PENDAHULUAN
1
mikrobiologik tersebut seringkali tidak dapat dilaksanakan karena terbatasnya
fasilitas, atau tidak mungkin ditunggu hasilnya sehingga antibiotika harus segera
diberikan. Dalam keadaan ini dapat digunakan prinsip “educated guess” dengan
mempertimbangkan organ atau sistem yang terkena infeksi dan kuman penyebab
tersering, sehingga dapat diputuskan antibiotika yang paling sesuai.
Terdapat beberapa hal penting mengenai antibiotika yang perlu diketahui
sebelum memilih dan menggunakan antibiotika agar antibiotika dapat digunakan
secara rasional, antara lain sifat aktifitasnya, spektrum, mekanisme kerja, pola
resistensi, dan efek samping obat. 3 Berdasarkan uraian di atas maka penulis ingin
membahas lebih lanjut mengenai sifat-sifat antibiotik dan penggunaannya, agar para
pembaca mendapatkan wawasan lebih dan dapat mengaplikasikan penggunakan
antibiotika secara rasional.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN
3
neutrofil batang) juga ikut dikeluarkan dari sumsum tulang ke aliran darah untuk
membantu melawan infeksi, sehingga dikenal sebagai bandemia atau hitung jenis
yang bergeser ke kiri (left shift). Terkadang pada infeksi usia lanjut, jumlah sel
darah putih menunjukkan nilai normal, namun hitung jenis bergeser ke kiri. Oleh
karena itu, hitung jenis sel darah putih penting pada infeksi.
Limfosit turut berperan dalam melawan infeksi. Berdasarkan fungsinya,
limfosit terbagi menjadi dua. Limfosit T yang berperan dalam imunitas seluler dan
limfosit B yang berperan dalam imunitas humoral. Limfositosis biasanya terjadi
pada infeksi virus akut, seperti Epstein Barr Virus dan sitomogelovirus, serta pada
beberapa bakteri tertentu (mis. Brucellia sp.). Monositosis berhubungan dengan
infeksi bakteri akut, walaupun keberadaanya terkait dengan respon terhadap jenis
infeksi tertentu (mis. tuberkulosis) dan kemoterapi. Eosinifilia didapatkan pada
infeksi parasit.
Proses infeksi dapat disebabkan karena faktor endogen dan faktor eksogen.
Infeksi endogen dikarenakan peningkatan flora normal tubuh atau gangguan
terhadap mekanisme pertahanan tubuh (Tabel 2). Infeksi eksogen dapat terjadi
melalui transmisi antar manusia, lingkungan, dan kontak dengan hewan. Infeksi
mengacu pada adanya bakteri yang menyebabkan penyakit, sedangkan
kolonisasi mengacu pada bakteri yang merupakan flora normal tubuh. Terapi
antibiotika ditujukan terhadap infeksi bakteri yang menyebabkan penyakit,
sedangkan kolonisasi flora normal dibiarkan intak. Hal ini penting karena
antibiotika yang ditujukan untuk flora normal dapat menimbulkan resistensi
bakteri.
4
kortikosteroid)
Limfosit 20-40 Sel T (cell mediated Limfositosis
immunity) - Infeksi virus (misal
- produksi antibodi mononukleosis)
- antigen presenting - Tuberkulosis
cell - Infeksi jamur
Sel B (humoral Limfopenia
antibody response) - HIV
- imunitas seluler
melawan virus &
tumor
- regulasi sistem
imun
Monosit 2-8 Fagosit, prekursor Monositosis
makrofag - Tuberkulosis
- Infeksi protozoa
- Leukemia
Eosinofil 1-4 Reaksi antigen Eosinofil
antibodi - Reaksi hipersensitifitas,
Respon alergi termasuk obat-
(perlawanan obatan
terhadap parasit) - Infeksi parasit
Basofil <1 Respon alergi Reaksi hipersensitifitas
5
- Neisseria sp.
- Diphtheroids
- Haemophilus sp.
- Streptococcus pneumoniae
Infeksi Saluran Napas Bawah Steril
Lambung (<103) - Streptococcus sp.
