tujuan utama dari laporan keuangan pada umumnya yaitu menyampaikan informasi keuangan
tentang pelaporan dan kinerja keuangan dari suatu perusahaan yang berguna untuk calon
Mengingat pentingnya informasi yang terdapat dalam laporan keuangan, maka perusahaan
akan berusaha dan termotivasi untuk menampilkan kinerja terbaiknya agar terlihat baik
dimata para investor dan kreditor. Adanya motivasi dan pressure kinerja yang wajib terlihat
baik, dapat mendorong manajemen untuk melakukan fraud dengan menyajikan informasi
laporan keuangan yang bias dan dapat merugikan banyak pihak yang berkepentingan
Saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan
perekonomian Indonesia bahkan ekonomi dunia menurun secara signifikan. Pandemi Covid-
kegiatan operasional diseluruh sektor khususnya perusahaan perbankan menjadi menurun dan
kurang maksimal seperti jam operasional perusahaan yang terbatas, pemberlakuan work from
home untuk sebagian pegawai, kurangnya pengawasan, pengendalian internal yang lemah,
pembayaran kredit nasabah yang macet serta menurunnya target keuangan perusahaan
(Sayekti, 2020). Kegiatan operasional bank yang kurang maksimal cenderung membuat
perusahaan kurang dapat mengelola kinerja keuangan dengan baik yang tentunya akan
tindakan fraud merupakan tindakan yang disengaja untuk menghasilkan laporan keuangan
yang salah saji. Tindakan fraud sengaja dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dan
kepentingan dirinya sendiri serta bertentangan dengan hukum yang secara langsung maupun
(ACFE) di tahun 2019, total kerugian akibat kasus fraud di Indonesia mencapai Rp 873,43
Milyar dimana jumlah rata-rata kerugian setiap kasus ialah kurang lebih Rp 7 Milyar dan
38,5% diantaranya adalah kasus fraud dengan jumlah kerugian diatas Rp 1 Milyar. Kasus
kecurangan laporan keuangan sendiri menempati posisi ketiga sebagai kasus fraud dengan
kerugian terbesar yaitu mencapai Rp 242,26 Milyar (ACFE, 2020). Perusahaan perbankan
ialah salah satu perusahaan yang mempunyai kasus financial statement fraud laporan yang
bagaimana bot dan malware membahayakan Aplikasi APAC” mengemukakan bahwa lebih
dari 43% financial statement fraud terjadi di sektor keuangan dan perbankan. Angka ini
menjadi angka tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Vietnam (Liputan6.com, 2019).
Selain itu, survei ACFE pada 2019 juga menunjukkan bahwa perbankan menempati posisi
atas sebagai industri yang mengalami kerugian atas kasus fraud yang terjadi di perusahaan.
Berdasarkan survei tersebut, industri yang bergerak dalam sektor keuangan dan perbankan
memiliki tinggkat kerugian akibat kasus kecurangan laporan keuangan sebesar 41,4% dan
merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan jenis industri yang lain. Hal ini
mengindikasikan bahwa perusahaan yang bergerak dalam sektor keuangan dan perbankan
sangat erat dan dekat hubungannya dengan tindakan fraud yang dilakukan perusahaan.
bukanlah yang pertama kali terjadi dan masih menjadi topik hangat yang sangat perlu dibahas
dan diteliti hingga saat ini. Fenomena kasus fraud yang terjadi pada sektor perbankan pada
tahun 2020 yaitu kasus hilangnya uang Rp 22 miliar milik Winda Lunardi atlit e-sport,
nasabah PT Bank Maybank Indonesia Tbk. PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) menjadi
polemic setelah diungkapnya kasus tersebut. Adapun fakta-fakta yang dirangkum terkait
polemic hilangnya uang nasabah Maybank tersebut yaitu menurut Rektor Perbanas Institute,
Hermanto Siregar menilai adanya fraud perbankan yang terjadi di kasus pembobolan nasabah
Maybank. Kasus fraud tersebut bisa terjadi karena adanya lemahnya kontrol internal di
perusahaan perbankan sehingga celah kejahatan di perbankan masih terjadi hingga saat ini
(Hartomo, 2020). Adanya kasus fraud pada PT. Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII)
menjadi kasus yang ramai diperbincangkan. Dampak dari kasus tersebut tidak hanya
mencoreng nama baik perusahaan, tetapi bisa berdampak buruk pada industri jasa keuangan.
