Anda di halaman 1dari 19

MANAJEMEN KEPERAWATAN

“Konsep Manajemen Konflik Keperawatan ”

Oleh :

Kelompok 1:

Adisti Dinda Tiara P 183110161

Chairunas Amnusy 183110167

Idraal Dimardiwan 1331101713

Muharatil Aprinalita 133110182

Rahmi Hasanah Aulia 133110192

Sri Visco 183110195

Kelas : 3A

Dosen Pembimbing :

Reflita,S.KP,M.Kep

PROGRAM STUDI D-III KEPERAWATAN PADANG

POLTEKKES KEMENKES RI PADANG

2020/202
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang


Setiap manusia memiliki sejumlah dorongan, tujuan dan kebutahan yang unik dan
selalu menuntut untuk dipuaskan. Bumi ini terdiri dari orang- orang seperti ini yang
bergerak dari segala penjuru, melalui massa dan ruang didalam perjalan mereka jika
perjalan ini dibayangkan sebagai sebuah kapsul yang memuat satu orang yang melintasi
kapsul – kapsul lain, maka setiap akan bersifat otonomi, dan manusia tidak dapat
diperhitungkan secara sosilogis; dan teori system umum akan berlaku.
Di satu segi, manusia adalah kapsul- kapsul tetapi kebutuhan- kebutuhanya dipenuhi
dengan menjadi tergantung (dependen) dan saling tergantung (interdependep) dengan
kapsul lain. Bila semua orang dan kapsul- kapsul mereka menginkan hal- hal yang
komplemen, yaitu, apa yang dinginkan oleh seseorang adalah apa yang ingin diberikan
oleh orang lain, dan apa yang ingin dipertahankan oleh seseorang adalah apa yang tidak
dinginkan oleh orang lain, apa system- system dapat hadir dengan itegrasi total. Tetapi,
harmoni seperti ini tidak hadir didalam realita konflik hadir didalam ketidakadaan integrasi
total yang harmonis. Karenanya , konflik selalu ada meskipun ditekan.manusia memmang
tidak berfikir menyakini, dan meinginkan hal yang sama. Konflik adalah sebuah
kemutlakan; pemimpin harus belajar untuk secara efektif menfasilitasi penyelesauian
konflik diantara orang –orang agar tujuan dapat tercapai, inilah yang merupakan isi dari
bab ini. Bab mulai dengan pengertian konflik, diikuti oleh bahasan tentang tipe dan
penyebab konflik. Isi area ini menyusun tahap proses konflik serta strategi dan manajemen
konflik. Penyelesaian serta hasil produktif dan destruktif dari konflik menjadi topic akhir.

1.2  Rumusan Masalah


Rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan konflik ?
1.2.2 Apa saja tipe-tipe konflik ?
1.2.3 Apakah penyebab konflik ?
1.2.4 Bagaimana proses konflik ?
1.2.5 Bagaimanakah strategi dan manajemen konflik ?
1.2.6 Bagaimanakah cara penyelesaian konflik ?
1.2.7 Apa saja hasil dari konflik ?

1.3  Tujuan
1.3.1 Mengetahui yang dimaksud dengan konflik
1.3.2 Mengetahui tipe-tipe konflik
1.3.3 Mengetahui penyebab konflik
1.3.4 Mengetahui proses konflik
1.3.5 Mengetahui strategi dan manajemen konflik
1.3.6 Mengetahui cara penyelesaian konflik
1.3.7 Mengetahui hasil dari konflik
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Konflik


Konflik adalah perselisihan atau perjuangan yang timbul ketika keseimbangan dari
perasaan, hasrat, pikiran, dan perilaku seseorang terancam. Perjuangan ini dapat terjadi di
dalam individu atau di dalam kelompok. Pemimpin dapat menggerakkan konflik ke hasil
yang destruktif atau konstruktif.
Deutsch (1969) dalam lamonica (1986), mendefinisikan konflik sebagai suatu
perselisihan atau perjuangan yang timbul akibat terjadinya ancaman keseimbangan antara
perasaan, pikiran, hasrat dan perilaku seseorang. Douglass & bevis (1979) mengartikan
konflik sebagai suatu bentuk perjuangan diantara kekuatan interdependen. Perjuangan
tersebut dapat terjadi baik di dalam individu (interpersonal conflict) ataupun di dalam
kelompok (intragroup conflict).
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa konflik terjadi akibat adanya
pertentangan pada situasi keseimbangan yang terjadi pada diri individu taupun pada
tatanan yang lebih luas, seperti antar-individu, antar-kelompok, atau bahkan antar-
masyarakat. Konflik dianggap sebagai suatu bentuk perjuangan maka dalam penyelesaian
konflik seharusnya diperlukan usaha-usaha yang bersifat konstruktif untuk menghasilkan
pertumbuhan positif individu atau kelompok, mpeningkatan kesadaran, pemahaman diri
dan orang lain, dan perasaan positif kearah hasil interaksi atau hubungan dengan orang
lain.