- Lactobacillus
Usus kecil:
- Duodenum / jejunum (103-105) - Lactobacillus
- Streptococcus sp.
- Enterococcus sp.
- Enterobacteriaceae
- Diphtheroids
- Beberapa anaerob
- Ileum (aerob 104-106, anaerob 105-107) - Enterobacteriaceae
- Enterococcus sp.
- Peptostreptococcus
- Anaerob (Bacteroides sp. &
Clostridium sp.)
Usus besar (aerob 104-106, anaerob 105- - Enterobacteriaceae
107) - Enterococcus sp.
- Pseudomonas sp.
- Streptococcus sp.
- Anaerob (Bacteroides sp. &
Clostridium sp.)
Gambaran klinis demam merupakan salah satu respon tubuh terhadap toksin
bakteri, namun demam tidak selalu dikarenakan infeksi bakteri. Demam dapat pula
disebabkan infeksi lain (virus atau jamur), obat-obatan (mis. penisilin, sefalosporin,
salisilat, dan fenitoin), trauma, atau kondisi medik (mis. penyakit autoimun,
keganasan, emboli pulmoner, dan hipertiroid). Di sisi lain, beberapa pasien dengan
infeksi dapat mengalami hipotermia (mis. pada pasien dengan infeksi berat). Pasien
usia lanjut dapat mengalami afebris, seperti pasien yang mengalami infeksi lokal
(mis. infeksi saluran kemih). Sebaliknya, pada pasien lain, demam dapat menjadi
satu-satunya gejala infeksi. Misalnya, pasien neutropenia tidak mempunyai
kemampuan respon imunitas yang normal terhadap infeksi, sehingga walaupun
ditemukan infiltrat pada rontgen dada, pyuria pada urinalisis, dan eritema atau
indurasi disekeliling kateter, kelainan yang dialami hanya demam.
Diagnosis infeksi dapat dibantu melalui pemeriksaan penunjang, seperti foto
rontgen untuk membantu mengidentifikasi lokasi anatomis infeksi, misalnya pada
6
pneumonia. Pencitraan lain juga dapat dilakukan seperti CT-scan dan MRI untuk
menunjang diagnosis. Selain pencitraan, pemeriksaan laboratorium juga diperlukan,
seperti jumlah sel darah putih, hitung jenis sel darah putih, laju endap darah (LED),
dan kadar C-reactive protein (CRP).
Jumlah sel darah putih umumnya meningkat sebagai respon pada infeksi,
namun pada infeksi berat atau infeksi yang berlangsung lama, dapat terjadi hal
sebaliknya. Selain karena infeksi bakteri, jumlah sel darah putih dapat meningkat
pula karena beberapa hal lain, seperti stress, inflamasi (reumatoid artritis dan
leukemia), dan respon terhadap beberapa obat (mis. kortikosteroid). Pada keadaan
infeksi akut, LED dan CRP meningkat sebagai respon inflamasi. Namun, perlu
diingat bahwa LED dan CRP merupakan penanda inflamasi nonspesifik, sehingga
sebaiknya tidak digunakan sebagai dasar diagnosis infeksi karena dapat meningkat
pada inflamasi non-infeksi, seperti polymialgia rheumatic, reumatoid artritis, dan
artritis temporal. Namun LED dan CRP dapat digunakan dalam memantau respon
terapi pasien osteomielitis dan infektif endokarditis.
7
samping yang serius. Kloramfenikol, asam nalidiksik, sulfonamida, dan norfloksasin
dikonjugasi dengan asam glukuronida dalam hati untuk selanjutnya dieksresikan
melalui urine. Antibiotika tersebut merupakan kontra indikasi pada penyakit hati yang
berat, terutama bila terdapat gangguan fungsi hepatorenal. Demikian pula antibiotika
yang dieksresikan melalui hepar ke dalam saluran cerna seperti siprofloksasin,
sefoperason, seftriakson, dan eritromisin harus digunakan secara hati-hati pada
pasien dengan hepatitis dan sirosis. Dosis tetrasiklin sebanyak 2-4 gram/hari dapat
menyebabkan distrofi hepar. Obat-obatan tuberkulostatika oral seperti rifampisin,
isoniazid, dan pirazinamid dapat juga menyebabkan gangguan fungsi hati.
