Anda di halaman 1dari 20

1.

Mengapa seorang Matematika mempelajari Etnografi ( umum / khusus ) di


papua ?
- Etnografi berasal dari kata ethno yang berarti bangsa atau suku bangsa dan
graphy yang berarti tulisan. Jadi, etnografi berasal tulisan atau deskripsi
mengenai kehidupan social budaya suatu suku bangsa.
Etnografi merupakan suatu bangunan pengetahuan yang meliputi teknik
penelitian, teori etnografi dan berbagai macam deskripsi kebudayaan.
Etnogarafi berulang kali bermakna untuk membangun suatu pengertian
yang sistematik mengenai semua kebudayaan manusia dari prespektif orang
yang telah mempelajari kebudayaan. Jadi mengapa seorang mahasiswa
matematika mempelajari etnografi adalah agar kita dapat mempelajari dan
memahami budaya yang sering kali kita abaikan

Secara khusus di Papua. Setiap daerah di Papua memiliki kebudayaan yang


sangat berbeda, mulai dari kepercayaan, bahasa, pandangan hidup, mata
pencarian, dan lain sebagainya. Maka dari itu, pentingnya kita mempelajari
etnografi khusus Papua. Selain dari itu, hal penting yang harus diperhatikan
yaitu masih banyak suku pedalaman Papua yang belum bisa terjangkau
karena sulitnya akses untuk menjangkaunya. Selain tujuan – tujuan diatas,
tujuan lain mempelajari Etnografi Papua yaitu belajar bangaimana caranya
mempertahankan hidup di suatu daerah Papua. Salah satu caranya adalah
dengan kita mendapatkannya, mengelolah, menyajikannya dan
mengkonsumsinya.
2. Sistem perkawinan orang Papua
- Papua adalah sejarah yang tak terlupakan. Banyak hal yang tersembunyi
yang tidak dapat orang ketahui. Kota Sorong, lebih spesifiknya pada
masyarakat Suku Moi. Letak Sorong geografisnya berada tepat pada
gambar kepala burung yang mana dihuni oleh masyarakat suku asli Moi.
Dalam suku ini terdaoat kebudayaan yang berbeda – beda dengan suku lain
di Papua dengan segala bentuk keanekaragamannya. Di dalamnya termasuk
sistem perkawinannya

Proses peekawinan secara adat oleh suku Moi adalah suatu proses
pernikahan yang harus dilewati bagi generasi suku Moi dewasa ini. Dalam
perkawinan suku Moi terdapat syarat – syarat yang harus dipenuhi apabila
hendak melangsungkan perkawinan yaitu kedewasaan umur, kemampuan
untuk membayar mas kawin, mampu berkebun atau melaut, mempunyai
sikap yang sopan, mampu mencurahkan tenaga untuk kawin dan
melangsungkan pertukaran gadis.

Perkawinan adat pada suku Moi yaitu sesuatu perkawinan yang mengikuti
jalur perkawinan secara struktur di wilayah kepala Malamoi ( Msang,
Mngelak, Mamtolok ) dalam suku Moi. Tentunya bila generasi dewasa ini
memahami sistem dan silsilah perkawinan ini sangatlah baik dan bernilai
tinggi, tidak semua wanita suku Moi menjadi jodoh bagi kita, karena
wanita yang dijumpai bisa jadi bukan jalur perkawinan mereka. Ini adalah
hal yang unik dan baik bagi suku Moi dalam pengaturan system dan jalur-
jalur perkawinan. Hal-hal yang membatasi atau mengatur perkawinan pada
suku Moi adalah struktur keluarga dalam suatu perjalanan peradaban suku
Moi.
Proses peminangan ( Kamwafe )
Sebelum mulai dengan pernikahan, diawali dengan peminangan dari
keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan dengan mengikuti jalur
perkawinan yang telah ada. Peminangan oleh keluarga laki-laki kepada
keluarga perempuan dilalui dengan beberapa tahap :
- Proses pra minang ( Kamfawe )
Dalam pra peminangan ini keluarga laki-laki dating dan melakukan
pertemuan langsung di rumah keluarga perempuan. Proses ini dilalui
dengan diskusi pendek oleh kedua belah pihak, jikalau dalam proses ini
disepakati untuk pernikahan maka proses peminangan pertama akan
dilakukan oleh keluarga laki-laki dan apabila keluarga perempuan tidak
menyetujui maka proses selanjutnya tidak dilaksanakan
- Proses peminangan pertama ( Kamfawe Puduk )
Keluarga laki-laki datang di rumah keluarga perempuan ataupun
sebaliknya untuk proses ikatan
Tata laksana proses ikatan pertama biasanya dikhususkan untuk ibu dan
ayah kandung dari anak perempuan, ikatan ini tidak ada keluarga dekat
( bapak ade, bapak tua ) dari perempuan yang hanya tahu adalah ayah
dan ibu kandung dan sifatnya rahasia
Besar dari ikatan pertama ini biasanya tidak ditentukan oleh keluarga
perempuan, diatur oleh keluarga laki-laki. Jarak waktu dari ikatan
pertama ini bisa lama misalnya 6 bulan, 1 tahun, bahkan 2 tahun
- Proses peminangan kedua ( Kamfawe Plobok )
Dalam proses proses peminangan kedua terjadi kesepakatan bersama
oleh kedua belah pihak untuk menentukan waktu dan tata laksana dalam
puncak acara Nikah Adat (lagbala). Besarnya harta dari ikatan kedua
biasanya juga tidak ditentukan oleh keluarga perempuan yang terdekat
namun semua keluarga dari pengantin perempuan mendapat bagian
harta dalam ikatan kedua. Dalam proses ini juga daftar harta dari
keluarga perempuan sudah masuk ke keluarga laki-laki sebagai
pegangan menghitung kekuatan, dari pihak perempuan terutama harta.
- Pernikahan Adat ( lagibala )
Pernikahan adat atau lagibala adalah puncak acara yang dilalui dalam
pernikahan adat suku Moi. Proses pernikahan adat suku Moi diatur
sedemikian rupa mulai dari persiapan harta, pengantin bahkan konsumsi

