Anda di halaman 1dari 4

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kulit ternak pada dasarnya sama yaitu tersusun atas jaringan yang secara histologi
terdiri dari epidermis, khorium, atau dermis dan jaringan-jaringan lain di dalamnya. Kulit
sendiri merupakan salah satu hasil sampingan ternak yang memiliki nilai ekonomis yang
tinggi, dengan sentuhan teknologi, kulit ternak dapat diubah menjadi sepatu, tas, ikat
pinggang, jaket dan juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan seperti kerupuk kulit dan
gelatin.
Jenis kulit ternak yang biasa digunakan dalam proses pembuatan yaitu kulit sapi,
kerbau, domba dan kulit kambing. Kambing merupakan salah satu ternak andalan untuk
dikonsumsi dagingnya. Salah satu bagian yang dapat dimanfaatkan dari ternak ini selain
daging yaitu kulitnya. Kulit dari ternak kambing tidak begitu saja langsung dimanfaatkan
akan tetapi harus melalui proses pengolahan kulit. Melalui proses pengolahan kulit maka
akan dihasilkan kulit samak, kulit samak yang dihasilkan dapat diolah menjadi berbagai
produk sehingga mampu meningkatkan nilai jual kulit.
Penyamakan merupakan proses memodifikasi struktur kolagen, komponen utama kulit
dengan mereaksikanya dengan berbagai bahan kimia (tannin atau bahan penyamak) yang
pada umumnya meningkatkan stabilitas hidrotermal kulit tersebut dan kulit tersebut menjadi
tahan terhadap mikroorganisme (Suparno, 2005). Proses penyamakan dapat diklasifikasikan
menjadi tiga yaitu: penyamakan mineral, penyamakan nabati, dan penyamakan organik
(Suparno, 2005).
Dewasa ini, sebagian besar dunia samak disamak dengan krom yang merupakan
konsekuensi dari kemudahan proses, keluasan kegunaan produk (Suparno dkk., 2010). Selain
itu kelebihan dari penyamakan krom sendiri diantaranya ialah kulit samaknya lebih lemas,
lebih tahan terhadap panas yang tinggi, kekuatan tariknya lebih tinggi dan hasilnya lebih baik
bila dilakukan proses pengecatan.
Kualitas kulit jadi ditentukan oleh serangkaian tahapan proses penyamakan kulit, salah
satunya adalah tahapan proses bating. Proses bating ini memerlukan enzim proteolitik untuk
mendegradasi protein yang tidak diperlukan selama proses pra-penyamakan sehingga
kolagen kulit nantinya dapat berikatan dengan bahan penyamak dan tidak ada kotoran yang
dapat mengganggu sifat-sifat kulit.
Lazimnya, enzim yang digunakan dalam proses bating ini yaitu agensia enzim impor.
Namun yang kita ketahui Indonesia merupakan Negara agraris yang mana banyak
menghasilkan sumber enzim proteolitik yang berasal dari bahan nabati antara lain bromelin
yang berasal dari buah nanas (Ananas comosus). Bromelin dapat diisolasi dari cairan buah
nanas dengan cara menghancurkan jaringan buahnya. Suhu optimum enzim protease daging
buah nanas 45-50 ºC, dengan kisaran suhu 30-60 ºC enzim masih bisa bekerja dengan baik
dan pH optimum 6-7 (Susilawati dkk., 2002). Selama proses bating, aktivitas enzim akan
mempengaruhi hasil prosesnya. Makin besar konsentrasi enzim dan makin lama waktu
bating maka reaksi enzimatis yang terjadi makin besar pula dan hal tersebut akan
mempengaruhi sifat kekuatan tarik dan kemuluran kulit.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diadakan penelitian tentang “ “
TINJAUAN PUSTAKA