Bila terdapat dugaan gangguan pembekuan darah, obat-obatan antibiotika
yang cenderung menyebabkan masalah perdarahan seperti latamoksef, tikarsilin,
sefoperason, aztreonam, dan imipenem perlu dihindari. Pada keadaan
granulositopenia, daya tahan tubuh sangat menurun sehingga perjalanan penyakit
selanjutnya didominasi oleh infeksi berat kulit, selaput lendir, dan organ-organ tubuh.
Daya tahan terhadap infeksi semakin menurun pada penggunaan kelompok
sitostatik untuk keganasan. Setelah pengambilan spesimen untuk pemeriksaan
mikrobiologi, kombinasi antibiotika tertentu perlu diberikan segera menurut protokol
tertentu.3
Dalam trimester pertama kehamilan, semua antibiotika memiliki efek toksik,
seperti kloramfenikol, kotrimoksasol, rifampisin, kuinolon, nitrofurantoin, nitromidazol,
serta obat anti jamur, seperti amfoterisin B, flusitosin, dan griseofulfin. Dalam
trimester kedua dan ketiga, antibiotika seperti tetrasiklin dan aminoglikosida perlu
dihindari, kecuali pada keadaaan dimana jiwa pasien terancam. Dalam minggu
terahkir kehamilan, sulfonamid, kotrimoksasol, dan nitrofurantoin merupakan kontra
indikasi. Pada umumnya, penisilin, sefalosporin, dan eritormisin aman diberikan bila
tidak terdapat alergi. Pada masa laktasi, obat seperti metronidazol dan tetrasiklin
sebaiknya dihindari karena dapat menimbulkan efek samping pada bayi. 3
Dalam pemilihan obat, selain segi keadaan pasien perlu diperhatikan cara
pemberiannya. Absorbsi antibiotika dipengaruhi aliran darah traktus digestivus, oleh
karena itu pasien yang mengalami infeksi sistemik dengan tanda hipoperfusi dan
hipotensi sebaiknya mendapatkan antibiotik intravena. Pada kebanyakan pasien
yang tidak memiliki gangguan fungsi traktus digestivus dan tidak mengalami
hipotensi, antibiotik dengan bioavabilitas tinggi seperti florokuinolon, flukonazol, dan
linezolid dapat diberikan secara oral. Pada antibiotik dengan bioavabilitas sedang
seperti golongan β-laktam, pemberian per oral bergantung pada keparahan penyakit
dan lokasi anatomis infeksi. Bila infeksi yang terjadi menyebar di serluruh tubuh,
diperlukan konsentrasi sistemik yang tinggi (mis. meningitis), atau bioavabilitas
antibiotik rendah, pemberian antibiotik sebaiknya melalui intravena. 2
8
2.2 Faktor Agen (Mikrobiologis)
Pada sebagian besar kasus infeksi, hubungan antara agen penyebab dengan
gambaran tidaklah selalu sama. Oleh karena itu, pengambilan spesimen untuk
identifikasi bakteri penyebab merupakan hal yang sangat penting. Ketika spesimen
sedang diuji di laboratorium, terapi dengan antibiotika empiris dapat dimulai
berdasarkan best guess (tebakan terbaik). Jika bakteri penyebab infeksi telah dapat
diidentifikasi, maka terapi antibiotika dapat diubah sesuai dengan kebutuhan.
Tebakan terbaik terhadap bakteri penyebab didasarkan pada beberapa
pertimbangan sebagai berikut: (1) lokasi infeksi (seperti pneumonia, infeksi saluran
urinarius); (2) usia pasien (meningitis pada neonatus, anak, atau dewasa); (3)
tempat infeksi tersebut didapat (rumah sakit atau komunitas); (4) faktor predisposisi
mekanis (kateter vaskular, kateter urin, respirator, paparan terhadap vektor); dan (5)
faktor predisposisi inang (defisiensi imun, kortikosteroid, transplan, terapi kemoterapi
kanker, dan lain-lain).
