Anda di halaman 1dari 11

RINGKASAN

Berdasarkan Statements of Financial Accounting Concepts (SFAC) No. 8 Chapter 1,

tujuan utama dari laporan keuangan pada umumnya yaitu menyampaikan informasi keuangan

tentang pelaporan dan kinerja keuangan dari suatu perusahaan yang berguna untuk calon

investor, kreditor, serta pihak yang berkepentingan dalam pengambilan keputusan.

Mengingat pentingnya informasi yang terdapat dalam laporan keuangan, maka perusahaan

akan berusaha dan termotivasi untuk menampilkan kinerja terbaiknya agar terlihat baik

dimata para investor dan kreditor. Adanya motivasi dan pressure kinerja yang wajib terlihat

baik, dapat mendorong manajemen untuk melakukan fraud dengan menyajikan informasi

laporan keuangan yang bias dan dapat merugikan banyak pihak yang berkepentingan

(Suparmini dkk, 2020).

Saat ini Indonesia sedang dihadapkan dengan pandemi Covid-19 yang menyebabkan

perekonomian Indonesia bahkan ekonomi dunia menurun secara signifikan. Pandemi Covid-

19 juga menyebabkan semua sektor perusahaan mendapatkan pengaruh signifikan khususnya

perusahaan perbankan. Fakta menunjukkan pandemi Covid-19 di Indonesia membuat

kegiatan operasional diseluruh sektor khususnya perusahaan perbankan menjadi menurun dan

kurang maksimal seperti jam operasional perusahaan yang terbatas, pemberlakuan work from

home untuk sebagian pegawai, kurangnya pengawasan, pengendalian internal yang lemah,

pembayaran kredit nasabah yang macet serta menurunnya target keuangan perusahaan

(Sayekti, 2020). Kegiatan operasional bank yang kurang maksimal cenderung membuat

perusahaan kurang dapat mengelola kinerja keuangan dengan baik yang tentunya akan

mengarah pada indikasi financial statement fraud diperusahaan.

Statement of Auditing Standards (SAS) No.99 (AICPA, 2007) menyatakan bahwa

tindakan fraud merupakan tindakan yang disengaja untuk menghasilkan laporan keuangan

yang salah saji. Tindakan fraud sengaja dilakukan untuk mendapatkan keuntungan dan
kepentingan dirinya sendiri serta bertentangan dengan hukum yang secara langsung maupun

tidak langsung dapat merugikan pihak lain.

Menurut survei yang dilakukan oleh Association of Certified Fraud Examiners

(ACFE) di tahun 2019, total kerugian akibat kasus fraud di Indonesia mencapai Rp 873,43

Milyar dimana jumlah rata-rata kerugian setiap kasus ialah kurang lebih Rp 7 Milyar dan

38,5% diantaranya adalah kasus fraud dengan jumlah kerugian diatas Rp 1 Milyar. Kasus

kecurangan laporan keuangan sendiri menempati posisi ketiga sebagai kasus fraud dengan

kerugian terbesar yaitu mencapai Rp 242,26 Milyar (ACFE, 2020). Perusahaan perbankan

ialah salah satu perusahaan yang mempunyai kasus financial statement fraud laporan yang

tinggi. Laporan yang dipublikasikan oleh AppsFlyer berjudul “Penipuan meningkat:

bagaimana bot dan malware membahayakan Aplikasi APAC” mengemukakan bahwa lebih

dari 43% financial statement fraud terjadi di sektor keuangan dan perbankan. Angka ini

menjadi angka tertinggi kedua di Asia Tenggara setelah Vietnam (Liputan6.com, 2019).

Selain itu, survei ACFE pada 2019 juga menunjukkan bahwa perbankan menempati posisi

atas sebagai industri yang mengalami kerugian atas kasus fraud yang terjadi di perusahaan.

Berdasarkan survei tersebut, industri yang bergerak dalam sektor keuangan dan perbankan

memiliki tinggkat kerugian akibat kasus kecurangan laporan keuangan sebesar 41,4% dan

merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan jenis industri yang lain. Hal ini

mengindikasikan bahwa perusahaan yang bergerak dalam sektor keuangan dan perbankan

sangat erat dan dekat hubungannya dengan tindakan fraud yang dilakukan perusahaan.