2.1 Tipe konflik


Konflik timbul didalam diantara dan antara orang- orang adanya perbedaan adanya
pada kenyataan definisi, pandangan, otoritas, tujuan, nilai, dan kendali konflik dalam
organisasi secra strukturan dapat dikategorikan sebagai konflik vertika atau horizontal.
Konflik vertical meliputi perbedaan antara pemimpin dan anak buah. Hal inin sering
diakibatkan oleh komunikasi dan kurang penyebaran persepsi dan perilaku yang tepat
untuk peran diri sendiri atau orang lain. Konflik horizontal adalh garis konflik antara staff
dan ada hubungan dengan praktik keahlian otoritas, dan sebagainya. Sering berupa
perselisihan antar departemen:
1. Konflik di dalam pengirim
Pengirim sama pesan saling berlawaan. Contoh pemimpin yang sama menutut
pelayanan yang tinggi, menolak memecat anggota staff tidak kompeten dan
menolak pengontrak staff tambahan
2. Antar pengirim
Pesan – pesan yang berlawan dari dua atau lebih pengirim. Contoh pimpinan
tertinggi dari keperawatan menekankan kebutuhan untuk memakai keperawatan
menekankan kebutuhan untuk memakai keperawatan primer sebagai model
pelayanan keperawatan; anak buah yakin bahwa mereka dapat mencapai layanan
keperawatan yang individual dan bermutu dengan menggunakan metode
keperawatan tim
3. Antar pesan
Orang yang sama ternasuk didalam kelompok- kelompok yang berkonflik. Contoh
Direktur keperawatan adalah seorang anggota kelompok konsumen masyarakat
yang sedang berusaha untuk mengkonsilidasi pelatyanan obsteri dan pediatric
didaerahnya, dengan menempatkan semau ahli pediatric terbagi diantara dua rumah
sakit lainya. Perawat yang sama juga merupakan pegawai di salah satu rumah sakit
yang ingin tetap mempertahankan kedua pelayanan tersebut dirumah sakitnya.
4. Peran pribadi
Orang yang sama nilai- nilainya berlawanan (ketidak sesuaian kognitif). Contoh
perawat percaya bahwa pasien di klinik harus menerima perhatian individual dari
seseorang perawat yang mengikuti perkembangannya pada setiap kunjungan.
Syarat – syarat dari kedudukannya dan system pelayanan yang ada membuat tujuan
ini jarang bisa tercapai, jika tidak boleh dibilang bahwa tidak mungkin tercapai.
5. Antar pribadi
Dua atau lebih orang bertindak sebagai pendukung kelompok- kelompok yang
berbeda. Contoh direktur keperawatan bersaing dengan direktur lain untuk sebuah
posisi baru.
6. Didalam kelompok
Nilai- nilai baru dari luar dimasukkan pada kelompok yang ada. Contoh pendidikan
yang berkelajutan diwajibkan oleh pemerintah untuk setiap perpanjangan ijin kn
keperawatan. Lembaga pelayanan kesehatan desa tidak mempunyai dana untuk
pengirim perawat untuk mengikuti program pendidikan berkelanjutan, dan staff
perawat, yang dibayar murah tetapi puas, tidak dapat membianyayi sendiri
pendidikan lanjutan mereka.
7. Antar kelompok
Dua atau lebih kelompok dengan tujuan yang berlawanan. Contoh departemen
keperawatan menuntut bahwa para perawata diruang operasi dan pemulihan secara
organisional berada dibawah keperwatan. Departemen bedah, yang terdiri dari dari
para dokter, menyakini bahwa mereka harus mengendalikan perawat- perawat di
area ini.
8. Peran mendua
Seseorang tidak menyadari harapan olrang lain terhadap sebuah peran tertentunya.
Contoh seorang pengawas perawat yang baru tidak mempunyai gambaran tentang
posisinya dan tidak mempunyai pengalaman sebelumnnya sebagai pengawas.
9. Beban peran yang terlalu
Seseorang tidak dapat memenuhi harapan orang lain untuk perannya. Contoh
seorang sarjana muda baru diharapkan oleh direktur keperawatan untuk
bertanggung jawab terhadap 40 tempat tidur di unit penyakit kronis dan akut pada
dinas malam.

2.3 Penyebab Konflik


Banyak faktor yang bertanggungjawab terhadap terjadinya konflik terutama dalam
suatu organisasi. Faktor-faktor tersebut dapat berupa perilaku yang menentang, stres,
kondisi ruangan, kewenangan dokter-perawat, keyakinan, eksklusifisme, kekaburan tugas,
kekurangan sumber daya, proses perubahan, imbalan, dan masalah komunikasi.

