Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk mengamati dinamika keberagamaan yang berjalan di tengah-
tengah kehidupan masyarakat dan eksistensi kehidupan masyarakat abangan dikota santri melalui
perkembangan pendidikan dan sosial budaya di dukuh Banyu Urip Desa Lodan Kulon Kecamatan
Sarang kabupaten Rembang dimana terfokus mengkaji perubahan paradigma masyarakat tentang
agama. Kecamatan sarang merupakan kecamatan yang dijuluki kota santri karena terdapat pondok
yang berjumlah puluhan hingga ratusan dan banyak tokoh ulama yang dilahirkan namun masih ada
daerah yang tertinggal baik pada pendidikan maupun sosial budaya. Berpinjak pada kehidupan
masyarakat yang hidup didaerah terpencil dan terbelakang sehingga membuat mereka terasingkan
oleh dunia luar karena minimnya alat transportasi dan jalur transportasi yang memadahi
menjadikan mereka miskin pengetahuan baik dalam segi umum maupun agama. Kehidupan sosial
budaya mereka pun cenderung kolot namun seiring perkembangan zaman mereka cukup
berkembang dan masih tampak mengadaptasi dengan kegiatan kebudayaan yang cenderung
ambigu dalam hukum agama karena terpengaruh dengan para ulama dari yang berdakwah di sana.
Penelitian ini dilakukan di dukuh Banyu Urip Desa Lodan Kulon, Kec Sarang dengan cara
mengobservasi berbagai pelaksanaaan kegiatan sosial budaya dan pendidikan yang berlangsung
disana untuk lebih mendalami lagi kami melakukan wawancara mendalam (guide interview)
dengan dua tokoh tertua disana dan seorang guru ngaji. Selain wawancara mendalam data
kualitatif dikumpulkan melalui dokumentasi dan studi dokumen.
Kata kuci : Dinamika, eksistensi, Abangan, Kota Santri, pendidikan, sosial budaya
Abstract
This article aims to observe the dynamics of keberagamaan that runs in the middle of the
life of society and the existence of the life of the community through the development of students
in abangan education and social culture in dukuh Banyu Urip Lodan Kulon Village Subdistrict of
Rembang Regency Nest where focused review changes the paradigm of society about religion.
The nest is a sub town nicknamed the city of students as there are huts that tens to hundreds of and
many of the scholars who were born but there are still areas which are lagging behind both in
education and social culture. Berpinjak on people's lives who live in remote and backward so as to
make those alienated by the outside world because of the lack of means of transportation and the
transportation memadahi make them poor knowledge both in terms of or public religion. Socio-
cultural life they tend to be archaic but over time they developed enough and still seem to be
adapting with cultural activities tends to be ambiguous in the religious law because it affected by
the scholars of the preaching there. This research was conducted at the Banyu Urip dukuh Village
Lodan Kulon, Kec Hive in a way she was observing the various cultural and educational social
activities that take place there to further deepen again we do in-depth interviews (guide interview)
with two of the oldest figures there and a teacher budheg. In addition to the in-depth interviews the
qualitative data gathered through documentation and study of the document.
Keys words: Dynamics, existence, Abangan, Kota Santri, education, social and culture
PENDAHULUAN
Masyarakat Jawa sangat kental akan tradisi dan budaya. Dimana Tradisi
dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya
nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya
orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan
di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Namun di sisi
lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam
percaturan kenegaraan, akan tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan
praktekpraktek keagamaan.1 Tradisi dan budaya masayarakat jawa banyak
dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha yang terus bertahan
hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang
berbeda, seperti Islam, Kristen, dan lain sebagainya.
Adapun agama mayoritas masyarakat jawa adalah Islam hingga sekarang
masih menggunakan tradisi dan budaya jawa tersebut meskipun terkadang masih
terdapat tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Namun
memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus
dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam tetapi banyak juga budaya
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran
Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya
Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran
Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam
yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan
mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan
dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan
hingga sekarang.
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa dalam 3 tipe kategori/varian,
yaitu Abangan, Santri dan priyayi. Kategori masyarakat tersebut bisa dilihat
dalam bentuk upacara, ritual dan peribadatannya. Varian pertama ialah struktur
1
Dr. Marzuki, M.Ag, TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA DALAM PERSPEKTIF
ISLAM, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Hal 1
kehidupan sosial, orientasi serta perilaku yang menggambarkan hubungan
keagamaan dari kelompok sosial dari suasana dan tata kehidupan pedesaan, yaitu
Abangan.2 Varian kedua adalah yang biasa dikatakan menguasai pasar dan mereka
dikatakan taat mengerjakan ajaran Islam, yaitu Santri.3 Varian ketiga adalah
golongan pegawai pemerintahan dan yang dianggap sebagai mewakili tradisi
besar Jawa yang bermuara di Kraton, yang kecenderungan bernuansa Hinduistis,
yaitu Priyayi.4
2
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat : Pustaka Jaya,
1981) Hal. 6
3
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat : Pustaka Jaya,
1981) Hal. 289
4
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat : Pustaka Jaya,
1981) Hal 327
5
http://voa.islam-kota-santri
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Sarang,_Rembang
ketenarannya. Namun dalam kemasyhurannya masih ada daerah yang terpencil
bahkan cenderung tertinggal karena memiliki jalur transportasi yang kurang
memadahi kehidupannya cenderung abangan. Dukuh Banyu Urip Desa Lodan
Kulon Kecamatan Sarang kabupaten Rembang merupakan salah satu daerah yang
masih terpencil dan tertinggal karena letak berada letak geografis yang sulit
dicapai dimana memiliki akses jalur transportasi yang rumit hal tersebut menjadi
penyebab kurangnya pendidikan baik dalam hal agama maupun umum.
