1
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2008), hal. 39-42.
secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat
dapat diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu.
Henderson (1959) mengemukakan: “popularly philosophy mean one’s general view of life of men, of
ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian, maka jelas
setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup
yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baikk.
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses
pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum.
Pertama, filsafat dapat menentukan tujuan dana arah pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan
hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.
Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat
sebagai nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui
filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
a. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikam sebagai proses pengembangan semua aspek
kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Hummel (1977)
mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan:
Pertama, autonomy, artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada
setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih
baik. Kedua, equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan ekonomi. Ketiga, survival, artinya
pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari
generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketergantungan
antara manusia.
b. Filsafat sebagai Proses Berpikir
Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Namun, apakah setiap berpikir dapat diartikan
berfilsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentuu. Sidi
Gazalba, seperti dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai
berpikir yang radikal, sistematis, dan universal. Berpikir yang radikal (radical thinking), yaitu berpikir
sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir
itu tidak separu-separuh, tidak berhenti di jalan tetapi terus sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis
adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan
yang bertanggung jawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal, artinya tidak
berpikir secara khusus, yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup
keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat adalah orang
yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruj sebagai upaya mencari dan
menemukan kebenaran.
Pandangan tentang hakikat kebenaran ternyata berbeda-beda. Menurut Nasution (1989), ada
empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealism, realisme, pragmatism, dan eksistensialisme. Alirtan
tersebut menkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemology
(hakikat pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai). Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda
tentang cabang-cabang filsafat itu,
Aliran idealism memandang, bahwa kebenaran itu datangnya dari “Yang Maha Kuasa”. Manusia
tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakannya. Apa yang dilihat manusia tentang
kenyataan itu hanya bayang-bayang. Seperti halnya kita becermin. Muka kira ada dalam cermin
seperti aslinya; akan tetapi, apakah manakala tidak ada cermin muka kta juga ukut tidak ada? Tidak
bukan? Muka kita tetap ada, yang tidak ada hanya bayangnya saja. Inilah hakikat keebenaran dan
kenyataan menurut alirat idealism. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebetulnya
sudah ada. Kebenaran itu hanya sebagian kecil saja. Sebenarnya, banyak kebenaran yang tidak
mungkin manusia mampu menangkapnya.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal
realitas sebagai hokum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh
kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itulah, pengetahuan dapat diperoleh secara
ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat di indra.
Aliran eksistensialis mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-
kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan
norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap individu memiliki kebebasan untuk
memilih. Norma-norma ditentukan sendiri sesuai dengan kebebasannya itu. Dengan demikian, setiap
individu bisa memiliki norma yang berbeda.
2
Ibid., hm. 42-62