ABSTRAK
Laporan keuangan merupakan cerminan bagi para pengguna informasi
keuangan, investor dan stakeholders untuk mengetahui kinerja keuangan perusahaan
atau entitas. Namun, laporan keuangan seringkali disalahgunakan dan dijadikan sebagai
alat dalam melaksanakan praktik kecurangan yang disebut dengan financial statement
fraud (kecurangan atas laporan keuangan). Financial statement fraud terjadi karena
adanya banyak celah dalam laporan keuangan yang dapat menjadi ruang untuk
manajemen dan oknum dalam suatu organisasi untuk melakukan kecurangan (fraud)
pada laporan keuangan. Menurut Cressey (1953), kondisi yang selalu hadir dalam
tindakan financial statement fraud adalah pressure, opportunity, rationalization yang
disebut dengan fraud triangle. Untuk meningkatkan pencegahan dan pendeteksian
fraud, kemudian Wolfe and Hermanson (2004) menambahkan satu elemen yakni
elemen capability sehingga terbentuklah fraud diamond theory. Oleh karena itu, konsep
fraud diamond dapat digunakan sebagai pedoman dalam mendeteksi adanya suatu
praktik kecurangan (fraud) pada financial statement suatu entitas atau perusahaan.
Kata kunci: Fraud, financial statement fraud, fraud triangle, fraud diamond.
PENDAHULUAN
2
mengalami kerugian. Hal tersebut dilakukan pihak manajemen agar saham perusahaan
Enron masih tetap diminati investor. Tentunya hal tersebut hanya menjadi bumerang bagi
perusahaan Enron. Akibat dari kasus ini adalah gugatan terhadap perusahaan sebesar 7,18
miliar Dolar Amerika. Kasus ini juga mengakibatkan CEO Kenneth Lay yang akhirnya
meninggal dunia sebelum di vonis pengadilan (Liputan6.com, 2014).
Kasus kecurangan pada laporan keuangan tidak hanya terjadi di perusahaan
berskala internasional saja. Indonesia pun sempat dikagetkan dengan kasus kecurangan
pelaporan keuangan yang dilakukan oleh PT. Timah Persero Tbk (TINS). Ketua umum
Ikatan Karyawan Timah (IKT), Ali Samsuri mengungkapkan direksi telah melakukan
kebohongan publik melalui media. Pada press release laporan keuangan semester I tahun
2015, direksi menyatakan bahwa kinerja perusahaan positif. Namun kenyataan pada
semester I tahun 2015 perusahaan rugi sebesar Rp. 59 miliar. Pada tahun 2013, utang
perseroan hanya mencapai Rp. 263 miliar, namun jumlah utang tersebut meningkat hingga
Rp. 2,3 triliun pada tahun 2015 (www.okezone.com).
Banyaknya kasus kecurangan (fraud) yang terjadi tidak selalu mendapatkan titik
terang. Apalagi, ada banyak celah dalam laporan keuangan yang dapat menjadi ruang bagi
manajemen dan oknum tertentu untuk melakukan perilaku kecurangan (fraud) pada
laporan keuangan. Kasus kecurangan terhadap laporan keuangan menunjukkan bahwa
kecurangan atau fraud telah menjadi fenomena penting yang harus segera diselesaikan.
Jika financial statement fraud memang masalah yang signifikan, setiap entitas harus secara
efektif mendeteksi kegiatan fraud sebelum berkembang menjadi skandal. Menurut Brennan
dan McGrath (2007), pendeteksian terhadap financial statement fraud juga terjadi karena
berbagai motivasi yang mendasarinya serta banyaknya metode untuk melakukan financial
statement fraud. Corporate governance seringkali dikaitkan dengan fraudulent financial
reporting. Pernyataan itu dibuktikan dengan penelitian Dechow, et al (1996) yang
menemukan bahwa kejadian kecurangan paling tinggi terjadi pada perusahaan yang lemah
corporate governancenya, seperti perusahaan yang lebih didominasi oleh perilaku orang
dalam dan cenderung tidak memiliki komite audit. Hasil temuan Dechow, et al (1996)
diperkuat kembali oleh Dunn (2004) yang menyimpulkan bahwa kecurangan lebih
mungkin terjadi ketika ada konsentrasi kekuasaan di tangan orang dalam (Skousen et al.,
2009).
