Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

Seiring berkembangnya penelitian mengenai obat-obatan, saat ini banyak


jenis antibiotik yang tersedia di pasaran. Hal ini terkadang membingungkan para
dokter yang ingin menggunakannya. Selain itu, dengan adanya ”tekanan  promosi”
yang sangat gencar dari pabrik farmasi akan memicu  pemakaian antibiotik yang
menjurus ke arah  ketidakrasionalan.1 Hingga kini belum ada kesepakatan antara
dokter dan dokter, maupun rumah sakit dengan rumah sakit mengenai penggunaan
antibiotika secara rasional. Padahal, untuk mendapatkan hasil optimal yang aman,
efektif, dan efsisien dari terapi antibiotika diperlukan suatu persepsi yang sama
mengenai penggunaan antibiotika untuk meminimalisasi efek samping bagi pasien.
Komite medis dari tiap rumah sakit harus memiliki pedoman penggunaan antibiotika
dan rutin melakukan audit.
Dalam penggunaan antibiotika yang rasional, terdapat beberapa prinsip dasar
yang perlu diperhatikan, seperti tepat indikasi, tepat penderita, tepat pemilihan jenis
antibiotika, tepat dosis, tepat lama dan interval pemberian, efek samping minimal,
ekonomis, dan menggunakan kombinasi yang tepat bila diperlukan. 3 Pemakaian
antibiotika yang irasional merupakan penggunaan antibiotika dengan indikasi yang
tidak jelas, dosis atau lama pemakaian yang tidak sesuai, cara pemakaian yang
kurang tepat, status obat yang tidak jelas, dan pemakaian antibiotika secara
berlebihan. Pemakaian antibiotika secara irasional dapat menimbulkan resistensi
bakteri terhadap antibiotika tersebut, meningkatkan toksisitas, meningkatnya
kejadian efek samping obat, serta biaya pelayanan kesehatan menjadi tinggi.
Penggunaan antibiotika secara tidak rasional salah satunya dengan
memberikan resep antibiotika pada penyakit yang tidak memerlukan antibiotika.
Dalam sebuah penelitian tahun 2004 tentang penyakit infeksi saluran pernafaan atas
(ISPA) dan diare di empat provinsi mencakup Sumatera Barat, Kalimantan Timur,
Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat ditemukan telah terjadi peresepan antibiotika
secara tidak rasional. Pada ISPA penggunaan antibiotika tidak rasional sebesar
94%, sedangkan pada diare sebesar 87%. Penggunaan antibiotika secara tidak
rasional ini juga akan memicu terjadinya pandemi antiresistensi mikroba. Selain
pandemi, kebalnya pasien terhadap antibiotika akan menimbulkan biaya pengobatan
yang lebih besar.
Dalam keadaan  ideal, pemilihan antibiotika dapat diseuaikan dengan kuman
penyebab infeksi yang diketahui  dengan pasti dari hasil  pembiakan dan
tes sensitifitas antibiotik. Terapi yang didasarkan atas pemeriksaan mikrobiologik
tersebut merupakan terapi definitif. Namun, dalam keadaan sehari-hari pemeriksaan

1
mikrobiologik tersebut seringkali tidak dapat  dilaksanakan  karena terbatasnya 
fasilitas, atau tidak mungkin ditunggu  hasilnya sehingga antibiotika harus segera 
diberikan. Dalam keadaan ini dapat digunakan  prinsip “educated guess” dengan
mempertimbangkan organ atau sistem yang terkena infeksi dan kuman penyebab
tersering, sehingga dapat diputuskan antibiotika yang paling sesuai.
Terdapat beberapa hal penting mengenai antibiotika yang perlu diketahui
sebelum memilih dan menggunakan antibiotika agar antibiotika dapat digunakan
secara rasional, antara lain sifat aktifitasnya, spektrum, mekanisme kerja, pola
resistensi, dan efek samping obat. 3 Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin
membahas lebih lanjut mengenai sifat-sifat antibiotik dan penggunaannya, agar para
pembaca mendapatkan wawasan lebih dan dapat mengaplikasikan penggunakan
antibiotika secara rasional.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

Perkembangan antibiotika merupakan salah satu hal yang penting dalam


perkembangan terapeutika, baik sebagai pencegahan dan terapi agen infeksi
maupun komplikasinya. Dalam pemilihan jenis antibiotika perlu dipertimbangkan
beberapa hal seperti; penemuan klinis, spesimen klinis sebagai diagnosis
mikrobiologis, serta etiologi.
Pemberian antibiotika initial biasanya bersifat empiris; yaitu sebelum
ditemukannya agen infeksi. Alasan pemberian empiris karena infeksi bersifat akut
dan dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas apabila pemberian antibiotika
terlambat. Pemberian terapi empiris didasarkan atas pengalaman klinis yang
mempertimbangkan lokasi anatomis infeksi, kemungkinan terbesar patogen
penyebab, dan spektrum antibiotika. Diharapkan intervensi yang dini dapat
meningkatkan prognosis kesembuhan pasien.
Apabila etiologi telah ditemukan maka dapat dipertimbangkan apakah dapat
diberikan agen dengan spektrum sempit sebagai terapi empiris atau
pengkombinasian antibiotika,dengan dosis yang optimal dan cara pemberian yang
sesuai.
Dengan demikian terdapat tiga faktor yang perlu dipertimbangkan dalam
pemilihan antibiotik. Ketiga faktor tersebut adalah:
 Faktor pejamu (pasien)
Mencakup status imunitas, lokasi infeksi, penyakit penyerta, efek obat
sebelumnya, gangguan eliminasi obat, usia, dan status kehamilan.
 Faktor agen (mikrobiologis)
Perlu dipertimbangkan kesensitifitasan bakteri terhadap jenis antibiotika tertentu.
 Faktor farmakologis
Mempertimbangkan faktor farmakodinamik (interaksi obat dengan
mikroorganisme) dan farmakokinetik untuk efisiensi dan pencegahan resistensi.

