franklin Delano Roosevelt, dan Menteri Luar Negerinya Cordell Hull, yang menginginkan terciptanya
system penyelesaian konflik internasional yang efektif. Dan pada saat berakhirnya Perang Dunia II
Organisasi Buruh Internasional (ILO) didirikan.

E. Hukum Internasional Dalam Sistem Baru


Langkah-langkah yang penting untuk menuju terciptanya sebuah sistem baru dalam hokum
internasional adalah upaya-upaya konkret melalui kesepakatan-kesepakatan dan pembuatan Komite
Sementara untuk menyiapkan PBB sebgai organisasi internasional, yaitu:

(1) The Inter Allied Declaration ( 12 Juni 1941)

Perwakilan-perwakilan dari Inggris Raya mengeluarkan pernyataan untuk mendirikan organisasi


dunia pasca perang yang berlandaskan perdamaian dan keamanan.;

(2) Piagam Atlantic (Agustus 1941)

Pertemuan antara Winston Churcill dan Roosevelt, bersepakai untuk menegaskan prinsip-prinsip
umum yang harus mendasarı mekanisme internasional pasca perang

(3) Deklarasi Bangsa-Bangsa Bersatu (1 Januari 1942)

Perwakilan dari 26 negara bertemu di Washington untuk menyetujui prinsip-prinsip dari Piagam
Atlantik, dan juga untuk menyetujui pembentukan sebuah organisasi internasional baru yang disebut
sebagai Perserikatan Bangsa-Bangsa;

(4) Komite London ( 20 Mei 1943)

Sebuah komite yang bertemu di London untuk melakukan pembahasan akan kemungkinan
pembentukan sebuah peradilan internasional (International Court of Justice), Komite bersidang
selama 19 kali dan melaporkannya pada Februari 1944;

(3) Deklarasi Moskow (30 Oktober 1943)

Perwakilan-perwakilan dari AS, Inggris, China dan Uni Soviet menandatangani Dklarasi ini sebagai
tanda persetujuan mereka atas pembentukan sebuah badan yang memiliki tanggung jawab dalam
hal perdamaian;

(6) Teheran (November 1943)

RoseveIt, Churcill, dan Joseph Stalin bertemu di Teheran untuk mereview konflik; mereka setuju
apabila badan internasional baru memiliki kewenangan perihal persoalan penjagaan perdamaiarn

7 Bretton Woods (1-21 Juli 1944)

Konferensi yang diadakan di New Hampshire ini merupakan awal pendirian rezim hukum ekonomi
internasional

Konferensi Dumbarton Oaks (21 Agustus -Oktober 1944)

Konferensi ini merupakan awal dari pendirian PBB. Hal mana AS mengajukan proposalnya mengenai
struktur dari organisasi ini kelak

Konferensi Yalta (4-11 Februari 1945)

Roosevelt, Stalin, dan Churcill bertemu kembali untuk menyelesaikan pembahasan akan struktur dari
organisasi pasca perang ini. Persoalan mengenai kewenangan Dewan Keamanan terselesaikan.
Terdapatnya keinginan untuk mendirikan sebuah komisi yang terdiri dari para ahli hukum yang
disebut sebagai the International Commission of Jurists untuk merancang Statuta bagi ICJ sebagai
penerus dari PCIJ.
(10) Konferensi San Francisco ( April 25 -26 Juni 1945)

Konferensi ini membuahkan hasil yang di antaranya penandatanganan Piagam PBB pada 26 Juni
1945, dan draft Statuta ICJ disetujui.

F. Menuju Tata Pemerintahan Global

Piagam PBB mulai berlaku pada 24 Oktober 1945. Persidangan pertama Maielis Umum (MU)
berlangsung di London pada tanggal 10 Januari 1946, Hal mana persidangan terakhir dari Majelis LBB
dilakukan pada anggal 18 April 1946 ditujukan untuk membubarkan LBB dan sekaligus PCIJ pada hari
yang sama ICJ berdiri.

