Anda di halaman 1dari 9

Dinamika dan Eksistensi Kehidupan Masyarakat Abangan di Kota Santri

Prespektif Pendidikan dan Sosial Budaya


Masyarakat Dukuh Banyu Urip Desa Lodan Kulon Kec Sarang
Siti Ghoyatul Muna1, Nadhifah2, Rokhil Royyanah3, Masruhatun Nikmah4

Prodi Tadris Matematika, Jurusan Tarbiyah IAIN Kudus, Kota Kudus


ghoyatulmua67@gmail.com

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mengamati dinamika keberagamaan yang berjalan di tengah-
tengah kehidupan masyarakat dan eksistensi kehidupan masyarakat abangan dikota santri melalui
perkembangan pendidikan dan sosial budaya di dukuh Banyu Urip Desa Lodan Kulon Kecamatan
Sarang kabupaten Rembang dimana terfokus mengkaji perubahan paradigma masyarakat tentang
agama. Kecamatan sarang merupakan kecamatan yang dijuluki kota santri karena terdapat pondok
yang berjumlah puluhan hingga ratusan dan banyak tokoh ulama yang dilahirkan namun masih ada
daerah yang tertinggal baik pada pendidikan maupun sosial budaya. Berpinjak pada kehidupan
masyarakat yang hidup didaerah terpencil dan terbelakang sehingga membuat mereka terasingkan
oleh dunia luar karena minimnya alat transportasi dan jalur transportasi yang memadahi
menjadikan mereka miskin pengetahuan baik dalam segi umum maupun agama. Kehidupan sosial
budaya mereka pun cenderung kolot namun seiring perkembangan zaman mereka cukup
berkembang dan masih tampak mengadaptasi dengan kegiatan kebudayaan yang cenderung
ambigu dalam hukum agama karena terpengaruh dengan para ulama dari yang berdakwah di sana.
Penelitian ini dilakukan di dukuh Banyu Urip Desa Lodan Kulon, Kec Sarang dengan cara
mengobservasi berbagai pelaksanaaan kegiatan sosial budaya dan pendidikan yang berlangsung
disana untuk lebih mendalami lagi kami melakukan wawancara mendalam (guide interview)
dengan dua tokoh tertua disana dan seorang guru ngaji. Selain wawancara mendalam data
kualitatif dikumpulkan melalui dokumentasi dan studi dokumen.

Kata kuci : Dinamika, eksistensi, Abangan, Kota Santri, pendidikan, sosial budaya

Abstract

This article aims to observe the dynamics of keberagamaan that runs in the middle of the
life of society and the existence of the life of the community through the development of students
in abangan education and social culture in dukuh Banyu Urip Lodan Kulon Village Subdistrict of
Rembang Regency Nest where focused review changes the paradigm of society about religion.
The nest is a sub town nicknamed the city of students as there are huts that tens to hundreds of and
many of the scholars who were born but there are still areas which are lagging behind both in
education and social culture. Berpinjak on people's lives who live in remote and backward so as to
make those alienated by the outside world because of the lack of means of transportation and the
transportation memadahi make them poor knowledge both in terms of or public religion. Socio-
cultural life they tend to be archaic but over time they developed enough and still seem to be
adapting with cultural activities tends to be ambiguous in the religious law because it affected by
the scholars of the preaching there. This research was conducted at the Banyu Urip dukuh Village
Lodan Kulon, Kec Hive in a way she was observing the various cultural and educational social
activities that take place there to further deepen again we do in-depth interviews (guide interview)
with two of the oldest figures there and a teacher budheg. In addition to the in-depth interviews the
qualitative data gathered through documentation and study of the document.
Keys words: Dynamics, existence, Abangan, Kota Santri, education, social and culture
PENDAHULUAN