Dalam rangka memberikan solusi terhadap kelemahan dalam prosedur pendeteksian
kecurangan di dunia, American Institute Certified Public Accountant (AICPA, 2002)
menerbitkan Statement of Auditing Standards No. 99 (SAS No. 99) mengenai
3
Consideration of Fraud in a Financial Statement Audit pada Oktober 2002. Tujuan
dikeluarkannya SAS No.99 adalah untuk meningkatkan efektivitas auditor dalam
mendeteksi perilaku kecurangan dengan menilai pada faktor risiko kecurangan perusahaan.
Faktor risiko kecurangan yang diadopsi dalam SAS No.99 didasarkan pada teori faktor
risiko kecurangan (Cressey 1953). Dr. Donald Cressey (1953) salah seorang pendiri ACFE,
menyimpulkan bahwa terdapat tiga kondisi yang selalu hadir dalam tindakan fraud
(kecurangan), yaitu pressure, opportunity, dan rationalization yang disebut juga sebagai
“fraud triangle” (Skousen et al., 2009:2). Untuk meningkatkan pencegahan dan
pendeteksian fraud, kemudian Wolfe and Hermanson (2004) menambahkan satu elemen
kualitatif yakni elemen capability. Wolfe dan Hermanson (2004) meyakini bahwa “many
frauds would not have occurred without the right person with right capabilities
implementing the details of the fraud” sehingga pada tahun 2004, Wolfe dan Hermanson
(2004:38) memperkenalkan sebuah model baru yaitu “Fraud Diamond Model” yang
merupakan teori lanjutan atau penyempurnaan dari fraud triangle theory. Dalam hal ini,
salah satu cara dan perspektif untuk meninjau dan mendeteksi kecurangan adalah dengan
perspektif segiempat kecurangan (fraud diamond).
KAJIAN TEORI
Financial Statement Fraud (Kecurangan atas Laporan Keuangan)
Financial statement fraud adalah tindakan kecurangan yang dilakukan oleh pihak
manajemen dalam bentuk salah saji material laporan keuangan yang merugikan investor
dan kreditor (ACFE, 2016). Terdapat dua modus operandi yang dilakukan pelaku untuk
memanipulasi laporan keuangan. Pertama, dengan cara menyajikan aset atau pendapatan
lebih tinggi dari yang sebenarnya (asset/revenue overstatements). Fraud ini berupa
penyajian laporan keuangan yang menyesatkan, lebih bagus dari keadaan yang sebenarnya,
dan sering kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan keadaan (Tuanakotta,
2010:195). Modus ini dilakukan agar kinerja keuangan perusahaan terlihat baik sehingga
pengguna laporan keuangan, terutama investor dan kreditor semakin yakin dengan prospek
perusahaan. Kedua, adalah dengan cara menyajikan aset atau pendapatan lebih rendah dari
yang sebenarnya (asset/revenue understatements). Hal tersebut akan berdampak pada
turunnya kewajiban perusahaan dalam membayar pajak kepada pemerintah ataupun
kewajiban lainnya.
Pelaporan keuangan yang mengandung unsur kecurangan dapat mengakibatkan
turunnya integritas informasi keuangan dan dapat memengaruhi berbagai pihak. Financial
4
statement fraud dapat dilakukan oleh siapa saja pada level apapun asalkan memiliki
kesempatan (Nguyen, 2008). Skema kecurangan pada laporan keuangan menurut Graviit
(2006) dalam Nguyen (2008) dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut :
1) Pemalsuan, perubahan, atau manipulasi catatan keuangan yang material, dokumen
pendukung atau transaksi bisnis.
2) Kelalaian yang disengaja, transaksi rekening, atau informasi penting lainnya dari
laporan keuangan yang disusun.
3) Kesalahan yang disengaja pada penggunaan prinsip akuntansi, kebijakan, dan
prosedur yang digunakan untuk mengukur, pengakuan, laporan, dan
mengungkapkan peristiwa ekonomi dan transaksi bisnis.
4) Kelalaian yang disengaja pada pengungkapan atau penyajian pengungkapan yang
tidak memadai berdasarkan prinsip akuntansi dan kebijakan dan nilai keuangan
yang terkait.
