Anda di halaman 1dari 5

Nama : Annisa Almagfirah

NIM : E011181023

TUGAS FINAL ADMINISTRASI PERPAJAKAN

1. UU perpajakan di Indonesia
a. Masa Republik Indonesia dalam Revolusi Kemerdekaan (1945-1950)
Setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, para
pendiri Republik menuangkan masalah pajak ke dalam Undang-Undang Dasar 1945
Hal Keuangan. Dalam Pasal 23 yang memuat lima ketentuan, ketentuan kedua,
menyatakan bahwa “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan Undang-
Undang”. Dengan demikian, pajak sebagai nyawa Negara telah secara resmi diatur
oleh Undang-Undang 1945. Dua hari kemudian setelah kemerdekaan, organisasi
Kementerian Keuangan langsung dibentuk dan di dalamnya terdapat Pejabatan Pajak.
b. Masa Pemerintahan Presiden Soekarno (1950-1966)
Sesuia dengan Pasal 23 A UUD 1945 yang berbunyi, “Pajak dan pungutan yang
bersifat untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”. Namun,
pemerintahan Presiden Soekarni pasca revolusi kemredekaan mengalami situasi yang
belum stabil. Undang-Undang belum dapat dilaksanakan dengan baik. Untuk
mengelola pendapatan Negara dari pajak, pemerintah masih kesulitan. Perlahan
pemerintah membenahi berbagai aturan, di antaranya pada 1957 mengganti Pajak
Peralihan dengan nama Pajak Pendapatan Tahun 1944 yang disingkat dengan Ord.
PPd. 1944.
c. Masa Pemerintahan Presiden Soeharto (1967-1998)
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, beberapa perubahan dan
penyempurnaan Undang-Undang pajak dilakukan. Awalnya pemerintah
mengeluarkan UU nomor 8 Tahun 1970 tentang Perubahan dan Tambahan Ordonansi
Pajak Perseroan 1925. Undang-Undang ini berlaku selama 13 tahun, yaitu sampai
dengan 31 Desember 1983 ketika reformasi pajak atau tax reform digulirkan.
Selanjutnya terbitlah Keputusan Presiden RI Nomor 12 Tahun 1976 yang menetapkan
Direktorat Ipeda diserahkan dari Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat
Jenderal Pajak. Peralihan ini mengubah mekanisme birokrasi pajak yang semula
bidang moneter ke dalam bidang perpajakan.
d. Masa Reformasi 1998 – sekarang
Perkembangan ekonomi dan masyarakat membuat pemerintah kembali mengubah
undang-undang perpajakan pada tahun 2000. Sebuah Pengadilan Pajak dibentuk dua
tahun kemudian. Perubahan perubahan undang-undang perpajakan terus dilakukan,
termasuk juga ukuran Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Sistem self-
assessment ditekankan untuk peningkatan pendapatan. Target penerimaan negara dari
perpajakan juga terus meningkat. Pemerintah juga mewajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan yang tegas diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2007
Pasal 28. Wajib melakukan pencatatan adalah Wajib Pajak Orang Pribadi yang
melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
Pada 2003 Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan 45 kebijakan pengurangan
pajak penghasilan dan barang mewah. Memasuki awal 2005 Direktorat Jenderal
Pajak menyiapkan empat fasilitas untuk memberi insentif kepada dunia usaha.
Reformasi pajak di Indonesia mendapat dukungan negara-negara dunia. Dalam
pertemuan Indonesia dengan negara-negara donor dan IMF pada 19 April 2006,
permintaan Indonesia untuk bantuan jangka panjang dalam rangka reformasi pajak di
Indonesia dikabulkan IMF dan sejumlah negara donor. Dewasa ini untuk optimalisasi
fungsi lembaga pajak, muncul usulan agar Direktorat Jenderal Pajak menjadi suatu
badan negara yang langsung berada di bawah Presiden.
Kemudian di tahun 2013 pemerintah merilis kebijakan tentang penyederhanaan
penghitungan dan penyetoran pajak dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah
Nomor 46, yaitu Wajib Pajak, baik orang pribadi dan badan (kecuali WP orang
pribadi yang melakukan pekerjaan bebas) dengan omzet atau pendapatan kotor
setahun tidak melebihi Rp 4,8 miliar dikenakan tarif pajak penghasilan bersifat final
sebesar 1%, dengan adanya tarif yang ringan dan sederhana dalam penyetoran serta
pelaporannya diharapkan dapat meningkatkan jumlah partisipasi Wajib Pajak dalam
membayar pajak sehingga dengan semakin tingginya tax collection maka semakin
banyak pula masyarakat yang turut serta dalam mengawasi jalannya pembangunan di
negeri ini yang didapatkan dari sektor pajak.
Selanjutnya, pada tahun 2018 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengenai
perpajakan yakni “Peraturan Menteri Keuangan Tentang Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan
Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu”.

2. Perbedaan Unsur-Unsur Pajak Dalam Paradigma Klasik Dan Paradigma Kontemporer

 Pajak dalam Paradigma Klasik


Pajak dalam paradigma lama masih sangat dominan sebagaimana ditunjukkan dalam The
Encyclopedia Americana, yaitu: “A compulsory contribution from the person to the
government to defray the expenses incurred in the common interest of all, without
reference to special benefits conferred”.
Unsur-unsur yang ada dalam definisi pajak tersebut akan diuraikan sebagai berikut:
a. Dapat Dipaksakan
Di Indonesia, salah satu instrumen “paksaan” dalam pemungutan pajak adalah
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (selanjutnya disebut PPSP).
b. Dipungut berdasarkan Undang-undang
Dalam merumuskan atau menentukan peraturan perundang-undangan pajak
tersebut, aspirasi masyarakat harus terwakili, paling tidak melalui wakilnya di Badan
Legislatif.
c. Tidak Mendapatkan Manfaat Langsung
Pembayar pajak tidak menerima langsung manfaat atas kontribusi pembayaran
pajaknya. Meskipun demikian, bukan berarti uang pajak dapat digunakan oleh
Pemerintah secara semena-mena, karena Pemerintah harus melakukan akuntabilitas
dan transparansi penggunaannya.

 Pajak dalam Paradigma Kontemporer


a. Pajak tidak boleh memaksa;
b. Pajak harus dikembalikan ke Masyarakat;
c. Pembayar pajak mendapatkan manfaat;
d. Pajak juga memiliki pengukuran benefit.

3. Asas Pemungutan Pajak


a. Adam Smith
 Asas Equality, pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara harus sesuai dengan
kemampuan dan penghasilan wajib pajak. Negara tidak boleh bertindak
diskriminatif terhadap wajib pajak.
 Asas Certainty, semua pungutan pajak harus berdasarkan UU, sehingga bagi yang
melanggar akan dapat dikenai sanksi hukum.
 Asas Convinience of Payment, pajak harus dipungut pada saat yang tepat bagi
wajib pajak (saat yang paling baik), misalnya disaat wajib pajak baru menerima
penghasilannya atau disaat wajib pajak menerima hadiah.
 Asas Efficiency, biaya pemungutan pajak diusahakan sehemat mungkin, jangan
sampai terjadi biaya pemungutan pajak lebih besar dari hasil pemungutan pajak.
b. W.J. Langen
 Asas Daya Pikul, besar kecilnya pajak yang dipungut harus berdasarkan besar
kecilnya penghasilan wajib pajak. Semakin tinggi penghasilan maka semakin
tinggi pajak yang dibebankan.
 Asas Manfaat, pajak yang dipungut oleh negara harus digunakan untuk kegiatan-
kegiatan yang bermanfaat untuk kepentingan umum.
 Asas Kesejahteraan, pajak yang dipungut oleh negara digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan rakyat.
 Asas Kesamaan, dalam kondisi yang sama antara wajib pajak yang satu dengan
yang lain harus dikenakan pajak dalam jumlah yang sama (diperlakukan sama).
 Asas Beban Yang Sekecil-kecilnya, pemungutan pajak diusahakan sekecil-
kecilnya (serendah-rendahnya) jika dibandingkan dengan nilai obyek pajak
sehingga tidak memberatkan para wajib pajak.
c. Adolf Wagner
 Asas Politik Finansial, pajak yang dipungut negara jumlahnya memadai sehingga
dapat membiayai atau mendorong semua kegiatan negara.
 Asas Ekonomi, penentuan obyek pajak harus tepat, misalnya: pajak pendapatan,
pajak untuk barang-barang mewah
 Asas Keadilan, pungutan pajak berlaku secara umum tanpa diskriminasi, untuk
kondisi yang sama diperlakukan sama pula.
 Asas Administrasi, menyangkut masalah kepastian perpajakan (kapan, dimana
harus membayar pajak), keluwesan penagihan (bagaimana cara membayarnya)
dan besarnya biaya pajak.
 Asas Yuridis, segala pungutan pajak harus berdasarkan undang-undang.

Anda mungkin juga menyukai