Anda di halaman 1dari 16

Peran Kepemilikan Institusional dalam mendeteksi Laporan Kecurangan Keuangan:

Analisis Fraud Heptagon Model

Peran Kepemilikan Institusional dalam Mendeteksi Kecurangan Pelaporan Keuangan:


Analisis Model Fraud Heptagon

Devina Putri Indra Satata 1*


Anna Sumaryati 2
Imang Dapit Pamungkas 3
Bambang Minarso 4
1,2,3,4
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Dian Nuswantoro Semarang, Indonesia
devinasatata@gmail.com *

Abstrak

Penelitian ini menyelidiki pengaruh tujuh faktor: tekanan, peluang, rasionalisasi, kapabilitas,
arogansi, ketidaktahuan, dan keserakahan terhadap Fraudulent Financial Reporting dengan
menggunakan analisis model Fraud Heptagon, dengan Kepemilikan Institusional sebagai
variabel moderasi. Difokuskan pada BUMN di Indonesia pada tahun 2018 hingga 2022,
purposive sampling menghasilkan 141 sampel. Analisis regresi dengan software Warp PLS
versi 8.0 menunjukkan bahwa peluang, kapabilitas, dan ketidaktahuan semuanya berpengaruh
negatif terhadap kecurangan pelaporan keuangan. Hal ini menunjukkan bahwa mereka dapat
membantu mengurangi masalah tersebut. Namun tekanan, rasionalisasi, arogansi, dan
keserakahan berpengaruh positif terhadap Fraudulent Financial Reporting. Secara khusus,
kepemilikan institusional memoderasi korelasi antara Keserakahan dan kecurangan pelaporan
keuangan. Hasil ini memberikan kontribusi wawasan terhadap dinamika aktivitas pelaporan
keuangan yang mengandung kecurangan, menekankan perlunya pemahaman yang
komprehensif dan mekanisme kontrol yang kuat untuk mencegah kecurangan pelaporan
keuangan secara efektif. Penelitian ini memberikan implikasi kepada investor agar berhati-
hati dalam melakukan investasinya dan tidak cenderung memandang peningkatan stabilitas
perusahaan. Meski demikian, investor tidak perlu khawatir karena kecenderungan kecurangan
di perusahaan pelat merah masih sangat rendah.

Kata Kunci : Fraud Heptagon, Fraudulent Financial Reporting, Kepemilikan Institusional


PERKENALAN
Konsumen dapat memanfaatkan informasi keuangan dalam laporan keuangan untuk
mengambil keputusan. (Handoko, 2021). Penyajian laporan keuangan harus sesuai dengan
Kerangka Konseptual Pelaporan Keuangan, termasuk relevansi, representasi yang tepat, dapat
dibandingkan, dapat diverifikasi, jadwal waktu, dan dapat dipahami
(Ratnasari et al. adingatus, 2019)
. Namun, kepentingan terbaik pemegang saham terkadang sejalan dengan
keinginan manajemen. Berdasarkan laporan Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE) tahun 2020, dengan 36 kasus dari 198 kasus penipuan dan 70% kasus penipuan di
Indonesia disebabkan oleh korupsi, Wilayah Asia Pasifik memiliki kasus penipuan terbanyak
di Indonesia (Kontan, 2023) . Kajian ACFE tahun 2019 mengungkapkan bahwa penipuan
menimbulkan kerugian sebesar Rp2.260.000.000 dengan rate 6,7%. Hal ini menunjukkan
adanya peningkatan Fraudulent Financial Reporting (FFR) setiap tahunnya. Pada tahun 2020,
sektor pemerintah termasuk BUMN menyumbang 11,1% kerugian di atas Rp 10 miliar dan
15,9% antara Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar di Indonesia (ACFE Global, 2020). Meski kecil,
kasus penipuan perusahaan pelat merah ini sepenuhnya menjadi sorotan publik.
PT Garuda Indonesia terlibat skandal manipulasi laporan keuangan pada tahun 2019
karena pengakuan pendapatan terkait kerjasama dengan PT Mahata Aero Teknologi atas
pembayaran yang akan diterima perusahaan setelah pelaksanaan perjanjian
(CNN Indonesia, 2019)
. Hal ini berdampak pada laporan laba rugi PT Garuda Indonesia. Kemudian, kasus PT
Waskita yang melakukan manipulasi laporan keuangan dengan menyembunyikan invoice
vendor sejak tahun 2016 menyebabkan beban utang menyusut dan kondisi keuangan tetap
baik meski mengalami kesulitan keuangan (CNBC Indonesia, 2023) . Kasus-kasus tersebut
menyoroti kegagalan pemerintah dalam melakukan pengawasan.
FFR disebabkan oleh berbagai variabel, antara lain unsur Fraud Triangle yaitu
tekanan, peluang, dan rasionalisasi (Cressey 1953) . Bersamaan dengan berlalunya
waktu, Wolfe and Hermanson (2004) menyadari satu faktor yang memotivasi FFR:
kemampuan, yang kemudian ditambahkan ke Fraud Diamond. Kemudian
Horwath (2011)
diperluas lagi ke Penipuan Pentagon, kapabilitas, dan arogansi . Pada tahun 2019,
Vousinas (2019)mentransformasikan model SCORE menjadi SCCORE, Model Segi Enam
Penipuan. Model tersebut meliputi tekanan, kapabilitas, kolusi, peluang, rasionalisasi, dan
ego. Sebelumnya, model Fraud Heptagon dikembangkan oleh Mohamed and Yusof B (2016),
yang menambahkan ketidaktahuan dan keserakahan sebagai faktor pemicu FFR. Model Fraud
Heptagon masih jarang dimanfaatkan khususnya di Indonesia. Tekanan, peluang,
rasionalisasi, kapabilitas, arogansi, ketidaktahuan, dan keserakahan mewakili Model Fraud
Heptagon.
Kecurangan dalam laporan keuangan terus terjadi, dan masih terdapat inkonsistensi
hasil penelitian (Azizah & Reskino, 2023) . Kesenjangan dalam literatur sebelumnya
mengenai perspektif teoritis yang menjelaskan penipuan bervariasi, mulai dari mendeteksi
model segitiga penipuan hingga mendeteksi FFR
(Owusu et al., 2022; Rahman et al., 2020; Sánchez-Aguayo et al., 2022)
. Kemudian digunakan pendekatan Fraud Diamond Model
untuk mendeteksi FFR
(Handoko & Natasya, 2019; Khamainy et al., 2022; Medlar & Umar, 2023)
. Deteksi FFR menggunakan model penipuan Pentagon juga dilakukan oleh
(Achmad, Hapsari, et al. 2022; Wibowo & Putra, 2023)
. Sedangkan model Fraud Hexagon mendeteksi
FFR (Achmad, Ghozali, et al., 2022) . Sebelumnya, Handoko et al. (2022) Pengujian FFR
telah dilakukan dengan pendekatan model Fraud heptagon, dan terdeteksi bahwa heptagon
Fraud mempunyai pengaruh secara simultan dimana Pressure, Opportunity, Rationalization,
Capability, Arrogance, Ignorance, dan Greed tidak berpengaruh terhadap FFR.
baru dari penelitian ini terletak pada pemeriksaan inovatif terhadap peran moderat
kepemilikan institusional dalam model penipuan heptagon. Pendekatan ini menjelaskan
bagaimana kepemilikan institusional, beserta kapasitas pengaturan dan pengawasannya,
berinteraksi dengan faktor-faktor model heptagon. Penelitian ini mengkaji bagaimana
kepemilikan institusional memoderasi kecurangan di perusahaan milik negara dan bagaimana
entitas eksternal dapat mempengaruhi dan memitigasinya. Penelitian ini penting untuk
memahami faktor-faktor yang mempengaruhi FFR, khususnya pada BUMN di Indonesia.
Mengidentifikasi indikator-indikator ini membantu perusahaan dan regulator menghindari
penipuan dan meningkatkan transparansi pelaporan keuangan. Tujuan utamanya adalah untuk
menguji bagaimana kepemilikan institusional memoderasi hubungan antara komponen model
dan FFR dalam model penipuan heptagon.