Piagam PBB berangkat lebih jauh dalam hal pelarangan penggunaann kekerasan dibandingkan
Kovenan LBB, dengan melarang secara lebih detail, tidak hanya perang, melainkan juga penggunaan
kekerasan secara lebih umum, dengan pengecualian untuk pertahanan diri semata.. Dalam
kaitannya dengan agresi, Piagam tidak hanya melegitimasi sanksi ekonomi, tetapi juga senjata.
Sebagai sebuah organisasi internasional PBB dimaksudkan untuk memainkan peran sentral di masa
pasca perang. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk menciptakan kondisi damai dan saling
menghormati yang timbul akibat perjanjian dan terpeliharanya sumber hukum internasional lainnya.
Dari pengertian itu jelas bahwa PBB memiliki peran sentral untuk berfungsinya dan sekaligus juga
promotor bagi pembentukan hukum internasional secara progresif (prograssive development of
internasional law). Ide untuk membangun suatu tatanan dunia yang didasarkan pada idealisme
Amerika, yakni demokrasi dan the rule of law harus mengalah pada kenyataan, walau pembangunan
Jepang pasca Perang Dunia II menunjukkan keperkasaan liberalisme. Namun pada waktu yang sama
kekuatan komunis mendapatkan tempatnya dalam hal pembangunan China dan Eropa Timur.
Keadaan ini lebih jauh menyatukan kelompok ‘Barat’ yang terdiri atas negara-negara Eropa Barat
plus Amerika Serikat yang ditandai dengan penandatanganan perjanjian-Atlantik Utara [NATO]一
pada tahun,1949 yang terkait dengan persoalan pertahanan keamanan kolektif.

Meningkatnya jumlah negara-negara sebagai akibat dan proses dekolonisasi menjadikan Peta Politik
Dunia berubah. Salah satu buktinya adalah Konferensi Asia Afrika yang diadakan di Bandung pada
bulan April 1055, vang digagas oleh Soekarno. Konferensi ini menunjukkan euphoria yang dialami
oleh negara-negara yang menjuluki dirinya sebagai Dunia Ketiga. Lebih jauh, kelompok negara
negara muda ini menginginkan diri mereka tidak terjebak dalam polarisasi yang tercipta saat itu,
dikotomi Barat dan Timur. Lahimya doktrin Dasa Sila Bandung menunjukkan kontribusi Indonesia
terhadap hukum internasional pertengahan (medio) abad keduapuluh cukup signifikan

Kelompok negara-negara Dunia Ketiga memiliki jumlah yang signifikan yang kemudian
mengakibatkan melonjaknya jumlah anggota Majelis Umum PBB. Pengaruh terhadap Majelis Umum
atau PBB secara keseluruhan, dapat dilihat dari sikap perubahan PBB yang makin intoleran terhadap
sikap-sikap imperialisme, seperti penentangan kebijakan Afrika Selatan dengan ‘apartheid’ nya, dan
diadopsinya Deklarasi mengenai Pemberian Kemerdekaan kepada Negara-negara dan Bangsa-
bangsa yang terjaiah(1960)

Pada masa Perang Dingin terdapat perang ideologi, antara dua kelompok besar, yakni kelompok
kapitalis dan sosialis. Kedua kelompok ini dikenal dengan masing-masing sebutan sebagai the New
Haven School Dengan Myres Mcdougal dan Harold J. Laswel Tunkin sebagai proponen utama dari
teori Soviet yang lebih dikenal sebagai kelompok Komunis atau Kelompok Timur.

Kelompok Dunia Ketiga memiliki kecenderungan untuk melihat hukum internasional sebagai salah
satu bentuk instrumen kolonialism sebagai kelanjutannya, maka mereka menolak hukum kebiasaan.
Atau dengan kata lain, mereka lebih memilih hukum yang berdasar pada perjanjian yang telah
mereka buat dan setujui sendiri. Secara keseluruhan negara-negara ini sangat menekankan
pentingnya prinsip persamaan (equality), kedaulatan (sovereignty), dan kesatuan wilayah (integrated
territory) yang mutlak. Pendekatan yang dimiliki negara-negara Dunia Ketiga sangat dekat dengan
konsepsi kelompok komunist Implikasi lebih jauh adalah kebebasan ekonomi dan politik bagi
individu tidak terlepas dari intervensi negara. Sementara itu yang tidak kalah menariknya adalah
organisasi eksklusif didasarkan pada ikatan-ikatan primordial seperti keagamaan. Organisasi ini
dikenal dengan sebutan OKI atau Organisasi Konferensi Islam yang didasarkan pada Piagam yang
berlaku sejak 28 Febmari 1973. Semua negara yang tergabung pada umumnya merupakan negara
berkembang. Tujuan dari organisasi ini adalah untuk mencapai solidaritas Islam dan kerjasama
antara-negara Asia dan Afrika yang juga memiliki persoalan keagamaan. Dari tujuannya terdapat tiga
hal pokok: Pertama, adalahberhubungan dengan tujuan yang bersifat internal, antara negara-
negara anggota; Kedua, berhubungan dengan tujuan khusus terhadap suatu negara; Ketiga, adalah
tujuan yang bersifat abstrak, yakni mempertahankan keadaan damai dan meningkatkan kerjasama.
Saat ini keanggotaan OKI tidak kurang dari 56 negara anggota yang penduduknya mayoritas
beragama Islam.

