Anda di halaman 1dari 6

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes Melitus tipe 1 (DM tipe 1) merupakan masalah yang cukup

serius karena merupakan penyakit kronik yang diderita seumur hidup, dan

hingga saat ini tidak dapat dicegah ataupun disembuhkan. Diabetes tipe ini

hanya dapat diobati dengan menggunakan insulin secara kontinu seumur hidup

penderita, dan tanpa penggunaan insulin yang tepat penderita dapat mengalami

kondisi yang mengancam nyawa seperti hipoglikemia berat ataupun

ketoasidosis diabetikum yang dapat berujung pada kematian (Rustama dkk.,

2010, Busta dkk., 2011).

Pada DM tipe 1 terjadi kelainan sistemik yang ditandai oleh

hiperglikemia kronik akibat kerusakan sel beta pankreas, sehingga produksi

insulin berkurang atau bahkan tidak ada sama sekali (Rustama dkk., 2010).

Insiden DM tipe 1 sangat bervariasi antar negara, dengan insiden tertinggi

terdapat di Finlandia yaitu 43 dari 100.000 anak usia kurang dari 15 tahun.

Angka insiden diabetes melitus tipe 1 ini akan terus meningkat di berbagai

Negara, dengan peningkatan diperkirakan 3% setiap tahunnya. Di Amerika

Serikat, didapatkan 215,000 anak dibawah usia 20 tahun mengalami DM tipe 1

pada tahun 2010, atau sekitar 1 dari 400 anak di Amerika Serikat mengalami

DM tipe 1 (Menke dkk., 2013). Di Indonesia sendiri, sebagai negara yang

sedang berkembang, insiden DM tipe 1 diperkirakan terus meningkat.

1
2

Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia, pada tahun 2007 jumlah anak

usia 0-10 tahun yang menderita DM tipe 1 dibawah 100 anak, sedangkan pada

akhir tahun 2009 menunjukkan peningkatan jumlah anak terdiagnosis DM tipe 1

yaitu 674 anak (Indonesian Pediatric Society, 2009). Data terakhir dari Unit

Kerja Koordinasi (UKK) Endokrinologi lkatan Dokter Anak Indonesia pada

bulan Juni 2012 menunjukkan 803 anak di Indonesia menderita DM tipe 1

(UKK Endokrinologi IDAI, 2012).

Proses autoimun memiliki peranan utama dalam terjadinya DM tipe 1,

dibuktikan dengan lebih dari 90% penderita DM tipe 1 memiliki autoantibodi

terhadap sel beta pankreas (Busta dkk., 2011). Proses autoimun tersebut

dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik dikaitkan

dengan pola human leukocyte antigen (HLA) tertentu, namun sistem HLA lebih

bersifat sebagai faktor kerentanan dalam patogenesis DM tipe 1. Suatu faktor

pemicu dari lingkungan (misalnya infeksi, toksik kimia) diperlukan dalam

terjadinya DM tipe 1, sehingga terbentuk antibodi yang merusak sel beta

pankreas (Rustama dkk., 2010).

Tidak seperti pada DM tipe 2 yang dapat dicegah dengan modifikasi diet

dan perilaku, tidak banyak yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya

DM tipe 1. Hingga saat ini faktor risiko kejadian DM tipe 1 masih belum jelas.

Akhir-akhir ini didapatkan beberapa bukti yang mengarahkan peranan vitamin

D dalam patogenesis dan pencegahan DM tipe 1 (Mathieu dan Badenhoop,

2005). Hal ini karena didapatkan tingginya angka kejadian defisiensi vitamin

D pada anak dengan DM tipe 1 pada berbagai penelitian, berkisar dari 38%
hingga 76%. Suatu studi kohort juga menemukan bahwa pemberian suplemen

vitamin D pada bayi dan anak selama satu tahun mengurangi risiko terjadinya

DM tipe 1 sebanyak 33%. Ditemukannya reseptor vitamin D (VDR) di

berbagai jaringan seperti pada sistem skeletal, ginjal, kulit, hepar, lambung, sel

islet pankreas dan juga pada sel imun mengarahkan hipotesis dimana vitamin

D dapat mempengaruhi proses autoimun (Danescu dkk., 2009, Busta dkk.,

2011).

Vitamin D, selain memiliki fungsi dalam pembentukan sistem skeletal,

juga memiliki efek ekstra-skeletal yaitu bersifat sebagai immunomodulasi dan

antiinflamasi, sehingga dapat menghambat proses autoimun dan reaksi

inflamasi pada sel beta pankreas yang terjadi pada DM tipe 1. Vitamin D aktif,

lα25(OH)2D3, mencegah DM tipe I melalui mekanisme penekanan sekresi

sitokin tipe 1, menghambat maturasi sel dendritik, menekan kemampuan

makrofag sebagai antigen presenting cell (APC), memodulasi perkembangan

limfosit CD4, sehingga terjadi pergeseran sel limfosit T aktif, serta

menghambat produksi interferon γ (IFN-γ) dan interleukin 2 (IL-2). Sitokin

tersebut berperan dalam perekrutan dan aktivasi sel T, sel T sitotoksik, dan

mengaktifkan makrofag, yang pada akhirnya menyebabkan destruksi sel beta

pankreas seperti yang terjadi pada DM tipe 1 (Peechakara dkk., 2008, Danescu

dkk., 2009).