Ketika agen kausatif dari infeksi klinis telah diketahui, obat pilihan bisa selalu
dipilih berdasarkan pengalaman klinis (Tabel 3). Pada beberapa kasus, tes
laboratorium untuk kepekaan terhadap antibiotika diperlukan untuk menentukan obat
pilihan.
9
aminoglycoside, cefe
pime
Shigella Quinolone TMP-SMZ, ampicillin,
azithromycin,
ceftriaxone
Salmonella TMP-SMZ, quinolone, cephalosporin Chloramphenicol,
(generasi ketiga) ampicillin
Campylobacter Erythromycin or azithromycin Tetracycline,
jejuni quinolone
Brucella species Doxycycline + rifampin atau Chloramphenicol +
aminoglycoside aminoglycoside atau
TMP-SMZ
Helicobacter pylori Bismuth Proton pump inhibitor
+ metronidazole + tetracycline atau + amoxicillin or
amoxicillin clarithromycin
Vibrio species Tetracycline Quinolone, TMP-SMZ
Pseudomonas Antipseudomonal penicillin + Antipseudomonal
aeruginosa aminoglycoside penicillin + quinolone;
cefepime,
ceftazidime,
imipenem,
meropenem or
aztreonam ±
aminoglycoside
Burkholderia TMP-SMZ Ceftazidime,
cepacia (dahulu chloramphenicol
Pseudomonas
cepacia)
Stenotrophomonas TMP-SMZ Minocycline,
maltophilia (dahulu ticarcillin-clavulanate,
Xanthomonas quinolone
maltophilia)
Legionella species Azithromycin + rifampin or quinolone Clarithromycin,
+ rifampin erythromycin,
doxycycline
Coccus Gram-
positif (aerob)
Streptococcus Penicillin Doxycycline,
pneumoniae ceftriaxone,
cefuroxime,
quinolones,
erythromycin,
10
linezolid, ketolides
Streptococcus Penicillin, clindamycin Erythromycin,
pyogenes (group A) cephalosporin
(generasi pertama)
Streptococcus Penicillin (+ aminoglycoside) Vancomycin
agalactiae (group B)
Viridans Penicillin Cephalosporin
streptococci (generasi pertama
atau ketiga),
vancomycin
Staphylococcus
aureus
Beta-lactamase- Penicillin Cephalosporin
negative (generasi pertama),
vancomycin
Beta-lactamase- Penicillinase-resistant penicillin As above
positive
Methicillin-resistant Vancomycin TMP-SMZ,
minocycline, linezolid,
daptomycin,
tigecycline
Enterococcus Penicillin ± aminoglycoside Vancomycin +
species aminoglycoside
Basil Gram-positif
(aerob)
Bacillus species Vancomycin Imipenem, quinolone,
(non-anthracis) clindamycin
Listeria species Ampicillin (± aminoglycoside) TMP-SMZ
11
lactam–beta-
lactamase-inhibitor
combinations,
clindamycin
Fusobacterium, Metronidazole, clindamycin, penicillin Seperti untuk B
Prevotella, fragilis
Porphyromonas
Mycobacteria
Mycobacterium Isoniazid + rifampin + ethambutol + py Streptomycin,
tuberculosis razinamide quinolone, amikacin,
ethionamide,
cycloserine, PAS,
linezolid
Mycobacterium
leprae
Multibaciller Dapsone + rifampin + clofazimine
Paucibaciller Dapsone + rifampin
Mycoplasma Tetracycline, erythromycin Azithromycin,
pneumoniae clarithromycin,
quinolone, ketolide
Chlamydia
trachomatis Tetracycline, azithromycin Clindamycin,
ofloxacin
pneumoniae Tetracycline, erythromycin Clarithromycin,
azithromycin, ketolide
psittaci Tetracycline Chloramphenicol
Spirochetes
Borrelia recurrentis Doxycycline Erythromycin,
chloramphenicol,
penicillin
Borrelia burgdorferi
Early Doxycycline, amoxicillin Cefuroxime axetil,
penicillin
Late Ceftriaxone
Leptospira species Penicillin Tetracycline
Treponema species Penicillin Tetracycline,
azithromycin,
ceftriaxone
12
kemungkinan besar dapat menyebabkan kematian jika tidak diobati dengan terapi
spesifik (seperti meningitis, septikemia); (3) pada beberapa kasus infeksi di mana
eradikasi bakteri penyebab infeksi harus dilakukan dengan obat yang bersifat
bakterisidal cepat, tidak hanya sekedar bakteriostatik (seperti endokarditis infektif).
2.2.2 Spesimen
Pemeriksaan laboratorium biasanya meliputi studi mikroskopis terhadap
sampel segar yang tak diwarnai dan sampel diwarnai serta kultur dengan kondisi
yang seusia untuk pertumbuhan sebagian besar mikroorganisme. Jika
mikroorganisme ingin diisolasi, maka identifikasi lengkap akan dilakukan.
Mikroorganisme itu juga akan diuji kepekaannya terhadap obat-obat antibiotika.
Ketika patogen diisolasi sebelum pengobatan, follow up pemeriksaan laboratorium
dilakukan selama dan sesudah pengobatan.
Pengambilan spesimen yang benar merupakan langkah yang paling penting
dalam proses diagnosis infeksi karena hasil uji diagnostik pada penyakit-penyakit
infeksius bergantung pada pemilihan, waktu, dan metode pengampilan spesimen.
Bakteri tumbuh dan mati, peka terhadap zat kimia, dan dapat ditemukan pada lokasi
yang berbeda pada tubuh, dan cairan tubuh serta jaringan selama perjalanan
penyakit infeksi. Karena isolasi agen penyebab infeksi sangat penting dalam
diagnosis, spesiemen harus didapatkan dari lokasi yang memiliki kemungkinan
terbesar mengandung agen penyebab infeksi sesuai perjalanan penyakitnya pada
waktu itu dan spesiemen harus diperlakukan dengan tujuan memepertahankan
kehidupan dan pertumbuhan dari agen tersebut.
13
dari sumber tersebut (Tabel 4). Jika tidak ada tanda-tanda fokus infeksi, kultur darah
berulang dilakukan terlebih dahulu. Spesimen dari lokasi lain diambil kemudian
dengan mempertimbangkan kemungkinan terbesar sistem organ yang terkena
infeksi.
14
Empyema dada Pus Seperti pneumonia, atau flora
campuran
Abses hati Pus E coli; Bacteroides fragilis; campuran
flora aerob dan anaerob
Kolesistitis Empedu Gram-negative aerob enterik, juga B.
fragilis
Abses abdomen Pus Flora gastrointestinal
atau perirektal
15
2.3 Aspek Farmakologis
I. Farmakodinamik
Mencakup kerentanan agen infeksi, aktivitas bakteriostatik atau
bakteriosidal, serta sinergisme dan antagonisme obat. Secara umum agen yang
bekerja dengan cara menghambat dinding sel bersifat bakterisidal dan yang
menghambat protein bersifat bakteriostatik. Konsentrasi inhibitor agen yang
bersifat bakteriostatik lebih rendah dibandingkan bakterisidal.Namun
pengklasifikasian antibiotika seperti ini mempunyai beberapa keterbatasan karena
terdapat beberapa agen yang mempunyai sifat yang berbeda pada organisme
yang berbeda. Selain itu antibiotika juga dapat bersifat tergantung konsentrasi
(fluorokuinolon, aminoglikosida, dan metronidazol) dan tidak tergantung
konsentrasi (beta laktam dan glikopeptida). Aktivitas antibiotika yang tergantung
antibiotika meningkat apabila konsentrasi obat tersebut tinggi sedangkan pada
obat yang tidak tergantung konsentrasi dapat meningkat efektifitasnya apabila
dosis di atas Minimal Inhibitory Concentration.