Hukum Internasional modern telah mengalami perkembangan yang kompleks yang dibuktikan
dengan luasnya cakupan, atau dapat dengan melihat jumlah cabang ilmu hukum internasional yang

ada dewasa ini. Ciri ‘European Centris’ yang sempat mendominasi hukum internasional pada saat ini
sudah menjadi tidak relevan lagi. Sebab, hukum internasional yang sebelumnya identik dengan
hukum yang mengatur antar negara, pada saat ini telah mengalami revisi yang sangat mendasar
dengan mulai dikenalkannya individu kelompok pejuang kemerdekaan suatu bangsa, dan organisasi
internasional sebagai subyek hukum internasional.Upaya untuk memperluas jangkauan hukum
internasional dimulai oleh ICJ dengan menyatakan dalam ‘advisory opinion’-nya bahwa organisasi
internasional memiliki personalitas hukum demi efektifitas dalam menjalankan tugasnya. Lebih
lanjutnya ICJ ber-argumen bahwa organisasi internasional, dalam hal ini PBB, dapat mengajukan
tuntutan internasional terhadap Israel sebagai pihak yang merupakan pelaku pelanggaran. Di
samping itu, Malcolm Nathan Shaw, mencatat bahwa tidak hanya PBB, tetapi juga meliputi
organisasi seperti ILO dan FAO yang memiliki karakter judisial tersendiri.

Perkembangan lanjut dalam kaitannya dengan evolusi hukum internasional pasca perang dingin
adalah munculnya tendensi untukmeluaskan cakupan hukum internasional itu sendiri. tidak
mengherankan apabila pada saat ini hukum internasional menjadi sangat kontroversial. Semakin
meningkatnya intervensi yang dilakukan atas nama penegakan HAM menjadikan idealisme dari
hukum internasional itu sendiri makin menjadi-jadi. Hal ini dapat dibuktikan yang terdapat di Afrika.
Amerika, dan paling efektif di Eropa. ataupun yang masih ‘tidur’ seperti di Arab, dan yang masih di
alam mimpi seperti di Asia Tenggara, yang kedua terakhir ini sangat membutuhkan sentuhan
seorang pangeran. Oleh karena itu, pembahasan mengenai the International Law Commission, salah
satu organ PBB yang paling terkait dengan perkembangan hukum internasional akan dibahas dalam
kajian berikutnya.

G. Peta Perkembangan Baru Hukum Internasional

Menyajikan peta perkembangan baru hukum internasiona bukanlah suatu pekerjaan ringan. Hukum
internasional berkembang seiring dengan perkembangan budaya dan penguasaan teknologi oleh
anggota masyarakat internasional. Hukum internasional telah berkembang menjadi suatu sistem
hukum yang sangat kompleks. Hukum Internasional telah mengatur setiap sudut dan liku aktivitas
manusia yang melintasi batas-batas negara di planet bumi, maupun di angkasa luar. Mengingat
hukum internasional bukan merupakan suatu konsepsi yang ideal, tetapi merupakan bagian dari
suatu proses politik, yang dibentuk dan diterapkan sebagai jawaban atas berbagai kebutuhan yang
muncul, kekuatan masyarakat dan perbedaan (disparilies) dalam kekuasaan, maka untuk
memperoleh peta perkembangan hukum internasional, perlu menelusuri ataupun mengamati
perkembangan yang terjadi ditinjau dari aspek hukum maupun non-hukum.

I. Aspek Hukum

Hukum internasional sebagai suatu sistem, elemennya menglami perkembangan yang perlu dicatat.
Mengenai mengikatnya hukum internasional, sudah tidak menjadi perdebatan lagi. Masalah timbul
di seputar: keefektifan penegakan ( law enforcement ) hukum internasional. Menyadari kelemahan
berupa ketiadaan penguasa tertinggi dalam masyarakat internasional, serta ketergantungan pada
itikad baik politik masing-masing anggota masyarakat intenasional, nampak masyarakat
internasional berusaha memfungsikan Dewan Keamanan PBB, sebagai organ yang bertanggung
jawab memaksakan berlakunya hukum internasional tersebut Dalam hubungannya dengan hal
tersebut di atas, perjanjian internasional sudah mampu menyediakan aturan hukum tertulis, yang
meliputi semua dimensi kehidupan masyarakat internasional. Fungsi

kodifikasi, progressive development dan penciptaan aturan hukum yang benar-benar baru, terutama
melalui PBB, yakni Komisi Hukum Internasional, sudah berjalan meski harus terlambat. Secara
sosiologis, hukum internasional sudah makin menguat. Secara kuantitatif, jumlah negara modern
yang menjadi subjek utama hukum internasional cukup meningkat. Sampai dengan dengan
masuknya Timor Leste sebagai anggota baru PBB pada tahun 2000 bersamaan dengan deklarasi
kemerdekaan Timor Leste, jumlah negara anggota PBB sudah mencapai 191 negara. Jumlah anggota
organisasi internasional, yang juga sebagai subjek hukum internasional berkembang cukup pesat.
Keterlibatan Individu maupun non-state entities dalam pergaulan masyarakat internasional juga ada
peningkatan, sehingga menjadi: urusan masyarakat internasional