Masyarakat Jawa sangat kental akan tradisi dan budaya. Dimana Tradisi
dan budaya Jawa hingga akhir-akhir ini masih mendominasi tradisi dan budaya
nasional di Indonesia. Di antara faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya
orang Jawa yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan
di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan hingga sekarang. Namun di sisi
lain, ternyata tradisi dan budaya Jawa tidak hanya memberikan warna dalam
percaturan kenegaraan, akan tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan
praktekpraktek keagamaan.1 Tradisi dan budaya masayarakat jawa banyak
dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha yang terus bertahan
hingga sekarang, meskipun mereka sudah memiliki keyakinan atau agama yang
berbeda, seperti Islam, Kristen, dan lain sebagainya.
Adapun agama mayoritas masyarakat jawa adalah Islam hingga sekarang
masih menggunakan tradisi dan budaya jawa tersebut meskipun terkadang masih
terdapat tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Namun
memang ada beberapa tradisi dan budaya Jawa yang dapat diadaptasi dan terus
dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam tetapi banyak juga budaya
yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Jawa yang memegangi ajaran
Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya
Jawa yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran
Islam. Sementara masyarakat Jawa yang tidak memiliki pemahaman agama Islam
yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan
mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan
dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan
hingga sekarang.
Clifford Geertz membagi masyarakat Jawa dalam 3 tipe kategori/varian,
yaitu Abangan, Santri dan priyayi. Kategori masyarakat tersebut bisa dilihat
dalam bentuk upacara, ritual dan peribadatannya. Varian pertama ialah struktur

1
Dr. Marzuki, M.Ag, TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA DALAM PERSPEKTIF
ISLAM, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta. Hal 1
kehidupan sosial, orientasi serta perilaku yang menggambarkan hubungan
keagamaan dari kelompok sosial dari suasana dan tata kehidupan pedesaan, yaitu
Abangan.2 Varian kedua adalah yang biasa dikatakan menguasai pasar dan mereka
dikatakan taat mengerjakan ajaran Islam, yaitu Santri.3 Varian ketiga adalah
golongan pegawai pemerintahan dan yang dianggap sebagai mewakili tradisi
besar Jawa yang bermuara di Kraton, yang kecenderungan bernuansa Hinduistis,
yaitu Priyayi.4

Ketiga varian tersebut tersebar diseluruh lapisan masyarakat jawa dalam


daearah yang berbeda sehingga membentuk kelas sosial di masyarakat. Varian
abangan Kebanyakan tinggal di daerah pedesaan yang terpenci sedangkan varian
santri berada pada daerah yang berkembang adapun varian priyayi terdapat pada
daerah berkembang dan cenderung maju atau pusat pemerintahan. Akan tetapi
terdapat beberapa varian yang tinggal dalam satu daerah bahkan takjarang salah
satu daerah meiliki varian yang kompleks baik dalam tingkat daerah maupun
kecamatan.

Sarang merupakan salah satu kecamatan di kabupaten rembang yang


terletak pada perbatasan kabupaten bahkan perbatasan provinsi dijuluki sebagai
kota santri karena terdapat banyak pondok pesantren yang mencapai ratusan
bahkan ribuan Dai dan Ulama dari Nahdiyin telah dicetak serta jutaan santri juga
telah merasakan samudera kedalaman ilmu Islam.5 Kota Sarang terletak di antara
perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur di wilayah Pantura. 6 Salah satu Pondok
nama pesantren yang termashur di wilayah jalur Pantura ini adalah pondok yang
didirikan oleh KH Maimun Zubair itu telah menjadi simbol dari kegagahan
dakwah Nahdiyin di wilayah Rembang, yang sudah tidak perlu diragukan lagi

2
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat : Pustaka Jaya,
1981) Hal. 6
3
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat : Pustaka Jaya,
1981) Hal. 289
4
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat : Pustaka Jaya,
1981) Hal 327
5
http://voa.islam-kota-santri
6
https://id.wikipedia.org/wiki/Sarang,_Rembang
ketenarannya. Namun dalam kemasyhurannya masih ada daerah yang terpencil
bahkan cenderung tertinggal karena memiliki jalur transportasi yang kurang
memadahi kehidupannya cenderung abangan. Dukuh Banyu Urip Desa Lodan
Kulon Kecamatan Sarang kabupaten Rembang merupakan salah satu daerah yang
masih terpencil dan tertinggal karena letak berada letak geografis yang sulit
dicapai dimana memiliki akses jalur transportasi yang rumit hal tersebut menjadi
penyebab kurangnya pendidikan baik dalam hal agama maupun umum.