7
Mas’udi, 2016, Perubahan Paradigma Beragama (Analisis Perubahan Pemikiran Keagamaan
Masyarakat Desa Jepang Mejobo Kudus), Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 4 Nomor 2 Hal 228
Dalam pertumbuhan agama itu sendiri eksistensinya seringkali menjumpai
hal-hal yang bernilai kompleks sehingga menuntut pemaknaan yang terarah agar
tidak terjadi kesalahan persepsi. menjelaskan sifat agama sebagai objek kajian, di
dalam dirinya sendiri, merupakan sumber dari segala kerumitan usaha studi
terhadapnya. Hingga saat ini, belum pernah terjadi kesepakatan di kalangan para
pengkaji mengenai batasan agama di mana pangkal dan di mana ujungnya. Agama
muncul sebagai fenomena yang kompleks dan cair, tidak gampang untuk
dirumuskan. Ia meresap ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia, sehingga
kajian terhadap agama selalu akan berhimpitan dengan kajian-kajian bidang lain.8
8
Permata, A. N. (2000). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hal 14
dan berusaha mengadaptasi serta mengakulturasi ajaran Islam lalu dijadikan
sebagai budaya. Dinamika kehidupan ini dimulai dari salah seorang yang pindah
ke tempat terpencil yakni ladang bekerja dan mendirikan rumah agar dekat dengan
ladang mereka semula hanya satu keluarga lalu lambat laun diikuti keluarga lainya
mereka membabad hutan atau menebang pokok-pokok hutan untuk dijadikan
sebagai lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk, semakin hari perkampungan
tersebut semakin ramai meskipun pada daerah terpencil karena tuntutan ekonomi
banyak warga yang berbondong-bondong menuju daerah tersebut dengan
membabad hutan.
Menurut Mak Rom salah satu sesepuh dukuh tersebut dahulu daerah banyu
merupakan hutan-hutan belantara namun banyak pendatang yang berbodong-
bondong melakukan babad hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan rumah-
rumah sederhana yang memiliki atap daun jati. Meraka begelud melawan nasib
agar tetap bertahan hidup dengan bertumpu pada hasil pertanian yang tidak pasti.
Dahulu rutinitas kehidupan mereka hanya dipenuhi dengan bekerja di lading tanpa
menjalankan perintah agama meskipun terdapat orang yang masih tetap
menjalankan agama.
9
Pranowo, B. (2011). Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet. 8
masyarakat. Dimana golongan Abangan menjadi penjaga budaya dan nilai tradisi
melalui berbagai pola keagamaan mereka, sedangkan golongan Santri sebagai
transformasi nilai-nilai Islam dengan rasa solidaritas mereka yang kuat melalui
berbagai lembaga organisasi mereka.
Orang Jawa (Abangan) menyebut upacara perkwinan dan khitanan dengan
“duwe gawe” atau mempunyai kerja” dan menganggapnya sebagai contoh yang
baik sekali untuk sebuah nilai yang mereka sebut rukun. Sebagai suatu upacara,
duwe gawe mendekati generalisasi dan pengikhtisaran kewajiban masing-masing
orang untuk rukun, seperti juga kewajiban mentaati institusi lainnya dalam
masyarakat tradisional Jawa, karena fungsi sosial upacara keagamaan adalah
sekedar memberikan generalisasi dan ikhtisar yang bisa dimengerti atas praktek-
praktek sosial yang sudah disepakati dalam bentuk simbolis.
Hal itu sesuai dengan keadaan sosial di dukuh banyu yang memelihara
adat istiadat tersebut seperti syukuran, selametan dan lain sebagainya. Selain
kategori dan corak masyarakat tersebut dapat dilihat dari pola keagamaannya
(upacara, ritual dan peribadatannya) juga bisa ditelusuri melalui pandangan
masyarakat terhadap kesenian dan tradisi yang terdapat dalam masyarakat. Setiap
kesenian yang merupakan hasil budaya masyarakat mengandung corak dan cara
berpikir khas masyarakat tersebut. Dimana bentuk kesenian mencerminkan
struktur sosial dimana kaum adam disana pergi merantau keluar pulau bahkan ke
luar negeri untuk bekerja sedangkan kaum hawa menetap disana serta mendidik
anak. Adapun kegiatan sosial agama dalam memperingati hari-hari besar seperti
maulid Nabi, Isro’ Mi’roj dilakukan bahkan setiap kamis mereka membentuk
pengajian rutin masih dijalankan.
SIMPULAN
Dinamika dan eksistensi kehidupan masyarakat abangan di kota santri
prespektif pendidikan dan sosial budaya masyarakat dukuh Banyu urip Desa
Lodan Kulon Kecamatan Sarang beranjak dari kaum abangan ke kaum santri
peran dari kaum santri yang ada disana meskipun adat istiadat seperti upacara adat
masih tetep eksis dan berjalan dan mengadaptasi ajaran agama Islam, sedangkan
dalam hal sosial budaya mereka mebentuk organisasi sosial kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
Dr. Marzuki, M.Ag, TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Mas’udi, 2016, Perubahan Paradigma Beragama (Analisis Perubahan Pemikiran
Keagamaan Masyarakat Desa Jepang Mejobo Kudus), Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 2
BUKU
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat :
Pustaka Jaya, 1981
Permata, A. N. (2000). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pranowo, B. (2011). Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet.
INTERNET
http://voa.islam-kota-santri
https://id.wikipedia.org/wiki/Sarang,_Rembang