1.      Perilaku menentang, sebagai bentuk dari ancaman terhadap suatu dialog rasional,
dapat menimbulkan gangguan protocol penerimaan untuk interaksi dengan orang lain.
Perilaku ini dapat berupa verbal dan non verbal. Terdapat tiga macam perilaku menentang,
yaitu :
a.       Competitive bomber, yang dicirikan dengan perilaku mudah menolak, menggerutu dan
menggumam, mudah untuk tidak masuk kerja, dan merusak secara agresif yang di sengaja.
b.      Martyred accommodation, yang ditunjukkan dengan penggunaan kepatuhan semu atau
palsu dan kemampuan bekerja sama dengan orang lain, namun sambil melakukan ejekan
dan hinaan.
c.       Avoider, yang ditunjukkan dengan penghindaran kesepakatan yang telah dibuat dan
menolak untuk berpartisipasi.
2.      Stres, juga dapat mengkobatkan terjadinya konflik dalam suatu organisasi. Stres yang
timbul ini dapat disebabkan oleh banyaknya stressor yang muncul dalam lingkungan
kerja seseorang. Contoh stressor antara lain terlalu banyak atau terlalu sedikit beban
yang menjadi tanggung jawab seseorang jika dibandingkan dengan orang lain yang ada
dalam organisasi, misalnya di bangsal keperawatan.

3.      Kondisi ruangan yang terlalu sempit atau tidak kondusif untuk melakukan kegiatan-
kegiatan rutin dapat memicu terjadinya konflik. Hal yang memperburuk keadaan dalam
ruangan dapat berupa hubungan yang monoton atau konstan diantara individu yang terlibat
didalamnya, terlalu banyaknya pengunjung pasien dalam suatu ruangan atau bangsal, dan
bahkan dapat berupa aktivitas profesi selain keperawatan, seperti dokter juga mampu
memperparah kondisi ruangan yang mengakibatkan terjadinya konflik.

4.      Kewenangan dokter-perawat yang berlebihan dan tidak saling mengindahkan usulan-
usulan diantara mereka, juga dapat mengakibatkan munculnya konflik. Dokter yang tidak
mau menerima umpan balik dari perawat, atau perawat yang merasa tidak acuh dengan
saran-saan dari dokter untuk kesembuhan klien yang dirawatnya, dapat memperkeruh
suasana. Kondisi ini akan semakin “runyam” jika diantara pihak yang terlibat dalam
pengelolaan klien merasa direndahkan harga dirinya akibat sesuatu hal. Misalnya kata-kata
ketus dokter terhadap perawat atau nada tinggi dari perawat sebagai bentuk ketidak puasan
tehadap penanganan yang dilakukan profesi lain.

5.      Perbedaaan nilai atau keyakinan antara satu orang dengan orang lain. Perawat begitu
percaya dengan persepsinya tentang pendapat kliennya sehingga menjadi tidak yakin
dengan pendapat yang diusulkan oleh profesi atau tim kesehatan lain. Keadaan ini akan
semakin menjadi kompleks jika perbedaan keyakinan, nilai dan persepsi telah melibatkan
pihak diluar tim kesehatan yaitu keluarga pasien. Jika ini telah terjadi, konflik yang
muncul pun semakin tidak sederhana karena telah mengikutsertakan banyak variable di
dalamnya.

6.      Eksklusifisme, adanya pemikiran bahwa kelompok tertentu memiliki kemampuan yang
lebih dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini tidak jarang mengakibatkan terjadinya
konflik antar-kelompok dalam suatu tatanan organisasi. Hal ini bisa terjadi manakala
sebuah kelompok didalam tatanan organisasi (seperti bangsal keperawatan) diberikan
tanggung jawab oleh manager untuk suatu tugas tertentu atau area pelayanan tertentu,
lantas memisahkan diri dari sistem atau kelompok lain yang ada dibangsal tersebut karena
merasa bahwa kelompoknya lebih mampu dibandingakan dengan kelompo lain.
7.      Peran ganda yang disandang seseorang (perawat) dalam bangsal keperawatan
seringkali mengakibatkan konflik seorang perawatan yang berperan lebih dari satu peran
pada waktu yang hamper bersamaan, masih merupakan fenomena yang jamak ditemukan
dalam tatanan pelayanan kesehatan baik di rumah sakit maupun di komunitas. Contoh
peran ganda, antara lain satu sisi perawat sebagai pemberi pelayanan keperawatan kepada
klien, namun pada saat yang bersamaan yang harus juga berperan sebagai pembimbing
mahasiswa atau bahkan sebagai manager dibangsal yang bersangkutan. Dalam kondisi ini
sering terjadi kebingunan untuk menentukan mana yang harus dikerjaka terlebih dahulu
oleh perawat tersebut dan kegiatan mana yang dapat dilakukan kemudian. Akibatnya,
sering terjadi kegagalan melakukan tanggung jawab dan tanggung gugat untuk suatu tugas
pada individu atay kelompok.
8.      Kekurangan sumber daya insani, dalam tatanan organisasi dapat dianggap sumber
absolute terjadinya konflik. Sedikinya sumber daya insani atau manusia, sering memicu
terjadinya persaingan yang tidak sehat dalam suatu tatanan organisasi. Contoh konflik
yang dapat terjadi, yaitu persaingan untuk memperoleh uang melalui pemikiran bahwa
segala sesuatu pasti di hubungkan dengan uang, persaingan memperebutkan menangani
klien, dan tidak jarang juga terjadi persaingan dalam memperebutkan jabatan atau
kedudukan.

9.      Perubahan dianggap sebagai proses ilmiah. Tetapi kadang perubahan justru akan
mengakibatkan munculnya berbagai macam konflik. Perubahan yang dilakukan terlalu
tergesa-gesa atau cepat, atau perubahan yang dilakukan terlalu lambat, dapat
memunculkan konflik. Individu yang tidak siap dengan perubahan, memandang perubahan
sebagai suatu ancaman. Begitu juga individu yang selalu menginginkan perubaan akan
menjadi tidak nyaman bila tidak terjadi perubahan, atau perubahan dilakukan terlalu dalam
tatanan organisasinya.

10.  Imbalan, beberapa ahli berpendapat bahwa imbalan kadang tidak cukup berpengaruh
dengan motovasi seseorang. Namun, jika imbalan dikaitkan dengan pembagian yang tidak
merata anatar satu orang dan orang lain sering menyebabkan munculnya konflik. Terlebih
lagi bila individu yang bersangkutan tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan untuk
menentukan besar-kecilnya imbalan atau sering disebut dengan sistem imbalan. Pemberian
imbalan yang tidak didasarkan atas pertimbangan professional sering menimbulkan
masalah yang pada gilirannya dapat memunculkan suatu konflik.
11.  Komunikasi dapat memunculkan suatu konflik jika penyampaian informasi yang tidak
seimbang, hanya orang-orang tertentu yang diajak biacar oleh manager, penggunaan
bahasa yang tidak efektif, dan juga penggunaan media yang tidak tepat sering kali
berujung dengan terjadinya konflik ditatanan organisasi yang bersangkutan.
2.4 Proses Konflik
La Monica (1986) mengutip pendapatnya Filley (1980) membagi proses konflik dalam
enam tahapan, yaitu kondisi yang mendahului, konflik yang dipersepsi, konflik yang
dirasakan, perilaku yang dinyatakan, penyelesaian atau penekanan konflik, dan
penyelesaian akibat konflik. Kondisi yang mendahului merupakan penyebab terjadinya
konflik seperti yang sudah didiskusikan sebelumnya. Setelah terjadi suatu konflik, konflik
yang ada dipersepsi atau berusaha diketahui. Kondisi yang ada diantara pihak yang terlibat
atau di dalam diri dapat menyebabkan terjadinya konflik. Konflik yang dipersepsi ini pada
umumnya bersifat logis, tidak personal, dan sangat objektif. Di sisi lain konflik akan
dirasakan secara subjektif karena individu merasa ada konflik relasi. Perasaan semacam ini
sering diasumsikan sebagai suatu yang dapat mengancam integritas diri, memunculkan
permusuhan, perasaan takut dan bahkan timbulnya perasaan tidak berdaya. Akibat dari
kondisi-kondisi tersebut, beberapa individu kemudian melakukan bentuk perilaku nyata
seperti perilaku agresif, pasif, aseptif, persaingan, debat, atau ada beberapa individu yang
mencoba memecahkan masalah atau konflik. Langkah selanjutnya yang dilakukan
terhadap terjadinya konflik adalah perilaku untuk menyelesaikan atau menekan konflik
tersebut. Perilaku tersebut dapat berupa perjnjian siantara yang terlibat atau kadang
melalui tindakan “penaklukan” pada pihak yang terlibat. Oleh karena itu, upaya untuk
menyelesaikan sisa atau akibat konflik tersebut sudah selayaknya dilakukan oleh pihak
yang terlibat. Jika hal itu tidak dilakukan, dapat memunculkan konflik baru pada tempat
dan waktu yang berbeda.
Kondisi-kondisi pendahulu
Konsep yang dipersepsi
Konflik yang dirasakan
Perilaku yang dinyatakan
Penyelesaian atau penekanan konflik
Penyelesaian akibat konflik