2. Aspek Non-Hukum

Aspek non-hukum yang ikut menentukan arah perkembangan hukum internasional yang utama
adalah perkembangan peta politik dunia dan kemajuan penguasaan teknologi. Perkembangan peta
politik internaisonal yang paling mempengaruhi perkembangan hukum internasional baru ialah
berakhirnya perang dingin. Secara umum, perang dingin merupakan persaingan ideologi antra dua
adidaya dunia. Mereka membawa dunia ke dalam ke situasi tidak perang, dan juga tidak damai.
Untuk membenarkan tindakannya mereka membentuk sistem ketertiban dunia yang sesuai dengan
kepentingannya masing-masing kepentingannya masing-masing, Misalnya, mereka menyusun
konsepsi perang dan damai menurut kemauan mereka. Mereka juga menciptakan berbagai prinsip
yang mendukung kebijakan yang sedang mereka lakukan. Misalnya prinsip toleransi internasional
untuk memperkenankan mereka melakukan intervensi dalam zona pertahanan kritis. Dapat diambil
sebuah contoh lain: Uni Soviet (sebelum bubar) mendiamkan (membiarkan) tanpa protes atas
tindakan Amerika Serikat di Panama, yang telah mendapat dukungan dari dalam negeri (Kongres AS);
dan Perancis tidak menentang intervensi Uni Soviet di Rumania pada waktu penumbangan
Ceausescueu.

Selama perang dingin, kemerdekaan dan hak memilih negara-negara kecil dibatasi oleh negara
tetangganya yang lebih besar, demi sistem keamanan dan tercapainya kepentingan negara besar
Konsekuensi yang muncul antara lain: meningkatnya intervensi menggebuhnya perlombaan senjata
nuklir, terjadinya perang veto di Dewan Keamanan PBB, dan perluasam arena militer ke laut dan
ruang angkasa luar Sesudah perang dingin, sifat militer arena internasional dalam tingkat strategi
terkurangi. Akan tetapi berakhirnya perang dingin tidak berarti berakhirnya perang dan segala yang
terkait di dalamnya. Rusia masih tetap merupakan negara adidaya. Konflik akan terus berlangsung
pada tingkat intensitas yang berbeda. Para sarjana Barat berpendapat bahwa tanpa sistem
keamanan internasional atau tatanan yang dipaksakan negara-negara adidaya, penggerak lokal akan
menjadi penjahat. Perang lokal akan meningkatkan kejahatan. Telah terjadi banyak pembaharuan
senjata yang dikembangkan. Lebih dari 40 (empat puluh) negara telah memiliki senjata roket.
Senjata kimia dan senjata biologis baru sudah dapat dimiliki oleh banyak negara miskin, dan negara
terbelakang. Negara-negara mantan Uni Soviet banyak yang secara otomatis berhak memiliki nuklir.
Keadaan bertambah runyam dengan terjadinya penjualan arsenal nuklir serta teknologi nuklir oleh
Rusia dan negara-negara ex-Uni Soviet.

