Anda di halaman 1dari 33

Makalah

Manajemen Perpajakan

TINGKAT PENGUNGKAPAN AKTIVITAS DERIVATIF TERHADAP


AVOIDANCE TAX

Dosen Pengampu:
Annasthasya P. Erasashanti. SE., M.Si

Disusun oleh:
1811070067 Yuyun Laily Sya’bana

FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI (LANJUTAN) – INTENSIF
INSTITUT KEUANGAN PERBANKAN DAN INFORMATIKA ASIA
(ASIA BANKING FINANCE AND INFORMATICS INSTITUTE)
PERBANAS
JAKARTA
2020
2
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...................................................................................................................……..2
KATA PENGANTAR...............................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................................7
1.3 Tujuan Penelitian............................................................................................................7
1.4 Manfaat Penelitian..........................................................................................................7
BAB II KAJIAN TEORI...........................................................................................................8
2.1 Perencanaan Pajak (Tax Planning).................................................................................8
2.1.1 Pengertian Perencanaan Pajak (Tax Planning)....................................................8
2.1.2 Tujuan Perencanaan Pajak (Tax Planning).........................................................8
2.1.3 Manfaat Perencanaan Pajak (Tax Planning).......................................................9
2.1.4 Strategi Perencanaan Pajak (Tax Planning)........................................................9
2.2 Tax Avoidance..............................................................................................................10
2.3 Derivatif Keuangan.......................................................................................................10
2.3.1 Pengertian Derivatif Keuangan.........................................................................10
2.3.2 Jenis Derivatif Keuangan...................................................................................11
2.4 Peraturan Akuntansi terhadap Instrumen Derivatif Keuangan.....................................14
2.5 Peraturan Pajak Instrumen Derivatif Keuangan...........................................................20
BAB III PEMBAHASAN.......................................................................................................23
3.1 Tinjauan Derivatif Keuangan terhadap Avoidance Tax................................................23
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................26
4.1 Kesimpulan...................................................................................................................26
4.2 Saran.............................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................................27

KATA PENGANTAR
3
4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan merupakan suatu organisasi yang bertujuan untuk


memperoleh laba. Untuk mencapai tujuan tersebut perusahaan dalam
menjalankan operasional perlu mempertimbangkan bagaimana memperoleh
pendapatan yang sebesar-besarnya dan memperkecil biaya/beban. Salah satu
usaha untuk memperkecil beban perusahaan dalam bidang perpajakan yaitu
melakukan Tax Planning (Perencanaan perpajakan) dengan cara Tax avoidance
(penghindaran perpajakan).

Tax avoidance (penghindaran perpajakan) adalah upaya perusahaan


untuk dapat memperkecil pembayaran pajaknya. Penghindaran pajak merupakan
salah satu upaya perusahaan manajemen pajak. Tax avoidance dapat dikatakan
sebagai upaya untuk untuk menghindarkan pajak dengan cara legal dan aman
karena dianggap tidak bertentangan dengan ketentuan hukum perpajakan.
Radiansah & Nofryanti (2015) menyatakan bahwa pimpinan perusahaan terlibat
dalam pembuatan kebijakan tax avoidance yang dilakukan dengan pengambilan
keputusan dan kebijakan yang berbeda-beda.

Kebijakan Tax avoidance dianggap dapat memperkecil penerimaan


negara karena pajak yang dibayarkan ke kas Negara menjadi lebih rendah.
Menurut Pohan (2017) kebijakan tax avoidance yang dilakukan oleh perusahan
menggunakan metode dan teknik yang berbeda biasanya dengan cara
memanfaatkan kelemahan dalam UU serta peraturan perpajakan (Pohan, 2017).

5
Perusahaan cenderung melakukan penghindaran pajak dengan cara
melakukan praktik mamajemen laba. Pincus dan Rajgopal (2002) menyatakan
bahwa transaksi derivatif merupakan salah satu praktik manajemen laba.
Perusahaan memanfaatkan transaksi derivatif sebagai praktik manajemen laba
karena adanya peningkatan yang signifikan terhadap transaksi derivatif saat ini
(Wyman, 2013). Oleh sebab itu transaksi derivatif dapat dijadikan sebagai cara
untuk menghindari pajak.

Namun, masih terdapat masalah-masalah regulasi terkait dengan


penggunaan derivatif keuangan oleh perusahaan publik di Indonesia. Salah satu
contoh masalah regulasi antara lain terkait dengan perpajakan. Peraturan
perpajakan atas transaksi derivatif di Indonesia masih lemah dan sering
menimbulkan perdebatan. Contohnya, bagaimana perlakuan atas rugi derivatif
untuk tujuan spekulasi apakah dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena
pajak (deductible expense)? Menurut Darussalam dan Karyadi (2009), kerugian
dari transaksi derivatif yang bukan untuk tujuan lindung nilai (hedging)
seharusnya tidak diperbolehkan untuk diakui sebagai deductible expense.

Rugi derivatif yang bersifat spekulasi (loss from speculative), apakah


deductible atau tidak? Penjelasan Pasal 6 (1) huruf a Undang-Undang Pajak
Penghasilan menyebutkan bahwa:

“Untuk dapat dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran


tersebut harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak langsung
dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak”.

Adanya perbedaan perlakuan atas derivatif dengan tujuan spekulasi


dalam hal perpajakan tersebut seringkali menimbulkan sengketa antara aparat
pajak dengan wajib pajak (Darussalam dan Karyadi, 2009). Ketidakjelasan dari
peraturan perpajakan atas transaksi derivatif yang terus dibiarkan menyebabkan
sengketa yang sulit untuk dihindari dan sulit untuk diselesaikan antara aparatur
pajak dengan wajib pajak.

6
Ketidakjelasan peraturan perpajakan atas transaksi derivatif dapat
menjadi celah bagi perusahaan dalam melakukan aktivitas penghindaran pajak
(Darussalam dan Septriadi, 2009). Robert H. Anderson (dalam Siti Kurnia
Rahayu, 2010), melihat penghindaran pajak sebagai suatu cara untuk
mengurangi pajak yang dilakukan dalam batasan aturan perpajakan dan dapat
dibenarkan terutama melalui perencanaan perpajakan (tax planning). Aktivitas
penghindaran pajak tersebut dapat menyebabkan kerugian dari sisi penerimaan
negara. Darussalam dan Septriadi (2009) menyatakan bahwa untuk menjaga
penerimaan negara dari risiko kerugian yang diakibatkan oleh penggunaan
instrumen derivatif tujuan spekulasi yang tidak berkaitan dengan usaha,
Pemerintah Indonesia sebaiknya mengadopsi peraturan perpajakan atas transaksi
derivatif yang lebih baik dari negara lainnya.

Pincus dan Rajgopal (2002) menyatakan bahwa penggunaan instrumen


derivatif keuangan sebagai salah satu bentuk praktik manajemen laba. Praktik
manajemen laba terjadi karena adanya konflik kepentingan antara agent dengan
principal, seperti yang dijelaskan dalam teori keagenan (agency theory). Teori
tersebut menyatakan bahwa praktik manajemen laba dipengaruhi oleh konflik
kepentingan antara pihak yang berkepentingan (principal) dengan pihak yang
menjalankan kepentingan (agent). Dalam penelitian ini fiskus pajak bertindak
sebagai principal yang menghendaki pendapatan pajak maksimal, sedangkan
Wajib Pajak atau perusahaan bertindak sebagai agent yang cenderung mengejar
tujuan pribadi (opportunistic). Perusahaan cenderung menginginkan tingkat laba
yang tinggi dengan cara meminimalisir pajak yang akan dibayarkan melalui
perencanaan pajak (tax planning), sedangkan fiskus pajak cenderung tetap
menghitung pajak penghasilan perusahaan sesuai dengan ketentuan Undang-
Undang yang berlaku.

