Anda di halaman 1dari 8

Nama : Wahyu Deva Yuniar

NIM : 1710301016

Kelas : 6A2 / S1 Fisioterapi

Modul : Sistem Syaraf Pusat ( SSP)

Learning objective 2.2

1. Intervensi pada SCI berdasarkan jurnal ( RESUME JURNAL )


2. Berapa lama pemulihan SCI ?
3. Jelaskan fase Spinal Shock ?

Jawaban

1. RESUME JURNAL

RESUME JURNAL
Judul : Physiotherapy rehabilitation for people with spinal cord injuries
Penulis : Lisa A Harvey
Tahun : 2016
Penerbit : John Walsh Centre for Rehabilitation Research, Kolling Institute,
Sydney Medical School/Northern, University of Sydney, Australia
Ringkasan Materi : Konsekuensi paling jelas dari cedera tulang belakang (SCI) adalah
kelumpuhan. Namun, SCI juga memiliki konsekuensi luas untuk
banyak fungsi tubuh, termasuk kandung kemih, usus, pernapasan,
fungsi kardiovaskular dan seksual. Ini juga memiliki implikasi sosial,
finansial dan psikologis, dan meningkatkan kerentanan orang
terhadap komplikasi ginjal pada usia lanjut serta cedera
muskuloskeletal, nyeri, osteoporosis, dan masalah lainnya.

Orang dengan SCI tidak hanya membutuhkan perawatan dan


rehabilitasi medis awal, tetapi juga akses berkelanjutan ke
lingkungan ramah kursi roda dan perawatan rumah yang sesuai,
peralatan, transportasi, pekerjaan dan dukungan finansial.
Manajemen orang dengan SCI karenanya rumit, melibatkan banyak
profesional kesehatan, organisasi dan layanan pemerintah.
Fisioterapis menangani berbagai masalah yang berhubungan dengan
SCI dan ini melibatkan banyak sistem tubuh, meskipun patologi yang
mendasarinya bersifat neurologis.
Ulasan ini menguraikan prinsip-prinsip rehabilitasi fisioterapi untuk
orang-orang dengan SCI dan bukti yang mendasari efektivitas
intervensi fisioterapi yang umum digunakan. Ini berfokus pada tiga
masalah umum: kelemahan, kontraktur dan kontrol motorik yang
buruk. Hanya fase rehabilitasi yang dibahas di sini, meskipun
fisioterapis juga memiliki peran penting segera setelah cedera dan di
masyarakat begitu pasien dipulangkan dari rumah sakit.
Intervensi : Hasil penilaian dan proses penetapan tujuan digunakan untuk
memandu pengobatan. Jelas, perawatan perlu didasarkan pada bukti,
tetapi ini menimbulkan tantangan nyata bagi profesi fisioterapi
karena uji acak terkontrol berkualitas tinggi dan konklusif yang
melibatkan orang-orang dengan SCI. Sebuah perhitungan terbaru
menyebutkan jumlah uji klinis pada sekitar 60 (tidak termasuk uji
coba yang dirancang untuk menentukan efektivitas intervensi untuk
fungsi pernapasan atau uji coba yang melibatkan pendidikan atau
penyediaan peralatan terkait mobilitas). Sebagian besar uji coba ini
telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir dan berfokus pada
intervensi seperti berjalan treadmill dengan overhead suspensi,
pelatihan gaya berjalan robot, stimulasi listrik dan teknologi tinggi
lainnya dan intervensi yang berpotensi mahal. Menariknya, audit
terhadap tiga unit SCI khas di Eropa dan satu di Australia
menunjukkan bahwa terapis masih mencurahkan sebagian besar
waktu mereka untuk mengelola intervensi sederhana yang biasa
digunakan untuk mengobati gangguan seperti kelemahan, mobilitas
sendi terbatas, kebugaran terbatas, nyeri dan gangguan pernapasan,
dengan waktu juga dikhususkan untuk mengajar orang untuk
berjalan, bergerak di sekitar tempat tidur, memobilisasi di kursi roda
dan menggunakan anggota tubuh atas mereka. Situasi ini
menunjukkan keterputusan antara prioritas peneliti dan perawatan
yang diberikan oleh dokter. Ini tidak berarti bahwa dokter tidak
memberikan perawatan yang optimal atau tepat, tetapi itu berarti
bahwa perawatan yang diberikan dokter tidak selalu didasarkan pada
uji klinis berkualitas tinggi yang melibatkan orang-orang dengan SCI
dan bahwa para peneliti tidak selalu menguji efektivitas perawatan.
biasanya diberikan oleh dokter.
Kesimpulan : Praktik fisioterapi dapat berubah secara signifikan pada berikutnya
dasawarsa. Exoskeleton saat ini tersedia dan memungkinkan orang
dengan paralisis tungkai bawah untuk berjalan di atas tanah. Mereka
belum cukup fleksibel untuk mengganti kursi roda, tetapi tidak
diragukan lagi ini akan berubah seiring dengan peningkatan
teknologi. Terapi sel induk juga suatu hari nanti akan membuka pintu
bagi mereka yang menderita SCI. Masa depan tidak diketahui tetapi
ada banyak alasan untuk optimisme. Namun, masih ada kebutuhan
untuk mengarahkan perhatian penelitian pada beberapa prinsip dasar
yang mendasari manajemen fisioterapi orang dengan SCI. Sebagai
contoh, lebih banyak uji klinis diperlukan untuk memeriksa
efektivitas perawatan yang banyak digunakan untuk pengelolaan
berbagai gangguan, termasuk kelemahan, kelenturan, nyeri,
osteoporosis, kontraktur dan gangguan pernapasan. Basis bukti yang
kuat dan pemahaman tentang perawatan yang optimal untuk
gangguan kunci ini akan sangat penting untuk terobosan di masa
depan dalam terapi sel induk, neuroplastisitas, robotika, atau inovasi
lain yang mungkin terjadi di masa depan. Namun, akan penting
bahwa intervensi di masa depan tidak diterapkan untuk menjadi
tertanam sebagai praktik standar tanpa pengawasan yang tepat dalam
uji klinis. Penekanan harus tetap pada uji coba berkualitas tinggi
untuk memandu fisioterapi berbasis bukti untuk orang dengan SCI.