5
Sumber: ACFE (2016)
Gambar 2. 1 (Fraud Triangle Theory)
1) Tekanan (Pressure)
Cressey (1953) menyatakan bahwa tindakan kecurangan terjadi ketika pelaku
merasakan tekanan dalam dirinya sendiri ataupun dari entitas lain. Menurut Lou and Wang
(2009) mengemukakan faktor tekanan timbul dari tekanan yang dirasakan oleh pihak
manajemen maupun karyawan dikarenakan hal berikut, diantaranya stabilitas financial
perusahaan saat terancam oleh kondisi ekonomi dan industri, tekanan yang diperoleh
manajemen untuk memenuhi ekspetasi dari pihak ketiga, dan kebutuhan financial personal
dari manajemen yang terintimidasi akibat performa dari perusahaan yang kurang baik.
Cressey (1953) pun mengemukakan bahwa faktor tekanan dalam teori fraud
triangle sebagai non–sharable financial problems. Pelaku tindak kecurangan, ketika dalam
permasalahan keuangan yang bersifat pribadi (non–sharable financial problems),
mengetahui bahwa masalah tersebut dapat diselesaikannya sendiri secara diam–diam
dengan melakukan pelanggaran yang memanfaatkan jabatannya, dengan tetap menjaga
citra diri mereka sehingga tidak terlihat sebagai pihak yang telah melakukan tindak
kecurangan (Kassem and Hingson, 2012)
Albrecht (2013) mengemukakan bahwa tekanan (pressure) dapat berupa tekanan
yang bersifat keuangan dan non-keuangan. Faktor tekanan yang bersifat keuangan
(financial) dapat berupa kerugian financial personal, ketidakmampuan perusahaan untuk
bersaing dengan perusahaan lain, kebutuhan financial yang tidak terduga serta
ketidakmampuan perusahaan untuk memenuhi target financial. Sedangkan, tekanan yang
bersifat nonkeuangan (non financial) dapat berupa keinginan dari pihak manajemen untuk
melaporkan keadaan financial perusahaan yang lebih baik dibandingkan dengan keadaan
sesungguhnya. Kinerja yang baik dapat dilihat dari kontribusi pihak manajer terhadap
pertumbuhan keuangan perusahaan dan dapat menyaingi kinerja keuangan perusahaan lain.
Dengan mendapatkan penilaian yang baik seorang manajer berpeluang untuk dipromosikan
dalam pekerjaannya. Sehingga hal tersebut, yang menuntut seorang manajer untuk
bertindak curang dengan memanipulasi laporan keuangan perusahaan.
2) Kesempatan (Opportunity)
Albrecht (2013) mengemukakan bahwa tanpa adanya unsur kesempatan atau
peluang, seseorang tidak akan mudah melakukan fraud. Terdapat dua aspek dari peluang,
6
yaitu (1) risiko inheren dari perusahaan akan kemungkinan terjadinya tindak kecurangan,
(2) kondisi perusahaan yang pada akhirnya menjamin terjadinya tindak kecurangan
(Abdullahi and Mansor, 2015). Kesempatan atau peluang merupakan sebuah situasi yang
terdapat kelemahan pada sistem, sehingga menyebabkan pihak internal perusahaan
memperoleh kemampuan untuk melakukan suatu tindakan kecurangan.
Cressey (1953) mengemukakan bahwa terdapat dua indikator persepsi tentang
peluang. Pertama yaitu general information, merupakan persepsi pelaku bahwa kedudukan
atau posisi yang memiliki nilai trust (kepercayaan) dapat melakukan pelanggaran dengan
seenaknya tanpa harus menanggung akibatnya. Selanjutnya yaitu technical skill,
merupakan keahlian atau keterampilan pelaku yang digunakan untuk melakukan tindak
kecurangan. Peluang tersebut digunakan ketika pelaku menganggap bahwa kecurangan
yang dilakukan tersebut memiliki risiko yang kecil untuk diketahui atau dideteksi. Menurut
Albrecht (2013), terdapat enam penyebab meningkatnya kesempatan seseorang untuk
melakukan tindak kecurangan, yakni :
(1) Lemahnya sistem pengendalian dalam mencegah dan mendeteksi kecurangan.