Tinjauan Literatur
Model Penipuan Heptagon
Fraud Heptagon Model mengidentifikasi alasan melakukan penipuan ke dalam
banyak elemen moral dan lingkungan (Nugroho & Diyanty, 2022) . Karena kejahatan
finansial merupakan bagian dari FFR, maka hal ini dapat mengakibatkan permasalahan moral
dan lingkungan yang buruk. Faktor moral seseorang yang digambarkan dengan Fraud
Heptagon menjadi penyebab utama seseorang melakukan FFR (Juliani & Ventty, 2022) .
Faktor Fraud Heptagon Model menunjukkan stabilitas keuangan dan tekanan eksternal karena
total aset mempengaruhi daya tarik investor yang dapat memicu FFR ; Peluang terjadi karena
pengawasan yang tidak efektif; Auditor mendefinisikan rasionalisasi sebagai pembelaan yang
beralasan atas perilaku tidak etis; Kapabilitas menggambarkan kualitas dan keterampilan
yang dibutuhkan agar berhasil melakukan penipuan; Arogansi muncul dari rasa superioritas
terhadap kekebalan aturan atau norma yang berlaku; Ketidaktahuan, orang mengabaikan
informasi yang bertentangan tanpa berusaha memahaminya; dan Keserakahan untuk hidup
melebihi kemampuannya (Mohamed & Yusof B, 2016).

Pengembangan Hipotesis
Tekanan dan Kepemilikan Institusional
Menurut Abbas (2019) , faktor seperti kesulitan membayar utang dan menurunnya
kondisi keuangan akibat inflasi dan resesi menjadi tekanan awal untuk melakukan penipuan.
Menurut model heptagon, tekanan dalam Penipuan Masalah keuangan atau tekanan ekonomi
dapat menyebabkan penipuan atau penipuan. Perusahaan akan berusaha menjaga stabilitas
keuangan, meskipun konsekuensinya adalah modifikasi laporan keuangan. Penelitian
sebelumnya
Achmad, Hapsari, et al. (2022), Medlar & Umar (2023), Owusu et al. (2022), and Wibowo & Pu
menemukan bahwa FFR mempunyai korelasi positif dengan
tekanan. Semakin besar tekanan terhadap keuangan atau pengawas suatu perusahaan, maka
semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya penipuan.
Anisykurlillah et al. (2022)
membuktikan kepemilikan institusional dapat mempengaruhi hubungan antara
Tekanan dan FFR. Hipotesis penelitian:
Tekanan H1a berpengaruh positif dan signifikan terhadap FFR.
H1b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan antara Tekanan dan FFR.

Peluang dan Kepemilikan Institusional


Ketidakstabilan struktur organisasi, khususnya manajemen puncak, timbul dari tidak
efektifnya pengawasan (Handoko et al., 2022). Kurangnya pengawasan menciptakan peluang
terjadinya penipuan. Aspek penipuan Model heptagon menggambarkan situasi ketika penipu
dapat melakukan penipuan karena kelemahan pengendalian internal perusahaan. Hasil
penelitian Puteri (2023)menunjukkan bahwa peluang berpengaruh signifikan terhadap FFR.
Jika komite audit dapat meningkatkan pengawasan maka FFR akan mudah terdeteksi.
Penelitian yang dilakukan Khamainy et al. (2022) membuktikan bahwa variabel Peluang
berpengaruh negatif terhadap deteksi FFR. Menurut Sari et al. (2019) , Manajemen lebih
mengetahui status dan prospek perusahaan dibandingkan prinsipal. Oleh karena itu, mereka
mungkin menggunakan laporan keuangan untuk melakukan penipuan. Kepemilikan
institusional yang lebih tinggi berarti deteksi FFR yang lebih ketat terhadap tata kelola
perusahaan. Hipotesis penelitian:
H2a berpengaruh positif dan signifikan terhadap FFR.
H2b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan antara Peluang dan FFR.

