Anda di halaman 1dari 21

WORKPLACE DEVIANCE BEHAVIOR

1.PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Hasil studi dewasa ini menemukan beberapa penyimpangan dalam organisasi, anatara
lain : 33 sd 75 persen karyawan melakukan penyimpangan, 42 persen wanita menerima sexual
harassed, 25 persen karyawan melakukan penyalahgunaan wewenang bersama rekan kerjanya
dan 1 dari 15 karyawan mengalami kekerasan. JIka ditinjau dari biaya terhitung $4.2 billion
nelakukan workplace violence, $200 billion melkaukan pencurian dan $400 billion - melakukan
kecurangan (Rogojagan, 2009).

Terdapat beberapa nama lain yang berisi penyimpanagn di tempat kerja seperti
Organizational Misbehavior, Uncompliant Behavior, Antisocial Behavior, Workplace Deviant,
Dysfunctional Workplace Behavior, Counterproductive Behavior, Employee Vice, Workplace
Aggression, Organization Retaliation Behavior, Organization Motivated Aggression. Adapun
definisi Workplace Deviance Behavior adalah perilaku yang bersifat sukarela yang melanggar
norma-norma suatu organisasi dan menghambat keberlangsungan baik organisasi maupun
anggota organisasi (Rogojagan, 2009)

Selanjutnya bagaimana hubungan antara WDB dengan pengambilan keputusan yang


bersifat etis (ethical decision making) adalah ethic mempertimbangkan perilaku benar atau salah
di suatu organisasi atau masyarakat yang bersifat legal sebagai pedoman bahwa perilaku tersebut
bermoral. Sedangkan moral sendiri terdpaat beberapa komponen. Proses pengambilan keputusan
yang bermoral (moral decision making process) terdiri dari 4 komponen yaitu kesadaran
moral/moral awareness (menginterpretasikan situasi), pendapat moral/moral judgment
(keputusan moral yang benar), tujuan moral/moral intention (prioritas nilai moral yang dianut),
perilaku moral/ moral behavior (pelaksanaan moral intention). Namun, sering terjadi perilaku
yang tidak etis, tetapi tidak dianggap penyimpangan oleh organisasi, karena perilaku tersebut
menguntungkan organisasi (paradoxically) seperti sampah toxic di sungai tidak dipertimbangkan
sebagai penyimpangan dll (Rogojagan, 2009)
WDB bisa bersifat negative, bisa juga positif. WDB yang bersifat positif (positive
deviance) yaitu prilaku yang menyimpang dari norma-norma yang dianut suatu kelompok,
dilakukan secara terhormat. Positive Deviance meliputi innovative behavior, non compliance
with dysfunctional directives (perilaku yang tidak menyetujui hal-hal yang tidak terarah) dan
mengkritisi pimpinan yang tidak kompeten (tidak cakap). Positive deviant behavior juga disebut
sebagai perilaku yang tidak diawasi oleh organisasi, tetapi pada akhirnya dapat membantu
organisasi dalam upaya mencapai tujuannya (Rogojagan, 2009).

Dalam organisasi WDB bersifat negative lebih banyak dibahas daripada yang bersifat
positif. Oleh karena itu artikel ini cenderung membicarakan negative WDB. Beberapa contoh
WDB antara lain pencurian, ini pelanggaran yg sering terjadi dalam organisasi. Survey di USA
menyatakan bahwa pencurian 75%, 38-62 persen kehilangan keuangan, biaya $20-200 billion
pencurian (karyawan) tiap tahun. Sedangkan negative WDB yang bersifat bukan moneter seperti
stress, less job satisfaction, reduce productivity and more turnover (Rogojagan, 2009).

1.2. TYPHOLOGY WDB

Terdapat beberapa tipe WDB. Diawalai oleh Mangione and Quinn, 1974 menyatakan
terdapat dua konsep WDB yaitu konsep property deviance and production deviance. Dilanjutkan
Wheeler, 1976 menyebutkan dua tipe WDB seriouse and non seriouse organizational rule
breaking dan Hollinger and Clark, 1982 menjelaskan dua tipe WDB yaitu property deviance and
production deviance. Tipe WDB yang paling banyak digunakan adalah tipe yang dinayakan oleh
Robinson & Bennet, 1995 yaitu aspek interpersonal meliputi a) Minor vs Seriouse
(menggambarkan kekerasan perilaku menyimpang ) dan b) Interpersonal vs Organizational
(berkaitan dengan target perilaku menyimpang). Berikutnya Robinson & Bennet, 1995
mengembangkan tipe WDB dalam 4 kuadran : yakni : a) Production Deviance : perilaku
menyimpang dari norma yang menunjukkan pencapaian kuantitas dan kualitas minimal, b)
Property Deviance : karyawan merusak properti atau aset perusahaan, c) Political Deviance :
perilaku berkaitan dg interaksi sosial, dg meletakkan orang lain pada posisi kurang
menguntungkan dan d) Personal Aggression : perilaku agresif dg cara merugikan orang lain
(Robinson & Bennet, 2000 dan Muafi, 2011). Workplace deviance dalam aspek interpersonally
(CWB-I) dan aspek organizational (CWB-O). Misalnya, melakukan gossip terhadap rekan kerja
(CWB-I), melakukan pelanggaran kontrak kerja (CWB-O) (Dalal, R.S., 2005).
2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WDB (FACTORS CONTRIBUTING
TO WDB)