Hofman (dalam Arles P. Omposunggu, 2011) menyatakan bahwa secara


teoritis perencanaan pajak (tax planning) dikenal sebagai effective tax planning,
yaitu seorang Wajib Pajak berusaha mendapatkan penghematan pajak melalui
prosedur penghindaran pajak (tax avoidance) secara sistematis sesuai dengan
ketentuan Undang-Undang perpajakan.

7
Studi mengenai penggunaan derivatif keuangan sebagai alat
penghindaran pajak (tax avoidance) masih sangat sedikit, padahal derivatif
keuangan dapat digunakan sebagai alat penghindaran pajak (Donohoe, 2012).
Menurut Donohoe (2012), penggunaan derivatif keuangan sebagai alat
penghindaran pajak didorong oleh adanya ambiguitas peraturan perpajakan atas
transaksi derivatif.

Di Indonesia, peraturan perpajakan yang mengatur transaksi derivatif


keuangan masih lemah dan menimbulkan perdebatan antara fiskus dan wajib
pajak sehingga lebih memungkinkan bagi perusahaan di Indonesia untuk
melakukan aktivitas penghindaran pajak dengan menggunakan derivatif
keuangan (Darussalam dan Septriadi, 2009).

Oleh karena itu, makalah ini dilakukan untuk meninjau pengaruh dari
penggunaan derivatif keuangan sebagai sarana penghindaran pajak oleh
perusahaan. Faktor-faktor yang akan ditinjau dalam makalah ini yaitu tingkat
pengungkapan derivatif keuangan dan penggunaan derivatif keuangan oleh
perusahaan. Makalah ini akan meninjau apakah tingkat pengungkapan dan
penggunaan derivatif keuangan oleh perusahaan memiliki pengaruh terhadap
aktivitas penghindaran pajak oleh perusahaan di Indonesia dari beberapa
penelitian sebelumnya. Judul dari penelitian ini adalah TINGKAT
PENGUNGKAPAN AKTIVITAS DERIVATIF TERHADAP AVOIDANCE
TAX

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka rumusan masalah
yang ada pada makalah ini adalah:

1. Jelaskan Pengertian Tax Planning, Tax Avoidance, Transaksi Derivatif?


2. Apakah Derivatif Keuangan, berpengaruh terhadap penghindaran pajak
(tax avoidance)?
3. Apakah penggunaan derivatif keuangan berpengaruh terhadap
penghindaran pajak (tax avoidance)?

8
1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dijelaskan sebelumnya, maka


tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:

1.Untuk mengetahui Tax Planning, Tax Avoidance, Transaksi Derivatif.


2.Untuk mengetahui penggunaan derivatif keuangan berpengaruh terhadap
penghindaran pajak (tax avoidance).

1.4 Manfaat Penelitian


Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti sehubunagn dengan
Tax Planning Derivatif Keuangan.
2. Bahan referensi bagi masyarakat pada umumnya yang dapat digunkaan
sebagai sumber informasi maupun untuk melanjutkan penelitian ini.

9
BAB II
KAJIAN TEORI

2.1 Perencanaan Pajak (Tax Planning)


2.1.1 Pengertian Perencanaan Pajak
Menurut Mangoting (1999) tax planning didefinisikan sebagai proses
mengorganisasi usaha wajib pajak atau kelompok wajib pajak sedemikian rupa
sehingga hutang pajaknya baik pajak penghasilan maupun pajak-pajak lainnya
berada dalam posisi yang minimal, sepanjang hal ini dimungkinakan oleh
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Pardiat (2009) perencanaan pajak (tax planning) merupakan usaha
untuk memperkecil pembayaran pajak ke tahun-tahun berikutnya tanpa
melanggar ketentuan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku, dengan cara
memilih metode yang cepat, memanfaatkan fasilias perpajakan atau stimulus
perpajakan dan memanfaatkan celah-celah undang-undang perpajakan.
Menurut Soemitro (1988) dalam Kurniasih & Sari (2013) tax planning
adalah suatu perencanaan pajak yang dilakukan oleh seorang tax planner untuk
wajib pajak tertentu baik perorangan, badan atau suatu usaha dengan
menerapkan perturan perundang-undangan pajak secara legal dan terhadap suatu
keadaan atau perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-
undang sehingga wajib pajak membayar pajak seringan-ringannya atau sama
sekali tidak membayar pajak.
Jadi dapat disimpulkan bahwa perencanaan pajak (tax planning) adalah
usaha yang dilakukan untuk meminimalkan atau menghilangkan beban pajak
dengan memanfaatkan celah-celah undang-undang perpajakan tanpa melanggar
hukum.
2.1.2 Tujuan Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Tujuan tax planning menurut Mangoting (1999) secara lebih khusus
ditujukan untuk memenuhi hal-hal sebagai berikut:
1) Menghilangkan atau menghapus pajak sama sekali
2) Menghilangkan atau menghapus pajak dalam tahun berjalan
3) Menunda pengakuan penghasilan
4) Mengubah penghasilan rutin berbentuk capital gain

10
5) Memperluas bisnis atau melakukan ekspansi usaha dengan membentuk
badan usaha baru
6) Menghindari pengenaan pajak ganda
7) Menghindari bentuk penghasilan yang bersifat rutin atau teratur atau
membentuk, mempercepat atau memperbanyak pengurangan pajak.
Secara umum tujuan pokok yang ingin dicapai dari perencanaan pajak
yang baik adalah sebagai berikut:
1) Meminimalisir beban pajak yang terutang
2) Memaksimumkan laba setelah pajak
3) Meminimalkan terjadinya kejutan pajak (Tax Surprise) jika terjadi
pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus
4) Memenuhi kewajiban perpajakannya secara benar, efisiensi dan efektif
sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku (Pohan, 2011)
2.1.3 Manfaat Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Manfaat perencanaan pajak (Tax Planning) menurut Mangoting (1999)
adalah sebagai berikut:
1) Penghematan kas keluar, karena pajak yang merupakan unsur biaya dapat
dikurangi.
2) Mengatur aliran kas, karena dengan perencanaan pajak yang matang dapat
diestimasi kebutuhan kas untuk pajak dan menentukan saat pembayaran
sehingga perusahaan dapat menyusun anggaran kas secara lebih akurat.
2.1.4 Strategi dalam Perencanaan Pajak (Tax Planning)
Menurut Sophar Lumbantoruan (1996) dalam Mangoting (1999) ada
beberapa cara yang biasanya dilakukan atau dipraktekan wajib pajak untuk
meminimalkan pajak yang harus dibayar yaitu:

1) Pergeseran pajak (shifting) ialah pemindahan atau mentransfer beban pajak


dari subjek pajak kepada pihak lain, dengan demikian orang atau badan
yang dikenakan pajak mungkin sekali tidak menanggungnya.
2) Kapitalisasi ialah pengurangan harga objek pajak sama dengan jumlah
pajak yang akan dibayarkan kemudian oleh pembeli.
3) Transformasi ialah cara pengelakan pajak yang dilakukan oleh pabrikan
dengan cara menanggung beban pajak yang dikenakan terhadapnya.

11
4) Tax Evasion ialah penghindaran pajak dengan melanggar ketentuan
peraturan perpajakan.
5) Tax avoidance ialah penghindaran pajak dengan menuruti peraturan yang
ada.