Rasionalisasi dan Kepemilikan Institusional


Rasionalisasi dalam model Fraud Heptagon merupakan proses mental dalam penipuan
itu sendiri bahwa tindakan penipuan yang dilakukan adalah wajar atau perlu dalam situasi
tertentu. Penelitian yang dilakukan oleh Medlar & Umar (2023) , membuktikan bahwa
rasionalisasi berpengaruh signifikan dan positif Deteksi FFR. Menurut ACFE (2020) ,
pergantian auditor dapat mengindikasikan penipuan. Semakin sering auditor berganti,
semakin tinggi kemungkinan terjadinya kecurangan. Hal ini menghilangkan bukti kecurangan
yang mungkin ditemukan oleh auditor sebelumnya. Sedangkan penelitian yang dilakukan
menunjukkan Handoko (2021)bahwa pergantian auditor berpengaruh negatif terhadap deteksi
FFR . Sifat egois yang teridentifikasi dalam asumsi bahwa kinerja didasarkan pada perolehan
imbalan membuat individu melakukan berbagai hal untuk meningkatkan kinerja.
Kepemilikan institusional mengurangi permasalahan dengan memberikan kontribusi terhadap
pemantauan eksternal (Anisykurlillah et al., 2022). Hipotesis penelitian:
H3a Rasionalisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap FFR.
H3b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan Rasionalisasi dengan FFR.

Kapabilitas dan Kepemilikan Institusional


Kapabilitas Penipuan Model Heptagon mengacu pada kapasitas atau bakat individu
untuk melakukan penipuan, yang mencakup pengetahuan teknis, akses, dan sumber daya.
Perusahaan yang berganti manajer atau direksi diduga melakukan penipuan. Semakin lama
orang duduk dalam posisi ini dan beradaptasi, semakin mereka dapat mengendalikan situasi
internal dan sosial. Pernyataan ini didukung oleh
Medlar & Umar (2023) and Nugroho & Diyanty (2022)
, yang menyatakan bahwa indeks penipuan meningkat seiring dengan
bertambahnya jumlah direksi. Sementara itu,
Achmad, Hapsari et al. (2022), Handoko et al. (2022), Khamain
nyatakan bahwa Kapabilitas tidak
mempengaruhi deteksi FFR. Kepemilikan institusional dapat memberikan
Ling et al. (2020)
check and balance terhadap perubahan direktur yang berpotensi merugikan.
Kepemilikan institusional memiliki kepentingan jangka panjang untuk memastikan direktur
baru memiliki integritas dan kompetensi untuk mendeteksi penipuan. Hipotesis penelitian:
Kemampuan H4a berpengaruh positif dan signifikan terhadap FFR.
H4b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan Kapabilitas dengan FFR.

Kesombongan dan Kepemilikan Institusional


Arogansi dalam model Fraud Heptagon mengacu pada sikap arogansi atau rasa
percaya diri berlebihan yang dimiliki seorang penipu sehingga mempengaruhi perilaku
curangnya. Penelitian yang dilakukan oleh
Medlar & Umar (2023) and Uciati & Mukhibad (2019)
menyatakan bahwa semakin banyak foto CEO yang ditampilkan menunjukkan tingkat
arogansi CEO yang tinggi. Kondisi ini menunjukkan kemungkinan terjadinya kecurangan
karena perasaan superior akibat tidak efektifnya pengendalian internal karena status dan
jabatan (Aprilia & Agustina, 2017). Namun,
Achmad, Hapsari, et al. (2022), Fathmaningrum & Anggarani (2021)
menemukan bahwa tidak ada korelasi antara jumlah
foto CEO dan penipuan. Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang tinggi dapat
berperan dalam memastikan bahwa peraturan dan norma yang berlaku dihormati dan
pelanggaran tidak dibiarkan begitu saja. Hipotesis penelitian:
H5a Arogansi berpengaruh positif dan signifikan terhadap FFR.
H5b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan Arogansi dengan FFR.

Ketidaktahuan dan Kepemilikan Institusional


Ketidaktahuan dalam Fraud Heptagon mengacu pada kurangnya pemahaman atau
pengetahuan tentang risiko dan akibat dari tindakan penipuan yang mempengaruhi keputusan
seseorang mengenai penipuan. Pengetahuan dan informasi dapat menghalangi seseorang
untuk tidak mendapat informasi dan mengabaikan fakta sehingga mengakibatkan perilaku
tidak jujur (Mohamed & Yusof B, 2016) . Oleh karena itu, posisi direktur diharapkan dapat
meminimalisir ketidaktahuan mengenai tata kelola perusahaan (Handoko et al., 2022) .
Direksi dapat meningkatkan keterampilan karyawan melalui pengalaman dan pelatihan
internal dan eksternal. Program orientasi terstruktur juga diperlukan bagi direktur baru.
Kepemilikan institusional yang tinggi sering kali menciptakan pengawasan yang lebih besar
terhadap praktik perusahaan (Suryani & Rofida, 2020) . Organisasi dengan kepemilikan
institusional yang besar seringkali lebih mungkin mengembangkan budaya yang menjunjung
standar etika yang tinggi dan mendorong pendidikan dan pelatihan lebih lanjut bagi tenaga
kerja mereka. Hipotesis penelitian:
H6a Ketidaktahuan berpengaruh positif dan signifikan terhadap FFR.
H6b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan antara Ketidaktahuan dan FFR.

Keserakahan dan Kepemilikan Institusional


Keserakahan dapat dikaitkan dengan keinginan akan kekayaan, kepemilikan, dan
kekuasaan. Menurut Bishop (2022), 70% kasus penipuan dilakukan karena keserakahan.
Remunerasi adalah pembayaran karyawan melalui bonus, komisi, lembur, dan imbalan
finansial lainnya. Ketika seseorang berkinerja baik atau perusahaan mencapai tujuannya,
maka akan diberikan remunerasi. Keserakahan dalam Fraud Heptagon mencerminkan
dorongan untuk mendapatkan keuntungan finansial yang berlebihan atau keserakahan yang
mendorong individu melakukan tindakan penipuan untuk mendapatkan keuntungan pribadi
yang signifikan. Hal ini dapat menimbulkan keserakahan. Hasil penelitian
Mohamed & Yusof B (2016)
menunjukkan bahwa kecurangan laporan keuangan dan kompensasi berkorelasi
positif. Di sisi lain, menurut Handoko et al. (2022),Keserakahan tidak mempengaruhi deteksi
FFR. Keinginan untuk memperoleh dana tambahan dapat mendorong terjadinya perilaku
menyimpang. Besar kecilnya kepemilikan institusional berpengaruh terhadap pengawasan
Hipotesis penelitian:
H7a Greed berpengaruh positif dan signifikan terhadap FFR.
H7b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan antara Keserakahan dan FFR.

