Kasus 1
I. ANAMNESIS :
Nama : Ny Marlinawati
Umur : 40 tahun
Jenis kelamin : Wanita
CM : 1234493
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : Pidie
Tgl masuk ICU : 2 Juni 2020
Keluhan utama
Susah menelan, kelemahan anggota gerak , sesak nafas
Riwayat Penyakit
Pasien dengan keluhan susah menelan sejak 1 bln yll dan memberat dalam 2 hari ini.
Kelemahan anggota gerak juga dirasakan pada bagian atas tubuh dan susah tarik nafas, batuk
juga dialami pasien sejak 4 hari ini. Pasien sudah 5 bulan yang lalu. Konsumsi mestinon (4x60
mg) dan 2 hari kebelakang tidak lagi karena keluhan susah menelannya. sejak berhenti konsumsi
obat tersebut maka pasien mengeluh sesak nafas.
Airway : Clear
1. Laboratorium
Maka PBV = EBV x (100- Ht) x 1,5 = 3750 x (100%-41%) x 1,5 = 3318 cc
1 5
NaCl Albumin
N
Tanggal Status Present Assesment Planing
o
Keluhan: lemah Terapi :
anggota gerak atas,
2 /06/20
sesak nafas Dd;Tetraparese Dilakukan tensilon test SA 0,5 mg +
1 UMN Miastenia Neostigmin 1 mg
16.00
TD 136/ 74 mmHg, gravis (dievaluasi 1 jam kemudian)---tensilon (+)
WIB
HR 63 x/i SpO2 96
% Sungkup 8l/i Dilakukan intubasi CMV
3 /06/20 Dilakukan TPE selama 7 jam ( 1500 NaCl
TD 128/ 64 mmHg,
0,9 % + 2500 cc albumin)
2 HR 63 x/I SpO2 98
13.00
% room air
WIB
3/06/20 Kesadaran Cm. TPE selesai. Pasien sudah bisa duduk dan
mode SIMV RR mengangkat ke 2 ekstrimitas setinggi
3
20.00 10x/I VT 350 Fi 35 kepala.namun untuk persiapan ekstubasi
WIB % belum bisa, slem masih banyak
PEMBAHASAN
Aspek paling penting dari manajemen emergensi myasthenia gravis adalah deteksi dan
perawatan dari krisis myasthenic. Myasthenia gravis adalah gangguan autoimun yang relatif
jarang pada saraf perifer di mana antibodi terbentuk terhadap asetilkolin (ACh) reseptor nikotinik
karakteristik kekuatan otot yang berkurang secara progresif dengan aktifitas dan pemulihan
kekuatan otot setelah periode istirahat. Otot bulbar dipengaruhi paling umum dan paling parah,
tetapi sebagian besar pasien juga mengalami beberapa tingkat kelemahan umum yang
berfluktuasi.
Sebagian besar pasien yang datang ke unit gawat darurat (UGD) memiliki diagnosis
miastenia gravis yang sudah tegak dan sudah minum obat yang tepat. Aktivitas penyakit
berfluktuasi, dan penyesuaian dalam dosis obat harus dilakukan. Ketidakpatuhan terhadap obat-
obatan, infeksi, dan stresor fisiologis lainnya dapat mengakibatkan eksaserbasi penyakit yang
fulminan. Penyebab paling umum dari krisis miasthenik adalah infeksi, walaupun penyebab
idiopatik juga sering terjadi. Pada pasien ini infeksi dari pneumonia merupakan pencetus yang
berikut :
chloroquine.
Pada pasien ini dilakukan tensilon test untuk mendiagnosanya. Tensilon adalah obat
yang menghambat pemecahan asetilkolin, membantu neurotransmitter mengaktifkan otot. Untuk
pasien yang tidak memiliki MG, obat tidak akan berespon. Namun, untuk pasien dengan MG, tes
dikatakan positif ketika kekuatan otot meningkat. Namun, peningkatan kekuatan otot ini hanya
berlangsung beberapa menit. Pada pasien ini terdapat peningkatan kekuatan otot setelah
dilakukan tensilon test.
Strategi pengobatan pada pasien MG bersifat individual dan sangat bergantung terhadap
kondisi masing-masing pasien.
1. Terapi simptomatik
Piridostigmin merupakan terapi inisial MG, dengan onset kerja cepat (15-30
menit) dan aktifitas puncak dalam 2 jam. Dosis inisial 30-60 mg setiap 4-6 jam dan
dapaqt dititrasi sesuai respon pasien.