Jadi dapat disimpulkan, bahwa ada strategi-strategi yang bisa diambil oleh
wajib pajak terutama badan, dalam usahanya melaksanakan tax planning
dengan tujuan mengatur atau dengan kata lain meminimalkan jumlah pajak
yang harus dibayar. Di antara strategi-strategi tersebut ada yang legal maupun
illegal. Untuk strategi-strategi atau cara-cara yang legal –sesuai dengan aturan
undang-undang yang berlaku, biasanya dilakukan dengan memanfaatkan hal-
hal yang tidak diatur dalam undang-undang atau dalam hal ini memanfaatkan
celah-celah yag ada dalam undang-undang perpajakan (loopholes) (Mangoting,
1999)
2.2 Tax Avoidance
Penghindaran Pajak (Tax Avoidance) adalah upaya penghindaran yang
dilakukan secara legal dan aman bagi wajib pajak karena tidak bertentangan
dengan ketentuan perpajakan, dimana metode dan teknik yang digunakan
cenderung memanfaatkan undang-undang dan peraturan perpajakan itu sendiri,
untuk memperkecil jumlah pajak yang terutang (Sari, 2013: 51).
Penghindaran pajak ini sengaja dilakukan oleh perusahaan dalam rangka
memperkecil besarnya tingkat pembayaran pajak yang harus dilakukan dan
meningkatkan cash flow perusahaan. Seperti disebutkan oleh Budiman dan
Setiyono (2012) bahwa manfaat dari adanya tax avoidance adalah untuk
memperbesar tax saving yang berpotensi mengurangi pembayaran pajak sehingga
akan menaikkan cash flow.
2.3 Derivatif Keuangan
2.3.1 Pengertian Derivatif Keuangan
Efek derivtaif merupakan Efek turunan dari Efek “utama” baik yang
bersifat penyertaan maupun utang. Efek turunan dapat berarti turunan langsung dari
Efek “utama” maupun turunan selanjutnya. Derivatif merupakan kontrak atau

12
perjanjian yang nilai atau peluang keuntungannya terkait dengan kinerja asset lain.
Asset lain ini disebut sebgai Underlying Assets.
Dalam pengertian yang lebih khusus, derivatif merupakan kontrak finansial
antara 2 (dua) atau lebih pihak-pihak guna memenuhi janji untuk membeli atau
menjual asset/komoditas yang dijadikan sebgaai objek yang diperdagangkan pada
waktu dan harga yang merupakan kesepakatan bersama antara pihak penjua dan
pihak pembeli. Adapun nilai di masa mendatang dari objek yang diperdagangkan
tersebut sangat dipengaruhi oleh instrumen induknya yang ada di spot market.
Derivatif yang ada di bursa efek adalah derivatif keuangan (financial
derivative). Derivatif keuangan merupakan instrument derivatif, di mana variabel-
variabel yang mendasarinya adalah instrumen-instrumen keuangan, yang dapat
berupa saham, obligasi, indeks saham, indeks obligasi, mata uang (currency),
tingkat suku bunga dan instrument-instrumen keuangan lainnnya (www.idx.co.id).
2.3.2 Jenis Derivatif
Berdasar kutipan Bendi Devi (2011) bentuk paling umum derivatif terdiri
atas option, future dan forward, dan swap (Kumar dan Singh, 2014; Ryan, 2007
dan Strong 2005 dalam Donohoe, 2011). Stulz (2004) membagi derivatif
menjadi plain vanilla dan exotic. Plain vanilla terdiri atas option, future dan
forward, swap, serta derivatif kombinasi. Exotic derivatives merupakan bentuk
derivatif selain bentuk umum, derivatif ini lebih kompleks biasanya terkait
kompleksitas penentuan pembayaran kontrak. Penjelasan masing-masing bentuk
umum derivatif adalah sebagai berikut:
1) Kontrak forward dan future.
Forward Contracts merupakan suatu kontrak yang mengharuskan satu pihak
membeli instrumen dasar pada harga tertentu di suatu waktu di masa depan,
yang disebut “maturity”, dari counterparty yang berkewajiban menjual
instrument dasar tersebut pada harga yang telah ditetapkan tersebut (Stulz,
2004). Godaria menyebut forward sebagai bentuk paling sederhana kontrak
derivatif. Forward ini biasa digunakan untuk aktivitas lindung nilai atas
fluktuasi harga instrumen dasar. Selain forward, ada bentuk kontrak serupa
dengan nama kontrak future. Future berbeda dari forward berdasarkan standar
kontraknya. Kontrak forward dilaksanakan sesuai kebutuhan pihak-pihak yang

13
berkontrak, sedangkan kontrak future diperjualbelikan di bursa tertentu dengan
bentuk bentuk kontrak yang sudah standar. Pihak-pihak yang berkontrak future
mengikuti bentuk standar kontrak.
Contoh transaksi forward sebagai berikut, importir A, di Indonesia,
berencana untuk mengimpor peralatan seharga US$50.000 pada tanggal tertentu
di masa depan. Fluktuasi harga Dolar Amerika Serikat terhadap Rupiah
membuat importir A memasuki kontrak untuk mengunci harga Dolar sebesar
Rp12.000/US$. Importir A mengadakan kontrak forwards dengan B. Pada saat
kontrak telah “matured”, A akan membayar B sebesar sebesar Rp 600.000.000
(Rp12.000 x US$50.000) dan B menyerahkan sejumlah US$50.000 terlepas dari
berapa harga US$ terhadap Rp pada tanggal tersebut.

Gambar II.1 – Ilustrasi Kontrak Forward

Sumber: Adaptasi dari Goradia, Shefali. Taxation of Derivatives. Nishith Desai


Associates
2) Kontrak option.
Option merupakan variasi lain dari kontrak forward dan future. Option
merupakan kontrak yang memberikan hak, bukan kewajiban, bagi pemegang
kontrak untuk membeli atau menjual suatu instrumen dasar pada harga yang
telah ditentukan pada periode tertentu. Option terbagi menjadi dua jenis, yakni
put option dan call option. Put option berupa hak untuk menjual instrumen dasar
sedangkan call option berupa hak untuk membeli suatu instrumen dasar. Harga
yang telah ditentukan dalam kontrak disebut dengan exercise price. Pihak yang
menerbitkan kontrak option disebut dengan option writer. Untuk mengadakan
kontrak option, tidak seperti pada kontrak forward dan future, ada harga yang
harus dibayar oleh pembeli kontrak. Harga kontrak ini disebut dengan option
premium. Pemegang kontrak option dapat melakukan exercise kontrak ketika

14
kondisi dalam periode kontrak menguntungkannya. A B Nilai kontrak Rp
600.000.000 USD 50.000.
Sebagai contoh, seorang investor A memasuki kontrak option untuk
membeli (call option) 100 lembar saham PT XYZ pada harga kini Rp10.000 per
lembar saham pada periode tiga bulan ke depan. Untuk memasuki kontrak
option tersebut, investor A harus membayar option premium sebesar Rp1.000
per lembar saham. Dengan demikian,
investor A dapat membeli call option dengan membayar Rp100.000 (Rp1.000 x
100) yang memberikannya hak untuk membeli 100 lembar saham PT XYZ pada
harga Rp10.000 per lembar saham. Kenaikan harga saham PT XYZ memberi
keuntungan pada investor A sehingga ia melakukan exercise terhadap
kontraknya. Sebaliknya, penurunan harga saham XYZ menyebabkan kerugian
sehingga investor A tidak perlu melakukan exercise terhadap kontraknya. Misal,
harga saham PT XYZ naik menjadi Rp12.000 per lembar, A menghasilkan
keuntungan sebesar Rp100.000 {(Rp12.000 - Rp10.000) x 100 lembar –
Rp100.000 option premium). Jika harga saham turun menjadi Rp0, A hanya
menderita kerugian sebesar option premium saja karena tidak ada kewajiban
untuk membeli saham PT XYZ.
Gambar II.2 – Ilustrasi Kontrak Option