Gambar 2.1 Proses Konflik

2.5 Strategi dan Ketrampilan Manajemen Konflik


Beberapa strategi dapat dipakai untuk menyelesaikanterjadinya konflik. Strategi-
strategi tersebut adalah menghindar, akomodasi, kompetisi, kompromi, dan kerjasama.
Pendekatan strategi konflik dengan cara menghindar memungkinkan kedua
kelompok atau pihak yang terlibat konflik menjadi dingin dan berusaha mengumpulkan
informasi. Teknik menghindar dapat digunakan apabila isu tidak gawat atau bila kerusakan
yang potensial tidak akan terjadi dan lebih banyak menguntungkan. Selanjutnya baru
diatur kembali untuk pertemuan penyelesaian konflik. Dengan demikian, pihak yang
terlibat konflik diberi kesempatan untuk merenungkan dan memikirkan alternative
penyelesaiannya. Strategi akomodasi digunakan untuk memfasilitasi dan memberikan
wadah untuk menampung keinginan pihak yang terlibat konflik. Dengan cara ini
dimungkinkan terjadi peningkatan kerjasama dan pengumpulan data-data yang akurat dan
signifikan untuk pengambilan suatu kesepakatan. Cara kompetisi dapat dilakukan seorang
manajer dengan cara menunjukkan kekuasaan yang terkait dengan posisinya untuk
menyelesaikan konflik, terutama yang terkait dengan tugas dan tanggungjawab stafnya.
Strategi yang biasa digunakan adalah melalui peningkatan motivasi antar staf guna
menimbulkan rasa persaingan yang sehat. Strategi kompromi dilakukan dengan
mengambil jalan tengah diantara pihak-pihak yang terlibat konflik. Hal ini biasanya
bersifat sementara sehingga bila situasinya sudah stabil, perlu dikumpulkan pihak yang
terlibat konflik untuk selanjutnya dapat dilakukan penyelesaian masalah secara tuntas.
Cara lain yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan konflik adalah dengan cara
kerjasama. Cara ini dilakukan dengan melibatkan pihak yang terlibat konflik untuk
melakukan kerjasama dalam rangka menyelesaikan konflik. Cara ini biasanya
menimbulkan perasaan puas di kedua belah pihak yang terlibat konflik
Bentuk ketrampilan yang dapat dimanfaatkan untuk mengelola konflik pada
umumnya berupa kegiatan pencegahan. Ketrampilan tersebut berkisar pada kegiatan
berikut.

1. Membuat aturan atau pedoman yang jelas dan harus diketahui oleh semua pihak.
2. Menciptakan suasana yang mendukung dengan banyak pilihan. Hal ini akan
membuat orang menjadi senang dalam memberikan usulan, member kekuatan bagi
mereka meningkatkan pemikiran kreatif, memungkinkan pemecahan masalah yang
lebih baik.
3. Mengungkapkan bahwa mereka dihargai. Pujian dan penegasan tentang nilai-nilai
adalah penting untuk setiap orang dalam bekerja.
4. Menekankan pemecahan masalah secara damai, dan membangun suatu jembatan
pengertian.
5. Menghadapi konflik dengan tenang dan memberikan pendidikan tentang perilaku.
6. Memainkan peran yang tidak menimbulkan stress dan konflik.
7. Mempertimbangkan waktu dengan baik untuk semuanya, dan jangan menunda
waktu yang tidak menentu.
8. Memfokuskan pada masalah dan bukan pada kepribadian.
9. Mempertahankan komunikasi dua arah.
10. Menekankan pada kesamaan kepentingan.
11. Menghindari penolakan berlebihan.
12. Mengetahui hambatan untuk kerjasama.
13. Membedakan perilaku yang menentang dengan perilaku normal dalam kesalahan
kerja.
14. Menguatkan dalam menghadapi orang yang marah.
15. Menetapkan siapa yang memiliki masalah.
16. Menetapkan kebutuhan yang terlalaikan.
17. Membangun kepercayaan dengan mendengarkan dan mengklarifikasi.
18. Merundingkan kembali prosedur pemecahan masalah.

2.6 Penyelesaian Konflik


Konflik yang terjadi dalam suatu tatanan organisasi misalnya bangsal keperawatan
harus dikenali sifat, jenis, penyebab, lamanya, dan kepelikan konflik dalam rangka untuk
menyelesaikannya. Seorang manajer atau kepala ruangan harus segera mengambil inisiatif
untuk memfasilitasi penyelesain konflik yang positif. Manajer dapat saja “mengabaikan”
konflik yang terjadi atau harus ikut campur tangan dalam penyelesaiannya. Jika persoalan
yang mendasari konflik sangat kecil, dalam arti hanya melibatkan dua orang (perawat,
perawat dengan profesi lain) dan tidak mempengaruhi proses pemberian asuhan
keperawatan secara bermakna, seorang manajer tidak harus ikut campur untuk
mnyelesaikan konflik. Meskipun demikian, manajer dapat member izin agar pihak yang
terlibat membuat perjanjian mengenai persoalan yang sedang dihadapi dan cara apa yang
sekiranya dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik. Sebaliknya, bila konflik yang
terjadi sangat mempengaruhi pemberian asuhan keperawatan pada klien, seorang manajer
dapat mengambil inisiatif untuk ikut seta aktif menyelesaikan konflik yang sedang terjadi
denga pertimbangan untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan yang dapat
menimpa klien.
Beberapa strategi dapat dilakukan untuk menyelesaikan konflik, seperti penggunaan
disiplin, pertimbangan tahap kehidupan, komunikasi, lingkaran kualitas dan latihan
keasertifan.
1.      Penggunaan disiplin
Dalam menggunakan displin untuk mengelola atau mencegah terjadinya konflik,
seorang manajer perawat harus mengetahui dan memahami peraturan dan ketepatan
organisasi yang berlaku. Berbagai aturan dapat digunakan untuk mengelola konflik, antara
lain penggunaan disiplin yang progresif, pemberian hukuman yang sesuai dengan
pelanggaran yang dilakukan anggota, penawaran bantuan untuk menyelesaikan masalah
pekerjaan, penentuan pendekatan terbaik utnuk setiap personil, pendekatan individual,
tegas dalam keputusan, penciptaan rasa hormat dan rasa percaya diri diantara anggota
utnuk mengatasi masalah kedisiplinan.