METODE
Penelitian ini menggunakan laporan tahunan badan usaha milik negara yang terdaftar
di Bursa Efek Indonesia (BEI) periode 2018-2022. Lima tahun dipilih untuk mewakili hasil
yang lebih akurat dan relevan. Perusahaan milik negara digunakan sebagai populasi
penelitian. Berdasarkan data Kementerian BUMN pada tahun 2022, terdapat 164 perusahaan
BUMN dengan 108 holding dan 56 anak perusahaan. Namun, hanya 25 perusahaan pelat
merah yang terdaftar di BEI (Kementerian BUMN, 2021).
Estimasi parameter model moderasi menggunakan WarpPLS 8.0 dan Partial Least
Square-Structural Equation Modeling (PLS-SEM). WarpPLS memberikan fleksibilitas,
terutama jika penelitian tidak memerlukan analisis mendalam terhadap variabel manifes atau
indikator (Elgarhy & Mohamed, 2023) . WarpPLS memperkirakan nilai p koefisien jalur
secara otomatis. Sebagian besar perangkat lunak PLS lainnya menyediakan T-Value, sehingga
pengguna harus membandingkannya dengan T Tabel atau mendapatkan p-value baru
(Kock, 2023)
. Goodness of fit dan model dalam digunakan untuk menganalisis data, namun model
luar diabaikan. Uji goodness of fit digunakan untuk menentukan kelayakan model penelitian
—model dalam untuk menguji ide penelitian. Beberapa indikator kesesuaian model tersedia
melalui WarpPL, yang dapat digunakan untuk membandingkan model optimal di berbagai
model (Christanty et al., 2023) . Indikator fit yang dihasilkan meliputi rata-rata R-squared
(ARS), rata-rata jalur koefisien (APC), dan rata-rata variance inflasi faktor (AVIF). Ini juga
dapat memberikan nilai keluaran untuk efek tidak langsung dan total, nilai p, kesalahan
standar, dan ukuran efek .

Tabel 1. Pengambilan Sampel Purposif


TI
DA Kriteria pengambilan sampel purposif Total
K
Populasi 25

1 Badan Usaha Milik Negara tidak terdaftar di BEI pada 2018-2022 (2)

Perusahaan yang belum memiliki data lengkap untuk menghitung


2 0
M-Score
Pengambilan sampel total 23
Periode pengamatan (2018-2022) 5
Jumlah observasi (23x5) 115
Aneh (1)
Jumlah data 114
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder tahun 2023

Sedangkan prosedur pengambilan sampelnya menggunakan pendekatan purposive


sampling dengan kriteria yang telah ditentukan. Tujuan dari teknik purposive sampling
adalah untuk memastikan tidak ada anggota populasi yang mengalami perubahan yang sama
dengan sampel (Ghozali I, 2016). Tabel 1 menunjukkan proses pengambilan sampel.

Tabel 2. Definisi Operasional Variabel


Variabel Independen (X)
Total Liabilities (Handoko dkk.,
Tekanan
Total Asset 2022)

Number of Independent Commissioners Ratio (Handoko dkk.,


Peluang
Total Commissioners 2022)
Diukur dengan menggunakan variabel dummy, jika
(Handoko dkk.,
Rasionalisasi terjadi pergantian auditor pada periode 2018-2022
2022)
maka kodenya 1, namun jika tidak maka kodenya 0.
Diukur dengan menggunakan variabel dummy, jika
(Handoko dkk.,
Kemampuan terjadi pergantian direksi pada periode 2018-2022
2022)
maka kodenya 1, namun jika tidak maka kodenya 0.

Diukur menggunakan foto pergantian CEO periode (Handoko dkk.,


Kesombongan
2018-2022. 2022)

Number corporate governance courses


Ketidaktahuan (Mohamed & Yusof B, 2016)
a total number of BODs

Actual amounts Executive Directors Remunerations (Mohamed & Yusof


Ketamakan
Profits B, 2016)

Ada kepemilikan saham dari institusi lain di


Kelembagaan (Ling dkk., 2020)
perusahaan
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder tahun 2023

Penelitian ini menggunakan FFR (Y) karena Beneish M-Score mengkuantifikasi


variabel dependen untuk mengidentifikasi kecurangan pelaporan keuangan. Perusahaan
dengan M > -2,22 menunjukkan adanya kecurangan yang diwakili oleh angka 1, begitu pula
sebaliknya (Beneish, 1999). Data time series tahun 2017-2022 juga digunakan dalam variabel
FFR. Variabel independen berdasarkan model penipuan Heptagon adalah Tekanan (X1),
Peluang (X2), Rasionalisasi (X3), Kapabilitas (X4), Arogansi (X5), Ketidaktahuan (X6), dan
Keserakahan (X7) dan Kepemilikan Institusional (Z ) sebagai variabel moderasi.

M-Score = -4.84 + 0.920 DSRI + 0.528 GMI + 0.404 AQI + 0.829 SGI + 0.115 DEPI – 0.172
SGAI + 4.679 TATA – 0.327 LVGI (Beneish, 1999)

HASIL DAN DISKUSI


Hasil analisis deskriptif pada Tabel 4 menggambarkan signifikansi beberapa atribut
variabel dalam mengidentifikasi FFR. FFR memiliki rata-rata peluang terjadinya sebesar
27,8%, dengan tekanan signifikan (61%) dan peluang (56,5%). Rasionalisasi memiliki
variabilitas yang signifikan (11%) dan Kapabilitas (39%). Arogansi (6,82) dan ketidaktahuan
(3,66) menunjukkan perbedaan rata-rata yang signifikan. Sedangkan variabilitas keserakahan
(12,4) cukup besar. Selain itu, dukungan terhadap kepemilikan institusional juga cukup
signifikan dengan rata-rata sebesar 5,26.