Sumber: Adaptasi dari Goradia, Shefali. Taxation of Derivatives. Nishith


Desai
Associates
3) Kontrak swap.
Stulz (2004) mendefinisikan swap sebagai kontrak untuk
mempertukarkan arus kas sepanjang masa kontrak. Sedangkan Goradia

15
menyebutkan bahwa swap merupakan kontrak dimana pihak-pihak terkait setuju
untuk saling mempertukarkan kewajiban yang terkait dengan kontrak dasarnya.
Pada kontrak swap, pihak yang melakukan perjanjian kontrak
menetapkan nilai dasar yang akan dijadikan patokan untuk A PT XYZ Option
premium Rp100.000 Pembayaran bersih berdasarkan laba/rugi (opsional)
menghitung arus kas, nilai ini disebut dengan nilai nosional (notional amount).
Dalam kontrak swap, tidak terjadi pertukaran nilai nosional. Sebagai contoh, A
memiliki pinjaman dari B sebesar Rp100.000.000 pada LIBOR + 2%. Untuk
mengantisipasi fluktuasi LIBOR, A memasuki kontrak swap dengan bank untuk
mempertukarkan suku bunga variabel pinjaman dari B dengan suku bunga tetap
kepada Bank C, misalkan 9%. Dengan kontrak swap, A membayar sebesar 9%
dikalikan nosional Rp100.000.000, sedangkan Bank C membayar kepada A
sebesar LIBOR + 2% dikalikan notional Rp100.000.000. Dengan demikian, A
seakan membayar bunga tetap sebesar 9% atas pinjamannya yang sebesar
Rp100.000.000.

Gambar II.3 – Ilustrasi Kontrak Swap

Sumber: Adaptasi dari Goradia, Shefali. Taxation of Derivatives. Nishith Desai


Associates

4) Derivatif kombinasi dan derivatif melekat.

16
Dalam praktiknya, jenis derivatif ini sering dikombinasikan satu sama
lain. Contohnya, swaption yang memberikan hak kepada pemegang kontrak
untuk memasuki kontrak swap di masa depan. Future option memungkinkan
pemegang kontrak untuk memasuki kontrak future jika pemegang melakukan
exercise kontrak option-nya. Selain itu, jenis lain dari derivatif adalah derivatif
melekat (embedded derivative) dimana derivatif melekat pada instrumen lain.
Sebagai contoh, surat utang yang dapat dikonversi (convertible bond) yang
memberikan hak kepada pemegang kontrak untuk mengkonversi surat hutang
menjadi saham di masa depan.

2.4 Perlakuan Akuntansi Instrumen Derivatif Keuangan


Standar akuntansi untuk instrumen keuangan derivatif diatur dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan 55 (PSAK 55) tentang Instrumen Keuangan:
Pengakuan dan Pengukuran dan PSAK 60 tentang Instrumen Keuangan:
Pengungkapan. PSAK 55 revisi terbaru pada tahun 2014 berpedoman pada
International Accounting Standard 39 (IAS 39) revisi tahun 2012. Sedangkan
PSAK 60 berpedoman pada International Financial Reporting Standard 7 (IFRS 7)
revisi tahun 2011. Pada subbab ini, akan dibahas gambaran umum instrumen
keuangan serta perlakuan akuntansi untuk derivative dan lindung nilai.

a. Gambaran umum instrumen keuangan

PSAK 50 tentang Instrumen Keuangan: Penyajian mendefinisikan


instrument keuangan sebagai setiap kontrak yang menambah nilai aset keuangan
entitas dan kewajiban keuangan atau instrumen ekuitas entitas lain. Berdasarkan
jenisnya instrumen keuangan dapat dibagi menjadi lima, yakni aset keuangan,
liabilitas keuangan, instrumen ekuitas, instrumen derivatif, dan instrumen
lindung nilai. Aset keuangan dapat diartikan sebagai hak kontraktual untuk
menerima kas atau asset keuangan lainnya dari entitas lain atau untuk
mempertukarkan aset keuangan dengan entitas lain dengan kondisi berpotensi
untung. Sedangkan liabilitas keuangan dapat diartikan sebagai kewajiban
kontraktual untuk menyerahkan kas atau aset keuangan lain kepada entitas lain

17
atau untuk mempertukarkan aset keuangan atau kewajiban keuangan dengan
entitas lain dengan kondisi yang berpotensi tidak menguntungkan entitas.
Aset keuangan dikategorikan sebagai berikut:
1) Aset keuangan untuk diukur pada nilai wajar melalui laba rugi, berupa asset
keuangan yang dimiliki untuk diperdagangkan atau aset keuangan yang pada
saat pengakuan awal telah ditetapkan oleh entitas untuk diukur pada nilai
wajar melalui laba rugi;
2) Investasi dimiliki hingga jatuh tempo, adalah aset keuangan nonderivatif
dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan jatuh temponya telah
ditetapkan, serta entitas mempunyai tendensi positif dan kemampuan untuk
memiliki aset keuangan tersebut hingga jatuh tempo;
3) Pinjaman yang diberikan dan piutang, adalah aset keuangan nonderivatif
dengan pembayaran tetap atau telah ditentukan dan tidak mempunyai kuotasi
di pasar aktif;
4) Aset keuangan tersedia untuk dijual, adalah aset keuangan nonderivatif yang
ditetapkan sebagai tersedia untuk dijual atau yang tidak diklasifikasikan
sebagai (a) pinjaman yang diberikan dan piutang, (b) investasi yang
diklasifikasikan dalam kelompok dimiliki hingga jatuh tempo, atau (c) aset
keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laba rugi.
Sementara liabilitas keuangan dikategorikan menjadi dua, yaitu 1)
liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laba rugi dan 2)
liabilitas lain. Liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar melalui laba rugi
merupakan liabilitas keuangan yang dimiliki untuk diperdagangkan atau pada
saat pengakuan awal telah ditetapkan oleh entitas untuk diukur pada nilai wajar
melalui laba rugi. Sedangkan liabilitas lain merupakan kewajiban kontraktual
selain ditetapkan untuk diukur pada nilai wajar melalui laba rugi. Sedangkan
instrumen ekuitas adalah suatu kontrak yang membuktikan suatu kepentingan
residual di dalam aset suatu entitas setelah dikurangkan dengan semua
liabilitasnya.
Instrumen keuangan derivatif berdasarkan PSAK 55 didefinisikan
sebagai suatu instrumen keuangan atau kontrak lain dengan tiga karakteristik
sebagai berikut:

18
a. nilainya berubah sebagai akibat dari perubahan variabel yang telah
ditentukan (sering disebut dengan variabel yang mendasari), antara lain:
suku bunga, harga instrumen keuangan, harga komoditas, kurs, indeks
harga atau indeks suku bunga, peringkat kredit atau indeks kredit, atau
variabel lain. Untuk variabel nonkeuangan, variabel tersebut tidak
spesifik dengan pihak-pihak dalam kontrak;
b. tidak memerlukan investasi awal neto atau memerlukan investasi awal
neto dalam jumlah yang lebih kecil dibandingkan dengan jumlah yang
diperlukan untuk kontrak serupa lain yang diperkirakan akan
menghasilkan dampak yang serupa sebagai akibat perubahan faktor
pasar; dan
c. diselesaikan pada tanggal tertentu di masa depan.
Instrumen keuangan derivatif yang dimiliki untuk diperdagangkan merupakan
bagian dari aset keuangan atau liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar
melalui laba rugi. Instrumen derivatif yang diadakan dalam rangka manajemen
risiko, atau selain untuk diperdagangkan, dan memiliki efektivitas lindung nilai
sangat tinggi, termasuk ke dalam kategori instrumen lindung nilai dan bukan
bagian dari aset keuangan atau liabilitas keuangan yang diukur pada nilai wajar
melalui laba rugi.
b. Perlakuan akuntansi instrumen keuangan derivatif dan lindung nilai
PSAK mensyaratkan derivatif untuk dicatat sebagai aset atau liabilitas.
Derivatif
dilaporkan di laporan posisi keuangan pada nilai wajar. PSAK 68
mendefinisikan nilai wajar sebagai harga yang akan diterima untuk menjual
suatu aset atau harga yang akan dibayar untuk mengalihkan suatu liabilitas
dalam transaksi teratur antara pelaku pasar pada tanggal pengukuran. Biaya
transaksi terkait kontrak derivatif langsung dibebankan pada laporan laba rugi.
Namun, ada pengecualian pengukuran derivative yang tidak bisa didapatkan
nilai wajar yang handal, untuk kasus seperti ini derivative diukur pada biaya
yang dikeluarkan (at cost). Contoh transaksi derivatif dimana pengukuran nilai
wajar tidak bisa diukur secara andal adalah kontrak option untuk membeli saham
perusahaan baru yang belum diperdagangkan di bursa efek.

19
Fungsi derivatif terbagi menjadi dua, derivatif digunakan untuk
spekulatif dan lindung nilai. Untuk derivatif yang diadakan untuk tujuan
spekulasi atau untuk diperdagangkan, derivatif dicatat sebagai aset atau liabilitas
yang diukur pada nilai wajar melalui laba rugi. Laba atau rugi terkait perubahan
nilai wajar derivatif yang diklasifikasikan pada aset atau liabilitas yang diukur
pada nilai wajar melalui laba rugi
langsung direalisasi pada laporan laba rugi pada periode bersangkutan sehingga
langsung mempengaruhi laba/rugi tahun berjalan.
Untuk derivatif yang diadakan untuk lindung nilai tujuan akuntansi,
perusahaan
dapat memilih untuk menerapkan akuntansi lindung nilai. Keuntungan
menerapkan akuntansi lindung nilai adalah bahwa pengakuan laba atau rugi
instrumen lindung nilai
dan item yang dilindung nilai diakui pada periode yang sama. Dengan kata lain,
akan terjadi saling hapus laba/rugi pada suatu periode akuntansi. Akuntansi
lindung nilai merupakan pernyataan khusus sebagai bagian PSAK 55. PSAK 55
juga menetapkan beberapa syarat yang harus dipenuhi perusahaan untuk
diperbolehkan menerapkan
akuntansi lindung nilai.
Mirza et al. (2008, 271) menyatakan bahwa badan standar akuntansi
menetapkan
syarat untuk penerapan akuntansi lindung nilai dengan tujuan untuk mencegah
terjadinya penyalahgunaan akuntansi. PSAK 55 memberikan batasan yang harus
dipenuhi perusahaan untuk menerapkan akuntansi lindung nilai. Kondisi-kondisi
yang
harus dipenuhi perusahaan untuk menetapkan akuntansi lindung nilai sesuai
dengan paragraf 88 PSAK 55 adalah sebagai berikut:
88. Suatu hubungan lindung nilai memenuhi kualifikasi akuntansi
lindung nilai sesuai dengan paragraf 89-102, jika dan hanya jika, seluruh kondisi
berikut ini terpenuhi.
(a) Pada saat dimulainya lindung nilai terdapat penetapan dan
pendokumentasian formal atas hubungan lindung nilai dan tujuan

20
manajemen risiko entitas serta strategi pelaksanaan lindung nilai.
Pendokumentasian tersebut meliputi identifikasi instrumen lindung nilai,
item atau transaksi yang dilindung nilai, sifat dari risiko yang dilindung
nilai, dan cara yang akan digunakan entitas untuk menilai efektivitas
instrumen lindung nilai tersebut dalam rangka saling hapus eksposur
yang berasal dari perubahan dalam nilai wajar item yang dilindung nilai
atau perubahan arus kas yang dapat diatribusikan pada risiko yang
dilindung nilai.
(b) Lindung nilai diperkirakan akan sangat efektif (lihat paragraf PP105-
PP113) dalam rangka saling hapus atas perubahan nilai wajar atau
perubahan arus kas yang dapat diatribusikan pada risiko yang dilindung
nilai, konsisten dengan strategi manajemen risiko yang telah
didokumentasikan di awal untuk hubungan lindung nilai tersebut.
(c) Untuk lindung nilai atas arus kas, suatu prakiraan transaksi yang
merupakan subjek dari suatu lindung nilai harus bersifat kemungkinan
besar terjadi dan terdapat eksposur perubahan arus kas yang dapat
mempengaruhi laba rugi.
(d) Efektivitas lindung nilai dapat diukur secara andal, yaitu nilai wajar atau
arus kas dari item yang dilindung nilai yang dapat diatribusikan pada
risiko yang dilindung nilai, dan nilai wajar instrumen lindung nilai
tersebut dapat diukur secara andal.
(e) Lindung nilai dinilai secara berkesinambungan dan ditentukan bahwa
efektivitasnya sangat tinggi sepanjang periode pelaporan keuangan yang
mana lindung nilai tersebut ditetapkan.
PSAK 55 menetapkan dua komponen lindung nilai. Yang pertama adalah
instrumen lindung nilai (hedging instrument) yang merupakan alat yang dipakai
untuk aktivitas lindung nilai, dapat berupa instrumen derivatif atau instrumen
nonderivatif (hanya untuk lindung nilai atas risiko perubahan nilai tukar mata
uang). Kedua, item yang dilindung nilai (hedged item), berupa aset, liabilitas,
komitmen pasti, prakiraan transaksi, atau investasi neto pada operasi di luar
negeri. Untuk dapat didesain sebagai instrumen lindung nilai, perubahan nilai
wajar atau arus kas dari instrumen lindung nilai diharapkan dapat saling hapus