(2) Ketidakmampuan dalam menilai kinerja pegawai.
(3) Kegagalan dalam mendisiplinkan para pelaku kecurangan.
(4) Lemahnya pengawasan terhadap akses informasi.
(5) Ketidakpedulian dan ketidakmampuan untuk mengantisipasi kecurangan.
(6) Kurangnya jejak audit (audit trail).
3) Rasionalisasi (Rationalization)
Rasionalisasi merupakan sikap atau karakter yang membenarkan terjadinya
tindakan kecurangan karena hal tersebut dianggap wajar. Rasionalisasi membuat seseorang
yang awalnya tidak ingin melakukan fraud akhirnya melakukan tindakan tersebut.
Rasionalisasi yakni suatu alasan yang bersifat pribadi (karena ada faktor lain) dapat
membenarkan perbuatan walaupun perbuatan itu sebenarnya salah. Hal tersebut biasanya
dilakukan oleh pihak internal perusahaan atau pelaku fraud dengan mencari–cari alasan
yang mampu membenarkan perilaku fraud tersebut. Seseorang dengan integritas yang
rendah akan berfikir bahwa tindakan fraud yang dilakukannya adalah wajar (Ratmono,
2014).
Albrecht et. al. (2013) dalam Sihombing dan Rahardjo (2014) menyatakan bahwa
rasionalisasi yang sering terjadi ketika melakukan fraud diantaranya, yakni:
(1) Aset itu sebenarnya milik saya (perpetrator’s fraud).
(2) Saya hanya meminjam dan akan membayarnya kembali.
7
(3) Tidak ada pihak yang dirugikan.
(4) Ini dilakukan untuk sesuatu yang mendesak.
(5) Kami akan memperbaiki pembukuan setelah masalah keuangan ini selesai.
(6) Saya rela mengorbankan reputasi dan integritas saya asal hal itu dapat
meningkatkan standar hidup saya.
Menurut Hay (2013) dalam Indriani dan Suroso (2016) menyatakan bahwa
capability merupakan sifat dari individu yang melakukan penipuan atau fraud yang
mendorong mereka untuk mencari kesempatan dan memanfaatkannya untuk melakukan
perilaku fraud. Wolfe and Hermanson (2004) berpendapat bahwa kecurangan tidak akan
terjadi apabila tidak ada orang yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan kecurangan
tersebut secara detail. Tindakan fraud terjadi berawal dari adanya pressure (tekanan),
setelah merasa tertekan, pelaku berusaha melepas tekanan tersebut dengan cara mencari
kesempatan yang ada, setelah hal tersebut yang membatasi seseorang untuk melalukan
8
kecurangan adalah rasionalisasi, apabila kecurangan telah dirasionalisasi, terakhir pelaku
harus menilai apakah dirinya mampu untuk melakukan perilaku kecurangan tersebut.
Kemampuan atau capability ini tidak hanya tentang keahliannya dalam melakukan
kecurangan tetapi juga kemampuannya dalam hal posisi atau kedudukan di perusahaan.
Wolfe and Hermanson (2004) menjelaskan sifat–sifat terkait elemen capability
yang sangat penting dalam pribadi perilaku kecurangan, yaitu.
1) Positioning
Seseorang dalam posisi otoritas memiliki pengaruh lebih besar atas situasi tertentu
atau lingkungan perusahaannya. Posisi seseorang atau fungsi dalam organisasi
dapat memberikan kemampuan untuk membuat atau memanfaatkan kesempatan
untuk melakukan tindak kecurangan.
2) Intelligence and creativity
Seseorang yang memiliki kecerdasan yang lebih dapat dengan mudah untuk
mengetahui kelemahan yang ada dalam perusahaan. Pelaku kecurangan ini
memiliki pemahaman yang cukup dan mengeksploitasi kelemahan pengendalian
internal serta menggunakan posisi, fungsi, atau akses berwenang untuk keuntungan
terbesar.
3) Convidence
Individu yang memiliki rasa percaya diri yang tinggi dan ego yang besar sulit untuk
terdeteksi ketika sedang melakukan tindak kecurangan. Tipe kepribadian umum
termasuk seseorang yang didorong untuk berhasil di semua biaya, egois, percaya
diri, dan sering mencintai diri sendiri (narsisme).