Prosesi acara pernikahan diatur mulai dari :


1. Proses penghiasan oleh keluarga pengantin perempuan
Keluarga perempuan menghiasi anaknya dirumah dengan atribut
pengantin sbb:
- Noken Pengantin ( kwoklaman ) di dalamnya berisi tikar tidur,
tikar hujan, air di bambu yang ditimbah dari tanah asal seorang
pengantin wanita dan pakaian pengantin
- Dayan-dayang dihiasi juga menggunakan pakaian pengantin tetapi
tidak ada atribut yang dibawah. Dayang-dayang ini biasanya satu
orang atau dua. Dayang-dayang dihiasi dengan manik-manik,
anting, mahkota, yang terbuat dari tikar hutan dan gelang lalu
menggunakan selendang kain Timor. Dayang –dayang  ini selalu
duduk mendampingi pengantin dari perhiasan awal sampai selesai
puncak acara.Keluarga laki-laki wajib membayar dayang-dayang
tersebut.
- Air pengantin adalah air yang ditimbah oleh keluarga perempuan
dari tanah asalnya diisi dalam bambu yang dihiasi lalu tutupan
bambu ditutup dengan daun gisimlas. Air pengantin mempunyai
arti dan nilai budaya yang cukup tinggi yaitu menandakan seorang
wanita masuk kedalam keluarga laki-laki, makan dan minum
ditanah seorang laki-laki. Tetapi juga air tersebut akan menjadi
jamuan pertama. Air yang dibawah, direbus menggunakan bambu
hinggah mendidih lalu dipakai ntuk membuat Papeda langsung
dimakan oleh keluarga laki-laki, itulah tanda jamuan pertama
pengantin wanita dan itu tanda Kasih sayang.

2. Prosesi di rumah pengantin


Prosesi di rumah pengantin di lakukan dengan menyanyi lagu-lagu
pengantin,sambil membunyikan gong. Lagu-lagu pengantin selalu
menyebutkan perjalanan pengantin perempuan ke rumah atau keluarga
laki-laki.
3. Prosesi pengantin wanita ke rumah laki-laki
Pengantin wanita diantar ke rumah laki-laki oleh saudara laki-laki dari
penagntin perempuan sambil diiringi dengan gong dan lagu-lagu
pengantin.

4. Prosesi penggulingan / isap rokok


Setibanya di rumah,dimulai dengan acara pengulingan rokok yang
dmulai oleh keluarga perempuan. Rokok tembako yang dikeringkan
kemudian dililit menjadi sebatang rokok dibakar dan mulai diisap oleh
salah satu orang tua perempuan sebanyak empat kali dan kemudian
rokok tersebut diserahkan kepada pengantin perempuan lalu pengantin
perempuan juga mengisapnya sebanyak empat kali.Rokok tersebut
kembali diserahkan kepada penagntin laki-laki untuk dipukul sebanyak
emapt kali.setelah itu sebatang rokok tadi  dipegang laki-laki dan
selanjutnya diserahkan kepada saudara perempuan dari  mempelai laki-
laki untuk diisap sebanyak empat kali juga.Sisanya disimpan oleh
saudara perempuan yang dituakan dari mempelai laki-laki.