21
dengan perubahan nilai wajar atau arus kas dari item yang dilindung nilai.
Sebuah item yang dilindung nilai harus berupa item yang berisiko terkena
dampak perubahan nilai wajar atau arus kas masa depan.
Akuntansi lindung nilai menetapkan bahwa aset derivatif atau liabilitas
derivative dicatat dalam laporan posisi keuangan terlepas dari jenis lindung nilai
yang dilakukan. Nilai wajar aset (liabilitas) derivatif yang tercantum dalam
laporan posisi keuangan ini merupakan akumulasi perubahan nilai wajar yang
belum direalisasi. Namun, laba atau rugi derivatif lindung nilai dilaporkan di
laporan laba rugi secara berbeda sesuai dengan jenis lindung nilai. PSAK 55
membedakan jenis lindung nilai menjadi tiga, yaitu lindung nilai atas nilai wajar
(fair value hedge), lindung nilai atas arus kas (cash flow hedge), dan lindung
nilai atas investasi neto pada operasi di luar negeri. PSAK 55 mendefinisikan
ketiga jenis hubungan lindung nilai tersebut adalah sebagai berikut:
1) Lindung nilai atas nilai wajar: suatu lindung nilai terhadap eksposur
perubahan nilai wajar dari aset atau liabilitas yang diakui, atau komitmen
pasti yang belum diakui, atau bagian yang telah diidentifikasi dari aset,
liabilitas, atau komitmen pasti tersebut, yang dapat diatribusikan pada risiko
tertentu dan dapat mempengaruhi laba rugi;
2) Lindung nilai atas arus kas: suatu lindung nilai terhadap eksposur variabilitas
arus kas yang dapat diatribusikan pada risiko tertentu yang terkait dengan
aset atau liabilitas yang diakui atau yang dapat diatribusikan pada risiko
tertentu yang terkait dengan prakiraan transaksi yang kemungkinan besar
terjadi, dan dapat mempengaruhi laba rugi; dan
3) Lindung nilai atas investasi neto pada kegiatan usaha luar negeri: lindung
nilai atas risiko mata uang asing yang timbul dari investasi neto dalam
kegiatan usaha luar negeri. Laba dan rugi derivatif diakui berbeda
berdasarkan jenis lindung nilai yang dilakukan. Laba atau rugi derivatif
dalam lindung nilai atas nilai wajar langsung diakui pada laporan laba rugi
pada periode laba atau rugi terjadi terlepas dari tingkat efektivitas lindung
nilai. Sedangkan untuk lindung nilai atas arus kas dan lindung nilai atas
investasi neto pada kegiatan usaha luar negeri, laba atau rugi bagian efektif
dari lindung nilai dicatat terlebih dahulu dalam akun Pendapatan

22
Komprehensif Lainnya (Other Comprehensive Income – Unrealized
Gain/Loss). Laba atau rugi baru diakui pada laporan laba rugi ketika
mempengaruhi pendapatan atau ketika laba atau rugi terealisasi. Bagian tidak
efektif dari lindung nilai atas arus kas dan investasi neto pada kegiatan usaha
luar negeri langsung diakui pada laporan laba rugi.
Untuk dapat menerapkan akuntansi lindung nilai, lindung nilai harus
diperkirakan memiliki tingkat efektivitas sangat tinggi. Hal ini konsisten dengan
tujuan saling hapus laba dan rugi dalam lindung nilai. PSAK 55 menentukan
tingkat efektivitas lindung nilai dikatakan berada pada tingkat sangat tinggi jika
hasil aktual dari lindung nilai berada dalam kisaran 80%-125%. Untuk
menghitung rasio efektivitas ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, termasuk
membandingkan perubahan nilai wajar atau arus kas dari item yang dilindung
nilai dengan perubahan nilai wajar atau arus kas dari instrumen lindung nilai
atau menggunakan metode korelasi statistik untuk menunjukkan hubungannya.
Dari segi pengungkapan, PSAK 60 mensyaratkan derivatif diungkapkan
secara terpisah berdasarkan jenisnya. Perusahaan wajib mengungkap nilai wajar
derivatif yang dicatat sebagai aset maupun liabilitas, yang didesain untuk
lindung nilai maupun bukan lindung nilai atau bagian lindung nilai yang tidak
efektif. Nilai wajar derivatif beserta laba atau rugi derivatif secara terpisah
diungkap berdasarkan desainnya (lindung nilai atau bukan) dan tipe eksposur
risiko yang dilindung nilai

2.5 Peraturan pajak instrumen keuangan derivatif

Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan


(UU PPh) mendefinisikan penghasilan sebagai
“setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang
bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.”
Sedangkan pada pasal 6 ayat 1 UU PPh diatur mengenai ketentuan biaya yang
dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dalam menentukan pajak terutang.
Secara umum biaya-biaya atau pengeluaran untuk dapat menjadi pengurang

23
penghasilan bruto harus berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan
usaha untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan. Biaya-biaya
yang dapat dibebankan ini lazim disebut sebagai biaya sehari-hari yang boleh
dibebankan pada tahun pengeluaran.
Untuk dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto,
pengeluaran-pengeluaran harus mempunyai hubungan langsung maupun tidak
langsung dengan kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak. Dengan demikian,
pengeluaran-pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak tidak boleh dibebankan sebagai
biaya. Contohnya, pengeluaran untuk mendapatkan penghasilan yang dikenakan
pajak bersifat final tidak boleh dikurangkan sebagai biaya.
Terkait dengan transaksi derivatif, laba atas transaksi derivatif merupakan
objek pajak penghasilan sesuai pasal 4 ayat 1 UU PPh. Sedangkan rugi atas
transaksi derivatif, perlu diteliti lebih lanjut untuk menentukan boleh atau tidaknya
menjadi pengurang penghasilan bruto Wajib Pajak. Berdasarkan pasal 6 ayat 1 UU
PPh, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi pengurang penghasilan bruto, rugi
dari transaksi derivatif dapat menjadi pengurang penghasilan bruto Wajib Pajak
sepanjang transaksi derivatif yang dilakukan berhubungan dengan kegiatan usaha
Wajib Pajak. Rugi transaksi derivatif yang bertujuan untuk diperdagangkan atau
spekulasi tidak dapat dibebankan sebagai biaya. Sedangkan untuk transaksi
derivatif yang didesain untuk lindung nilai, rugi derivatif dapat dibebankan sebagai
biaya sepanjang lindung nilai tersebut merupakan lindung nilai yang berkaitan
langsung atau tidak langsung dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan Wajib Pajak.
Namun, pemajakan transaksi derivatif tidaklah sederhana. Kompleksitas
transaksi dan lemahnya peraturan pajak menjadi hambatan sendiri untuk
menetapkan pajak atas transaksi derivatif. Pasal 4 ayat 2 huruf c UU PPh berbunyi
sebagai berikut:
(2) Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:
c. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi
derivative yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham

24
atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang
diterima oleh perusahaan modal ventura; yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Mengacu pada pasal 4 ayat 2 huruf c UU PPh, penghasilan dari transaksi
derivative dikenakan pajak yang bersifat final yang diatur dengan peraturan
pemerintah (PP). Namun, PP yang mengatur pemajakan penghasilan dari transaksi
derivatif ini sampai saat ini belum ada.
Berdasarkan riwayat pemajakan penghasilan transaksi derivatif, atas dasar
pasal 4 ayat 2 huruf c UU PPh, pada tahun 2009 pemerintah menerbitkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan dari Transaksi
Derivatif Berupa Kontrak Berjangka yang Diperdagangkan di Bursa. Selain itu,
berdasarkan pasal 17 ayat 7 UU PPh, pemerintah dapat menetapkan tarif pajak
tersendiri atas penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh.
Atas dasar hal tersebut, PP 17 Tahun 2009 ini diterbitkan untuk mengatur bahwa
penghasilan yang diterima dan/atau diperoleh orang pribadi atau badan dari
transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang diperdagangkan di bursa dikenai
Pajak Penghasilan bersifat final. Tujuan penerbitan PP ini adalah untuk mendorong
perkembangan bursa yang memperdagangkan instrumen derivatif dan untuk
meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak. PP ini mengatur bahwa penghasilan dari
transaksi derivatif dikenakan pajak bersifat final dengan tarif 2,5% dari margin
awal. Berdasarkan penjelasan PP ini, margin awal merupakan sejumlah uang atau
surat berharga yang harus ditempatkan oleh pialang berjangka atau anggota bursa
pada lembaga kliring dan penjamin untuk menjamin pelaksanaan transaksi kontrak
berjangka. Sedangkan lembaga kliring dan penjamin adalah badan usaha yang
menyelenggarakan dan menyediakan system dan/atau sarana untuk pelaksanaan
kliring dan penjaminan transaksi di bursa, termasuk lembaga kliring dan penjamin
berjangka.
Namun, terbitnya PP ini mendapat tantangan uji materiil di Mahkamah
Agung dari Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) dan Ikatan Perusahaan
Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI). Agustian (2009) menyatakan kedua
asosiasi ini meminta pencabutan PP Nomor 17 Tahun 2009 karena:

25
a. Tarif PP 17 Tahun 2009 dinilai sangat besar dan berpotensi mematikan
industry kontrak berjangka;
b. Dasar pengenaan tidak tepat, margin awal hanya jaminan untuk bertransaksi
sehingga bukan merupakan objek pajak penghasilan;
c. Perlakuan diskriminatif karena transaksi dengan karakteristik yang sama hanya
dibebani pajak 0,1%.
Uji materiil menghasilkan keputusan pencabutan PP ini. Sehingga, pada
tahun 2011 terbit PP Nomor 31 Tahun 2011 yang menyatakan PP Nomor 17
Tahun 2009 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi. Dengan demikian,
peraturan pajak khusus mengatur pemajakan penghasilan dari transaksi derivatif
sampai saat ini tidak ada.
Dengan tidak adanya peraturan pajak khusus mengenai penghasilan
transaksi derivatif, berdasarkan penjelasan pasal 28 Undang-Undang Nomor 16
Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, bahwa untuk
transaksi yang belum ada peraturan pajak khusus maka pembukuan dilakukan
mengikuti standar akuntansi keuangan yang berlaku umum di Indonesia. Dengan
kata lain, transaksi derivative dibukukan untuk kepentingan pajak berpedoman
pada PSAK 55. Namun, hal ini menimbulkan kerancuan dimana laba/rugi derivatif
akibat perubahan nilai wajar yang diakui berdasarkan PSAK 55 dinilai tidak sesuai
dengan pasal 10 UU PPh yang mengatur perihal harga perolehan atau harga
penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan
istimewa adalah jumlah yang telah benar-benar diterima atau dikeluarkan.

26
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Tinjauan Transaksi Derivatif terhadap Tax Avoidance

Derivatif keuangan merupakan instrument derivatif, dimana variabel-variabel


yang mendasarinya adalah instrumen-instrumen keuangan yang dapat berupa saham,
obligasi, indeks saham, indeks obligasi, mata uang (currency), tingkat suku bunga dan
instrumen-instrumen keuangan lainnya (www.idx.co.id).Derivatif keuangan merupakan
instrumen keuangan yang berfungsi untuk melindungi nilai. Namun lindung nilai yang
dilakukan oleh perusahaan bisa menjadi celah bagi perusahaan untuk melakukan
penghindaran pajak. Lindung nilai dilakukan oleh perusahaan/individu untuk
melindungi suatu asset terhadap suatu perusahaan harga yang akan memberikan dampak
negatif pada laba. Jika perusahaan memiliki laba bersih yang tidak stabil setiap
tahunnya maka perusahaan tersebut terkadang menjadi subjek rentang pajak yang
tinggi. Lindung nilai akan meratakan laba bersih selama beberapa tahun sehingga
perusahaan rata-rata berada dalam rentang pajak yang rendah.
Sejatinya suatu kerugian untuk dapat diakui sebagai beban menurut pajak
(deductible expense) harus berupa kerugian yang terkait dengan aktivitas mendapatkan,
menagih, dan memelihara (3M) penghasilan sesuai dengan pasal 6 UU PPh. Terkait
transaksi derivatif, desain derivatif sebagai lindung nilai atau spekulatif menyebabkan
kerancuan dalam pembebanan ruginya. Tidak adanya aturan pajak khusus menyebabkan
batasan lindung nilai maupun spekulatif menjadi tidak jelas. Padahal batasan ini sangat
penting untuk menentukan suatu kerugian dapat dibebankan (deductible) atau tidak
dapat dibebankan (nondeductible) (Darussalam dan Septriadi, 2009).
Terkait prinsip realisasi dalam pemajakan transaksi derivatif, Lee (2016)
menyatakan pada umumnya Wajib Pajak akan menunda realisasi laba derivatif untuk
mengurangi basis pengenaan pajak pada tahun berjalan. Hal ini menguntungkan Wajib
Pajak dari segi akuntansi akibat bertambahnya laba akuntansi dan juga menguntungkan
dari segi pajak akibat berkurangnya laba pajak. Sebaliknya, perusahaan akan merealisasi

27
rugi derivatif pada tahun berjalan untuk mengurangi penghasilan kena pajaknya.
Pengaturan waktu (timing) realisasi laba/rugi derivatif ini juga sejalan dengan teori
Zeng (2001, 2014).
Hasil penelitian Donohoe (2015) menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan
yang disebabakan oleh perusahaan yang menggunakan derivatif keuangan cenderung
melakukan pengurangan pajak yang lebih besar dari pada perusahaan yang tidak
menggunakan derivatif keuangan.
Hasil penelitian Oktavia (2013) menunjukkan bahwa penggunaan derivatif
keuangan secara positif berhubungan dengan tingkat penghindaran pajak. Terdapat
beberapa bukti empiris mengenai penggunaan derivatif berkaitan dengan agresivitas
pajak. Donohoe (2011a) meneliti perusahaan di Amerika Serikat dan membuktikan
bahwa implementasi awal transaksi derivatif menurunkan tarif pajak efektif perusahaan.
Oktavia dan Martani (2013) menemukan bahwa semakin tinggi nilai wajar derivatif
semakin tinggi pula tingkat agresivitas pajak perusahaan di Indonesia. Zeng (2014)
meneliti penggunaan derivatif di Kanada dan menemukan bahwa perusahaan dengan
adanya pos laba yang belum direalisasi (derivative unrealized gain) dan rugi derivatif
yang telah direalisasi (derivative realized loss) pada laporan keuangan lebih agresif
dalam aktivitas agresivitas pajak. Lee (2016) meneliti penggunaan derivatif dalam
rangka penghindaran pajak dengan membagi transaksi derivatif menjadi aset derivatif
dan liabilitas derivatif, kemudian membagi penggunaannya berdasarkan desain lindung
nilai dan nonlindung nilai tujuan akuntansi. Lee (2016), terkait aktivitas lindung nilai
derivatif, menemukan bahwa perusahaan cenderung memilih menunda realisasi laba
derivatif dibandingkan langsung merealisasi rugi pada tahun berjalan untuk mengurangi
pajaknya. Namun untuk derivatif yang tidak didesain lindung nilai, ditemukan bahwa
perusahaan cenderung melakukan penundaan realisasi laba sekaligus mempercepat
realisasi rugi derivatif pada tahun berjalan. Hal ini mengindikasikan perusahaan secara
agresif mengurangi pembayaran pajak melalui transaksi derivatif yang tidak didesain
untuk lindung nilai.
Menurut Bendi Devi (2017) atas dasar hal tersebut di atas, yang
mengembangkan hasil penelitian Oktavia dan Martani (2013). Mengikuti Lee (2016),
penelitiannya meneliti penggunaan derivatif untuk mengurangi pajak dengan membagi
derivatif menjadi asset derivatif dan liabilitas derivatif serta desain lindung nilainya.

28
Dalam hubungannya dengan agresivitas pajak, aset derivatif dan liabilitas derivatif
menggambarkan secara berbeda terkait realisasi laba/rugi derivatif. Nilai wajar aset
(liabilitas) derivatif di laporan posisi keuangan menggambarkan akumulasi laba (rugi)
derivatif yang belum direalisasi. Dengan demikian, penelitian ini ingin membuktikan
apakah perusahaan di Indonesia mengurangi pajaknya melalui penundaan realisasi laba
derivatif dan/atau percepatan realisasi rugi derivatif pada tahun berjalan berdasarkan
desain penggunaan derivatifnya.
Menurut Bendi Devi (2017) penilitian Donohoe (2012) menyatakan derivatif
keuangan dapat digunakan oleh perusahaan-perusahaan sebagai alat penghindaran
pajak. Adanya ketidakjelasan definisi spekulatif atau definisi spekulatif tidaknya suatu
transaksi derivatif dimanfaatkan perusahaan untuk menggunakan derivatif keuangan
sebagai alat penghindaran pajak (Oktavia dan Martani, 2013).
Berdasarkan penilitian Bendi Devi (2017) menunjukkan bahwa ketiadaan
peraturan pajak atas transaksi derivatif menyebabkan aspek perpajakan derivatif
menjadi ambigu. Pasal 10 UU PPh mengatur prinsip pengakuan laba/rugi berupa prinsip
realisasi yang berarti laba/rugi derivatif diakui ketika laba benar-benar diperoleh. Pasal
6 ayat 1 UU PPh mengatur bahwa untuk dapat dibebankan suatu kerugian harus
berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan Wajib Pajak. Dengan demikian, rugi spekulatif tidak dapat
dibebankan. Namun untuk rugi lindung nilai, ketiadaan peraturan pajak atas transaksi
derivatif menyebabkan dapat dibebankannya rugi lindung nilai terlepas dari penerapan
akuntansi lindung nilai yang saling hapus antara laba/rugi instrumen lindung nilai dan
rugi/laba item yang dilindung nilai. Selain itu, penjelasan pasal 28 UU KUP
menjelaskan bahwa jika tidak ada aturan pajak khusus maka Wajib Pajak berpedoman
pada standar akuntansi keuangan yang berlaku umum sehingga aspek perpajakan
transaksi derivatif berpedoman pada PSAK 55. Menurut Lee (2016), perusahaan akan
menunda realisasi laba dan mempercepat realisasi rugi derivatif untuk mengurangi
utang pajaknya.
Hasil penelitian Bendi (2017) menunjukkan bahwa adanya pengaruh signifikan
yang disebabakan oleh perusahaan yang menggunakan derivatif keuangan cenderung
melakukan pengurangan pajak yang lebih besar dari pada perusahaan yang tidak
menggunakan derivatif keuangan.

29
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan, penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Peraturan pajak secara khusus mengatur tentang transaksi derivatif belum diatur
sampai sekarang, sementara perlakukan perpajakan merujuk pada peraturan
pajak penghasilan secara umum.
2. Berdasarkan pembahasan secara umum variabel derivatif keuangan berpengaruh
terhadap penghindaran pajak (tax avoidance) pada perusahaan non keuangan
yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.
3. Menunjukkan bahwa ketiadaan peraturan pajak atas transaksi derivatif
menyebabkan aspek perpajakan derivatif menjadi ambigu sehingga dapat
sebagai celah untuk kegiatan penghindaran pajak.

4.2 Saran
Makalah ini dimasa mendatang diharapkan meberikan hasil yang lebih
bermanfaat lagi dengan adanya beberapa masukan mengenai beberapa hal
diantaranya:
1. Penulis makalah selanjutnya disarankan dapat membahas lebih detail tentang
metode penelitian beserta variabel independen dan variabel dependen atas jurnal
atau penelitian yang ditinjau untuk lebih memperkuat pembahasan dan
kesimpulan pada makalah ini.
2. Penelitian selanjutnya dapat menggunakan makalah ini sebagai gambaran umum
tentang tinjauan beberapa penilitian tentang transaksi derivatif dalam
penghindaran pajak (tax avoidance), sehingga dapat dilanjutkan dengan lebih
komprehensif.
3. Saran terhadap Direktorat Jenderal Pajak untuk diterbitkan peraturan perpajakan
secara khusus tentang instrumen derivatif keuangan.
4. Petugas Pajak hendaknya dapat mengikuti perkembangan bisnis terutama terkait
transaksi derivatif, sehingga dapat menyesuaikan kasus di lapangan dan
menerapkan ketentuan pajak secara objektif.

30
5. Diharapkan peraturan perpajakan tentang transaksi derivatif keuangan
mendukung serta kemajuan perekonomian.
6. Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus dan detail dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan
sumber - sumber yang lebih banyak dan dapat dipertanggungjawabkan.

31
DAFTAR PUSTAKA

Devi, Bendi. 2011. Analisis Penggunaan Derivatif Keuangan Dalam Agresivitas Pajak
(Bukti Empiris Pada Perusahaan Sektor Nonkeuangan Yang Terdaftar Di Bursa
Efek Indonesia). Tangerang Selatan
Devi, Bendi dan Efendi, Subagio, 2018, Financial Derivatives in Corporate Tax
Aggressiveness. The Indonesia Journal of Accounting Research. Vol. 21, No. 2
Musyarofah, Eva. 2016. Pengaruh Derivatif Keuangan, Leverage dan Ukuran
Perusahaan
Terhadap Penghindaran Pajak (Tax Avidance)
Mangoting, Yenni. 2003. Tinjauan Aspek Pajak Penghasilan atas Transaksi Instrumen
Keuangan Derivatif Swap. Jurnal Akuntansi & Keuangan Vol. 5, No. 1, Mei 2003:
75-90
F.A, Satriya. 2011. Pengaruh Instrumen Pengalihan Laba Terhadap Pemanfaatan
Negara Lindung Pajak (Tax Haven Country). Jakarta
Farida, Ida. Akuntansi Instrumen Derivatif Tentang Instrumen Keuangan: Pengakuan
dan Pengukuran. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Keuangan
Nurhandono, Furqon. 2017. Pengaruh Lindung Nilai, Financial Leverage Dan
Manajemen Laba Terhadap Agresivitas Pajak. Tangerang Selatan
Sundari, Eka. 2019. Pengaruh Derivatif Keuangan Dan Financial Lease Terhadap Tax
Avoidance. Equilibrium: Jurnal Penelitian Pendidikan dan Ekonomi. Volume 16,
Issue 2, Juli 2019
N.P, Ifa. 2016. Aktivitas Penghindaran Pajak: Ditinjau Dari Tingkat Pengungkapan
Dan Penggunaan Derivatif Keuangan. Semarang
Oktavia dan Dwi Martani. 2013. Tingkat Pengungkapan dan Penggunaan Derivatif
Keuangan Dalam Aktivitas Penghindaran Pajak. Jurnal Akuntansi dan Keuangan
Indonesia Volume 10 Nomor 2, Desember 2013
Maradjabessy, Ika. 2018. Pengaruh Tata Kelola Perusahaan Dan Penggunaan
Derivatif Keuangan Terhadap Praktik Penghindaran Pajak (tax Avoidance).
Jakarta

32
2018. Pengaruh Karakter Eksekutif dan Penggunaan Derivatif Keuangan Terhadap
Penghindaran Pajak Pada Perusahaan Non Keuangan Yang Terdaftar di BEI
periode 2015-2017. Riau
Bursa Efek Indonesia. 2020. Derivatif. https://www.idx.co.id/produk/derivatif/. Diakses
pada hari Sabtu, 20 Juni 2020 pukul 12.00 WIB.

33

Anda mungkin juga menyukai