4) Coercion
Keahlian dalam mempengaruhi seseorang sangat penting untuk dimiliki pelaku
kecurangan. Pelaku kecurangan dapat memaksa orang lain untuk melakukan atau
menyembunyikan penipuan. Seseorang individu dengan kepribadian yang persuasif
dapat lebih berhasil meyakinkan orang lain untuk terlibat dalam lingkaran
kejahatan sehingga semakin banyak orang yang terlibat maka power yang dimiliki
semakin kuat.
5) Deceit
Penipuan yang sukses membutuhkan kebohongan efektif dan konsisten. Untuk
menghindari penipuan agar tidak terdeteksi, individu harus mampu berbohong
meyakinkan, dan harus melacak cerita secara keseluruhan.
6) Stress
9
Individu harus mampu mengendalikan stress karena melakukan tindakan
kecurangan dan menjaganya agar tetap terahasia sangat dapat menimbulkan
terjadinya stress.
Corporate Governance
Menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI, 2006). Corporate
governance merupakan tata kelola atau seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan
antara pemegang saham, pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak dan
kewajiban mereka. Dengan istilah lain corporate governance yakni suatu sistem yang
mengatur dan mengendalikan perusahaan.
Corporate governance penting untuk diterapkan dalam setiap perusahaan karena
banyak penelitian yang telah membuktikan bahwa corporate governance yang lemah
adalah penyebab utama dari krisis keuangan. Sebagian besar dari kasus fraud dunia
disebabkan karena kurangnya perhatian pada corporate governance dan kejujuran dari para
eksekutif perusahaan (Ramadhan, 2014). Corporate governance memiliki tiga tujuan
utama yaitu mengurangi konflik kepentingan antara manajemen perusahaan dengan
pemegang saham, untuk memastikan bahwa aset perusahaan digunakan secara efisien dan
produktif, serta memastikan bahwa manajemen mengambil keputusan terbaik bagi
perusahaan untuk kepentingan para pemegang saham (Islam and Haque, 2015)
Berkaitan dengan perkembangan penerapan corporate governance di Indonesia,
Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance (KNKG, 2011) mengatur prinsip
penerapan corporate governance di Indonesia sebagai berikut.
1) Transparansi (transparency)
Prinsip ini mengedepankan keterbukaan dalam kegiatan pengelolaan perusahaan.
Seperti dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam
mengemukakan informasi yang materiil dan relevan mengenai perusahaan.
2) Akuntabilitas (accountability)
10
Prinsip ini berkaitan dengan kejelasan fungsi, struktur, sistem, dan alur
pertanggungjawaban organ perusahaan sehingga pengelolaan perusahaan yang baik
dan benar dapat terwujud.
3) Responsibilitas (responsibility)
Prinsip ini berkaitan dengan kesesuaian atau kepatuhan dalam mengelola
perusahaan terhadap aturan dan prinsip korporasi yang sehat serta melaksanakan
tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan.
4) Independensi (independency)
Prinsip ini berkaitan dengan para pengelola perusahaan yang dikelola secara
profesional tanpa adanya pengaruh ataupun benturan kepentingan dan tekanan yang
bertentangan dari aturan yang berlaku dari pihak manapun terutama pihak
pemegang saham mayoritas yang berpeluang besar dalam mengendalikan
perusahaan.
5) Kewajaran dan kesetaraan (fairness)
Prinsip ini berkaitan dengan perlakuan yang adil terhadap pemenuhan para
pemegang saham, baik mayoritas ataupun minoritas serta stakeholder yang timbul
berdasarkan perjanjian dan peraturan yang berlaku.
11
menggunakan beberapa proksi sebagai berikut.
12
The percentage of board members who are
BDOUT outside members.
A dummy variable where 1 = mention of
Ineffective AUDCOMM oversight by an internal audit committee and
Monitoring 0 = no mention of oversight.
