Anda di halaman 1dari 7

Artikel ini telah tayang di Katadata.co.

id dengan judul "Bappenas: APBN Danai Biaya


Pemindahan Ibu Kota Negara Rp 93,5 Triliun" ,

APBN hanya membiayai sebesar Rp 93,5 triliun atau 19,2% dari total dana yang dibutuhkan
untuk pindah ibu kota.
Menurut Bambang, dana dari APBN tersebut nantinya akan digunakan untuk membiayai
pembangunan infrastruktur pelayanan dasar, pembangunan istana negara, bangunan
TNI/POLRI, rumah dinas ASN/TNI/POLRI, pengadaan lahan, ruang terbuka hijau dan
pangkalan militer. Ia menegaskan bahwa pembiayaan pemindahan ibu kota akan
dimaksimalkan melalui skema kerja sama pemerintah dengan swasta (KPBU). Itulah
mengapa porsi pembiayaan dari APBN hanya relatif kecil. "Jadi wajar KPBU besar karena
dengan skema ini, pihak swasta bisa masuk," ujarnya.

Bambang merinci, skema KPBU memiliki porsi yang besar dalam mendanai pemindahan
pusat pemerintahan yakni sebesar 54,6% dari total pembiayaan pemindahan ibu kota.
Sedangkan sisanya yakni 26,2% dana pemindahan akan ditanggung pihak swasta.

Namun, pemerintah akan tetap fokus pada rencana pemindahan ibu kota karena Jakarta
dinilai sudah terlalu banyak menanggung beban. Bambang menyebutkan, semua aspek di
Indonesia seluruhnya dibebankan di Jakarta. Maka dari itu, perlu kota baru yang akan fokus
sebagai pusat pemerintahan saja.

PT Pertamina (Persero) akan menerapkan konsep kota gas (city gas) untuk pemenuhan energi di ibu
kota baru pengganti Jakarta. Dengan konsep ini bisa mengoptimalkan penggunaan gas bumi sebagai
bahan bakar.

Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, Pertamina akan mengoptimalkan


penggunaan gas di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kedua
kabupaten tersebut ditetapkan sebagai ibu kota baru yang akan menggantikan Jakarta.

as dipilih jadi prioritas bahan bakar karena letak ibu kota baru berdekatan dengan sumur yang
menjadi sumber pasokan gas. "Potensi sumber daya alam yang ada itu bisa dioptimalkan,"
kata Nicke, di Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Untuk mengembangkan infrastruktur energi di ibu kota baru, Pertamina akan menerapkan


konsep city gas dengan membangun jaringan pipa di wilayah tersebut.

"Nanti itu akan seperti Kota Bontang, ini sudah menjadi city gas," ujarnya.

Di kesempatan terpisah, Direktur Keuangan Pertamina Pahala N Mansury mengungkapkan,


Pertamina memiliki lahan banyak di Kalimantan Timur, sehingga siap mendukung
pemindahan ibu kota negara ke Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara.

"Pertamina siap dukung karena lahan kita banyak sekali," imbuhnya.


Menurutnya, Kalimantan Timur merupakan basis produksi Pertamina, baik dari sisi produksi
migas dengan dioperatorinya beberapa blok migas maupun dari sisi produksi Bahan Bakar
Minyak (BBM) dengan adanya Kilang Balikpapan.

"Memang selama ini Balikpapan Kalimantan Timur salah satu basis produksi kita, dari sisi
kilang kita punya lahan di Kalimantan Timur, basis produksi upstream dan midstream,"
tuturnya.

Dengan adanya pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur, dia yakin akan
meningkatkan geliat ekonomi di wilayah tersebut, sehingga membutuhkan infrastruktur
penyediaan energi.

Namun Pahala belum bisa memaparkan rencana pembangunan infrastruktur energi di ibu
kota baru, sebab Pertamina masih melakukan pemetaan bentuk ibu kota baru.

"Belum kalau dari kita, saat ini kita masih ingin memahami dulu sebetulnya bentuknya
seperti apa," tandasnya.  

as dipilih jadi prioritas bahan bakar karena letak ibu kota baru berdekatan dengan sumur yang
menjadi sumber pasokan gas. "Potensi sumber daya alam yang ada itu bisa dioptimalkan,"
kata Nicke, di Jakarta, Kamis (5/9/2019).