Tabel 4. Hasil Statistik Deskriptif


sekolah Minima
N dasar Cara l Maks
Pelaporan Keuangan Palsu (Y) 114 0,417 0,278 0 1
Tekanan (X1) 114 0,257 0,610 0 1
Peluang (X2) 114 0,390 0,565 0,20 2
Rasionalisasi (X3) 114 0,308 0,11 0 1
Kemampuan (X4) 114 0,491 0,39 0 1
Arogansi (X5) 114 2.515 6.82 0 13
Ketidaktahuan (X6) 114 1.913 3.660 0,75 9.1
Keserakahan (X7) 114 0,551 0,124 -0,26 5.28
Kepemilikan Institusional (Z) 114 3.271 5.26 0 9
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder tahun 2023

Tabel 5 menunjukkan hasil kecocokan model, dan indeks kualitas menyatakan bahwa
model penelitian memenuhi semua persyaratan. Rata-rata nilai P Koefisien Jalur (APC)
menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara faktor eksogen dan endogen, dengan P
<= 5 yang besar menunjukkan tidak adanya multikolinearitas. Kemudian, Average Full
Collinearity VIF (AVFIF) signifikan P<=5, artinya tidak ada kolinearitas pada data.
Berdasarkan hasil tersebut peneliti dapat menyimpulkan bahwa Goodness of Fit Model dapat
diterima secara efektif dan digunakan untuk pengujian hipotesis. Beberapa model yang tidak
memenuhi persyaratan indeks tidak berdampak signifikan pada kualitas data.

Tabel 5. Hasil Uji Model Fit


Kesesuaian Model dan Indeks Indeks Kriteria Hasil
Kualitas
Koefisien Jalur Rata-rata (APC) 0,108 P = 0,060 Sakit
Rata-rata R-Kuadrat (ARS) 0,323 P<0,001 Sakit
Rata-rata R-Squared yang Disesuaikan 0,228 P<0,001 Sakit
Faktor Inflasi Varians Blok Rata-Rata 1.589 JIKA<=5, Idealnya Model yang
(AVIF) <=3.3 Cocok
Rata-rata Kolinieritas Penuh VIF 1.398 JIKA<=5, Idealnya Model yang
(AFVIF) <=3.3 Cocok
Tenenhaus GoF (GoF) 0,569 Kecil>=0,1, Besar
Sedang>=0,25,
Besar>=0,36
Rasio Paradoks Simpson (SPR) 0,714 JIKA>=0,7, Idealnya =1 Model yang
Cocok
Rasio Kontribusi R-Squared (RSCR) 0,924 JIKA>=0,9, Idealnya =1 Model yang
Cocok
Rasio Penekanan Statistik (SSR) 0,857 JIKA>=07 Sakit
Rasio Arah Kausalitas Bivariat 0,929 JIKA>=0,7 Model yang
Nonlinier (NLBCDR) Cocok
Sumber : Hasil pengolahan data sekunder tahun 2023

Nilai P sebesar 0,005 berarti variabel tekanan dan FFR mempunyai hubungan yang
signifikan maka H1a diterima. Hasil penelitian tersebut merupakan penelitian serupa