PEMBAHASAN
Kecurangan (fraud) merupakan ancaman yang mengakibatkan kerugian bagi
setiap organisasi dan sangat membawa dampak buruk pada kepentingan budaya, sosial,
ekonomi, dan publik. Semua organisasi, apapun jenis, ukuran, bentuk dan kegiatannya
memiliki risiko terjadinya kecurangan (fraud). Singleton dan Aaron J. (2010)
mengungkapkan bahwa perilaku kecurangan (fraud) merupakan perbuatan yang
mencakup akal muslihat, kelicikan, dan tidak jujur dan cara-cara yang tidak layak atau
wajar untuk menipu orang lain untuk keuntungan diri sendiri, sehingga menimbulkan
kerugian bagi pihak lain.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Simon, et al (2015) kecurangan (fraud)
seringkali terjadi pada laporan keuangan (financial statement) suatu organisasi atau
perusahaan. Laporan keuangan sering disalahgunakan dan dijadikan sebagai alat dalam
melaksanakan praktik kecurangan maupun manipulasi informasi yang disebut dengan
financial statement fraud atau kecurangan atas laporan keuangan. Seharusnya, kondisi
perusahaan secara finansial dapat tercermin dalam laporan keuangan perusahaan.
Tetapi, terdapat banyak celah dalam laporan keuangan yang dapat menjadi ruang bagi
manajemen dan oknum tertentu untuk melakukan perilaku kecurangan (fraud) pada
laporan keuangan. Penelitian fraud lainnya juga pernah dilakukan oleh Putri (2018),
yang mengatakan bahwa laporan keuangan seringkali tidak disajikan secara wajar atau
laporan keuangan mengandung salah saji material dengan penghilangan secara sengaja
jumlah atau pengungkapan dalam laporan keuangan. Pelaku fraud bisa dari orang dalam
suatu perusahaan atau bisa juga dari luar perusahaan. Penyebab terjadinya tindakan
fraud antara lain disebabkan oleh keserakahan, tekanan, kebutuhan, kesempatan,
rasional, dan kemampuan yang dimiliki untuk melakukan tindakan fraud.
Dalam rangka memberikan solusi terhadap kelemahan dalam prosedur
pendeteksian kecurangan di dunia, American Institute Certified Public Accountant
14
(AICPA) menerbitkan Pernyataan Standar Auditing No. 99 (SAS No. 99). Faktor risiko
kecurangan yang diadopsi dalam SAS No.99 didasarkan pada teori faktor risiko
kecurangan (Cressey 1953). Menurut Cressey (1953), Fraud risk factor merupakan
faktor-faktor pendorong seseorang dalam melakukan fraud, kondisi yang selalu
menyebabkan financial statement fraud terjadi adalah pressure, opportunity,
rationalization (tekanan, kesempatan dan rasionalisasi) yang dituangkan dalam konsep
Fraud Triangle.
Berbeda dengan teori fraud triangle, muncul konsep lainnya yaitu fraud
diamond. Fraud diamond merupakan sebuah pandangan baru tentang fenomena fraud
yang dikemukaan oleh Wolfe and Hermanson (2004). Fraud diamond merupakan teori
lanjutan atau penyempurnaan dari fraud triangle theory oleh Cressey (1953). Di dalam
konsep fraud diamond ini, ada perbedaan dengan fraud triangle yaitu dengan
menambahkan satu elemen, yaitu capability yang bertujuan untuk meningkatkan
pencegahan dan pendeteksian fraud (Wolfe and Hermanson, 2004).
Menurut Sari, dkk (2019) dalam penelitiannya tentang Metode Pendeteksian
Fraud di Indonesia, yaitu metode pendeteksian kecurangan yang paling banyak
digunakan adalah dengan menggunakan metode fraud diamond. Hal tersebut
ditunjukkan oleh jumlah angka peneliti yang diteliti lebih banyak menggunakan metode
fraud diamond daripada metode fraud lainnya.
Fraud diamond dapat digunakan sebagai dasar teori dalam mendeteksi adanya
suatu praktik fraud dengan menganalisis financial statement suatu perusahaan. Fraud
diamond dapat digunakan dengan menganalisis faktor risiko fraud dengan memberikan
pengukuran atau proksi sesuai yang dikategorikan dalam SAS No 99 yang bisa
dihubungkan dengan rasio pada laporan keuangan perusahaan.