Status vitamin D diklasifikasikan berdasarkan rekomendasi American

Academy of Pediatrics menjadi normal dengan kadar vitamin D 30-100 ng/mL,

insufisiensi dengan kadar vitamin D 20 sampai kurang dari 30 ng/mL, dan


defisiensi dengan kadar vitamin D dibawah 20 ng/mL (Wagner dkk., 2008).

Suatu penelitian kasus-kontrol tahun 2009 pada anak dengan DM tipe 1

di daerah subtropis mendapatkan perbedaan prevalensi defisiensi vitamin D

yang signifikan antara kelompok kasus (90,6%) dan kontrol (85,3%) (Bener,

2009). Indonesia sebagai negara tropis yang kaya akan paparan sinar matahari

seharusnya tidak memiliki masalah dengan kadar vitamin D. Suatu penelitian

yang dilakukan di Jakarta tahun 2011 pada anak sekolah dasar usia 7-12 tahun

menemukan bahwa 75% anak mengalami kekurangan kadar vitamin D. Hal ini

berkaitan dengan perubahan gaya hidup saat ini dimana anak menjadi lebih

jarang terpapar sinar matahari sehingga menghambat pembentukan vitamin D.

Selain itu, belum tersedianya makanan terfortifikasi sebagai penambah asupan

vitamin D di Indonesia meningkatkan risiko defisiensi vitamin D pada anak

(Pulungan dkk., 2011).

Rendahnya kadar vitamin D dalam tubuh dapat mengakibatkan

terhambatnya pertumbuhan tulang pada anak dan menyebabkan berkurangnya

densitas kepadatan tulang, sehingga meningkatkan risiko anak mengalami fraktur

nantinya. Diabetes melitus tipe 1 sendiri memiliki efek negatif terhadap sistem

skeletal, dimana terjadi penurunan densitas mineral tulang sehingga meningkatkan

risiko fraktur saat penderita berusia dewasa muda. Mekanisme kerusakan tulang

pada DM tipe 1 diperkirakan melalui peningkatan glikasi kolagen tulang,

hiperkalsiuria, dan mikroangiopati diabetik yang menyebabkan menurunnya aliran

darah menuju tulang. Akibat efek negatif defisiensi vitamin D dan DM tipe 1 pada

sistem skeletal, anak dengan kedua kondisi tersebut


memiliki risiko kerapuhan tulang yang besar dibandingkan dengan anak tanpa

diabetes melitus tipe 1 (Svoren dkk., 2009).

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian sebelumnya mengenai peranan vitamin D pada DM

tipe 1, maka timbul pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah anak dengan DM tipe 1 memiliki frekuensi defisiensi vitamin D

lebih tinggi dibandingkan anak tanpa DM tipe 1?

2. Apakah anak dengan DM tipe 1 memiliki frekuensi insufisiensi vitamin D

lebih tinggi dibandingkan anak tanpa DM tipe 1?

3. Berapakah nilai rata-rata kadar vitamin D pada anak dengan DM tipe 1?

4. Berapakah nilai rata-rata kadar vitamin D pada anak tanpa DM tipe 1?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui anak dengan DM tipe 1 memiliki frekuensi defisiensi

vitamin D lebih tinggi dibandingkan anak tanpa DM tipe 1.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk membuktikan anak dengan DM tipe 1 memiliki frekuensi defisiensi

vitamin D lebih tinggi dibandingkan anak tanpa DM tipe 1.

2. Untuk membuktikan anak dengan DM tipe 1 memiliki frekuensi

insufisiensi vitamin D lebih tinggi dibandingkan anak tanpa DM tipe 1.


3. Untuk mengetahui kadar rata-rata vitamin D pada anak dengan DM tipe 1.

4. Untuk mengetahui kadar rata-rata vitamin D pada anak tanpa DM tipe 1.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat bidang pengembangan akademik

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan landasan ilmiah mengenai

defisiensi vitamin D sebagai faktor risiko terjadinya DM tipe 1 pada anak.

1.4.2 Manfaat bidang pelayanan masyarakat

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai langkah untuk

memberikan informasi pada masyarakat mengenai manfaat vitamin D dalam

mencegah DM tipe 1.

1.4.3 Manfaat pengembangan penelitian

Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai data dasar untuk pengembangan

penelitian mengenai vitamin D dan DM tipe 1 selanjutnya di masa yang akan

datang.

Anda mungkin juga menyukai