Peterson (2002) menyatakan beberapa faktor yang mempengaruhi WDB yakni


individual, social dan interpersonal dan organisasional. Akan tetapi bisa terjadi perilaku
mennyimpang tidak berdiri sendiri, tetapi saling berkaitan satu dengan yang lain, seperti perilaku
menyimpang dipengaruhi oleh baik individu (individual characteristics) dan situasi (workplace
situation). Faktor-faktor yang mempengaruhi WDB diilustrasikan dalam gambar 1 di bawah ini.

Social&Interpersonal Factors :
Character: - Kelompok kerja - Need
Personality - Supervisor - Hutang Budi

- Peluang - Dissimalarity

JOB
ORGANIZATION WDB
IINDIVIDU PERFORMANCE

Demography : Organizational factors :

- Gender - Group - Lingk. Opr - Intense to quit

- Tenure - Religion - Budaya Org. - Kode etik

- Education - Position - Iklim Kerja - Ethical distance

- Age - Kepuasan - P.Org.Support

- Komitmen Org - Teknologi

- Sangsi - Stress

Gambar 1 : Faktor yang mempengaruhi WDB


2.1. FAKTOR INDIVIDUAL

2.1.1.Character: Karakteristik Personality (Personality Characteristics)

Terdapat beberapa karakteristik personality yang memberikan kontribusi perilaku WDB


antara lain : personality tipe A (type A personality) yakni sifat tidak sabar, pemarah & suka
menonjolkan diri (predominant) dan Hostile Attributional Bias yakni Perilaku agresif pada orang
lain, mengakibatkan orang lain berupaya balas dendam.

2.1.1.1. Phylosophyl Value Orientation

Terdapat beberapa tipe dalam karakteristik personality beorientasi nilai-nilai filosofi


yakni :

a. Idealism vs Relativism

Idealism yaitu orientasi individu yang sangat memperhatikan moral. Idealism


berhubungan positif dg pengambilan keputuasan bersifat etis. Sebaliknya relativism yaitu
berhubungan negatif dg pengambilan keputusan bersifat etis. Idealistic individual bersifat sangat
etis dan kemungkinan kecil menyebabkan perilaku menyimpang.

b. Deontologi vs Teleological Perspectives

Deontologi yaitu tindakan yang dianggap benar, sesuai dg moral. Karakteristik ini
berhubungan positif dg ethical decision making. Sebaliknya teleologi berhubungan negatif dg
ethical decision making. Karakter individu teleologi ini lebih bisa menyebabkan perilaku
menyimpang.

2.1.1.2.Locus of Control

Terdapat dua macam tipe locus of control seseorang yaitu internal locus of control dan
external locus of control. Internal locus of control adalah seseorang berkeyakinan bahwa
peristiwa atau dampak yang terjadi dalam kehidupan dapat dikendalikan oleh dirinya. External
locus of control adalah seseorang berkeyakinan bahwa peristiwa atau dampak yang terjadi dalam
kehidupan tidak dapat dikendalikan oleh dirinya, dikendalikan oleh pihak eksternal, seperti :
nasib (luck), takdir (fate), social context dan masyarakat yang lain.
2.1.1.3. Machiviallianism and Love of Money

Machiviallianism diasosiasikan sebagai penyimpangan interpersonal dan penyimpangan


organizational. Karakteristik personality ini mendorong orang lain berperilaku agresif,
manipulatif dan tidak tulus (disingenuous) sebagai strategi untuk mencapai tujuannya. Seseorang
yang memiliki karakter machviallianism yang tinggi (high machiviallianism) akan berperilaku
antisosial (antisocial behavior) dan bertujuan berkaitan dengan kekuasaan, kesuksesan keuangan
dan tujuan ekstrinsik yang lain. Dengan kata lain terdapat hubungan negatif antara
machiviallianism (Mach) dengan pengambilan keputusan etis. Sedangkan love of money
memiliki hubungan positif dg machiviallianism (Mach), cenderung berperilaku menyimpang.

2.1.1.4. Personality Flaw (Kesalahan Kepribadian)

Beberapa contoh berkaitan kesalahan kepribadian anatra lain pencurian yang dilakukan
karyawan (the typical employee thief), disfungsional karyawan (dysfunctional employees) bisa
disebabkan adanya dysfunctional family system seperti drug, alcoholism dll.

2.1.2. Demographic Variables

Gender, education, religion and marginally position dapat mempengaruhi ethical decision
making.