SIMPULAN
Laporan keuangan menjadi salah satu bentuk alat komunikasi mengenai aktivitas
operasional dan data keuangan suatu organisasi dengan pihak tertentu yang membutuhkan
data atau informasi keuangan. Namun, laporan keuangan seringkali disalahgunakan dan
dijadikan sebagai alat dalam melaksanakan praktik kecurangan yang disebut dengan
financial statement fraud (kecurangan atas laporan keuangan). Fraud diamond merupakan
sebuah pandangan baru tentang fenomena fraud yang dikemukaan oleh Wolfe and
Hermanson (2004). Fraud diamond merupakan teori lanjutan atau penyempurnaan dari
fraud triangle theory oleh Cressey (1953). Cressey (1953) mencetuskan konsep tentang
15
Fraud Triangle yang menyatakan bahwa tiga kondisi yang selalu hadir dalam tindakan
fraud yaitu elemen tekanan (pressure), elemen kesempatan (opportunity), dan elemen
rasionalisasi. Untuk meningkatkan pencegahan dan pendeteksian fraud, kemudian Wolfe
and Hermanson (2004) menambahkan satu elemen yakni elemen capability yang diyakini
bahwa kecurangan (fraud) tidak mungkin terjadi tanpa orang yang memiliki kemampuan
untuk melakukan kecurangan tersebut, sehingga terbentuklah fraud diamond theory.
Dalam hal ini, konsep fraud diamond dapat digunakan sebagai pedoman dalam mendeteksi
adanya suatu praktik kecurangan (fraud) pada financial statement perusahaan. Keempat
elemen fraud diamond tidak dapat diteliti secara langsung dan diperlukan proksi variabel
untuk dapat mendeteksi lebih jelas dan rinci mengenai financial statement fraud dalam
suatu perusahaan. Lebih jelasnya, pendeteksian kecurangan (fraud) dalam konsep fraud
diamond dilakukan dengan menganalisis faktor risiko fraud serta memberikan proksi
sesuai yang dikategorikan dalam SAS No 99 yang bisa dihubungkan dengan rasio pada
laporan keuangan perusahaan. Kedepannya fraud diamond theory bisa digunakan
stakeholder, investor, dan pihak pengguna laporan keuangan sebagai salah satu
pertimbangan dan tolak ukur untuk memprediksi adanya praktik kecurangan atas laporan
keuangan (financial statement fraud) dalam suatu entitas atau perusahaan.
REFERENSI
Abdullahi, R., & Mansor, N. (2015). Fraud Triangle Theory and Fraud Diamond Theory .
Understanding the Convergent and Divergent For Future Research. International
Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences,
5(4), 38–45. https://doi.org/10.6007/IJARAFMS/v5-3/1823.
ACFE. (2016). Association of Certified Fraud Examination (ACFE). ACFE Reports The
Nation. New York.
AICPA. (2002). Statement on Auditing Standards: SAS No. 99. AU Sections 316,
Consideration of Fraud in A Financial Statement Audit.
Albrecht, C. (2013). The Role of Power in Financial Statement Fraud Schemes. J Bus
Ethics. https://doi.org/10.1007/s10551-013-2019-1.
Brennan, N.M., & McGrath, M. (2007) Financial Statement Fraud: Incidents, Methods and
Motives. Australian Accounting Review, 17(2), 49- 61.
Cressey, D.R. (1953). Other People’s Money. Montclair, NJ: Patterson Smith, pp.1-
300.
16
Dechow, P. M., Hutton, A. P., & Sloan, R. G. (2012). Detecting Earnings Management : A
New Approach. Journal of Accounting Research, 50, 275–334.
https://doi.org/10.1111/j.1475-679X.2012.00449.x.
Donelson, D., Ege, M., & Mcinnis, J. M. (2017). Internal Control Weaknesses and
Financial Reporting Fraud Dain. Auditing, (36), 45–69. https://doi.org/10.2308/ajpt-
51608.
Faradiza, S.A. & Suyanto. (2017). Fraud Diamond: Pendeteksi Kecurangan Laporan
Keuangan. Seminar Nasional Riset Terapan. 6(2), 196-201.
Hidayatun, F. & Juliarto A. (2019). Fraud Triangle dan Fraud Diamond Model dalam
Prediksi Kecurangan Laporan Keuangan. Diponegoro Journal of Accounting. 8(4), 1-
8.