Perkembangan yang terjadi menjelang berakhirnya perang dingin, lebih memberi semangat pada
negara-negara berkembang untuk menuntut terwujudnya tata hukum intemasional baru. Tuntutan
perombakan tata hukum lama sudah dimulai pada dekade akhir perang dingin, terutama untuk
terciptanya Tata Ekonom Internasional Baru, Tata Laut Internasional Baru, dan Tata Ruang Angkasa
Internasional Baru. Aktor utama perang dingin secara dramatis sudah melaksanakan pengawasan
dan pengurangan senjata strategis mereka sambil menekan berat negara-negara yang mungkinakan
masuk ke dalam kelompok elit negara nuklir. Masa pelaksanaan ketiga konvensi baru mengenai
keselamatan nuklir, nampak cerah Pada masa pasca perang dingin, Jerman dan Jepang
berkesempatan muncul kembali sebagai kekuatan politik dunia. Keduanya lebih besar dibandingkan
Inggris, Perancis ataupun China, yang telah menjadi anggota tetap Dewan Keamanan. Selain itu,
Amerika Serikat, yang memperoleh julukan satu-satunya polisi internasional mulai nampak
kepayahan. Kasus pangkalan Subic (Philipina), menunjukkan bahwa Amerika Serikat ingin mulai
mengetatkan anggaran militernya. Secara tidak langsung Amerika Serikat menyerahkan tanggung
jawab keamanan di kawasan Asia kepada ASEAN dan Jepang demikian pula keamaman di kawasan
Eropa, diserahkan kepada Masyarakat Eropa dan PBB, seperti yang terlihat pada posisi Amerika
Serikat dalam Kasus Bosnia v. Serbia yang lalu. Amerika Serikat hanya mau menyelesaikan pekerjaan
rumah lamanya, seperti masalah perdamaian Timur Tengah dan kasus Irak Kelesuan Amerika Serikat
ditambah lagi dengan kesulitan ekonomi yang cukup mengganggu dan krisis keuangan barupa utang
nasional yang sudah melebihi $AS.500 milyar. Di samping itu semua peran Jepang dan Jerman dalam
kelompok G-7 negara industri maju, tidak dapat dilawan lagi. Keduanya merupakan kekuatan raksasa
ekonomi dunia. Sedangkan kelompok G-7 memegang banyak proporsi dalam pengambilan
keputusan dan kebijakan internasional. Bahkan kini kelompok G-7 muncul sebagai badan yang
mempunyai pengaruh dominan dan otonom dalam proses pengambilan keputusan di Dewan
Keamanan, tanpa ketentuan Piagam dan tanpa jawaban yang bisa diketahui selain oleh anggota G-7.

Perubahan konstelasi ini bersamaan dengan menguatnya organisasi internasional yang di bentuk
oleh negara-negara berkembang, seperti Gerakan Non-Blok. Dengan demikian, terjadinya perubahan
realitas peta politik internasional. Keadaan inilah yang mendorong negara-negara berkembang,
misalnya melalui Gerakan Non-Blok, dengan lantang menuntut restrukturisasi dan demokratisasi
PBB, agar PBB sesuai dengan realitas kontemporer yang ada, sehingga tercipta sistem PBB yang kuat,
efektif dan efisien.

Perkembangan lain yang terjadi selama pasca perang dingin ialah masalah pengungsi. Semula,
selama perang dingin, masalah pengungsi lebih banyak melanda kawasan Asia. Namun setelah
perang dingin, ketidakstabilan yang melanda Eropa Timur, Eropa Tengah dan Afrika Utara,
mengakibatkan timbulnya masalah pengungsi. Selain itu, stagnasi ekonomi dan keputusasaan
manusia di dalam dunia yang transparan juga mendorong terjadinya migrasi besar-besaran.
Banjirnya pengungsi ke satu negara atau beberapa negara yang sudah melampaui kapasitas,
menimbulkan persoalan atau dilema baru, yakni mau menerima, kemampuan tidak ada, tidak
menerima, kena semprot masyarakat internasional. Akhirnya, banyak negara cenderung kurang
peduli pada nasib ribuan pengungsi Kemajuan penguasaan teknologi yang sangat mempengaruhi
perkembangan hukum internasional ialah kemajuan teknologi eksplorasi dan eksploitasi sumber
daya alam. Dengan teknologi ini dimensi wilayah negara berupa air, ruang udara dan berkembang
hingga ke angkasa luar, telah diubah, dari benda yang hanya benilai politis, menjadi tambah lagi
mempunyai nilai ekonomis. Selanjutnya timbulnya perbenturan kepentingan antara sesama anggota
masyarakat internasional, sehingga diperlukan pengaturan yang akomodatif mengenai laut, ruang
udara dan ruang angkasa, Dalam konteks ini, PBB sudah berhasil menyediakan banyak rangkaian
konvensi-konvensi tentang segala aspek yang terkait dengan pemanfaatan ruang dan tempat
tersebut untuk memenuhi kepentingan negara guna mensejahterakan warganya.

Dewasa ini, masih sering muncul masalah yang berkaitan dengan penggunaan ruang angkasa untuk
keperluan komunikasi, sehubungan dengan pesatnya kemajuan di bidang teknologi informatika.
Hukum internasional baru di cabang ini perlu mendapat perhatian masyarakat internasional.
Mengenai hukum laut internasional , masalahnya bersumber pada keberadaan konvensi hukum laut
pada grey period (masa kelabu), yang mengakibatkan adanya dualisme hukum laut di tengah-tengah
masyarakat dunia.