2.      Pertimbangan tahap kehidupan


Konflik juga dapat diselesaikan melalui pemberian dukungna pada anggota untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam tahap perkembangan kehidupannya. Ada tiga
tahap perkembangan yaitu tahap dewasa muda, setengah baya, dan setelah umur 55 tahun.
Masing-masing tahap perkembangan tersebut memiliki karakteristik yang berbeda.
Misalnya, tahap dewasa muda dicirikan dengan kegiatan mengejar atau rasa “haus” akan
pengetahuan, keterampilan, dan selalu ingin bergerak kearah kemajuan dan tahap setengah
baya dicirikan dengan perilaku atau keinginan untuk membantu perawat mudah dalam
mengembangkan karirnya, serta tahap diatas umur 55 tahun dicirikan dengan perilaku
pengintegrasian ide ego dengan tujuan yang diinginkan. Atas dasar ciri tersebut maka
seorang manajer harus mampu mengidentifikasi karakteristik pada masing-masing tahap
perkembangan sebagai dasar untuk menyelesaikan konflik.
3.      Komunikasi
Komunikasi yang merupakan bagian mendasar manusia dapat dimanfaatkan dalam
penyelesaian konflik. Komunikasi merupakan suatu seni yang penting digunakan untuk
memelihara suatu lingkungan kondusif-terapeutik. Dalam situasi ini, seorang manajer
dapat melakukan beberapa tindakan untuk mencegah terjadinya konflik melalui pengajaran
pada staf keperawatan tentang komunikasi efektif dan peran yang harus dilakukan,
pemberian informasi yang jelas pada setiap personel secara utuh, pertimbangan matang
tentang semua aspek situasi emosi, dan pengembangan keterampilan dasar yang
menyangkut orientasai realitas, ketengan emosi, harapan-harapan positif yan gdapat
membangkitkan respons positif, cara mendengar aktif, dan kegiatan dan menerima
informasi.
4.      Lingkaran kualitas
Cara lain yan gdapat digunakan untuk mencegah terjadinya konflik adalah
lingkaran kualitas. Cara ini telah digunakan untuk mengurangi terjadinya sters melalui
kegiatan manajemen personel. Lingkaran kualitas ini dapat digunakan melalui kegiatan
manajemen partisipasi, keanggotaan dalam panitia, program pengembangan
kepemimpinan, latihan-latihan kelas, penjenjangan karier, perluasan kerja, dan rotasi kerja.
5.      Latihan keasertifan
Seorang manajer dapat juga melatih stafnya dalam hal keasertifan untuk mencegah atau
mengelola konflik. Sifat asertif dapat juga diajarkan melalui progam pengembangan staf.
Pada program ini perawat diajarkan cara belajar melalui respon yang baik. Manajer dapat
belajar mengendalikan personel supaya mampu memegang aturan. Bila mereka tidak puas,
mereka mencoba melakukan sesuatu untuk mencapai kepuasan itu. Pada umunya perilaku
asertif dapat dipelajari melalui studi kasus, bermain peran, dan diskusi kelompok.