Selain itu, adanya kasus fraud pada Maybank juga akan mencoreng kepercayaan nasabah
pada Maybank.
Kasus fraud lainnya pada sektor perbankan yaitu kasus penarikan dana rekening tanpa
sepengetahuan nasabah melalui slip penarikan kosong yang telah ditandatangani oleh
Melinda Dee sebagai senior relationship manager di Citibank pada tahun 2010 (Ali, 2019).
Kasus lainnya terjadi pada PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) di tahun 2012 yang dimana
ditemukan adanya indikasi fraud perbankan dengan kasus pencairan kredit fiktif yang
dilakukan oleh pejabat Bank Mandiri Syariah Cabang Bogor dan satu kreditur (Gunawan,
2013). Kasus ini dapat cenderung berkaitan dengan fraud laporan keuangan karena saat kasus
ini terjadi, tim internal audit menyembunyikan informasi terkait kredit fiktif dari auditor
eksternal. Kasus ini terjadi karena kedudukan dan pengawasan internal dan kredit yang tidak
efektif dalam perusahaan serta pemeriksaan pelaporan keuangan perbankan secara berkala
Fenomena financial statement fraud lainnya juga terjadi di BPR KS BAS Bali. Hal ini
diungkapkan dalam Siaran Pers OJK No. 27/DHMS/OJK/IV/2018, OJK mengungkap kasus
tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh direktur utama yang menginstruksikan pegawai
BPR untuk memproses pinjaman kepada 54 debitur dengan total nilai Rp 24,225 M pada
periode Maret-Desember 2014, namun tidak sesuai prosedur sehingga menyebabkan
pencatatan dan laporan keuangan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang
diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan perbankan. Kasus fraud
lainnya yaitu pada PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance). SNP Finance
diduga telah merugikan 14 bank di Indonesia hingga sekitar Rp 14 triliun. SNP Finance
mengajukan fasilitas cicilan modal usaha ke beberapa bank untuk menjalankan kegiatan
usahanya. Namun, dalam beberapa bulan terakhir SNP Finance menunjukkan itikad buruk
dengan status kredit SNP Finance mulai macet. Ternyata kasus kredit macet SNP Finance
telah muncul pada tahun 2017 tetapi SNP Finance mengatasi kredit macetnya dengan
menerbitkan surat utang yang diperingkat oleh Pefindo padahal saat itu keuangan SNP
Finance masih bermasalah. Setelah adanya investigasi, OJK dan Kemenkeu mengungkapkan
bahwa SNP Finance terindikasi melakukan financial statement fraud secara signifikan dan
membuat laporan keuangan tidak sesuai dengan kondisi keuangan yang sebenarnya sehingga
Banyaknya kasus fenomena financial statement fraud dapat merugikan banyak pihak
dan akan mempengaruhi keberlangsungan jangka panjang serta reputasi perusahaan. Kondisi
terparah yang bisa dialami perusahaan akibat tindakan ini adalah kebangkrutan. Kasus fraud
yang terjadi bisa disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal dan manajemen risiko
perusahaan. Oleh karena itu, kasus fraud menjadi fenomena penting yang harus segera
dicegah sedini mungkin. Dalam mencegah kemungkinan terjadinya fraud, auditor dapat dapat
menilai dan mempertimbangkan dari berbagai sudut pandang, salah satunya dengan
menggunakan teori faktor risiko kecurangan yang pertama kali dikemukakan oleh Cressey
(1953). Cressey (1953) menyatakan bahwa terdapat tiga kondisi yang selalu hadir dalam
rasionalisasi (rationalization) atau yang disebut juga sebagai teori fraud triangle (Skousen et
al., 2009:2). Kemudian, teori fraud triangle dikembangkan kembali oleh Wolfe dan
Hermanson (2004) menjadi teori fraud diamond dengan menambahkan satu elemen indicator
yakni elemen kapabilitas (capability). Lebih lanjut teori berkembang kembali ketika Crowe
(2011) memaparkan bahwa elemen ego (arrogance) juga turut berpengaruh terhadap
terjadinya fraud, sehingga menjadi lima elemen yang dikenal sebagai fraud pentagon yang
Penelitian ini akan mengacu pada fraud pentagon theory yang dikembangkan oleh
Crowe (2011) untuk mendeteksi financial statement fraud yang terjadi di perusahaan.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Puspitha & Yasa (2018) serta Antawirya, dkk
(2019) membuktikan bahwa faktor dari fraud pentagon yaitu pressure, opportunity,
fraud. Elemen–elemen dari fraud pentagon ini tidak bisa secara langsung untuk diteliti
sehingga memerlukan proksi variabel. Elemen pertama dari fraud pentagon yaitu tekanan
(pressure). Pada penelitian ini, pressure diproksikan dengan personal financial need.