Nilai utama dari rokok tersebut adalah suatu perjanjian dari kedua
belah mempelai untuk saling bahu-membahu membangun keluarganya.
Bila terjadi pelanggaran dari slah satu pengantin maka arti rokok tadi
akan menjadi masalah besar dan melibatkan tokoh adat.Urusan adat
dari pelanggaran suami istri dari rokok buk sabak sampai ke perang
honggi.

5. Prosesi makan papeda


Setelah prosesi isap rokok dimulai lagi dengan makan papeda yang
disediakan oleh keluarga perempuan, sebagai tanda pelayanan pertama
kepada suami dan keluargamnya. Proses ini hanya ada satu piring yang
disediakan untuk lauk (ikan/daging dan sayur). Dua gata-gata papeda
ditaruh berarahan dengan  kedu mempelai lalu sebelum dimakan oleh
kedua mempelai  dilalukan  proses pertukaran gata-gata papeda
sebanyak empat kali,setelah itu dimakan oleh keluarga mempelai laki-
laki.
6. Prosesi Penanaman Dangkaban(tanaman sejenis halia merah)
Proses penanaman dangkaban dilakukan setelah harta dibagi habis oleh
keluarga perempuan. Dangkaban ditanam pada depan atau samping
rumah laki-laki.Prosesnya kedua mempelai berdiri berhadapan lalu
ujung ibu jari kaki kanan bersentuhan dicelah kaki kedua mempelai
dibuat lubang lalu ditanam dangkaban tersebut.Hal ini menandakan
kesuburan wanita.
7. Prosesi pembongkaran Noken Pengantin
Prosesi mengeluarkan noken pengantin ini,biasanya dilakukan di
rumah laki-laki disaksikan oleh keluarga perempuan biasanya bisa 1-3
bualan setelah acara Nikah diatas. Tidak banyak yang hadir cukup
orang tertentu atau keluarga mempelai perempuan.

Harta Besar

Pembayaran harta besar sama dengan Nikah adat.Pembayaran harta besar


bisa lama bertahun-tahun 10-20 tahun kemudian. Didalam pembayaran 
harta besar,disini terjadi penarikan saham dari keluarga perempuan yang
mana keluarga yang pernah memberikan harta membayar ibu dari mempelai
perempuan  menuntut kepada keluarga laki-laki untuk harus menggenapi
apa yang pernah dikeluarkan oleh keluarga perempuan yang dalam bahsa
Moi disebut “Selek”.Selek adalah saham harta yang dianut oleh keluarga
perempuan kepada laki-laki ( Kain Timor Sebagai Mas Kawin

3. Sistem Kepercayaan Orang Papua


Suku Asmat adalah salah satu suku dari kurang lebih 600 suku bangsa yang
berada di Indonesia. Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Kepercayaan
yang dianut masyarakat Asmat juga sangat unik, mereka menganut paham
animisme yang menganggap bahwa alam sekeliling tempat tinggal manusia
dihuni oleh berbagai macam ruh, dan mereka memuja ruh-ruh tersebut. Banyak
adat istiadat yang dilakukan yang merupakan unsur-unsur dari sistim
kepercayaan mereka.

Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai
dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling
berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial, dan ritual.
Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Suku
Bisman yang berada di antara Sungai Sinesty dan Sungai Nin serta Suku Simai.
Ada banyak pertentangan di antara Desa Asmat, yang paling mengerikan
adalah cara yang dipakai Suku Asmat membunuh musuhnya. Ketika musuh
terbunuh, mayatnya dibawa ke kampung, kemudian dipotong dan dibagikan
kepada seluruh penduduk untuk memakan bersama. Mereka menyanyikan lagu
kematian dan memenggal kepalanya. Otaknya dibungkus daun sago dan
dipanggang kemudian dimakan.

Biasanya dalam satu kampung dihuni kira-kira 100 sampai 1000 orang. Setiap
kampung punya satu rumah bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah bujang
dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni
oleh dua sampai tiga keluarga, yang mempunyai kamar mandi dan dapur
sendiri.
Adat istiadat suku Asmat mengakui dirinya sebagai anak dewa yang berasal
dari dunia mistik atau gaib yang lokasinya berada di mana mentari tenggelam
setiap sore hari. Mereka yakin bila nenek moyangnya pada jaman dulu
melakukan pendaratan di bumi di daerah pegunungan.

Selain itu orang suku Asmat juga percaya bila di wilayahnya terdapat tiga
macam roh yang masing-masing mempunyai sifat baik, jahat dan yang jahat
namun mati. Berdasarkan mitologi masyarakat Asmat berdiam di Teluk
Flamingo, dewa itu bernama Fumuripitis.