2. Imunosupresan
Imumosupresan steroid diberikan pada pasien yang tidak berespon terhadap
piridostigmindan .Kortikosteroid oral merupakan terapi awal dalam kondisi dimana
diperlukan tambahan imunosupresan jangka panjang. Aztioprin direkomendasikan dan
dosis-dosis steroid diturunkan serendah mungkin.
3. Terapi intravena Immunoglobulin dan Plasma Exchange
Direkomendasikan untuk MG dengan klinis berat, Plasma exchange atau IV IG efektif
untuk MG eksaserbasi (level A)
Plasmapheresis merupakan suatu tindakan mengeluarkan darah dari tubuh,
memisahkan bagian sel dengan cara sentrifugasi, dan direinfuskan kembali dengan
pengganti plasma. Plasmaferesis digunakan untuk menghilangkan penyebab patogen
dalam plasma, seperti antibodi, imunoglobulin abnormal, circulating immune complexes
(CICs), cryoprecipitable protein seperti cryoglobulin, low-density lipoprotein (LDL),
faktor koagulasi abnormal dan circulating protein-bound toxic agents. Agen patogen ini
berpotensi menyebabkan komplkasi seperti gagal ginjal, gangguan saraf, gangguan
hematologidan gagal multi organ
4. Timektomi
Direkomendasikan pada MG dengan timoma (level A)
Kasus 2
I. ANAMNESIS :
Keluhan utama
Sesak nafas
Riwayat Penyakit
Pasien baru saja selesai dilakukan tindakan PCI di ruang Cath Lab, saat menunggu di ruang
recovery pasien batuk, sesak dan desaturasi. Pasien juga kejang lebih kurang selama 15 menit,
kejang diseluruh tubuh , riwayat mual (-), muntah (-), nyeri disekitar perut (-), BAK dan BAB
normal Riwayat alergi obat : Tidak ada.Pasien 2010 sudah dilakukan CABG
Airway : Clear
1. Laboratorium
N
Tanggal Status Present Assesment Planing
o
Terapi :
PEMBAHASAN
Diuretik
Diuretik merupakan terapi yang tepat pada pasien dengan edema kardiopulmonar yang
simptomatik walapun demikian, penting untuk disadari bahwa pasien dengan gagal jantung yang
kronik, mempunyai kemampuan untuk mentoleransi tekanan vena pulmonal yang tinggi tanpa
terjadi edema pulmonum.Pasien dengan gagal jantung kiri kronik yang berat. Seringkali
mempunyai sedikit suara ronki pada pemeriksaan atau tidak terlihat edema alveolar pada foto X
ray, walaupun tekanan vena pulmonal tinggi (dan gambaran hipertensi vena pulmonal pada foto
thorax). Pasien-pasien ini mungkin mempunyai tekanan vena pulmonal lebih 30 mmHg,
observasi ini diperjelas oleh penurunan permiabilitas mikrovaskuler pulmonary, juga
peningkatan aliran limfatik pada pasien-pasien ini.
Overdiures harus dihindari, karena ini dapat menyebabkan penurunan preload ventrikel
kiri, secara berlebihan (excessive), dengan pengurangan stroke volume, dan kardiac output, dapat
mengakibatkan aktivitas neurohormonal lebih lanjut dan memperberat gangguan ventrikel kiri.
