Anda di halaman 1dari 4

Tugas Pengganti Ujian Mid Bioetik

Oleh Nadya Eunice Sumolang (C111 14 068)

DOKTER DALAM KONDISI PERANG

Perang bukanlah hal yang diinginkan oleh semua orang. Namun, perang bisa saja terjadi jika
memang harus dilakukan, apalagi bila telah mengancam keberlangsungan suatu negara, suku, atau
hal-hal semacamnya. Pada essay ini, saya membahas beberapa hal mengenai dokter yang bertugas
dalam kondisi perang.
ETIKA
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan
apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Etika ini sangat penting digunakan
dalam kehidupan sehari-hari, apalagi bagi dokter sebagai pelayan kesehatan masyarakat. Oleh karena
itu, setiap etika dokter di Indonesia di atur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia atau yang lebih
dikenal sebagai KODEKI. Setiap dokter yang memberi pelayanan di Indonesia harus tunduk pada
KODEKI, baik bagi dokter Indonesia maupun dokter asing.
Seperti yang kita ketahui, dalam keadaan perang akan banyak korban yang berjatuhan.
Banyak luka yang butuh pengobatan, banyak jiwa yang butuh diselamatkan. Oleh karena itu, sebagai
bagian komunitas dan salah satu aktor utama dalam dunia kesehatan, dokter sangat mungkin terlibat
dalam suasana perang. Sehingga, dalam keadaan perang pun, etika dokter Indonesia juga harus
berdasarkan KODEKI, misalnya:
1. Pasal 1 : “Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati, dan
mengamalkan sumpah dokter.”
Penjelasan :
Secara khusus pada poin pertama sumpah kedokteran yang berbunyi “saya akan
membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan” sangat terlihat jelas
bahwa dokter harus siap menangani pasiennya dalam keadaan perang. Selain itu pada
poin kelima yang berbunyi “saya tidak akan mempergunakan pengetahuan dokter
saya untuk sesuatu yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun
diancam” juga menyatakan dengan jelas bahwa pasien dalam keadaan perang harus
ditangani dengan baik sesuai dengan perikemanusiaan, tidak seperti yang dilakukan oleh
dokter Jozef Mengele dan kawan-kawannya (dokter-dokter Nazi) yang secara sistematis
melakukan kekejaman medis terhadap tawanan pada perang dunia ke II dengan dalih
demi ilmu pengetahuan. Pada poin kedelapan berbunyi “saya akan berikhtiar dengan
sungguh-sungguh supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan,
kebangsaan, kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam
menunaikan kewajiban terhadap pasien” menyatakan bahwa dokter dalam perang
tidak boleh memilih-milih dalam menangani pasiennya.
2. Pasal 2 : “Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi.”
Penjelasan :
Pada suasana perang, dokter tidak boleh memberikan pelayanan yang asal-asal dan
semacamnya dengan dalih sangat banyak korban yang berjatuhan. Dokter harus tetap
melaksanakan pengobatan dengan standar yang tertinggi.
3. Pasal 13 : “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu
tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bersedia dan
mampu memberikannya.”
Penjelasan :
Sangat jelas bahwa pada kondisi perang dokter harus melakukan pertolongan darurat
pada setiap korban.
4. Dan lain-lain.
Namun, dalam keadaan perang sangat banyak terjadi dilema etik dan juga konflik (secara
khusus bagi dokter) dibanding dengan keadaan damai. Biasanya hal tersebut terjadi akibat
terbenturnya kepentingan militer dan kepentingan medis, misalnya:
1. Pasal 5 : “Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan
psikis maupun fisik hanya diberikan untuk dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.”
Penjelasan :
Biasanya dalam keadaan perang, dokter tidak perlu menunggu persetujuan pasien,
dokter langsung melakukan tindakan medis.
2. Pasal 12 : “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya
tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia”.
Penjelasan :
Pasal ini menunjukkan bahwa hubungan dokter dan pasien bersifat sangat pribadi.
Namun, dalam keadaan perang sifat tersebut menjadi hilang karena terlibatnya pihak-
pihak lain seperti negara atau institusi tertentu.
3. Poin kedelapan sumpah dokter: “saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh
supaya saya tidak terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan,
kesukuan, gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan
kewajiban terhadap pasien”.
Penjelasan :
Pada kondisi perang (contoh perang Kosovo-Serbia, perang Afghanistan, perang Irak,
dan perlawanan terhadap terorisme), dokter dilibatkan dalam tindak interogasi tertentu
untuk memperoleh data yang bermanfaat bagi kepentingan militer dan keselamatan orang
banyak. Tak hanya itu, kadang dokter diperhadapkan dengan pilihan mengobati musuh.
4. Dan lain-lain.