2. Penanganan cedera saraf tulang belakang harus dilakukan dengan segera. Jika
tidak, hal ini dapat memengaruhi lama masa pemulihan dan menyebabkan
komplikasi.
Penanganan awal cedera saraf tulang belakang dilakukan setelah kecelakaan
berlangsung. Pasien akan dipasangkan penyangga leher agar tidak terjadi
pergerakan pada tulang belakang. Gerakan yang terjadi pada tulang belakang
dapat membuat kondisi cedera yang ada semakin memburuk. Kemudian,
pasien akan diletakkan pada penyangga khusus untuk dibawa ke rumah sakit.
Setelah sampai di rumah sakit, dokter akan melakukan tindakan yang
berfokus pada kemampuan bernapas pasien, mencegah terjadinya syok, serta
menjaga kestabilan penyangga tulang belakang agar tidak menyebabkan
kerusakan yang lebih parah. Penanganan yang diberikan juga bertujuan untuk
mengurangi kemungkinkan komplikasi, seperti gangguan berkemih atau
buang air besar, gangguan pada saluran pernapasan, jantung, atau pembuluh
darah, dan gangguan pembekuan darah.

Dalam hal ini, beberapa upaya yang dilakukan dokter, meliputi:

 Pemberian obat. Suntikan methylprednisolone diberikan untuk menangani


cedera saraf tulang belakang yang akut. Namun, karena memiliki efek
samping, penggunaan obat ini harus dengan pengawasan penuh oleh dokter.
 Pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk membuang potongan-potongan
tulang, benda asing, atau retakan tulang belakang yang ada di tubuh akibat
kecelakaan. Pembedahan juga diperlukan untuk mencegah serta memperbaiki
kelainan bentuk dan posisi tulang belakang.

Setelah kondisi pasien stabil dan membaik, dokter akan menjalankan


prosedur fisioterapi. Dalam masa rehabilitasi, pasien akan diberikan arahan
oleh dokter untuk melatih kekuatan otot dan mengembalikan kemampuan
bergerak. Dokter juga akan memberikan obat untuk mengatasi rasa nyeri, jika
diperlukan.

Pasien yang belum pulih dan mengalami gejala berupa kelumpuhan,


dianjurkan untuk menggunakan alat penunjang khusus. Salah satu peralatan
penunjang yang dapat membantu pasien cedera saraf tulang belakang adalah
kursi roda elektrik. Masa pemulihan cedera saraf tulang belakang dapat
berbeda-beda pada tiap pasien. Pemulihan biasanya berlangsung sekitar 1
minggu hingga 6 bulan. Pada beberapa kasus, waktu yang dibutuhkan pasien
untuk kembali pulih bisa mencapai 1-2 tahun.