Achmad, Ghozali, et al. (2022); Achmad, Hapsari, et al. (2022); Medlar & Umar (2023); Owusu et al. (2022)
dan bertentangan dengan penelitian
(Khamainy et al., 2022)
. Alhasil, stres menjadi faktor penting dalam kasus penipuan. Hal ini sesuai
dengan Fraud Heptagon Model yang menunjukkan bahwa FFR memang disebabkan oleh
tekanan. Kemudian hipotesis H1b menguji Kepemilikan Institusional yang memoderasi
hubungan antara tekanan dan FFR. Hasilnya tidak signifikan secara statistik pada 0,466, lebih
besar dari 0,05. Artinya H1b ditolak . Hubungan antara dukungan terhadap situasi yang
dihadapi oleh manajer dan kesejahteraan mereka serta respons terhadap situasi tersebut tidak
berhubungan dengan gairah. Hasil penelitian ini tidak menerima hasil penelitian
oleh Anisykurlillah et al. (2022) bahwa kepemilikan institusional dapat mempertimbangkan
pengaruh stabilitas keuangan terhadap FFR.
Hasilnya, kepemilikan institusional dapat meningkatkan tata kelola sehingga
menghasilkan kinerja bisnis yang lebih efektif dan efisien. Tabel 6 menunjukkan bahwa H2a
diterima , P-value variabel probabilitas kurang dari 0,05 atau kurang dari 0,001 . Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat pengawasan komite audit dapat menurunkan risiko FFR sesuai
dengan Fraud Heptagon Model yang menyatakan bahwa kurangnya pengawasan dapat
meningkatkan peluang terjadinya FFR. Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian
yang Puteri (2023), Uciati & Mukhibad (2019) menyatakan bahwa peluang berpengaruh
terhadap FFR.aTest H2b Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan peluang dengan
FFR, diperoleh P-value sebesar 0,028 kurang dari 0,05 yang menunjukkan adanya pengaruh
moderasi kepemilikan institusional terhadap hubungan antara peluang dan FFR. H2b ditolak
. Meskipun kepemilikan institusional belum mampu mengidentifikasi konflik kepentingan
dalam organisasi, pengawasan dapat mengungkap FFR.
Nilai p-value yang terkait dengan variabel rasionalisasi seperti tersaji pada Tabel 6
sebesar 0,144 berada di atas ambang batas signifikansi 0,05 sehingga H3a ditolak . Artinya
tidak ada kecenderungan manajemen mendeteksi FFR, baik dengan rasionalisasi tinggi
maupun rendah. Hasil tersebut tidak dapat membuktikan penelitian Handoko & Natasya
(2019) and Owusu et al. (2022)mengenai hubungan rasionalisasi dengan FFR. Selanjutnya uji
H3b dengan P-value sebesar 0,407 lebih besar dari signifikan 0,05 maka H3b ditolak . Hal
ini menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak mempunyai pengaruh moderasi
terhadap korelasi rasionalisasi dan FFR. Peran kepemilikan institusional yang optimal tidak
dapat mempengaruhi kecenderungan manajer dalam memanfaatkan peluang untuk
mendeteksi FFR. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian (Anisykurlillah et al., 2022).
Tingkat keterampilan tidak berdampak pada FFR. Nilai P sebesar 0,353, lebih besar
dari 0,05, menunjukkan hal ini. Karena nilai signifikan lebih dari 0,05 maka H4a ditolak .
Besar kecilnya tingkat pergantian direktur tidak mempengaruhi deteksi FFR
(Khamainy et al., 2022)
. Pergantian jabatan direktur dapat terjadi sebagai akibat dari pengunduran diri atau
sebagai inisiatif organisasi untuk meningkatkan kinerjanya secara keseluruhan. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian
(Medlar & Umar, 2023; Nugroho & Diyanty, 2022; Uciati & Mukhibad, 2019)
. Namun penelitian ini bertentangan dengan penelitian tersebut.
(Achmad, Ghozali, et al., 2022; Handoko, 2021). Oleh karena itu, peran kepemilikan
institusional yang optimal tidak dapat mempengaruhi pergantian direktur terhadap deteksi
FFR. Hal ini dikarenakan nilai signifikansi H4b sebesar 0,395 lebih besar dari signifikansi
0,05 sehingga H4b ditolak . Kecenderungan seseorang untuk melakukan FFR akan
meningkat meskipun memiliki ego yang rendah terhadap penipuan. Artinya H5a diterima .
Hasil tersebut dibuktikan dengan nilai signifikansi sebesar 0,017 lebih besar dari signifikansi
0,05. Hasil ini sejalan dengan Uciati & Mukhibad (2019) bahwa orang dengan tingkat
narsisme tinggi tidak menyukai kinerja buruk dan citra diri negatif. Dengan kata lain, mereka
yang memiliki ego tinggi memerlukan validasi eksternal atas kehebatan kepemimpinan
mereka. Sebagaimana dikemukakan dalam Fraud Heptagon Model, rasa superioritas atas
kekebalan aturan atau norma yang berlaku dapat memicu FFR. Tidak ada korelasi antara
kepemilikan institusional dengan hubungan antara keangkuhan dan FFR. Nilai signifikansi
sebesar 0,245 lebih signifikan dari 0,05. H5b ditolak.
Pada Tabel 6, nilai P-value yang terkait dengan variabel Ketidaktahuan adalah sebesar
0,215, melebihi tingkat signifikansi sebesar 0,05. Oleh karena itu, H6a ditolak . Artinya,
pengembangan pengetahuan melalui pelatihan dan pengalaman internal belum mampu
mereduksi tindakan FFR. Seringkali, individu mengandalkan ketidaktahuan mereka sebagai
dasar untuk menolak informasi. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Nugroho & Diyanty (2022) and Uciati & Mukhibad (2019) , yang menemukan bahwa
ketidaktahuan berpengaruh positif terhadap deteksi FFR. Sebaliknya uji hipotesis H6b
signifikan dengan P-value sebesar 0,289 lebih kecil dari 0,05 maka H6b ditolak .
Kepemilikan Institusional memikul tanggung jawab untuk memantau dan mengendalikan
pelanggaran serta dapat memberikan pemahaman yang ideal tentang aktivitas manajerial.
Pengujian terhadap H7a terlihat dari P-value variabel keserakahan sebesar 0,062, dan jika
lebih kecil dari 0,05 maka H7a ditolak . Hal ini menunjukkan bahwa pemberian reward
belum mampu memicu keserakahan manusia, dan cenderung tidak puas dengan jumlah yang
diberikan. Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Handoko et al. (2022) menyatakan bahwa
keserakahan tidak berpengaruh terhadap deteksi FFR. Selanjutnya untuk menguji H7b
diperoleh P-value sebesar 0,253 lebih signifikan dari 0,05; oleh karena itu, H7b ditolak .
Meskipun kompensasi berdampak pada FFR, kepemilikan institusional tidak berhubungan
dengan korelasi ini.

Tabel 6. Ringkasan Hipotesis


Ringkasa
Hipotesa Kriteria Tanda n
Tekanan berpengaruh positif dan signifikan
H1a: <0,05 0,005 Diterima
terhadap FFR.
Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan
H1b: <0,05 0,466 Ditolak
antara Tekanan dan FFR.
Peluang berpengaruh positif dan signifikan <0,001
H2a: <0,05 Diterima
terhadap FFR.
Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan
H2b: <0,05 0,028 Diterima
antara Peluang dan FFR.
Rasionalisasi berpengaruh positif dan signifikan
H3a: <0,05 0,144 Ditolak
terhadap FFR.
Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan
H3b: <0,05 0,407 Ditolak
Rasionalisasi dengan FFR.
Kapabilitas berpengaruh positif dan signifikan
H4a: <0,05 0,353 Ditolak
terhadap FFR.
Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan
H4b: <0,05 0,395 Ditolak
Kapabilitas dengan FFR.
Arogansi berpengaruh positif signifikan terhadap
H5a: <0,05 0,017 Diterima
FFR.
Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan
H5b: <0,05 0,245 Ditolak
antara Arogansi dan FFR.
Ketidaktahuan berpengaruh positif signifikan
H6a: <0,05 0,215 Ditolak
terhadap FFR.
Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan
H6b: <0,05 0,289 Ditolak
antara Ketidaktahuan dan FFR.
Keserakahan berpengaruh positif dan signifikan
H7a: <0,05 0,062 Ditolak
terhadap FFR.
Kepemilikan Institusional memoderasi hubungan
H7b: <0,05 0,253 Ditolak
antara Keserakahan dan FFR.
*(signifikan pada p<0,05)

KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari tujuh faktor utama Heptagon Fraud Model,
hanya Pressure, Opportunity, dan Arogance yang mempunyai efek stimulus dalam
mendeteksi FFR. Sedangkan faktor lain seperti rasionalisasi, kapabilitas, ketidaktahuan, dan
keserakahan tidak berpengaruh terhadap deteksi FFR. Kepemilikan Institusional dapat
memoderasi hubungan antara Peluang dan FFR. Artinya kepemilikan institusional dapat
mempengaruhi kepercayaan investor terhadap manajemen untuk mengelola saham terkait.
Penelitian ini memberikan implikasi kepada investor agar berhati-hati dalam melakukan
investasinya dan tidak cenderung memandang peningkatan stabilitas perusahaan. Meski
demikian, investor tidak perlu khawatir karena kecenderungan kecurangan di perusahaan
pelat merah masih sangat rendah. Keterbatasan penelitian terletak pada terbatasnya sumber
informasi dalam mendeskripsikan model penipuan heptagon secara komprehensif. Ruang
lingkup penelitian dibatasi pada perusahaan milik negara yang terdaftar di BEI. Penelitian
selanjutnya disarankan untuk menambah informasi mengenai model Fraud Heptagon dan
memperluas ukuran penelitian. Selain itu, variabel situasional seperti sistem pelaporan
pelanggaran dan data besar digunakan sebagai moderator.