Untuk mengembangkan infrastruktur energi di ibu kota baru, Pertamina akan menerapkan


konsep city gas dengan membangun jaringan pipa di wilayah tersebut.

"Nanti itu akan seperti Kota Bontang, ini sudah menjadi city gas," ujarnya.

Di kesempatan terpisah, Direktur Keuangan Pertamina Pahala N Mansury mengungkapkan,


Pertamina memiliki lahan banyak di Kalimantan Timur, sehingga siap mendukung
pemindahan ibu kota negara ke Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara.

"Pertamina siap dukung karena lahan kita banyak sekali," imbuhnya.

Menurutnya, Kalimantan Timur merupakan basis produksi Pertamina, baik dari sisi produksi
migas dengan dioperatorinya beberapa blok migas maupun dari sisi produksi Bahan Bakar
Minyak (BBM) dengan adanya Kilang Balikpapan.

"Memang selama ini Balikpapan Kalimantan Timur salah satu basis produksi kita, dari sisi
kilang kita punya lahan di Kalimantan Timur, basis produksi upstream dan midstream,"
tuturnya.

Dengan adanya pemindahan ibu kota baru ke Kalimantan Timur, dia yakin akan
meningkatkan geliat ekonomi di wilayah tersebut, sehingga membutuhkan infrastruktur
penyediaan energi.

Namun Pahala belum bisa memaparkan rencana pembangunan infrastruktur energi di ibu
kota baru, sebab Pertamina masih melakukan pemetaan bentuk ibu kota baru.

"Belum kalau dari kita, saat ini kita masih ingin memahami dulu sebetulnya bentuknya
seperti apa," tandasnya.  
Perusahaan Gas Negara (PGN) menyatakan dukungan terhadap pembangunan ibu kota baru.
Bahkan, menyatakan kesiapannya membangun jaringan gas di ibu kota baru.

Direktur Utama PGN Gigih Prakoso mengatakan, wilayah Kalimantan, terkhususnya


Kalimantan Timur dikenal kaya akan SDA gas alam. Sejauh ini, PGN pun sudah beroperasi
di Kaltim.

"Sehingga nantinya apabila kota baru ini akan didesain dengan menggunakan sumber energi
gas, kita siap menyuplai dan pipanisasinya, infrastrukturnya. Karena memang kami sudah
punya operasinya di daerah Kalimantan Timur," kata dia, di Jakarta, Jumat (30/8).

Direktur Infrastruktur dan Teknologi PGN Dilo Seno Widagdo mengatakan, pihaknya sudah
diajak bicara oleh Bappenas. Saat ini desain sistem pipanisasi di ibu kota baru sedang
dirancang.

"Untuk pengembangan master plan ibu kota baru, kita sudah diajak bicara oleh Bappenas
untuk ikut merancang kira-kira nanti sistem pipanisasi distribusi gas di ibu kota baru seperti
apa. Hari ini kita masih dalam konseptual desain nanti kalau sudah, mungkin baru tahun
depan kita bisa mendetailkan," ungkapnya. 

Selain itu, Rudy menjelaskan jika ekonomi Indonesia akan tumbuh 0,1 hingga 0,2 persen.
Saat ini, karena pembangunan dinilai masih Jawa-sentris, pertumbuhan ekonomi tertinggi
masih berpusat di pulau Jawa.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018 menyebutkan sekitar 54,48 persen aktivitas
ekonomi Indonesia berpusat di Pulau Jawa.

Sebesar 21,58 persen di Sumatera, 8,20 persen di Kalimantan, 3,05 persen di Bali dan Nusa
Tenggara, 6,22 persen di Sulawesi serta 2,47 persen di Maluku dan Papua.

Untuk itu, jika ibu kota dipindahkan ke lokasi yang lebih ideal, maka pembangunan
Indonesia akan lebih merata.

Untuk rinciannya, sebanyak 19,2 persen dana berasal dari APBN atau sekitar Rp 89,4 triliun.
Dana ini akan digunakan untuk membangun infrastruktur dasar, istana negara, gedung TNI
dan Polri, perumahan ASN, TNI dan Polri, pembebasan lahan, lahan hijau terbuka dan
markas TNI.