3. Spinal Cord Injury juga dibagi menjadi 3 fase yaitu:


1) Fase akut / spinal shock (2-3 minggu), cirinya:
a. Gangguan motorik
Bila terjadi pada daerah cervical maka kelumpuhan terjadi pada ke empat
extremitas yang disebut tetraplegi, sedangkan pada lesi di bawah daerah
cervical akan terjadi kelumpuhan pada anggota gerak bawah yang disebut
paraplegi.
b. Gangguan sensorik
Sensasi yang terganggu sesuai dengan deramtom di bawah lesi, hal yang
terganggu berupa sensasi raba, sensasi nyeri, sensasi temperatur ataupun
sensasi dalam.
c. Gangguan fungsi autonom (bladder, bowel, dan seksual)
Bisa terjadi gangguan pengosongan kandung kemih dan saluran
pencernaan, fungsi seksual, fungsi kelenjar keringat dan juga tonus
pembuluh darah di bawah lesi. Pada fase ini urine akan terkumpul di
dalam kandung kemih sampai penuh sekali dan baru dapat keluar apabila
sudah penuh.
d. Gangguan respirasi (tergantung letak lesi)
Dapat terjadi gangguan respirasi jika terletak lesi yang terkena level C4
yaitu cabang dari C4 adalah keluarnya n.prenicus yang mempersarafi
tractus respiratorius, jika terkena maka diafragma pasien tidak akan
bekerja secara maksimal sehingga dapat terkena gangguan pernafasan.

e. Hipotensi orthostatik
Tidak adanya tonus otot di daerah abdomen dan extremitas inferior
menyebabkan darah terkumpul di daerah tersebut, akibatnya terjadi
penurunan tekanan darah. Problem ini timbul pada saat pasien bangkit
dari posisi terlentang ke posisi tegak atau perubahan posisi tubuh yang
terlalu cepat. Hal ini terjadi pada pasien yang bed rest lama dan
endurancenya menurun.
2) Fase sub akut / recovery (3 minggu – 3 bulan)
Dibagi dalam kriteria:
a. Kriteria 1
Komplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, flacciditas dan arefleksia.
b. Kriteria 2
Komplit lesi UMN, yang ditandai dengan adanya gangguan sensorik,
motorik, vegetatif, spastik, dan hiperrefleksia.
c. Kriteria 3
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/ motorik/ vegetatif, lalu ada hiporefleksia dan hipotonus.
d. Kriteria 4
Inkomplit lesi LMN, yang ditandai dengan adanya perbaikan fungsi
sensorik/motorik, vegetatif, lalu ada hiperrefleksia, dan spastis.
3) Fase kronik (di atas 3 bulan)
Cirinya apabila setelah fase recovery kondisi pasien menjadi complete /
incomplete maka akan timbul gambaran klinis lain, yaitu:
Setelah fase recovery kondisi pasien complete/incomplete vital sign pasien
menurun dan autonomic disrefleksia, yaitu suatu kondisi yang berlebihan
pada sistem autonom. Fenomena ini tampak pada cedera medula spinalis di
atas Th6. Hal ini disebabkan aksi relatif dari sistem saraf otonom sebagai
respon dari beberapa stimulus, seperti kandung kemih, fesces yang mengeras
(konstipasi), iritasi kandung kemih, manipulasi rectal, stimulus suhu atau
nyeri dan distensi visceral. Tandanya yaitu hipertensi mendadak, berkeringat,
kedinginan, muka memerah, dingin dan pucat dibawah level lesi, hidung
buntu, sakit kepala, pandangan kabur, nadi cepat lalu menjadi lambat.
Pemeriksaan neurologik dan umur pasien merupakan faktor utama yang
mempengaruhi lamanya masa penyembuhan. Pada trauma akut, mortalitas
cedera medula spinalis sebesar 20%. Dalam jangka lama, pasien dengan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik komplit dalam 72 jam, fungsinya
tidak mungkin kembali, namun hingga 90% pasien dengan lesi inkomplit
dapat mulai berjalan 1 tahun setelah cedera. Lesi terbatas pada pasien muda
lebih mudah mengalami penyembuhan. Sindroma medula anterior
prognosisnya tidak sebaik sindroma medula inkomplit, sindroma medula
sentral, dan Brown Squard’s sindrome. Penyebab utama kematian sindroma
medula spinalis meliputi penyakit respiratorik dan kardiak. Rehabilitasi juga
termasuk dukungan emosional dan edukasi pasien tentang aktifitas harian dan
latihan bekerja.