REFERENSI _
Abbas, A. (2019). Penipuan Pendapatan dan Stabilitas Keuangan. Jurnal Penipuan Asia
Pasifik , 2 (1), 117. https://doi.org/10.21532/apfj.001.17.02.01.010
ACFE. (2020). Laporkan ke Bangsa-Bangsa 2020 .
ACFE Global. (2020). Laporan kepada negara-negara mengenai penipuan dan penyalahgunaan pekerjaan: Studi
Penipuan Global 2020 .
Achmad, T., Ghozali, I., & Pamungkas, ID (2022). Penipuan segi enam: Deteksi Kecurangan Pelaporan Keuangan
pada Badan Usaha Milik Negara Indonesia. Ekonomi , 10 (1). https://doi.org/10.3390/economies10010013
Achmad, T., Hapsari, DI, & Pamungkas, ID (2022). Analisis Teori Fraud Pentagon untuk Mendeteksi Fraudulent
Financial Reporting menggunakan Model F-Score pada Perusahaan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia.
Transaksi WSEAS Bidang Bisnis dan Ekonomi , 19 , 124–133. https://doi.org/10.37394/23207.2022.19.13
Amyulianthy, R., Astuti, T., Wahyudi, A., Harnovinsah, Sopanah, A., & Sulistyan, RB (2023). Penentu Diamond
Fraud: Implementasi Nilai Kebijaksanaan Indonesia. Jurnal Internasional Tinjauan Bisnis Profesional , 8 (8),
e02938. https://doi.org/10.26668/businessreview/2023.v8i8.2938
Anisykurlillah, I., Noor Ardiansah, M., & Nurrahmasari, A. (2022). Analisis Akuntansi Jurnal Deteksi Fraudulent
Financial Statement Menggunakan Fraud Triangle Analysis: Kepemilikan Institusional Sebagai Variabel
Moderating. Jurnal Analisis Akuntansi , 11 (2), 138–148. https://doi.org/10.15294/aaj.v11i2.57517
Apriliana, S., & Agustina, L. (2017). Analisis Penentu Fraudulent Financial Reporting Melalui Pendekatan Fraud
Pentagon. JDA Jurnal Dinamika Akuntansi , 9 (2), 154–165. https://doi.org/10.15294/jda.v9i2.4036
Azizah, S., & Reskino, R. (2023). Pendeteksian Penipuan Laporan Keuangan: Pengujian Penipuan Teori Heptagon.
Jurnal Akuntansi Dan Governance , 4 (1), 17. https://doi.org/10.24853/jago.4.1.17-37
Beneish, MD (1999). Deteksi Manipulasi Pendapatan. Jurnal Analisis Keuangan , 4 .
Uskup, DY (2022). Manajemen Risiko Penipuan untuk Mendeteksi dan Mencegah Penipuan Karyawan di Usaha
Kecil Pedesaan . Universitas Kebebasan.
BUMN Kementrian. (2021). Laporan Tahunan BUMN 2021 . www.bumn.go.id
Christanty, L., Sadtyo Nugroho, W., Nurcahyono, N., & Maharani, B. (2023). Sistem Informasi Akuntansi dan Literasi
Keuangan berdampak terhadap Kinerja UKM . 13 (1), 59–69. https://doi.org/10.26714/MKI.13.1.2023.59-69
CNBC Indonesia. (2023, 2 Mei). Jadi Tersangka Korupsi, Ini Kesalahan Dirut Waskita Karya . CNBC Indonesia.
https://www.cnbcindonesia.com/market/20230502140017-17-433729/jadi-tersangka-korupsi-ini-kesalahan-
dirut-waskita-karya
CNN Indonesia. (2019, 30 April). Kronologi Kisruh Laporan Keuangan Garuda Indonesia .
Www.Cnnindonesia.Com. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190430174733-92-390927/kronologi-
kisruh-laporan-keuangan-garuda-indonesia
Cressey, DR (1953). Uang orang lain: Sebuah studi dalam psikologi sosial penggelapan. Patterson Smith .
Elgarhy, SD, & Mohamed, LM (2023). Pengaruh Bauran Pemasaran Jasa (7ps) terhadap Loyalitas, Niat, dan
Profitabilitas di Agen Perjalanan Mesir: Peran Mediasi Kepuasan Pelanggan. Jurnal Penjaminan Mutu
Perhotelan dan Pariwisata , 24 (6), 782–805. https://doi.org/10.1080/1528008X.2022.2080148
Fathmaningrum, ES, & Anggarani, G. (2021). Penipuan Pentagon dan Penipuan Pelaporan Keuangan: Bukti dari
Perusahaan Manufaktur di Indonesia dan Malaysia. Jurnal Akuntansi dan Investasi , 22 (3), 625–646.
https://doi.org/10.18196/jai.v22i3.12538
Ghozali I. (2016). Aplikasi Analisis Multivariat dengan Program IBM SPSS 21 : Update PLS Regresi .
Handoko, BL (2021). Fraud Hexagon dalam Mendeteksi Penipuan Laporan Keuangan Perusahaan Perbankan di
Indonesia. Jurnal Kajian Akuntansi , 5 (2), 2579–9975. http://jurnal.ugj.ac.id/index.php/jka
Handoko, BL, & Natasya. (2019). Model berlian penipuan untuk mendeteksi penipuan laporan keuangan. Jurnal
Internasional Teknologi dan Rekayasa Terkini , 8 (3), 6865–6872. https://doi.org/10.35940/ijrte.C5838.098319
Handoko, BL, Putri, RNA, & Wijaya, S. (2022). Analisis Fraudulent Financial Reporting berdasarkan Fraud Heptagon
Model pada Industri Transportasi dan Logistik yang terdaftar di BEI pada masa Pandemi Covid-19. Seri
Prosiding Konferensi Internasional ACM , 56–63. https://doi.org/10.1145/3578997.3579003
Horwath, C. (2011). Menempatkan Freud dalam Penipuan: Mengapa Segitiga Penipuan Tidak Lagi Cukup. Gagak .
