NIM : 1710301016
Jawaban
1. RESUME JURNAL
RESUME JURNAL
Judul : Physiotherapy rehabilitation for people with spinal cord injuries
Penulis : Lisa A Harvey
Tahun : 2016
Penerbit : John Walsh Centre for Rehabilitation Research, Kolling Institute,
Sydney Medical School/Northern, University of Sydney, Australia
Ringkasan Materi : Konsekuensi paling jelas dari cedera tulang belakang (SCI) adalah
kelumpuhan. Namun, SCI juga memiliki konsekuensi luas untuk
banyak fungsi tubuh, termasuk kandung kemih, usus, pernapasan,
fungsi kardiovaskular dan seksual. Ini juga memiliki implikasi sosial,
finansial dan psikologis, dan meningkatkan kerentanan orang
terhadap komplikasi ginjal pada usia lanjut serta cedera
muskuloskeletal, nyeri, osteoporosis, dan masalah lainnya.
2. Penanganan cedera saraf tulang belakang harus dilakukan dengan segera. Jika
tidak, hal ini dapat memengaruhi lama masa pemulihan dan menyebabkan
komplikasi.
Penanganan awal cedera saraf tulang belakang dilakukan setelah kecelakaan
berlangsung. Pasien akan dipasangkan penyangga leher agar tidak terjadi
pergerakan pada tulang belakang. Gerakan yang terjadi pada tulang belakang
dapat membuat kondisi cedera yang ada semakin memburuk. Kemudian,
pasien akan diletakkan pada penyangga khusus untuk dibawa ke rumah sakit.
Setelah sampai di rumah sakit, dokter akan melakukan tindakan yang
berfokus pada kemampuan bernapas pasien, mencegah terjadinya syok, serta
menjaga kestabilan penyangga tulang belakang agar tidak menyebabkan
kerusakan yang lebih parah. Penanganan yang diberikan juga bertujuan untuk
mengurangi kemungkinkan komplikasi, seperti gangguan berkemih atau
buang air besar, gangguan pada saluran pernapasan, jantung, atau pembuluh
darah, dan gangguan pembekuan darah.
e. Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior
menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi
penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit
dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang
terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan
endurancenya menurun.
2) Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a. Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
b. Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
c. Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d. Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3) Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete /
incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu:
Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign pasien
menurun dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan
pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis di
atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai
respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras
(konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau
nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak, berkeringat,
kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung
buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas
cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya
tidak mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit
dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda
lebih mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior
prognosisnya tidak sebaik sindroma medula inkomplit, sindroma medula
sentral, dan Brown Squard’s sindrome. Penyebab utama kematian sindroma
medula spinalis meliputi penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga
termasuk dukungan emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian dan
latihan bekerja.
Ditandai dengan hilangnya atau melemahnya semua refleks dibawah tingkat lesi.
Terjadi jejas pada medulla spinalis yang mempengaruhi neuron yang berfungsi
sebagi lengkung refleks sehingga input neural dari otak menjadi hiperpolarisasi dan
tidak responsive.
Fase ini terjadi sejak 0- 24 jam post trauma. Deep Tendon Reflex (DTR) seperti
reflex patella maupun reflex achilles menghilang, otot lemah dan bersifat flacid. Pada
fase ini refleks kutaneus (polisinaps) seperti bulbocavernosus dan refleks Cremaster
mulai pulih. Jika dilakukan pemeriksaan neurologis yang cermat pada 24 jam
pertama, seharusnya semua refleks tidak hilang. Deep Plantar Reflex (DPR), suatu
refleks patologis, biasanya muncul pertama dan dapat diamati beberapa jam setelah
onset. Bradiaritmia, blok konduksi atrioventrikular, dan hipotensi terjadi pada lesi
cervical yang berhubungan dengan inervasi simpatis yang dimediasi oleh funsi
simpatis (nervus vagus) yang masih intake, stimulasi bronkus seperti suctioning yang
agresif dapat menyebabkan bradiaritmia atau blok konduksi
Beberapa refleks kembali, refleks yang kembali paling awal adalah refleks
bublbocavernosus. Hal ini terjadi karena terjadi hipersensitivitas otot refleks karena
terjadi denervasi. Muncul neurotransmitter yang lebih banyak dan menyebabkan
lebih mudah distimulasi.
Fase kedua ini berlangsung pada hari ke 1-3 post onset. Refleks kutaneus menjadi
semakin kuat. DTR masih hilang, meskipun H-refles tibial pulih pada waktu 24 jam.
Pada usia lanjut dengan kasus lesi komplet, DTR dan babinski sign dapat muncul di
tahap ini. Gutmann menerangkan bahwa pada anak-anak, DTR dapat pulih lebih
awal pada 3 hari post onset. Hal ini disebabkan mungkin karena jaras supraspinal
descendens belum berkembang sempurna.
Fase keempat ini terjadi antara 1 bulan sampai 6 bulan post onset. DPR menghilang
pada sebagian besar kasus. Refleks kutaneus, DTR, dan babinski sign menjadi
hiperaktif pada stimulasi minimal. Terjadi perbaikan bladder pada 4- 6 minggu.
Hipotensi vasovagal dan bradiaritmia menghilang dalam 3 – 6 minggu. Akan tetapi
hipotensi ortostatik sebagai akibat dari pasien tetraplegia saat berdiri dapat
berlangsung hingga10-12 minggu lebih lama. Di lain sisi, hipertensi maligna akibat
dari disrefleksia autonom berkembang pada beberapa minggu sampai bulan dan
bertahan pada waktu yang sulit unutk ditentukan.