Anda di halaman 1dari 22

PENGARUH KEADILAN ORGANISASIONAL TERHADAP ORGANIZATIONAL

CITIZENSHIP BEHAVIOR DENGAN KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN


ORGANISASIONAL SEBAGAI MEDIASI

1. PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG MASALAH

Dunia bisnis dewasa ini tidak hanya memerlukan karyawan yang memiliki kinerja baik,
tetapi karyawan yang memiliki kepuasan kerja, komitmen organisasional dan kinerja melebih
tuntutan peran yang menjadi tanggungjawabnya yang sering disebut organizational citizenship
behavior (OCB). Hal ini dikarenakan tingkat persaingan semakin ketat, bahkan cenderung
hypercompetition, dimana menentukan keunggulan bersaing semakin mudah ditiru bahkan tidak
jarang melanggar etika.

Untuk itu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi OCB yakni faktor individu,
interpersonal, kelompok dan situasional. Salah satu faktor situasional yang paling penting adalah
adanya keadilan dalam organisasi. Colquitt (2001) menyatakan bahwa keadilan organisasional
dapat mempengaruhi kinerja karyawan, kepuasan kerja dan komitmen organisasional.

1.2. HUBUNGAN KEADILAN ORGANISASIONAL, KEPUASAN KERJA DAN


KOMITMEN ORGANISASIONAL

Kepuasan kerja berkaitan dengan teori motivasi hirarki kebutuhan Maslow dan teori dua
faktor Herzberg. Teori hirarki kebutuhan Maslow menyatakan bahwa seseorang mempunyai lima
tingkatan kebutuhan yakni fisiologis, keamanan, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri.
Maslow berkeyakinan bahwa tingkatan kebutuhan yang lebih rendah perlu dipuaskan terlebih
dahulu, sebelum tingkatan yang lebih tinggi dapat memotivasi (Maslow, A.H. 1943 dalam
Tsourela, Mouza & Paschaloudis, 2008).

Sedangkan Frederick Herzberg menyebutkan bahwa faktor pertama yakni motivator


merupakan faktor yang dapat mewujudkan kepuasan seseorang, faktor kedua yakni pemelihara
(hygiene factors) merupakan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan seseorang. Faktor
pemelihara merupakan faktor ekstrinsik seperti kondisi kerja, kualitas pengawasan, upah, status,
kemananan, kebijakan perusahaan dan administrasi serta hubungan interpersonal. Faktor
motivator dapat meningkatkan kondisi intrinsic seperti prestasi, pertanggungjawaban, tantangan
pekerjaan, status pekerjaan dan penghargaan (Herberg, F.dalam Tsourela, Mouza &
Paschaloudis, 2008). Beberapa peneliti yang lain mengatakan bahwa faktor motivators dan
hygiene ini identik dengan faktor kepuasan intrinsik dan ekstrinsik (Weiss, et.al., 1967 dalam
Tsourela, Mouza & Paschaloudis, 2008)
Rose, 2001 dalam Tsourela, Mouza & Paschaloudis, 2008 menjelaskan kepuasan kerja
terdapat dua dimensi intrinsik dan ekstrinsik. Kepuasan kerja intrinsik adalah rasa seseorang
berkaitan dengan pekerjaannya, sedangkan kepuasan kerja ekstrinsik adalah rasa seseorang
berkaitan dengan situasi kerja.
Komitmen organisasional merupakan suatu bentuk identifikasim loyalitas dan
keterlibatan yang ditunjukkan oleh karyawan terhadap organisasi (Gibson, 2009). Komitmen
karyawan terhadap organisasi terjadi dipengaruhi oleh kepuasan kerja yang didukung oleh
kondisi kerja yang kondusif (Indrawati, 2013). Kepuasan kerja juga disebutkan sebagai
perbedaan antara yang diharapkan dengan yang dirasakan seseorang atas pekerjaannya. Indikasi
terjadi kepuasan kerja biasanya dikaitkan dengan disiplin kerja, tingkat absensi, tingkat
perputaran karyawan, loyalitas dll.

Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan adalah keadilan
organisasi (Sethi et. al., 2013). Terdapat tiga alasan karyawan menginginkan terciptanya keadilan
dalam organisasi, antara lain : 1) karyawan mampu memprediksi hasil di masa yang akan datang,
misal karyawan bersedia menerima imbalan yang kurang menguntungkan dirinya, tapi ia
menerima pembayaran dna perlakukan yang adil, 2) pertimbangan aspek sosial, ykani keinginan
untuk dihargai dan 3) pertimbangan aspek etis yakni adanya keyakinan bahwa keadilan
merupakan cara yang tepat dalam memperlakukan oarng lain (Sethi, at.al, 2013).

Keadilan organisasional terdapat tiga komponen yaitu keadilan distributive, keadilan


procedural dan keadilan interaksional. Keadilan interaksional terdiri dari dua komponen yakni
keadilan interpersonal dan keadilan informasional. Dalam perkembangannya, beberapa peneliti
menyebutkan bahwa keadilan organisasional terdiri dari empat komponen (Colquit, 2001).
Keadilan distributive merupakan penilaian seseorang berkaitan dengan pemberian
imbalan, keadilan procedural merupakan penilaian mengenai prosedur yang dilakukan untuk
menetapkan pembayaran imbalan tersebut. Sedangkan keadilan interaksional berkaitan dengan
cara yang dilakukan oleh manajemen bahwa manajemen berperilaku adil terhadap penerima
keadilan atau dengan kata lain hubungan antara karyawan dengan atasaannya atau supervisornya
(Colquitt, 2001).
Keadilan organisasional merupakan konsep yang mencerminkan persepsi karyawan
tentang sejauh mana karyawan diperlakukan secara adil dalam organisasi. Karyawan
mengasumsikan bahwa organisasi adil apabila karyawan berkeyakinan bahwa hasil dan prosedur
yang diterimanya adil (Noruzy et. al., 2011). Beberapa penelitian memberikan kesimpulan
bahwa menciptakan persepsi keadilan bagi karyawan, dapat meningkatkan rasa emosional positif
terhadap pekerjaan dan menciptakan kepuasan kerja (Sethi, et.al. 2013). Disamping kepuasan
kerja, keadilan organisasional juga dapat meningkatkan komitmen organisasional. Keadilan
oragnisasional diasumsikan semakin penting, karena dalam teori keadilan dinyatakan bahwa
karyawan cenderung berupaya menyeimbangkan antara kontribusi yang dilakukan atau uusaha
dengan hasil yang diterima (Gibson et. al., 2009).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi rasa keadilan yang diterima
karyawan, akan menciptakan rasa keterikatan karyawan tersebut yang pada akhirnya
menciptakan komitmen organisasional karyawan (Noruzy et. al., 2011). Hubungan keadilan
organisasional pada komitmen organisasional ini dapat dimediasi kepuasan kerja (Sethi, et.al.,
2013).

Penelitian berkaitan dengan pengaruh keadilan organisasional, kepuasan kerja dan


komitmen oragnisasional telah banyak dilakukan, tetapi hasil temuan yang ada masih belum
konsisten. Sijabat (2011) dan Indrawati (2013) menemukan bahwa kepuasan kerja berkorelasi
positif terhadap komitmen organisasional. Demikian juga Sijabat (2011) dan Tafti, et.al. (2014)
menemukan bahwa keadilan organisasional berkorelasi positif terhadap komitmen
organisasional. Akan tetapi Tafti et.al. (2014) menemukan kepuasan kerja tidak berpengaruh
terhadap komitmen organisasional. Karim & Rehman (2014) menyebutkan bahwa keadilan
organisasional yang dirasakan oleh karyawan tidak mampu meningkatkan mereka atau dengan
kata lain tidak ada pengaruh antara keadilan organisasional dengan komitmen organisasional.
Hubungan antara keadilan organisasi pada kepuasan kerja karyawan juga masih
menunjukkan perbedaan hasil penelitian. Seperti penelitian yang dilakukan Sethi et. al., (2013),
menunjukkan bahwa keadilan organisasional yang dirasakan karyawan mampu meningkatkan
kepuasan karyawan atas pekerjaannya, semakin tinggi keadilan yang dirasakan maka semakin
tinggi kepuasan kerja karywan. Sedangkan penelitian oleh Baylor, K.M. (2010) menunjukkan
bahwa keadilan organisasi tidak mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.

1.3. HUBUNGAN KEPUASAN KERJA, KOMITMEN ORGANISASIONAL DAN OCB

Beberapa peneliti menjelaskan bahwa adanya hubungan pertukaran sosial yang kuat antar
karyawan dengan atasannya atau pemilik dapat mendukung hubungan kerja yang positif
sehingga menumbuhkan kepuasan kerja, komitmen organisasional dan kepercayaan, pada
akhirnya meningkatkan OCB bagi karyawan (Kasemsap, K, 2012). Telah banyak dilakukan
penelitian berkaitan dengan hubungan antara kepuasan kerja dengan OCB, tetapi hasil penelitian
masih menunjukkan belum konsisten. Namun demikian mayoritas hasil penelitian menunjukkan
adanya korelasi yang kuat dan signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB (Kasemsap, K,
2012).

Allen & Meyer (2003) menyebutkan bahwa konsep komitmen organisasional terdiri dari
tiga komponen yakni komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan
(continuance commitment) dan komitmen normative (normative commitment). Komitmen afektif
terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emotional
(emotional attachment). Komitmen kontinuan terjadi apabila karyawan berkeinginan tetap
bertahan menjadi anggota organisasi, karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan
lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Komitmen normative,
terjadi dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan pada organisasi karena merasa
berkewajiban, jika karyawan tersebut meninggalkan organisasi diasumsikan bertentangan dengan
pendapat umum. Komitmen organisasional berkorelasi positif terhadap OCB (Kasemsap, K.
2012) dan kepuasan kerja (Kasemsap, K., 2012).

Istilah OCB pertama kali diajukan oleh Organ (1988), menyatakan bahwa terdapat lima
dimensi dalam OCB yaitu (Podsakoff, et.al., 2000):
1. Altruism yaitu perilaku membantu karyawan yang lain dengan tanpa keterpaksaaan, terutama
perilaku berkaitan tugas-tugas operasional.

2. Civic Virtue yaitu partisipasi sukarela dan yang didukung oleh fungsi-fungsi organisasi baik
secara profesional maupuan sosial alamiah.

3. Concentiousness yakni ketelitian atau kinerja yang melebih prasyarat (standard) minimal.

4. Courtesy yaitu perilaku cenderung meringankan beban pekerjaan karyawan lain.

5. Sportmanship yakni perilaku tidak suka terhadap berbagai isu yang cenderung merusak
kepentingan dan keberadaan organisasi.

Podsakoff, et.al. (2000) menyatakan bahwa terdapat overlap tentang karakteristik OCB,
seperti helping behiavior (Podsakoff, 2000), identik dengan helping and cooperating with others
(Borman & Motowidlo, 1997), interpersonal helping (Graham, 2001), helping co-worker
(George & Brief, 1992), altruism (Organ, 1988; Smith, et.al,, 1992), sportsmanship (Organ,
1988). Beberapa peneliti menganalisis kombinasi konsep helping behavior dengan karakteristik
OCB seperti individual intiative (Moorman & Blakely, 1995), civic virtue (organ, 1988),
organizational compliance (Smith, et.al, 1983) dan self development (Moorman & Balkely,
1995). Ringkasan lengkap dapat dilihat dalam tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan OCB (Hies, et.al., 2006 dalam
Kasemsap, K.,2012 ) dan perilaku prososial (Mc Neely & Meglino, 1994 dalam Kasemsap, K.
2012).

2. TINJAUAN LITERATUR

2.1. PENGERTIAN KOMITMEN ORGANISASIONAL

Menurut Allen dan Meyer (2003) karyawan yang mempunyai komitmen adalah
seseorang yang tetap berada dalam suatu organisasi, dengan melakukan pekerjaan teratur,
bekerja dengan waktu penuh dan berupaya menjaga aset perusahaan, bekerjasama guna
mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasional merupakan tingkat kepercayaan dan penerimaan karyawan terhadap
tujuan organisasi serta berkeinginan untuk tetap berada di dalam organisasi tersebut.
2.1.1. Dimensi Komitmen Organisasional

Allen dan Meyer (2003) mengemukakan tiga komponen atau dimensi dari komitmen
organisasional yaitu:

1) Affective Commitment muncul jika karyawan berkeinginan menjadi bagian dari organisasi,
dikarenakan adanya ikatan emosional (emotional attachment). Keberadaan karyawan dalam
organisasi sangat ditentukan oleh tingkat kesesuaian antara tujuan organisasi dan prinsip-prinsip
hidup karyawan. Jika terdapat perubahan tujuan organisasi yang cenderung berdampak pada
karyawan, maka karyawan akan berusaha mencari kesesuaian prinsip dalam dirinya dengan
tujuan organisasi tersebut. Apabila tidak terjadi kesesuaian maka keinginan untuk tetap bertahan
dalam organisasi tetap ada, tetapi jika terdapat tingkat ketidaksesuaian yang tinggi, maka
karyawan akan berupaya mencari alternatif pekerjaan yang lain.

2. Continuance Commitment, terjadi jika karyawan tetap bertahan menjadi anggota organisasi,
karena karyawan tersebut berhitung untung rugi, seperti ia membutuhkan gaji dan keuntungan-
keuntungan yang lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dalam
perkembangannya tingkat continuance commitment berkaitan dengan ketersediaan pilihan
pekerjaan pada orang lain. Tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya
mencerminkan tingkat continuance Commitment yang rendah.

3. Normative Commitment, terjadi berdasarlan pada nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan
bertahan pada organisasi, karena terdapat kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi harus
dilakukan. Dengan kata lain karyawan merasa berkewajiban tinggal dan berjuang bersama
organisasi. Ia merasa jika dia meninggalkan organisasi diasumsikan bertentangan dengan
pendapat umum.

2.1.2. Faktor yang mempengaruhi Komitmen Organisasional

Faktor-faktor yang mempengaruhi komitmen dalam berorganisasi antara lain


karakteristik pribadi individu, karakteristik organisasi, dan pengalaman selama berorganisasi
(Allen dan Meyer, 2003). Aspek-aspek yang termasuk dalam karakteristik organisasi antara lain
struktur organisasi, desain kebijaksanaan dalam organisasi, dan bagaimana kebijaksanaan
organisasi tersebut disosialisasikan.
Dalam larakteristik pribadi individu dibagi dalam dua variabel, yakni variabel demografis
dan variabel disposisional. Variabel demografis terdiri dari gender, usia, status pernikahan,
tingkat pendidikan, dan lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Dalam beberapa
penelitian ditemukan adanya hubungan antara variabel demografis tersebut dan komitmen
berorganisasi, namun ada pula beberapa penelitian yang menyatakan bahwa hubungan tersebut
tidak terlalu kuat (Parker et. al., 1997).

Variabel disposisional terdiri dari kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi
(Allen dan Meyer, 2003). Hal-hal yang termasuk dalam variabel disposisional ini antara lain
kebutuhan untuk berprestasi,etos kerja yang tinggi, kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi
individu terhadap kompetensi dirinya. Variabel disposisional ini mempunyai korelasi yang kuat
dengan komitmen organisasional. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan pengalaman masing-
masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen dan Meyer, 2003).

2.2. PENGERTIAN KEPUASAN KERJA

Kepuasan kerja merupakan refleksi dari tingkah laku dalam bekerja yang bernilai
positif. Lambert dan Hogan, 2008 dalam Baylor, 2010 menjelaskan kepuasan kerja merupakan
respon emosional seseorang terhadap pekerjaannya. Sedangkan As'ad, 2010 dalam Kasemsap, K.
2012 mendefisikan kepuasan kerja seabgai suatu sikap positif dalam penyesuaian diri yang sehat
dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk didalamnya masalah upah,
kondisi kerja, kondisi sosial, kondisi fisik, dan psikologis. Kepuasan kerja merupakan penilaian
dari para pekerja, yaitu seberapa jauh pekerjaan dapat memenuhi kebutuhan. Kepuasan kerja
juga berkorelasi kuat dengan sikap karyawan terhadap tugas pekerjaan dirinya, situasi kerja,
kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa kepuasan kerja sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya.

2.2.1. Dimensi Kepuasan Kerja

Menurut Luthans (1997) menyebutkan bahwa kepuasan kerja terdiri dari lima dimensi
yaitu gaji dan upah yang layak dan adil, pekerjaan yang menantang, hubungan dengan rekan
kerja yang nyaman, promosi pekerjaan dan supervise yang adil, terbuka dan bersedia bekerja
sama dengan bawahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain : 1) Faktor psikologi
merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, seperti minat, keterampilan
kerja, sikap kerja, bakat dan keterampilan, 2) Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan
dengan interaksi sosial baik antara karyawan dengan atasannya maupun antara sesama karyawan,
3) Faktor Fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan
kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja,
keadaan ruang, suhu,penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan
sebagainya, 4) Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta
kesejahteraan karyawan, seperti sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam
tunjangan, fasilitas-fasilitas promosi, dan sebagainya.

2.3. PENGERTIAN KEADILAN ORGANISASI

Menurut Greenberg (1990) mendefinisikan keadilan organisasional sebagai konsep yang


menunjukkan persepsi karyawan tentang sejauh mana mereka diperlakukan secara adil dalam
organisasi. Lambert dan Hogan, 2008 dalam Baylor, K.M., 2010 mendefinisikan keadilan
organisasional sebagai tingkat persepsi karyawan terhadap keadilan yang diberikan oleh
organisasi baik dari aspek hasil maupun prosedur yang digunakan dalam memperoleh hasil
tersebut. Colquitt, 2001 mendefinisikan keadilan organisasional sebagai persepsi karyawan
mengenai seberapa adil merekadiperlakukan dalam transaksi sosial di tempat kerja. Dengan
dapat disimpulkan bahwa keadilan organisasional merupakan persepsi karyawan terhadap
perlakuan adil yang dilakukan oleh organisasi kepada karyawan.

2.3.1. Dimensi Keadilan Organisasional

Ada tiga dimensi utama pada keadilan organisasional, yaitu keadilan distributif, keadilan
prosedural, dan keadilan interaksional (Colquitt, 2001).

a. Keadilan Distributif

Keadilan distributif menurut Niehoff dan Moorman (1993) adalah persepsi mengenai
sejauh mana imbalan (rewards) dialokasikan secara adil oleh organisasi. Ivancevich et. al.,
(2009), keadilan distributif didefinisikan sebagai keadilan yang dipersepsikan mengenai
bagaimana sumber daya dan penghargaan didistribusikan diseluruh organisasi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa keadilan distributif yaitu persepsi karyawan tentang keadilan, atau
dengan kata lain kesesuaian imbalan yang diterima karyawan dengan upaya yang karyawan
lakukan pada organisasi. Sebagai contoh yaitu, gaji, pengakuan, bonus, penghargaan dan lain-
lain.

b. Keadilan Prosedural

Keadilan prosedural menurut Niehoff dan Moorman (1993) merupakan persepsi


karyawan terhadap alokasi keputusan, atau dengan kata lain tingkat kesesuaian antara yang
dirasakan karyawan terhadap keputusan dengan metode dan pedoman yang adil. Robbins dan
Judge (2008) mendefinisikan keadilan prosedural sebagai keadilan yang dirasakan oleh
karyawan mengenai proses yang digunakan untuk menentukan distribusi penghargaan-
penghargaan. Terdapat dua elemen penting dalam keadilan prosedural, yaitu pengendalian proses
dan penjelasan dari pimpinan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keadilan prosedural
merupakan keadilan yang dirasakan oleh karyawan mengenai prosedur yang dibuat dalam
penentuan hasil yang diterima karyawan, misalnya proses penentuan promosi, proses
pemutusan hubungan kerja, proses kenaikan gaji, dan lain-lain.

c. Keadilan Interaksional

Robbins dan Judge (2008), keadilan interaksional didefinisikan sebagai, tingkat sampai
mana seorang individu diperlakukan dengan martabat, perhatian dan rasa hormat oleh
organisasi.Wiyono (2009) mendefisisikan keadilan interaksional sebagai persepsi karyawan
terhadap perlakuan atasan terhadap karyawan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahwa,
keadilan interkasional merupakan keadilan yang dirasakan oleh karyawan atas perlakuan dengan
hormat dan bermatabat dari atasan. Keadilan interaksional ini terdiri dari keadilan interpesonal
dan keadilan informasional. Misalnya keputusan atasan peduli dengan hak-hak karyawan, ketika
membuat keputusan atasan menyampaikan dengan jelas dan logis, dan lain-lain.

Faktor yang mempengaruhi keadilan organisasional antara lain karakteristik tugas,


tingkat kepercayaan bawahan, frekuensi feedback, kinerja manajerial dan budaya organisasi.

2.4. PENGERTIAN ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR (OCB)


Organizational Citizenship Behavior (OCB) merupakan kontribusi individu yang
mendalam, melebihi tuntutan peran di tempat kerja dan di hargai (reward) oleh organisasi atas
kinerjanya. Perilaku OCB antara lain perilaku menolong orang lain (helping behavior), menjadi
volunteer untuk tugas-tugas ekstra, patuh terhadap aturan-aturan dan prosedur-prosedur di
tempat kerja. Perilaku-perilaku tersebut menunjukkan adanya nilai tambah anggota organisasi
dan merupakan salah satu wujud perilaku prososial. Perilaku prososial merupan perilaku positif,
konstruktif dan bermakna membantu (Aldag & Resche, 1997 dalam Kasesmsap, K.M, 2012).

Sementara Organ, 1988 dalam Podsakoff, et.all, 2000 mendefinisikan OCB sebagai
perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem
penghargaan (reward system) dan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini didukung Van
Dyne, dkk, 1995 dalam Podsakoff, et.all., 2000 yang menyatakan Extra Role Behavior (ERB)
sebagai perilaku yang menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan
organisasi, secara sukarela dan melampaui tuntutan kerja.

Akan tetapi Organ, 1997 dalam Podsakoff, et.all., 2000 menemukan bahwa definisi ini
tidak didukung dengan penjelasan yang cukup. Peran pekerjaan bagi seseorang bisa ditentukan
oleh seberapa besar harapan sebagai hasil komunikasi antara karyawan dengan pemberi kerja
(pengirim pesan). Organ juga mengatakan bahwa OCB berkaitan dengan terciptanya kepuasan
karyawan, yang ditunjukkan melalui kinerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa OCB dan ERB
cenderung sulit diobservasi dan sangat subyektif. Disini terlihat adanya asumsi bahwa baik
karyawan maupun pemberi kerja bergerak dengan tujuan keuntungan organisasi. Sedangkan
Borman dan Motowidlo, 1993 dalam Podsakoff, et.all.2000 lebih menekankan pada contextual
behavior yakni perilaku yang memperhatikan lingkungan organisasi, sosial dan psikologis,
bukan tugas utama.

Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa OCB merupakan perilaku 1) yang
bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan
kepentingan organisasi, 2) Perilaku sebagai wujud terciptanya kepuasan karena kinerja yang
dicapai dan 3)Tidak secara langsung berhubungan dengan sistem penghargaan (reward system).

1.2. Dimensi-Dimensi Organizational Citizenship Behavior (OCB)


Istilah OCB pertama kali diajukan oleh Organ (1988), menyatakan bahwa terdapat lima
dimensi dalam OCB yaitu (Podsakoff, et.al., 2000) :

1. Altruism yaitu perilaku membantu karyawan yang lain dengan tanpa keterpaksaaan, terutama
perilaku berkaitan tugas-tugas operasional.

2. Civic Virtue yaitu partisipasi sukarela dan yang didukung oleh fungsi-fungsi organisasi baik
secara profesional maupuan sosial alamiah.

3. Concentiousness yakni ketelitian atau kinerja yang melebih prasyarat (standard) minimal.

4. Courtesy yaitu perilaku cenderung meringankan beban pekerjaan karyawan lain.

5. Sportmanship yakni perilaku tidak suka terhadap berbagai isu yang cenderung merusak
kepentingan dan keberadaan organisasi.

Beberapa pengukuran tentang OCB seseorang telah dikembangkan. Skala Morrison


(1995) merupakan salah satu pengukuran yang sudah disempurnakan dan memiliki kemampuan
psikometrik yang baik (Aldag & Resckhe, 1997 dalam Podsakoff, et.all, 2000). Skala ini
mengukur kelima dimensi OCB sebagai berikut :

Dimensi 1 : Altruisme yakni perilaku membantu orang tertentu. Item-item yang termasuk
altruism antara lain : menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat, membantu orang
lain yang memiliki beban kerja tinggi, membantu proses orientasi bagi anggota organisasi baru
tanpa diminta, membantu mengerjakan tugas orang lain ketika mereka tidak masuk atau ketika
tidak bisa mengerjakan secara optimal, meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan
dengan permasalahan - permasalahan pekerjaan, menjadi volunteer atau bekerja secara sukarela ,
membantu orang lain di luar departemen pada saat mereka mempunyai permasalahan dan
membantu pelanggan dan stakeholders lainnya, jika mereka memerlukan bantuan.

Dimensi 2 : Conscientiousness yakni perilaku yang melampaui prasyarat minimm seperti


kehadiran, kepatuhan terhadap aturan dan sebagainya. Item-item yang termasuk dalam dimensi
ini antara lain : tiba lebih awal sehingga telah siap bekerja ketika jadwal kegiatan dimulai, tepat
waktu setiap hari tanpa terpengaruh dengan musim hujan atau kepadatan lalu lintas dll, berbicara
seperlunya terutama percakapan di telepon, tidak menghabiskan waktu untuk pembicaraan di
luar pekerjaan atau kurang bermanfaat, datang segera jika dibutuhkan dan tidak mengambil
kelebihan waktu walaupun mempunyai cuti 6 hari.

Dimensi 3: courtesy yakni keinginan untuk toleransi dalam bekerja dengan tanpa mengeluh.
Item-item yang termasuk dimensi ini antara lain : tidak mengeluh dan tidak membesar-besarkan
berbagai kegiatan atau permasalahan dalam organisasi.

Dimensi 4 : Civic virtue yakni keterlibatan dalam fungsi-fungsi organisasi. Item-item yang
termasuk dalam dimensi ini antara lain : ikut terlibat atau memberikan perhatian terhadap
berbagai fungsi yang ada dalam organisasi guna meningkatkan citra oganisasi, berupaya terlibat
atau memberikan perhatian terhadap berbagai pertemuan yang penting dan membantu mengelola
terciptanya kebersamaan dalam organisasi.

Dimensi 5 : sportsmanship yakni menyimpan informasi tentang berbagai peristiwa atau


perubahan dalam organisasi, mengikuti berbagai perubahan dna perkembangan organisasi,
membaca dan mengikuti berbagai kegaitan atau pengumuman organisasi dan ikut berpartisipasi
dalam pertimbangan berbagi hal yang terbaik bagi organisasi.

1.3. Berbagai Motif yang Mendasari terbangunnya OCB

Salah satu pendekatan motif yang bisa untuk menjelaskan terciptanya OCB adalah terori
motivasi Mc Clelland. Mc Clelland menyatakan bahwa manusia mempunyai tiga tingkatan motf
yaitu :

a. Motif berprestasi (need for achievement) yakni mendorong orang untuk berkinerja memenuhi
atau melampaui standard minimal, berupaya berprestasi terhadap tugas yang dibebankanm
kesempatan yang ada atau persaingan.

b. Motif afiliasi (need for affiliation), mendorong seseorang untuk mewujudkan, memelihara dan
memperbaiki hubungan dengan orang lain.

c. Motif kekuasaan (need for power), mendorong seseorang untuk memperoleh status dan
mencari situasi yang tepat sehingga mereka mampu megendalikan pekerjaan atu tindakan orang
lain.
Kerangka ketiga motif dalam McClelland ini diterapkan untuk memahami OCB. Model
OCB berdasarkan motif Mc Clelland dapat dijelaskan berikut ini.

a. Model Berprestasi

Motif ini menunjukkan OCB yang berarti : kesempurnaan dan kesuksesan organisasi.
Teori yang mendasari adalah Model Kepuasan - Keadilan. Sifat yang mendasari adalah
ketelitian, etika bisnis, latar belakang kehidupan dan sifat ketergantungan.

b. Motif Afiliasi

Motif ini menunjukkan OCB yang berarti pembentukan dan pemeliharaan hubungan serta
penerimaan persetujuan. Teori yang mendasari adalah Model Komitmen. Sifat yang mendasari
adalah berorientasi pada pemberian pelayanan, kepercayaan, persetujuan, keterbukaan, perasaan
positif, dan spirit menjadi orang yang menyenangkan.

c. Motif Kekuasaan

Motif ini menunjukkan OCB yang berarti memperoleh kekuasaan dan status,
terbangunnya kesan positif dan kesuksesan serta keberlanjutan organisasi. Teori yang mendasari
adalah Model Impression Management. Sifat yang mendasari adalah Machivellian, self monitor
dan kecerdikan politik.

1.3.1. Paradigma 1 : OCB dan Motif Berprestasi

OCB dianggap sebagai alat untuk prestasi tugas (task accomplishment). Pada saat prestasi
menjadi motif, OCB muncul sebagai cara agar tercipta kesuksesan terhadap tugas tersebut.
Perilaku seperti menolong orang lain, membicarakan perubahan dapat mempengaruhi orang lain,
berupaya tidak mengeluh, berpartisipasi dalam pertemuan dll. Dengan kata lain seseorang yang
memiliki motif berprestasi memandang tugas sebagai perspektif yang menyeluruh. Faktor-faktor
yang mempengaruhi OCB dianggap sebagai kunci untuk kesuksesan.

Seseorang yang berorientasi pada prestasi akan memperlihatkan OCB selama terdapat
cukup kesempatan untuk melakukannya. Penilaian prestasi didasarkan pada kinerja individu, job
deskripsi yang jelas dan umpan balik dari kinerjanya.
Kepuasan kerja dan keadilan dipandnag sebagai antecedent dari OCB. Seseorang yang
memiliki orientasi prestasi berkehendak untuk menggantikan atau mengerjakan segala sesuatu
yang memberikan dampak prestasi dari kinerjanya. Selama ia menerima perlakuan atau
penghargaan yang adil dari manajemen atau organisasi, maka OCB akan terus terlihat. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara job performance
dengan OCB (Podsakoff, et.all, 2000)

1.3.2. Paradigma 2 : OCB dan Motif Afiliasi

Seseorang yang berorientasi pada orang, berupaya melayani orang lain. Motif afiliasi ini
dipandang sebagai komitmen seseorang terhadap pemberian pelayanan kepada orang lain.
Seseorang yang berorientasi afiliasi, akan berperilaku membantu orang lain karena mereka
membutuhkan bantuan, walaupun bantuan itu tidak memberikan keuntungan bagi dirinya.

Seseorang yang beroerintasi afiliasi ini memperlihatkan komiten terhadap orang lain
dalam organisasi seperti rekan kerja, manajer atau supervisor. Perilaku menolong,
berkomunikasi, bekerjasama dan berpartisipasi muncul karena adanya keinginan mereka untuk
memiliki dan tetap berada dalam kelompoknya. Selama seseorang tersebut memahami bahwa
kelompok tersebut bernilai, OCB akan berlanjut.

Seseorang yang memiliki orientasi afiliasi, memberikan pelayanan kepada orang


merupakan prioritas utama. Hal ini diduga berkaitan dengan nilai spiritual yang didukung oleh
tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi (Podsakoff, et.al., 2000).

1.3.3. OCB dan Motif Kekuasaan

Seseorang yang beroerintasi kekuasaan, menolong orang lain, berkomunikasi lintas


departemen, memberikan masukan berkaitan dengan proses organisasi adalah bertujuan agar
terlihat peran kekuasaannya. Selama otoritasnya diakui, para pencari kekuasaan termotivasi
untuk melanjutkan. OCB dianggap sebagai wujud modal politik. Seseorang yang memiliki
orientasi kekuasaan menginvestasikan modalnya dan membangun fondasi dengan menampilkan
OCB. Paradigma ini didukung oleh hasil penelitian tentang penilaian kinerja oleh supervisor
(Podsakoff, et.al., 2000).
Seseorang yang memiliki orientasi kekuasaan memiliki self control yang tinggi, memiliki
kemampuan untuk memeriksa situasi dan memandang penyesuaian diri sebagai suatu hal yang
penting. Orang tipe ini termasuk orang cepat belajar, memperhatikan peluang yang ada,
kemudian berjuang untuk kepentingan organisasi, selama organisasi tersebut membantu dalam
pencapaian tujuan pribadinya.

1.4. Manfaat OCB bagi Organisasi

Dari berbagai hasil penelitian tentang pengaruh OCB terhadap kinerja organisasi dapat
dijelaskan sebagai berikut :

a. OCB dapat meningkatkan produktivitas rekan kerja

- Anggota organisasi yang membantu rekan kerjanya, dpaat mempercepat penyelesaian


tugas rekan kerja tersebut, sehingga mampu meningkatkan produktivitas rekan kerja
tersebut.

- Dalam jangka panjang, perilaku menolong rekan kerja dapat membantu menyebarkan
best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok.

b. OCB dapat meningkatkan produktivitas manajer

- Anggota organisasi yang menampilkan civic virtue akan membantu manajer


mendapatkan saran atau umpan balik yang berharga dari anggota oragnisasi tersebut. Hal
ini sangat diperlukan dalam peningkatan efektifitas unit kerja.

- Anggota organisasi yang sopan, berkeinginan menghindari konflik dengan rekan kerja,
dapat membantu maanjer terhindar dari krisis manajemen.

c. OCB dapat menghemat biaya dari berbagai sumber daya yang ada dalam organisasi.

- Seandainya anggoat organisasi berperilaku saling menolong dalam penyelesaian


masalah, sehingga tidak perlu melibatkan manajer, maka manajer dapat memanfaatkan
waktunya untuk melakukan pekerjaan yang lain.
- Anggota organisasi yang memiliki tingkat ketelitian yang tinggi, maka tidak diperlukan
pengawasan yang tinggi, sehingga manajer dapat melimpahkan wewenangnya kepada
anggota organisasi tersebut, maka manajer dapat melakukan tugas yang lain.

- Anggota organisasi lama yang membantu anggota organisasi yang baru melalui
pelatihan, dapat mengurangi biaya

- Anggota organisasi yang memiliki perilaku sportsmanship, mambantu manajer dalam


menangani keluhan-keluhan kecil.

d. OCB membantu menghemat energy sumber daya yang langka untuk emmelihara fungsi
kelompok.

- Kebaikan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moral dan kerekatan
kelompok (cohesiveness), sehingga anggoat kelompok termasuk manajer tidak
menghabiskan energy untuk efisiensi dan efektifitas fungsi kelompok.

- Anggota organisasi yang berperilaku courtesy terhadap rekan kerja, akan dapat
mengurangi tingkat konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang digunakan guna
menyelesaikan konflik berkurang, bisa energy bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang
penting.

e. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja.

- Anggota organisasi yang berperilaku civic virtue seperti menghadiri pertemuan, bisa
membantu koordinasi antar anggita kelompok, sehingga kinerja kelompok ebih efisien
dan efektif.

- Anggota organisasi yang berperilaku courtesy seperti memberikan informasi tentang


tugas kepada rekan kerjanya, dapat menghindarkan dari berbagai masalah.

f. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi dalam menarik dan mempertahankan


anggota organisasi terbaik.
- Perilaku menolong rekan kerja, dapat meningkatkan moral dan kedekatan serta rasa
saling memiliki di antara anggota kelompok. Hal ini dapat menjaga keberadaan anggita
organisasi terbaik.

- Manajer sebaiknya memberi contoh dengan berperilaku sportsmanship seperti tidak


mengeluh dari berbagai permasalahan yang ada, dihadapi dnegan tenang. Hal ini dapat
menumbuhkan komitmen dan loyalitas pada organisasi.

g. OCB dapat meningkatkan stabilitias kinerja organisasi

- Perilaku membantu anggota organisasi yang berhalangan hadir di tempat kerja atu
memiliki beban kerja yang berat, akan dapat meningkatkan stabilitas kinerja unit kerja.

- Anggota organisasi yang memiliki ketelitian, ada kecenderungan berupaya


mempertahankan tingkta kinerja yang tinggi secara konsisten. Hal ini menguntungkan
organisasi .

h. OCB dapat meningkatkan kemampuan organisasi dalam berpartisipasi melalui perubahan


lngkungan.

- Anggota organisasi yang memiliki hubungan dekat dengan pasar atau lingkungan yang
lain, dengan sukarela memberikan informasi tentang berbagai perubahan yang terjadi
dalam lingkungan organisasi, maka sangat membantu organisasi dalam beradaptasi.

- Anggota organisasi yang secara aktif hadir dan berpartisipasi di berbagai pertemun
dalam organisasi, akan membantu menyebarluaskan informas, sehingga organisasi
bergeral semkain efisien dan efektif.

- Anggota organisasi yang menampilan vconscientiousness yakni kesedian mmeikul


tanggung jawab dan sukarela mempelajari kehalian baru, akan dapat meningkatkan
kemampuan organisasi dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan.

2.5. PROPOSISI DARI MODEL ORGANIZATIONAL CITIZENSHIP BEHAVIOR

2.5.1. Hubungan Keadilan Organisasional pada Komitmen Organisasional


Beberapa penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi rasa keadilan yang diterima
karyawan, akan menciptakan rasa keterikatan karyawan tersebut yang pada akhirnya
menciptakan komitmen organisasional karyawan (Noruzy et. al., 2011).Sijabat (2011) dan Tafti,
et.al. (2014) menemukan bahwa keadilan organisasional berkorelasi positif terhadap komitmen
organisasional. Berdasarkan informasi tersebut maka propoposi dari model OCB dalam artikel
ini adalah :

Proposisi 1a : terdapat hubungan positif dan signifikan antara keadilan organisasional


dengan komitmen afektif.

Proposisi 1b : terdapat hubungan positif dan signifikan antara keadilan organisasional


dengan komitmen kontinuan

Proposisi 1c : terdapat hubungan positif dan signifikan antara keadilan organisasional


dengan komitmen normatif

2.5.2. Hubungan Keadilan Organisasional dengan Kepuasan Kerja

Hubungan keadilan organisasional pada komitmen organisasional ini dapat dimediasi


kepuasan kerja (Sethi, et.al., 2013). Berdasarkan hal tersebut, maka propoposi dari model OCB
dalam artikel ini adalah :

Proposisi 2a : terdapat hubungan positif dan signifikan antara keadilan organisasional


dnegan kepuasan kerja intrinsik

Proposisi 2b : terdapat hubungan positif dan signifikan antara keadilan organisasional


dnegan kepuasan kerja ekstrinsik

2.5.3.Hubungan Kepuasan Kerja dengan Komitmen Organisasional

Sijabat (2011) dan Indrawati (2013) menemukan bahwa kepuasan kerja berkorelasi
positif terhadap komitmen organisasional. Berdasarkan informasi tersebut maka propoposi dari
model OCB dalam artikel ini adalah :

Proposisi 3a : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen afektif.
Proposisi 3b : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen kontinuan.

Proposisi 3c : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen normatif.

2.5.4. Hubungan Kepuasan Kerja dengan Organizational Citizenship Behavior

Becker & Billings (1993), Hies, et.al. (2006) dalam Kasemsap, K.M. (2012) menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan OCB. Berdasarkan hal tersebut
maka proposisi dari model OCB dalam artikel ini adalah :

Proposisi 4 : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
OCB.

2.5.5. Hubungan Komitmen Organisasional dengan Organizational Citizenship Behavior

Le Pine, et.al., 2002 dalam Kasemsap, K.M., 2012 menemukan bahwa terdapat
hubungan positif antara komitmen oragnisasional dengan OCB. Berdasarkan hal tersebut maka
proposisi dari model OCB dalam artikel ini adalah :

Proposisi 5 : terdapat hubungan positif dan signifikan antara komitmen organisasional


dengan OCB.

2.5.6. Hubungan Keadilan Organisasional dengan OCB

Moon, et.al, 2008 dalam Kasemsap, K.M., 2012 menemukan bahwa terdapat hubungan
positif antara keadilan organisasional dengan OCB. Berdasarkan hal tersebut maka proposisi dari
model OCB dalam artikel ini adalah :

Proposisi 6 : terdapat hubungan positif dan signifikan antara keadilan organisasional


kerja dengan OCB.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, N., Rasheed, A. & Jehanzeb, K. (2012), “An Exploration of Predictors of Organizational
Citizenship Behaviour and Its Significant Link to Employee Engagement”, Journal of Business,
Humanities and Technology, Vol.2, No. 4, pp.99-106

Allen N.J. dan Meyer, J. P. (2003). “Commitment in the Workplace: Theory, Research, and
Application”, Thousand Oaks, CA: Sage Publishing, Inc.

Baylor, K.M. (2010), “The Influence of Intrinsic & Extrinsic Job Satisfaction and Affective
Commitment on the Intention to Quit for Occupations Characterized by High Voluntary
Atrition”, Dissertation, New Southeastern University.

Chang, C.C., et.al. (2011), “Influences of Organizational Citizenship Behaviors and


Organizational Commitment on Effects of Organizational Learning in Taiwan”, IPDER, Vol. 3,
pp. 37-41

Colquitt, Jason A. (2001). “On the Dimensionality of Organizational Justice: A Construct


Validation of a Measure”, Journal of Applied Psychology, Vol. 86, No. 3, pp: 386-400.

Gibson, Ivancevich dan Donnely (2009), Organizational: Behavior, Structure, Processes, New
York: The McGraw Hill Companies, Inc

Indrawati, Ayu Desi (2013), “Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap KinerjaKaryawan dan
Kepuasan Pelanggan pada Rumah Sakit Swasta di Kota Denpasar”, Jurnal Manajemen, Strategi
Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 7, No.2, hal 135-142.

Khan, S.K., et.al. (2012), The Factors Affecting Organizational Citizenship behavior : A Study in
Fitness Industry”, International Journal of Recent Advances in Organizational Behavior and
Decision Science (IJRAOB), Vol. 1, No. 2, pp. 373-381.

Karim, F dan Omar Rehman (2012),”Impact of Job Satisfaction, Perceived Organizational


Justice and Employee Empowerment on Organizational Commitment in Semi-Government
Organizations of Pakistan”, Journal of Business Studies Quarterly, Vol. 3, No. 4, pp. 92-104.

Kasemsap, K. (2012), “Factors Affecting Organizational Citizenship Behavior Passenger Car


Plant Employees in Thailand”, Journal of Social Sciences, Humanities and Arts, Vol. 12, No. 2,
pp. 129-159.

Lee, Hee Ung, et.al. (2013), “Determinant of Organizational Citizenship Behavior and Its
Outcomes”, Global Business and Management Research : An International Journal, Vol. 5, No.
1, pp. 54-65

Lum et.al. (1998), “Explaning Nursing Turnover Internt: Job Statisfaction, PayStatisfacation, or
Organizational Commitment”, Journal of Organizational Behavior, Vol.19, pp. 305-302
Luthans F. (1997), Organizational Behaviour, 8th edition, New York : McGraw Hill

Niehoff, B.P & Moorman, R.H. (1993), “Justice As A Mediator Of The Relationship Between
Methods Of Monitoring And Organizational Citizenship Behavior”, Academy of Management
Journal, Vol. 36, No.3, pp. 327-556.

Noruzy, Ali., Shatery, Karim., Rezazadeh., Hatami-Shirkouhi, Loghman (2011), “Investigation


The Relationship Between Organizational Justice, And Organizational Citizenship Behavior: The
Mediating Role Of Perceived Organizational Support”, India Journal of Science And
Technology, Vol. 4, No. 7 :8420-847.

Podsakoff, et.al. (2000), “Organizational Citizenship Behvaiots : A Critical Review of the


Theoretical and Empirical Literature and Suggestions for Future Research”, Journal of
Management, Vol. 26, No.2, pp. 513-563

Robbins dan Judge (2008), Perilaku Organisasi, Edisi Duabelas, Jakarta : Penerbit Salemba
Empat

Sijabat, Jadongan (2011), “Analisis keinginan untuk pindah: Studi Empiris pada KAP Besar di
Jakarta yang berafiliasi dengan KAP Asing (The Big Four)”, Jurnal Akuntansi Bisnis, Vol. IX,
No 18, Maret

Sethi, M dan Hina Iqbal (2013), “Relationship between Perceived Organizational Justice and the
Employees Job Satisfaction”, Abasyn Journal of Social Sciences, Vol. 7, No 1.

Tafti, Bahrami, M.A., Montazeralfaraj, R., Gazar (2013). “DemographicDeterminants of


Organizational Citizenship Behavior among Hospital Employees”, Global Business and
Management Research: An International Journal, 5(4): 171- 178

Tsourela, M, Mouza A.M, Paschalouds, D. (2008), Extrinsic Job Satisfaction of Employee,


Regarding Intention to Leave Work Position: A Survey in Small & Medium
Entrepreneur”, MIBES, pp.249-261.

Wiyono. 2009. “Keadilan organisasional dan kepuasan kerja: pengujian keterkaitan equity theory
dengan work outcomes”, BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 13, No. 2.
3. KONSEPTUAL FRAMEWORK : FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
OCB

Keterangan Gambar 1.

OJ : Organizational Justice, DJS : Distributive Justice, PRO : Procedural Justice, INT :


Intercational Justice, JS : Job Satisfaction, IJS : Intrinsic Job Satisfaction, EJS : Extrinsic Job
Satisfaction, OC : Organizational Commitment, AC : Affective Commitment, CB : Continuance
Commitment, NC : Normative Commitment, OCB : Organizational Citizenship Behavior, ALT :
altruism, COU : courtesy, SPO : Sportmanship, CTV : Civic Virtue dan CON :
Conscientiousness.

IJS EJS

JS

ALT

DIS COU

PRO OJ OCB SPO

INT CIV

CON
OC

AC CC NC

Anda mungkin juga menyukai