Fase – fase terjadinya Spinal Syok


Fase-fase tersebut dijabarkan sebgai berikut :

1. fase 1 : arefleksia / hiporefleksia (hari ke 0-1)

Ditandai dengan hilangnya atau melemahnya semua refleks dibawah tingkat lesi.
Terjadi jejas pada medulla spinalis yang mempengaruhi neuron yang berfungsi
sebagi lengkung refleks sehingga input neural dari otak menjadi hiperpolarisasi dan
tidak responsive.

Fase ini terjadi sejak 0- 24 jam post trauma. Deep Tendon Reflex (DTR) seperti
reflex patella maupun reflex achilles menghilang, otot lemah dan bersifat flacid. Pada
fase ini refleks kutaneus (polisinaps) seperti bulbocavernosus dan refleks Cremaster
mulai pulih. Jika dilakukan pemeriksaan neurologis yang cermat pada 24 jam
pertama, seharusnya semua refleks tidak hilang. Deep Plantar Reflex (DPR), suatu
refleks patologis, biasanya muncul pertama dan dapat diamati beberapa jam setelah
onset. Bradiaritmia, blok konduksi atrioventrikular, dan hipotensi terjadi pada lesi
cervical yang berhubungan dengan inervasi simpatis yang dimediasi oleh funsi
simpatis (nervus vagus) yang masih intake, stimulasi bronkus seperti suctioning yang
agresif dapat menyebabkan bradiaritmia atau blok konduksi

2. fase 2 : munculnya refleks inisial (hari ke 1-3)

Beberapa refleks kembali, refleks yang kembali paling awal adalah refleks
bublbocavernosus. Hal ini terjadi karena terjadi hipersensitivitas otot refleks karena
terjadi denervasi. Muncul neurotransmitter yang lebih banyak dan menyebabkan
lebih mudah distimulasi.

Fase kedua ini berlangsung pada hari ke 1-3 post onset. Refleks kutaneus menjadi
semakin kuat. DTR masih hilang, meskipun H-refles tibial pulih pada waktu 24 jam.
Pada usia lanjut dengan kasus lesi komplet, DTR dan babinski sign dapat muncul di
tahap ini. Gutmann menerangkan bahwa pada anak-anak, DTR dapat pulih lebih
awal pada 3 hari post onset. Hal ini disebabkan mungkin karena jaras supraspinal
descendens belum berkembang sempurna.

3. fase 3 : hiperrefleks awal (hari ke 4 – bulan ke 1)

Ditandai dengan munculnya hiperrefleksia. Fase 3 dan fase 4 memiliki mekanisme


dasar yang sama, yaitu neuron dibawah lesi berusaha membangun kembali sinaps-
sinapsnya, maka dari itu muncul hiperrefleks.
Fase ketiga ini terjadi saat hari ke 4 sampai bulan pertama post onset. DTR muncul
pada fase ini, dan dapat menjadi bukti pada semua subjek dengan onset kurang lebih
30 hari. Refleks achilles mendahului refleks patella. Babinski sign muncul segera
setelah munculnya refleks patella. Refleks kutaneus telah muncul pada akhir tahap
ini dan hanya 10% DPR yang masih muncul pada onset diatas 1 bulan. Fungsi
outonom terus mengalami perbaikan pada bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksi
autonom dapat muncul, biasanya berhubungan dengan aktivitas viscus yang distensi
(bladder atau bowel) sebagai stimulus yang menebabkan aliran simpatis yang
berlebih dibawah lesi.

4. fase 4 : spastisitas / hiperrefleks (bulan ke 1-12)

ditandai dengan spastisitas / hiperrefleks. Regenesasi sinaps dibawah lesi ini


berlangsung dalam jangka waktu minggu sampai ber bulan bulan. Pembentukan
kembali sinaps dapat berasal dari interneuron maupun dari afferen segmental.

Fase keempat ini terjadi antara 1 bulan sampai 6 bulan post onset. DPR menghilang
pada sebagian besar kasus. Refleks kutaneus, DTR, dan babinski sign menjadi
hiperaktif pada stimulasi minimal. Terjadi perbaikan bladder pada 4- 6 minggu.
Hipotensi vasovagal dan bradiaritmia menghilang dalam 3 – 6 minggu. Akan tetapi
hipotensi ortostatik sebagai akibat dari pasien tetraplegia saat berdiri dapat
berlangsung hingga10-12 minggu lebih lama. Di lain sisi, hipertensi maligna akibat
dari disrefleksia autonom berkembang pada beberapa minggu sampai bulan dan
bertahan pada waktu yang sulit unutk ditentukan.

(sumber ilmu syaraf Universitas kedokteran UNS )

Anda mungkin juga menyukai