Dampak lebih lanjut kemajuan teknologi eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam sangat
dirasakan pada kemajuan pesat dalam bidang transportasi, komunikasi dan informasi, yang meng
akibatkan globalisasi planet bumi. Pada masa ini, perkembangan yang perlu dicatat yakni meluasnya
prinsip transparansi, yang semula tumbuh pada hukum ekonomi internasional. Prinsip transparansi
dimaksudkan untuk melindungi kepentingan pemilik modal atau pemilik teknologi, serta adanya
kepastian mekanisme dalam hubungan ekonomi. Kini, prinsip transparansi melahirkan intervensi
versi baru. Sumber utama intervensi ialah hak asasi manusia, sedang sasaran utamanya ialah
pelaksanaan kedaulatan internal suatu negara. Sumber intervensi yang baru lagi ialah pelestarian
lingkungan. Ada beberapa kasus yang dapat disebutkan sebagai contoh:

1. kasus intervensi kemanusiaan oleh Amerika Srikat terhadap Irak mengenai perlakuan Suku Kurdi;

2.kasus pengkaitan masalah HAM dengan pemberian bantuan oleh Belanda kepada Indonesia;

3. kasus pelestarian hutan tropis di Indonesia;

4. kasus perlakuan buruh Indonesia tergadap GSP bagi Indonesia;

5. kasus bantuan kemanusiaan di Somalia melalui tangan PBB, dan banyak lagi kalah mau disebutkan
satu-persatu.

Sebenarya, masalahnya bermuara pada perbedaan interpretasi dan persepsi mengenai HAM.
Negara-negara maju mempunyai konsepsi dan nilai yang berbeda dengan negara-negara
berkembang. Dewasa ini, Gerakan Non-Blok sedang memperjuangkan konsepsi HAM sendiri di
berbagai fora internasional. Diharapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi lahir pengaturan
baru mengenai Hak-hak Asasi Manusia versi Non-Blok.

Era Globalisasi juga menunjang peningkatan frekuensi dan tensitas transaksi internasional yang
memang sudah padat seiring dengan peningkatan jumlah aktor transaksi. Akibatnya, peluang

untuk berkonflik juga meningkat. Sedangkan masyarakat internasional menghendaki suatu


penyelesaian praktis, tetapi tuntas Keinginan ini dapat terpenuhi dengan penyelesaian melalui
diplomatik, misalnya melalui bantuan organisasi internasional yang mempunyai kaitan terdekat
(sebagai anggota) dengan para pihak. Di masa mendatang, diharapkan organisasi regional lebih
dapat berperan serta aktif dalam menyelesaikan berbagai sengketa antar negara, sehingga stabilitas
kawasan menjadi lebih mantap

H. Paradigma Baru Hukum Internasional

Bukan merupakan hal baru lagi bila para Ilmuan Hukum masa kini lebih menyukai pendakatan
multifacet dalam mengkaji hukum pada suatu negara maupun pada tataran
internasional.Pendekatan multifacet (multidisiplin) ini sangat berguna karena berbagai disiplin kajian
hukum itu saling berkaitan sedemikian rupa, sehingga jika dipergunakan pendekatan satu disiplin
saja tidak akan menghasilkan suatu pengertian atau pemahaman yang memadai.

Pendekatan multidisiplin mengacu pada penggunaan secara independen berbagai disiplin, dan baru
digabungkan secara eksternal melalui pertalian editorial. Untuk memperoleh hasil yang lebih
terintegrasi, perlu digunakan pendekatan interdisiplin. Pendekatan interdisiplin ini mengacu pada
keseluruhan yang dipersatukan. Interdisiplin merupakan multidisiplin plus integrasi. Dalam mengkaji
perkembangan hukum international dewasa ini maupun memecahkan masalah yang timbal di
tengah-tengah masyarakat internasional ádalah tepat apabila mempergunakan pendekatan
intersiplin, atau paling tidak pendekatan multidisiplin. Penggunaan disiplin bergantung pada bidang
ilmu Vacet) yang terkait dalam pokok kajian (objek). Sedangkan penggunaan paradigma, bergantung
pada pola yang sesuai dengan masing-masing disiplin yang terkait. Karena titik tautnya membahas
suatu perkembangan, maka digunakan pengertian dasar bahwa hukum itu statu proses. Ada sedikit
keunikan dalam proses pembentukan hukum internasional. Motivasi pembentukan hukum
internasional adalah pemenuhan atau tercapainya kepentingan negara. Di sisi lain hukum
internasional dibentuk oleh negara, untuk diberlakukan bagi negara, dan enforcement atau
penegakannya diawasi oleh negara itu sendiri. Dalam proses pembentukan hukum internasional,
pengaruh faktor (pertimbangan) politis dan ekonomi, kemajuan budaya, serta penguasaan teknologi
anggota masyarakat bangsa-bangsa sangatlah menentukan Untuk lebih jelas, diambil sebagai contoh
sederhana yaitu pemecahan mengenai masalah lewatnya Kapal Container plutonium Akatsuki Maru
di Selat Malaka. Dalam masalah ini banyak disiplin yang terkait, yaitu: hukum, politik internacional,
ekonomi dan teknologi nuklir, maupun transportasi. Berikut ini akan penulis paparkan satu-persatu
bagaimana disiplin-disiplin itu bekerja

1. Disiplin Hukum

Secara normatif, posisi Indonesia, Malaysia dan Singapore sebagai negara pantai, melarang atau
menolak lewatnya Akatsuki Maru dapat dibenarkan oleh hukum internasional, terutama
berdasarkan ketentuan hukum laut international, khususnya Konvensi Hukum Laut PBB 1982. Posisi
Jepang, bahwa Kapal Akatsuki berhak untuk memperoleh izin atau diperkenankan melalui Selat
Malaka, karena statusnya sebagai transito selat internasional, juga dapat dibenarkan oleh hukum
laut internasional. Kalau hanya mendasarkan pada disiplin hukum, permasalahnya belum lagi dapat
diselesaikan.

2. Disiplin Politik Internasional

a). Jepang, Indonesia, Malaysia dan Singapore ádalah negara-negara yang bersahabat pada satu
kawasan Asia. Akan merupakan suatu aib besar di luar akal sehat bila persahabatan antar negara-
negara ini ada niat saling merugikan atau mencelakakan.
b). Dalam pentas politik international pasca perang dingin, Jepang mulai diberi kesempatan tampil
dan memang berambisi untuk tampil. Contohnya:

Issue anggota tetap Dewan Keamanan: Jepang sudah memenuhi persyaratan, dan Indonesia sendiri
pada waktu itu sebagai Ketua Gerakan Non-Blok telah mengusulkan

issue pertahaman militer di kawasan Asia: Kasus Pengkalan Militer Subic dan Clark, serta pengiriman
pasukan pemeliharaan perdamaian PBB ke Kamboja. Amerika Serikat nampak sudah mulai membagi
tanggung jawab keamanan internacional di kawasan Asia umumnya, dan Jepang pada khususnya;

Issue pemulihan luka yang dibuat Jepang selama Perang Dunia II: dengan melakukan kunjungan dan
meminta maaf. Akan tidak masuk akal sehat bila Jepang bagitu mudah mengorbankan kepercayaan
yang telah diperoleh dalam percaturan politik internasional, hanya demi melakukan pelayaran Nuklir
Akatsuki Maru di Selat Malaka.

c). Bagi Indonesia, akan memperoleh lebih banyak kerugian apabila sikap kaku dalam kasus Akatsuki
Maru. Sedangkan kepentingan ekonomi dan politik nasional Indonesia, tidak jelas-jelas terancam
dengan serius. Jadi, pihak Jepang maupun Indonesia mempunyai beban moral untuk selalu bertindak
atas dasar itikad baik. Dalam disiplin ini yang dipakai sebagai titik taut adalah kepentingan nasional.

3. Disiplin Ekonomi

Dalam hal pengangkutan di laut, sudah harus dibuka asuransi TOVALOP dan CRISTAL. Pihak Jepang
maupun pihak perusahaan asuransi tidak ingin rugi. Satu-satunya cara ialah Akatsuki Maru selamat
dalam pelayaran sampai ke tujuan. Pihak asuransi tidak mengeluarkan uang sepeser pun untuk ganti
rugi, dan pihak Jepang bebas dari sumber segala kekhawatiran. Pada sisi lain, jika Jepang harus
menempuh rute alternatif, Jepang harus mengeluarkan ongkos angkut yang berlipat ganda. Ditinjau
dari prinsip cost and benefit yang sederhana, dapat dimengerti kenapa Jepang bersikeras tetap
memilih jalur lintas Selat Malaka. Di samping itu, secara ekonomi, kebutuhan plutonium sebagai
bahan dasar energi alternatif merupakan kepentingan ekonomi yang vital bagi Jepang