Orang Asmat yakin bahwa di lingkungan tempat tinggal manusia juga diam
berbagai macam roh yang mereka bagi dalam 3 golongan, yaitu :
1. Yi – ow atau roh nenek moyang yang bersifat baik terutama bagi
keturunannya.
2. Osbopan atau roh jahat dianggap penghuni beberapa jenis tertentu.
3. Dambin – Ow atau roh jahat yang mati konyol.

Kehidupan orang Asmat banyak diisi oleh upacara-upacara. Upacara besar


menyangkut seluruh komuniti desa yang selalu berkaitan dengan penghormatan
roh nenek moyang seperti berikut ini :
a. Mbismbu (pembuat tiang)
b. Yentpokmbu (pembuatan dan pengukuhan rumah yew)
c. Tsyimbu (pembuatan dan pengukuhan perahu lesung)
d. Yamasy pokumbu (upacara perisai)
e. Mbipokumbu (Upacara Topeng)

Roh-roh dan Kekuatan Magis


a. Roh setan
Kehidupan orang-orang Asmat sangat terkait erat dengan alam
sekitarnya. Mereka memiliki kepercayaan bahawa alam ini didiami oleh
roh-roh, jin-jin, makhluk-makhluk halus, yang semuanya disebut dengan
setan. Setan ini digolongkan ke dalam 2 kategori :

1. Setan yang membahayakan hidup


Setan yang membahayakan hidup ini dipercaya oleh orang Asmat sebagai
setan yang dapat mengancam nyawa dan jiwa seseorang. Seperti setan
perempuan hamil yang telah meninggal atau setan yang hidup di pohon
beringin, roh yang membawa penyakit dan bencana (Osbopan).

2. Setan yang tidak membahayakan hidup


Setan dalam kategori ini dianggap oleh masyarakat Asmat sebagai setan
yang tidak membahayakan nyawa dan jiwa seseorang, hanya saja suka
menakut-nakuti dan mengganggu saja. Selain itu orang Asmat juga
mengenal roh yang sifatnya baik terutama bagi keturunannya., yaitu
berasal dari roh nenek moyang yang disebut sebagai yi-ow

b. Kekuatan magis dan Ilmu sihir


Orang Asmat juga percaya akan adanya kekuatan-kekuatan magis yang
kebanyakan adalah dalam bentuk tabu. Banyak hal -hal yang pantang
dilakukan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari, seperti dalam hal
pengumpulan bahan makanan seperti sagu, penangkapan ikan, dan
pemburuan binatang.
Kekuatan magis ini juga dapat digunakan untuk menemukan barang yang
hilang, barang curian atau pun menunjukkan si pencuri barang tersebut.
Ada juga yang mempergunakan kekuatan magis ini untuk menguasai
alam dan mendatangkan angin, halilintar, hujan, dan topan.
Ritual upacara :
a. Ritual Kematian Orang Asmat tidak mengenal dalam hal mengubur mayat
orang yang telah meninggal. Bagi mereka, kematian bukan hal yang
alamiah. Bila seseorang tidak mati dibunuh, maka mereka percaya bahwa
orang tersebut mati karena suatu sihir hitam yang kena padanya. Bayi yang
baru lahir yang kemudian mati pun dianggap hal yang biasa dan mereka
tidak terlalu sedih karena mereka percaya bahwa roh bayi itu ingin segera
ke alam roh-roh. Sebaliknya kematian orang dewasa mendatangkan duka
cita yang amat mendalam bagi masyarakat Asmat.
Suku Asmat percaya bahwa kematian yang datang kecuali pada usia yang
terlalu tua atau terlalu muda, adalah disebabkan oleh tindakan jahat, baik
dari kekuatan magis atau tindakan kekerasan. Kepercayaan mereka
mengharuskan pembalasan dendam untuk korban yang sudah meninggal.
Roh leluhur, kepada siapa mereka membaktikan diri, direpresentasikan
dalam ukiran kayu spektakuler di kano, tameng atau tiang kayu yang
berukir figur manusia. Sampai pada akhir abad 20an, para pemuda Asmat
memenuhi kewajiban dan pengabdian mereka terhadap sesama anggota,
kepada leluhur dan sekaligus membuktikan kejantanan dengan membawa
kepala musuh mereka, sementara bagian badannya di tawarkan untuk
dimakan anggota keluarga yang lain di desa tersebut.