2.7 Pemecahan Masalah dan Pengambilan Keputusan


Pemecahan masalah dan pengambilan keputusan merupakan gabungan antara
logika dan daya, dan jika tepat, akan menciptakan jalan keluar yang memuaskan.
Sekalipun tidak mudah untuk mengambil keputusan dalam berbagai kondisi yang dihadapi,
tetapi keputusan tetap harus diambil dalam setip kegiatan yang dilakukan organisasi.
Karena setiap keputusan memiliki dampak pada waktu yang akan datang, oleh karena itu
keputusan yang dapat diambil harus dapat diterima secara rasional karena keputusan yang
diambil harus berdasarkan informasi yang akurat, tepat, dan lengkap. Berdasarkan hal
tersebut perlu dibuat langkah-langkah pengambilan keputusan yang mempertimbangkan
ketepatan, keakuratan, dan kelengkapan informasi pendukung tersebut.
Tahap pertama, pengkajian situasi. Tahap ini terdiri dari tiga proses yang
dilakukan, yaitu identifikasi masalah, diagnosis penyebab dari masalah, dan identifikasi
tujuan dari penyelesaian masalah melalui keputusan yang akan diambil. Pada proses
identifikasi masalah, pengambilan keputusan perlu membedakan apa yang benar-benar
masalah dan gejala dan apa yang menjadi sebab akibat dari gejala dan masalah tersebut.
Pada proses diagnosis penyebab masalah, pengambil keputusan menentukan secara pasti
apa yang menjadi sebab dan apa yang menjadi akibat. Proses terakhir dari tahap investigasi
situasi adalah identifikasi tujuan dari keputusan yang akan diambil. Pada proses ini,
pengambil keputusan perlu menentukan tujuan dari keputusan yang akan diambil.
Tahap kedua, perumusan alternative solusi. Pada tahap ini, pengambil keputusan
mencoba membangun beberapa alternative solusi untuk diputuskan guna diambil sebagai
langkah solusi. Tahap ini akan sangat tidak efektif jika masukan berupa ide-ide kreatif
dihasilkan melalui keterlibatan seluruh lapis pekerja yang terkait dengan masalah yang
dihadapi. Salah satu metode yang digunakan metode brain storming/curah ide, yang
seluruh pihak dilibatkan dalam penentuan alternative secara kreatif dan bebas dalam
menawarkan berbagai langkah solusi yang terkait dengan masalah. Agar tahapan ini
berjalan efektif dan efisien, maka perlu dipimpin oleh seorang yang mampu
mengendalikan proses pertemuan secara efektif dan efisien. Pada tahap ini evaluasi belum
dilakukan, artinya berbagai alternative yang barangkali secara financial misalnya tidak
memungkinkan, untuk sementara ditampung dulu, karena pada tahap ini seluruh ide
ditampung tamping tanpa harus mengevaluasinya terlebih dahulu.
Tahap ketiga, pengujian alternative. Pada tahap ini, pengambil keputusan
melakukan evaluasi dan penilaian terhadap berbagai alternative yang muncul untuk
kemudian diambil satu atau lebih alternative yang dianggap terbaik. Untuk dapat
menentukan alternative solusi yang terbaik, maka pendekatan bagan alur (flow chart) dapat
dipergunakan untuk mendapatkan alternative-alternatif yang memungkinkan.
Tahap keempat, pelaksanaan dan evaluasi alternative. Jika keputusan sudah
diambil, maka langkah berikutnya adalah mengimplementasikan alternative yang telah
diputuskan untuk dijalankan. Sebelum dijalankan maka tentunya perlu direncanakan akan
seperti apa dan bagaimana alternative tersebut dijalankan. Proses ini dilakukan pada proses
perencanaan implementasi. Pada tahap ini ditentukan siapa, apa saja, dan bagaimana
alternative tersebut akan dijalankan. Setelah direncanakan, implementasi dilakukan
sehingga proses berikutnya adalah implementasi dari rencana alternative yang akan
dijalankan. Pada proses ini, apa yang telah direncanakan dari alternative yang akan
dijalankan kemudian diimplementasikan. Untuk memastikan langkah implementasi
tersebut berjalan dengan baik dan mencapai tujuan yang telah dirumuskan, maka perlu
dilakukan proses pengawasan terhadap implementasi alternative. Proses ini dilakukan
untuk memastikan bahwa apa yang telah dijalankan sesuai dengan apa yang telah
direncanakan dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Rintangan terhadap pengambilan keputusan yang efektif tidak memutuskan,
menghindari keputusan terperangkap aspek-aspek risiko, ketakutan, dan kekhawatiran
yang tidak diinginkan. Pegang teguh, menolak menghadapi isu, pada akhirnya akan
menemukan gangguan, reaksi berlebihan, membiarkan satu situasi diluar control,
membiarkan emosi yang mengontrol, “vacillating”, menghilangkan keputusan.

2.8 Hasil Konflik


Konflik mengakibatkan hasil yang dapat produktif untuk pertumbuhan individu atau
organisasi. Sebalikanya,konflik dapat sangat destruktif( Kramer, Schmalenberg,
1978;lLewis 1976, Myrtle, Glogow, 1978; Nielsen, 1977) Deutsh( 1969, 1973) menegenali
empat factor utama yang menentukan hasil konflik: isu, kekuasaan, kemampuan
menanggapai kebutuhan, dan komunikasi bahasan berikut ini diberikan oleh Kramer dan
Schmalenberg (1978).
1. Isu
Pada konflik yang destruktif, isu di besarkan, dirumuskan secara luas dengan
tambahan secara rinci , dan bermuatan emosi. Pada konflik yang konstuktif, isu
difokuskan dan dipertahankan dalam ukuran yang dapat ditangani. Hanya isu
perifer yang berhubungan hal pokok yang dididkusikan, dan proses pilihannya
adalah aksi (tindakan) bukan reaksi.
2. Kekuasaan
Pada kekuasaan destruktif, situasi dipertahankan atau diubah melalui ancaman dan
paksaan. Suasananya adalah persaingan dengan hasil menang dan kalah.
Kekuasaan konstruktif meliputi penemuan jalan keluar yang dapat diterima yang
mungkin berupa kompromi atau sebuah jalan keluar yang dapat diterima yang
mungkin diterima yang mungkin berupa kompromi atau sebuah jalan keluar yang
baru; kebutuhan dan pandangan pribadi tidak dipaksakan pada orang lain
3. Kemampuan Menanggapi Kebutuhan
Pada konflik destruktif, hanya kebutuhan sendiri saja yang dipertimbangkan.
Dengan berjalanya waktu seseorang menjadi semakian yakin bahwa keyakinananya
dan perilakunya adalah benar. Penyelesaaian konflik yang konstruktif ditandai
secara khas oleh penyelesaian yang menanggapi kebutuhan semua pihak yang
terlibat.
4. Komunikasi
Saling tidak percaya, persepsi yang salah, dan peningkatan muatan emosi tertentu
saja membentuk konflik yang destruktif. Penyelesaian yang konstruktif meliputi
dialog terbuka dan jujur, slaing berbagi kekawatiran, dan mendengarkan dengan
hasrat untuk memahami orang lain. Tujuanya adalah memebuka masalah sehingga
dapat dihadapi secara efektif.