Personal financial need mengacu pada kebutuhan financial pribadi para manajer dan eksekutif
Penelitian yang dilakukan oleh Oktafiana et al., (2019) dan Surya dkk., (2018)
menyatakan bahwa personal financial need berpengaruh positif pada terjadinya praktik
kecurangan. Adanya tekanan seperti tuntutan keuangan, kondisi ekonomi yang menurun
akibat pandemic Covid-19 serta gaya hidup yang tinggi akan mendorong seseorang untuk
melakukan kecurangan. Semakin buruk kondisi keuangan pribadi para eksekutif perusahaan,
maka semakin tinggi ketergantungan keuangan para eksekutif terhadap perusahaan sehingga
cenderung akan terjadi praktik fraud pelaporan keuangan. Sedangkan menurut Sari &
Nugroho (2020) serta Kusumaningsih (2017) mengatakan bahwa personal financial need
berpengaruh negatif pada financial statement fraud. Ketika kinerja perusahaan sangat baik
serta didukung dengan kondisi keuangan para eksekutif dalam hal kepemilikan saham oleh
orang dalam di perusahaan sangat tinggi maka semakin rendah peluang terjadinya financial
statement fraud. Adanya perbedaan hasil penelitian membuat variable personal financial
need perlu diuji ulang untuk mengetahui apakah personal financial need membuat individu
Elemen kedua dari fraud pentagon ini yaitu kesempatan (opportunity). Opportunity
untuk melakukan fraud dapat terjadi ketika rendahnya pengendalian internal dan lemahnya
ditunjukkan dengan kondisi industry yang ideal. Kondisi penerimaan kas dan piutang yang
tinggi dapat menggambarkan bentuk dari nature of industry perusahaan perbankan yang baik.
(Suparmini dkk., 2020). Nature of industry dapat memberikan kesempatan individu untuk
melakukan fraud karena peraturan industri yang menuntut perusahaan untuk memiliki
Menurut Summers & Sweeney (1998) dalam Hidayah (2019) menyatakan bahwa piutang dan
persediaan memerlukan penilaian subjektif dan harus diwaspadai karena sering menjadi objek
dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Peran bank sangat penting dalam
menyalurkan dana kepada masyarakat terutama di era pandemic saat ini. Oleh karena itu bank
harus menjaga penerimaan kas dan piutang untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah
yang setiap saat ingin mencairkan dana atau meminjam dana ke bank. Pada perusahaan
perbankan akun piutang memiliki nilai yang signifikan terhadap total pendapatan. Sehingga
akun ini cenderung menjadi akun yang dimanipulasi (Ardiyani & Utaminingsih 2015).