Dinamika dan Eksistensi Kehidupan Masyarakat Abangan di Kota Santri


Prespektif Pendidikan Masyarakat Dukuh Banyu Urip Desa Lodan Kulon
Kec Sarang
Pendidikan menjadi penentu kehidupan suatu masyarakat semakin tinggi
tingkat pendidikan masyarakat maka akan semakin tinggi pula tingkat kehidupan
demekian sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan suatu masyarakat akan
menjadi boomerang bahkan masalah yang ditimbulkan karena tidak mampu
mampu berkembang dalam menghadapi tuntutan zaman. Masalah tersebut
umumnya dialami oleh masyarakat yang tinggal ditempat terpencil yang memiliki
akses sulit mereka umumnya tertinggal baik dalam pengetahuan umum maupun
agama bahkan disebut sebagai kaum abangan.

Padahal kehadiran agama dalam kehidupan masyarakat merupakan


pedoman berharga bagi perjalanan kehidupan mereka. Masyarakat dengan
keyakinannya atas suatu agama akan dihantarkan kepada kesadaran bahwa
orientasi kehidupannya akan menjadi terarah seiring dengan orientasi dasar dari
hakikat agama yang diyakini. Agama akan memberikan ruang komunikasi efektif
di antara manusia dengan penciptanya. Kesadaran komunikasi antara manusia
dengan penciptanya akan seutuhnya terwujud ketika manusia menyadari arti
penting dari agama yang hadir di tengah-tengah kehidupan mereka.7

7
Mas’udi, 2016, Perubahan Paradigma Beragama (Analisis Perubahan Pemikiran Keagamaan
Masyarakat Desa Jepang Mejobo Kudus), Fikrah: Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan
Volume 4 Nomor 2 Hal 228
Dalam pertumbuhan agama itu sendiri eksistensinya seringkali menjumpai
hal-hal yang bernilai kompleks sehingga menuntut pemaknaan yang terarah agar
tidak terjadi kesalahan persepsi. menjelaskan sifat agama sebagai objek kajian, di
dalam dirinya sendiri, merupakan sumber dari segala kerumitan usaha studi
terhadapnya. Hingga saat ini, belum pernah terjadi kesepakatan di kalangan para
pengkaji mengenai batasan agama di mana pangkal dan di mana ujungnya. Agama
muncul sebagai fenomena yang kompleks dan cair, tidak gampang untuk
dirumuskan. Ia meresap ke dalam setiap wilayah kehidupan manusia, sehingga
kajian terhadap agama selalu akan berhimpitan dengan kajian-kajian bidang lain.8

Geertz dalam Religion of Java sebagaimana dijelaskan oleh Bambang


Pranowo menyebutkan bahwa identitas muslim Jawa dengan merumuskan
trikotomi abangan, santri, dan priyayi. Menurut Geertz, tradisi agama abangan,
yang dominan dalam masyarakat petani, terutama terdiri dari ritual-ritual yang
dinamai slametan, kepercayaan yang kompleks dan rumit terhadap roh-roh, dan
teori-teori serta praktik-praktik pengobatan tenung dan sihir. Slametan, sebagai
ritual terpenting masyarakat abangan, bertujuan menenangkan roh-roh dan untuk
memperoleh keadaan slamet—yang ditandai dengan tidak adanya perasaan sakit
hati pada orang lain serta keseimbangan emosional

Klasifikasi terstruktur yang dimunculkan oleh Geertz terhadap realitas


kehidupan masyarakat Jawa di atas, tentu pada dataran yang universal banyak
menuai kritik dan persoalan. Hal ini tentunya disandarkan kepada dinamikan
umum kehidupan masyarakat Jawa yang cenderung melebur di antara satu varian
dengan varian lain. Santri dalam kebudayaan yang dijalankannya juga menikmati
budaya kaum abangan. Kaum priyayi dalam kehidupannya juga dimungkinkan
berkolaborasi dengan budaya kaum santri karena mereka juga harus
berkecimpung intensif bersama mereka.