Kemudian, 54,4 persen dana akan berasal dari skema KPBU, atau sekitar Rp 253,4 triliun.
Dana ini bakal dialokasikan untuk pembangunan gedung eksekutif, legislatif, yudikatif
(seperti gedung DPR, Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial dan lainnya), infrastruktur
yang tidak tertutup dana APBN, sarana kesehatan dan pendidikan, museum serta fasilitas
pendukung.

Kemudian sisanya, 26,4 persen berasal dari swasta, kira-kira Rp 123,2 triliun. Dana ini akan
digunakan untuk membangun perumahan umum, sains-techno park, jalan tol, bandara,
pelabuhan, mall dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition). Namun
demikian. skema pembiayaan tersebut belum fix dan masih bisa diperdalam lagi kajiannya.

Memindahkan ibu kota juga sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia. Dalam sejarahnya,
Indonesia pernah berganti-ganti ibu kota selama revolusi dari Jakarta ke Yogyakarta (1946),
kemudian Bukittinggi (1948), hingga akhirnya kembali ke Jakarta (1949).

Wacana memindahkan ibu kota itu menimbulkan pro dan kontra. Apalagi, biaya
memindahkan ibu kota tidak murah. Menurut estimasi pemerintah, biaya memindahkan ibu
kota ke Pulau Kalimantan bisa mencapai 33 miliar dolar AS.

Dana sebesar 33 miliar dolar AS atau setara dengan Rp469 triliun (asumsi Rp14.199/dolar
AS) itu bukanlah nilai yang kecil karena setara dengan seperempat dari total penerimaan
negara sepanjang 2018 yang sebesar Rp1.942 triliun.

Belum lagi, kondisi keuangan Indonesia saat ini masih belum surplus alias defisit. Tahun ini,
defisit anggaran yang harus ditutup pemerintah diperkirakan mencapai Rp296 triliun. Jelas,
wacana memindahkan ibu kota kian menambah beban anggaran.

Biaya Fantastis Tak Hanya Dihadapi Indonesia


Ada banyak negara yang pernah memindahkan ibu kotanya. Misalnya seperti Brasil,
Myanmar, Kazakhstan, dan Pantai Gading. Meski begitu, wacana pemindahan ibu kota
umumnya lebih banyak menawarkan peringatan ketimbang dorongan.

Peringatan yang kerap dilontarkan kepada pemerintah selama ini adalah besarnya biaya untuk
merealisasikan pemindahan ibu kota. Lihat saja Brasil ketika memindahkan ibu kotanya dari
Rio de Janeiro ke Brasilia pada 1960.

Dilansir dari Ultimosegundo, biaya yang dihabiskan pemerintah Brasil ditaksir menembus
angka sebesar 1,5 miliar dolar AS kala itu, atau setara dengan 83 miliar dolar AS jika
memakai asumsi kurs dolar AS pada 2010.

Bagi pemerintah Brasil, biaya itu tentu sangat besar nilainya. Apalagi, total belanja
pemerintah Brasil saat Brasilia resmi menjadi ibu kota baru hanya 2,14 miliar dolar AS kala
itu.

Begitu juga dengan Myanmar ketika memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw pada
2005. Dilansir dari theglobalist, biaya yang dihabiskan pemerintah saat dipimpin oleh Than
Shwe kala itu ditaksir menyentuh 5 miliar dolar AS.

Lantas, mengapa negara-negara itu tetap ngotot untuk memindahkan ibu kotanya jika biaya
yang harus dikeluarkan luar biasa besarnya ?
Banyak alasan yang bisa menjadi pertimbangan oleh suatu negara ketika memutuskan untuk
memindahkan ibu kotanya. Alasannya pun bisa berbeda di tiap negara.

Brasil misalnya. Negara yang berlokasi di Amerika Selatan ini memindahkan ibu kotanya ke
Brasilia lantaran populasi Rio de Janeiro—ibu kota sebelumnya—sudah teramat ramai atau
sesak, sebagaimana dilansir dari India Times.