(Putriasih dkk., 2016) bahwa keadaan ideal suatu perusahaan dalam industri atau nature of
industry dapat digunakan untuk mendeteksi financial statement fraud. Menurut Sari &
Nugroho (2020), kenaikan piutang perusahaan dapat menjadi indikasi yang serius akan
adanya financial statement fraud karena jumlah piutang yang meningkat akan mengurangi
jumlah kas yang dapat digunakan untuk operasional perusahaan. Keterbatasan kas dapat
menurut Suparmini dkk., (2020), apabila terdapat fungsi pengawasan yang baik melalui
keadaan ideal suatu perusahaan dalam industry, maka manajer akan mengurangi kesempatan
melakukan kecurangan. Jika terjadi kenaikan piutang, maka manajer perusahaan akan
menjaga jumlah piutang yang dimiliki dan berusaha untuk memperbanyak penerimaan kas
perusahaan dari jumlah piutang tersebut daripada harus melakukan kecurangan. Adanya
perbedaan hasil penelitian membuat variable nature of industry perlu diuji ulang untuk
mengetahui apakah nature of industry membuat individu melakukan kecurangan atau tidak.
berkaitan dengan sikap yang membenarkan perilaku fraud dan dianggap hal yang wajar.
rasionalisasi terkait dengan adanya hubungan yang kurang baik dan kepentingan yang
berbeda antara manajemen dan auditor, kegagalan manajemen dalam mengelola keuangan
perusahaan, membenarkan perilaku manajemen laba yang ada dalam perusahaan, serta
merasa paling berjasa bagi organisasi. Auditor switching dalam perusahaan dapat digunakan
Auditor switching pada perusahaan menyebabkan auditor yang baru masih belum
memahami kondisi perusahaan secara keseluruhan. Sehingga manajemen bisa saja melakukan
dan membenarkan kecurangan yang tidak terdeteksi oleh auditor eksternal. Penelitian yang
dilakukan oleh Loebbecke, et al (1989), memaparkan bahwa mayoritas kegagalan audit lebih
sering terjadi di awal tahun pada saat masa perikatan audit. Sehingga akan membuat
perusahaan melakukan pergantian auditor eksternal dan berpikir rasional untuk melakukan
financial statement fraud. Hal ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan Septriani &
Handayani (2018), Putriasih dkk., (2016), dan (Mintara & Hapsari, 2021) yang juga
perusahaan perbankan.
Capability merupakan elemen yang dikembangkan Wolfe & Hermanson (2004) dalam
fraud diamond theory untuk mendeteksi financial statement fraud. Fraud dapat terjadi karena
seseorang memiliki kemampuan atau capability lebih untuk melakukan kecurangan demi
terwujudnya tujuan tertentu. Capability dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti positioning,
intelligence and creativity, ego or convidence, coercien skills, deceit, dan stress. Faktor
utama yang dapat dilihat untuk menilai bahwa seseorang memiliki capability yang cukup
besar ialah positioning. Positioning merupakan posisi, jabatan dan fungsi seseorang dalam
karena itu, jabatan tinggi atau eksekutif dianggap paling mampu untuk mengurangi fraud atau
Pergantian direksi adalah pelimpahan tugas dan wewenang dari jajaran direksi lama kepada
jajaran direksi baru dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja direksi sebelumnya yang
kurang kompeten dalam mengawasi jalannya kegiatan perusahaan. Pergantian direksi yang
lebih kompeten dianggap bisa mengawasi jalan perusahaan dengan baik untuk mengurangi
kecurangan (Mintara & Hapsari, 2021). Putriasih, dkk (2016), menggunakan director change
sebagai alat ukur dari capability untuk mengetahui ada atau tidaknya potensi kecurangan
laporan keuangan. Penelitian yang dilakukan Putriasih, dkk (2016), Siddiq et al., (2017) dan
Septriani & Handayani (2018) sama-sama membuktikan bahwa director change dapat
yang dikemukakan Crowe (2011). Arrogance berkaitan dengan karakter seseorang yang
merasa bahwa dirinya berkuasa atas segala sesuatu yang ada di perusahaan. Sikap dan
kecurangan karena dirinya memiliki kekuasan dan beranggapan bahwa pengendalian internal
serta peraturan yang diberlakukan di perusahaan tidak akan berlaku kepada dirinya sehingga
mereka akan leluasa melakukan fraud. Arogansi biasanya berkaitan dengan CEO atau direksi
yang memiliki jabatan tinggi atau berkuasa dalam suatu perusahaan seperti karena seluruh
kegiatan operasional di perusahaan harus dengan persetujuan CEO. Dalam penelitian ini
elemen arrogance akan diukur dengan CEO duality atau CEO yang memiliki banyak jabatan
(rangkap jabatan) baik didalam maupun diluar perusahaan. Apabila CEO melakukan rangkap
jabatan, hal tersebut menunjukkan bahwa CEO memiliki pengaruh yang kuat dan memiliki
peran penting dalam kebijakan perusahaan, sehingga rangkap jabatan termasuk kedalam
arrogance.