Penting untuk menghindari diuresis yang berlebihan (excessive) sebelum memulai pemberian
ACE inhibitor karena dapat menyebabkan tekanan darah yang sangat rendah atau dapat terjadi
insufisiensi renal.Volume urea nitrogen serum (BUN) harus dipantau secara ketat pada pasien
gagal jantung dengan pemberian diuretik. Diuretik harus dihentikan pemberiannya jika terjadi
peningkatan BUN atau terjadi oligouria, dan tunggu sampai terbentuk bekuan uremik sebelum
diuretik dihentikan. Adalah merupakan hal yang sangat berbahaya menggunakan “crackles”
sebagai akhir dari pengobatan diuretic :”semua crackles telah gagal”.Baru-baru ini, antagonis
reseptor aldosteron spironolakton (12,5 mg – 50 mg/hari) ketika digunakan dengan ACE
inhibitor, telah didemontrasikan untuk mengurangi resiko kematian pada pasien gagal jantung
progresif dan sudden death pada pasien dengan gagal jantung yang berat. Obat tersebut
memberikan toleransi yang baik dengan efek samping yang sedikit. Hal tersebut memberi kesan
bahwa efek bermamfaat dari spironalakton mungkin terjadi dengan mencegah fibrosis miocard
dan vascular yang dihubungkan dengan peningkatan keadaan aldosteron dalam sirkulasi. Oleh
karena itu, spironolakton sebaiknya ditambahkan dengan regimen dari ACE inhibitor pada pasien
dengan gagal jantung yang berat yang disebabkan oleh disfungsi sistol ventrikular kiri. Potasium
serum harus dimonitor secara ketat dan dosisnya dikurangi (atau ditentukan) bila terjadi
hiperglikemia
ACE Inhibitor
Semua pasien dengan gagal jantung yang disebabkan disfungsi sistolik ventrikel kiri
sebaiknya dicoba pemberian ACE inhibitor, kecuali ada kontra indikasi spesifik. Ace inhibitor
telah terbukti meningkatkan status fungsional dan mengurangi mortalitas pada pasien dengan
gagal jantung yang sedang atau berat. ACE Inhibitor telah didemonstrasikan sebagai obat yang
lebih efektif dalam mengurangi morbilitas dan mortalitas dibanding kombinasi dari isosorbid
dinitrat dan hidralazin. ACE inhibitor dapat dipertimbangkan sebagai terapi tunggal pada pasien
gagal jantung yang menampilkan gejala fatigue atau dispnea ringan dan tidak menampakkan
adanya gejala atau tanda-tanda overload volume. Suatu diuretic (spinoralakton) harus
ditambahkan jika gejala-gejala tersebut nampak (pantau kadar potasium serum) ACE inhibitor
mempunyai kontra indikasi pada pasien stenosis aorta sedang sampai berat, stenosis arteri renal
bilateral, kardiomiopati obstruktif, hipertrofi dan tamponade perikardial. ACE inhibitor tidak
boleh diberikan (atau diputuskan pemberiannya) pada pasien dengan potassium serum > 5,5
mEQ/L. ACE inhibitor harus dihindari pemberiannya pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
yang akut. Pemberian ACE inhibitor harus sangat hati-hati pada pasien Angina yang tidak
terkontrol karena ACE inhibitor dapat menyebabkan peningkatan Angina pada pasien ini. Dosis
rendah dari suatu ACE inhibitor (captopril 6,25 mg atau enalapril 1,25 mg iv). Harus diberikan
pada pasien dengan tekanan darah sistol < 100 mmHg, pasien dengan kadar serum sodium < 135
mEq/L, pasien dengan kreatinin serum > 2,0 mg/dl (atau yang diperkirakan kreatinin klirensnya
< 40 ml/menit) dan pada pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang berat. Fungsi ginjal pada
pasien-pasien ini harus dipantau secara ketat. Dan pemberian obat dihentikan bila fungsi ginjal
memburuk. Potassium sparing diuretic harus dihentikan pada semua pasien yang telah mulai
dengan pengobatan ACE inhibitor tanpa harus memperhatikan kadar potassium serumnya
I. ANAMNESIS :
Keluhan utama
Alloanamnesa, demam , sesak nafas
Riwayat Penyakit
Pasien dari pengakuan istrinya sudah demam selama 11 hari dan dirawat di RSUD
Calang selama 7 hari. Pasien juga sesak, batuk dsan muntah.
Disability : On sedasi
N
Tanggal Status Present Assesment Planing
o
Terapi :
- IVFD 15 gtt/i
- Ventilator CMV RR 12x/I Fi 50 %
I;E = 1:2 PS 10 VT 450
- Target MAP>90
Keluhan: demam - Drip NE mulai 0,1 mcg/kg/mnt
26/06/20
- Drip Fentanyl 20mcg/jam
DSS+Malaria+
1 TD 121/ 84 mmHg, HR - Drip Propofol 20 mg/jam
10.30 ARDS
139 x/i SpO2 96 % - Heparin 5000 iu Sc/12 jam
WIB
dengan Ventilator - Inj Meropenem 1gr/ 8 jam
- Inj OMZ 40 mg/ 24 jam
- Inj Artemisin IM 120 mg/ 12 jam
Hari I, selanjutnya 120 mg/24 jam
- Insulin titrasi target GDS 140-180
- Pasang CVC
PEMBAHASAN
Diagnosis dan perawatan dini sangat penting untuk mengurangi morbiditas dan kematian.
