1.PENDAHULUAN
Hasil studi dewasa ini menemukan beberapa penyimpangan dalam organisasi, anatara
lain : 33 sd 75 persen karyawan melakukan penyimpangan, 42 persen wanita menerima sexual
harassed, 25 persen karyawan melakukan penyalahgunaan wewenang bersama rekan kerjanya
dan 1 dari 15 karyawan mengalami kekerasan. JIka ditinjau dari biaya terhitung $4.2 billion
nelakukan workplace violence, $200 billion melkaukan pencurian dan $400 billion - melakukan
kecurangan (Rogojagan, 2009).
Terdapat beberapa nama lain yang berisi penyimpanagn di tempat kerja seperti
Organizational Misbehavior, Uncompliant Behavior, Antisocial Behavior, Workplace Deviant,
Dysfunctional Workplace Behavior, Counterproductive Behavior, Employee Vice, Workplace
Aggression, Organization Retaliation Behavior, Organization Motivated Aggression. Adapun
definisi Workplace Deviance Behavior adalah perilaku yang bersifat sukarela yang melanggar
norma-norma suatu organisasi dan menghambat keberlangsungan baik organisasi maupun
anggota organisasi (Rogojagan, 2009)
Dalam organisasi WDB bersifat negative lebih banyak dibahas daripada yang bersifat
positif. Oleh karena itu artikel ini cenderung membicarakan negative WDB. Beberapa contoh
WDB antara lain pencurian, ini pelanggaran yg sering terjadi dalam organisasi. Survey di USA
menyatakan bahwa pencurian 75%, 38-62 persen kehilangan keuangan, biaya $20-200 billion
pencurian (karyawan) tiap tahun. Sedangkan negative WDB yang bersifat bukan moneter seperti
stress, less job satisfaction, reduce productivity and more turnover (Rogojagan, 2009).
Terdapat beberapa tipe WDB. Diawalai oleh Mangione and Quinn, 1974 menyatakan
terdapat dua konsep WDB yaitu konsep property deviance and production deviance. Dilanjutkan
Wheeler, 1976 menyebutkan dua tipe WDB seriouse and non seriouse organizational rule
breaking dan Hollinger and Clark, 1982 menjelaskan dua tipe WDB yaitu property deviance and
production deviance. Tipe WDB yang paling banyak digunakan adalah tipe yang dinayakan oleh
Robinson & Bennet, 1995 yaitu aspek interpersonal meliputi a) Minor vs Seriouse
(menggambarkan kekerasan perilaku menyimpang ) dan b) Interpersonal vs Organizational
(berkaitan dengan target perilaku menyimpang). Berikutnya Robinson & Bennet, 1995
mengembangkan tipe WDB dalam 4 kuadran : yakni : a) Production Deviance : perilaku
menyimpang dari norma yang menunjukkan pencapaian kuantitas dan kualitas minimal, b)
Property Deviance : karyawan merusak properti atau aset perusahaan, c) Political Deviance :
perilaku berkaitan dg interaksi sosial, dg meletakkan orang lain pada posisi kurang
menguntungkan dan d) Personal Aggression : perilaku agresif dg cara merugikan orang lain
(Robinson & Bennet, 2000 dan Muafi, 2011). Workplace deviance dalam aspek interpersonally
(CWB-I) dan aspek organizational (CWB-O). Misalnya, melakukan gossip terhadap rekan kerja
(CWB-I), melakukan pelanggaran kontrak kerja (CWB-O) (Dalal, R.S., 2005).
2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI WDB (FACTORS CONTRIBUTING
TO WDB)
Social&Interpersonal Factors :
Character: - Kelompok kerja - Need
Personality - Supervisor - Hutang Budi
- Peluang - Dissimalarity
JOB
ORGANIZATION WDB
IINDIVIDU PERFORMANCE
- Sangsi - Stress
a. Idealism vs Relativism
Deontologi yaitu tindakan yang dianggap benar, sesuai dg moral. Karakteristik ini
berhubungan positif dg ethical decision making. Sebaliknya teleologi berhubungan negatif dg
ethical decision making. Karakter individu teleologi ini lebih bisa menyebabkan perilaku
menyimpang.
2.1.1.2.Locus of Control
Terdapat dua macam tipe locus of control seseorang yaitu internal locus of control dan
external locus of control. Internal locus of control adalah seseorang berkeyakinan bahwa
peristiwa atau dampak yang terjadi dalam kehidupan dapat dikendalikan oleh dirinya. External
locus of control adalah seseorang berkeyakinan bahwa peristiwa atau dampak yang terjadi dalam
kehidupan tidak dapat dikendalikan oleh dirinya, dikendalikan oleh pihak eksternal, seperti :
nasib (luck), takdir (fate), social context dan masyarakat yang lain.
2.1.1.3. Machiviallianism and Love of Money
Beberapa contoh berkaitan kesalahan kepribadian anatra lain pencurian yang dilakukan
karyawan (the typical employee thief), disfungsional karyawan (dysfunctional employees) bisa
disebabkan adanya dysfunctional family system seperti drug, alcoholism dll.
Gender, education, religion and marginally position dapat mempengaruhi ethical decision
making.
2.1.2.1. Gender
Hasil penelitian menyatakan bahwa female (women) lebih etis daripada pria (males).
Wanita lebih mengedepankan hubungan antar individu (interpersonal relation), memelihara
(caring) and bekerja dengan baik (doing work well). Namun terdapat dilemma seperti antara
perilaku etis dengan rasa empati (emphaty) dan iba/ kasihan (compassion). Sedangkan laki-laki
lebih mengedepankan kemenangan dalam bersaing (competitive success) dan penghargaan
(extrinsic reward) seperti financial reward and status. Namun terdapat dilemma seperti antara
perilaku etis dengan adil dan transparan. Hasil empiris menunjukkan laki-laki membuat
keputusan lebih etis di saat situasi dimana intensitas moral begitu tinggi (moral intensity was
extreme).
2.1.2.2 Tenure
Hasil empiris menyatakan bahwa masa kerja berpengaruh thd perilaku menyimpang,
yaitu semakin rendah masa kerja karyawan, mereka semakin cenderug melakukan penyimpangan
terutama property deviance. Sedangkan semakin tinggi masa kerja karyawan, mereka cenderung
melakukan ke empat macam penyimpangan (workplace deviance).
2.1.2.3. Education
Hasil studi menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin tinggi
kesadaran moral (moral awareness). Pendidikan berhubungan positif dg pengambilan keputusan
etis (ethical decision making). Walaupun begitu top managers melakukan kejaharan organisasi
(corporate crimes) adalah mereka yang berpendidikan lebih tinggi dari rata-rata orang.
2.1.2.4. Age
Hasil riset menyatakan bahwa status yang tinggi (high status) dan memiliki kelompok
(numerous reference group) lebih cenderung melakukan perilaku positif (positive deviant
behavior).
2.1.2.6. Religion
Terdapat hubungan antara status dengan penyimpangan kerja. Semakin rendah status
(low status), semakin rendah hirarki (low rank in the organizational hierarchy), semakin rendah
upah (low wages), semakin kecil peluang menuju karir lebih tinggi (little opportunity for
advancement), semakin rendah masa kerja (short tenure), semakin kecil kesempatan
mengembangkan diri dan membangun hubungan (little chance to develop relationship), mereka
cenderung kurang bersosialisasi dan cenederung melakukan perilaku menyimpang.
Faktor situasional/ organisasional terdiri dari faktor sosial dan interpersonal (social &
Inerpersonal Factors) dan faktor organisasional (Organizational Factors).
Hasil studi menyatakan bahwa walaupun individu memiliki sense of ethic yg tinggi,
mereka tidak puas dg kelompoknya (deviant groups), tetapi mereka tetapi tinggal dalam
kelompok/ tidak meninggalkan kelompok tersebut. Hal ini dikarenakan faktor sosial lebih
penting daripada faktor individu.
Salah satu wujud hubungan antara karyawan dengan atasan adalah kontrak psikologis
(psychological contract) yakni persepsi perjanjian antara karyawan (employee) dg atasan atau
pemilik (employer). Pelanggaran kontrak psikologis (psychological contract breach) berkorelasi
positif dg ketidakhadiran dan kinerja negatif.
Hasil studi juga mengatakan bahwa integritas pimpinan berpengaruh pada kepuasan
kerja. Terciptanya kepuasan kerja akan meningkatkan komitmen organisasional, tingginya
komitmen akan meningkatkan kinerja. Kepuasan kerja berkorelasi positif dengan rendahnya
ketidakhadiran dan perputaran karyawan.
Kondisi kurang stabil suatu organisasi menciptakan peluang karyawan berperilaku illegal.
Peluang ini berkorelasi positif dengan pencurian karyawan.
2.2.1.4. Need
Pencurian biasanya disebabkan kebutuhan keuangan. Hal ini bisa dikarenakan adanya
tekanan eksternal atau kebutuhan sosial.
