Anda di halaman 1dari 8

B.

Prinsip-prinsip Pengembangan Kurikulum


Agar kurikulum dapat berfungsi sebagai pedoman, maka ada sejumlah prinsip dalam proses
pengembangannya. Di bawah ini akan diuraikan sejumlah prinsip yang dianggap penting.
1. Prinsip Relevansi
Kurikulum merupakan rel-nya pendidikan untuk membawa siswa agar dapat hidup sesuai dengan
nilai-nilai yang ada di masyarakat serta membekali siswa baik dalam bidang pengetahuan, sikap
maupun keterampilan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat. Oleh sebab itu, pengalaman-
pengalaman belajar yang disusun dalam kurikulum harus relevan dengan kebutuhan masyarakat.
Inilah yang disebut dengan prinsip relevansi.
Ada dua macam relevansi, yaitu relevansi internal dan relevansi eksternal. Relevansi internal
adalah bahwa setiap kutikulum harus memiliki keserasian antara komponen-komponennya, yaitu
keserasian antara tujuan yang harus dicapai, isi, materi atau pengalaman belajar yang harus dimiliki
siswa, strartegi atau metode yang digunakan seta alat penilaian untuk melhat ketercapaian tujuan.
Relevansi internal ini menunjukan keutuhan suatu kurikulum.
Relevansi eksternal berkaitan dengan keserasian antara tujuan, isi dan proses belajar siswa yang
tercakup dalam kurikulum dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Ada tiga macam relevansi
eksternal dalam pengembangan kurikulum: Pertama, relevan dengan lingkungan hidup peserta didik.
Artinya, bahwa proses pengembangan dan penetapan isi kurikulum hendaklah disesuaikan dengan
kondisi lingkungan sekitar siswa. Contohnya untuk siswa yang ada do perkotaan perlu diperkenalkan
kehidupan di lingkungan kota, seperti keramaian dan rambu-rambu lalu lintas, tata cara pelayanan
kantor, dan lain sebagainya. Demikian juga untuk sekolah yang berada di daerah pantai, perlu
diperkenalkan bagaimana kehidupan di daaerah pantai, perlu diperkenalkan bagaimana kehidupan di
pantai, seperti mengenai tambak, kehidupan nelayan, koperasi, pembibitan udang, dan lain
sebagainnya.
Kedua, relevan dengan perkembangan zaman baik sekarang maupun dengan yang akan dating.
Artinya, isi kurikulum harus sesuai dengan situasi dan kondisi yang akan berkembang. Selain itu juga
apa yang diajarkan kepada siswa harus bermanfaat untuk kehidupan siswa pada waktu yang akan
datang. Misalkan untuk kehidupan yang akan datang, penggunaan komputer dan internet akan
menjadi salah satu kebutuhan, maka dengan demikian bagaimana cara memanfaatkan komputer dan
bagaimana cara menfapatkan informasi dari internet sudah harus diperkenalkan kepada siswa.
Demikian juga dengan kemampuan berbahasa. Pada masa yang akan datang ketika pasar bebas seperti
persetujuan APEC mulai berlaku, maka masyarakat akan dihadapkan kepada persaingan merebut
pasar kerja dengan orang-orang asing. Oleh karenanya keterampilan berbahasa asing sudah harus
mulai dipupuk sejak sekarang.
Ketiga, relevan dengan tuntutan dunia pekerjaan. Artinya, bahwa apa yang diajarkan di sekolah
harus mampu memenuhi dunia kerja. Untuk sekolah kejuruan contohnya, kalau dahulu di Sekolah
Kejuruan Ekonomi dilatih bagaimana agar siswa mampu menggunakan mesin tik sebagai alat untuk
keperluan sura-menyurat, maka sekarang mesin tik sudah tidak banyak digunakan, akan tetapi yang
lebih banyak digunakan komputer. Dengan demikian, keterampilang menggunakan komputer harus
diajarkan. Demikian juga halnya dengan tuntutan dunia kerja kepariwisataan, perbankan, asuransi,
perhotelan dan lain sebagainya, isi kurikulum harus menyesuaikan dengan tuntutan pekerjaan di setiap
bidang.
2. Prinsip Fleksibilitas
Apa yang diharapkan dalam kurikulum ideal kadang-kadang tidak sesuai dengan kondisi
kenyataan yang ada. Bisa saja ketidaksesuaian itu ditunjukkan oleh kemampuan guru yang kurang,
latar belakang atau kemampuan siswa yang rendah, atau mungkin sarana dan prasarana yang ada di
sekolah tidak memadai. Kurikulum harus bersifat lentur dan fleksibel. Artinya, kurikulum itu harus
bisa dilaksanakan sesuai dengan kondisi yang ada. Kurikulum yang kaku atau tidak fleksibel akan
sulit diterapkan.
Prinsip fleksibelitas memiliki dua sisi: Pertama, fleksibilitas sebagai guru, yang artinya
kurikulum harus memberikan ruang gerak bagi guru untuk mengembangkan program
pembelajarannya sesuai dengan kondisi yang ada. Kdeua, fleksibel bagi siswa, artinya kurikulum
harus menyediakan berbagai kemumngkinan program pilihan sesuai dengan bakat dan minat siswa.
3. Prinsip Kontinuitas
Prinsip ini mengandung pengertian bahwa perlu dijaga saling keterkaitan dan kesinambungan
antara materi pelajaran pada berbagai jenjang dan jenis program pendidikan. Dalam penyusunan
materi pelajaran perlu dijaga agar apa yang diperlukan untuk mempelajari suatu materi pelajaran pada
jenjang yang lebih tinggi telah diberikan dan dikuasai oleh siswa pada waktu tertentu mereka berada
pada jenjang sebelumnya. Prinsip ini sangat penting bukan hanya untuk menjaga agar tidak terjadi
pengulangan-pengulangan materi pelajaran yang memungkinkan program pengajaran tidak efektif dan
efisien, akan tetapi juga untuk keberhasilan siswa dalam menguasai materi pelajaran pada jenjang
tertentu.
Untuk menjaga agar prinsip kontinuitas itu berjalan, maka perlu ada kerja sama antara
pengembangan kurikukulum pada setiap jenjang pendidikan, misalkan para pengembang pada jenjang
sekolah dasar, jenjang SLTP, jenjang SLTA, dan bahkan dengan para pengembang kurikulum
perguruan tinggi.
4. Efektifitas
Prinsip efektifitas berkenaan dengan rencana dalam suatu kurikulum dapat dilaksanakan dan
dapat dilaksanakan dan dapat dicatai dalam kegiatan belajar mengajar. Terdapat dua sisi efektivitas
dalam suatu pengembangan kurikulum. Pertama, efektivitas berhubungan dengan kegiatan guru
dalam melaksanakan tugas mengimplementasikan kurikulum di dalam kelas. Kedua, efektivitas
kegiatan siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar. Efektivitas kegiatan guru berhubungan dengan
perencanaan yang telah disusun. Sebagai contoh, apabila guru menetapkan dalam satu caturwulan
atau satu semester harus menyelesaikan 12 program pembelajaran sesuai dengan pedoman kurikulum,
ternyata dalam jangka waktu tersebut hanya dapat menyelesaikan 4 atau 5 program saja, berarti dapat
dikatakan bahwa pelaksanaan program itu tidak efektif.
Efektivitas kegiatan siswa berhubungan dengan sejauh mana siswa dapat mencapai tujuan yang
telah ditentukan sesuai dengan jangka waktu tertentu. Sebagai contoh apabila ditetapkan dalam satu
caturwulan siswa harus dapat mencapai sejumlah tujuan pembelajaran, ternyata hanya sebagian saja
dapat dicapai siswa, maka dapat dikatakan bahwa, proses pembelajaran siswa tidak efektif.
5. Efisiensi
Prinsip efisiensi berhubungan dengan perbandingan antara tenaga, waktu, suara, dan biaya yang
dikeluarkan dengan hasil yang diperoleh. Kurikulum dikatakan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi
apabila dengan sarana, biaya yang minimal dan waktu yang terbatas dapat memperoleh hasil yang
maksimal. Betapa pun bagus dan idealnya suatu kurikulum, manakala menuntut peralatan, sarana dan
prasarana yang sangat sangat khusus serta mahal harganya, maka kurikulum itu tidak praktis dan
sukar untuk dilaksanakan. Kurikulum harus dirancang untuk dapat digunakan dalam segala
keterbatasan.1

C. Landasan pengembangan kurikulum


Ada tiga landasan pengembangan kurikulum, yakni landasan filosfis, psikologis, dan landasan
sosiologi-teknologis. Ketiga landasan tersebut diuraikan di bawah ini.
1. Landasan Filosodis dalam Pengembangan Kurikulum
Filsafat berasal dari Bahasa Yunani kuno, yaitu dari kata “philos” dan “shopia”. Philos, artinya
cinta yang mendalam, dan shopia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat

1
Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran: Teori dan Praktik Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2008), hal. 39-42.
secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Secara populer filsafat
dapat diartikan sebagai pandangan hidup suatu masyarakat atau pendirian hidup bagi individu.
Henderson (1959) mengemukakan: “popularly philosophy mean one’s general view of life of men, of
ideals, and of values, in the sense everyone has a philosophy of life”. Dengan demikian, maka jelas
setiap individu atau setiap kelompok masyarakat secara filosofis akan memiliki pandangan hidup
yang mungkin berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianggapnya baikk.
Sebagai suatu landasan fundamental, filsafat memegang peranan penting dalam proses
pengembangan kurikulum. Ada empat fungsi filsafat dalam proses pengembangan kurikulum.
Pertama, filsafat dapat menentukan tujuan dana arah pendidikan. Dengan filsafat sebagai pandangan
hidup atau value system, maka dapat ditentukan mau dibawa ke mana siswa yang kita didik itu.
Kedua, filsafat dapat menentukan isi atau materi pelajaran yang harus diberikan sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai. Ketiga, filsafat dapat menentukan strategi atau cara pencapaian tujuan. Filsafat
sebagai nilai dapat dijadikan pedoman dalam merancang kegiatan pembelajaran. Keempat, melalui
filsafat dapat ditentukan bagaimana menentukan tolak ukur keberhasilan proses pendidikan.
a. Filsafat dan Tujuan Pendidikan
Dalam arti luas, pendidikan dapat diartikam sebagai proses pengembangan semua aspek
kepribadian manusia, baik aspek pengetahuan, nilai dan sikap, maupun keterampilan. Hummel (1977)
mengemukakan ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tujuan pendidikan:
Pertama, autonomy, artinya memberi kesadaran, pengetahuan dan kemampuan yang prima kepada
setiap individu dan kelompok untuk dapat mandiri dan hidup bersama dalam kehidupan yang lebih
baik. Kedua, equity, artinya pendidikan harus dapat memberi kesempatan kepada seluruh warga
masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kebudayaan ekonomi. Ketiga, survival, artinya
pendidikan bukan saja harus dapat menjamin terjadinya pewarisan dan memperkaya kebudayaan dari
generasi ke generasi akan tetapi juga harus memberikan pemahaman akan saling ketergantungan
antara manusia.
b. Filsafat sebagai Proses Berpikir
Filsafat sering diartikan sebagai cara berpikir. Namun, apakah setiap berpikir dapat diartikan
berfilsafat? Tentu tidak. Berpikir filosofis adalah berpikir yang memiliki ciri-ciri tertentuu. Sidi
Gazalba, seperti dikutip Uyoh Sadulloh (2004) mengemukakan ciri-ciri berpikir filosofis sebagai
berpikir yang radikal, sistematis, dan universal. Berpikir yang radikal (radical thinking), yaitu berpikir
sampai ke akar-akarnya, tidak tanggung-tanggung, sampai pada konsekuensi yang terakhir. Berpikir
itu tidak separu-separuh, tidak berhenti di jalan tetapi terus sampai ke ujungnya. Berpikir sistematis
adalah berpikir logis yang bergerak selangkah demi selangkah dengan penuh kesadaran dengan urutan
yang bertanggung jawab dan saling berhubungan yang teratur. Berpikir universal, artinya tidak
berpikir secara khusus, yang hanya terbatas pada bagian-bagian tertentu, melainkan mencakup
keseluruhan secara sistematis dan logis sampai ke akar-akarnya. Orang yang berfilsafat adalah orang
yang berpikir secara mendalam tentang masalah secara menyeluruj sebagai upaya mencari dan
menemukan kebenaran.
Pandangan tentang hakikat kebenaran ternyata berbeda-beda. Menurut Nasution (1989), ada
empat aliran utama dalam filsafat, yaitu idealism, realisme, pragmatism, dan eksistensialisme. Alirtan
tersebut menkaji tentang cabang filsafat, seperti metafisika (hakikat dunia kenyataan), epistemology
(hakikat pengetahuan), dan aksiologi (nilai-nilai). Setiap aliran memiliki pandangan yang berbeda
tentang cabang-cabang filsafat itu,
Aliran idealism memandang, bahwa kebenaran itu datangnya dari “Yang Maha Kuasa”. Manusia
tidak dapat melihatnya secara lengkap apalagi menciptakannya. Apa yang dilihat manusia tentang
kenyataan itu hanya bayang-bayang. Seperti halnya kita becermin. Muka kira ada dalam cermin
seperti aslinya; akan tetapi, apakah manakala tidak ada cermin muka kta juga ukut tidak ada? Tidak
bukan? Muka kita tetap ada, yang tidak ada hanya bayangnya saja. Inilah hakikat keebenaran dan
kenyataan menurut alirat idealism. Manusia hanya mampu menemukan kebenaran yang sebetulnya
sudah ada. Kebenaran itu hanya sebagian kecil saja. Sebenarnya, banyak kebenaran yang tidak
mungkin manusia mampu menangkapnya.
Aliran realisme memandang, bahwa manusia pada dasarnya dapat menemukan dan mengenal
realitas sebagai hokum-hukum universal, hanya saja dalam menemukannya itu dibatasi oleh
kelambanan sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itulah, pengetahuan dapat diperoleh secara
ilmiah melalui fakta dan kenyataan yang dapat di indra.
Aliran eksistensialis mengakui, bahwa sebagai individu setiap manusia memiliki kelemahan-
kelemahan, namun demikian setiap individu itu dapat memperbaiki dirinya sendiri sesuai dengan
norma-norma dan keyakinan yang ditentukannya sendiri. Setiap individu memiliki kebebasan untuk
memilih. Norma-norma ditentukan sendiri sesuai dengan kebebasannya itu. Dengan demikian, setiap
individu bisa memiliki norma yang berbeda.

2. Landasan Psikologis dalam Pengembangan Kurikulum


Kurikulum merupakan pedoman penting bagi guru dalam mengantar anak didik sesuai dengan
harapan dan tujuan pendidikan. Secara psikologis, anak didik memiliki keunikan dan perbeda-bedaan
baik perbedaan bakat, minat, maupun potensi yang dimilikinya sesuai dengan tahapan
perkembangannya. Dengan alasan itulah, kurikulum harus memerhatikan kondisi psikologi
perkembangan dan psikologi belajar anak.
a. Psikologi Perkembangan Anak
Salah satu hal yang perlu diketahui dengan anak, adalah masa-masa perkembangan mereka.
Pentingnya pemahaman tentang masa perkembangan ini disebabkan bebarapa alasan. Pertama, setiap
anak didik memiliki tahapan atau masa perkembangan tertentu. Pada setiap tahapan itu anak memiliki
karakteristik dan tugas-tugas perkembangan tertentu. Seandainya tugas-tugas perkembangan itu tidak
tepenuhi, maka akan mengalami hambatan pada tahapan berikutnya. Kedua, anak didik yang sedang
pada masa perkembangan merupakan periode yang sangat menentukan untuk keberhasilan dan
kesuksesan hidup mereka. Ketiga, pemahaman akan perkembangan anak, akan memudahkan dalam
melaksanakan tugas-tugas pendidikan, baik yang menyangkut proses pemberian bantuan memcahkan
berbagai masalah yang dihadapi, maupun dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang diharapkan.
Menurut Piaget, perkembangan intelektual (kognitif) setiap individu berlangsung dalam tahapan-
tahapan tertentu. Tahapan-tahapan perkembangan kognitif itu, menurut Piaget terdiri dari 4 fase,
yaitu:
1) Sensorimotor yang berkembang dari lahir sampai 2 tahun
2) Praoperasional, mulai dari 2 sampai 7 tahun
3) Operasional konkret, berkembang dari 7 sampai 11 tahun
4) Operasional formal, yang dimulai dari 11 sampai dengan 14 tahu ke atas.
a) Sensorimotor (0-2 tahun)
Pada fase ini kemampuan kognitif anak masih terbatas. Piaget mengistilahkannya dengan dengan
kemampuan yang bersifat primitive, artinya masih didasarkan kepada perilaku yang terbuka.
Kemampuan kognitif atau intelegensi yang dimilik anak pada masa ini merupakan intelegensi dasar
yang amat berarti dan menentukan untuk perkembangan kognitif selanjutnya.
Intelegensi sensorimotor juga dinamakan intelegensi praktis. Dikatakan demikian, oleh karena
pada masa ini anak hanya belajar bagaimana mengikuti dunia kebendaan secara praktis dan belajar
bagaimana menimbukkan efek tertentu tanpa memahami apa yang sedang ia lakukan hanya mencari
cara melakukan perbuatannya itu.
b) Praoperasional (2-7 tahun)
Pada fase ini ditandai dengan beberapa ciri. Pertama, adanya kesadaran dalam diri anak tentang
suatu objek. Anak sudah memiliki kesadaran akan tetap eksisnya suatu benda. Artinya, pandangan
terhadap benda sudah tidak melalui mengandalkan indransya seperti pada masa sensorimotor.
Walupun suatu benda sudah ia tinggalkan atau sudah hilang dari penglihatan dan pendengarannya,
akan tetapi anak sadar kalau benda itu memanga ada. Inilah yang diistilahkan dengan kesadaran akan
objek permanence. Munculnya kesadaran akan object permanence ini adalah hasil dari munculnya
kapasitas koginitif baru yang disebut dengan mental representation (gambaran mental). Representasi
mental adalah sesuatu yang mewakili atau menjadi symbol atau wujud sesuatu yang lain. Representasi
mental merupakan bagian yang penting dari kemampuan kognitif yang memungkinkan anak berpikir
dan menyimpulkan eksistensi sebuah benda atau kejadian tertentu, walaupun semua itu berada di luar
pandangannya.
Kedua, pada fase ini kemampuan anak dalam berbahasa mulai berkembang. Melalui
pengalamannya anak dapat mengenal dan memberikan objek dengan nama-nama sesuai dengan
gagasan yang telah dibentuknya dalam otak. Anak akan mampu mengekspresikan sesuatu dengan
kalimat pendek namun efektif.
Ketiga, fase praoperasional ini dinamakan juga fase intuisi, sebab pada masa ini anak mulai
mengetahui perbedaan anatara objek-objek sebagai suatu bagian dari individu atau kelasnya. Misalkan
perbedaan antara “bapak” dengan orang lain, atau perbedaan antara bentuk tunggal dan jamak.
Keempat, pandangan terhadap dunia, pada fase ini bersifat “animistic” artinya, bahwa segala
sesuatu yang bergerak di dunia ini adalah “hidup” misalkan bulan bergerak, menandakan bahwa ia
adalah hidup, demikian juga dengan matahari, gunung, laut, daun-daun yang ditiup angina, dan lain
sebagainya. Mereka memandang bahwa gerakan-gerakan itu disebabkan oleh adanya kekuatan yag
menggerakkan semacam raksasa atau manusia yang hebat dan “jagoan”. Oleh karena itu, pada fase ini
juga bersifat “articifalistic”.
Kelima, pada fase ini pengamatan dan pemahaman anak terhadap situasi lingkungan sangat
dipengaruhi oleh sifatnya yang “egocentric”. Ia akan beranggapan bahwa cara pandang orang lain
terhadap objek sama seperti dirinya. Ia tidak dapat bekerjasama secara efektrif dalam kelompok-
kelompok. Sebab, peraturan adalah “peraturannya”. Orang lain tidak boleh keluar dari peraturan yang
dibuatnya sendiri. Sifat egosentris ini akan berkurang pada suatu saat, yaitu apabila anak telah banyak
terlibat dalam interaksi social dengan berbagai macam pendapat dari individu-individu yang lain.
c) Operasional konkret (7-11 tahun)
Dikatakan fase opereasional konkret, karena pada masa pikiran akan terbatas pada objek-objek
yang ia jumpai dari pengalaman-pengalaman langsung. Anak berpikir tentang objek-objek atau benda
yang ia temukan secara langsung, misalnua tentang beratnya, warnanya, dan strukturnya. Ia juga
berpikir tentang aktivitas-aktivitas yang dapat ia lakukan dengan menggunakan benda-benda yang
ditemuinya itu.
Pada masa ini, selain kemampuan-kemampuan yang telah dimiliki pada masa sebelumnya, anak
memperoleh tambahan kemampuan uang disebut dengan system of operations (satuan langkah
berpikir). Kemampuan ini sangat penting artinya bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran suatu
ide dalam peristiwa tertentu ke dalam sistem pemikirannya sendiri. Lemampuan satuan langkah
berpikir ini, kelak akan menjadi dasar terbentuknya intelegensi. Menurut Piaget, intelegensi nukan
sifat yang bisa digambatkan dengan skor IQ. Intelegensi adalah suatu proses, yaitu tahapan langkah
operasional tertentu yang mendasari semua pikiran dan pengetahuan manusia, di samping merupakan
proses pembentukan pemahanam.
Kemampuan yang dimiliki pada fase ini meliputi: conservation, addition of classes, dan
multiplication of classes.
Conservation atau pengekalan adalah, kemampuan anak dalam memahami aspek-aspek kumulatif
materi, seperti volume dan jumlah. Anak yang mengenali sifat kumulatif sebuah benda akan tahu
bahwa sifat kuantitatif sebuh benda tidak akan berubah secaara sembarangan.
Addition of classes (penambahan golongan benda), yaitu kemampuan anak dalam memahami cara
mengombinasikan benda-benda yang dianggap memiliki kelas yang rendah dan dihubungkan dengan
kelas yang lebih tinggi, misalkan kelompok ayam, itik, bebek dihubungkan dengan benda berkelas
tinggi yaitu ungags. Di samping itu kemampuan ini juga meliputi kecakapan memilah-milah benda-
benda dari kelompok tinggi menjadi benda berkelas rendah, seperti ayam, itik, dan bebek adalah
bagian dari ungags.
Multifrication of classes (pelipatgandaan golongan benda), yakni kemampuan yang melibatkan
pengetahuan mengenai cara mempertahankan dimensi-dimensi benda seperti warna bunga dan jenis
bunga untuk membentuk gabungan golongan benda, seperti mawar merah, mawar putih, dan
sebagainya. Selain itu, kemampuan ini juga nmeliputi kemampuan memisahkan gabungan golongan
benda menjadi dimensi yang spesifik, misalnya warna bunga mawar terdiri dari merah, putih, dah
kuning.
Dengan munculnya kemampuan-kemampuan di atas, maka kemampuan operasi kognitif ini juga
memiliki kemampuan melakukan berbagai macam operasional secara matematika, seperti menambah,
mengurangi, mengalikan, dan membagi.
Sebagai hasil dari fase ini, anak mengorganisir lingkungannya ke dalam struktur-struktur kognitif
berupa ide-ide atau konseop-konsep. Karena ia sudah dapat melakukannya, setiap kali menjumpai
objek atau benda-benda baru di alam sekitarnya, ia tidak lagi perlu menguji secara luar, akan tetapi ia
sudah dapat mengklasifikasikannya sesuai dengan bagian, struktur, dan fungsingya.
d) Operasinal formal (12-14 tahun ke atas)
Piaget menamakan fase ini sebagai fase “formal operasional, karena pada masa ini pola berpikir
anak sudah sistematik dan meliputi proses-proses yang kompleks. Operasionalnya tidak lagi terbatas
pada semata-mata pada hal yang konkret, akan tetapi dapat juga dilakukan pada operasional lainnya,
dengan menggunakan logika yang lebih tinggi tingkatannya, seperti misalnya berpikir hipotesis-
deduktif, berpikir rasional, berpikir abstrak, berpikir proposional, mengevaluasi informasi, dan lain
sebgainya.
Aktivitas proses berpikir pada fase ini mulai menyerupai cara berpikir orang dewasa, karena
kemampuannya yang sudah berkembang pada hal-hal yang bersifat abstrak. Anak sudah mampu
memprediksi berbagai macam kemungkinan. Ia sudah dapat membedakan mana yang terjadi dan
mana yang seharusnya terjadi. Ia juga dapat menyusun hipotesis dari suatu kenyataan misalkan pola
piker; “apabila…..maka…..”.
Baik tujuan maupun isi kurikulum harus mempertimbangkan taraf perkembangan anak. Tanpa
pertimbangan psikologi anak, maka dapat dipastikan kurikulum yang disusun tidak akan efektif.
b. Psokologi Belajar
Pengembangan kurikulum tidak akan terlepas dari teori belajar. Sebab, pada dasarnya kurikulum
disusun untuk membelajarkan siswa. Banyak teori yang membahas tentang belajar sebagai proses
perubahan tingkah laku. Namun demikian, setiap teori itu berpangkal dari pandangan tentang hakikat
manusia, yaitu hakikat manusia menurut pandangan John Locke dan hakikat manusia menurut
Leibnitz.
Menurut John Locke, manusia itu merupakan organisme yang pasif. Dengan teori tabularasa-nya,
Locke menganggap bahwa manusia itu seperti kertas putih, hendak ditulis apa kertas itu sangat
tergantung pada orang yang menulisnya. Dari pandangan yang mendasar tentang hakikat manusia itu,
memunculkan aliran belajar behavioristic-elementeristik.
Berbeda dengan Locke, Leibnitz menganggap bahwa manusia adalah organisme yang aktif.
Manusia merupakan sumber dari pada semua kegiatan. Pada hakikatnya manusia bebas untuk berbuat;
manusia bebas untuk membuat suatu pilihan dalam setiap situasi. Titik pusat kebebasan ini adalah
kesadarannya sendiri. Menurut aliran ini tingkah laku manusia hanyalah ekspresi yang dapat diamati
sebagai akibat dari eksistensi internal yang pada hakikatnya bersifat pribadi. Pandangan hakikat
manusia menurut Leibnitz ini kemudia melahirkan aliran belajar kognitif-wholistik.
Menurut aliran behavioristic, belajar pada hakikatnya adalah pembentukan asosiasi antara kesan
yang ditangkap pancaindra dengan kecenderungan untuk bertindak atau hubungan antara Stimulus
dan REspons (S-R). oleh karena itulah teori ini juga dinamakan teori Stimulus-Respons. Dengan
demikian, menurut aliran behavioristic proses belajar sangat tergantung pada adanya rangsangan ataau
stimulus yang muncul dari luar diri atau yang dikenal dengan faktor lingkungan.

3. Landasan Sosiologis-Teknologis dalam Pengembangan Kurikulum


Sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif di
masyarakat. Oleh karena itu, kurikulum sebagai alat dan pedoman dalam proses pendidikan di sekolah
harus relevan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat. Dengan demikian dalan konteks ini sekolah
bukan hanya berfungsi untuk mewariskan kebudayaan dan nilai-nilai suatu masyarakat, akan tetapi
juga sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik dalam kehidupan masyarakat.
a. Kekuatan Sosial yang Dapat Mempengaruhi Kurikulum
Masyarakat tidak bersifat statis. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
masyarakat selalu mengalami perubahan, bergerak menuju perkembangan yang makin kompleks.
Perubahan bukan hanya terjadi pada sistem nilai, akan tetapi juga pada pola kehidupan, struktur
social, kebutuan, dan tuntutan masyarakat.
Dalam kehidupan social yang semakin kompleks tersebut, maka muncul pula berbagai kekuatan
kelompok yang dapat memberikan tekanan terhadap penyelenggaraan dan praktik pendidikan
termasuk di dalamnya tekanan-tekanan dalam proses pengembangan isi kurikulum sebagai alat dan
pedoman penyelenggara pendidikan. Kesulitan yang dihadapi oleh para pengembang kurikulum
adalah manakala setiap kelompok social itu memberikan masukan dan tuntutan yang berbeda sesuai
dengan kepentingan kelompoknya, seperti misalnya tuntutan golongan agama, politik, militer,
industry, dan lain sebagainya. Bukan hanya itu, pertentangan-pertentangan pun sering tejadi
sehubungan dengan cara pandanag yang berbeda tentang makna pendidikan setiap kelompok tersebut.
b. Kemajuan IPTEK sebagai Bahan Pertimbangan Penyusunan Kurikulum
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai hasil kemampuan berpikir manusia telah
membawa umat manusia pada masa yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Terciptanya
produk-produk teknologi semacam teknologi transportasi, misalnya bukan hanya menyebabkan
manusia bisa menjelajahi seluruh pelosok dunia, akan tetapi manusia mampu menjelajahi ruang
angkasa sebuah tempat yang dahulu dibayangkannya sebagai tempat bersemayamnya para dewa.
Namun dengan demikian, segala kemajuan yang telah mampu diraih oleh umat manusia itu,
bukan tanpa masalah. Pada kenyataannya terdapat berbagai efek negatif yang justru sangat
mencemaskan manusia itu sendiri. Diproduksinya alat-alat transpormasi, menyebabkan permasalahan
kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, yang setiap hari merenggut nyawa manusia.
Hal penting yang perlu diperhatikan dan diantisipasi oleh para pengembang kurikulum
sehubungan dengan perubahan yang terjadi di masyarakat adalah mengenai perubahan pola hidup dan
perubahan sosial politik.
1) Perubahan pola hiudp
Kemajuan di bidang teknologi memiliki andil besar dalam perubahan pola hidup ini. Penggunaan
pesawat telepon yang lebih memudahkan untuk berkomunikasi, munculnya stasiun-stasiun siaran
televise yang menawarkan berbagai acara selama dua puluh empat jam dari mulai bidang pendidikan,
informasi sampai dengan berbagai macam variasinya, teknologi dalam bidang jasa sepetri asuransi,
jasa perbankan, teknologi dalam bidang kesehatan dan lain sebagainya, merupakan faktor yang
mendorong terjadinya perubahan pola hidup dan bahkan tatanan sosial masyarkat.
Pola hidup itu dikatakan banyak orang sebagai perubahan pola hidup yang bersifat agraris
tradisional menuju pola kehidupan modern. Pola kehidupan masyarakat industry modern memiliki
karakteristik yang berbeda dengan pola kehidupan agraris. Perbedaan tersebut dapat dilihat dari.
Pertama, dari pola kerja. Pada masyarakat agraris, pola kerja sangat teratur yang berlangsung siang
hari pada waktuyang tetap. Tidak demikian dengan masyarakat industry, selain masyarakat
menggunakan waktu yang panjang untuk bekerja juga memiliki pola yang tidak beraturan. Kedua,
pola hidup yang tergantung pada teknologi. Pada masyarakat industry banyak sekali jenis-jenis
pekerjaan yang sangat mengandalkan teknologi, dari mulai pekerjaan ibu-ibu rumah tangga di dapur
sampai kepada pekerjaan-pekerjaan kantor. Ketergantungan terhadap hasil-hasil teknologi,
melenyapkan jenis-jenis pekerjaan tertentu dan memunculkan jenis pekerjaan baru yang menuntut
keahlian-keahlian tertentu.
Ketiga, pola hidup dalam sistem perekonomian baru. Perubahan pola hidup ini ditandai dengan
penggunaan produk jasa perbankan dan asuransi untuk kegiatan perekonomian, seperti menabung,
perkreditan, dan permodalan usaha. Terdapatnya perubahan-perubahan semacam itu, bukan hanya
memerlukan perubahan isi kurikulum akan tetapi juga dapat merubah lingkungan sekolah termasuk
merubah bahan-bahan bacaan yang dapat memperkenalkan anak didik terhadap fenomena-fenomena
baru yang terjadi. Misalkan menabung di Bank, bagaimana cara menggunakan ATM, bagaimana cara
berkomunikasi di telepon, semuanya harus diperkenalkan lewat bahan-bahan bacaan di sekolah.
2) Perubahan kehidupan sosial politik
Arus globalisi yang bergerak sangat cepat membawa perubahan kehidupan sosial politik ke
seluruh penjuru dunia tak terkecuali ke dalam kehidupan sosial politik. Di Indonesia perubahan
tersebut adalah ditandai dengan munculnya gerakan reformasi yang menjatuhkan rezim Orde Baru
yang selama 32 tahun berkuasa. Diakui, selama berkuasanya rezim ini hamper tidak ada saluran
komunikasi yang dapat menyuarakan kebebasan. Kehidupan sosial politik tidak pernah berkembang
karena bergerak dalam pola yang kaku dan bersifat linier. Demika pula dengan sistem pendidikan
yang berlaku. Sistem pendidikan yang sangat sentralistis seakan-akan sulit melepaskan dari
kungkungan kekuasaan. Diakui atau tidak, pendidikan telah menjadi alat politik rezim yang berkuasa.
Akibatnya kurikulum yang berlaku pun kurang berperan sebagai alat pembebasan dan alat
pencerahan, akan tetapi digunakan untuk membentuk manusia yang memiliki pola piker yang
seragam, manusia yang tunduk dadn patuh terhadap kekuasaan; manusia yang lebih senang menjadi
abdi; manusia yang lebih senang dipekerjakan dari pada manusia yang senang membuka,
menciptakan, dan mencintai pekerjaan.
Dengan munculnya era reformasi, semuanya mestinya berubah. Pendidikan harus diarahkan untuk
menciptakan manusi-manusia yang krtis dan demokratis. Untuk itulah, perubahan ke arah transparansi
harus ditangkap secara utuh oleh para pengembang kurikulum. Kehidupan yang demokratis haruslah
menjiwai isi kurikulum. Mengutip pendapat Paulo Freire (1993), kurikulum oedidikan harus mampu
membebaskan manusia dari keterbelengguan.2

2
Ibid., hm. 42-62

Anda mungkin juga menyukai