Apabila ada orang tua yang sakit, maka keluarga terdekat berkumpul
mendekati si sakit sambil menangis sebab mereka percaya ajal akan
menjemputnya. Tidak ada usaha-usaha untuk mengobati atau memberi
makan kepada si sakit. Keluarga terdekat si sakit tidak berani mendekatinya
karena mereka percaya si sakit akan ´membawa´ salah seorang dari yang
dicintainya untuk menemani. Di sisi rumah dimana si sakit dibaringkan,
dibuatkan semacam pagar dari dahan pohon nipah. Ketika diketahui bahwa
si sakit meninggal maka ratapan dan tangisan menjadi-jadi. Keluarga yang
ditinggalkan segera berebut memeluk sis akit dan keluar rumah
mengguling-gulingkan tubuhnya di lumpur.
Sementara itu, orang-orang di sekitar rumah kematian telah menutup semua
lubang dan jalan masuk (kecuali jalan masuk utama) dengan maksud
menghalang-halangi masuknya roh-roh jahat yang berkeliaran pada saat
menjelang kematian. Orang-orang Asmat menunjukkan kesedihan dengan
cara menangis setiap hari sampai berbulan-bulan, melumuri tubuhnya
dengan lumpur dan mencukur habis rambutnya. Yang sudah menikah
berjanji tidak akan menikah lagi (meski nantinya juga akan menikah lagi)
dan menutupi kepala dan wajahnya dengan topi agar tidak menarik bagi
orang lain.

Mayat orang yang telah meninggal biasa diletakkan di atas para (anyaman
bambu), yang telah disediakan di luar kampung dan dibiarkan sampai
busuk. Kelak, tulang belulangnya dikumpulkan dan disipan di atas pokok-
pokok kayu. Tengkorak kepala diambil dan dipergunakan sebagai bantal
petanda cinta kasih pada yang meninggal. Orang Asmat percaya bahwa
roh-roh orang yang telah meninggal tersebut (bi) masih tetap berada di
dalam kampung, terutama kalau orang itu diwujudkan dalam bentuk patung
mbis, yaitu patung kayu yangtingginya 5-8 meter. Cara lain yaitu dengan
meletakkan jenazah di perahu lesung panjang dengan perbekalan seperti
sagu dan ulat sagu untuk kemudian dilepas di sungai dan seterusnya
terbawa arus ke laut menuju peristirahatan terakhir roh-roh.
Saat ini, dengan masuknya pengaruh dari luar, orang Asmat telah
mengubur jenazah dan beberapa barang milik pribadi yang meninggal.
Umumnya, jenazah laki-laki dikubur tanpa menggunakan pakaian,
sedangkan jenazah wanita dikubur dengan menggunakan pakaian. Orang
Asmat juga tidak memiliki pemakaman umum, maka jenazah biasanya
dikubur di hutan, di pinngir sungai atau semak-semak tanpa nisan. Dimana
pun jenazah itu dikubur, keluarga tetap dapat menemukan kuburannya.
b. Ritual Pembuatan dan Pengukuhan Perahu Lesung setiap 5 tahun sekali,
masyarakat Asmat membuat perahu-perahu baru.Dalam proses pembuatan
prahu hingga selesai, ada berapa hal yang perlu diperhatikan. Setelah pohon
dipilih, ditebang, dikupas kulitnya dan diruncingkan kedua ujungnya,
batang itu telah siap untuk diangkut ke pembuatan perahu. Sementara itu,
tempat pegangan untuk menahan tali penarik dan tali kendali sudah
dipersiapkan. Pantangan yang harus diperhatikan saat mengerjakan itu
semua adalah tidak boleh membuat banyak bunyi-bunyian di sekitar tempa
itu. Masyarakat Asmat percaya bahwa jika batang kayu itu diinjak sebelum
ditarik ke air, maka batang itu akan bertambah berat sehingga tidak dapat
dipindahkan.
Untuk menarik batang kayu, si pemilik perahu meminta bantuan kepada
kerabatnya. Sebagian kecil akan mengemudi kayu di belakang dan
selebihnya menarik kayu itu. Sebelumnya diadakan suatu upacara khusus
yang dipimpin oleh seorang tua yang berpengaruh dalam masyarakat.
Maksudnya adalah agar perahu itu nantinya akan berjalan seimbang dan
lancar.

Perahu pun dicat dengan warna putih di bagian dalam dan di bagian luar
berwarna merah berseling putih. Perahu juga diberi ukiran yang berbentuk
keluarga yang telah meninggal atau berbentuk burung dan binatang
lainnya.Setelah dicat, perahu dihias dengan daun sagu. Sebelum
dipergunakan, semua perahu diresmikan terlebih dahulu. Para pemilik
perahu baru bersama dengan perahu masing-masing berkumpul di rumah
orang yang paling berpengaruh di kampung tempat diadakannya pesta
sambil mendengarkan nyanyi -nyanyian dan penabuhan tifa. Kemudian
kembali ke rumah masing-masing untuk mempersiapkan diri dalam
perlombaan perahu. Para pendayung menghias diri dengan cat berwarna
putih dan merah disertai bulu-bulu burung. Kaum anak-anak dan wanita
bersorak-sorai memberikan semangat dan memeriahkan suasana. Namun,
ada juga yang menangis mengenang saudaranya yang telah meninggal.
Dulu, pembuatan perahu dilaksanakan dalam rangka persiapan suatu
penyerangan dan pengayauan kepala. Bila telah selesai, perahu -perahu ini
dicoba menuju tempat musuh dengan maksud memanas -manasi mereka
dan memancing suasana musuh agar siap berperang. Sekarang, penggunaan
perahu lebih terarahkan untuk pengangkutan bahan makanan.