Histologi kulit
Kulit tenak pada dasarnya sama yaitu tersusun atas jaringan yang secara histology terdiri
dari epidermis, khorium atau dermis dan jaringan-jaringan lain di dalamnya. Sifat fisik kulit
mentah dipengaruhi oleh keadaan ternak sewaktu masih hidup dan sifat-sifat tersebut dibawa
pula setelah kulit mengalami pengawetan dan penyamakan (Triatmojo, 2014). Struktur alami
kulit ternak sangat berpengaruh terhadap kualitas kulit yang dihasilkan karenanya kulit
samak masing-masing ternak memiliki keunikanya tersendiri (Triatmojo, 2014).
Kulit secara garis besar terbagi atas tiga bagian , yaitu lapisan epidermis, lapisan corium,
dan lapisan subcutis. Lapisan epidermis merupakan lapisan paling luar dari kulit atau nama
lainya disebut lapisan tanduk yang berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Lapisan
epidermis terdapat adanya rambut, kantong rambut, dan juga kelenjar sebaceous serta
kelenjar sudoriferous yang tersusun atas serat kolagen, pada penyamakan lapisan ini harus
dibuang, kecuali apabila dilakukan penyamakan bulu (Triatmojo, 2014).
Epidermis merupakan lapisan teluar dari biasa yang disebut dengan lapisan tanduk yang
berfungsi sebagai pelindung pada hewan hidup. Lapisan epidermis ini juga menjadi tempat
kantong rambut dan tumbuhnya rambut, lapisan ini tersusun atas serat kolagen serta menjadi
tempat kelenjar sebaceous dan sudoriferus.
Dermis atau corium merupakan bagian utama dari kulit. Struktur dari corium ini yang
bertanggung jawab pada karakteristik hasil ahir kulit samak. Corium juga tersusun atas
sebagian besar serat kolagen yang berbentuk tenunan pengikat, secara rinci corium tersusun
atas jaringan kolagen, fibroblast pembuluh darah dan urat syaraf.
Lapisan hypodermis merupakan lapisan terbawah kulit yang berfungsi sebagai pemisah
antara daging dengan kulit. Pada umumnya bersifat longgar dan terdapat banyak dan terdapat
banyak tenunan lemak dan pembuluh darah. Pada proses penyamakan bagian ini biasanya
dipisahkan dari corium untuk melonggarkan tenunan sehingga memudahkan proses lebih
lanjut pada pengolahan dan penyamakan dan bagian ini biasanya hanya hasil ikutan dari
pabrik kulit (Pancapalaga, 2008).
Penyamakan
Cat asam mengandung gugus anion yang berikatan secara anionik dengan gugus asam
amino kationik dari protein kulit. Garam garam khrome pada prinsipnya akan mengikat
gugus asam karboksilat protein kulit sehingga kulit yang di samak khorme cemderung naik
jumlah muatan kationiknya. Selanjutnya garam-garam khrome akan terhidrolisa dengan
melepaskan asam yang juga menaikan jumlah keasaman dari kulit tersamaknya
(Pancapalaga, 2010).
Kombinasi dari kedua factor tesebut membuat kulit samak khrome sangat kationik, hal
ini akan berdampak pada pengecatan permukaan kulit yang tidak rata dan rendahnya tingkat
penetrasi zat ke dalam kulit. Temperatur yang meningkat dapat pula menaikan efek tersebut,
pengurangan sifat kationik dapat dilakukan dengan menggunakan masker pada proses
penyamakan dan juga mengasilkan pengecatan yang lebih rata. Pengeringan dan pembasahan
kembali pada samak khrome dapat mengurangi muatan kationik dan mengurangi kecepatan
ikatan cat, sehingga kulit-kulit crust yang telah mengalami fat liquaring dengan minyak
sulfat dan disamak ulang dengan nabati berkurang muatan kationiknya (Thorstensen, 1985).
Beberapa jenis cat asam mengandung gugus kemikalia yang mampu berkoordinasi
dengan khrome kompleks atau disebut garam masking yang dalam perdagangan disebut
sebagai “chrome mordant” kulit yang disamak mimosa dan penyamak sintesis selalu bersifat
anionik, karena gugus kationiknya terikat oleh zat penyamak sehingga mengurangi kekuatan
ikatan kulit tersamaknya dengan cat dasar asam. Akibatnya cat asam pada penyamakan
nabati mempunyai kecepatan ikatan rendah dan memberikan penetrasi yang baik serta
meratanya distribusi cat pada penampang kulit, tetapi karena total jumlah cat yang terikat
berkurang, maka warna yang dihasilkan tampak suram (Pancapalaga, 2010).
Zat penyamak sintetis lebih banyak bereaksi dengan gugus asam amino ini dan akan
memberikan warna lebih pucat bila dibandingkan dengan zat penyamak nabati. Biasanya
dilakukan penambahan asam untuk menaikan daya ikat cat pada kulit. Kulit yang disamak
mimosa maupun sintesis mempunyai suhu kerut 62 ºC sehingga penggunaan air yang
melebihi temperature tersebut pada pengecatan tidak tepat, maksimal suhu yang
diperbolehkan adalah 45 ºC. Disamping itu warna coklat yang timbul pada penyamakan
nabati, juga mengakibatkan warna menjadi suram (Pancapalaga, 2010).

Anda mungkin juga menyukai