Hutang budi terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara pihak satu dengan pihak
yang lain, seperti karena hadiah dll.
2.2.1.5. Dissimilarity
Hasil riset menunjukkan bahwa adanya kesamaan dalam kelompok berasosiasi positif dg
penyimpangan di tempat kerja. Berkaitan dengan ketidaksamaa demografi, hasil studi
menyatakan bahwa ketidaksamaan gender berkorelasi positif dengan penyimpangan
interpersonal. Sedangkan ketidaksamaan umur tidak berkorelasi dengan penyimpangan
organisasi maupun penyimpangan interpersonal.
Hasil studi empiris menunjukkan bahwa banyak organisasi yang melakukan operasi
industri makanan, kayu, petroleum refining, transportation equipment ilegal.
Terdapat hubungan reciprocal antara budaya oragnisasai dengan pemimpin. Di satu sisi
pemimpin membangun budaya organisasi, di sisi lain perilaku manajer juga dipengaruhi budaya.
Hasil studi menunjukkan apabila manajer memiliki kemampuan rendah, akan menimbulkan
budaya organisasi yang menyimpang. Sedangkan manajer yang mengedepankan pada
produktivitas dan efisiensi, biasanya mempunyai ketrampilan interpersonal yang sangat jauh dari
standard (lack strong interpersonal skill).
2.2.2.3. Iklim Kerja Etis (Ethical Work Climate)
Iklim kerja yang etis (ethical climate) lebih mempengaruhi perilaku karyawan daripada
iklim organisasi secara keseluruhan. Kriteria iklim kerja yang etis antara lain egoistic,
benevolence and principle. Egoism yaitu maksimisasi kepentingan pribadi (self interest).
Benevolence yaitu maksimisasi kepentingan masyarakat. Principle yaitu mempertimbangkan
benar atau salah, sesuai dengan universal standard and belief sebagai hukum dan aturan (law &
code). Iklim kerja terdapat beberapa tipe antara lain instrumental, caring, independence, rules
and law and code.
Jika dihubungkan antara kriteria dengan tipe iklim kerja, akan menimbulkan WDB.
Sebagai contoh, egoistic climate & instrumental berkorelasi positif denagn WDB. Sedangkan
benevolence, principle climate & caring berkorelasi negatif dengan WDB.
Hasil riset juga menunjukkan pada organisasi nirlaba memiliki benevolence dan principle
climate lebih tinggi dan egoistic climates lebih rendah daripada organisasi profit. Sedangkan
perusahaan baru memiliki iklim tersendiri (independence climates), sifat memelihara (caring),
penyediaan dan penegakan aturan (rules and law and code climate) lebih rendah daripada
perusahaan lama (Peterson, K.D., 2002)
Kepuasan kerja berkaitan dengan teori motivasi hirarki kebutuhan Maslow dan teori dua
faktor Herzberg. Teori hirarki kebutuhan Maslow menyatakan bahwa seseorang mempunyai lima
tingkatan kebutuhan yakni fisiologis, keamanan, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri.
Maslow berkeyakinan bahwa tingkatan kebutuhan yang lebih rendah perlu dipuaskan terlebih
dahulu, sebelum tingkatan yang lebih tinggi dapat memotivasi (Tsourela, Mouza & Paschaloudis,
2008).
Keadilan sangat penting bagi seseorang. Terdapat tiga alasan karyawan menginginkan
terciptanya keadilan dalam organisasi, antara lain : 1) karyawan mampu memprediksi hasil di
masa yang akan datang, misal karyawan bersedia menerima imbalan yang kurang
menguntungkan dirinya, tapi ia menerima pembayaran dna perlakukan yang adil, 2)
pertimbangan aspek sosial, yakni keinginan untuk dihargai dan 3) pertimbangan aspek etis yakni
adanya keyakinan bahwa keadilan merupakan cara yang tepat dalam memperlakukan oarng lain
(Sethi, at.al, 2013).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa semakin tinggi rasa keadilan yang diterima
karyawan, akan menciptakan rasa keterikatan karyawan tersebut yang pada akhirnya
menciptakan komitmen organisasional karyawan (Noruzy et. al., 2011). Hubungan keadilan
organisasional pada komitmen organisasional ini dapat dimediasi kepuasan kerja (Sethi, et.al.,
2013).
Hubungan antara keadilan organisasi pada kepuasan kerja karyawan juga masih
menunjukkan perbedaan hasil penelitian. Seperti penelitian yang dilakukan Sethi et. al., (2013),
menunjukkan bahwa keadilan organisasional yang dirasakan karyawan mampu meningkatkan
kepuasan karyawan atas pekerjaannya, semakin tinggi keadilan yang dirasakan maka semakin
tinggi kepuasan kerja karywan. Sedangkan penelitian oleh Baylor, K.M. (2010) menunjukkan
bahwa keadilan organisasi tidak mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
2.2.2.7.1. Hubungan Kapuasan Kerja, Komitmen Organisasional dan OCB
Beberapa peneliti menjelaskan bahwa adanya hubungan pertukaran sosial yang kuat antar
karyawan dengan atasannya atau pemilik dapat mendukung hubungan kerja yang positif
sehingga menumbuhkan kepuasan kerja, komitmen organisasional dan kepercayaan, pada
akhirnya meningkatkan OCB bagi karyawan. Telah banyak dilakukan penelitian berkaitan
dengan hubungan antara kepuasan kerja dengan OCB, tetapi hasil penelitian masih menunjukkan
belum konsisten (Podsakoff, et.al., 2000; Kasemsap, K, 2012)
Allen & Meyer (2003) menyebutkan bahwa konsep komitmen organisasional terdiri dari
tiga komponen yakni komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuan
(continuance commitment) dan komitmen normative (normative commitment). Komitmen afektif
terjadi apabila karyawan ingin menjadi bagian dari organisasi karena adanya ikatan emotional
(emotional attachment). Komitmen kontinuan terjadi apabila karyawan berkeinginan tetap
bertahan menjadi anggota organisasi, karena membutuhkan gaji dan keuntungan-keuntungan
lain, atau karena karyawan tersebut tidak menemukan pekerjaan lain. Komitmen normative,
terjadi dari nilai-nilai diri karyawan. Karyawan bertahan pada organisasi karena merasa
berkewajiban, jika karyawan tersebut meninggalkan organisasi diasumsikan bertentangan dengan
pendapat umum. Komitmen organisasional berkorelasi positif terhadap OCB. Dengan demikian
dapat dikatakan jika komitmen menurun dapat menyebabkan rendahnya OCB atau
meningkatkan WDB (Kasemsap, K. 2012) dan kepuasan kerja (Kasemsap, K., 2012).
Kode etik seperti aturan perilaku, prinsip bisnis, slogan organisasi, filosofi organisasi,
etika organisasi dan aturan praktis. Kode etik merupakan metode paling efektif guna mendorong
perilaku etis. Kode etik harus bersifat ideal, disosialisasikan sehingga karyawan yakin dan harus
terintgrasi dengan budaya organisasi.
Ethical distance menunjukkan jarak atau jangka waktu antara tindakan dengan dampak
dari perilaku. Terdapat dua jenis ethical distance yakni temporal distance dan structural
distance. Temporal distance meggambarkan sejauh mana konsekuensi dari tindakan seseorang .
Sebagai contoh, Enron lebih mudah melakukan kecurangan melalui pemalsuan proyek yang
bersifat jangka panjang daripada proyek jangka pendek. Structural distance terjadi karena
spesialisasi dalam organisasi. Hasil studi menunjukkan temporal distance memberikan hasil
negative bagi seseorang dengan segera, tetapi karyawan cenderung mengikutinya.
2.2.2.13 Teknologi
Pemanfaatan teknologi bisa memberikan damapak positif maupun negative bagi bagi
karyawan maupun organisasi. Sering melalui internet karyawan berkata kasar. Manajer
seharusnya sering memperhatikan email dll, khususnya berkaitan dengan pekerjaan dan
organisasi.
2.2.2.14. Stress
Terdapat dua tipe stress yaitu stress bersifat positif dan stress negatif. Stress dapat
disebabkan oleh perubahan organisasi, organisasi dan pekerjaan itu sendiri, hubungan
interpersonal bagi di dalam dan di luar organisasi dan lingkungan. Personality, locus of control
dan extraversion mempunyai pengaruh kuat terhadap reaksi seseorang.
Terdapat beberapa tahap yang dilakukan manajemen untuk mengurangi atau melawan
;perilaku menyimpang dalam organisasi seperti membangun budaya organsiasi yang tepat,
kepemimpinan yang etis, seleksi karyawan yang efektif, program pelatihan, mengevaluasi latar
belakang karyawan, polygraph test (lie detector/ tes kebohongan), wawancara, tes kejujuran/
ketulusan hati, inspeksi, mensosialisasikan perilaku prososial, organizational citizenship
behavior, whistle blowing, corporate social responsibility, inovasi, ethics courses, dll.
Komponen Task Performance antara lain : Job Specific Task Proficiency, Non Job
Specific Task Proficiency, Written and Oral Communication Proficiency, Supervision, in case
leadership position and partly dan Management/ Administration.
Masing-masing faktor tersebut terdiri dari beberapa subfaktor. Misal, Yang termasuk
atribut dalam Supervision antara lain guiding, directing, motivating and providing feed back,
maintaining good working relationship and coordinating subordinates and other resources to
get job done
Sedangkan contextual performance terdiri dari perilaku yang tidak secara langsung
memberikan kontribusi bagi organisasi dan kegiatan yang tidak formal. Yang termasuk
komponen contextual performance antara lain volunteering for activities beyond a person’s
formal job requirement (keinginan bekerja sukarela) dan persistence of enthusism and
application when needed to complete important task requirement (kegigihan dalam mengerjakan
tugas dengan baik), membantu karyawan yang lain, taat aturan dan prosedur yang dipakai, dan
terbuka dan mempertahankan pencapian tujuan organisasi. Misalnya, berupaya ekstra, mengikuti
dan patuh pada peraturan dan kebijakan organisasi dan menolong dan kerja sama dan
menyelesaikan berbagai masalah berkaitan dengan pekerjaan bersama karyawan yang lain
(Sonnentag, S., 2002).
Allen N.J. dan Meyer, J. P. (2003). “Commitment in the Workplace: Theory, Research, and
Application”, Thousand Oaks, CA: Sage Publishing, Inc.
Baylor, K.M. (2010), “The Influence of Intrinsic & Extrinsic Job Satisfaction and Affective
Commitment on the Intention to Quit for Occupations Characterized by High Voluntary
Atrition”, Dissertation, New Southeastern University.
Campbell, J.P & Wiernik, B.M. (2015), “The Modelling and Assessment of Work Performance”,
The Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, Vol, 2, pp.47-
74
Dalal, R.S. (2005), “A Meta Analysis of the Relationship between Organizational Citizenship
Behavior & Counterproductive Work Behavior”, Journal of Applied Psychology, Vol. 90,
pp.1241-1255.
Gibson, Ivancevich dan Donnely (2009), Organizational: Behavior, Structure, Processes, New
York: The McGraw Hill Companies, Inc
Indrawati, Ayu Desi (2013), “Pengaruh Kepuasan Kerja terhadap Kinerja Karyawan dan
Kepuasan Pelanggan pada Rumah Sakit Swasta di Kota Denpasar”, Jurnal Manajemen, Strategi
Bisnis dan Kewirausahaan, Vol. 7, No.2, hal 135-142.
Khan, S.K., et.al. (2012), The Factors Affecting Organizational Citizenship behavior : A Study in
Fitness Industry”, International Journal of Recent Advances in Organizational Behavior and
Decision Science (IJRAOB), Vol. 1, No. 2, pp. 373-381.
Lum et.al. (1998), “Explaning Nursing Turnover Internt: Job Statisfaction, PayStatisfaction, or
Organizational Commitment”, Journal of Organizational Behavior, Vol.19, pp. 305-302
Luthans F. (1997), Organizational Behaviour, 8th edition, New York : McGraw Hill
Muafi (2011), “Causes and Consequences Deviant Workplace Behavior”, International Journal
of Innovation, Management & Technology, Vol. 2, pp.123-126
Niehoff, B.P & Moorman, R.H. (1993), “Justice as A Mediator of the Relationship between
Methods Of Monitoring And Organizational Citizenship Behavior”, Academy of Management
Journal, Vol. 36, No.3, pp. 327-556.
Robbins dan Judge (2008), Perilaku Organisasi, Edisi Duabelas, Jakarta : Penerbit Salemba
Empat
Sijabat, Jadongan (2011), “Analisis keinginan untuk pindah: Studi Empiris pada KAP Besar di
Jakarta yang berafiliasi dengan KAP Asing (The Big Four)”, Jurnal Akuntansi Bisnis, Vol. IX,
No 18, Maret
Sethi, M dan Hina Iqbal (2013), “Relationship between Perceived Organizational Justice and the
Employees Job Satisfaction”, Abasyn Journal of Social Sciences, Vol. 7, No 1.
Wiyono (2009), “Keadilan organisasional dan kepuasan kerja: pengujian keterkaitan equity
theory dengan work outcomes”, BENEFIT Jurnal Manajemen dan Bisnis, Vol. 13, No. 2.