Fenomena financial statement fraud pada perusahaan perbankan di Indonesia

bukanlah yang pertama kali terjadi dan masih menjadi topik hangat yang sangat perlu dibahas

dan diteliti hingga saat ini. Fenomena kasus fraud yang terjadi pada sektor perbankan pada

tahun 2020 yaitu kasus hilangnya uang Rp 22 miliar milik Winda Lunardi atlit e-sport,

nasabah PT Bank Maybank Indonesia Tbk. PT Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII) menjadi
polemic setelah diungkapnya kasus tersebut. Adapun fakta-fakta yang dirangkum terkait

polemic hilangnya uang nasabah Maybank tersebut yaitu menurut Rektor Perbanas Institute,

Hermanto Siregar menilai adanya fraud perbankan yang terjadi di kasus pembobolan nasabah

Maybank. Kasus fraud tersebut bisa terjadi karena adanya lemahnya kontrol internal di

perusahaan perbankan sehingga celah kejahatan di perbankan masih terjadi hingga saat ini

(Hartomo, 2020). Adanya kasus fraud pada PT. Bank Maybank Indonesia Tbk (BNII)

menjadi kasus yang ramai diperbincangkan. Dampak dari kasus tersebut tidak hanya

mencoreng nama baik perusahaan, tetapi bisa berdampak buruk pada industri jasa keuangan.

Selain itu, adanya kasus fraud pada Maybank juga akan mencoreng kepercayaan nasabah

pada Maybank.

Kasus fraud lainnya pada sektor perbankan yaitu kasus penarikan dana rekening tanpa

sepengetahuan nasabah melalui slip penarikan kosong yang telah ditandatangani oleh

Melinda Dee sebagai senior relationship manager di Citibank pada tahun 2010 (Ali, 2019).

Kasus lainnya terjadi pada PT. Bank Syariah Mandiri (BSM) di tahun 2012 yang dimana

ditemukan adanya indikasi fraud perbankan dengan kasus pencairan kredit fiktif yang

dilakukan oleh pejabat Bank Mandiri Syariah Cabang Bogor dan satu kreditur (Gunawan,

2013). Kasus ini dapat cenderung berkaitan dengan fraud laporan keuangan karena saat kasus

ini terjadi, tim internal audit menyembunyikan informasi terkait kredit fiktif dari auditor

eksternal. Kasus ini terjadi karena kedudukan dan pengawasan internal dan kredit yang tidak

efektif dalam perusahaan serta pemeriksaan pelaporan keuangan perbankan secara berkala

tidak berjalan efektif.

Fenomena financial statement fraud lainnya juga terjadi di BPR KS BAS Bali. Hal ini

diungkapkan dalam Siaran Pers OJK No. 27/DHMS/OJK/IV/2018, OJK mengungkap kasus

tindak pidana perbankan yang dilakukan oleh direktur utama yang menginstruksikan pegawai

BPR untuk memproses pinjaman kepada 54 debitur dengan total nilai Rp 24,225 M pada
periode Maret-Desember 2014, namun tidak sesuai prosedur sehingga menyebabkan

pencatatan dan laporan keuangan palsu dan tidak melaksanakan langkah-langkah yang

diperlukan untuk memastikan ketaatan Bank terhadap ketentuan perbankan. Kasus fraud

lainnya yaitu pada PT. Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP Finance). SNP Finance

diduga telah merugikan 14 bank di Indonesia hingga sekitar Rp 14 triliun. SNP Finance

mengajukan fasilitas cicilan modal usaha ke beberapa bank untuk menjalankan kegiatan

usahanya. Namun, dalam beberapa bulan terakhir SNP Finance menunjukkan itikad buruk

dengan status kredit SNP Finance mulai macet. Ternyata kasus kredit macet SNP Finance

telah muncul pada tahun 2017 tetapi SNP Finance mengatasi kredit macetnya dengan

menerbitkan surat utang yang diperingkat oleh Pefindo padahal saat itu keuangan SNP

Finance masih bermasalah. Setelah adanya investigasi, OJK dan Kemenkeu mengungkapkan

bahwa SNP Finance terindikasi melakukan financial statement fraud secara signifikan dan

membuat laporan keuangan tidak sesuai dengan kondisi keuangan yang sebenarnya sehingga

menyebabkan kerugian banyak pihak (Wareza, 2018).