Masyarakat dukuh banyu merupakan salah satu daerah terpencil yang


hidup dalam hiruk pikuk kota santri yang masih menggenggam adat istiadat lama

8
Permata, A. N. (2000). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Hal 14
dan berusaha mengadaptasi serta mengakulturasi ajaran Islam lalu dijadikan
sebagai budaya. Dinamika kehidupan ini dimulai dari salah seorang yang pindah
ke tempat terpencil yakni ladang bekerja dan mendirikan rumah agar dekat dengan
ladang mereka semula hanya satu keluarga lalu lambat laun diikuti keluarga lainya
mereka membabad hutan atau menebang pokok-pokok hutan untuk dijadikan
sebagai lahan pertanian dan rumah-rumah penduduk, semakin hari perkampungan
tersebut semakin ramai meskipun pada daerah terpencil karena tuntutan ekonomi
banyak warga yang berbondong-bondong menuju daerah tersebut dengan
membabad hutan.

Menurut Mak Rom salah satu sesepuh dukuh tersebut dahulu daerah banyu
merupakan hutan-hutan belantara namun banyak pendatang yang berbodong-
bondong melakukan babad hutan untuk dijadikan lahan pertanian dan rumah-
rumah sederhana yang memiliki atap daun jati. Meraka begelud melawan nasib
agar tetap bertahan hidup dengan bertumpu pada hasil pertanian yang tidak pasti.
Dahulu rutinitas kehidupan mereka hanya dipenuhi dengan bekerja di lading tanpa
menjalankan perintah agama meskipun terdapat orang yang masih tetap
menjalankan agama.

Seiring dengan perkembangan zaman mereka diakui sebagai warga resmi


Desa Lokan Kulon kecamatan Sarang dengan dipilihnya salah satu warga sebagai
“bayan” pegawai desa. Sarana pra saranapun mulai dibangun meskipun masih
sangat terbatas. Seiring dengan perkembangan ekonomi pendidikan mulai
dibenahi bahkan didirikan taman kanak-kanak untuk pendidikan anak usia dini
anak-anak menempuh pendidikan SD, SMP akan tetapi tidak banyak anak yang
melanjutkan ke jenjang lebih tinggi dari itu umumnya jika telah selaesai masa
SMP maka anak perempuan akan dinikahkan dan anak laki-laki akan merantau
keluar kota.

Sedangkan dalam pendidikan agama mereka masih lemah meskipun


banyak ulama dari kaum santri yang datang untuk berdakwah disana meskipun
tidak berpengaruh secara signifikan namun sedikit berpengaruh mereka kini sering
mengadakan pengajian meskipun hanya sedikit peminat. Hal ini sesuai dengan
pendapat pranowo dalam bukunya Religion of java pihak, kelompok santri
diasosiasikan dengan Islam yang murni. Mereka berpengaruh khususnya di
kalangan pedagang Jawa serta petani-petani Jawa yang relatif kaya. Ciri tradisi
beragama kaum santri adalah pelaksanaan ajaran dan perintah-perintah dasar
agama Islam secara hati-hati, teratur, dan juga oleh organisasi sosial dan amal,
serta Islam politik yang begitu kompleks. 9 Meskipun zaman semakin maju fikiran
mereka masih kolot dalam hal agama mereka tidak rela anaknya dimarahi guru
ngaji mereka malah balik menghardik guru ngaji tersebut.

Hal tersebut sesuai dengan ungkapan kyai Kasmin seorang sesepuh


sekaligus guru ngaji yang menyatakan pemikiran orang di dukuh ini masih keras
dan kolot sehingga sulit pendidikan agama berkembang mereka hanya aktif
apabila ada orang dari luar yang mengajar disini. Masjid yang masih aktif
mengajarkan mengaji hanya satu. Meskipun begitu mereka mulai melakukan
ajaran-ajaran agama seperti kaum santri pada umumnya meskipun tidak
sepenuhnya.