II. Farmakokinetik
Mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasi obat di dalam tubuh.
a. Cara pemberian
Dapat secara oral dan parenteral. Absorpsi obat dipengaruhi oleh pembuluh
darah saluran cerna. Apabila pasien datang dengan gejala infeksi sistemik
seperti hipoperfusi dan hipotensi sebaiknya diberikan pemberian parenteral.
Keuntungan pemberian obat oral adalah lebih ekonomis dan tidak invasif.
Keuntungan pemberian parenteral : pada pasien kritis, meningitis atau
endokarditis, gangguan absorpsi oral (muntah, nausea), dan jenis antibiotika
yang diabsorpsi poor pada pemberian oral.
b. Faktor yang dapat menganggu farmakokinetik obat dan toksisitas obat
Pada pasien dengan gangguan hepar dan renal yang akan menganggu
eliminasi obat dan dapat berakibat toksik bagi pasien. Selain itu juga dapat
dipengaruhi oleh reaksi imunologis dan sifat toksik obat.
c. Konsentrasi obat pada cairan tubuh
Mayoritas semua golongan antibiotika terdistribusi secara merata pada cairan
dan jaringan tubuh, kecuali pada selaput otak.
d. Dosis dan durasi antibiotika
Regimen dosis pada obat yang sama dapat berbeda pada penyakit yang
berbeda, seperti siprofloksasin pada infeksi traktus urinarius 2x 250 mg selama
16
3 hari namun pada infeksi traktur urinarius yang berkomplikasi 2x500 mg selama
7-14 hari.
e. Harga
17
- Mikobakterium avium kompleks diseminata
- Helikobakter pilori
- Endokarditis e.c streptokokus alfa hemolitikus
- Vankomisin resisten enterokokus
Dalam pemberian kombinasi antibiotika, perlu pemahaman mengenai
antagonism dan sinergisme obat. Sinergisme adalah penggunaan dua antibiotika
yang bersamaan mempunyai efek inhibitor yang lebih kuat dibandingkan
penggunaan tunggal. Sinergisme dibuktikan dengan penurunan empat kali atau lebih
Minimal Inhibitory Concentration atau Minimal Bactericidal Concentration. Hal ini
dapat digunakan pada terapi endokarditis enterokokus dengan kombinasi penisilin
dengan gentamisin, trimetorfin sulfametoksasol pada pneumositis jiroveci
pneumonia. Mekanisme terjadi sinergisme adalah; blok sekuensial metabolik (contoh
jalur asam folat pada trimetorfin sulfametoksasol); inhibisi inaktivasi enzimatik
(contoh beta laktamase dengan inhibitor beta laktam); peningkatan uptake
antibiotika, contoh penisilin dapat meningkatkan uptake aminoglikosida untuk
enterokokus.
Antagonisme terjadi apabila kombinasi obat mempunyai efek yang lebih
rendah. Efek antagonisme jarang terjadi pada praktek klinis, kasus yang dilaporkan
pada pasien dengan meningitis pneumokokus yang diterapi dengan penisilin dan
klortetrasiklin. Mekanisme yang terjadi melalui;
- Inhibisi aktivitas sidal dengan agen statik; agen bakteriostatik seperti tetrasiklin
dan kloramfenikol dapat mengantagonis agen bakterisidal yang menghambat
dinidng sel dikarenakan dibutuhkan dinding sel yang aktif untuk dihambat.
- Induksi inaktivasi enzimatik; contoh kombinasi antibiotika beta laktam yang
merupakan agen penginduksi produksi beta laktamase dan dikombinasikan
dengan piperasilin.
18
Bagan 1. Alur Pemilihan Terapi Antibiotika
Gejala klinik, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang yang mendukung diagnosis infeksi
Tidak Ya
Drug specific :
Spektrum
Dosis
Apakah pasien tampak sakit berat Farmakokinetik dan farmakodinamik
Efek samping
Kombinasi
Patient specific :
Lokasi infeksi
Terapi empiris spektrum luas Penyakit penyerta
Resistensi obat
19
BAB III
KESIMPULAN
20
dapat menjadi dasar penggunaan antibiotika yang rasional dapat meminimalisasikan
angka kejadian resistensi antibiotika.
21