Banyaknya kasus fenomena financial statement fraud dapat merugikan banyak pihak

dan akan mempengaruhi keberlangsungan jangka panjang serta reputasi perusahaan. Kondisi

terparah yang bisa dialami perusahaan akibat tindakan ini adalah kebangkrutan. Kasus fraud

yang terjadi bisa disebabkan oleh lemahnya pengendalian internal dan manajemen risiko

perusahaan. Oleh karena itu, kasus fraud menjadi fenomena penting yang harus segera

dicegah sedini mungkin. Dalam mencegah kemungkinan terjadinya fraud, auditor dapat dapat

menilai dan mempertimbangkan dari berbagai sudut pandang, salah satunya dengan

menggunakan teori faktor risiko kecurangan yang pertama kali dikemukakan oleh Cressey

(1953). Cressey (1953) menyatakan bahwa terdapat tiga kondisi yang selalu hadir dalam

tindakan fraud (kecurangan), yaitu tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), dan

rasionalisasi (rationalization) atau yang disebut juga sebagai teori fraud triangle (Skousen et
al., 2009:2). Kemudian, teori fraud triangle dikembangkan kembali oleh Wolfe dan

Hermanson (2004) menjadi teori fraud diamond dengan menambahkan satu elemen indicator

yakni elemen kapabilitas (capability). Lebih lanjut teori berkembang kembali ketika Crowe

(2011) memaparkan bahwa elemen ego (arrogance) juga turut berpengaruh terhadap

terjadinya fraud, sehingga menjadi lima elemen yang dikenal sebagai fraud pentagon yang

akan menyempurnakan konsep teori fraud triangle dan fraud diamond.

Penelitian ini akan mengacu pada fraud pentagon theory yang dikembangkan oleh

Crowe (2011) untuk mendeteksi financial statement fraud yang terjadi di perusahaan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Puspitha & Yasa (2018) serta Antawirya, dkk

(2019) membuktikan bahwa faktor dari fraud pentagon yaitu pressure, opportunity,

rationalization, capability, dan arrogance dapat mendeteksi indikasi financial statement

fraud. Elemen–elemen dari fraud pentagon ini tidak bisa secara langsung untuk diteliti

sehingga memerlukan proksi variabel. Elemen pertama dari fraud pentagon yaitu tekanan

(pressure). Pada penelitian ini, pressure diproksikan dengan personal financial need.

Personal financial need mengacu pada kebutuhan financial pribadi para manajer dan eksekutif

perusahaan yang sangat bergantung pada kondisi keuangan perusahaan.

Penelitian yang dilakukan oleh Oktafiana et al., (2019) dan Surya dkk., (2018)

menyatakan bahwa personal financial need berpengaruh positif pada terjadinya praktik

kecurangan. Adanya tekanan seperti tuntutan keuangan, kondisi ekonomi yang menurun

akibat pandemic Covid-19 serta gaya hidup yang tinggi akan mendorong seseorang untuk

melakukan kecurangan. Semakin buruk kondisi keuangan pribadi para eksekutif perusahaan,

maka semakin tinggi ketergantungan keuangan para eksekutif terhadap perusahaan sehingga

cenderung akan terjadi praktik fraud pelaporan keuangan. Sedangkan menurut Sari &

Nugroho (2020) serta Kusumaningsih (2017) mengatakan bahwa personal financial need

berpengaruh negatif pada financial statement fraud. Ketika kinerja perusahaan sangat baik
serta didukung dengan kondisi keuangan para eksekutif dalam hal kepemilikan saham oleh

orang dalam di perusahaan sangat tinggi maka semakin rendah peluang terjadinya financial

statement fraud. Adanya perbedaan hasil penelitian membuat variable personal financial

need perlu diuji ulang untuk mengetahui apakah personal financial need membuat individu

melakukan kecurangan atau tidak.

Elemen kedua dari fraud pentagon ini yaitu kesempatan (opportunity). Opportunity

untuk melakukan fraud dapat terjadi ketika rendahnya pengendalian internal dan lemahnya

pengawasan manajemen di perusahaan. Nature of industry adalah karakteristik industry yang

ditunjukkan dengan kondisi industry yang ideal. Kondisi penerimaan kas dan piutang yang

tinggi dapat menggambarkan bentuk dari nature of industry perusahaan perbankan yang baik.

(Suparmini dkk., 2020). Nature of industry dapat memberikan kesempatan individu untuk

melakukan fraud karena peraturan industri yang menuntut perusahaan untuk memiliki

kemampuan justifikasi subjektif dalam menghitung estimasi pada akun-akun tertentu.

Menurut Summers & Sweeney (1998) dalam Hidayah (2019) menyatakan bahwa piutang dan

persediaan memerlukan penilaian subjektif dan harus diwaspadai karena sering menjadi objek

manipulasi laporan keuangan.

Karakteristik utama dalam industry perbankan adalah menerima dan menyalurkan

dana kepada pihak-pihak yang membutuhkan dana. Peran bank sangat penting dalam

menyalurkan dana kepada masyarakat terutama di era pandemic saat ini. Oleh karena itu bank

harus menjaga penerimaan kas dan piutang untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah

yang setiap saat ingin mencairkan dana atau meminjam dana ke bank. Pada perusahaan

perbankan akun piutang memiliki nilai yang signifikan terhadap total pendapatan. Sehingga

akun ini cenderung menjadi akun yang dimanipulasi (Ardiyani & Utaminingsih 2015).

(Putriasih dkk., 2016) bahwa keadaan ideal suatu perusahaan dalam industri atau nature of

industry dapat digunakan untuk mendeteksi financial statement fraud. Menurut Sari &
Nugroho (2020), kenaikan piutang perusahaan dapat menjadi indikasi yang serius akan

adanya financial statement fraud karena jumlah piutang yang meningkat akan mengurangi

jumlah kas yang dapat digunakan untuk operasional perusahaan. Keterbatasan kas dapat

menjadi dorongan bagi manajemen untuk memanipulasi laporan keuangan. Sedangkan

menurut Suparmini dkk., (2020), apabila terdapat fungsi pengawasan yang baik melalui

keadaan ideal suatu perusahaan dalam industry, maka manajer akan mengurangi kesempatan

melakukan kecurangan. Jika terjadi kenaikan piutang, maka manajer perusahaan akan

menjaga jumlah piutang yang dimiliki dan berusaha untuk memperbanyak penerimaan kas

perusahaan dari jumlah piutang tersebut daripada harus melakukan kecurangan. Adanya

perbedaan hasil penelitian membuat variable nature of industry perlu diuji ulang untuk

mengetahui apakah nature of industry membuat individu melakukan kecurangan atau tidak.

Rationalization merupakan elemen ketiga dari fraud pentagon. Rationalization

berkaitan dengan sikap yang membenarkan perilaku fraud dan dianggap hal yang wajar.

Faktor-faktor penyebab adanya kecurangan laporan keuangan yang bersumber dari

rasionalisasi terkait dengan adanya hubungan yang kurang baik dan kepentingan yang

berbeda antara manajemen dan auditor, kegagalan manajemen dalam mengelola keuangan

perusahaan, membenarkan perilaku manajemen laba yang ada dalam perusahaan, serta

merasa paling berjasa bagi organisasi. Auditor switching dalam perusahaan dapat digunakan

sebagai tolak ukur rasionalisasi.

Auditor switching pada perusahaan menyebabkan auditor yang baru masih belum

memahami kondisi perusahaan secara keseluruhan. Sehingga manajemen bisa saja melakukan

dan membenarkan kecurangan yang tidak terdeteksi oleh auditor eksternal. Penelitian yang

dilakukan oleh Loebbecke, et al (1989), memaparkan bahwa mayoritas kegagalan audit lebih

sering terjadi di awal tahun pada saat masa perikatan audit. Sehingga akan membuat

perusahaan melakukan pergantian auditor eksternal dan berpikir rasional untuk melakukan
financial statement fraud. Hal ini juga serupa dengan penelitian yang dilakukan Septriani &

Handayani (2018), Putriasih dkk., (2016), dan (Mintara & Hapsari, 2021) yang juga

menyatakan bahwa rationalization berpengaruh pada kecurangan laporan keuangan di

perusahaan perbankan.

Capability merupakan elemen yang dikembangkan Wolfe & Hermanson (2004) dalam

fraud diamond theory untuk mendeteksi financial statement fraud. Fraud dapat terjadi karena

seseorang memiliki kemampuan atau capability lebih untuk melakukan kecurangan demi

terwujudnya tujuan tertentu. Capability dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti positioning,

intelligence and creativity, ego or convidence, coercien skills, deceit, dan stress. Faktor

utama yang dapat dilihat untuk menilai bahwa seseorang memiliki capability yang cukup

besar ialah positioning. Positioning merupakan posisi, jabatan dan fungsi seseorang dalam

perusahaan cenderung menjadikannya celah untuk melakukan tindak kecurangan. Oleh

karena itu, jabatan tinggi atau eksekutif dianggap paling mampu untuk mengurangi fraud atau

bahkan mungkin saja mereka memanfaatkan kemampuannya untuk melakukan fraud.

Variabel pergantian direksi (director change) berkaitan dengan elemen capability.

Pergantian direksi adalah pelimpahan tugas dan wewenang dari jajaran direksi lama kepada

jajaran direksi baru dengan tujuan untuk memperbaiki kinerja direksi sebelumnya yang

kurang kompeten dalam mengawasi jalannya kegiatan perusahaan. Pergantian direksi yang

lebih kompeten dianggap bisa mengawasi jalan perusahaan dengan baik untuk mengurangi

kecurangan (Mintara & Hapsari, 2021). Putriasih, dkk (2016), menggunakan director change

sebagai alat ukur dari capability untuk mengetahui ada atau tidaknya potensi kecurangan

laporan keuangan. Penelitian yang dilakukan Putriasih, dkk (2016), Siddiq et al., (2017) dan

Septriani & Handayani (2018) sama-sama membuktikan bahwa director change dapat

digunakan untuk mendeteksi financial statement fraud.


Arrogance adalah elemen terakhir sebagai elemen pelengkap teori fraud pentagon

yang dikemukakan Crowe (2011). Arrogance berkaitan dengan karakter seseorang yang

merasa bahwa dirinya berkuasa atas segala sesuatu yang ada di perusahaan. Sikap dan

perilaku arrogance dapat menyebabkan seseorang berani untuk melakukan perilaku

kecurangan karena dirinya memiliki kekuasan dan beranggapan bahwa pengendalian internal

serta peraturan yang diberlakukan di perusahaan tidak akan berlaku kepada dirinya sehingga

mereka akan leluasa melakukan fraud. Arogansi biasanya berkaitan dengan CEO atau direksi

yang memiliki jabatan tinggi atau berkuasa dalam suatu perusahaan seperti karena seluruh

kegiatan operasional di perusahaan harus dengan persetujuan CEO. Dalam penelitian ini

elemen arrogance akan diukur dengan CEO duality atau CEO yang memiliki banyak jabatan

(rangkap jabatan) baik didalam maupun diluar perusahaan. Apabila CEO melakukan rangkap

jabatan, hal tersebut menunjukkan bahwa CEO memiliki pengaruh yang kuat dan memiliki

peran penting dalam kebijakan perusahaan, sehingga rangkap jabatan termasuk kedalam

arrogance.