Dinamika dan Eksistensi Kehidupan Masyarakat Abangan di Kota Santri


Prespektif Pendidikan Masyarakat Dukuh Banyu Urip Desa Lodan Kulon
Kec Sarang
Ketika membedakan antara varian Abangan dengan Santri akan dapat
dilihat dalam dua perbedaan umum. Pertama dapat dilihat dari pandangan atau
pola keagamaan, dimana varian abangan yang tidak acuh terhadap doktrin agama
tetapi terpesona oleh detil keupacaraan. Sedangkan varian Santri perhatian mereka
terhadap doktrin keagamaan mengalahkan aspek ritual atau keupacaraan.
Perbedaan kedua antara varian abangan dan santri dapat dilihat pada masalah
organisasi sosial mereka. Pada varian Abangan unit sosial yang paling dasar
adalah rumah tangga seorang pria, isterinya dan anak-anaknya. Sedangkan pada
varian Santri yang utama adalah rasa komunitas (umat). Golongan Abangan dan
Santri dalam bersosial mempunyai peran masing-masing yang penting bagi

9
Pranowo, B. (2011). Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet. 8
masyarakat. Dimana golongan Abangan menjadi penjaga budaya dan nilai tradisi
melalui berbagai pola keagamaan mereka, sedangkan golongan Santri sebagai
transformasi nilai-nilai Islam dengan rasa solidaritas mereka yang kuat melalui
berbagai lembaga organisasi mereka.
Orang Jawa (Abangan) menyebut upacara perkwinan dan khitanan dengan
“duwe gawe” atau mempunyai kerja” dan menganggapnya sebagai contoh yang
baik sekali untuk sebuah nilai yang mereka sebut rukun. Sebagai suatu upacara,
duwe gawe mendekati generalisasi dan pengikhtisaran kewajiban masing-masing
orang untuk rukun, seperti juga kewajiban mentaati institusi lainnya dalam
masyarakat tradisional Jawa, karena fungsi sosial upacara keagamaan adalah
sekedar memberikan generalisasi dan ikhtisar yang bisa dimengerti atas praktek-
praktek sosial yang sudah disepakati dalam bentuk simbolis.
Hal itu sesuai dengan keadaan sosial di dukuh banyu yang memelihara
adat istiadat tersebut seperti syukuran, selametan dan lain sebagainya. Selain
kategori dan corak masyarakat tersebut dapat dilihat dari pola keagamaannya
(upacara, ritual dan peribadatannya) juga bisa ditelusuri melalui pandangan
masyarakat terhadap kesenian dan tradisi yang terdapat dalam masyarakat. Setiap
kesenian yang merupakan hasil budaya masyarakat mengandung corak dan cara
berpikir khas masyarakat tersebut. Dimana bentuk kesenian mencerminkan
struktur sosial dimana kaum adam disana pergi merantau keluar pulau bahkan ke
luar negeri untuk bekerja sedangkan kaum hawa menetap disana serta mendidik
anak. Adapun kegiatan sosial agama dalam memperingati hari-hari besar seperti
maulid Nabi, Isro’ Mi’roj dilakukan bahkan setiap kamis mereka membentuk
pengajian rutin masih dijalankan.
SIMPULAN
Dinamika dan eksistensi kehidupan masyarakat abangan di kota santri
prespektif pendidikan dan sosial budaya masyarakat dukuh Banyu urip Desa
Lodan Kulon Kecamatan Sarang beranjak dari kaum abangan ke kaum santri
peran dari kaum santri yang ada disana meskipun adat istiadat seperti upacara adat
masih tetep eksis dan berjalan dan mengadaptasi ajaran agama Islam, sedangkan
dalam hal sosial budaya mereka mebentuk organisasi sosial kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
Dr. Marzuki, M.Ag, TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT JAWA DALAM
PERSPEKTIF ISLAM, Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
Mas’udi, 2016, Perubahan Paradigma Beragama (Analisis Perubahan Pemikiran
Keagamaan Masyarakat Desa Jepang Mejobo Kudus), Fikrah: Jurnal Ilmu
Aqidah dan Studi Keagamaan Volume 4 Nomor 2
BUKU
Clifford Geertz, Abangan,Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, (Jakarta Pusat :
Pustaka Jaya, 1981
Permata, A. N. (2000). Metodologi Studi Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Pranowo, B. (2011). Memahami Islam Jawa. Jakarta: Pustaka Alvabet.
INTERNET
http://voa.islam-kota-santri
https://id.wikipedia.org/wiki/Sarang,_Rembang

Anda mungkin juga menyukai