Kondisi lalu lintas di Rio de Janeiro juga sangat padat. Belum lagi, lokasi di antara gedung-
gedung milik pemerintah juga berjauhan. Alhasil, Juscelino Kubitschek—Presiden Brasil
kala itu—memutuskan untuk mencari ibu kota baru.

Berbeda dengan Brasil, alasan Kazakhstan memindahkan ibu kotanya ke Astana (saat ini
bernama Nur Sultan) karena lokasi ibu kota sebelumnya Almaty berada terlampau dekat
dengan perbatasan China.

Mengutip studi (PDF) berjudul “The Significance of Shifting Capital of Kazakstan from
Almaty to Astana: An Evalution on the basis of Geopolitical and Demographic
Developments” (2014) yang ditulis Mehmet Arslan, kedekatan geografis Almaty dengan
China adalah ancaman terhadap aspek politik, kultur, hingga ekonomi Kazakhstan.

Jika dilihat dari Google Map, lokasi Almaty memang cukup dekat dengan perbatasan wilayah
China, baik dilihat dari sisi selatan maupun timur. Lokasi Nur Sultan sendiri berada jauh di
utara Almaty, yakni sekitar 1.265 km.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika mendengar pidato kenegaraan Jokowi, alasannya adalah
demi pemerataan dan keadilan ekonomi. Namun demikian, target yang ingin dikejar itu
tampaknya tidak mudah.

Akademikus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menilai


berpindahnya ibu kota tidak serta merta mendorong aktivitas ekonomi dan bisnis di tempat
yang bersangkutan.

1. Apa alasan Jokowi ingin pindah Ibu Kota?


Diungkap oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang
Brodjonegoro, keinginan pindah kota harus di luar Jawa karena pulau ini dinilai sudah terlalu lelah.

"Alasan pertama, karena Jawa sudah lelah. Lebih dari separuh penduduk Indonesia terkonsentrasi di
pulau Jawa yang luasnya lebih kecil dibandingkan Papua, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi," kata
Bambang, beberapa waktu lalu.

Kepadatan penduduk di Jawa, sambung Bambang, apabila terus berlanjut maka tak akan ada lagi
ruang yang tersisa di pulau tersebut. Terutama, dari sisi ketersediaan air bersih dan pangan.

Apalagi di Jakarta, dengan segala masalah yang hadir yakni macet, banjir, lahan, serta masalah air.
Hitungan pemerintah, kerugian yang ditimbulkan akibat macet bisa mencapai Rp 100 triliun dan 50%
wilayah Jakarta masuk kategori rawan banjir.

Baca:
Jokowi: Ibu Kota Baru Telah Mengerucut ke Salah Satu Provinsi

2. Berapa Biaya Pemindahan Ibu Kota?


Nah untuk pembiayaan, Bambang menjelaskan ada dua skenario. Skenario pertama dengan nilai Rp
466 triliun, sedangkan skenario kedua Rp 323 triliun

Pembiayaan itu akan bersumber dari empat pihak, yaitu APBN, BUMN, KPBU, dan swasta. Menurut
dia, APBN akan difokuskan untuk infrastruktur pelayanan dasar hingga pembangunan Istana Negara. 

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memberi sinyal aset-aset negara di Jakarta nantinya akan
dipakai untuk pembiayaan ibu kota baru di Kalimantan, tak semuanya dijual, tapi ada skema lain
seperti sewa atau kerja sama operasi atau lainnya.

"Pemanfaatan aset negara bisa dengan berbagai macam, ada yang dengan sewa, kerja sama
pemanfaatan, KSO, atau BOT. Ada berbagai modalitas untuk bisa memanfaatkan aset tanpa dijual.
Menjual bisa menjadi satu pilihan, bisa dengan tukar guling atau transfer aset itu ke pihak lain,"
kata Direktur Jenderal Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Isa Rachmatarwata, kepada CNBC
Indonesia, Kamis (8/8).

4. Ibu Kota Pindah ke Mana?


Di depan MPR, DPR hingga DPD dan disaksikan seluruh masyarakat melalui media digital dan televisi,
Jokowi meminta izin kepada anggota legislatif mengenai rencana pemindahan ibu kota.