Kinerja perusaahan yang baik seharusnya tidak memiliki CEO yang rangkap jabatan

(CEO duality) didalam perusahaan. CEO duality dapat mendorong seseorang untuk

melakukan kolusi, mengorbankan kepentingan pemegang saham, bahkan dapat menyebabkan

pekerjaan direksi tidak efektif karena memiliki kesibukan ganda sehingga dapat

meningkatkan terjadinya fraud di perusahaan. Pernyataan diatas juga didukung oleh

penelitian yang dilakukan oleh Dechow et al., (1996) yang menunjukkan bahwa financial

statement fraud terkait manipulasi laba didominasi oleh manajemen dan jabatan ganda oleh

CEO.

Berdasarkan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Simon, et al (2015),

keberadaan CEO yang memiliki banyak jabatan baik di internal maupun eksternal perusahaan

dapat menunjukkan perilaku arogansi dari CEO. Posisi rangkap jabatan dapat mengakibatkan
pekerjaan CEO atau direksi terganggu karena sibuk dan kurang focus dalam pengawasan

diperusahaan sehingga hal ini dapat memungkinkan terjadinya fraud di perusahaan (Crowe,

2011). Penelitian yang dilakukan oleh Tessa (2016), Puspita dan Yasa (2018) dan Devi, et al

(2021) dalam penelitiannya menyatakan bahwa CEO duality berpengaruh dalam mendeteksi

financial statement fraud yang terjadi di perusahaan.

Berdasarkan uraian diatas, elemen dari fraud pentagon masih menunjukkan pengaruh

yang signifikan pada financial statement fraud. Financial statement fraud harus segera bisa

dideteksi sedini mungkin untuk menghindari kerugian pada perusahaan. Oleh karena itu,

penelitian ini dilakukan untuk mengkaji lebih lanjut pengaruh pasti dari elemen teori fraud

pentagon yaitu personal financial need, nature of industry, rationalization, change of

directors, dan CEO duality untuk mengetahui adanya indikasi financial statement fraud di

suatu perusahaan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu yaitu, kelima variabel

yang akan diteliti belum pernah diteliti secara bersama-sama dilakukan pada perusahaan

perbankan yang terdaftar pada Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2017-2020.

Alasan memilih perusahaan perbankan ialah karena peran perusahaan perbankan dalam

mengembangkan perekonomian suatu Negara sekarang ini sangatlah penting. Hampir semua

pihak atau sektor yang berhubungan dengan beragam kegiatan keuangan selalu membutuhkan

jasa perbankan (Sumarauw & Gerungai 2018). Aktivitas utama sektor perbankan yaitu

kegiatan simpan pinjam atau kegiatan pemberian pinjaman (kredit) kepada nasabah. Dalam

menjalankan kegiatan usaha tersebut bank menghadapi berbagai risiko, baik risiko kredit,

risiko pasar, risiko operasional maupun risiko reputasi yang memiliki risiko yang besar.

Sebelum bank melakukan penyaluran kredit, bank harus melakukan analisa yang akurat

kepada nasabah, melakukan pengawasan, serta nasabah harus memberikan jaminan yang kuat

kepada bank. Hal ini bertujuan untuk menghindari resiko yang mungkin terjadi dalam proses

pemberian pinjaman. Akan tetapi, banyak factor yang tidak terduga yang menyebabkan
pembayaran kredit dari pihak nasabah menjadi macet dan nasabah tidak dapat membayar

hutangnya akibat kebangkrutan dan penurunan ekonomi dampak pandemic Covid-19 di

Indonesia. Besarnya risiko pada sector perbankan dan dampak penurunan ekonomi yang

signifikan akibat pandemic Covid 19 berpotensi pada meningkatnya kecurangan laporan

keuangan sehingga perlu mendapat perhatian lebih, serta perlu diteliti lebih lanjut untuk

mengetahui apakah ada indikasi financial statement fraud diperusahaan. Berdasarkan uraian

latar belakang diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul

“Analisis Perspektif Fraud Pentagon dalam Mendeteksi Indikasi Financial Statement Fraud”.

Studi pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Periode 2017–

2020.

Anda mungkin juga menyukai