c. Upacara Bis
Upacara bis merupakan salah satu kejadian penting di dalam kehidupan
suku Asmat sebab berhubungan dengan pengukiran patung leluhur (bis)
apabila ada permintaan dalam suatu keluarga. Dulu, upacara bis ini
diadakan untuk memperingati anggota keluarga yang telah mati terbunuh,
dan kematian itu harus segera dibalas dengan membunuh anggota keluarga
dari pihak yang membunuh.
Untuk membuat patung leleuhur atau saudara yang telah meninggal
diperlukan kurang lebih 6-8 minggu. Pengukiran patung dikerjakan di
dalam rumah panjang (bujang) dan selama pembuatan patung berlangsung,
kaum wanita tidak diperbolehkan memasuki rumah tersebut.
Dalam masa-masa pembuatan patung bis, biasanya terjadi tukar-menukar
istri yang disebut dengan papis. Tindakan ini bermaksud untuk mempererat
hubungan persahabatan yang sangat diperlukan pada saat tertentu, seperti
peperangan. Pemilihan pasangan terjadi pada waktu upacara perang-
perangan antara wanita dan pria yang diadakan tiap sore.

Upacara perang-perangan ini bermaksud untuk mengusir roh-roh jahat dan


pada waktu ini, wanita berkesempatan untuk memukul pria yang
dibencinya atau pernah menyakiti hatinya. Sekarang ini, karena peperangan
antar clan sudah tidak ada lagi, maka upacara bis ini baru dilakukan bila
terjadi mala petaka di kampung atau apabila hasil pengumpulan bahan
makanan tidak mencukupi. Menurut kepercayaan, hal ini disebabkan roh-
roh keluarga yang telah meninggal yang belum diantar ketempat
perisitirahatan terakhir, yaitu sebuah pulau di muara sungai Sirets.
Patung bis menggambarkna rupa dari anggota keluarga yang telah
meninggal. Yang satu berdiri di atas bahu yang lain bersusun dan paling
utama berada di puncak bis. Setelah itu diberikan warna dan diberikan
hiasan-hiasan.Usai didandani, patung bis ini diletakkan di atas suatu
panggung yang dibangun dirumah panjang. Pada saat itu, keluarga yang
ditinggalkan akan mengatakan bahwa pembalasan dendam telah
dilaksanakan dan mereka mengharapkan agar roh-roh yang telah meninggal
itu berangkat ke pulau Sirets dengan tenang. Mereka juga memohon agar
keluarga yang ditinggalkan tidak diganggu dan diberikan kesuburan.
Biasanya, patung bis ini kemudian ditaruh dan ditegakkan di daerah sagu
hingga rusak.

d. Upacara pengukuhan dan pembuatan rumah bujang (yentpokmbu)


Orang-orang Asmat mempunyai 2 tipe rumah, yaitu rumah keluarga dan
rumah bujang (je). Rumah bujang inilah yang amat penting bagi orang-
orang Asmat. Rumah bujang ini dinamakan sesuai nama marga (keluarga)
pemiliknya.
Rumah bujang merupakan pusat kegiatan baik yang bersifat religius
maupun yang bersifat nonreligius. Suatu keluarga dapat tinggal di sana,
namun apabila ada suatu penyerangan yang akan direncanakan atau
upacara-upacara tertentu, wanita dan anak-anak dilarang masuk. Orang-
orang Asmat melakukan upacara khusus untuk rumah bujang yang baru,
yang dihadiri oleh keluarga dan kerabat. Pembuatan rumah bujang juga
diikuti oleh beberapa orang dan upacara dilakukan dengan tari-tarian dan
penabuhan tifa.

Seni dan Kepercayaan

Sistem religi dan kepercayaan suku Asmat mempunyai hubungan yang sangat
erat dengan sistem keseniannya. Penduduk Asmat sangat piawai membuat
ukiran. Ukiran bagi Suku Asmat bisa menjadi penghubung antara kehidupan
masa kini dengan kehidupan leluhur. Di setiap ukiran bersemayam citra dan
penghargaan atas nenek moyang mereka yang sarat dengan kebesaran Suku
Asmat. Sehingga pada masing-masing ukiran hasil karya suku Asmat selalu
mengandung pesan untuk menghargai nenek moyangnya yang disampaikan
secara tersirat lewat simbol-simbol motif dalam ukiran tersebut.