https://www.crowe.com/global
Juliani, M., & Ventty, C. (2022). Analisis Pengaruh CSR terhadap Manajemen Laba dengan Tata Kelola Perusahaan
sebagai Variabel Moderasi. Jesya (Jurnal Ekonomi & Ekonomi Syariah) , 5 (1), 71–84.
https://doi.org/10.36778/jesya.v5i1.566
Khamainy, AH, Ali, M., & Setiawan, MA (2022). Mendeteksi penipuan laporan keuangan melalui model berlian
penipuan baru: kasus di Indonesia. Jurnal Kejahatan Keuangan , 29 (3), 925–941. https://doi.org/10.1108/JFC-
06-2021-0118
Kok, N. (2023). Panduan Pengguna WarpPLS: Versi 8.0 . www.scriptwarp.com
Kontan. (2023, 3 September). Nilai Emisi IPO Tembus Rp 62,61 Triliun di 2021, Melonjak 11 Kali Lipat .
Kontan.Com. https://investasi.kontan.co.id/news/nilai-emisi-ipo-tembus-rp-6261-triliun-di-2021-melonjak-11-
kali-lipat
Ling, DC, Wang, C., & Zhou, T. (2020). Kepemilikan bersama institusional dan nilai perusahaan: Bukti dari perwalian
investasi real estat. Ekonomi Real Estat , 49 (1), 187–223. https://doi.org/10.1111/1540-6229.12312
Medlar, I., & Umar, H. (2023). Pengayaan: Jurnal Penipuan Manajemen analisis berlian penipuan laporan keuangan.
Pengayaan: Jurnal Manajemen , 13 (3). https://doi.org/https://doi.org/10.35335/enrichment.v13i3.1572
Mohamed, K., & Yusof B. (2016). Pelaporan Keuangan yang Menipu: Penerapan Model Penipuan pada Perusahaan
Publik Malaysia . Universitas Lambung.
Nugroho, D., & Diyanty, V. (2022). Penipuan Hexagon dalam Laporan Keuangan Palsu: Peran Moderasi Komite
Audit. Jurnal Akuntansi Dan Keuangan Indonesia , 19 (1), 46–67. https://doi.org/10.21002/jaki.2022.03
Owusu, GMY, Koomson, TAA, Alipoe, SA, & Kani, YA (2022). Mengkaji prediktor kecurangan pada BUMN:
penerapan teori segitiga kecurangan. Jurnal Pengendalian Pencucian Uang , 25 (2), 427–444.
https://doi.org/10.1108/JMLC-05-2021-0053
Prihanto, H. (2021). Faktor Yang Mempengaruhi Pencegahan Korupsi Dengan Menggunakan Fraud. Tinjauan
Internasional Moestopo tentang Masyarakat, Humaniora, dan Ilmu Pengetahuan .
http://mirshus.moestopo.ac.id/index.php/mirshus
Putri, NN (2023). Analisis Kecurangan Laporan Keuangan Menggunakan Pendekatan Hexagon Fraud dengan Komite
Audit sebagai Variabel Moderating. Jurnal Internasional Penemuan Bisnis dan Manajemen (IJBMI) ISSN , 12 ,
35–48. https://doi.org/10.35629/8028-12013548
Rahman, A., Negeri, P., Jl, M., & Almamater, N. (2020). Deteksi Segitiga Fruad Laporan Keuangan pada Perusahaan
LQ45 yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Jurnal Internasional Kejuruan Teknik dan Teknologi Rekayasa ,
2 (1), 2710–7094. https://doi.org/https://doi.org/10.46643/ijtvet.v2i1
Ratnasari Estu, & Solikhah adingatus. (2019). Analisis Kecurangan Laporan Keuangan: Pendekatan Teori Penipuan
Pentagon. Jurnal Akuntansi Gorontalo , 2 (2), 2614–2066. https://doi.org/https://doi.org/10.32662/gaj.v2i2.621
Sahla, WA, & Ardianto, A. (2023). Nilai etika dan persepsi kecenderungan kecurangan auditor: pengujian teori
pentagon kecurangan. Jurnal Kejahatan Keuangan , 30 (4), 966–982. https://doi.org/10.1108/JFC-04-2022-0086
Sánchez-Aguayo, M., Urquiza-Aguiar, L., & Estrada-Jiménez, J. (2022). Deteksi penipuan menggunakan teori
segitiga penipuan dan teknik penambangan data: Tinjauan literatur. Komputer , 10 (10).
https://doi.org/10.3390/computers10100121
Sari, NS, Sofyan, A., & Fastaqlaili, N. (2019). Analisis Dimensi Fraud Diamond dalam Mendeteksi Kecurangan
Laporan Keuangan. Jurnal Akuntansi Trisakti , 5 (2), 171–182. https://doi.org/10.25105/jat.v5i2.4861
Suryani, AW, & Rofida, E. (2020). Akuntansi Lingkungan dari Lensa Teori Sosiologi Institusional Baru: Branding
atau Tanggung Jawab? Jurnal Dinamika Akuntansi Dan Bisnis , 7 (2). https://doi.org/10.24815/jdab.v7i2.17126
Uciati, N., & Mukhibad, H. (2019). Jurnal Analisis Akuntansi Penipuan Laporan Keuangan Pada Bank Syariah.
Jurnal Analisis Akuntansi , 8 (3), 198–206. https://doi.org/10.15294/aaj.v8i3.33625
Vousinas, GL (2019). Memajukan teori penipuan: model SCORE. Jurnal Kejahatan Keuangan , 26 (1), 372–381.
https://doi.org/10.1108/JFC-12-2017-0128
Wibowo, D., & Putra, Y. (2023). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecurangan Laporan Keuangan dengan Analisis
Pentagon Fraud. Jurnal Penipuan Asia Pasifik , 8 (1), 65. https://doi.org/10.21532/apfjournal.v8i1.271
Wolfe, DT, & Hermanson, DR (2004). The Fraud Diamond: Mempertimbangkan Empat Elemen Penipuan .
https://digitalcommons.kennesaw.edu/facpubs

Anda mungkin juga menyukai