Insiden komplikasi paru malaria telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir. Ini lebih
sering terjadi pada non imun pasien antara 20 dan 40 tahun dan dalam kondisi keterlambatan
pengobatan (setelah hari ketujuh timbulnya gejala). Di kasus ini, meskipun pasien adalah orang
dewasa yang kebal, tetapi karena tertunda penanganan menjadi ARDS parah. Sekitar 4% hingga
18% dari pasien dewasa dengan malaria P. falciparum hadir dengan gejala pernapasan dan
kejadian ARDS dalam kasus P. falciparum adalah 5% hingga 25%. patogenesis ARDS sekunder
akibat malaria falciparum masih belum jelas dan mungkin multifaktorial. Ini termasuk efek
sekuestrasi eritrosit yang terparasitisasi, reaksi imunologis host terhadap sekuestrasi spesifik paru
atau infeksi malaria sistemik, superimposed infeksi pulmonal (didapat oleh masyarakat,
nosokomial, atau oportunistik pada pasien immunocompromised), aspirasi, sepsis dan
bakteriemia yang terjadi bersamaan menginduksi ARDS, atau efeknya pengobatan seperti
resusitasi cairan [3]. Temuan klinis dari ARDS pada malaria adalah onset mendadak takipnea,
dispnea dan batuk.
Hipoksemia yang mengancam jiwa dapat berkembang dalam beberapa jam. Pada kasus
pasien ini gambaran klinis yang ada membutuhkan ventilasi mekanis dalam beberapa jam setelah
terjadinya gejala pernapasan. AKI, hiperglikemia, asidosis metabolik, gangguan hati dapat
menyertai ARDS, yang muncul dalam kasus pasien ini. Tidak ada Uji coba pengobatan ARDS
pada malaria, sehingga strategi manajemen mengikuti pedoman ARDS non malaria [3]. Strategi
ventilasi mekanis pada ARDS terkait malaria sama dengan ARDS yang disebabkan oleh ARDS
lain, dengan pengecualian hiperkapnia permisif, karena karbon dioksida meningkatkan aliran
darah otak yang pada gilirannya meningkat tekanan intrakranial, yang memiliki efek buruk pada
pasien malaria dan tingkat kesadaran yang berubah.
Strategi ventilator awal harus berupa mode volume-atau Pressure Support ventilasi
dengan PEEP positif,menghindari volumetidal yang besar (6 mg / kg berat badan ideal) dan
tekanan plateu awal, 30 cm H2O seperti yang direkomendasikan oleh studi ARDS Net (ARDS
Network, 2000). Disarankan untuk mempertahankan rasio ekspirasi: inspirasi 1: 1 atau 2: 1. FiO2
dan Tekanan Akhir Ekspirasi Positif (PEEP) harus disesuaikan untuk mempertahankan
oksigenasi darah yang memadai. Lebih tinggi PEEP dapat digunakan beberapa hari pertama
untuk meningkatkan oksigenasi, tetapi tanpa manfaat mortalitas. Terapi penyelamatan seperti
rekrutmen manuver, kelumpuhan otot dalam 48 jam pertama ventilasi dan posisi prone adalah
pilihan selanjutnya untuk hipoksemia refrakter setelah ARDS net protocol pemandu ventilasi
mekanis diterapkan. Pasien kami tidurkan selama 2 hari pertama ventilasi dan rekrutmen dicoba
pada awalnya untuk hipoksemia refrakter. Pasien dengan ARDS, terutama yang paling severe,
sering datang dengan hipoksemia refrakter karena shunt yang mana membutuhkan terapi
tambahan selain ventilasi mekanis konvensional, termasuk MV di Posisi prone. Beberapa
mekanisme mungkin bertanggung jawab untuk pertukaran gas yang lebih baik ketika pasien
dengan ARDS ditempatkan di Posisi Prone Ini termasuk perubahan posisi diafragma dan / atau
gerakan diafragma , kompresi paru-paru yang diinduksi jantung, dan peningkatan tekanan
transpulmonary di paru-paru dorsal yang memfasilitasi perekrutan alveolar. Posisi Prone secara
signifikan mengurangi angka kematian pada pasien dengan ARDS ketika digunakan dengan Vt
rendah. Posisi prone mungkin paling efektif dalam meningkatkan oksigenasi ketika dimulai awal
(misalnya ≤ 3 d) selama fase eksudatif, ketika atelektasis dan kongestif paru muncul predominan