Kinerja perusaahan yang baik seharusnya tidak memiliki CEO yang rangkap jabatan
(CEO duality) didalam perusahaan. CEO duality dapat mendorong seseorang untuk
pekerjaan direksi tidak efektif karena memiliki kesibukan ganda sehingga dapat
penelitian yang dilakukan oleh Dechow et al., (1996) yang menunjukkan bahwa financial
statement fraud terkait manipulasi laba didominasi oleh manajemen dan jabatan ganda oleh
CEO.
keberadaan CEO yang memiliki banyak jabatan baik di internal maupun eksternal perusahaan
dapat menunjukkan perilaku arogansi dari CEO. Posisi rangkap jabatan dapat mengakibatkan
pekerjaan CEO atau direksi terganggu karena sibuk dan kurang focus dalam pengawasan
diperusahaan sehingga hal ini dapat memungkinkan terjadinya fraud di perusahaan (Crowe,
2011). Penelitian yang dilakukan oleh Tessa (2016), Puspita dan Yasa (2018) dan Devi, et al
(2021) dalam penelitiannya menyatakan bahwa CEO duality berpengaruh dalam mendeteksi
Berdasarkan uraian diatas, elemen dari fraud pentagon masih menunjukkan pengaruh
yang signifikan pada financial statement fraud. Financial statement fraud harus segera bisa
dideteksi sedini mungkin untuk menghindari kerugian pada perusahaan. Oleh karena itu,
penelitian ini dilakukan untuk mengkaji lebih lanjut pengaruh pasti dari elemen teori fraud
directors, dan CEO duality untuk mengetahui adanya indikasi financial statement fraud di
suatu perusahaan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu, kelima variabel
yang akan diteliti belum pernah diteliti secara bersama-sama dilakukan pada perusahaan
perbankan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2017-2020.
Alasan memilih perusahaan perbankan ialah karena peran perusahaan perbankan dalam
mengembangkan perekonomian suatu Negara sekarang ini sangatlah penting. Hampir semua
pihak atau sektor yang berhubungan dengan beragam kegiatan keuangan selalu membutuhkan
jasa perbankan (Sumarauw & Gerungai 2018). Aktivitas utama sektor perbankan yaitu
kegiatan simpan pinjam atau kegiatan pemberian pinjaman (kredit) kepada nasabah. Dalam
menjalankan kegiatan usaha tersebut bank menghadapi berbagai risiko, baik risiko kredit,
risiko pasar, risiko operasional maupun risiko reputasi yang memiliki risiko yang besar.
Sebelum bank melakukan penyaluran kredit, bank harus melakukan analisa yang akurat
kepada nasabah, melakukan pengawasan, serta nasabah harus memberikan jaminan yang kuat
kepada bank. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko yang mungkin terjadi dalam proses
pemberian pinjaman. Akan tetapi, banyak factor yang tidak terduga yang menyebabkan
pembayaran kredit dari pihak nasabah menjadi macet dan nasabah tidak dapat membayar
Indonesia. Besarnya risiko pada sector perbankan dan dampak penurunan ekonomi yang
keuangan sehingga perlu mendapat perhatian lebih, serta perlu diteliti lebih lanjut untuk
mengetahui apakah ada indikasi financial statement fraud diperusahaan. Berdasarkan uraian
latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Analisis Perspektif Fraud Pentagon dalam Mendeteksi Indikasi Financial Statement Fraud”.
Studi pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2017–
2020.