Ikatan Akuntansi Indonesia. (2017). PSAK No. 1 Tentang Laporan Keuangan– edisi revisi
2017. Penerbit Dewan Standar Akuntansi Keuangan: PT. Raja Grafindo.
Indriani, I., & Suroso, A. (2016). Penerapan Konsep Fraud Diamond Theory dalam
Mendeteksi Perilaku Fraud. Simposium Nasional Akuntansi XIX.
Islam, M., & Haque, R. (2015). Disclosure of Corporate Governance Compliance of State
Owned Commercial Banks in Bangladesh and Stakeholders ’ Expectation. Research
Journal of Finance and Accounting, 6(20), 8–21.
Kassem, R., & Hingson, A. (2012). The new fraud triangle model. Journal of Emerging
Trends in Economics and Management Sciences, 3(3), 191–195.
Putri, A. (2014). Kajian: Fraud (Kecurangan) Laporan Keuangan. Jurnal Riset Akuntansi
dan Komputerisasi Akuntansi. 3(1), 2581-2343.
Macailao, M.C. (2020). Raising The Red Flags: The Concept And Indicators Of
Occupational Fraud. Journal of Critical Reviews, 7(11), 26-29.
Ratmono, D., Diany, Y.A., & Purwanto, A. (n.d.). Dapatkah Teori Fraud Triangle
Menjelaskan Kecurangan dalam Laporan Keuangan ? Symposium Nasional Akuntansi
(SNA) 17 Mataram, Lombok, 1–19.
17
Ristianingsih, I. (2017). Telaah Konsep Fraud Diamond Theory dalam Mendeteksi
Perilaku Fraud di Perguruan Tinggi. Prosiding Seminar Nasional dan Call For Paper
Ekonomi dan Bisnis. 5, 128-139.
Sari, Y.P., Hetika, & Aryanto. (2019). Metode Pendeteksian Fraud di Indonesia: Sebuah
Analisis Review. Journal of Applied Accounting and Taxation. 4(2), 241-248.
Siddiq, F.R., & Hadinata, S. (2016). Fraud Diamond dalam Financial Statement Fraud.
Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam. 4(2), 99-112.
Sihombing, K.S., & Rahardjo, S.N. (2014). Analisis Fraud Diamond dalam Mendeteksi
Financial Statement Fraud : Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang
Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2010-2012. Diponegoro Journal of
Accounting, 3(2), 1–12.
Simon, J., A.H., K.A., & Mohamed Yusof, K. (2015). Fraudulent Financial Reporting: An
Application of Fraud Models to Malaysian Public Listed Companies. The
Macrotheme Review: A Multidisciplinary Journal of Global Makro Trends, 4(3), 126–
145.
Singleton, T.W., & Aaron J. (2010). Fraud Auditing and Forensic Accounting Fourth
Edition. United State of America: John Willey & Sons, Inc.
Siska, Amelie F. (2016). Enron, Skandar Besar Perusahaan Energi yang Cekik Investor.
https://www/liputan6.com/bisnis/read/2031867/enron-skandal-besar-perusahaan-
energi-yang-cekik-investor. Diakses pada tanggal 29 Mei 2020.
Skousen, C.J., Smith, K.R., & Wright, C.J. (2009). Detecting and Predicting Financial
Statement Fraud The Effectiveness of The Fraud Triangle and SAS No. 99. In
Corporate Governance and Firm Performance, 13, 53–82.
Nguyen, K. (2008). Financial Statement Fraud : Motives, Methods, Cases and Detection.
Tuanakotta, T.M. (2010). Audit Forensik dan Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat.
Wiratmaja, I.D.N. (2010). Akuntansi Forensik dalam Upaya Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jurnal Ilmiah Akuntansi Dan Bisnis, 5(2).
Wolfe, D.T., & Hermanson, D.R. (2004). The Fraud Diamond : Considering the Four
Elements of Fraud. The CPA Journal, 74(12), 38–42.
Yesiariani, M., & Rahayu. I. (2017). Deteksi Financial Statement Fraud: Pengujian dengan
Fraud Diamond. Jurnal Akuntansi dan Auditing Indonesia. 21(1), 1410-2420.
18