4. Disiplin Teknologi (nuklir dan transportasi)

Disiplin teknologi yang mungkin dilibatkan íalah teknologi nuklir dan teknologi transportasi
(perhubungan)

a. Teknologi Nuklir

Persoalan berkisar pada bagaimana menghidari bahaya nuklir sehingga terwujud keselamatan bagi
negara pantai dan Akatsuki Maru sendiri. Dalam hal ini Jepang mengambil posisi sudah meyakinkan
tidak akan menimbulkan bahaya bagi kapal dan negara yang akan dilewati. Sedangkan Indonesia
(negara pantai), pada posisi meyakini adanya bahaya bagi keselamatan kapal maupun negara
Indonesia. Untuk memecahkan masalah ini, ada beberapa isu yang terkait, antara lin issue energi
alternatif dan pencegahan bayaha pulir. Mengenai issue energi alternatif, plutonium sebagai bahan
dasar nuklir, hanya khusus bagi Jepang ataukah sudah dapat dikuasai pula oleh negara lain. Apabila
sudah umum, Indonesia harus menyediakan perlakuan yang umum pula. Sehubungan dengan
persoalan ini, Indonesia harus berwawasan jauh ke depan, sebab kalau tidak akan dapat menjadi
bumereng. Indonesia sebagai negara yang sudah menguasai teknologi nuklir, kemungkinan akan
menghadapi persoalan seperti yang dihadapi Jepang dewasa ini. Dengan kemampuan teknologi
nuklir yang cukup handai, Jepang telah berbuat maksimal untuk mengambil instrumen dan upaya
pengamanan lain yang diperlukan. Bagi Indonesia (negara pantai) dituntut segera menguasai, atau
paling tidak mengetahui tentang teknologi nuklir agar tidak ketinggalan dalam pergaulan antar
bangsa. Mengingat adanya perbedaan tingkat penguasan teknologi nuklir di antara para pihak yang
terlibat, untuk bertindak sebagai wasit yang netral, perlu keterlibatan Badan Tenaga Atom
Internasional.

b. Teknologi Transportasi (perhubungan)

Jakalau plutonium sebagai bahan dasar energi alternatif sudah merupakan kebutuhan umum
masyarakat internasional, dalam waktu dekat Indonesia dihadapkan pada tuntutan baru. Indonesia
(negara pantai), sebagai kuasa dan pengelola Selat Malaka yang dipergunakan untuk pelayaran
internasiaonal, harus segera menguasai teknologi perhubungan laut mutakhir, sehingga mampu
memberi fasilitas bagi lewatnya kapal pengangkut plutonium di kemudian hari. Jika tidak demikian,
mungkin akan muncul tuntutan internasionalisasi Selat Malaka

Setelah mempertimbangkan hasil kajian berbagai disiplin tersebut di atas, dapat diambil pemecahan,
misalnya bilamana Badan Tenaga Atom Internsional sudah benar-benar mengambil segala upaya
pengamanan dan penerapan instrumen pengamanan yang terpercaya, Indonesia (negara pantai)
harus juga bersedia menyediakan fasilitas bagi lewatnya Akatsuki Maru, sehingga hubungan
bersahabat antara kedua belah pihak tetap terpelihara tanpa harus merugikan kepentingan nasional
kedua belah pihak

● D. Kesimpulan

Hukum Internasonal disini dilihat atau dikaji dari aspek praktis. Peta Perkembangan Baru Hukum
Internasional diperbaharui atau bahkan ditentukan oleh perkembangan kepentingan negara, yang
tercermin oleh politik internasional, dan juga kemajuan penguasaan teknologi oleh dalam peta
politik internasional, yang sangat dipengaruhi oleh anggota masyarakat internasional. Cakupan
kajian hukum internasional menjadi lebih luas.

Hukum Internasional pasca perang dingin lebih memfokuskan perhatiannya pada masalah Ekonomi
(misalnya masyarakat internasional telah berhasil melakukan amandement GATT dan membentuk
WTO sebagai organisasi pelaksana dan pengawas roda perdagangan bebas), karena intensitas
masalah politik diharapkan mulai menurun. Penyelesaian perselisihan-perselisihan antar negara
melalui jalur (jasa) organisasi-organisasi internasional (regional dan global) ternyata kini lebih
diminati oleh masyarakat internasional Dampak dari datangnya era globalisasi, muncul beberapa
masalah yang dominan dalam hukum internasional. Terjadi perbenturan tuntutan dalam terciptanya
tata dunia baru dan suatu sistem pemerintahan global yang kuat. Interdependensi ekonomi telah
membuat batas pemisah negara menjadi kurang signifikan. Masalah HAM dan otonomi etnis juga
telah menggerogoti kedaulatan eksklusif negara. Negara tidak harus tinggal diam jika terjadi konflik
eksternal, kerusakan lingkungan lintas batas atau migrasi karena kemiskinan atau kekerasan.
Mengingat makin kompleksnya hukum internasional baru, maka perlu dipergunakan paradigma
interdisiplin, atau paling tidak multidisiplin.

Anda mungkin juga menyukai