2.1 Faktor Pejamu (Pasien)


2.1.1 Mekanisme Imunologi Manusia
Dalam merespon infeksi, tubuh memiliki beberapa pertahanan tubuh,
misalnya sel darah putih. Sel darah putih dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
granulosit (mencakup polimorfonuklear, yaitu neutrofil, basofil, dan eosinofil) dan
agranulosit (seperti monosit dan limfosit) (Tabel 1). 1 Pada keadaan infeksi,
neutrofil tubuh akan bergerak dari aliran darah menuju jaringan untuk melawan
patogen sehingga terjadi leukositosis. Selama infeksi, neutrofil imatur (mis.

3
neutrofil batang) juga ikut dikeluarkan dari sumsum tulang ke aliran darah untuk
membantu melawan infeksi, sehingga dikenal sebagai bandemia atau hitung jenis
yang bergeser ke kiri (left shift). Terkadang pada infeksi usia lanjut, jumlah sel
darah putih menunjukkan nilai normal, namun hitung jenis bergeser ke kiri. Oleh
karena itu, hitung jenis sel darah putih penting pada infeksi.
Limfosit turut berperan dalam melawan infeksi. Berdasarkan fungsinya,
limfosit terbagi menjadi dua. Limfosit T yang berperan dalam imunitas seluler dan
limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral. Limfositosis biasanya terjadi
pada infeksi virus akut, seperti Epstein Barr Virus dan sitomogelovirus, serta pada
beberapa bakteri tertentu (mis. Brucellia sp.). Monositosis berhubungan dengan
infeksi bakteri akut, walaupun keberadaanya terkait dengan respon terhadap jenis
infeksi tertentu (mis. tuberkulosis) dan kemoterapi. Eosinifilia didapatkan pada
infeksi parasit.
Proses infeksi dapat disebabkan karena faktor endogen dan faktor eksogen.
Infeksi endogen dikarenakan peningkatan flora normal tubuh atau gangguan
terhadap mekanisme pertahanan tubuh (Tabel 2). Infeksi eksogen dapat terjadi
melalui transmisi antar manusia, lingkungan, dan kontak dengan hewan. Infeksi
mengacu pada adanya bakteri yang menyebabkan penyakit, sedangkan
kolonisasi mengacu pada bakteri yang merupakan flora normal tubuh. Terapi
antibiotika ditujukan terhadap infeksi bakteri yang menyebabkan penyakit,
sedangkan kolonisasi flora normal dibiarkan intak. Hal ini penting karena
antibiotika yang ditujukan untuk flora normal dapat menimbulkan resistensi
bakteri.

Tabel 1. Sel Darah Putih dan Fungsinya


Tipe Nilai Normal Fungsi Abnormalitas
(%)
Neutrofil Segmen Fagosit (melawan Leukositosis
40-60 bakteri dan jamur) - Infeksi bakteri
- Infeksi jamur
Batang - Stres fisik
3-5 - Cedera jaringan (misal: infark
miokard)
- Obat-obatan (misal
kortikosteroid)
    Leukopenia
- Long standing infection
- Kanker
- Obat-obatan (misal

4
kortikosteroid)
Limfosit 20-40 Sel T (cell mediated Limfositosis
immunity) - Infeksi virus (misal
- produksi antibodi mononukleosis)
- antigen presenting - Tuberkulosis
cell - Infeksi jamur
Sel B (humoral Limfopenia
antibody response) - HIV
- imunitas seluler
melawan virus &
tumor
- regulasi sistem
imun
Monosit 2-8 Fagosit, prekursor Monositosis
makrofag - Tuberkulosis
- Infeksi protozoa
- Leukemia
Eosinofil 1-4 Reaksi antigen Eosinofil
antibodi - Reaksi hipersensitifitas,
Respon alergi termasuk obat-
(perlawanan obatan
terhadap parasit) - Infeksi parasit
Basofil <1 Respon alergi Reaksi hipersensitifitas

2.1.2 Mendiagnosis Infeksi


Terdapat beberapa pemeriksaan yang digunakan klinisi dalam mendiagnosis
infeksi. Walaupun tidak ada satu tes spesifik tertentu yang langsung dapat
membuktikan pasien mengalami infeksi, bila dikombinasikan dengan temuan klinis,
pemeriksaan penunjang akan membantu menegakan diagnosis infeksi.

Tabel 2. Flora Normal Sesuai Lokasi Anatomis 2


Kulit (105-107) - Staphylococcus epidermidis
- Staphylococcus aureus
- Micrococci
- Diphtheroids
9 11
Mulut (10 -10 ) - Viridans streptococci
- Oral anaerob
Infeksi Saluran Napas Atas (105-109) - Oral anaerob
- Streptococcus sp.
- Staphylococcus sp.

5
- Neisseria sp.
- Diphtheroids
- Haemophilus sp.
- Streptococcus pneumoniae
Infeksi Saluran Napas Bawah Steril
Lambung (<103) - Streptococcus sp.
- Lactobacillus
Usus kecil:
- Duodenum / jejunum (103-105) - Lactobacillus
- Streptococcus sp.
- Enterococcus sp.
- Enterobacteriaceae
- Diphtheroids
- Beberapa anaerob
- Ileum (aerob 104-106, anaerob 105-107) - Enterobacteriaceae
- Enterococcus sp.
- Peptostreptococcus
- Anaerob (Bacteroides sp. &
Clostridium sp.)
Usus besar (aerob 104-106, anaerob 105- - Enterobacteriaceae
107) - Enterococcus sp.
- Pseudomonas sp.
- Streptococcus sp.
- Anaerob (Bacteroides sp. &
Clostridium sp.)

Gambaran klinis demam merupakan salah satu respon tubuh terhadap toksin
bakteri, namun demam tidak selalu dikarenakan infeksi bakteri. Demam dapat pula
disebabkan infeksi lain (virus atau jamur), obat-obatan (mis. penisilin, sefalosporin,
salisilat, dan fenitoin), trauma, atau kondisi medik (mis. penyakit autoimun,
keganasan, emboli pulmoner, dan hipertiroid). Di sisi lain, beberapa pasien dengan
infeksi dapat mengalami hipotermia (mis. pada pasien dengan infeksi berat). Pasien
usia lanjut dapat mengalami afebris, seperti pasien yang mengalami infeksi lokal
(mis. infeksi saluran kemih). Sebaliknya, pada pasien lain, demam dapat menjadi
satu-satunya gejala infeksi. Misalnya, pasien neutropenia tidak mempunyai
kemampuan respon imunitas yang normal terhadap infeksi, sehingga walaupun
ditemukan infiltrat pada rontgen dada, pyuria pada urinalisis, dan eritema atau
indurasi disekeliling kateter, kelainan yang dialami hanya demam.
Diagnosis infeksi dapat dibantu melalui pemeriksaan penunjang, seperti foto
rontgen untuk membantu mengidentifikasi lokasi anatomis infeksi, misalnya pada

6
pneumonia. Pencitraan lain juga dapat dilakukan seperti CT-scan dan MRI untuk
menunjang diagnosis. Selain pencitraan, pemeriksaan laboratorium juga diperlukan,
seperti jumlah sel darah putih, hitung jenis sel darah putih, laju endap darah (LED),
dan kadar C-reactive protein (CRP).
Jumlah sel darah putih umumnya meningkat sebagai respon pada infeksi,
namun pada infeksi berat atau infeksi yang berlangsung lama, dapat terjadi hal
sebaliknya. Selain karena infeksi bakteri, jumlah sel darah putih dapat meningkat
pula karena beberapa hal lain, seperti stress, inflamasi (reumatoid artritis dan
leukemia), dan respon terhadap beberapa obat (mis. kortikosteroid). Pada keadaan
infeksi akut, LED dan CRP meningkat sebagai respon inflamasi. Namun, perlu
diingat bahwa LED dan CRP merupakan penanda inflamasi nonspesifik, sehingga
sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar diagnosis infeksi karena dapat meningkat
pada inflamasi non-infeksi, seperti polymialgia rheumatic, reumatoid artritis, dan
artritis temporal. Namun LED dan CRP dapat digunakan dalam memantau respon
terapi pasien osteomielitis dan infektif endokarditis.

2.1.3 Cara Pemilihan Pemberian Obat


Dalam pemberian antibiotik, terdapat beberapa faktor yang perlu diperhatikan
dari segi keadaan pasien. Faktor-faktor tersebut antara lain: kegawatan atau bukan,
usia pasien, insufisiensi ginjal, gangguan faal hati, gangguan pembekuan darah,
gangguan granulositopenia, kehamilan, dan laktasi.
Dalam suatu kegawatan yang mungkin didasari infeksi berat, diperlukan lebih
dari satu jenis antibiotika. Sebaliknya, suatu keadaan yang tidak gawat dan baru
mulai serta tidak jelas etiologinya, tidak memerlukan antibiotika kecuali dapat
dibuktikan melalui pemeriksaan penunjang bahwa yang sedang dihadapi adalah
suatu infeksi bakteri.
Pasien usia lanjut sering memiliki patologi multipel dan lebih peka terhadap
pemberian obat. Distribusi dan konsentrasi obat dapat berbeda dikarenakan adanya
penurunan konsentrasi albumin darah dan fungsi ginjal.
Antibiotika yang nefrotoksik seperti amfoterisin B tidak boleh diberikan pada
insufisiensi ginjal berat. Aminoglikosida potensial nefrotoksik dan bila terjadi
akumulasi dapat juga bersifat neurotoksik. Beberapa antibiotik seperti bensilpenisilin
dan gentamisin eksresinya hanya melalui ginjal, sedangkan yang lainnya masih
memiliki mekanisme eksresi alternatif atau mengalami metabolisme dalam tubuh.
Pada anuria, beberapa antibiotika dapat diberikan tanpa mengurangi dosis, antara
lain kloramfenikol, eritromisin, rifampisin, dan kelompok penisilin (kecuali tikarsilin).
Hati berperan dalam metabolisme dan detoksifikasi obat. Antibiotika yang tidak
dapat didetoksifikasi karena terdapat gangguan faal hati akan memberikan efek

7
samping yang serius. Kloramfenikol, asam nalidiksik, sulfonamida, dan norfloksasin
dikonjugasi dengan asam glukuronida dalam hati untuk selanjutnya dieksresikan
melalui urine. Antibiotika tersebut merupakan kontra indikasi pada penyakit hati yang
berat, terutama bila terdapat gangguan fungsi hepatorenal. Demikian pula antibiotika
yang dieksresikan melalui hepar ke dalam saluran cerna seperti siprofloksasin,
sefoperason, seftriakson, dan eritromisin harus digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan hepatitis dan sirosis. Dosis tetrasiklin sebanyak 2-4 gram/hari dapat
menyebabkan distrofi hepar. Obat-obatan tuberkulostatika oral seperti rifampisin,
isoniazid, dan pirazinamid dapat juga menyebabkan gangguan fungsi hati.
Bila terdapat dugaan gangguan pembekuan darah, obat-obatan antibiotika
yang cenderung menyebabkan masalah perdarahan seperti latamoksef, tikarsilin,
sefoperason, aztreonam, dan imipenem perlu dihindari. Pada keadaan
granulositopenia, daya tahan tubuh sangat menurun sehingga perjalanan penyakit
selanjutnya didominasi oleh infeksi berat kulit, selaput lendir, dan organ-organ tubuh.
Daya tahan terhadap infeksi semakin menurun pada penggunaan kelompok
sitostatik untuk keganasan. Setelah pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi, kombinasi antibiotika tertentu perlu diberikan segera menurut protokol
tertentu.3
Dalam trimester pertama kehamilan, semua antibiotika memiliki efek toksik,
seperti kloramfenikol, kotrimoksasol, rifampisin, kuinolon, nitrofurantoin, nitromidazol,
serta obat anti jamur, seperti amfoterisin B, flusitosin, dan griseofulfin. Dalam
trimester kedua dan ketiga, antibiotika seperti tetrasiklin dan aminoglikosida perlu
dihindari, kecuali pada keadaaan dimana jiwa pasien terancam. Dalam minggu
terahkir kehamilan, sulfonamid, kotrimoksasol, dan nitrofurantoin merupakan kontra
indikasi. Pada umumnya, penisilin, sefalosporin, dan eritormisin aman diberikan bila
tidak terdapat alergi. Pada masa laktasi, obat seperti metronidazol dan tetrasiklin
sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan efek samping pada bayi. 3
Dalam pemilihan obat, selain segi keadaan pasien perlu diperhatikan cara
pemberiannya. Absorbsi antibiotika dipengaruhi aliran darah traktus digestivus, oleh
karena itu pasien yang mengalami infeksi sistemik dengan tanda hipoperfusi dan
hipotensi sebaiknya mendapatkan antibiotik intravena. Pada kebanyakan pasien
yang tidak memiliki gangguan fungsi traktus digestivus dan tidak mengalami
hipotensi, antibiotik dengan bioavabilitas tinggi seperti florokuinolon, flukonazol, dan
linezolid dapat diberikan secara oral. Pada antibiotik dengan bioavabilitas sedang
seperti golongan β-laktam, pemberian per oral bergantung pada keparahan penyakit
dan lokasi anatomis infeksi. Bila infeksi yang terjadi menyebar di serluruh tubuh,
diperlukan konsentrasi sistemik yang tinggi (mis. meningitis), atau bioavabilitas
antibiotik rendah, pemberian antibiotik sebaiknya melalui intravena. 2

8
2.2 Faktor Agen (Mikrobiologis)
Pada sebagian besar kasus infeksi, hubungan antara agen penyebab dengan
gambaran tidaklah selalu sama. Oleh karena itu, pengambilan spesimen untuk
identifikasi bakteri penyebab merupakan hal yang sangat penting. Ketika spesimen
sedang diuji di laboratorium, terapi dengan antibiotika empiris dapat dimulai
berdasarkan best guess (tebakan terbaik). Jika bakteri penyebab infeksi telah dapat
diidentifikasi, maka terapi antibiotika dapat diubah sesuai dengan kebutuhan.
Tebakan terbaik terhadap bakteri penyebab didasarkan pada beberapa
pertimbangan sebagai berikut: (1) lokasi infeksi (seperti pneumonia, infeksi saluran
urinarius); (2) usia pasien (meningitis pada neonatus, anak, atau dewasa); (3)
tempat infeksi tersebut didapat (rumah sakit atau komunitas); (4) faktor predisposisi
mekanis (kateter vaskular, kateter urin, respirator, paparan terhadap vektor); dan (5)
faktor predisposisi inang (defisiensi imun, kortikosteroid, transplan, terapi kemoterapi
kanker, dan lain-lain).
Ketika agen kausatif dari infeksi klinis telah diketahui, obat pilihan bisa selalu
dipilih berdasarkan pengalaman klinis (Tabel 3). Pada beberapa kasus, tes
laboratorium untuk kepekaan terhadap antibiotika diperlukan untuk menentukan obat
pilihan.

Tabel 3. Obat pilihan dan alternatif terhadap berbagai bakteri patogen


Patogen Obat Pilihan Obat Alternatif
Coccus Gram-    
negatif (aerob) 
  Moraxella TMP-SMZ, cephalosporin (second- or Erythromycin,
(Branhamella) third-generation) quinolone,
catarrhalis  clarithromycin,
azithromycin
  Neisseria Ceftriaxone, cefpodoxime Spectinomycin,
gonorrhoeae cefoxitin
  Neisseria Penicillin G Chloramphenicol,
meningitidis  cephalosporin (third-
generation)
Basil Gram-negatif    
(aerob) 
  E coli, Klebsiella, Cephalosporin (Generasi pertama Quinolone,
Proteus  atau kedua), TMP-SMZ aminoglycoside

  Enterobacter, TMP-SMZ, quinolone, carbapenem Antipseudomonal


Citrobacter, Serratia  penicillin,

9
aminoglycoside, cefe
pime
  Shigella  Quinolone TMP-SMZ, ampicillin,
azithromycin,
ceftriaxone
  Salmonella  TMP-SMZ, quinolone, cephalosporin Chloramphenicol,
(generasi ketiga) ampicillin
  Campylobacter Erythromycin or azithromycin Tetracycline,
jejuni  quinolone
  Brucella species  Doxycycline + rifampin atau Chloramphenicol +
aminoglycoside aminoglycoside atau
TMP-SMZ
  Helicobacter pylori  Bismuth Proton pump inhibitor
+ metronidazole + tetracycline atau + amoxicillin or
amoxicillin clarithromycin
  Vibrio species  Tetracycline Quinolone, TMP-SMZ
  Pseudomonas Antipseudomonal penicillin + Antipseudomonal
aeruginosa  aminoglycoside penicillin + quinolone;
cefepime,
ceftazidime,
imipenem,
meropenem or
aztreonam ±
aminoglycoside
  Burkholderia TMP-SMZ Ceftazidime,
cepacia (dahulu chloramphenicol
Pseudomonas
cepacia) 
  Stenotrophomonas TMP-SMZ Minocycline,
maltophilia (dahulu ticarcillin-clavulanate,
Xanthomonas quinolone
maltophilia) 
  Legionella species  Azithromycin + rifampin or quinolone Clarithromycin,
+ rifampin erythromycin,
doxycycline
Coccus Gram-    
positif (aerob) 
  Streptococcus Penicillin Doxycycline,
pneumoniae  ceftriaxone,
cefuroxime,
quinolones,
erythromycin,

10
linezolid, ketolides
  Streptococcus Penicillin, clindamycin Erythromycin,
pyogenes (group A)  cephalosporin
(generasi pertama)
  Streptococcus Penicillin (+ aminoglycoside) Vancomycin
agalactiae (group B) 
  Viridans Penicillin Cephalosporin
streptococci  (generasi pertama
atau ketiga),
vancomycin
  Staphylococcus    
aureus 
    Beta-lactamase- Penicillin Cephalosporin
negative (generasi pertama),
vancomycin
    Beta-lactamase- Penicillinase-resistant penicillin As above
positive
    Methicillin-resistant Vancomycin TMP-SMZ,
minocycline, linezolid,
daptomycin,
tigecycline
  Enterococcus Penicillin ± aminoglycoside Vancomycin +
species aminoglycoside
Basil Gram-positif    
(aerob) 
  Bacillus species Vancomycin Imipenem, quinolone,
(non-anthracis)  clindamycin
  Listeria species  Ampicillin (± aminoglycoside) TMP-SMZ

  Nocardia species  Sulfadiazine, TMP-SMZ Minocycline,


imipenem, amikacin,
linezolid
Anaerobic bacteria     
  Gram-positive Penicillin, clindamycin Vancomycin,
(clostridia, carbapenems,
Peptococcus, chloramphenicol
Actinomyces,
Peptostreptococcus) 
  Clostridium difficile  Metronidazole Vancomycin,
bacitracin
  Bacteroides fragilis  Metronidazole Chloramphenicol,
carbapenems, beta-

11
lactam–beta-
lactamase-inhibitor
combinations,
clindamycin
  Fusobacterium, Metronidazole, clindamycin, penicillin Seperti untuk B
Prevotella, fragilis 
Porphyromonas 
Mycobacteria     
  Mycobacterium Isoniazid + rifampin + ethambutol + py Streptomycin,
tuberculosis  razinamide quinolone, amikacin,
ethionamide,
cycloserine, PAS,
linezolid
  Mycobacterium    
leprae 
    Multibaciller Dapsone + rifampin +  clofazimine  

    Paucibaciller Dapsone + rifampin  
Mycoplasma Tetracycline, erythromycin Azithromycin,
pneumoniae  clarithromycin,
quinolone, ketolide
Chlamydia     
  trachomatis  Tetracycline, azithromycin Clindamycin,
ofloxacin
  pneumoniae  Tetracycline, erythromycin Clarithromycin,
azithromycin, ketolide
  psittaci  Tetracycline Chloramphenicol
Spirochetes     
  Borrelia recurrentis  Doxycycline Erythromycin,
chloramphenicol,
penicillin
  Borrelia burgdorferi     
    Early Doxycycline, amoxicillin Cefuroxime axetil,
penicillin
    Late Ceftriaxone  
  Leptospira species  Penicillin Tetracycline
  Treponema species  Penicillin Tetracycline,
azithromycin,
ceftriaxone

2.2.1 Tes Kepekaan


Tes kepekaaan terhadap antibiotika diindikasikan terhadap beberapa keadaan:
(1) ketika organisme penyebab tipe tertentu sering menimbulkan resistensi terhadap
terapi antimikroba (seperti bakteri enteric Gram-negatif); (2) ketika proses infeksi itu

12
kemungkinan besar dapat menyebabkan kematian jika tidak diobati dengan terapi
spesifik (seperti meningitis, septikemia); (3) pada beberapa kasus infeksi di mana
eradikasi bakteri penyebab infeksi harus dilakukan dengan obat yang bersifat
bakterisidal cepat, tidak hanya sekedar bakteriostatik (seperti endokarditis infektif).

2.2.2 Spesimen
Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi studi mikroskopis terhadap
sampel segar yang tak diwarnai dan sampel diwarnai serta kultur dengan kondisi
yang seusia untuk pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme. Jika
mikroorganisme ingin diisolasi, maka identifikasi lengkap akan dilakukan.
Mikroorganisme itu juga akan diuji kepekaannya terhadap obat-obat antibiotika.
Ketika patogen diisolasi sebelum pengobatan, follow up pemeriksaan laboratorium
dilakukan selama dan sesudah pengobatan.
Pengambilan spesimen yang benar merupakan langkah yang paling penting
dalam proses diagnosis infeksi karena hasil uji diagnostik pada penyakit-penyakit
infeksius bergantung pada pemilihan, waktu, dan metode pengampilan spesimen.
Bakteri tumbuh dan mati, peka terhadap zat kimia, dan dapat ditemukan pada lokasi
yang berbeda pada tubuh, dan cairan tubuh serta jaringan selama perjalanan
penyakit infeksi. Karena isolasi agen penyebab infeksi sangat penting dalam
diagnosis, spesiemen harus didapatkan dari lokasi yang memiliki kemungkinan
terbesar mengandung agen penyebab infeksi sesuai perjalanan penyakitnya pada
waktu itu dan spesiemen harus diperlakukan dengan tujuan memepertahankan
kehidupan dan pertumbuhan dari agen tersebut.

Peraturan-peraturan umum terhadap semua spesimen:


 Kuantitas spesimen harus cukup.
 Sampel harus representatif terhadap proses infeksi (seperti sputum, bukan saliva;
pus dari lesi; swab dari kedalaman luka, bukan dari permukaannya).
 Kontaminasi spesimen harus dihindari dengan hanya menggunakan peralatan
steril dan kewaspadaan aseptik.
 Spesimen harus segera dibawa ke laboratorium dan diperiksa secepat mungkin,
media transpor khusus mungkin diperlukan.
 Spesimen bermakna untuk mendiagnosis infeksi bakterial harus aman sebelum
terapi antibiotika diberikan. Jika obat antibiotika diberikan sebelum pengambilan
spesimen, maka terapi pengobatan harus dihentikan dan spesimen harus diambil
ulang beberapa hari kemudian.
Jenis spesimen yang diambil tergantung pada gambaran klinis pasien. Jika
tanda dan gejala menunjukkan kearah sistem organ tertentu, maka spesimen diambil

13
dari sumber tersebut (Tabel 4). Jika tidak ada tanda-tanda fokus infeksi, kultur darah
berulang dilakukan terlebih dahulu. Spesimen dari lokasi lain diambil kemudian
dengan mempertimbangkan kemungkinan terbesar sistem organ yang terkena
infeksi.

Tabel 4. Jenis Spesimen berdasarkan Penyakit

Penyakit Spesimen Penyebab Tersering


Selulitis Punch biopsy Group A -hemolytic streptococci,
Staphylococcus aureus 
Impetigo Swab Seperti selulitis, jarang:
Corynebacterium diphtheriae 
Ulkus kulit Punch biopsy; aspirasi Flora campuran
kulit dalam atau biopsi
Meningitis LCS Neisseria meningitidis 
Haemophilus influenzae 
Streptococcus pneumoniae 
Group B streptococci
Escherichia coli dan
Enterobacteriaceae lain
Listeria monocytogenes 
Abses otak Pus Infeksi campuran; anaerobik gram-
positig dan gram-negatif cocci dan
rods, aerobik gram-positif cocci
Abses perioral Pus Flora campuran mulut dan faring
Faringitis Swab Group A streptococci
C. diphtheriae 
Batuk rejan Swab Bordetella pertussis 
(pertusis)
Epiglotitis Swab H. influenzae 
Pneumonia Sputum S. pneumoniae 
S. aureus 
Enterobacteriaceae dan gram-negatif
rods lain
Aerob dan anaerob lain campuran

14
Empyema dada Pus Seperti pneumonia, atau flora
campuran
Abses hati Pus E coli; Bacteroides fragilis; campuran
flora aerob dan anaerob 
Kolesistitis Empedu Gram-negative aerob enterik, juga B.
fragilis 
Abses abdomen Pus Flora gastrointestinal
atau perirektal

Demam enteric, Darah, feses, urin Salmonella typhi 


tifoid
Enteritis, Feces Salmonella selain S. typhi 
enterokolitis, Shigella sp
diare bakterial, Campylobacter jejuni 
"gastroenteritis" Vibrio cholerae 
Vibrio lain
Yersinia enterocolitica 
Colitis hemoragik Feses E coli O157:H7 
dan sindrom
uremik hemolitik
Infeksi traktus Urin (clean-catch E coli; Enterobacteriaceae; gam
urinarius midstream specimen atau negatif lain 
dari kateterisasi kandung
kemih atau aspirasi
suprapubik)
Uretritis/ servisitis Swab Neisseria gonorrhoeae 
Chlamydia trachomatis 
Ulkus kelamin Swab Haemophilus ducreyi (chancroid)  
Treponema pallidum (syphilis)  
Pus diaspirasi dari limfe C. trachomatis (lymphogranuloma
tersupurasi venereum) 
Pelvic Swab serviks N. gonorrhoeae 
inflammatory C trachomatis 
Aspirasidari cul-de-sac N. gonorrhoeae 
disease
atau dengan laparoskop C trachomatis 
Flora campuran
Artitis Aspirasi sendi, darah S. aureus 
N. gonorrhoeae 
Lainnya
Osteomielitis Pus atau spesimen tulang Multipel; S aureus sering didapat
dari aspirasi atau operasi

15
2.3 Aspek Farmakologis
I. Farmakodinamik
Mencakup kerentanan agen infeksi, aktivitas bakteriostatik atau
bakteriosidal, serta sinergisme dan antagonisme obat. Secara umum agen yang
bekerja dengan cara menghambat dinding sel bersifat bakterisidal dan yang
menghambat protein bersifat bakteriostatik. Konsentrasi inhibitor agen yang
bersifat bakteriostatik lebih rendah dibandingkan bakterisidal.Namun
pengklasifikasian antibiotika seperti ini mempunyai beberapa keterbatasan karena
terdapat beberapa agen yang mempunyai sifat yang berbeda pada organisme
yang berbeda. Selain itu antibiotika juga dapat bersifat tergantung konsentrasi
(fluorokuinolon, aminoglikosida, dan metronidazol) dan tidak tergantung
konsentrasi (beta laktam dan glikopeptida). Aktivitas antibiotika yang tergantung
antibiotika meningkat apabila konsentrasi obat tersebut tinggi sedangkan pada
obat yang tidak tergantung konsentrasi dapat meningkat efektifitasnya apabila
dosis di atas Minimal Inhibitory Concentration.
II. Farmakokinetik
Mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat di dalam tubuh.
a. Cara pemberian
Dapat secara oral dan parenteral. Absorpsi obat dipengaruhi oleh pembuluh
darah saluran cerna. Apabila pasien datang dengan gejala infeksi sistemik
seperti hipoperfusi dan hipotensi sebaiknya diberikan pemberian parenteral.
Keuntungan pemberian obat oral adalah lebih ekonomis dan tidak invasif.
Keuntungan pemberian parenteral : pada pasien kritis, meningitis atau
endokarditis, gangguan absorpsi oral (muntah, nausea), dan jenis antibiotika
yang diabsorpsi poor pada pemberian oral.
b. Faktor yang dapat menganggu farmakokinetik obat dan toksisitas obat
Pada pasien dengan gangguan hepar dan renal yang akan menganggu
eliminasi obat dan dapat berakibat toksik bagi pasien. Selain itu juga dapat
dipengaruhi oleh reaksi imunologis dan sifat toksik obat.
c. Konsentrasi obat pada cairan tubuh
Mayoritas semua golongan antibiotika terdistribusi secara merata pada cairan
dan jaringan tubuh, kecuali pada selaput otak.
d. Dosis dan durasi antibiotika
Regimen dosis pada obat yang sama dapat berbeda pada penyakit yang
berbeda, seperti siprofloksasin pada infeksi traktus urinarius 2x 250 mg selama

16
3 hari namun pada infeksi traktur urinarius yang berkomplikasi 2x500 mg selama
7-14 hari.
e. Harga

2.3.1 Penggolongan Antibiotika berdasarkan Target Sel dan Mekanisme Kerja


Golongan Antibiotika diklasifikasikan berdasarkan target sel dan mekanisme
kerja yaitu, yang bekerja pada dinding sel, sintesis protein, sintesis DNA, dan
metabolisme sel. Jenis-jenis antibiotika terlampir pada tabel 5 lampiran

Gambar 1. Mekanisme Kerja Antibiotika

2.3.2 Kombinasi Antibiotika


Kebanyakan infeksi dapat diterapi dengan antibiotika tunggal, namun pada
praktek sehari-sehari banyak digunakan terapi kombinasi. Hal ini dapat
meningkatkan risiko toksisitas, kenaikan harga, dan penurunan efek obat yang
diakibatkan efek antagonis obat.
Alasan penggunaan terapi kombinasi;
- Terapi empiris berspektrum luas pada kondisi pasien yang kritis.
- Terapi infeksi polimikrobial seperti abses intraabdominal.
Pemilihan kombinasi antibiotika harus mencakup penyebab agen yang terbanyak.
Ketersediaan golongan antibiotika yang bersifat polimikrobial seperti beta laktam
dapat menurunkan pemakaian kombinasi obat.
- Untuk menurunkan resistensi kuman, contoh tuberkulosis.
- Penurunan efek toksik dengan pengurangan masing-masing dosis obat.
Indikasi terapi kombinasi :
- Tuberkulosis

17
- Mikobakterium avium kompleks diseminata
- Helikobakter pilori
- Endokarditis e.c streptokokus alfa hemolitikus
- Vankomisin resisten enterokokus
Dalam pemberian kombinasi antibiotika, perlu pemahaman mengenai
antagonism dan sinergisme obat. Sinergisme adalah penggunaan dua antibiotika
yang bersamaan mempunyai efek inhibitor yang lebih kuat dibandingkan
penggunaan tunggal. Sinergisme dibuktikan dengan penurunan empat kali atau lebih
Minimal Inhibitory Concentration atau Minimal Bactericidal Concentration. Hal ini
dapat digunakan pada terapi endokarditis enterokokus dengan kombinasi penisilin
dengan gentamisin, trimetorfin sulfametoksasol pada pneumositis jiroveci
pneumonia. Mekanisme terjadi sinergisme adalah; blok sekuensial metabolik (contoh
jalur asam folat pada trimetorfin sulfametoksasol); inhibisi inaktivasi enzimatik
(contoh beta laktamase dengan inhibitor beta laktam); peningkatan uptake
antibiotika, contoh penisilin dapat meningkatkan uptake aminoglikosida untuk
enterokokus.
Antagonisme terjadi apabila kombinasi obat mempunyai efek yang lebih
rendah. Efek antagonisme jarang terjadi pada praktek klinis, kasus yang dilaporkan
pada pasien dengan meningitis pneumokokus yang diterapi dengan penisilin dan
klortetrasiklin. Mekanisme yang terjadi melalui;
- Inhibisi aktivitas sidal dengan agen statik; agen bakteriostatik seperti tetrasiklin
dan kloramfenikol dapat mengantagonis agen bakterisidal yang menghambat
dinidng sel dikarenakan dibutuhkan dinding sel yang aktif untuk dihambat.
- Induksi inaktivasi enzimatik; contoh kombinasi antibiotika beta laktam yang
merupakan agen penginduksi produksi beta laktamase dan dikombinasikan
dengan piperasilin.

18
Bagan 1. Alur Pemilihan Terapi Antibiotika

Anamnesis : riwayat penyakit sekarang, komorbiditas, alergi, medikasi, faktor risiko

Gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis infeksi

Jenis patogen sebelum terapi apakah diketahui atau tidak

Tidak Ya
Drug specific :
Spektrum
Dosis
Apakah pasien tampak sakit berat Farmakokinetik dan farmakodinamik
Efek samping
Kombinasi
Patient specific :
Lokasi infeksi
Terapi empiris spektrum luas Penyakit penyerta
Resistensi obat

Monitor terapi : efisiensi, toksisitas.

19
BAB III
KESIMPULAN

Pemilihan dan penggunaan antibiotika ditentukan oleh berbagai faktor seperti


keadaan klinis pasien, parameter mikrobiologis, dan parameter farmakologis.
Dibutuhkan pendekatan yang sistematis dalam pemilihan antibiotika yaitu;
pembuktian terjadinya infeksi dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik; identifikasi
patogen dengan pengumpulan material, pewarnaan, kultur, dan pemeriksaan
serologis; pemilihan terapi empiris berdasarkan faktor pejamu dan obat; serta onitor
respons terapeutik dengan evaluasi klinis dan laboratorium.
Terdapat berbagai macam golongan antibiotika dengan berbagai indikasi dan
spektrum antibakterinya. Golongan antibiotika yang menghambat proses
pembentukan peptidoglikan, yang merupakan salah satu komponen dinding sel
bakteri adalah beta laktam (penisilin, sefalosporin, sefamisin, karbapenem,
monobaktam) dan glikopeptida (vankomisin,teikoplanin). Spektrum bakteri pada beta
laktam bervariasi dari bakteri gram positif sampai bakteir gram negatif sesuai
kategori kelas obat sedangkan peptidoglikan untuk infeksi yang disebabkan oleh
bakteri gram positif yang resisten atau pada pasien yang mempunyai alergi terhadap
beta laktam. Aminoglikosida, tetrasiklin, kloramfenikol, makrolid, linkosamid,
streptogramin, oksazolidinon, dan asam fusidik bekerja dengan menghambat proses
translasi mRNA tetapi pada proses yang berbeda. Aminoglikosida (gentamisin,
tobramisin, kanamisin, amikasin, netilmisin,neomisin, streptomsin) bersifat
bakterisidal dan efektif terhadap bakteri gram negatif. Tetrasiklin dan kloramfenikol
bersifat bakteriostatik dan spektrum luas. Makrolid (eritromisin) efektif terhadap
bakteri gram positif dan pasien uang alergi terhadap penislin. Linkosamid
(klindamisin) efektif terhadapa bakteri anaerob baik gram positif maupun gram
negatif. Kuinolon mempunyai empat generasi berdasarkan spektrum antibakterialnya
terhadap bakteri gram negatif, gram positing, pseudomonas, dan anaerob serta
rifampisin bekerja sebagai inhibitor sintesis asam nukleat. Sulfonamid, trimetropin
dan kotrimoksasol efektif terhadap bakteri gram.negatif yang bekerja dengan cara
menghambat enzim-enzim yang dapat menjadi bahan dasar pembuatan asam
nukleat. Polimiksin yang bekerja pada membrane sitoplasma bakteri gram negatif.
Dengan pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian, dan penghentian obat
yang benar serta aman pada pemakaian dan terjangkaunya harga pada pasien

20
dapat menjadi dasar penggunaan antibiotika yang rasional dapat meminimalisasikan
angka kejadian resistensi antibiotika.

21

Anda mungkin juga menyukai