HUKUM
Dalam menjalankan tugasnya dalam menangani pasien (korban) pada keadaan perang, dokter-
dokter dilindungi oleh hukum-hukum di bawah ini.
1. Kovensi Jenewa I tanggal 12 Agustus 1949:
a. Bab I : Ketentuan Umum
- Pasal 11; meyatakan bahwa Negara Pelindung akan memberikan usulan kepada
pihak medis mengenai tindakan yang akan dilakukan jika terjadi perbedaan pendapat
antar anggota medis dalam pelaksanannya.
b. Bab IV : tentang Anggota Dinas Kesehatan
- Pasal 24; menyatakan bahwa petugas medis dihormati dan dilindungi dalam segala
hal.
- Pasal 25; menyatakan bahwa angkatan perang yang betugas untuk kegiatan medis
dihormati dan dilindungi apabila mereka sedang melakukan kewajiban-kewajibannya
pada saat mereka bertemu dengan musuh atau jatuh dalam tangan musuh.
- Pasal 27; menyatakan bahwa petugas medis dari negara netral harus mendapatkan
ijin dari negara yang bersengketa dan harus di beri kartu pengenal dari negara
asalnya.
c. Bab VI : Pengangkutan Kesehatan
- Pasal 36; menyatakan bahwa pesawat terbang kesehatan harus memakai lambang
pengenal tidak boleh di tidak boleh diserang tapi harus dihormati oleh pihak-pihak
berperang,selama terbang pada ketinggian, waktu dan rute yang khusus disetujui
antara pihak-pihak berperang bersangkutan.
- Pasal 37; menyatakan bahwa jika pesawat terbang kesehatan dalam keadaan
mendesak harus mendarat pada negara netral, maka harus ada penyampaian sebelum
melakukannya.
2. Hukum Humaniter Perjanjian
3. Hukum Humaniter Kebiasaan, pasal 38 ayat (1) huruf (b) Statua Pengadilan Internasional
4. UU No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dala Seluruh Konpensi
Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949
PERAN
Berdasarkan Konvensi Jenewa I tanggal 12 Agustus 1949, khususnya pada pasal 24
menyatakan bahwa dokter berperan sebagai anggota dinas kesehatan yang berfungsi untuk merawat
yang luka dan sakit serta mencegah penyakit dalam masa perang. Jadi, dokter tidak boleh berperan
dalam hal lain di luar perannya ini.
KEWAJIBAN
Berdasarkan KODEKI dan Konvensi Jenewa, petugas medis (dalam hal ini dokter) memiliki
kewajiban-kewajiban, diantaranya ialah seperti di bawah ini.
a. Dokter harus memperlakukan pasien (korban) dengan sebaik-baiknya dengan didasarkan pada
prikemanusiaan tanpa membedakan-bedakannya (non-diskriminatif).
Berdasarkan : KODEKI Pasal 1 (sumpah dokter poin 8) dan Pasal 3 Konvensi Jenewa I Tanggal
12 Agustus 1949.
b. Dokter harus tunduk pada Kode Etik Kedokteran Indonesia.
c. Dokter harus tunduk pada ketentuan dalam konvensi Jenewa I Tanggal 12 Agustus 1949.
d. Dokter harus memberikan pelayanan dengan standar yang tertinggi bagi korban.
Berdasarkan : KODEKI Pasal 2.
e. Dokter harus memberikan pelayanan medis dengan penuh kasih dan kompeten.
Berdasarkan : KODEKI Pasal 7a.
f. Dokter harus senantiasa mengingat kewajibannya untuk menyelamatkan jiwa pasien (korban).
Berdasarkan : KODEKI Pasal 7d.
g. Dokter harus menghormati petugas medis yang lain yang bekerjasama dengannya pada saat
perang.
Berdasarkan : KODEKI Pasal 9.
h. Dokter harus bersikap tulus ikhlas dan menggunakan segala ilmu dan keterampilannya bagi
pasien (korban).
Berdasarkan : KODEKI Pasal 10.
i. Dokter harus memberikan kesempatan pada pasien untuk berhubungan dengan keluarga atau
rohaniawannya.
Berdasarkan : KODEKI Pasal 11.
j. Dokter wajib memberi pertolongan darurat bagi pasien (korban).
Berdasarkan : KODEKI Pasal 12.
k. Dokter harus bertanggung jawab kepada penguasa-penguasa militer tempat tawanan itu untuk
kegiatan jabatan dari anggota dinas kesehatan yang ditahan untuk dipekerjakan tersebut.
Berdasarkan : Konvensi Jenewa I Pasal 28
l. Dan lain-lain.
REFERENSI
- Henckaerts, Jean-Marie. 2005. Jurnal Internasional Review of The Red Cross volume 87 no.
857 Maret 2005. Washington: ICRC.
- Nelson, Anna. Ringkasan Konvensi-Konvensi Jenewa Tertanggal 12 Agustus 1949 Serta
Protokol-Protokol Tambahannya. Jenewa: ICRC.
- Konvensi Jenewa I Tahun 1949 Tentang Perbaikan Keadaan Anggota Angkatan Perang Yang
Luka Dan Sakit Di Medan Pertempuran Darat.
- Undang-Undang No. 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia Dala
Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949.
- Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia. 2002. Kode Etik Kedokteran Indonesia dan
Pedoman Pelaksanaan Kode Etik Kedokteran Indonesia. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai