1. PENDAHULUAN
Dunia bisnis dewasa ini tidak hanya memerlukan karyawan yang memiliki kinerja baik,
tetapi karyawan yang memiliki kepuasan kerja, komitmen organisasional dan kinerja melebih
tuntutan peran yang menjadi tanggungjawabnya yang sering disebut organizational citizenship
behavior (OCB). Hal ini dikarenakan tingkat persaingan semakin ketat, bahkan cenderung
hypercompetition, dimana menentukan keunggulan bersaing semakin mudah ditiru bahkan tidak
jarang melanggar etika.
Untuk itu perlu diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi OCB yakni faktor individu,
interpersonal, kelompok dan situasional. Salah satu faktor situasional yang paling penting adalah
adanya keadilan dalam organisasi. Colquitt (2001) menyatakan bahwa keadilan organisasional
dapat mempengaruhi kinerja karyawan, kepuasan kerja dan komitmen organisasional.
Kepuasan kerja berkaitan dengan teori motivasi hirarki kebutuhan Maslow dan teori dua
faktor Herzberg. Teori hirarki kebutuhan Maslow menyatakan bahwa seseorang mempunyai lima
tingkatan kebutuhan yakni fisiologis, keamanan, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri.
Maslow berkeyakinan bahwa tingkatan kebutuhan yang lebih rendah perlu dipuaskan terlebih
dahulu, sebelum tingkatan yang lebih tinggi dapat memotivasi (Maslow, A.H. 1943 dalam
Tsourela, Mouza & Paschaloudis, 2008).
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan kepuasan kerja karyawan adalah keadilan
organisasi (Sethi et. al., 2013). Terdapat tiga alasan karyawan menginginkan terciptanya keadilan
dalam organisasi, antara lain : 1) karyawan mampu memprediksi hasil di masa yang akan datang,
misal karyawan bersedia menerima imbalan yang kurang menguntungkan dirinya, tapi ia
menerima pembayaran dna perlakukan yang adil, 2) pertimbangan aspek sosial, ykani keinginan
untuk dihargai dan 3) pertimbangan aspek etis yakni adanya keyakinan bahwa keadilan
merupakan cara yang tepat dalam memperlakukan oarng lain (Sethi, at.al, 2013).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi rasa keadilan yang diterima
karyawan, akan menciptakan rasa keterikatan karyawan tersebut yang pada akhirnya
menciptakan komitmen organisasional karyawan (Noruzy et. al., 2011). Hubungan keadilan
organisasional pada komitmen organisasional ini dapat dimediasi kepuasan kerja (Sethi, et.al.,
2013).
Beberapa peneliti menjelaskan bahwa adanya hubungan pertukaran sosial yang kuat antar
karyawan dengan atasannya atau pemilik dapat mendukung hubungan kerja yang positif
sehingga menumbuhkan kepuasan kerja, komitmen organisasional dan kepercayaan, pada
akhirnya meningkatkan OCB bagi karyawan (Kasemsap, K, 2012). Telah banyak dilakukan
penelitian berkaitan dengan hubungan antara kepuasan kerja dengan OCB, tetapi hasil penelitian
masih menunjukkan belum konsisten. Namun demikian mayoritas hasil penelitian menunjukkan
adanya korelasi yang kuat dan signifikan antara kepuasan kerja dengan OCB (Kasemsap, K,
2012).
Allen & Meyer (2003) menyebutkan bahwa konsep komitmen organisasional terdiri dari
tiga komponen yakni komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan
(continuance commitment) dan komitmen normative (normative commitment). Komitmen afektif
terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emotional
(emotional attachment). Komitmen kontinuan terjadi apabila karyawan berkeinginan tetap
bertahan menjadi anggota organisasi, karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan
lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Komitmen normative,
terjadi dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan pada organisasi karena merasa
berkewajiban, jika karyawan tersebut meninggalkan organisasi diasumsikan bertentangan dengan
pendapat umum. Komitmen organisasional berkorelasi positif terhadap OCB (Kasemsap, K.
2012) dan kepuasan kerja (Kasemsap, K., 2012).
Istilah OCB pertama kali diajukan oleh Organ (1988), menyatakan bahwa terdapat lima
dimensi dalam OCB yaitu (Podsakoff, et.al., 2000):
1. Altruism yaitu perilaku membantu karyawan yang lain dengan tanpa keterpaksaaan, terutama
perilaku berkaitan tugas-tugas operasional.
2. Civic Virtue yaitu partisipasi sukarela dan yang didukung oleh fungsi-fungsi organisasi baik
secara profesional maupuan sosial alamiah.
3. Concentiousness yakni ketelitian atau kinerja yang melebih prasyarat (standard) minimal.
5. Sportmanship yakni perilaku tidak suka terhadap berbagai isu yang cenderung merusak
kepentingan dan keberadaan organisasi.
Podsakoff, et.al. (2000) menyatakan bahwa terdapat overlap tentang karakteristik OCB,
seperti helping behiavior (Podsakoff, 2000), identik dengan helping and cooperating with others
(Borman & Motowidlo, 1997), interpersonal helping (Graham, 2001), helping co-worker
(George & Brief, 1992), altruism (Organ, 1988; Smith, et.al,, 1992), sportsmanship (Organ,
1988). Beberapa peneliti menganalisis kombinasi konsep helping behavior dengan karakteristik
OCB seperti individual intiative (Moorman & Blakely, 1995), civic virtue (organ, 1988),
organizational compliance (Smith, et.al, 1983) dan self development (Moorman & Balkely,
1995). Ringkasan lengkap dapat dilihat dalam tabel 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan OCB (Hies, et.al., 2006 dalam
Kasemsap, K.,2012 ) dan perilaku prososial (Mc Neely & Meglino, 1994 dalam Kasemsap, K.
2012).
2. TINJAUAN LITERATUR
Menurut Allen dan Meyer (2003) karyawan yang mempunyai komitmen adalah
seseorang yang tetap berada dalam suatu organisasi, dengan melakukan pekerjaan teratur,
bekerja dengan waktu penuh dan berupaya menjaga aset perusahaan, bekerjasama guna
mencapai tujuan organisasi. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
komitmen organisasional merupakan tingkat kepercayaan dan penerimaan karyawan terhadap
tujuan organisasi serta berkeinginan untuk tetap berada di dalam organisasi tersebut.
2.1.1. Dimensi Komitmen Organisasional
Allen dan Meyer (2003) mengemukakan tiga komponen atau dimensi dari komitmen
organisasional yaitu:
1) Affective Commitment muncul jika karyawan berkeinginan menjadi bagian dari organisasi,
dikarenakan adanya ikatan emosional (emotional attachment). Keberadaan karyawan dalam
organisasi sangat ditentukan oleh tingkat kesesuaian antara tujuan organisasi dan prinsip-prinsip
hidup karyawan. Jika terdapat perubahan tujuan organisasi yang cenderung berdampak pada
karyawan, maka karyawan akan berusaha mencari kesesuaian prinsip dalam dirinya dengan
tujuan organisasi tersebut. Apabila tidak terjadi kesesuaian maka keinginan untuk tetap bertahan
dalam organisasi tetap ada, tetapi jika terdapat tingkat ketidaksesuaian yang tinggi, maka
karyawan akan berupaya mencari alternatif pekerjaan yang lain.
2. Continuance Commitment, terjadi jika karyawan tetap bertahan menjadi anggota organisasi,
karena karyawan tersebut berhitung untung rugi, seperti ia membutuhkan gaji dan keuntungan-
keuntungan yang lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Dalam
perkembangannya tingkat continuance commitment berkaitan dengan ketersediaan pilihan
pekerjaan pada orang lain. Tingginya keinginan untuk meninggalkan pekerjaannya
mencerminkan tingkat continuance Commitment yang rendah.
3. Normative Commitment, terjadi berdasarlan pada nilai-nilai dalam diri karyawan. Karyawan
bertahan pada organisasi, karena terdapat kesadaran bahwa komitmen terhadap organisasi harus
dilakukan. Dengan kata lain karyawan merasa berkewajiban tinggal dan berjuang bersama
organisasi. Ia merasa jika dia meninggalkan organisasi diasumsikan bertentangan dengan
pendapat umum.
Variabel disposisional terdiri dari kepribadian dan nilai yang dimiliki anggota organisasi
(Allen dan Meyer, 2003). Hal-hal yang termasuk dalam variabel disposisional ini antara lain
kebutuhan untuk berprestasi,etos kerja yang tinggi, kebutuhan untuk berafiliasi dan persepsi
individu terhadap kompetensi dirinya. Variabel disposisional ini mempunyai korelasi yang kuat
dengan komitmen organisasional. Hal ini dikarenakan terdapat perbedaan pengalaman masing-
masing anggota dalam organisasi tersebut (Allen dan Meyer, 2003).
Kepuasan kerja merupakan refleksi dari tingkah laku dalam bekerja yang bernilai
positif. Lambert dan Hogan, 2008 dalam Baylor, 2010 menjelaskan kepuasan kerja merupakan
respon emosional seseorang terhadap pekerjaannya. Sedangkan As'ad, 2010 dalam Kasemsap, K.
2012 mendefisikan kepuasan kerja seabgai suatu sikap positif dalam penyesuaian diri yang sehat
dari para karyawan terhadap kondisi dan situasi kerja, termasuk didalamnya masalah upah,
kondisi kerja, kondisi sosial, kondisi fisik, dan psikologis. Kepuasan kerja merupakan penilaian
dari para pekerja, yaitu seberapa jauh pekerjaan dapat memenuhi kebutuhan. Kepuasan kerja
juga berkorelasi kuat dengan sikap karyawan terhadap tugas pekerjaan dirinya, situasi kerja,
kerjasama antara pimpinan dengan sesama karyawan. Dari pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa kepuasan kerja sebagai hasil interaksi manusia dengan lingkungan kerjanya.
Menurut Luthans (1997) menyebutkan bahwa kepuasan kerja terdiri dari lima dimensi
yaitu gaji dan upah yang layak dan adil, pekerjaan yang menantang, hubungan dengan rekan
kerja yang nyaman, promosi pekerjaan dan supervise yang adil, terbuka dan bersedia bekerja
sama dengan bawahan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja antara lain : 1) Faktor psikologi
merupakan faktor yang berhubungan dengan kejiwaan karyawan, seperti minat, keterampilan
kerja, sikap kerja, bakat dan keterampilan, 2) Faktor sosial merupakan faktor yang berhubungan
dengan interaksi sosial baik antara karyawan dengan atasannya maupun antara sesama karyawan,
3) Faktor Fisik merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik lingkungan kerja dan
kondisi fisik karyawan, meliputi jenis pekerjaan, waktu kerja dan istirahat, perlengkapan kerja,
keadaan ruang, suhu,penerangan, pertukaran udara, kondisi kesehatan karyawan, umur dan
sebagainya, 4) Faktor Finansial, merupakan faktor yang berhubungan dengan jaminan serta
kesejahteraan karyawan, seperti sistem dan besarnya gaji, jaminan sosial, macam-macam
tunjangan, fasilitas-fasilitas promosi, dan sebagainya.
Ada tiga dimensi utama pada keadilan organisasional, yaitu keadilan distributif, keadilan
prosedural, dan keadilan interaksional (Colquitt, 2001).
a. Keadilan Distributif
Keadilan distributif menurut Niehoff dan Moorman (1993) adalah persepsi mengenai
sejauh mana imbalan (rewards) dialokasikan secara adil oleh organisasi. Ivancevich et. al.,
(2009), keadilan distributif didefinisikan sebagai keadilan yang dipersepsikan mengenai
bagaimana sumber daya dan penghargaan didistribusikan diseluruh organisasi. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa keadilan distributif yaitu persepsi karyawan tentang keadilan, atau
dengan kata lain kesesuaian imbalan yang diterima karyawan dengan upaya yang karyawan
lakukan pada organisasi. Sebagai contoh yaitu, gaji, pengakuan, bonus, penghargaan dan lain-
lain.
b. Keadilan Prosedural
c. Keadilan Interaksional
Robbins dan Judge (2008), keadilan interaksional didefinisikan sebagai, tingkat sampai
mana seorang individu diperlakukan dengan martabat, perhatian dan rasa hormat oleh
organisasi.Wiyono (2009) mendefisisikan keadilan interaksional sebagai persepsi karyawan
terhadap perlakuan atasan terhadap karyawan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahwa,
keadilan interkasional merupakan keadilan yang dirasakan oleh karyawan atas perlakuan dengan
hormat dan bermatabat dari atasan. Keadilan interaksional ini terdiri dari keadilan interpesonal
dan keadilan informasional. Misalnya keputusan atasan peduli dengan hak-hak karyawan, ketika
membuat keputusan atasan menyampaikan dengan jelas dan logis, dan lain-lain.
Sementara Organ, 1988 dalam Podsakoff, et.all, 2000 mendefinisikan OCB sebagai
perilaku individu yang bebas, tidak berkaitan secara langsung atau eksplisit dengan sistem
penghargaan (reward system) dan dapat meningkatkan kinerja organisasi. Hal ini didukung Van
Dyne, dkk, 1995 dalam Podsakoff, et.all., 2000 yang menyatakan Extra Role Behavior (ERB)
sebagai perilaku yang menguntungkan organisasi dan atau cenderung menguntungkan
organisasi, secara sukarela dan melampaui tuntutan kerja.
Akan tetapi Organ, 1997 dalam Podsakoff, et.all., 2000 menemukan bahwa definisi ini
tidak didukung dengan penjelasan yang cukup. Peran pekerjaan bagi seseorang bisa ditentukan
oleh seberapa besar harapan sebagai hasil komunikasi antara karyawan dengan pemberi kerja
(pengirim pesan). Organ juga mengatakan bahwa OCB berkaitan dengan terciptanya kepuasan
karyawan, yang ditunjukkan melalui kinerjanya. Hal ini menunjukkan bahwa OCB dan ERB
cenderung sulit diobservasi dan sangat subyektif. Disini terlihat adanya asumsi bahwa baik
karyawan maupun pemberi kerja bergerak dengan tujuan keuntungan organisasi. Sedangkan
Borman dan Motowidlo, 1993 dalam Podsakoff, et.all.2000 lebih menekankan pada contextual
behavior yakni perilaku yang memperhatikan lingkungan organisasi, sosial dan psikologis,
bukan tugas utama.
Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa OCB merupakan perilaku 1) yang
bersifat sukarela, bukan merupakan tindakan terpaksa terhadap hal-hal yang mengedepankan
kepentingan organisasi, 2) Perilaku sebagai wujud terciptanya kepuasan karena kinerja yang
dicapai dan 3)Tidak secara langsung berhubungan dengan sistem penghargaan (reward system).
1. Altruism yaitu perilaku membantu karyawan yang lain dengan tanpa keterpaksaaan, terutama
perilaku berkaitan tugas-tugas operasional.
2. Civic Virtue yaitu partisipasi sukarela dan yang didukung oleh fungsi-fungsi organisasi baik
secara profesional maupuan sosial alamiah.
3. Concentiousness yakni ketelitian atau kinerja yang melebih prasyarat (standard) minimal.
5. Sportmanship yakni perilaku tidak suka terhadap berbagai isu yang cenderung merusak
kepentingan dan keberadaan organisasi.
Dimensi 1 : Altruisme yakni perilaku membantu orang tertentu. Item-item yang termasuk
altruism antara lain : menggantikan rekan kerja yang tidak masuk atau istirahat, membantu orang
lain yang memiliki beban kerja tinggi, membantu proses orientasi bagi anggota organisasi baru
tanpa diminta, membantu mengerjakan tugas orang lain ketika mereka tidak masuk atau ketika
tidak bisa mengerjakan secara optimal, meluangkan waktu untuk membantu orang lain berkaitan
dengan permasalahan - permasalahan pekerjaan, menjadi volunteer atau bekerja secara sukarela ,
membantu orang lain di luar departemen pada saat mereka mempunyai permasalahan dan
membantu pelanggan dan stakeholders lainnya, jika mereka memerlukan bantuan.
Dimensi 3: courtesy yakni keinginan untuk toleransi dalam bekerja dengan tanpa mengeluh.
Item-item yang termasuk dimensi ini antara lain : tidak mengeluh dan tidak membesar-besarkan
berbagai kegiatan atau permasalahan dalam organisasi.
Dimensi 4 : Civic virtue yakni keterlibatan dalam fungsi-fungsi organisasi. Item-item yang
termasuk dalam dimensi ini antara lain : ikut terlibat atau memberikan perhatian terhadap
berbagai fungsi yang ada dalam organisasi guna meningkatkan citra oganisasi, berupaya terlibat
atau memberikan perhatian terhadap berbagai pertemuan yang penting dan membantu mengelola
terciptanya kebersamaan dalam organisasi.
Salah satu pendekatan motif yang bisa untuk menjelaskan terciptanya OCB adalah terori
motivasi Mc Clelland. Mc Clelland menyatakan bahwa manusia mempunyai tiga tingkatan motf
yaitu :
a. Motif berprestasi (need for achievement) yakni mendorong orang untuk berkinerja memenuhi
atau melampaui standard minimal, berupaya berprestasi terhadap tugas yang dibebankanm
kesempatan yang ada atau persaingan.
b. Motif afiliasi (need for affiliation), mendorong seseorang untuk mewujudkan, memelihara dan
memperbaiki hubungan dengan orang lain.
c. Motif kekuasaan (need for power), mendorong seseorang untuk memperoleh status dan
mencari situasi yang tepat sehingga mereka mampu megendalikan pekerjaan atu tindakan orang
lain.
Kerangka ketiga motif dalam McClelland ini diterapkan untuk memahami OCB. Model
OCB berdasarkan motif Mc Clelland dapat dijelaskan berikut ini.
a. Model Berprestasi
Motif ini menunjukkan OCB yang berarti : kesempurnaan dan kesuksesan organisasi.
Teori yang mendasari adalah Model Kepuasan - Keadilan. Sifat yang mendasari adalah
ketelitian, etika bisnis, latar belakang kehidupan dan sifat ketergantungan.
b. Motif Afiliasi
Motif ini menunjukkan OCB yang berarti pembentukan dan pemeliharaan hubungan serta
penerimaan persetujuan. Teori yang mendasari adalah Model Komitmen. Sifat yang mendasari
adalah berorientasi pada pemberian pelayanan, kepercayaan, persetujuan, keterbukaan, perasaan
positif, dan spirit menjadi orang yang menyenangkan.
c. Motif Kekuasaan
Motif ini menunjukkan OCB yang berarti memperoleh kekuasaan dan status,
terbangunnya kesan positif dan kesuksesan serta keberlanjutan organisasi. Teori yang mendasari
adalah Model Impression Management. Sifat yang mendasari adalah Machivellian, self monitor
dan kecerdikan politik.
OCB dianggap sebagai alat untuk prestasi tugas (task accomplishment). Pada saat prestasi
menjadi motif, OCB muncul sebagai cara agar tercipta kesuksesan terhadap tugas tersebut.
Perilaku seperti menolong orang lain, membicarakan perubahan dapat mempengaruhi orang lain,
berupaya tidak mengeluh, berpartisipasi dalam pertemuan dll. Dengan kata lain seseorang yang
memiliki motif berprestasi memandang tugas sebagai perspektif yang menyeluruh. Faktor-faktor
yang mempengaruhi OCB dianggap sebagai kunci untuk kesuksesan.
Seseorang yang berorientasi pada prestasi akan memperlihatkan OCB selama terdapat
cukup kesempatan untuk melakukannya. Penilaian prestasi didasarkan pada kinerja individu, job
deskripsi yang jelas dan umpan balik dari kinerjanya.
Kepuasan kerja dan keadilan dipandnag sebagai antecedent dari OCB. Seseorang yang
memiliki orientasi prestasi berkehendak untuk menggantikan atau mengerjakan segala sesuatu
yang memberikan dampak prestasi dari kinerjanya. Selama ia menerima perlakuan atau
penghargaan yang adil dari manajemen atau organisasi, maka OCB akan terus terlihat. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif yang kuat antara job performance
dengan OCB (Podsakoff, et.all, 2000)
Seseorang yang berorientasi pada orang, berupaya melayani orang lain. Motif afiliasi ini
dipandang sebagai komitmen seseorang terhadap pemberian pelayanan kepada orang lain.
Seseorang yang berorientasi afiliasi, akan berperilaku membantu orang lain karena mereka
membutuhkan bantuan, walaupun bantuan itu tidak memberikan keuntungan bagi dirinya.
Seseorang yang beroerintasi afiliasi ini memperlihatkan komiten terhadap orang lain
dalam organisasi seperti rekan kerja, manajer atau supervisor. Perilaku menolong,
berkomunikasi, bekerjasama dan berpartisipasi muncul karena adanya keinginan mereka untuk
memiliki dan tetap berada dalam kelompoknya. Selama seseorang tersebut memahami bahwa
kelompok tersebut bernilai, OCB akan berlanjut.
Dari berbagai hasil penelitian tentang pengaruh OCB terhadap kinerja organisasi dapat
dijelaskan sebagai berikut :
- Dalam jangka panjang, perilaku menolong rekan kerja dapat membantu menyebarkan
best practice ke seluruh unit kerja atau kelompok.
- Anggota organisasi yang sopan, berkeinginan menghindari konflik dengan rekan kerja,
dapat membantu maanjer terhindar dari krisis manajemen.
c. OCB dapat menghemat biaya dari berbagai sumber daya yang ada dalam organisasi.
- Anggota organisasi lama yang membantu anggota organisasi yang baru melalui
pelatihan, dapat mengurangi biaya
d. OCB membantu menghemat energy sumber daya yang langka untuk emmelihara fungsi
kelompok.
- Kebaikan dari perilaku menolong adalah meningkatkan semangat, moral dan kerekatan
kelompok (cohesiveness), sehingga anggoat kelompok termasuk manajer tidak
menghabiskan energy untuk efisiensi dan efektifitas fungsi kelompok.
- Anggota organisasi yang berperilaku courtesy terhadap rekan kerja, akan dapat
mengurangi tingkat konflik dalam kelompok, sehingga waktu yang digunakan guna
menyelesaikan konflik berkurang, bisa energy bisa dimanfaatkan untuk hal lain yang
penting.
e. OCB dapat menjadi sarana efektif untuk mengkoordinasi kegiatan-kegiatan kelompok kerja.
- Anggota organisasi yang berperilaku civic virtue seperti menghadiri pertemuan, bisa
membantu koordinasi antar anggita kelompok, sehingga kinerja kelompok ebih efisien
dan efektif.
- Perilaku membantu anggota organisasi yang berhalangan hadir di tempat kerja atu
memiliki beban kerja yang berat, akan dapat meningkatkan stabilitas kinerja unit kerja.
- Anggota organisasi yang memiliki hubungan dekat dengan pasar atau lingkungan yang
lain, dengan sukarela memberikan informasi tentang berbagai perubahan yang terjadi
dalam lingkungan organisasi, maka sangat membantu organisasi dalam beradaptasi.
- Anggota organisasi yang secara aktif hadir dan berpartisipasi di berbagai pertemun
dalam organisasi, akan membantu menyebarluaskan informas, sehingga organisasi
bergeral semkain efisien dan efektif.
Sijabat (2011) dan Indrawati (2013) menemukan bahwa kepuasan kerja berkorelasi
positif terhadap komitmen organisasional. Berdasarkan informasi tersebut maka propoposi dari
model OCB dalam artikel ini adalah :
Proposisi 3a : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen afektif.
Proposisi 3b : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen kontinuan.
Proposisi 3c : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
komitmen normatif.
Becker & Billings (1993), Hies, et.al. (2006) dalam Kasemsap, K.M. (2012) menyatakan
bahwa terdapat hubungan positif antara kepuasan kerja dengan OCB. Berdasarkan hal tersebut
maka proposisi dari model OCB dalam artikel ini adalah :
Proposisi 4 : terdapat hubungan positif dan signifikan antara kepuasan kerja dengan
OCB.
Le Pine, et.al., 2002 dalam Kasemsap, K.M., 2012 menemukan bahwa terdapat
hubungan positif antara komitmen oragnisasional dengan OCB. Berdasarkan hal tersebut maka
proposisi dari model OCB dalam artikel ini adalah :
Moon, et.al, 2008 dalam Kasemsap, K.M., 2012 menemukan bahwa terdapat hubungan
positif antara keadilan organisasional dengan OCB. Berdasarkan hal tersebut maka proposisi dari
model OCB dalam artikel ini adalah :
Ahmed, N., Rasheed, A. & Jehanzeb, K. (2012), “An Exploration of Predictors of Organizational
Citizenship Behaviour and Its Significant Link to Employee Engagement”, Journal of Business,
Humanities and Technology, Vol.2, No. 4, pp.99-106
Allen N.J. dan Meyer, J. P. (2003). “Commitment in the Workplace: Theory, Research, and
Application”, Thousand Oaks, CA: Sage Publishing, Inc.
Baylor, K.M. (2010), “The Influence of Intrinsic & Extrinsic Job Satisfaction and Affective
Commitment on the Intention to Quit for Occupations Characterized by High Voluntary
Atrition”, Dissertation, New Southeastern University.
Gibson, Ivancevich dan Donnely (2009), Organizational: Behavior, Structure, Processes, New
York: The McGraw Hill Companies, Inc
Indrawati, Ayu Desi (2013), “Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap KinerjaKaryawan dan
Kepuasan Pelanggan pada Rumah Sakit Swasta di Kota Denpasar”, Jurnal Manajemen, Strategi
Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 7, No.2, hal 135-142.
Khan, S.K., et.al. (2012), The Factors Affecting Organizational Citizenship behavior : A Study in
Fitness Industry”, International Journal of Recent Advances in Organizational Behavior and
Decision Science (IJRAOB), Vol. 1, No. 2, pp. 373-381.
Lee, Hee Ung, et.al. (2013), “Determinant of Organizational Citizenship Behavior and Its
Outcomes”, Global Business and Management Research : An International Journal, Vol. 5, No.
1, pp. 54-65
Lum et.al. (1998), “Explaning Nursing Turnover Internt: Job Statisfaction, PayStatisfacation, or
Organizational Commitment”, Journal of Organizational Behavior, Vol.19, pp. 305-302
Luthans F. (1997), Organizational Behaviour, 8th edition, New York : McGraw Hill
Niehoff, B.P & Moorman, R.H. (1993), “Justice As A Mediator Of The Relationship Between
Methods Of Monitoring And Organizational Citizenship Behavior”, Academy of Management
Journal, Vol. 36, No.3, pp. 327-556.
Robbins dan Judge (2008), Perilaku Organisasi, Edisi Duabelas, Jakarta : Penerbit Salemba
Empat
Sijabat, Jadongan (2011), “Analisis keinginan untuk pindah: Studi Empiris pada KAP Besar di
Jakarta yang berafiliasi dengan KAP Asing (The Big Four)”, Jurnal Akuntansi Bisnis, Vol. IX,
No 18, Maret
Sethi, M dan Hina Iqbal (2013), “Relationship between Perceived Organizational Justice and the
Employees Job Satisfaction”, Abasyn Journal of Social Sciences, Vol. 7, No 1.
Wiyono. 2009. “Keadilan organisasional dan kepuasan kerja: pengujian keterkaitan equity theory
dengan work outcomes”, BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 13, No. 2.
3. KONSEPTUAL FRAMEWORK : FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
OCB
Keterangan Gambar 1.
IJS EJS
JS
ALT
DIS COU
INT CIV
CON
OC
AC CC NC