Melalui pidato kenegaraannya pada 16 Agustus lalu, Jokowi menyebut pasti bahwa ibu kota pindah
ke Kalimantan. "Untuk itu, rencana pemindahan ibu kota ke Pulau Kalimantan diletakkan dalam
konteks ini, sehingga akan mendorong pertumbuhan ekonomi baru, sekaligus memacu pemerataan
dan keadilan ekonomi di luar Jawa," kata Jokowi dilansir dari situs Setkab.

Informasi soal lokasi ibu kota baru di Kalimantan memang masih belum pasti sampai saat ini.
Presiden Jokowi belum mengumumkan lokasinya, karena masih menunggu beberapa kajian yang
belum tuntas. 

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil sempat melakukan blunder. Ia sebelumnya sudah
membenarkan bahwa lokasi ibu kota ada di Kalimantan Timur (Kaltim) tapi berselang sehari, Sofyan
mengoreksinya.  

"(Kaltim) itu alternatifnya, antara lain. Itu saya koreksi. Salah satu alternatif. Tunggu saja, ada
beberapa studi yang dikerjakan Bappenas nanti presiden akan umumkan," kata Sofyan di kantor
pusat BPK, Jakarta, Jumat (23/8/2019) seperti dikutip dari detikcom. 
4. Mulai Kapan dan Berapa Lama Pemindahan Ibu Kota?
Menurut Menteri Bappenas Bambang Brodjonegoro, pemindahan ibu kota hingga terbangun
infrastruktur yang solid dperlukan waktu setidaknya hingga 25 tahun.

Rencana pemindahan Ibu Kota telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2020-2024 edisi revisi bulan Juni 2019 Proyek ini berada dalam program prioritas
nasional nomor 2.

"Pada tahun 2024 kita mulai proses pemindahan," ujar Bambang. 


Untuk zonasi kawasan inti pusat pemerintahan (2.000 hektare) akan berisi Istana, kantor lembaga
negara (eksekutif, legislatif, yudikatif), taman budaya, dan kebun raya. 

Tahapan berikut, yaitu 2025-2029, akan dibangun sejumlah properti di kawasan ibu kota negara
(40.000 ha) antara lain perumahan ASN/TNI/Polri, fasilitas pendidikan dan kesehatan, hingga
pangkalan militer. 

Tahap berikut, yaitu 2030-2045 akan dibangun sejumlah instrumen berupa taman nasional,
konservasi orang utan, klaster permukiman non-ASN, dan wilayah pengembangan terkait dengan
wilayah provinsi sekitarnya. Ada dua zonasi dalam tahap ini, yaitu kawasan perluasan IKN I (200.000
ha) dan kawasan perluasan IKN II (lebih dari 200.000 ha). 

6. Pernahkah RI pindah ibu kota sebelumnya?


Wacana pemindahan ibu kota memang sudah ada sejak era kepemimpinan Soeharto. Namun,
siapa sangka bahwa sejarah telah mencatat Indonesia pernah memindahkan ibu kota
setidaknya satu kali.

Hal tersebut terungkap dari Sejarawan Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman
Adam. Dalam sebuah diskusi di kawasan Jakarta Pusat, ia menyebut bahwa ibu kota negara
sudah pernah berpindah.

"Yogyakarta menawarkan untuk menjadi pusat pemerintahan. Presiden dan Wakil Presiden
setuju, maka pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta," kata Asvi seperti dikutip
detik.com, Sabtu (24/8/2019).

Asvi mengemukakan, pemindahan ibu kota yang saat itu dieksekusi pada 4 Januari 1946
memang harus dilakukan karena masalah keamanan. Pasalnya, pada saat itu Jakarta dianggap
tidak aman.

"Keamanan itu tidak ada di ibu kota Jakarta pada tahun itu," jelas Asvi.

Berkaca pada sejarah, rencana pemindahan ibu kota yang saat ini dilakukan pemerintahan
Jokowi dianggap telah memenuhi 2 unsur penting yaitu faktor pendorong dan faktor penarik.

"Faktor pendorong itu ada seperti kemacetan yang kita bisa bayangkan 40 tahun lagi gimana,
kemudian banjir, tenggelamnya Jakarta Utara karena kenaikan air laut 2 cm yang terus
meningkat," kata Asvi.

Anda mungkin juga menyukai