2.1.2.1. Gender

Hasil penelitian menyatakan bahwa female (women) lebih etis daripada pria (males).
Wanita lebih mengedepankan hubungan antar individu (interpersonal relation), memelihara
(caring) and bekerja dengan baik (doing work well). Namun terdapat dilemma seperti antara
perilaku etis dengan rasa empati (emphaty) dan iba/ kasihan (compassion). Sedangkan laki-laki
lebih mengedepankan kemenangan dalam bersaing (competitive success) dan penghargaan
(extrinsic reward) seperti financial reward and status. Namun terdapat dilemma seperti antara
perilaku etis dengan adil dan transparan. Hasil empiris menunjukkan laki-laki membuat
keputusan lebih etis di saat situasi dimana intensitas moral begitu tinggi (moral intensity was
extreme).
2.1.2.2 Tenure

Hasil empiris menyatakan bahwa masa kerja berpengaruh thd perilaku menyimpang,
yaitu semakin rendah masa kerja karyawan, mereka semakin cenderug melakukan penyimpangan
terutama property deviance. Sedangkan semakin tinggi masa kerja karyawan, mereka cenderung
melakukan ke empat macam penyimpangan (workplace deviance).

2.1.2.3. Education

Hasil studi menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi
kesadaran moral (moral awareness). Pendidikan berhubungan positif dg pengambilan keputusan
etis (ethical decision making). Walaupun begitu top managers melakukan kejaharan organisasi
(corporate crimes) adalah mereka yang berpendidikan lebih tinggi dari rata-rata orang.

2.1.2.4. Age

Hasil penelitian menyatakan bahwa umur memiliki hubungan positif dengan


pengambilan keputusan etis. Semakin tinggi umur karyawan, karyawan semakin jujur.

2.1.2.5. Status and Numerous Reference Groups

Hasil riset menyatakan bahwa status yang tinggi (high status) dan memiliki kelompok
(numerous reference group) lebih cenderung melakukan perilaku positif (positive deviant
behavior).

2.1.2.6. Religion

Hasil penelitian menyatakan terdapat hubungan positif antara keyakinan (hubungan


individu dengan Tuhannya) dengan pengambilan keputusan etis.

2.1.2.7. Marginally Position

Terdapat hubungan antara status dengan penyimpangan kerja. Semakin rendah status
(low status), semakin rendah hirarki (low rank in the organizational hierarchy), semakin rendah
upah (low wages), semakin kecil peluang menuju karir lebih tinggi (little opportunity for
advancement), semakin rendah masa kerja (short tenure), semakin kecil kesempatan
mengembangkan diri dan membangun hubungan (little chance to develop relationship), mereka
cenderung kurang bersosialisasi dan cenederung melakukan perilaku menyimpang.

2.2. FAKTOR SITUATIONAL (ORGANIZATION)

Faktor situasional/ organisasional terdiri dari faktor sosial dan interpersonal (social &
Inerpersonal Factors) dan faktor organisasional (Organizational Factors).

2.2.1. Faktor Sosial dan Interpersonal

2.2.1.1. Pengaruh Kelompok Kerja (Influence of Work Groups)

Hasil studi menyatakan bahwa walaupun individu memiliki sense of ethic yg tinggi,
mereka tidak puas dg kelompoknya (deviant groups), tetapi mereka tetapi tinggal dalam
kelompok/ tidak meninggalkan kelompok tersebut. Hal ini dikarenakan faktor sosial lebih
penting daripada faktor individu.

2.2.1.2. Pengaruh Perilaku Pemimpin (Influence of Supervisors)

Salah satu wujud hubungan antara karyawan dengan atasan adalah kontrak psikologis
(psychological contract) yakni persepsi perjanjian antara karyawan (employee) dg atasan atau
pemilik (employer). Pelanggaran kontrak psikologis (psychological contract breach) berkorelasi
positif dg ketidakhadiran dan kinerja negatif.

Hasil studi juga mengatakan bahwa integritas pimpinan berpengaruh pada kepuasan
kerja. Terciptanya kepuasan kerja akan meningkatkan komitmen organisasional, tingginya
komitmen akan meningkatkan kinerja. Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan rendahnya
ketidakhadiran dan perputaran karyawan.

2.2.1.3. Peluang (Opportunity)

Kondisi kurang stabil suatu organisasi menciptakan peluang karyawan berperilaku illegal.
Peluang ini berkorelasi positif dengan pencurian karyawan.
2.2.1.4. Need

Pencurian biasanya disebabkan kebutuhan keuangan. Hal ini bisa dikarenakan adanya
tekanan eksternal atau kebutuhan sosial.

2.2.1.5. Hutang Budi (Indebtedness)

Hutang budi terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara pihak satu dengan pihak
yang lain, seperti karena hadiah dll.

2.2.1.5. Dissimilarity

Hasil riset menunjukkan bahwa adanya kesamaan dalam kelompok berasosiasi positif dg
penyimpangan di tempat kerja. Berkaitan dengan ketidaksamaa demografi, hasil studi
menyatakan bahwa ketidaksamaan gender berkorelasi positif dengan penyimpangan
interpersonal. Sedangkan ketidaksamaan umur tidak berkorelasi dengan penyimpangan
organisasi maupun penyimpangan interpersonal.

2.2.2. Organizational Factors

Organisasi mempengaruhi perilaku individu melalui penguatan perilaku etis, norma-


norma organisasi dan pertanggungjawaban manajerial. Perilaku menyimpang didukung oleh
sistem organisasi dan budaya .

2.2.2.1. Operational Environment

Hasil studi empiris menunjukkan bahwa banyak organisasi yang melakukan operasi
industri makanan, kayu, petroleum refining, transportation equipment ilegal.

2.2.2.2. Budaya Organisasi (Organizational Culture)

Terdapat hubungan reciprocal antara budaya oragnisasai dengan pemimpin. Di satu sisi
pemimpin membangun budaya organisasi, di sisi lain perilaku manajer juga dipengaruhi budaya.
Hasil studi menunjukkan apabila manajer memiliki kemampuan rendah, akan menimbulkan
budaya organisasi yang menyimpang. Sedangkan manajer yang mengedepankan pada
produktivitas dan efisiensi, biasanya mempunyai ketrampilan interpersonal yang sangat jauh dari
standard (lack strong interpersonal skill).
2.2.2.3. Iklim Kerja Etis (Ethical Work Climate)

Iklim kerja yang etis (ethical climate) lebih mempengaruhi perilaku karyawan daripada
iklim organisasi secara keseluruhan. Kriteria iklim kerja yang etis antara lain egoistic,
benevolence and principle. Egoism yaitu maksimisasi kepentingan pribadi (self interest).
Benevolence yaitu maksimisasi kepentingan masyarakat. Principle yaitu mempertimbangkan
benar atau salah, sesuai dengan universal standard and belief sebagai hukum dan aturan (law &
code). Iklim kerja terdapat beberapa tipe antara lain instrumental, caring, independence, rules
and law and code.

Jika dihubungkan antara kriteria dengan tipe iklim kerja, akan menimbulkan WDB.
Sebagai contoh, egoistic climate & instrumental berkorelasi positif denagn WDB. Sedangkan
benevolence, principle climate & caring berkorelasi negatif dengan WDB.

Hasil riset juga menunjukkan pada organisasi nirlaba memiliki benevolence dan principle
climate lebih tinggi dan egoistic climates lebih rendah daripada organisasi profit. Sedangkan
perusahaan baru memiliki iklim tersendiri (independence climates), sifat memelihara (caring),
penyediaan dan penegakan aturan (rules and law and code climate) lebih rendah daripada
perusahaan lama (Peterson, K.D., 2002)

2.2.2.4. Kepuasan Kerja (Job Satisfaction)

Kepuasan kerja berkaitan dengan teori motivasi hirarki kebutuhan Maslow dan teori dua
faktor Herzberg. Teori hirarki kebutuhan Maslow menyatakan bahwa seseorang mempunyai lima
tingkatan kebutuhan yakni fisiologis, keamanan, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri.
Maslow berkeyakinan bahwa tingkatan kebutuhan yang lebih rendah perlu dipuaskan terlebih
dahulu, sebelum tingkatan yang lebih tinggi dapat memotivasi (Tsourela, Mouza & Paschaloudis,
2008).

Sedangkan Frederick Herzberg menyebutkan bahwa faktor pertama yakni motivator


merupakan faktor yang dapat mewujudkan kepuasan seseorang, faktor kedua yakni pemelihara
(hygiene factors) merupakan faktor-faktor yang menyebabkan ketidakpuasan seseorang. Faktor
pemelihara merupakan faktor ekstrinsik seperti kondisi kerja, kualitas pengawasan, upah, status,
kemananan, kebijakan perusahaan dan administrasi serta hubungan interpersonal. Faktor
motivator dapat meningkatkan kondisi intrinsic seperti prestasi, pertanggungjawaban, tantangan
pekerjaan, status pekerjaan dan penghargaan. Beberapa peneliti yang lain mengatakan bahwa
faktor motivators dan hygiene ini identik dengan faktor kepuasan intrinsik dan ekstrinsik
(Tsourela, Mouza & Paschaloudis, 2008)
Kepuasan kerja terdapat dua dimensi intrinsik dan ekstrinsik. Kepuasan kerja intrinsik
adalah rasa seseorang berkaitan dengan pekerjaannya, sedangkan kepuasan kerja ekstrinsik
adalah rasa seseorang berkaitan dengan situasi kerja (Tsourela, Mouza & Paschaloudis, 2008;
Baylor, K.M., 2010).
Komitmen organisasional merupakan suatu bentuk identifikasim loyalitas dan
keterlibatan yang ditunjukkan oleh karyawan terhadap organisasi (Gibson, 2009). Komitmen
karyawan terhadap organisasi terjadi dipengaruhi oleh kepuasan kerja yang didukung oleh
kondisi kerja yang kondusif (Indrawati, 2013). Kepuasan kerja juga disebutkan sebagai
perbedaan antara yang diharapkan dengan yang dirasakan seseorang atas pekerjaannya. Indikasi
terjadi kepuasan kerja biasanya dikaitkan dengan disiplin kerja, tingkat absensi, tingkat
perputaran karyawan, loyalitas dll.

Kepuasan kerja dengan komitmen organisasional berpengaruh kuat terhadap kinerja


keuangan. Adanya ketidakpuasan karyawan berpengaruh positif terhadap penyimpangan. Respon
karyawan karena terjadi ketidakpuasan, bisa bersifat konstruktif dan destruktif. Reaksi
konstruktif seperti memberikan saran solusi (voice) dan menunggu kondisi perbaikan (loyalty).
Rekasi destruktif seperti ketidakhadiran (neglect) dan keluar (exit).

2.2.2.5. Komitmen Organisasional

Karakteristik komitmen organisasional yaitu keyakinan yang kuat dan adanya


penerimaan terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi, keinginan untuk selalu berupaya
meningkatkan kinerja organisasi dan keinginan yang kuat bersedia tinggal sebagai anggota
organisasi. Komitmen merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi organizational
citizenship behavior yaitu perilaku karyawan yang melebihi peran yang dibebankan. Akan tetapi
komitmen berkorelasi negative dengan ketidakhadiran dan keterlambatan. Komitmen
organisasional berkorelasi negative dengan penyimpangan baik interpersonal maupun organisasi.
Sedangkan kepuasan kerja dan masa kerja berkorelasi positif terhadap komitmen organisasional
Berkaitan dengan iklim kerja, egoistic ethical berkorelasi negatif dengan komitmen.
Sedangkan benevolence dan principle climates berhubungan positif dengan komitmen
organisasional.

2.2.2.6. Organizational Frustation

Lingkungan kerja yang penuh tekanan akan mampengaruhi perilaku karyawan.


Organizational frustration bisa menimbulkan a) penyimpangan antar karyawan (interpersonal
deviance) seperti rumor, penyerangan, b) penyimpangan organisasi (organizational deviance)
seperti perusakan karya seni, pencurian, perusakan mesin dan alat-alat lainnya, c) keinginan
keluar dari organisasi. Hasi studi menunjukkan bahwa karyawan yang mencintai atau membenci
organisasi, cenderung lebih tinggi melakukan penyimpangan daripada karyawan yang mencintai
atau membenci pekerjaannya.

2.2.2.7. Keadilan Organisasi (Organizational Justice)

Keadilan sangat penting bagi seseorang. Terdapat tiga alasan karyawan menginginkan
terciptanya keadilan dalam organisasi, antara lain : 1) karyawan mampu memprediksi hasil di
masa yang akan datang, misal karyawan bersedia menerima imbalan yang kurang
menguntungkan dirinya, tapi ia menerima pembayaran dna perlakukan yang adil, 2)
pertimbangan aspek sosial, yakni keinginan untuk dihargai dan 3) pertimbangan aspek etis yakni
adanya keyakinan bahwa keadilan merupakan cara yang tepat dalam memperlakukan oarng lain
(Sethi, at.al, 2013).

Keadilan organisasional terdapat tiga komponen yaitu keadilan distributive, keadilan


procedural dan keadilan interaksional. Keadilan interaksional terdiri dari dua komponen yakni
keadilan interpersonal dan keadilan informasional. Dalam perkembangannya, beberapa peneliti
menyebutkan bahwa keadilan organisasional terdiri dari empat komponen (Colquit, 2001).
Keadilan distributive merupakan penilaian seseorang berkaitan dengan pemberian
imbalan, keadilan procedural merupakan penilaian mengenai prosedur yang dilakukan untuk
menetapkan pembayaran imbalan tersebut. Sedangkan keadilan interaksional berkaitan dengan
cara yang dilakukan oleh manajemen bahwa manajemen berperilaku adil terhadap penerima
keadilan atau dengan kata lain hubungan antara karyawan dengan atasaannya atau supervisornya
(Colquitt, 2001).
Keadilan organisasional merupakan konsep yang mencerminkan persepsi karyawan
tentang sejauh mana karyawan diperlakukan secara adil dalam organisasi. Karyawan
mengasumsikan bahwa organisasi adil apabila karyawan berkeyakinan bahwa hasil dan prosedur
yang diterimanya adil (Noruzy et. al., 2011). Beberapa penelitian memberikan kesimpulan
bahwa menciptakan persepsi keadilan bagi karyawan, dapat meningkatkan rasa emosional positif
terhadap pekerjaan dan menciptakan kepuasan kerja (Sethi, et.al. 2013). Disamping kepuasan
kerja, keadilan organisasional juga dapat meningkatkan komitmen organisasional. Keadilan
oragnisasional diasumsikan semakin penting, karena dalam teori keadilan dinyatakan bahwa
karyawan cenderung berupaya menyeimbangkan antara kontribusi yang dilakukan atau uusaha
dengan hasil yang diterima (Gibson et. al., 2009).

Beberapa penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi rasa keadilan yang diterima
karyawan, akan menciptakan rasa keterikatan karyawan tersebut yang pada akhirnya
menciptakan komitmen organisasional karyawan (Noruzy et. al., 2011). Hubungan keadilan
organisasional pada komitmen organisasional ini dapat dimediasi kepuasan kerja (Sethi, et.al.,
2013).

Penelitian berkaitan dengan pengaruh keadilan organisasional, kepuasan kerja dan


komitmen organisasional telah banyak dilakukan, tetapi hasil temuan yang ada masih belum
konsisten. Sijabat (2011) dan Indrawati (2013) menemukan bahwa kepuasan kerja berkorelasi
positif terhadap komitmen organisasional. Demikian juga Sijabat (2011) dan Tafti, et.al. (2014)
menemukan bahwa keadilan organisasional berkorelasi positif terhadap komitmen
organisasional. Akan tetapi Tafti et.al. (2014) menemukan kepuasan kerja tidak berpengaruh
terhadap komitmen organisasional. Karim & Rehman (2014) menyebutkan bahwa keadilan
organisasional yang dirasakan oleh karyawan tidak mampu meningkatkan mereka atau dengan
kata lain tidak ada pengaruh antara keadilan organisasional dengan komitmen organisasional.

Hubungan antara keadilan organisasi pada kepuasan kerja karyawan juga masih
menunjukkan perbedaan hasil penelitian. Seperti penelitian yang dilakukan Sethi et. al., (2013),
menunjukkan bahwa keadilan organisasional yang dirasakan karyawan mampu meningkatkan
kepuasan karyawan atas pekerjaannya, semakin tinggi keadilan yang dirasakan maka semakin
tinggi kepuasan kerja karywan. Sedangkan penelitian oleh Baylor, K.M. (2010) menunjukkan
bahwa keadilan organisasi tidak mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
2.2.2.7.1. Hubungan Kapuasan Kerja, Komitmen Organisasional dan OCB

Beberapa peneliti menjelaskan bahwa adanya hubungan pertukaran sosial yang kuat antar
karyawan dengan atasannya atau pemilik dapat mendukung hubungan kerja yang positif
sehingga menumbuhkan kepuasan kerja, komitmen organisasional dan kepercayaan, pada
akhirnya meningkatkan OCB bagi karyawan. Telah banyak dilakukan penelitian berkaitan
dengan hubungan antara kepuasan kerja dengan OCB, tetapi hasil penelitian masih menunjukkan
belum konsisten (Podsakoff, et.al., 2000; Kasemsap, K, 2012)

Allen & Meyer (2003) menyebutkan bahwa konsep komitmen organisasional terdiri dari
tiga komponen yakni komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan
(continuance commitment) dan komitmen normative (normative commitment). Komitmen afektif
terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emotional
(emotional attachment). Komitmen kontinuan terjadi apabila karyawan berkeinginan tetap
bertahan menjadi anggota organisasi, karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan
lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Komitmen normative,
terjadi dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan pada organisasi karena merasa
berkewajiban, jika karyawan tersebut meninggalkan organisasi diasumsikan bertentangan dengan
pendapat umum. Komitmen organisasional berkorelasi positif terhadap OCB. Dengan demikian
dapat dikatakan jika komitmen menurun dapat menyebabkan rendahnya OCB atau
meningkatkan WDB (Kasemsap, K. 2012) dan kepuasan kerja (Kasemsap, K., 2012).

2.2.2.8. Sangsi (Sanction)

Karyawan akan cenderung melakukan penyimpangan jika perilakunya tidak diawasi,


tidak dievaluasi dan tidak diberi konsekuensi dari perilakunya. Oleh karena itu organisasi perlu
menyusun program yang bersifat etis dan memberikan sangsi yang keras bagi karyawan yang
berperilaku menyimpang.
2.2.2.9. Keinginan Keluar dari Organisasi (Intense to Quit)

Karyawan yang berkeinginan keluar dari organisasi biasanya cenderung melakukan


penyimpangan seperti penyalahgunaan uang, ketidakhadiran, penyalagunaan hak-hak istimewa
dan pencurian.

2.2.2.10. Kode Etik (Code of Ethic)

Kode etik seperti aturan perilaku, prinsip bisnis, slogan organisasi, filosofi organisasi,
etika organisasi dan aturan praktis. Kode etik merupakan metode paling efektif guna mendorong
perilaku etis. Kode etik harus bersifat ideal, disosialisasikan sehingga karyawan yakin dan harus
terintgrasi dengan budaya organisasi.

2.2.2.11. Ethical Distance

Ethical distance menunjukkan jarak atau jangka waktu antara tindakan dengan dampak
dari perilaku. Terdapat dua jenis ethical distance yakni temporal distance dan structural
distance. Temporal distance meggambarkan sejauh mana konsekuensi dari tindakan seseorang .
Sebagai contoh, Enron lebih mudah melakukan kecurangan melalui pemalsuan proyek yang
bersifat jangka panjang daripada proyek jangka pendek. Structural distance terjadi karena
spesialisasi dalam organisasi. Hasil studi menunjukkan temporal distance memberikan hasil
negative bagi seseorang dengan segera, tetapi karyawan cenderung mengikutinya.

2.2.2.12. Perceived Organizational Support

Karyawan yang merasa diberi dukungan oleh organisasi (perceived organizational


support), dapat meningkatkan komitmen organisasional, perilaku positif dan mentaati peraturan
organisasi.

2.2.2.13 Teknologi

Pemanfaatan teknologi bisa memberikan damapak positif maupun negative bagi bagi
karyawan maupun organisasi. Sering melalui internet karyawan berkata kasar. Manajer
seharusnya sering memperhatikan email dll, khususnya berkaitan dengan pekerjaan dan
organisasi.
2.2.2.14. Stress

Terdapat dua tipe stress yaitu stress bersifat positif dan stress negatif. Stress dapat
disebabkan oleh perubahan organisasi, organisasi dan pekerjaan itu sendiri, hubungan
interpersonal bagi di dalam dan di luar organisasi dan lingkungan. Personality, locus of control
dan extraversion mempunyai pengaruh kuat terhadap reaksi seseorang.

3. PENCEGAHAN TERHADAP PERILAKU MENYIMPANG

Terdapat beberapa tahap yang dilakukan manajemen untuk mengurangi atau melawan
;perilaku menyimpang dalam organisasi seperti membangun budaya organsiasi yang tepat,
kepemimpinan yang etis, seleksi karyawan yang efektif, program pelatihan, mengevaluasi latar
belakang karyawan, polygraph test (lie detector/ tes kebohongan), wawancara, tes kejujuran/
ketulusan hati, inspeksi, mensosialisasikan perilaku prososial, organizational citizenship
behavior, whistle blowing, corporate social responsibility, inovasi, ethics courses, dll.

4. KINERJA (JOB PERFORMANCE)

Kinerja adalah perilaku. Perilaku adalah berpikir, merencanakan, menyelesaikan masalah


dll. Perilaku seseorang tidak dapat diobservasi, tetapi bisa digambarkan. Kinerja (performance)
terdiri dari : task performace (kinerja berkaitan dg tugas) dan contextual performance. Task
Perfomance dibentuk oleh keahlian individu (ability). Keahlian ini juga bisa dibagi yakni yang
berkontribusi langsung seperti karyawan bagian produksi dan yang tidak berkontribusi langsung
seperti keberadaan manajer atau staf yang lain. Sedangkan contextual performance dibentuk oleh
kepribadian dan motivasi. Sebagai contoh helping coworker (membantu teman sekerja),
memperbaiki prosedur kerja dll (Sonnentag, S., 2002).

Terdapat 3 asumsi dasar yg membedakan antara task performance & contextual


performance. Task performance relatif sama di berbagai pekerjaan. Contextual performance
hampir sama di berbagai pekerjaan.

1. Task performance berkaitan dg kemampuan (ability). Contextual performance berkaitan


dg kepribadian (personality) dan motivasi (motivation)
2. Task performance merupakan in role behavior, sedangkan contextual performance
merupakan extra role behavior.

Komponen Task Performance antara lain : Job Specific Task Proficiency, Non Job
Specific Task Proficiency, Written and Oral Communication Proficiency, Supervision, in case
leadership position and partly dan Management/ Administration.

Masing-masing faktor tersebut terdiri dari beberapa subfaktor. Misal, Yang termasuk
atribut dalam Supervision antara lain guiding, directing, motivating and providing feed back,
maintaining good working relationship and coordinating subordinates and other resources to
get job done

Sedangkan contextual performance terdiri dari perilaku yang tidak secara langsung
memberikan kontribusi bagi organisasi dan kegiatan yang tidak formal. Yang termasuk
komponen contextual performance antara lain volunteering for activities beyond a person’s
formal job requirement (keinginan bekerja sukarela) dan persistence of enthusism and
application when needed to complete important task requirement (kegigihan dalam mengerjakan
tugas dengan baik), membantu karyawan yang lain, taat aturan dan prosedur yang dipakai, dan
terbuka dan mempertahankan pencapian tujuan organisasi. Misalnya, berupaya ekstra, mengikuti
dan patuh pada peraturan dan kebijakan organisasi dan menolong dan kerja sama dan
menyelesaikan berbagai masalah berkaitan dengan pekerjaan bersama karyawan yang lain
(Sonnentag, S., 2002).

Dalam perkembangan faktor-faktor dalam menentukan kinerja individual direvisi. Salah


satu revisi adalah memasukkan faktor counterproductive work behavior (workplace deviance
behavior). Dalam Campbell 2015 menyatakan bahwa terdapat delapan faktor dalam kinerja
individual yaitu technical performance, communication, initiative persistence and effort,
counterproductive work behavior, supervisory and leadership, hierarchical management
performance dan peer/ team member management performance.
DAFTAR PUSTAKA

Allen N.J. dan Meyer, J. P. (2003). “Commitment in the Workplace: Theory, Research, and
Application”, Thousand Oaks, CA: Sage Publishing, Inc.

Baylor, K.M. (2010), “The Influence of Intrinsic & Extrinsic Job Satisfaction and Affective
Commitment on the Intention to Quit for Occupations Characterized by High Voluntary
Atrition”, Dissertation, New Southeastern University.

Campbell, J.P & Wiernik, B.M. (2015), “The Modelling and Assessment of Work Performance”,
The Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, Vol, 2, pp.47-
74

Colquitt, Jason A. (2001). “On the Dimensionality of Organizational Justice: A Construct


Validation of a Measure”, Journal of Applied Psychology, Vol. 86, No. 3, pp: 386-400.

Dalal, R.S. (2005), “A Meta Analysis of the Relationship between Organizational Citizenship
Behavior & Counterproductive Work Behavior”, Journal of Applied Psychology, Vol. 90,
pp.1241-1255.

Fagbohungbe, B.O., et.al. (2012), “ Organizational Determinant of Workplace Deviance


Behavior : An Empirical Analysis in Nigeria”, International Journal of Business &
Management”, Vol.7, No.3, pp.207-221.

Gibson, Ivancevich dan Donnely (2009), Organizational: Behavior, Structure, Processes, New
York: The McGraw Hill Companies, Inc

Indrawati, Ayu Desi (2013), “Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan dan
Kepuasan Pelanggan pada Rumah Sakit Swasta di Kota Denpasar”, Jurnal Manajemen, Strategi
Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 7, No.2, hal 135-142.

Khan, S.K., et.al. (2012), The Factors Affecting Organizational Citizenship behavior : A Study in
Fitness Industry”, International Journal of Recent Advances in Organizational Behavior and
Decision Science (IJRAOB), Vol. 1, No. 2, pp. 373-381.

Karim, F dan Omar Rehman (2012),”Impact of Job Satisfaction, Perceived Organizational


Justice and Employee Empowerment on Organizational Commitment in Semi-Government
Organizations of Pakistan”, Journal of Business Studies Quarterly, Vol. 3, No. 4, pp. 92-104.
Kasemsap, K. (2012), “Factors Affecting Organizational Citizenship Behavior Passenger Car
Plant Employees in Thailand”, Journal of Social Sciences, Humanities and Arts, Vol. 12, No. 2,
pp. 129-159.

Lum et.al. (1998), “Explaning Nursing Turnover Internt: Job Statisfaction, PayStatisfaction, or
Organizational Commitment”, Journal of Organizational Behavior, Vol.19, pp. 305-302

Luthans F. (1997), Organizational Behaviour, 8th edition, New York : McGraw Hill

Muafi (2011), “Causes and Consequences Deviant Workplace Behavior”, International Journal
of Innovation, Management & Technology, Vol. 2, pp.123-126

Niehoff, B.P & Moorman, R.H. (1993), “Justice as A Mediator of the Relationship between
Methods Of Monitoring And Organizational Citizenship Behavior”, Academy of Management
Journal, Vol. 36, No.3, pp. 327-556.

Noruzy, Ali., Shatery, Karim., Rezazadeh., Hatami-Shirkouhi, Loghman (2011), “Investigation


the Relationship between Organizational Justice and Organizational Citizenship Behavior: The
Mediating Role of Perceived Organizational Support”, India Journal of Science And Technology,
Vol. 4, No. 7 :8420-847.

Podsakoff, et.al. (2000), “Organizational Citizenship Behavior : A Critical Review of the


Theoretical and Empirical Literature and Suggestions for Future Research”, Journal of
Management, Vol. 26, No.2, pp. 513-563

Robbins dan Judge (2008), Perilaku Organisasi, Edisi Duabelas, Jakarta : Penerbit Salemba
Empat

Robinson, S.L. & Bennet, J.R.(2000), “Development of a Measure of Workplace Deviance”,


Journal of Applied Psychology, Vol. 85, No. 3, pp.349-360.

Sijabat, Jadongan (2011), “Analisis keinginan untuk pindah: Studi Empiris pada KAP Besar di
Jakarta yang berafiliasi dengan KAP Asing (The Big Four)”, Jurnal Akuntansi Bisnis, Vol. IX,
No 18, Maret

Sethi, M dan Hina Iqbal (2013), “Relationship between Perceived Organizational Justice and the
Employees Job Satisfaction”, Abasyn Journal of Social Sciences, Vol. 7, No 1.

Sonnentag, S. & Frese, M. (2002), “Performance Concept & Performance Theory”,


Psychological Management of Individual Performance, John wiley & Sons, Ltd.

Tafti, Bahrami, M.A., Montazeralfaraj, R., Gazar (2013). “Demographic Determinants of


Organizational Citizenship Behavior among Hospital Employees”, Global Business and
Management Research: An International Journal, 5(4): 171- 178
Tsourela, M, Mouza A.M, Paschalouds, D. (2008), Extrinsic Job Satisfaction of Employee,
Regarding Intention to Leave Work Position: A Survey in Small & Medium
Entrepreneur”, MIBES, pp.249-261.

Wiyono (2009), “Keadilan organisasional dan kepuasan kerja: pengujian keterkaitan equity
theory dengan work outcomes”, BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 13, No. 2.

Anda mungkin juga menyukai