Patung dan ukiran umumnya mereka buat tanpa sketsa. Bagi Suku Asmat, di
saat mengukir patung adalah saat di mana mereka berkomunikasi dengan
leluhur yang ada di alam lain. Hal itu dimungkinkan karena mereka mengenal
tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow
campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga).
Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah
meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit,
bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta
menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar
pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan
pesta ulat-ulat sagu. Konon patung bis adalah bentuk patung yang paling
sakral.

Ukiran asmat mempunyai empat makna dan fungsi, masing-masing:


1. Melambangkan kehadiran roh nenek moyang;
2. Untuk menyatakan rasa sedih dan bahagia;
3. Sebagai suatu lambang kepercayaan dengan motif manusia, hewan,
tetumbuhan dan benda-benda lain;
4. Sebagai lambang keindahan dan gambaran ingatan kepada nenek moyang.

4. Sistem kesenian orang Papua


Di Kabupaten Biak Numfor, terdapat aneka tari daerah yang menarik dan
memikat. Tari-tarian tersebut berupa Tari Kankarem (Tari Pembukaan), Tari
Mamun (Tari Perang), Tari Akyaker (Tari Perkawinan) dan lain-lain yang
diiringi dengan lagu-lagu wor Biak.

Disamping tari tradisional diatas, terdapat pula dua jenis tarian Biak versi baru
yakni Tari Pancar dan Tari Mapia. Tari Pancar yang saat ini popular dengan
nama Yospan (Yosimpancar) diciptakan sekitar awal tahun 1960-an oleh
seniman Biak. Tarian ini tidak dikenal disaat terjadinya konfrotasi antara
Belanda dan Indonesia soal Irian Barat ( Papua).

Tarian ini diiringi oleh lagu-lagu pancar diantonis yang menggunakan alat
musik Gitar, Stringbass, dan Ukulele. Tari Mapia merupakan tari kreasi baru
yang berasal dari pulau-pulau Mapia. Tarian ini diciptakan sekitar tahun 1920-
an dan diperkenalkan ke Biak oleh orang-orang Kinmon, Saruf, dan Bariasba.

- Seni Musik Daerah


Musik tradisional Biak Numfor disebut Wor yaitu puisi Biak yang
dinyanyikan dengan tangga nada pentatonik 1 (do), 2 (re), 3 (mi), 5 (sol)
dan 6 (la). Wor Biak tidak mengenal 4 (fa) dan 7 (si). Struktur puisi Wor
terdiri dari 2 bait yang disebut Kadwor (puncak) dan Fuar (pangkal).
Tercatat sekitar 18 jenis lagu Wor Biak antara lain Kankarem, Moringkin,
Kansyaru, Wonggei, Disner, Nambojaren, Erisam, Dow Arbur, Dow
Mamun, Armis, Aurak, Dow Beyor Warn, Dow Bemun Warn, Kawop,
Urere, Randan dan Beyuser.
Nyanian Wor biasanya diiringi alat music” Sireb” atau Sandip yakni alat
musik Tifa

- Seni Ukir Daerah


Seni ukir daerah yang dengan gaya Karwamya, selama ini hanya menjadi
penghuni museum luar negeri. Dengan munculnya seni ukir Asmat yang
terkenal di dunia internasional, mendorong pengukir muda berbakat asal
Biak kembali mengabdikan karya seni nenek moyang dalam seluruh aspek
kehidupan masyarakat adat Biak Numfor.

- Seni Kerajinan Rakyat


Beberapa seni kerajinan rakyat Biak yang menonjol antara lain :
- Kerajinan kerang hias;
- Kerajinan anyam-anyaman;
- Pengrajinan lainnya.
5. Budaya Bakar Batu
Papua merupakan bagian dari negara Indonesia yang terletak paling Timur.
Penduduk aslinya mempunyai ciri khas dan kebudayaan yang masih begitu
melekat dan terpelihara hingga saat ini. Papua juga memiliki kebudayaan unik
yang disebut sebagai Pesta Bakar Batu. Tradisi ini mempunyai makna
tersendiri bagi warga Papua

Bakar Batu merupakan sebuah cara yang digunakan warga Papua dalam
memasak dan mengolah suatu jenis makanan dalam pesta tertentu. Suku-suku
di Papua inilah yang menggunakan metode bakar batu. Setiap suku maupun
daerah di Papua memiliki sebutan tersendiri untuk tradisi ini. Sebagai contoh,
masyarakat Paniai menyebutnya dengan gapii atau mogo gapii.
Lain halnya dengan masyarakat Wamena yang menyebut tradisi ini dengan
istilah kit oba isago, sedangkan masyarakat Biak menyebutnya dengan
istilah Barapen. Namun istilah yang paling umum digunakan untuk Tradisi
Bakar Batu ini ialah barapen.

Pelaksanaan pesta bakar batu terdiri dari 3 tahap yaitu:

1. Tahap persiapan
Pada tahap persiapan, hal ini dimulai dengan mencari kayu bakar dan batu
yang akan digunakan untuk memasak. Hal ini biasanya dilakukan oleh
kaum pria. Selanjutnya batu dan kayu bakar yang telah dikumpulkan tadi
disusun dengan urutan batu-batu berukuran besar diletakkan pada bagian
paling bawah, kemudian bagian atasnya ditutupi dengan kayu bakar.
Selanjutnya, disusun lagi batu-batu dengan ukuran yang lebih kecil hingga
bagian teratas ditutupi dengan menggunakan kayu. Barulah selanjutnya
tumpukan batu dan kayu tersebut dibakar hingga batu menjadi panas.

2. Bakar babi
Setelah batu menjadi panas, setiap suku menyerahkan babi dan secara
bergiliran setiap kepala suku memanah babi tersebut. Prosesi memanah ini
juga mempunyai makna tersendiri. Apabila dalam sekali panah babi
tersebut langsung mati, maka hal ini menandakan bahwa acara tersebut
akan sukses. Namun sebaliknya, jika babi tersebut tidak langsung mati,
maka diduga sesuatu yang tidak beres akan terjadi pada acara tersebut.

Jika tujuan acara bakar batu ini adalah untuk upacara kematian, maka
prosesinya beda lagi. Dalam hal ini, beberapa kerabat membawa babi
sebagai tanda belasungkawa mereka. Jika tidak membawa babi, mereka
akan membawa bungkusan yang berisi tembakau, rokok kretek, kopi,
garam, gula, minyak goreng dan ikan asin. Hal lain yang dilakukan yaitu
ketika mengucapkan belasungkawa, maka masing-masing harus berciuman
pipi dan berpelukan erat.

3. Memasak
Saat kaum pria menyiapkan babi yang akan dbakar, kaum wanita akan
menyiapkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak. Hewan ini
kemudian dibelah, mulai dari bagian bawah leher sampai kaki belakang.
Isi perut yang tidak dimakan akan dibuang dan yang akan dimakan maka
harus dibersihkan terlebih dahulu. Begitu juga dengan sayur-sayuran dan
umbi-umbian yang akan dimakan.

Kaum pria juga menyiapkan sebuah lubang yang besarnya disesuaikan


dengan banyaknya makanan yang akan dimasak. Kemudian lubang
tersebut dilapisi dengan alang-alang serta daun pisang. Dengan
menggunakan apando yaitu jepit kayu khusus, batu-batu yang telah panas
tadi pun dipindahkan dan didudu di atas daun-daunan tadi. Setelah itu
dilapisi lagi dengan alang-alang. Barulah di atasnya dimasukkan daging
babi. Selanjutnya, babi bakar tersebut ditutup lagi dengan daun-daunan.
Tak lupa setelah itu, batu-batu panas kembali diletakkan di atasnya dan
dilapisi lagi dengan menggunakan rumput-rumputan yang tebal.

Umbi-umbian dan sayur-sayuran yang telah disiapkan tadi pun diletakkan


lagi di atasnya dan kembali ditutup dengan daun-daunan. Terakhir barulah
menaburinya dengan tanah dengan tujuan agar panas yang berasal dari
batu tidak menguap. Kemudian menunggu sekitar 60 sampai 90 menit
sampai daging babi matang dan tidak lupa untuk memberikan garam dan
penyedap rasa.

Makan bersama
Setelah semuanya siap, tibalah saatnya bagi warga untuk makan bersama
menyantap hidangan babi tersebut. Semua penduduk akan dan berkerumun
mengelilingi makanan tersebut. Dalam hal ini, kepala suku akan mendapat
jatah pertama, barulah selanjutnya diikuti oleh semua orang baik pria,
wanita, orang tua, maupun anak-anak.

Demikianlah salah satu kebudayaan unik yang dimiliki oleh warga Papua,
yaitu pesta bakar batu. Bakar batu ini merupakan hal yang sangat
ditunggu-tunggu oleh warga Papua. Bahkan beberapa warga rela
meninggalkan ladang dan menghabiskan uang yang banyak untuk
membiayai pesta ini. Suku-suku pedalaman Papua sampai saat ini masih
sering melaksanakan tradisi unik ini. Terlepas dari makna dan tujuan pesta
bakar batu sebagi ritual, tradisi ini mengajarkan kehidupan sosial yang
ditandai dengan solidaritas, kebersamaan, dan kerjasama yang baik.

Anda mungkin juga menyukai