Konflik dapat bermanfaat bagi organisasi, bila pemimpin mempunyai kemahiran


dalam memfasilitasi penyelesain konflik yang konstruktif. Jika perbedaan pendapat
tentang sesuatu isu disuarakan dan jika masalah dibuka, hali ini menunjukan bahwa orang-
orang terlibat dan peduli. Lawan dari cinta bukanlah benci, tetapi ketidakpedulian. Pada
cinta dan benci terdapat enerji mereka yang dicintai seseorang akan memepunyai
kekuasaan untuk menibulkan kebencian. Ketidakpedulian bersifat kosong. Enerji
ditimbulkan melalui penyelesaian konflik yang efektif dapat diguanakan secara positif
kearah pencapain tujuan. Nielsen (1977) mengatakan bahwa konflik adalah akar perubahan
pribadi dan social’( hlm153). Konflik merangsang penyelesaian masalah dan hasil
penyelesaian yang kreatif, konflik dapat dinikmati, danmemungkinkan perkembangan
identitas pribadi.
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Konflik adalah perselisihan atau perjuangan yang timbul ketika keseimbangan dari
perasaan, hasrat, pikiran, dan perilaku seseorang terancam. Perjuangan ini dapat terjadi di
dalam individu atau di dalam kelompok. Pemimpin dapat menggerakkan konflik ke hasil
yang destruktif atau konstruktif. Secara structural, konflik dapat vertical, yaitu melibatkan
perbedaan antara pemimpin dan anak buah, atau horizontal, yaitu garis relative staf.
Sembilan tipe konflik tercatat dalam literature : di dalam pengirim, di dalam peran, peran
pribadi, antar pribadi, di dalam kelompok, di antara kelompok, peran mendua, dan beban
peran yang terlalu besar.
Penyebab konflik adalah unik dan bermacam-macam. Tetapi, penyebab umumnya
telah dinyatakan dan dibahas. Penyebab umum ini antara lain perilaku menentang, stress,
kondisi ruangan yang terlalu sempit, kewenangan dokter-perawat yang berlebihan,
perbedaan nilai dan keyakinan, eksklusifisme, peran ganda perawat, kekurangan sumber
daya insani, perubahan, imbalan serta komunikasi. Proses konflik dimulai dengan kondisi
pendahulu, kemudian bergerak ke konflik yang di presepsi dan atau dirasakan. Selanjutnya
adalah perilaku, lalu konflik untuk diselesaikan atau ditekan.
Penyelesaian konflik yang konstruktif adalah sebuah aspek penting dari tanggung
jawab menejerial. Sejumlah pendekatan, termasuk kemungkinan keterlibatan dan
menejemen yang mempunyai tujuan, juga didiskusikan. Tidak ada metoda terbaik untuk
memfasilitasi penyelesaian konflik. Seorang pemimpin harus mempunyai pengetahuan
tentang kemungkinan strategi bersamaan dengan pengetahuan tentang proses memimpin
dan mengatur orang; kemudian harus dipilih dan dilaksanakan strategi yang terbaik untuk
situasi yang unuk tersebut.

3.2 Saran
Konflik adalah sebuah kemutlakan, pemimpin harus belajar untuk secara efektif
memfasilitasi penyelesaian konflik diantara orang-orang agar tujuan dapat tercapai. Dari
hasil pembahasan di atas, diharap para pembaca baik yang merupakan calon pemimpin
ataupun yang telah menjadi pemimpin, agar dapat me-manajemen institusi atau
organisasinya dengan baik agar terbebas dari konflik yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

Monica. 1998. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC.

Simamora, R. 2012. Buku Ajar Manajemen Keperawatan. Jakarta: EGC.

Supriyatno. 2005. Manajemen Bangsal Keperawatan. Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai