Anda di halaman 1dari 104

I.

PENDAHULUAN

II. A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit infeksi yang sebagian

besar disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Bakteri yang

termasuk genus Mycobacterium tersebut merupakan bakteri yang

berbentuk batang dan bersifat aerob serta tahan asam karena dinding

selnya berlemak (robbins, et. All., 2009: 392). Bakteri penyebab TB

tersebut terutama menyerang paru – paru (pulmonary), tetapi dapat juga

menyerang organ – organ tubuh lain (extrapulmonary) (WHO, 2016: 4).

Sampai saat ini tuberkulosis masih menjadi permasalahan kesehatan

utama yang terjadi secara global, karena merupakan salah satu penyakit

mematikan dan pada tahun 2015 menjadi salah satu dari sepuluh

penyebab kematian terbanyak di dunia, juga menyebabkan angka

kematian yang lebih tinggi dibandingkan HIV/AIDS (Human

Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome).

Pada tahun yang sama yaitu tahun 2015, 1,4 juta orang tanpa HIV

meninggal karena tuberkulosis dan setidaknya 0,39 juta orang dengan

HIV positif terenggut nyawa akibat tuberkulosis (WHO, 2016: 5,30).


Pada tahun 2015 terdapat 10,4 juta kasus TB baru ( termasuk 1,2 juta

kasus TB pada orang dengan HIV/AIDS) 5,9 juta diantaranya adalah

pria, 3,5 juta adalah perempuan dan 1 juta diantaranya terjadi pada anak-

anak. Sehingga 90% kasus TB didunia terjadi pada orang dewasa dan

10% terjadi pada anak – anak. Dengan perbandingan 1,6:1 pada laki-laki

dan perempuan. Secara global angka kematian akibat tuberkulosis pada

orang dengan negatif HIV mengalami penurunan 34%, sejak tahun 2000

dari 1,8 juta kematian menjadi 1,4 juta kematian akibat TB pada tahun

2015. Sedangkan pada tahun 2014 dan 2015 terjadi penurunan 2,7%

angka kematian akibat TB pada orang dengan negatif HIV (WHO, 2016:

5,30-32).

Pada tahun 2013 insiden TB terbanyak terdapat di Asia tenggara

sebanyak 38% kasus dari 9 juta, disusul oleh afrika sebanyak 29% kasus,

daerah pasifik bagian barat 18%, mediterania timur 8%, eropa 4% dan

amerika 3% kasus. Sedangkan di Indonesia sendiri kebanyakan terjadi

pada laki-laki dan dan usia 55-64 tahun. Pada tahun yang sama yaitu

tahun 2013 insiden TB di Indonesia sebanyak 460 ribu dari total

penduduk 250 juta jiwa, sedangkan prevalensinya 680 ribu kasus dan
angka kematian 25 per 100 ribu populasi dalam 1 tahun (WHO, 2015: 4-

5,126-128).

Pengobatan yang tidak adekuat pada tuberkulosis dapat menyebabkan

komplikasi yang serius salah satunya adalah resistensi tuberkulosis

terhadap obat anti tuberkulosis yang dapat berupa multidrug resistensi

(MDR) . TB MDR sendiri merupakan Mycobacterium tuberculosis yang

resisten, minmal terhadap rifampisn dan INH dengan atau tanpa obat anti

tuberkulosis lainnya. Rifampisin (RIF) dan isoniazid (INH) merupakan

obat yang bersifat bakteriosid dan sangat penting pada pengobatan TB

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011: 31-34).

Pada tahun 2015 insiden kasus TB MDR/RR-TB (TB resisten

terhadap rifampisin) yang terjadi global sebanyak 580 ribu jiwa dan

sebanyak 250 ribu jiwa meninggal dengan TB MDR/RR-TB. Tercatat

bahwa insiden terbanyak TB MDR/RR-TB terjadi pada daerah Asia

Tenggara yaitu sebanyak 200 ribu kasus, kemudian Eropa 120 ribu kasus,

Afrika 110 ribu kasus, Pasifik bagian Barat 100 ribu kasus, Mediterania

Timur 39 kasus dan kasus TB MDR/RR-TB terendah terdapat pada

Amerika dengan kasus sebanyak 11 ribu kasus. Kasus terbanyak TB

MDR/RR-TB terjadi pada India sebanyak 130 ribu kasus, China 70 ribu
kasus dan Federasi Russia sebanyak 60 ribu kasus. Sedangkan di

indonesia sendiri tercatat 32 ribu kasus TB MDR/RR-TB (WHO, 2016:

38-39).

Dampak yang di timbulkan oleh penyakit tuberkulosis sangat besar

terutama TB MDR dan dampak tersebut tidak hanya menyangkut

kesehatan tetapi juga menyangkut pekerjaan dan ekonomi. Berdasarkan

data WHO (World Health Organization) dari 126 negara dengan 97%

kasus TB, dana yang dibutuhakan untuk pencegahan, diagnosa dan

pengobatan dari TB adalah sebesar US$ 6.6 milyar. Sedangakan biaya

perwatan untuk pasien TB berkisar US$ 100 – 1000 dan untuk pasien

MDR TB biaya perawatannya sekitar US$ 2000 – 20000 (WHO, 2016:

108). Di indonesia sendiri dari 118 pasien TB, 26% mengaku kehilangan

pekerjaan, dan 38% pasien mengeluh kehilangan penghasilan karena TB.

Sedangkan dari 143 pasien MDR TB, 53% mengaku kehilangan

pekerjaan dan 70% mengungkapakan telah kehilangan penghasilan

karena penyakitnya tersebut (Tiemersma, et.,al, 2014: 2-3).

Pada Konsil Kedokteran Indonesia Tahun 2012, Multi Drug

Resistance ( MDR ) TB termasuk dalam penyakit sistem respirasi dengan

standar kompetensi 2 ( tingkat kemampuan mendiagnosa dan merujuk ).


Pada tingkat tersebut lulusan dokter mampu membuat diagnosa klinik

terhadap penyakit tersebut dan menentukan rujukan yang paling tepat

bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu

menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan. Selain karena menarik

untuk dipelajari lebih mendalam, Multi Drug Resistance ( MDR ) TB

juga merupakan salah satu penyakit yang diakibatkan oleh kelalaian

manusia dalam penanganan atau pengobatan penyakit TB. Oleh karena

itu penulis tertarik untuk mengambil Multi Drug Resistance ( MDR ) TB

sebagai judul dalam penulisan Karya Tulis Ilmiah.

B. Uraiaan Kasus

Seorang anak berusia 2 tahun 5 bulan, dibawah oleh Orang tuanya ke

Rumah Sakit Dok II Jayapura dengan keluhan mencret 7 kali sejak siang

dari hasil anamnesis didapatkan volume tinja banyak dan berisi ampas,

cairan serta berlendir dan tidak berdarah, tidak disertai muntah. Tinja

berwarna kuning kehijauaan dan disertai batuk dan demam yang timbul

sejak mulai mencret. Pasien sebelumnya merupakan rujukan dari Rumah

Sakit Dian Harapan yang di diagnoasa TB Resisten Rifampisin dan telah


melakukan pengobatan OAT RHZ (Obat Anti Tuberkulosis rifampisin,

isoniazid, pirazinamid) + Streptomisin selama 1 tahun. Di IGD RSUD

(Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umumu Daerah ) Jayapura,

pasien kemudian di assesment dan di diagnosa Diare Akut Dehidrasi

Ringan Sedang dan TB MDR (Resistensi Rifampicin) selanjutnya

diberikan pertolongan di IGD, berupa IVFD RL 630 cc, Ranitidin 9

mg/12 jam iv, Parasetamol 135 mg/8 jam iv. Kemudian pasien di rawat

inap untuk memantau keadaan dari pasien tersebut.

Dari hasil alloanemsia sebelumnya didapatkan pasien memiliki

riwayat benjolan di ketiak kiri sejak usia 2 bulan, kemudian di rujuk ke

jakarta dari Rumah Sakit Dian Harapan untuk dilakukan biopsi dan

dinyatakan TB kelenjar. Pasien telah diberikan OAT FDC (Fixed Dose

Combination) warna merah selama 2 bulan dan warna kuning selama 10

bulan namun dikonsumsi secara tidak rutin. Kemudian dinyatakan

Resisten Terhadap Rifampisin setelah dilakukan GeneXpert di Rumah

Sakit Dok II Jayapura.


II. PENYAJIAN DATA

A. Demografi Pasien

1. Nama Lengkap : An. MA

2. Jenis Kelamin : Perempuan

3. Usia : 2 Tahun

4. Tanggal Lahir : 15 April 2014

5. Alamat Lengkap : Jl. Barnabas

yowee sentani

6. Nama Ayah : EA

7. Nama Ibu : HT

8. Jumlah Kontak Serumah : 7 Orang

a. ≤14 Tahun : 4 Orang

b. ≥14 Tahun : 3 Orang

9. Tanggal Masuk RSUD Jayapura : 20 Oktober

2016
III. TEMUAN KLINIS

A. Anamnesis

A.1 Keluhan Utama

Pada pukul 20.00 WIT, Pasien bersama orang tuanya datang ke

Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Dok II Jayapura dengan keluhan

mencret 7 kali sejak siang dan batuk sejak 4 hari sebelum masuk rumah

sakit.

A.2 Riwayat Pasien

A.2.1 Riwayat Penyakit Sekarang


1. Batuk dan Sesak Nafas (Keluhan Sistem Pernafasan)

Berdasarkan aloanemsis yang dilakukan pada orang tuanya, pasien

(anaknya) mengalami batuk yang telah dirasakan sejak empat hari

terhitung sebelum pasien masuk rumah sakit. Selain batuk, keluhan

respiratori lain yang dikeluhakan oleh orang tua dari pasien adalah

sesak nafas, keluhan tersebut diakui telah berlangsung sejak empat

hari sebelum anaknya (pasien) masuk rumah sakit. Sesak nafas yang

di keluhkan oleh orang tua dari pasien tersebut terjadi saat anaknya

(pasien) beraktivitas maupun ketika anaknya sedang beristirahat.

2. Mencret (Keluhan Sistem Pencernaan)

Selain keluhan batuk, keluhan lain yang membawa pasien untuk

datang ke Rumah Sakit adalah keluhan mencret. Mencret yang

dikeluhan terjadi pada anaknya telah berlangsung 7 kali sejak siang


hari sebelum anaknya (pasien) masuk rumah sakit dan tidak disertai

dengan keluhan muntah. Orang tua dari pasien juga mengatakan

bahwa mencret yang terjadi pada anaknya, banyak dan berisi ampas

serta cairan tapi tidak disertai dengan darah. Selain keluhan tersebut,

orang tua dari pasien juga mengeluhkan feses pada anaknya berwarna

hijau kekuningan dan berlendir.

3. Demam, Keringat Malam, Penurunan Berat Badan (Keluhan Sistemik)

Orang tua pasien juga mengatakan bahwa selain mengalami

keluhan pernafasan dan pencernaan yang merupakan keluhan utama

yang membawa anaknya ke Rumah Sakit, anaknya (pasien) juga

mengalami keluhan sistemik atau keluhan yang bersifat tidak spesifik,

seperti demam yang telah terjadi tiga hari sebelum anaknya (pasien)

masuk rumah sakit, Orang tua pasien juga mengeluh bahwa anaknya

(pasien) mengalami keringat malam terhitung sejak empat hari

sebelum datang ke rumah sakit. Selain itu juga telah terjadi

penurunan berat badan pada anaknya (pasien) selama 1 tahun yang

terhitung sebelum anaknya masuk rumah sakit.


4. Riwayat Pengobatan Penyakit TB MDR

Pasien tersebut sebelumnya telah datang ke Instalasi Gawat

Darurat Rumah Sakit Dok II Jayapura pada tanggal 6 oktober 2012,

atas rujukan dari Rumah Sakit Dian Harapan untuk penanganan lebih

lanjut pasien TB rifampisin resisten tersebut. Saat masuk ke IGD

Rumah Sakit Dok II Jayapura pada tanggal 6 oktober 2012 pasien

didiagnosa menderita TB rifampisin resisten dan Kurang Gizi

kemudian diberi pengobatan lebih lanjut. Pasien sebelumnya telah

menjalani pengobatan OAT RHZ + Streptomisin di Rumah Sakit Dian

Harapan selama kurang lebih 1 tahun terhitung dari tanggal 24 oktober

2015 - 30 september 2016.

A.2.2 Riwayat Penyakit Dahulu

1. Riwayat Penyakit TB dan Pengobatannya

Orang tua pasien mengatakan bahwa 2 bulan setelah kelahiran

putrinya, dia mendapatkan sesuatu yang “ganjil” pada ketiak kiri dari

anaknya tersebut. Setelah diperhatikan dengan seksama ternyata pada

ketiak kiri dari putrinya terdapat benjolan. Karena merasa cemas


maka anak tersebut di bawah ke Poli bedah Rumah Sakit Dian

Harapan yang letaknya cukup jauh dari rumahnya di sentani.

Sesampainya di Rumah sakit Dian Harapan, anaknya diberikan

pengobatan dan dirujuk ke Rumah Sakit di jakarta untuk di lakukan

biopsi terhadap benjolan pada ketiak kiri dari putrinya.

Pada saat anaknya berusia 1 tahun 4 bulan, anaknya tersebut

dibawah ke jakarta untuk dilakukan biopsi. Setelah hasil biopsi keluar,

anaknya dinyatakan positif menderita TB Kelenjar. Pada bulan

Oktober 2015 pasien selanjutnya diberikan pengobatan oleh dokter di

jakarta, namun karena adanya cairan yang keluar dari umbilikusnya

maka pengobatan yang telah diberikan terputus dan anaknya tersebut

harus menjalani operasi berupa laparatomy.

anaknya tersebut kemudian di bawah kembali ke jayapura, dan

pada tanggal 24 Oktober 2015 – 30 Oktober 2015 anaknya diberikan

pengobatan berupa OAT ( Obat Anti Tuberkulosis ) RHZ dan

streptomisin di Rumah Sakit Dian Harapan. Tidak berselang beberapa

hari anaknya dibawah ke Puskesmas Sentani dan diberikan

pengobatan dari tanggal 30 Oktober 2015 – 30 September 2016

dengan obat yang sama dari Rumah Sakit Dian Harapan yaitu
sterptomisin dan OAT ( Obat Anti Tuberkulosis ) RHZ yang diberikan

dalam bentuk FDC.

Orang tua pasien juga menuturkan bahwa selama pengobatan, obat

FDC yang diberikan ada 2 jenis yaitu yang warna merah yang

diberikan selama 2 bulan dan disarankan oleh petugas kesehatan di

konsumsi 1 tablet perhari. Sedangkan obat yang satunya lagi berwarna

kuning diberikan selama 10 bulan dan dikonsumsi 2 tablet perhari atas

saran dari petugas kesehatan. Sehingga pengobatan tuberkulosis

dengan OAT yang telah dijalani oleh anaknya tersebut telah

memakan waktu 12 bulan terhitung dari tanggal 24 Oktober 2015 – 30

September 2016, dengan fase intensif 2 bulan dan fase lanjutan 10

bulan. Selama pengobatan tersebut juga orang tua dari pasien

menuturkan bahwa obat yang diberikan dari Puskesmas Sentani, tidak

setiap hari di konsumsi oleh anaknya.

B. Pemeriksaan Fisik
1. Tanda – Tanda Vital

HR (Heart Rate) : 130 x/menit

RR (Respiratory Rate) : 30 x/menit,

SB (Suhu Badan) : 38,10C

SpO2 : 99%.

2. Status Generalis

Kepala : Normochepali

Leher : Pembesaran KGB + (Kelenjar Getah

Bening), Limfadenitis +

Thorax : Simetris, Retraksi -, Wh -/- (Wheezing), Rho

-/- (Rhonki), BN (Bunyi Nafas)Vesikuler +/+, BJ

(Bunyi Jantung) I - II Reguler

Abdomen : Cembung, BU (Bising Usus) + 3-4

Ektermitas : Akral hangat, udem -. CRT < 3” (Capillary

Refill Time)
3. Status Dehidrasi :

KU (Keadaan Umum) tidak rewel, Haus +, Mata cowong +, Air

mata ada, Mukosa bibir kering +, Turgor kulit kembali cepat.

C. Pemeriksaan Penunjang

Tabel 1. Pemeriksaan Bakteriologi

Jenis Pemeriksaan Tanggal Hasil

Sputum BTA 2/11/2015 Negatif

BTA +3
Pada Pewarnaan Gram
27/9/2016 ditemukan adanya bakteri
BTA Swab Luka
berbentuk batang dan bersifat
gram +

Pagi 4/10/2016 BTA +3


Sputum BTA
Sewaktu 4/10/2016 BTA +3
Tabel 2. Pemeriksaan Mikrobiologi

Jenis Pemeriksaan Tanggal Sampel Hasil

Kultur (Identifikasi Tidak terdapat


bakteri dan Uji sensitifitas 27-9-2016 Darah pertumbuhan kuman/steril
antibiotik (Inkubasi 5 x 24 jam)

Tabel 3. Pemeriksaan GeneXpert MTB

Pemeriksaan Tanggal Hasil Tes Cepat Xpert MTB

Sputum 4/10/2016 Resisten Rifampisin

Tabel 4. Pemeriksaan Hematologi

Tanggal
Nilai
Parameter
Normal
27/9/2016 11/10/2016 20/10/2016
RBC (106/mm3) 4,44 4,73 4,54 3,9 - 5,6
Hb (g/dL) 7,9 10,9 9,6 11,5 - 13,5
Hct (%) 28,5 35,6 30 34 – 40
MCV (fL) 64,2 75,3 66,1 79 - 99
MCH (pg) 17,8 23 21,1 27 - 31
MCHC (g/dL) 27,7 30,6 32 33 - 37
WBC (103/mm3) 21,96 6,65 25,4 6 - 17
Eosinofil (%) 0,3 8,9 0-4
Basofil (%) 0 0,8 0-1
Neutrofil (%) 62 44,7 92 46 - 73
Lymphosit (%) 31,4 36,1 7 17 - 48
Monosit (%) 6,3 9,5 4 - 10
3 3
Trombosit (10 /mm ) 118 273 174 150 - 450
LED (mm/jam) 59-88 8 - 15

Tabel 5. Pemeriksaan Feses

Uji Makroskopik Uji Mikroskopik

Tanggal Tanggal
Parameter Parameter

12/10/2016 12/10/2016

Warna Coklat tua Leukosit 0 – 2 sel/lapang pandang

Konsistensi Lunak Eritrosit 0 – 1 sel/lapang pandang

Bau Khas Epitel 0 – 1 sel/lapang pandang

Lendir - Telur Cacing -


Nanah - Amuba -
Darah -
Sisa Makanan +
Cacing -
Tabel 6. Pemeriksaan Radiologi Thorax Posisi Anterior Posterior

Tanggal Foto
25/9/2016
Gambar 1. Foto Thorax AP (Anterior Posterior)

(Dikutip dari : hasil pemeriksaan radiologi thorax An. MA di Rumah


Sakit Dian Harapan)

Keterangan :

Cor : Tidak melebar

Pulmo : Hili normal.

Tampak corakan ronkovaskular normal.

Fibroinfiltrat di lapang atas sampai bawah kanan.

Tabel 7. Pemeriksaan Radiologi Thorax Posisi Lateral Dextra

Tanggal Foto
25/9/2016

Gambar 2. Foto Thorax Lateral Dextra

(Dikutip dari : hasil pemeriksaan radiologi thorax An. MA di Rumah


Sakit Dian Harapan)

Keterangan :

Sinus anterior tidak berselubung, posterior tajam.


Retrocardiac space cerah retrosternal space sedikit berselubung.

Fibroinfiltrat di lapang atas sampai bawah kanan.

Kesimpulan :

Dari pemeriksaan radiologi thorax AP (tabel 6) dan Lateral Dekstra

(Tabel 7) pada pasien atas nama An. MA didapatkan TB paru aktif dan

Efusi pleura kanan minimal.


IV. TIME LINE
Gambar 3. Perjalanan Klinis Pasien Sebelum Masuk RSUD Jayapura.

(Dikutip dari : riwayat medis pasien)


V. ASSESMENT DAN DIAGNOSIS

A. Diagnostik

Berdasarkan aloanamnesis, pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

penunjang yang telah dilakukan maka diagnosa pada pasien atas nama

An. MA adalah :

1. TB paru resisten rifampisin

2. Diare Akut Dehidrasi Ringan Sedang,

B. Penalaran Diagnostik

Sebelumnya pasien telah menderita TB kelenjar (extrapulmonary)

kemudian menjalani pengobatan dengan OAT selama kurang lebih 12

bulan (fase awal 2 bulan dan fase lanjutan 10 bulan) terhitung dari

tanggal 24 Oktober 2015 – 30 September 2016. Selama menjalani

pengobatan TB tersebut evaluasi yang dilakukan pada pasien cenderung

tidak rutin. Setelah dilakukannya evaluasi pada masa akhir pengobatan

yaitu melalui pemeriksaan sputum BTA (Basil Tahan Asam) dan


pemeriksaan Xpert MTB di dapatakan hasil BTA +3 dan adanya strain

yang resisten terhadap rifampisin.


VI. TERAPEUTIK
Gambar 4. Terapi Ketika Pasien Masuk RSUD Jayapura.

(Dikutip dari : riwayat medis pasien)


VII. HASIL DAN TINDAK LANJUT

Tabel 8. Perjalanan Klinis Pasien di RSUD Jayapura

Tanggal SOAP Keterangan


S Lemas +

TTV
O
HR 132 x/menit, SpO2 99%

A
TB MDR dan Gizi Buruk Tipe Marasmus

Terapi :

Terapi medikamentosa :
a. Inj Sefotaksim 3 x 300 mg IV
21/10/2016 b. Inj Getamisin 64 mg/24 jam
c. Zink 20 mg (1 x1 ) tab
d. L-Bio 3 x ½ sachet
P e. Inf D12,5% 600cc/24 jam
Terapi nonmedikamentosa :
a. Pasang NGT

Monitoring :

Pantau KU, Cek GDS jika < 54 mg % berikan


bolus dekstrosa 10% 16 cc iv.

S Panas, kurus

22/10/2016

O Turgor kulit lambat, Ektermitas hangat

A
TB MDR

Gizi buruk Tipe Marasmus

Diare Akut

Terapi :

Terapi medikamentosa

a. Zink 1 x 20 mg

P Terapi nonmedikamentosa

a. Inf D12,5%

Monitoring :

Pantau tanda vital

Cek Na, K, Calsium, SGOT, SGPT, albumin.


Tabel 8. Perjalanan Klinis Pasien di RSUD Jayapura (lanjutan)

Tanggal SOAP Keterangan


25/10/2016 S BAB encer 7x, belum mau makan

TTV

Nadi 120 x/menit,

RR 23 x/menit,
O
SB 37,80C.

Status Generalis :

Thoraks : Simetris +, retraksi +

A TB MDR

Marasmus

P Terapi :

Terapi medikamentosa :

a. Inf D 12,5% 400cc,

Terapi nonmedikamentosa :

a. 8 x 60cc F75

b. Transfusi albumin 20% 40cc


S BAB encer 2x,

Pasien panas kurang lebih 2 hari.

TTV

Nadi 123 x/menit,


O
RR 23 x/menit,

SB 37,80C.

27/10/2016

A TB MDR

Gizi Buruk Tipe Marasmus


Anemia

P Terapi :

Terapi medikamentosa

a. Parasetamol 100 mg/8 jam.

Terapi nonmedikamentosa

a. Minum 8 x 60 cc F75
b. Transfusi PRC 120 cc
VIII. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

A. Tinjauan Pustaka

A.1 Definis TB MDR

TB MDR (Multi Drug Rsistance) adalah suatu penyakit yang

disebabkan karena adanaya strain dari Mycobacterium tuberculosis yang

resisten, minimal terhadap rifampisin dan isoniazid. Isoniazid dan

rifampisin merupakan OAT (obat anti tuberkolis) yang penting dalam

pengobatan lini pertama penyakit tuberkulosis (Palomino., Martin,

2014: 317).
Gambar 5. Mycobacterium tuberculosis

(Dikutip dari : World Medical Association, 2008: 10)


Secara umum menurut perhimpunan dokter paru indonesia (2011: 33)

resistensi terhadap obat anti tuberkulosis dibagi menjadi :

1. Resistensi Primer : Apabila pasien

sebelumnya tidak pernah mendapat

pengobatan OAT atau telah mendapatkan

pengobatan OAT < 1bulan.

2. Resistensi Inisial : Apabila tidak

diketahui secara pasti apakah pasien sudah

ada riwayat pengobatan OAT sebelumnya

atau belum pernah.

3. Resistensi Sekunder : Apabila pasien

telah mempunyai riwayat pengobatan OAT

minimal 1 tahum .

Selain itu pula menurut perhimpunan dokter paru indonesia (2011:

33-34) terdapat lima jenis kategori resistensi terhadap obat anti

tuberkulosis yaitu :

1. Mono resistance :

Resisten terhadap salah satu

OAT
2. Poly resistance :

Resisten terhadap lebih dari

satu OAT. Selain kombinasi

isoniazid dan rifampisin

3. Multi drug Resistance (MDR)

: Resisten

terhadap sekurang –

kurangnya isoniazid dan

rifampisin.

4. Extensive drug resistance

(XDR) : TB MDR di

tambah kekebalan terhadap

salah satu obat golongan

fluorokuinolon dan sedikitnya

salah satu dai OAT injeksi lini

kedua.

5. Total drug resistance

: Resisten baik dengan

lini pertama maupun lini kedua.


Pada kondisi ini tidak ada lagi

obat yang dapat di pakai.

A.2 Penyebab Terjadinya Resistensi TB

Tuberkulosis yang resisten terhadap pengobatan obat anti

tuberkulosis (OAT) pada dasarnya merupakan suatu penyakit yang

diakibatkan oleh manusia yaitu karena pengobatan atau penanganan yang

tidak adekuat, sehingga memunculkan strain yang resisten terhadap obat

anti tuberkulosis yang digunakan. Berikut beberapa faktor penyebab

terjadinya resistensi terhadap OAT menurut perhimpunan dokter paru

indonesia (2011: 31-33) :

1. Faktor Mikrobiologik

a. Resistensi yang natural

b. Resistensi yang didapat

c. Amplifer effect

d. Virulensi kuman

e. Tertular galur kuman – MDR

2. Faktor Klinik

Penyelenggara Kesehatan
a. Keterlambatan diagnosis

b. Pengobatan tidak mengikuti pedoman

c. Penggunaan OAT yang tidak adekuat yaitu karena jenis obatnya

yang kurang atau karena pada lingkungan tersebut telah terdapat

resistensi yang tinggi terhadap OAT

d. Tidak ada guideline/pedoman

e. Tidak ada/kurangnya pelatihan TB

f. Tidak ada pemantauan pengobatan

g. Fenomena addition syndrome yaitu suatu obat yang di

tambahkan pada satu paduan yang telah gagal. Bila kegagalan

terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama

maka penambahan satu jenis obat tersebut akan menambah daftar

obat yang resisten.

Obat

a. Pengobatan TB jangka waktunya lama, lebih dari 6 bulan

sehingga membosankan pasien.

b. Obat toksik menyebabkan efek samping sehingga pengobatan

gagal sampai selesai.

c. Obat tidak dapat diserap dengan baik misalnya jika ada diare
d. Kualitas obat kurang baik misalnya penggunaan obat kombinasi

dosis tetap yang mana bioavibilitas rifampisinnya berkurang.

e. Regimen/dosis obat tidak tepat

f. Harga obat yang tidak terjangkau.

g. Pengadaan terputus

Pasien

a. PMO (Pengawas Menelan Obat) tidak ada/kurang baik

b. Kurangnya informasi atau penyuluhan

c. Kurangnya dana untuk obat, pemeriksaan penunjang

d. Efek samping obat

e. Sarana dan prasarana misalnya transportasi

f. Masalah sosial

g. Gangguan penyerapan obat.

3. Faktor Program

a. Tidak ada fasilitas untuk biakan dan uji kepekaan

b. Amplifier effect

c. Tidak ada program DOTS – PLUS


d. Program DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)

belum berjalan dengan baik

e. Memerlukan biaya besar.

4. Faktor HIV/AIDS

a. Kemungkinan terjadi TB MDR lebih besar

b. Gangguan penyerapan

c. Kemungkinan terjadi efek samping lebih besar.

5. Faktor Kuman

a. Sangat virulen

b. Daya tahan hidup lebih tinggi

c. Berhubungan denngan MDR TB.


Gambar 6. Fall and Rise Phenomenon

(Dikutip dari : WHO, 2004: 201)

A.3 Patogenesis TB Resistensi


Gambar 7. Proses Terjadinya TB resistensi

(Dikutip dari : Zhang., Yew, 2009: 1321)

Tabel 9. Mekanisme Molekuler Resistensi OAT

Obat Gen Peran

katG, Katalase/peroksidase
Isoniazid inhA enoyl reduktase
ahpC alkyl hydroperoxide reductase
Rifampisin rpoB β-subunit RNA polymerase
Pirazinamid pncA Pyrazinamidase
rpsL S12 ribosomal protein
Streptomisin rrs 16A rRNA
gidB 7-methylguanosine methytransferase
Etambutol embB Arabinosyl transferase
floroquinolone gyrA/gyrB DNA gyrase
Kanamisin/Amikasin rrs 16S rRNA
Kapreomisin tlyA rRNA methyltransferase
Etionamid inhA Enoyl-ACP reductase
Asam para-amino
thyA Thymidylate synthase A
salisilat

(Dikutip dari: Da Silva., Palomino, 2011: 1418)

A.4 Diagnosa TB MDR

Sebelum membahas tentang cara diagnosis TB MDR, terlebih

dahulu dibahas tentang cara diagnosis TB, karena dapat menjadi acuan

dalam menegakan adanya kekambuhan atau kegagalan pengobatan TB

yang mengindikasian telah terjadi resistensi. Diagnosis TB dapat

ditegakakan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan

bakteriologi, radiologi serta pemeriksaan penunjang lainnya.

(perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 9).

1. Gejala Klinis

a. Gejala Respiratori :

 Batuk dan batuk darah

Gejala ini sering ditemukan. Batuk terjadi karena adanay iritasi

pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang produk


-produk radang keluar dari saluran nafas bawah. Sifat batuk

dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah

timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan dahak).

Keadaan ini lebih lanjut dapat berupa batuk darah karena

terdapat pembuluh darah kecil yang pecah. Kebanyakan batuk

darah pada TB terjadi pada kavitas (Bahar., Amin, 2015: 869).

 Sesak nafas

Pada penyakit TB paru yang ringan (baru tumbuh) belum

dirasakan adanaya sesak nafas. Sesak nafas akan ditemukan

pada penyakit TB paru yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya

sudah meliputi setengah bagian paru-paru (Bahar., Amin, 2015:

869).

 Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila

infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga menimbulkan

pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu pasien menarik

nafa atau melepaskan nafas (Bahar., Amin, 2015: 869).

 Sering terserang flu


Gejala batuk-batuk lama kadang disertai pilek sering terjadi

karena daya tahan tubuh pasien yang rendah sehingga mudah

terserang infeksi virus seperti influenza (Bahar., Amin, 2015:

869).

b. Gejala sistemik :

 Demam

Biasanya subfebris menyerupai demam influenza, tetapi kadang-

kadang panas dapat mencapai 40-41oC. Serangan demam

pertama dapat sembuh sebentar, tetapi kemudian dapat timbul

kembali (Bahar., Amin, 2015: 869).

 Gejala sistemik yang lain

Malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan turun

(perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 9).

 Gejala TB ektraparu

Gejala TB ekstraparu tergantung dari organ yang terlibat,

misalnya pada limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang

lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada

meningitis TB akan terlihat gejala meningitis. Pada pleuritis TB


terdapat gejala sesak nafas dan kadang nyeri dada pada sisi yang

rongga pleuranya terdapat cairan (perhimpunan dokter paru

indonesia, 2011: 10).

2. Pemeriksaan Fisik

a. Demam

b. Konjungtiva anemis

c. Berat badan menurun

d. Auskultasi suara nafas bronkial dapat ditemukan ronki

basah/kasar/nyaring.

e. Bila infiltrat diliputi penebalan pleura, suara nafas jadi vesikuler

melemah

f. Bila terdapat kavitas besar ditemukan perkusi hipersonor ertimpani.

g. Auskultasi suara amphorik (Perhimpunan dokter spesialis penyakit

dalam Indonesia, 2016: 794).

3. Pemeriksaan Bakteriologi

Bahan pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman TB

mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis.

Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi ini dapat berasal dari dahak,


cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,

kurasan bronkoalvolar (broncoalveolar lavage/BAL), urin, feses, dan

jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH). Selanjutnya

pemeriksaan bakteriologi dari bahan-bahan tersebut dapat dilakukan

dengan cara pemeriksaan mikroskopis dan pemeriksaan biakan kuman

(perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 11-12).

a. Pemeriksaan mikroskopis

Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan dengan 2 metode:

 Mikroskopis biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen

(ZN).

 Mikroskopis fluoresens : pewarnaan auramin-

rhodamin

Menurut rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan mikroskopis

dibaca dengan skala International Union Against Tuberculosis and

Lung Disease (IUATLD):

 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut

negatif.

 Ditemukan 1 - 9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah

kuman yang ditemukan.


 Ditemukan 10 - 99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut +

(1+).

 Ditemukan 1 - 10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++

(2+)

 Ditemukan >10BTA dalam 1 lapang pandang disebut +++ (3+)

(perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 12-13).

Gambar 8. Mycobacterium tuberculosis Pada Pewarnaan

Ziehl-Nielsen

(Dikutip dari : World Medical Association, 2008: 55)


b. Pemeriksaan biakan kuman

Pada pemeriksaan dengan biakan, setelah 4-6 minggu

penanaman sputum dalam medium biakan, koloni kuman mulai

tampak. Bila 8 minggu penanaman, koloni tidak juga tampak maka

biakan dinyatakan negatif ((Bahar., Amin, 2015: 871).

Pemeriksaan identifikasi M. Tuberculosis dapat dilakukan dengan

cara:

Biakan

 Egg base media : Lowenstein-jensen (LJ), Ogawa, Kudoh.

 Agar base media : Middle brook

 Mycobacteria growth indicator tube test (MGITT)

 BACTEC.
Gambar 9. Mycobacterium tuberculosis Pada Kulur LJ

(Dikutip dari : World Medical Association, 2008: 58)

Uji molekular

 PCR-Based Methods of IS6110 Genotyping

 Spoligotyping

 Restriction Fragment Length Polymorphism (RFLP)

 MIRU/VNTR Analysis

 PGRS RFLP

 Genomic Deletion Analysis


Identifikasi M. Tuberculosis dan uji kepekaan

 Hain test (uji kepekaan untuk R dan H)

 Molecular beacon testing (uji kepekaan untuk R)

 GeneX-pert (Uji kepekaan untuk R).

Xpert MTB/RIF merupakan uji diagnostik cartride-based,

otomatis, yang dapat mengidentifikasi M. Tuberculosis dan

resistensi terhadap rifampisin. Xpert MTB/RIF berbasis cepheid

GeneXpert platform, cukup sensitif, mudah digunakan dengan

metode nucleic acid amplification test (NAAT). Metode ini

mempurifikasi, membuat konsentrat dan amplifikasi serta

mengidentifikasi sekuens asam nukleat pada genom TB. Lama

pengelolahan uji sampai selesai memakan waktu 1-2 jam.

Metode ini akan bermanfaat untuk menyaring kasus suspek TB

MDR secara cepat dengan bahan pemeriksaan dahak.

Pemeriksaan ini memiliki sensivitas dan spesifitas sekitar 99%

(perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 13-15).


Gambar 10. GeneXpert MTB

(Dikutip dari : WHO, 2014: 9)

Uji lainnya

 Uji tuberkulin, IGRA, T-SPOT TB

Ketiga uji tersebut umumnya dipakai untuk mengetahui

sesorang telah terinfeksi kuman TB atau menentukan TB laten.

 Uji serologis yaitu ELISA, ICT, Mycodot dan IgG/IgM TB

(perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 14).

4. Pemeriksaan Radiologi

Pemeriksaan standar ialah foto thoraks PA. Pemeriksaan

lain atas dasar indikasi yaitu foto lateral, top-lordotic, oblik atau CT-

Scan. Pada pemeriksaan foto thoraks, TB dapat memberi gambaran


bermacam-macam bentuk (multiform). Perhimpunan dokter paru

indonesia (2011: 16-17) membagi gambaran radiologi kedalam

beberapa kategori yaitu :

a. Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif adalah:

 Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus

atas paru dan segmen superior lobus bawah.

 Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak

berawan atau nodular.

 Bayangan bercak milier.

 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

b. Gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif:

 Fibrotik

 Kalsifikasi

 Schwarte atau penebalan pleura.

c. Luluh paru (destroyed lung):

 Gambaran radiologi yang menunjukan kerusakan jaringan paru

yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru. Gambaran

radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas


dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi

atau penyakti hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.

 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan

aktivitas proses penyakit.

Gambar 11. Foto Thoraks AP Pasien Dengan TB Paru Bilateral

(Dikutip dari : World Medical Association, 2008: 45)

5. Pemeriksaan Penunjang Lain

a. Analisis cairan pleura

Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji rivalta cairan

pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu


menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis yang mendukung

diagnosis TB adalah uji rivalta positif dan kesan cairan eksudat,

serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan

glukosa darah (perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 17).

b. Pemeriksaan histopatologi jaringan

Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakan

diagnosis TB. Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan

histopatologi. Bahan jaringan dapat diperoleh melalui biopsi atau

otopsi (perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 18), yaitu:

 Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening

(KGB).

 Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram,

Cope dan Veen Silverman)

 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan

bronkoskopi, trans thoracal needle aspiration (TTNA), biopsi

paru terbuka.

 Biopsi atau aspirasi pada lesi organ di luar paru yang dicurigai

TB. (perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 18).


c. Pemeriksaan darah

Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukan

indikator yang spesifik untuk TB. Laju endap darah (LED) jam

pertama dan kedua dapat digunakan sebagai indikator

penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada peroses aktif,

tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan TB.

Limfosit juga kurang spesifik. (perhimpunan dokter paru indonesia,

2011: 18).

Terdapat beberapa kriteria suspek TB MDR sebelum mendiagnosa

seseorang terkena TB MDR. Kriteria suspek TB MDR tersebut menurut

perhimpunan dokter paru indonesia (2011: 34) adalah :

a. Kasus TB paru dengan gagal pengobatan pada kategori 2. Dibuktikan

dengan rekam medissebelumnya dan riwayat penyakit dahulu.

b. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah

sisipan dengan kategori 2


c. Pasien TB yang pernah diobati di fasilitas non DOTS, termasuk yang

mendapat OAT lini kedua seperti kuinolon dan kanamisin.

d. Pasien TB paru dengan gagal pengobatan kategori 1.

e. Pasien TB paru dengan hasil pemeriksaan dahak tetap positif setelah

sisipan dengan kategori 1

f. TB paru kasus kambuh.

g. Pasien TB yang kembali setelah lalai/default pada pengobatan

kategori 1 dan 2.

h. Suspek TB dengan keluhan, yang tinggal dekat dengan pasien TB

MDR konfirmasi, termasuk petugas kesehatan yang bertugas

dibangsal TB MDR.

i. TB HIV.

Setelah kriteria suspek TB MDR terpenuhi maka untuk dapat

mendiagnosa seseorang menderita TB MDR harus dilakukan

pemeriksaan yaitu :

a. Diagnosis TB MDR di pastikan berdasarkan uji kepekaan.


b. Semua suspek TB MDR diperiksa dahaknya untuk selanjutnya di

lakukan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Jika hasil uji kepekaan

terdapat Mycobacterium tuberculosis yang resisten minimal terhadap

rifampisin dan isoniazid, maka dapat ditegakan diagnosis TB MDR

(Perhimpunan dokter paru indonesia, 2011: 35).

A.5 Tatalaksana TB

Tatalaksana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak

terpisahkan antara pemberian medikamentosa, penanganan gizi dan

pengobatan penyakit penyerta. Selain itu penting untuk dilakukan

pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan adanya sumber infeksi

maka harus mendapatkan pengobatan (Kartasasmita., Basir, 2015: 214).

Berikut tujuan pengobatan TB menurut Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia (2011 : 20) :

 Menyembuhkan pasien dan mengembalikan kualitas hidup dan

produktivitas.
 Mencegah kematian karena penyakit TB aktif atau efek lainnya.

 Mencegah kekambuhan

 Mengurangi transmisi atau penularan kepada orang lain

 Mencegah terjadinya resistensi obat serta penularannya.

A.5.1 Medikamentosa

Pemberian medikamentosa merupakan suatu metode dalam

pengobatan TB yang tidak terlepas dari penyuluhan kesehatan kepada

masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya menelan

obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, oleh karena itu

pengawasan terhadap jadwal pemberian obat sangat (Kartasasmita.,

Basir, 2015: 214). Berikut obat yang digunakan dalam pengobatan TB

menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011 : 20):

a. Obat lini pertama :

 Rifampisin (R)

 Isoniazid (H)

 Pirazinamid (Z)

 Etambutol (E)
 Streptomisin (S)

b. Obat lini kedua :

Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat,

terutama multidrug resistan (MDR). Beberapa obat seperti

kapreomisin, sikloserin etionamid dan PAS belum tersedia di pasaran

Indonesia tetapi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB MDR.

Berikut obat-obatnya :

 Kanamisin

 Kapreomisin

 Amikasin

 Kuinolon

 Sikloserin

 Etionamid / protionamid

 Para-amino salisilat (PAS).

A.5.2 Paduan Pemberian OAT

Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif ( 2

bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar


pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat pada fase intensif (2

bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase

lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian paduan obat ini bertujuan untuk

mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunh kuman

intraseluler dan ekstraseluler serta untuk mengurangi kemungkinan

terjadinya relaps (Kartasasmita., Basir, 2015: 218).

Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap

hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk

mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika

obat tidak ditelan setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku untuk

sebagian besar kasus TB pada anak adalah paduan rifampisin, isoniazid

dan pirazinamid. Pada fase intensif digunakan ketiga jenis obat tersebut,

sedangkan untuk fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid

(Kartasasmita., Basir, 2015: 218).

Pada keadaan TB berat, baik TB pulmonal maupun ekstrapulmonal

seperti TB milier, meningitis TB, TB sistem skletal dan lain – lain, pada

fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid,

pirazinamid dan etambutol atau streptomisin). Sedangka pada fase


lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Selain itu

juga untuk kasus TB seperti TB meningitis, TB milier, efusi pleura TB,

perikarditis TB, TB endobronkial dan peritonitis TB dapat diberikan

kortiokostreroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari, dibagi

dalam 3 dosis, maksimal 60 mg/hari. Lamapemberiann kortikosteroid

adalah 2-4 minggu, dilanjutkan tappering off selama 1 – 2 minggu

(Kartasasmita., Basir, 2015: 218-219).

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal

yang penting untuk menyembuhkan pasien dan menghindari terjadinya

multidrug resistant TB (MDR TB). Sejak tahun 1998 International

Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO

menyarankan untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan

Kombinasi Dosis Tetap (KDT) dalam pengobatan TB primer

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2011 : 22).

Tabel 10. Efek Samping OAT


Obat Kontraindikasi Efek Samping dan Tatalaksana
Minor

1. Tidak nafsu makan, mual, sakit perut,


sehingga obat diminum malam sebelum
tidur.
Sirosis, insufisiensi
2. Warna kemerahan pada air seni, Oleh
hati, pecandu
karena itu harus diberikan penjelasan dan
alkohol, kehamilan
tidak perlu diberikan apa – apa.

(pada trimester I
bersifat teratogenik.
Mayor
Rifampisin
pada trimester III
(R) 1. Gatal dan kemerahan, sehingga diberikan
dapat menyebabkan
antihistamin dan evaluasi ketat.
perdarahan neonatal)
2. Ikterik/hepatitis imbas obat, tatalaksananya
yaitu hentikan semua obat OAT sampai
ikterik menghilang, boleh diberi
Keamanan hepatoprotektor.
kehamilan : C 3. Muntah dan bingung, tatalaksananya
hentikan semua OAT dan lakukan uji fungsi
hati .
4. Kelainan sistemik, termasuk stok dan
purpura, tatalaksananya yaitu rifampisin
harus dihentikan

Isoniazid Tidak boleh


(H) diberikan kepada :
Minor
1. Penderita
penyakit hati 1. Neuritis perifer/kesemutan, terbakar (paling

akut. sering terjadi), tatalaksananya yaitu berikan

2. Penderita dengan piridoksin 100mg/hari sampai gejala hilang

riwayat kemudian diberikan profilaksis piridoksin

kerusakan sel (B6) 10 mg/hari.

hati disebabkan
terapi isoniazid.
Mayor

1. Reaksi hipersensivitas berupa demam,


urtikaria, tatalksananya berikan
antihistamin dan dievaluasi ketat.
3. Penderita yang 2. Reaksi hematologik (agranulositosis,
hipersensitif atau eosinofilia, trombositopenia, dan anemia)
alergi terhadap harus dihentikan.
isoniazid. 3. Ikterus dan kerusakan hati yang berat
(hepatitis drug induced),
Keamanan penatalaksanaannya yaitu hentikan OAT.
kehamilan : C

Efek samping lain: mulut terasa kering,


tertekan pada hulu hati retensi utrin

(Dikutip dari: Wardhani., Uyainah, 2014: 831).

Tabel 10. Efek Samping OAT (lanjutan)

Obat Kontraindikasi Efek Samping dan Tatalaksana


Pirazinamid Pasien dengan
(Z) kelainan fungsi hati.
Minor

1. Hiperurisemia (arthritis gout),


Keamanan kehamilan : tatalaksanannya yaitu beri allopurinol.
C 2. Nyeri sendi, penatalaksanaannya yaitu
dengan diberikan analgetik.

Mayor

1. Peningkatan enzim transaminase,


penatalaksanaannya sesuai dengan
penatalaksanaan TB keadaan khusus.
2. Reaksi alergi, penatalaksanaannya
yaitu berikan antihistamin, OAT
lanjutkan., bila masih berlanjut stop
semua OAT, kemudia re-challenge de-
challenge.

Mayor

1. Gatal dan kemerahan kulit,

Anak-anak dan pasien penatalaksanaannya yaitu berikan

dengan neuritis optik. antihistamin dan dievaluasi ketat.

Etambutol (E) 2. Gangguan penglihatan bilateral berupa

Keamanan kehamilan : neuritis retrobulbal yang ditandai oleh

C penurunan visus, menyempitnya lapang


pandang, skotoma sentral maupun
lateral, penatalaksanaan yaitu
etambutol dihentikan.

Mayor

1. Tuli, penatalaksanaannya yaitu


hentikan streptomisin .
Streptomisi 2. Gangguan keseimbangan (vertigo,
n (S) nistagmus) maka penatalaksanaannya
yaitu dengan menghentikan
streptomisin

(Dikutip dari: Wardhani., Uyainah, 2014: 832).


Berikut paduan pemberian OAT yang digunakan oleh Program Nasional

Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia menurut (Wardhani., Uyainah,

2014: 830).

Tabel 11. Pengelompokan OAT

Golongan Obat Obat

1. Isoniazid (H) 4. Streptomisin (S)


Golongan 1 lini 1 2. Rifampicin (R) 5. Ethambutol (E)
3. Pirazinamid (Z)

1. Kanamisin (Km) 3. Capreomysin (Cm)


Golongan 2 lini 2
2. Amikasin (Am)

Golongan 3 1. Ofloxacin (Ofx) 3. Moxifloxacin (Mfx)


Golongan floroquinolone 2. Levofloxacin (Lfx)

1. Etionamid 4. Para amino salisilat


Golongan 4
2. Prothionamid 5. Terizidon
Obat bakteriostatik lini 2
3. Sikloserin

Golongan 5
1. Clofazim 4. Tioacetazon
Obat yang belum terbukti 2. Linezolid 5. Clarithromycin
efikasinya dan tidak 3. Amoksisilin- 6. Imipenem
direkomendasikan oleh WHO klavulanat

(Dikutip dari: Wardhani., Uyainah, 2014: 830).

1. Kategori I

Paduan ini diberikan untuk pasien baru :

 Pasien baru dengan BTA positif

 Pasien TB paru BTA (-) gambaran radiologi (+)

 Pasien TB ekstra paru

Pada kategori ini, regimen yang digunakan adalah 2RHZE/4RH,

2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3 (Wardhani., Uyainah, 2014: 830).

Tabel 12. Dosis OAT

Obat Dosis Anjuran Dosis Dosis


(mg/kgBB/hr) maks Dosis (mg)/BB (kg)
(mg)
Harian Intermitten <40 40-60 >60
(mg/kgBB/hr)
(mg/kgBB/hr)

R 8-12 10 10 600 300 450 600


H 4-6 5 5 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
Sesuai
S 15-18 15 15 1000 750 1000
BB

(Dikutip dari: Wardhani., Uyainah, 2014: 831).

Tabel 13. Dosis Paduan OAT Kombinasi Dosis Tetap (KDT) Kategori 1

Fase Intensif (2 Bulan) Fase Lanjutan (4 bulan)

3x/minggu Harian 3x/minggu


BB Harian Harian
(RHZE) (RHZ)
(RHZ) (RH) (RHZ)

150/75/400/275 150/75/400
150/150/500 150/75 150/150/500
30-37 2 2 2 2 2
38-54 3 3 3 3 3
55-70 4 4 4 4 4
>71 5 5 5 5 5

(Dikutip dari: Wardhani., Uyainah, 2014: 831).

2. Kategori II
Paduan ini untuk pasien BTA (+) dan telah diobati sebelumnya:

 Pasien kambuh

 Pasien gagal

 Pasien default

Pada kategori II ini, regimen yang digunakan adalah 2RHZES/1RHZE

untuk fase intensif selama menunggu hasil uji resistensi. Jika hasil

sudah ada, untuk fase lanjutan mengikuti hasil uji resistensi tersebut.

Bila tidak ada uji resistensi, diberikan 5RHE. Untuk kasus gagal

pengobatan, paling baik sebelum hasil uji resistensi keluar diberikan

OAT lini kedua (Wardhani., Uyainah, 2014: 830).

3. Kategori Anak : 2HRZ/4HR

Tabel 14 Dosis Kombinasi Pada Tuberkulosis Anak

2 bulan
4 bulan
Berat Badan (kg) RHZ (75/50/150 mg)
RH (75/50 mg)

5-9 1 tablet 1 tablet


10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet

(Dikutip dari: Kartasasmita., Basir, 2015: 220).


Catatan :

 Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan tabel. 10

 Bila BB < 5 kg, sebaiknya rujuk ke RS

 Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet

 Perhitungan pemberian tablet diatas sudah memperhatikan

kesesuaian dosis per kgBB.

Tabel 15 Dosis Kombinasi Tetap Berdasarkan WHO

Fase inisial Fase lanjutan Kisaran Dosis


BB (kg)
(2 bulan) (4 bulan) R (mg) H (mg) Z (mg)
<7 1 1 9-20 4-10 21-50
8-9 1,5 1,5 8-9 5-5,6 19-22
10-14 2 2 11-12 4,3-6 21-30
15-19 3 3 9,4-12 4,3-6 16-30
20-24 4 4 10-12 5-6 25-30
25-29 5 5 10,3-12 5-6 15-30

(Dikutip dari: Kartasasmita., Basir, 2015: 220).

Catatan :

R : Rifampisin

H : Isoniazid

Z : Pirasinamid

4. Penatalaksaan TB MDR
Berdasarkan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011 :

35 ) terdapat beberapa kelompok OAT yang digunakan dalam

pengobatan TB resisten obat. Kelompok OAT tersebut adalah :

 Kelompok 1 : OAT lini pertama.

Isoniazid (H), Rifampisin (R), Etambutol (E),

Pirazinamid (Z), Rifabutin (Rfb).

 Kelompok 2 : Obat suntik.

Kanamisin (Km), Amikasin (Am), Kapreomisin

(Cm), Streptomisin (S).

 Kelompok 3 : Fluorokuinolon.

Mosifloksasin (Mfx), Levofloksasin (Lfx),

Ofloksasin (Ofx).

 Kelompok 4 : Bakteriostatik OAT

lini kedua. Etionamid (Eto), Protionamid (Pto),

Siklosrin (Cs), Terzidone (Trd), PAS.

 Kelompok 5 : Obat yang belum

diketahui efektivitasnya. Klofazamine (Cfz),

Linezoid (Izd), Amoksiclav (Amx/clv),


Tiosrtazone, Imipenem/cilastin (Imp/cln), H

dosis tinggi, Klaritromisin (Clr).

Strategi pengobatan TB MDR

Strategi program pengobatan sebaiknya berdasarkan data

uji kepekaan dan frekuensi penggunaan OAT di negara tersebut.

Dibawah ini beberapa strategi dalam pengobatan TB MDR menurut

Perhimpunan Dokter Indonesia (2011 : 36 ) :

 Pengobatan standar. Data drugs resistancy survey (DRS) dari

populasi pasien yang representatif digunakan sebagai dasar

regimen pengobatan karena tidak tersedianya hasil uji kepekaan

individual. Seluruh pasien akan mendapatkan regimen pengobatan

yang sama

 Pengobatan empiris. Setiap regimen pengobatan dibuat

berdasarkan riwayat pengobatan TB pasien sebelumnya dan data

hasil uji kepekaan populasi yang representatif.

 Pengobatan individual. Regimen pengobatan berdasarkan riwayat

pengobatan TB sebelumnya dan hasil uji kepekaan.


Regimen standar TB MDR di Indonesia adlah :

6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/18Z-(E)-

Lfx-Eto-Cs

Z : Pirazinamid

E : Etambutol

Kn : Kanamisin

A.4.3 Nonmedikamentosa

Selain pengobatan dengan obat (medikamentosa) dibutuhkan juga

pengobata lain seperti pemberian nutrisi untuk memperbaiki nutrisi dari


pasien TB dan juga terapi medikamentosa yang lain yaitu terapi

pembedahan yang diperlukan pada kasus – kasus tertentu (Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia, 2011: 27). Berikut uraiaannya :

a. Terapi nutrisi

 Pemberian makanan dalam jumlah porsi kecil diberikan 6 kali

sehari.

 Bahan-bahan makanan rumah tangga, seperti gula, minyak nabati,

mentega kacang, telur dan bubuk susu kering nonlemak dapat

dipakai untuk pembuatan bubur, sup, kuah daging.

 Minimal 500 – 750 ml perhari susu atau yogurt yang dikonsumsi

untuk mencapai asupan vitamin D dan kalsium secara adekuat.

 Minimal 5 -6 porsi buah dan sayuran di konsumsi setiap hari.

 Mengkonsumsi bahan makan dengan kandungan Vitamin B6 yang

tinggi seperti jamur, terigu, kentang dan pisang.

 Alkohol harus dihindari


 Menjaga asupan cairan yang adekuat (minum minimal 6-8 gelas

perhari) (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011: 27).

b. Terapi pembedahan

Terapi bedah banyak digunakn dalam upaya penyembuhan

pasien TB terutama kasus kambuh. Namun pada saat ini dengan

banyaknya OAT yang bersifat bakterisid maka terapi ini sudah mulai

jarang untuk digunakan lagi (Bahar., Amin, 2015: 883). Pembedahan

dapat dipertimbangkan sebagai pengobatan dalam TB ekstraparu.

Selain itu juga pembedahan dibutuhkan dalam pengobatan komplikasi

seperti peikarditis konstriktif. Pada limfadenitis TB yang besar dan

berisi cairan maka diperlukan tindakan drainase atau aspirasi/insisi

sebagai salah satu tindakan terapeutik dan diagnosis. Berikut indikasi

operasi menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011: 28 ) :

Indikasi mutlak

 Pasien batuk darah yang masif dan tidak dapat diatasi dengan cara

konservatif.
 Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat

diatasi secara konservatif.

Indikasi relatif

 Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah yang berulang.

 Kerusakan satu paru atau lobus dengan adanya keluhan

 Sisa kavitas yang menetap.

c. Tindakan invasif (selain pembedahan)

 Bronkoskopi

 Punksi pleura

 Pemasangan Water Sealed Drainage (WSD) (Perhimpunan Dokter

Indonesia, 2011: 28).

d. Pendekatan DOTS

Hal yang paling penting pada tatalaksan TB adalah keteraturan

(adherens) menelan obat. Pasien TB biasanya telah menunjukan

perbaikan beberapa minggu setelah pengobatan, sehingga merasa telah

sembuh dan tidak melanjutkan pengobatan . Keteraturan menelan obat


ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan

terjadinya resistensi . Salah upaya WHO dalam meningkatkan

keteraturan dalam meminum obat adalah dengan melakukan

pengawasan langsung terhadap pengobatan (directly observed

treatment shortcourse atau disingkat DOTS). Di Indonesia program

ini telah dilakukan sejak tahun 1995 (Kartasasmita., Basir, 2015: 223).

Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima

komponen, yaitu sebagai berikut :

 Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk

dukungan dana.

 Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis,

 Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan

pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO).

 Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu

terjamin.

 Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan

pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB

(Kartasasmita., Basir, 2015: 224).


A.5 Evaluasi TB

Evaluasi pasien dengan penyakit TB meliputi evaluasi klinis,

bakteriologi, radiologi dan efek samping obat serta keteraturan berobat.

Berikut evaluais pasien dengan penyakit TB menurut Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia (2011: 29-30) :

a. Evaluasi klinis

 Pasien dievaluasi secara periodik

 Evaluasi terhadap respon pengobatan dan ada tidaknya efek

samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit.

 Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan dan pemeriksaan fisis

(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011: 29).

b. Evaluasi bakteriologi (0 – 2 - 6/8 bulan pengobatan)

 Tujuannya untuk mengetahui ada tidaknya konversi dahak.

 Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu sebelum

pengobatan dimulai, setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase

intensif) dan Pada akhir pengobatan.


 Jika ada fasilitas biakan dilakukan pemeriksaan biakan dan uji

kepekaan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011: 29).

c. Evaluasi Radiologi (0 – 2 - 6/8 bulan pengobatan)

 Dilakukan sebelum pengobatan.

 Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali jika ada keganasan dilakukan

pada 1 bulan pengobatan).

 Pada akhir pengobatan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011:

29).

d. Evaluasi Pasien yang telah sembuh

Pasien yang telah sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2

tahun pertama setelah sembuh, hal tersebut dilakukan untuk

mengetahui adanya kekambuhan atau tidak. Hal yang di evaluasi

adalah BTA dahak dan Foto thoraks (Perhimpunan Dokter Paru

Indonesia, 2011: 30).

Tabel 16. Definisi Kasus Hasil Pengobatan

Hasil Definisi
Sembuh
1. Pasien dengan hasil sputum BTA atau kultur positif
sebelum pengobatan, dan hasil pemeriksaan sputum
BTA atau kultur negatif pada akhir pengobatan serta
sedikitnya satu kali pemeriksaan sputum sebelumnya
negatif.
2. Pada foto thoraks, gambaran radiologi serial (minimal 2
bulan) tetap sama/perbaikan.
3. Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan
negatif.

Pasien yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi tidak


Pengobatan
memiliki hasil pemeriksaan sputum atau kultur pada akhir
lengkap
pengobatan.

Pasien dengan hasil sputum atau kultur positif pada bulan


Gagal pengobatan
kelima atau lebih dalam pengobatan.

Pasien yang meninggal dengan apapun penyebabnya selama


Meninggal
dalam pengobatan.

Pasien dengan pengobatan terputus dalam waktu dua bulan


Lalai berobat
berturut – turut atau lebih

Pasien yang pindah ke unit (pencatatan dan pelaporan)


Pindah
berbeda dan hasil akhir pengobatan belum diketahui

Pengobatan
Jumlah pasien yang sembuh ditambah pengobatan lengkap
Sukses/berhasil

(Dikutip dari: Perhimpunan Dokter Indonesia, 2011: 30).


B. Pembahasan

B.1 Penyebab Terjadinya Resistensi Pada Pasien

Dari diagnosa tersebut diketahui bahwa pasien mengalami

resistensi rifampisn yang telah diberikan. Penyebab terjadinya resistensi

ini beragam namun pada dasarnya diakibatkan karena manusia baik

karena ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan maupun

evaluasi yang tidak rutin. Pada pasien tersebut resistensi rifampisin yang

terjadi mengakibatkan gagal pengobatan tuberkulosis. Sehingga penyakit

tuberkulosis yang terjadi semakin berat yang mengakibatkan keadaan

klinis dari pasien semakin memburuk. Dengan kata lain gagal

pengobatan dapat menjadi indikasi telah terjadi resistensi.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya gagal pengobatan pada

pasien TB didefinisikan sebagai pasien dengan hasil sputum atau kultur

positif pada bulan kelima atau lebih dalam pengobatan. Gagal

pengobatan yang terjadi pada pasien ini didasarkan pada evaluasi yang
telah dilakukan pada bulan terakhir masa pengobatan, dimana pada

pemeriksaan sputum ditemuakan BTA +3 dan pada pemeriksaan

radiologi thorax pasien, ditemukan adanya gambaran fibroinfiltrat dari

lapang pandang paru atas sampai bawah kanan, dan efusi pleura

unilateral (pada pleura kanan) yang minimal. Sehingga mengindikasikan

adanya TB paru yang aktif setelah diobati dengan obat anti tuberkulosis.

Dan oleh karena gagal pengobatan TB dapat menjdai indikasi telah

terjadi resistensi maka evaluasi secara rutin pada pasien TB sebelum

terjadi resistensi sangat penting untuk mengetahui respon tubuh pasien

terhadap pengobatan yang telah diberikan dan juga untuk penanganan

dan diagnosa lebih lanjut, terutama anak-anak karena diagnosa TB pada

anak sulit. Seperti yang telah dibahas sebelumnya evaluasi bakteriologi

dan radiologi pada pasien TB dilakukan pada bulan ke 0, bulan ke 2 dan

bulan ke 6 atau 8. Sedangkan evaluasi klinis (keluhan, berat badan, dan

pemeriksaan fisis) di lakukan secara periodik.

Pada pasien ini evaluasi yang dilakukan selama pengobatan TB

sebelum terjadi MDR TB cenderung tidak rutin. Terutama evaluasi

bakteriologi yang hanya dilakukan pada bulan ke 0 dan bulan terakhir


masa pengobatan dan evaluasi radiologi pada bulan terakhir masa

pengobatan. Hal tersebut disebabkan evaluasi atau diagnosis pada anak

cenderung lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan pada orang dewasa.

Salah satunya pengambilan sputum, yang pada anak sulit dilakukan

terutama pada fasilitas – fasilitas kesehatan yang minim. Akibatnya

evaluasi baru dapat dilakukan secara maksimal pada bulan terakhir

pengobatan, yaitu ketika penyakit sudah masuk ke fase lanjut, salah satu

evaluasi yang dilakukan pada fase lanjut tersebut adalaha BTA Swab

luka yang dilakukan pada tanggal 27 september 2016 yang hasilnya

menunjukan adanya BTA +3. Hal tersebutlah yang mengakibatkan

keterlambatan dalam mendiagnosa atau mendeteksi adanya kegagalan

pengobatan akibat resistensi terhadap rifampisin.

B.2 Diagnosis TB RR Pada Pasien


Gambar 12. Diagnosis TB RR Berdasarkan Pemeriksaan Penunjang

Pasien. (Dikutip dari : riwayat medis pasien )


Pasien di diagnosa mengalami MDR TB karena sebelumnya pasien

telah menderita TB kelenjar (extrapulmonary) kemudian menjalani

pengobatan dengan OAT selama kurang lebih 12 bulan (fase awal 2

bulan dan fase lanjutan 10 bulan) terhitung dari tanggal 24 Oktober 2015

– 30 September 2016. Namun dalam pengobatan yang sangat panjang

tersebut, pasien lalai atau terkadang tidak meminum obatnya. Sehingga

gagal dalam pengobatan TB. Selain itu juga Setelah dilakukannya

pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan sputum BTA dan

pemeriksaan Xpert MTB di dapatakan hasil BTA +3 dan resisten

terhadap rifampisin.

Dari pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan pada pasien atas

nama An. MA, didapatkan hasil yang positif menunjukan adanya TB

paru aktif dan terdapat resistensi terhadap obat rifampisin yang

merupakan salah satu OAT lini pertama yang sangat penting. Berikut

uraiaan pemeriksaan penunjang yang menunjukanadanya TB paru aktif


dan resistensi terhadap obat rifampisin yang menunjukan adanya MDR

TB.

Tanda TB paru yang aktif setelah menjalani pengobatan OAT selama

kurang lebih 12 bulan mengindikasikan adanya resistensi terhadap OAT :

a. Pemeriksaan Foto Thorax

Pada pemeriksaan foto thorax posisi AP dan foto thorax

lateral dekstra yang dilakukan di Rumah Sakit Dian Harapan pada

tanggal 25 september 2016 didapatkan adanya fibroinfiltrat dari

lapang pandang paru atas sampai bawah kanan, selain itu juga

didapatkan adanya Efusi pleura unilateral (pada pleura kanan) yang

minimal. Sehingga gambaran radiologi thorax pada pasien tersebut

menunjukan adanya TB paru yang aktif.

b. Pemeriksaan BTA Swab Luka

Pemeriksaan yang dilakukan di Rumah Sakitt Dian

Harapan pada tanggal 27 september 2016 didapatkan adanya BTA+3

dan ditemukannya mikroorganisme dengan bentuk batang dan bersifat

gram positif. Sama halnya dengan pemeriksaan foto thorax,


pemeriksaan BTA swab luka pada pasien tersebut juga dilakukan pada

akhir masa pengobatan OAT yaitu pada bulan ke 12 dan hasil yang di

peroleh yaitu adanya BTA +3 mengindikasikan adanya resistensi

terhadap obat anti tuberkulosis yang telah diberikan selama kurang

lebih 12 bulan.

c. Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum pasien yang dilakukan di Rumah Sakitt

Umum Daerah Jayapura pada tanggal 4 oktober 2016 memberikan

hasil BTA +3 adanya hasil yang positif tersebut menunjukan TB Paru

yang aktif. Pemeriksaan sputum tersebut juga dilakukan setelah

pasien diberikan pengobatan dengan OAT selama kurang lebih 12

bulan. Sehingga mengindikasikan adanya resistensi terhadap obat

yang telah diberikan tersebut.

Tanda adanya MDR (Multi Drug Resistance) TB :

a. Pemeriksaan GeneXpert MTB/RIF


Pada pemeriksaan cepat GeneXpert MTB/RIF yang dilakukan di

Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura pada tanggal 4 oktober 2016

dengan sampel berupa sputum pasien, didapatkan adanya kuman

penyebab tuberkulosis yang resisten terhadap rifampisin, yang mana

karena sifatnya yang bakterisidal (membunuh kuman) maka obat ini

merupakan salah satu obat terpenting pada obat anti tuberkulosis lini

pertama. Sehingga resistensi terhadap obat ini menimbulkan efek yang

besar.

b. Penyebab Orang Yang Resisten Rifampisin Mengalami MDR

Dari hasil diagonasa diketahui bahwa pasien atas nama An. MA

menderita penyakit TB resisten rifampisin. Diagnosa tersebut

diperoleh setelah dilakukan pemeriksaan sputum melalui GeneXpert

MTB/Rif yang dilakukan di Rumah Sakit Umum Daerah Jayapura

pada tanggal 4 Oktober 2016. Pemeriksaan melalui GeneXpert

MTB/Rif tersebut hanya dapat mendeteksi adanya resistensi kuman

penyebab tuberkulosis terhadap rifampsisn (World Medical

Association, 2008: 43). Sebagian besar orang yang resisten terhadap

rifampisin, juga di diagnosa mengalami MDR TB (resisten terhadap


isoniazid dan rifampisin). Karena mono resisten terhadap rifampisin

cenderung jarang terjadi dan Sebagian besar strain yang resisten

terhadap rifampisin juga resisten tehadap obat yang lain terutama

isoniazid (Palomino., Martin, 2014: 318).

B.3 Terapi Regimen OAT TB MDR Pada Pasien

Berdasarkan riwayat medis sebelumnya, pasien telah melakukan

pengobatan Tuberkulosis dengan OAT selama kurang lebih 12 bulan

(fase awal 2 bulan dan fase lanjutan 10 bulan) terhitung dari tanggal 24

Oktober 2015 – 30 September 2016 di Puskesmas Sentani. Namun pada

masa akhir pengobatan pasien melakukan evaluasi dan di diagnosa

menderita TB RR. Pasien selanjutnya di rawat di RSUD Jayapura, dalam

perawatan di RSUD Jayapura direncanakan akan diberikan regimen OAT

TB MDR berupa 6Z-E-Cs-Lfx-Eto-Kan pada pasien tersebut. Namun

karena keadaan umum dari pasien memburuk maka fokus terapi

ditujukan kepada pemulihan gizi dari pasien .


IX. PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah melakukan pemeriksaan GeneXpert MTB, pasien

didiagnosa mengalami TB resistensi rifampisin, yang merupakan suatu

penyakit yang disebabkan karena adanya strain Mycobacterium

tuberculosis yang resisten terhadap rifampisin yang merupakan salah satu

obat anti tuberkulosis yang penting dalam pengobatan lini pertama

penyakit tuberkulosis. Sebagian besar orang yang resisten terhadap

rifampisin, juga di diagnosa mengalami MDR TB (resisten terhadap

isoniazid dan rifampisin). Karena mono resisten terhadap rifampisin

cenderung jarang terjadi dan Sebagian besar strain yang resisten terhadap

rifampisin juga resisten tehadap obat yang lain terutama isoniazid.

Penyebab terjadinya resistensi pada dasarnya diakibatkan karena

manusia baik karena ketidakpatuhan pasien dalam menjalani pengobatan

maupun evaluasi yang tidak rutin. Pada pasien ini evaluasi yang

dilakukan selama pengobatan TB sebelum terjadi resistensi cenderung

tidak rutin. Hal tersebut disebabkan evaluasi atau diagnosis yang


dilakukan pada anak cenderung lebih sulit untuk dilakukan dibandingkan

pada orang dewasa.

Resistensi rifampisisn yang terjadi pada pasien ini mengakibatkan

gagal pengobtan. Sehingga penyakit tuberkulosis yang terjadi semakin

berat yang mengakibatkan keadaan klinis dari pasien semakin

memburuk. Selain mengalami TB resistensi rifampisin, pasien juga

mengalami penyakit penyerta yang lain seperti anemia, diare akut

dehidrasi ringan sedang dan gizi buruk tpe marasmus. Oleh karena itu

tatalaksana yang diberikan pada pasien ini juga mencakup terapi pada

penyakit penyerta.

B. Saran

1. Bagi Penyandang TB dan TB resistensi

Bagi penyandang TB agar mengikuti saran dari dokter dan

rutin mengkonsumsi obat secara teratur agar tidak terjadi TB

resistensi, selain itu juga disarankan untuk rutin mengecek kesehatan

baik pada saat menjalani pengobatan maupun ketika telah sembuh dari

penyakit TB untuk mendeteksi resiko kekambuhan penyakit tersebut

dan meminimalkan resiko terjadinya TB resistensi. Sama halnya


dengan penyandang TB, penyandang TB resistensi juga disarankan

untuk mengikuti saran dari dokter, mengkonsumsi obat yang diberikan

secara teratur, rutin melakukan evaluasi terhadap kesehatan.

Penyandang TB dan TB reistensi juga harus tetap semangat dan

optimis untuk menjalani kehidupan, dan menghindari hal-hal

membuat kondisi kesehatan memburuk seperti stress.

2. Bagi Keluarga Penyandang TB dan TB resistensi

Bagi Keluarga penyandang TB dan TB resistensi harus

selalu memantau pasien dalam kepatuhan mengkonsumsi obat yang

diberikan. Selain itu juga keluarga dapat membantu pasien dalam

menjalani pengobatannya seperti memberikan motivasi atau nasihat –

nasihat yang sifatnya konstruktif bagi pasien, agar pasien tidak

terpuruk dan tetap semangat serta optimis menjalani kehidupan.

Sehingga dapat meningkatakn kesehatannya juga.

3. Bagi Masyarakat Luas

Masyarakat sebaiknya tidak mengucilkan ataupun mendiskriminasi

pasien penyandang TB ataupun keluarga pasien penyandang TB,

tetapi sebaiknya membangun suatu relasi yang baik dengan pasien

penyandang TB maupun dengan keluarga penyandang TB.


Masyarakat juga dapat memberikan motivasi atau nasihat yang

konstruktif kepada pasien penyandang TB dan keluarga pasien

penyandang TB.

4. Bagi Tenaga Kesehatan

Selain rutin memantau kondisi kesehatan pasien, tenaga kesehatan

juga harus mengevaluasi pasien secara rutin baik mencakup evaluasi

klinis, bakteriologis, radiologis, efek samping obat yang diberikian,

evaluasi keteraturan berobat maupun pasien yang telah dinyatakan

sembuh harus juga harus di evaluasi lebih lanjut hal ini dimaksudakn

untuk mengetahui adanya kekambuhan pada pasien. Selain itu perlu

adanya peningkatan pelayanan kesehatan pada penderita TB untuk

mengobati dan mendeteksi serta mencegah terjadinya TB resistensi.

Pada TB resistensi juga diperlukan peningkatan pelayanan kesehatan

untuk meningkatakan angka kesembuhan dan mencegah terjadinya

penyakit-penyakit penyerta. Selain itu tenaga medis juga dapat

memberikan dorongan atau motivasi kepada pasien penyandang TB

ataupun kelurga penyandang TB agar tetap semangat . Sehingga dapat

menciptkan suatu relasi yang baik antara pasien, keluga pasien dan

tenaga medis.
DAFTAR PUSTAKA

Bahar Asril., Amin Zulkifli. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi VI Jilid I.

Jakarta. Hal: 869; 871; 883.

Da Silva Pedro Eduardo Almeida., Palomino Juan Carlos. 2011. Molecular basis and

mechanisms of drug resistance in Mycobacterium tuberculosis: classical and

new drugs. Journal of Antimicrobial Chemotherapy. Hal: 1418.

Kartasasmita Cissy B., Basir Darfioes. 2015. Buku Ajar Respirologi Anak:

Tuberkulosis, Edisi Pertama. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Jakarta. Hal: 214; 218-219; 220; 223-224.

Kumar Vinay., Abbas Abul K., Fausto Nelson. 2009. Robbins & Cotran Dasar

Patologis Penyakit, Edisi 7. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal: 392.

Palomino Juan Carlos., Martin Anandi. 2014. Drug Resistance Mechanisms in

Mycobacterium tuberculosis. Mdpi Journal Antibiotics. Hal: 317-318.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan Di Indonesia, Revisi Pertama. Jakarta: 9-18; 20; 22; 27-36.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2016. Panduan Praktis

Klins: Penatalaksanaan di Bidang Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing

Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta. Hal: 794.

Tiemersma, Edine W., Collins David., Van De Hof Susan. 2014. Summary report:

Costs faced by (multidrug resistant) tuberculosis patients during diagnosis and


treatment: report from a pilot study in Ethiopia, Indonesia and Kazakhstan.

United States Agency International Development. America. Hal: 2-3.

Wardhani Dyah Paramita., Uyainah Anna. 2014. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV

Jilid II. Media Aesculapius. Jakarta. Hal: 830-832.

World Health Organization Geneva. 2004. Toman’s Tuberculosis: Case detection,

treatment, and monitoring, questions and answers, Second Edition. WHO

Publication. China. Hal: 201.

World Health Organization Regional Office for South-East Asia. 2015. Tuberculosis

Control in the South-East Asia Region: Annual Report 2015. WHO Publication.

India. Hal: 4-15; 126-128.

World Health Organization. 2014. Drug Resistant TB Surveillance & Respone:

Supplement Golobal Tuberculosis Report 2014. WHO Publication. Perancis.

Hal: 9.

World Health Organization. 2016. Global Tuberculosis Report 2016. WHO

Publication. Switzerland. Hal: 5; 30-32; 38-39; 108.

World Medical Association. 2008. Course On Multidrug Resitant Tuberculosis

MDR-TB. Perancis. Hal: 10; 43; 45; 55; 58.

Zhang, Y., Yew, W.W. 2009. Mechanisms of drug resistance in Mycobacterium

tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis 13(11). Hal:1320-1321.

Anda mungkin juga menyukai