Anda di halaman 1dari 31

TUGAS KULIAH FARMASI KLINIK

OLEH:
KELOMPOK 1

MANTASIAH N014192002
SURIATI USMAN N014192007
DEDE HARYONO N014192014
NUR ISHLAH N014192016
TRISKA MAHARANI MANOPPO N014192021
IRMAYANI N014192024
WARDA RAHMA N014192030
ADE FAZLIANA MANTIKA N014192036
RAHMI DAMAYANTI RAHMAN N014192039
YOGILLVERD WIERSON N014192044
YUSI NOVELA PADANG N014192046
SANDRA DEVI N014192051
WARDA TENRI TUPPU N014192054
NABILA SALSABILA N014192062
YUYUN PAKKU’ N014192068
NUR FATWA ARHAM N014192072
NUR ALFILAILA N014192075
ARISKA AZISA N014192079
SYAM NURMILA H. N014192084
ANDRIANI N014192087
MUTIARA N014192090
NURJANNAH N014192092
ANNISA ALMAGHFIRAH ACHMAR N014192094
DAMAIYANTI N014192096
YURI ERIKA ARIFIN N014192098
RIRIT FAUZIAH N014192103
IRMA TRIRAHMA INGKIRIWAN N014192106
HARTATI N014191115
KELAS B

PROFESI APOTEKER
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Farmasis adalah salah satu profesi kesehatan yang komprehensif.

Peran farmasis sangat kompleks, bukan hanya berkaitan dengan

pembuatan obat hingga menjualnya saja. Namun juga berkenaan

pelayanan kefarmasian yang berorientasi langsung kepada pasien.

Farmasis tidak hanya berperan di awal terapi pasien, tetapi hingga

didapatkan hasil terapi yang baik sehingga kualitas hidup pasien bisa

meningkat dan hasil terapi memuaskan dapat diperoleh.

Kondisi seorang pasien akan mempengaruhi pemberian suatu obat.

Adanya perbedaan kondisi pasien akan berpengaruh pada farmakokinetik,

farmakodinamik, maupun toksisitas suatu obat dan berbagai faktor lainnya.

Maka perlu pemahaman dan perhatian khusus agar keamanan pasien

dalam masa terapi dapat terjaga dan medication error tidak terjadi. Dalam

hal ini, tentunya farmasis memiliki peranan yang sangat penting.

Trauma merupakan pengalaman hidup yang mengganggu

keseimbangan biokimia dari sistem informasi pengolahan psikologi otak.

Keseimbangan ini menghalangi pemrosesan informasi untuk meneruskan

proses tersebut dalam mencapai suatu aditif sehingga presepsi, emosi,

keyakinan dan makna yang diperoleh dari pengalaman tersebut “terkunci”

dalam sistem saraf (Shapiro, F. 1999)

Diharapkan dengan adanya makalah ini, pembaca dapat memahami

bagaimana pengaruh kondisi pasien trauma terhadap suatu obat yang

meliputi beberapa aspek seperti farmakokinetik, farmakodinamik, interaksi


obat, toksisitas dan keamanan terhadap pasien serta faktor-faktor lainnya.

Selain itu, akan juga dibahas terkait salah satu keadaan yang terjadi

terhadap pasien yang mengalami trauma khususnya Posttraumatic Stress

Disorder (PTSD). PTSD merupakan gangguan mental yang terjadi akibat

kejadian masa lalu yang berat. PTSD bisa terjadi pada orang yang

mengalami peristiwa seperti bencana alam, kecelakaan serius, serangan

kriminal, pemerkosaan, pelecehan fisik atau seksual (P.A.,Kradjan, W.A.,

2013). Dalam makalah ini akan dibahas secara khusus bagaimana peranan

seorang farmasis dalam penanganan pasien yang mengalami

Posttraumatic Stress Disorder (PTSD).

I.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah bagaimana

pengobatan terhadap pasien trauma khususnya pada pasien yang

mengalami Posttraumatic Stress Disorder.

I.3. Tujuan

Mengetahui peranan farmasis dalam pengobatan pasien trauma

khususnya pada pasien yang mengalami Posttraumatic Stress Disorder.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Trauma

II.1.1 Pengertian Trauma

Trauma adalah suatu peristiwa yang luar biasa yang menimbulkan luka

dan perasaan sakit, tetapi juga sering diartikan sebagai suatu luka atau

perasaan sakit berat akibat suatu kejadian luar biasa yang menimpa

seseorang baik secara langsung atau tidak langsung, berupa luka fisik

maupun luka psikis atau kombinasi kedua-duanya. Berat ringannya suatu

peristiwa akan dirasakan berbeda oleh setiap orang, sehingga pengaruh

dari peristiwa tersebut terhadap perilaku juga berbeda antara seseorang

dengan orang lain (Cavanagh, 1982).

II.1.2 Jenis Trauma

Secara umum trauma dibagi atas 2 kelompok, yaitu trauma fisik dan

psikis.

II.1.2.1 Trauma Fisik

Trauma fisik adalah trauma yang terjadi akibat luka atau cedera pada

bagian tubuh. Jika trauma yang didapat cukup berat akan mengakibatkan

kerusakan anatomi ataupun fisiologi organ tubuh yang terkena. Trauma

dapat menyebabkan gangguan fisiologi sehingga terjadi gangguan

metabolisme seperti kelainan imunologi dan gangguan faal berbagai organ.

Penderita trauma berat akan mengalami gangguan faal yang penting

seperti kegagalan fungsi membrane sel, gangguan integritas endotel,

kelainan system imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravaskular


menyeluruh (DIC = Diseminated intravascular coagulationI) (Hasbi, M.,

2010).

Beberapa penyakit terkait dengan trauma secara fisik antara lain:

trauma abdomen, trauma pada mata seperti trauma oculi dan glaucoma,

trauma tumpul ginjal gejala IV terisolasi, serta trauma pada tulang.

II.1.2.2 Trauma Psikis

Shapiro menyatakan trauma psikis merupakan pengalaman hidup yang

mengganggu kaseimbangan biokimia dari sistem informasi pengolohan

psikologi otak. Kaseimbangan ini menghalangi pemprosesan informasi

untuk meneruskan proses tersebut dalam mencapai suatu adaptif, sehingga

persepsi, emosi, keyakinan dan makna yang diperoleh dari pengalaman

tersebut “terkunci” dalam sistem saraf (Shapiro, 1999). Orang bisa

dikatakan mempunyai Trauma adalah mereka harus mengalami suatu stres

emosional yang besar dan berlebih sehingga orang tersebut tidak bisa

mengendalikan perasaan itu sendiri yang menyebabkan munculnya trauma

pada hampir setiap orang (Kaplan dan sadock,1997).

Trauma bisa saja melanda siapa saja yang mengalami suatu peristiwa

yang luar biasa seperti perang, pemerkosaan, kematian orang-orang

tercinta, dan juga bencana alam seperti gempa dan tsunami. Gangguan

pasca trauma bisa dialami segera setelah peristiwa traumatis terjadi, bisa

juga dialami secara tertunda sampai beberapa bulan dan tahun

sesudahnya. Korban biasanya mengeluh tegang, insomnia (sulit tidur), sulit

berkonsentrasi dan ia merasa ada yang mengatur hidupnya, bahkan yang

bersangkutan kehilangan makna hidupnya. Lebih parah lagi, orang yang

mengalami gangguan pasca traumatik berada pada keadaan stress yang


berkepanjangan, yang dapat berakibat munculnya gangguan otak,

berkurangnya kemapuan intelektual, gangguan emosional, maupun

gangguan kemampuan sosial (Hatta, K., 2016).

A. Jenis-Jenis Trauma Psikis

Penggolongan trauma berdasarkan kejadian traumatik, yaitu:

(Cavanagh, 1982)

1. Trauma situasional

adalah trauma yang disebabkan oleh situasi seperti bencana alam,

perang, kemalangan kenderaan, kebakaran, rompakan, pemerkosaan,

perceraian, kehilangan pekerjaan, ditinggal mati oleh orang yang dicintai,

gagal dalam perniagaan, tidak naik kelas bagi beberapa pelajar, dan

sebagainya.

2. Trauma perkembangan

adalah trauma dan stress yang terjadi pada setiap tahap pekembangan,

seperti penolakan dari teman sebaya, kelahiran yang tidak diingini,

peristiwa yang berhungan dengan kencan, bekeluarga, dan sebagainya.

3. Trauma intrapsikis

adalah trauma yang disebabkan kejadian dalam diri seseorang yang

memunculkan perasaan cemas yang sangat kuat seperti perasaan homo

seksual, benci kepada orang yang seharusnya di cintai, dan sebagainya.

4. Trauma eksistensial

yaitu trauma yang diakibatkan karena kurang berhasil dalam hidup atau

merasa tidak berharga

B. Gejala/Symptom Trauma

 Reexperiencing Symptoms (Dipiro, 2009):


a. Mengalami kembali peristiwa dalam gambaran, pikiran, kenangan, dan

mimpi buruk

b. Bertindak seolah-olah peristiwa tersebut datang kembali

c. Mengingat kembali penderitaaan yang pernah dihadapi

 Avoidance Symptoms (gejala penghindaran):

a. Menghindari percakapan tentang trauma

b. Menghindari tempat atau pikiran tentang trauma

c. Menghindari orang atau tempat yang membangkitkan ingatan trauma

d. Kehilangan semangat dalam beraktivitas

e. Merasa tidak ada masa depan

 Hyperarousal Symptoms:

a. Konsentrasi menurun

b. Gangguan tidur/ Insomnia

c. Cepat marah

d. Respon kaget berlebihan

e. Kewaspadaan tinggi

C. Proses terjadinya Respon Trauma

Suatu kejadian yang tertangkap melalui indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, perasa, dan sentuhan yang masuk ke dalam

thalamus, yang berfungsi sebagai tempat lalu rintas rangsangan sensorik

ke amygdala dan hippocampus. Di dalam hippocampus informasi diproses

secara perlahan, dan kemudian membuat tafsiran yang benar tentang apa

yang terjadi, lalu di hantarkan ke amygdala, dan kemudian direspon sesuai

dengan informasi yang dihantar oleh hippocampus. Bila informasi tersebut


mengandungi unsur-unsur berbahaya, maka amygdala akan mengeluarkan

neurotransmiter berupa adrenalin dan noradrenalin, dan jika informasi itu

tidak berbahaya, maka amygdala secara automatik memadamkan

neurotransmiter dan akhirnya terjadilah respon berupa menghindar atau

melawan (Stredling dan Scott, 2001).

Gambar 1. Skema lahirnya suatu respon normal

Pada individu yang mengalami trauma, fungsi hippocampus telah

mengalami kerusakan sehingga tidak dapat memproses informasi secara

tepat, maka informasi yang diberikan kepada amygdala juga akan salah,

dan amygdala juga akan merespon secara salah dengan menghidupkan

penggerak bahaya yang berupa adrenalin dan noradrenalin dalam dosis

yang berlebihan, untuk merespon suatu kejadian yang tidak begitu

mengancam, karena itu seseorang yang sudah mengalami peristiwa

traumatik, ia akan bertindak tidak wajar (Stredling dan Scott, 2001).

Gambar 2. Skema lahirnya suatu respon Trauma


II.2 PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

II.2.1 Pengertian PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

PTSD (Post Traumatic Stress Disorder) adalah gangguan stress akut

terjadi pada pasien yang pernah mengalami peristiwa traumatis yang tragis

dan menyedihkan. PTSD telah dikenal paling umum di veteran perang dan

disebut sebagai "shell shock" setelah Perang Dunia I. Namun, PTSD juga

terjadi pada orang yang terpapar pada peristiwa seperti bencana alam,

kecelakaan serius, serangan kriminal, pemerkosaan, pelecehan fisik atau

seksual. Trauma tidak harus melibatkan cedera fisik pada korban PTSD.

Menyaksikan orang lain terluka atau terbunuh, didiagnosis menderita

penyakit seumur hidup, dan mengalami kematian tak terduga orang yang

dicintai adalah jenis trauma umum yang dapat menyebabkan PTSD.

Setelah seseorang mengalami trauma, mungkin sangat sulit baginya untuk

percaya bahwa kehidupan mereka pernah bisa sama lagi seperti sebelum

kejadian/ peristiwa itu terjadi. Pada umumnya, peristiwa trauma tersebut

setidaknya dipengaruhi oleh tiga variabel. Pertama, trauma alami yang

berasal dari satu kejadian. Kedua, karakter dan kepribadian individu yang

terlibat dalam hidup mereka pada saat itu. Ketiga, persiapan individu, dan

dukungan yang diberikan sebelum, selama dan setelah peristiwa terjadi

(Alldredge, B.K, 2013).

Penggolongan berdasarkan pada munculnya gejala-gejala gangguan

stres pasca trauma (PTSD), yaitu: (Dipiro, 2009)

1. Acute PTSD

bila gejala muncul di bawah tiga bulan setelah terjadi peristiwa

traumatik,
2. Cronic PTSD

bila gejala muncul setelah tiga bulan dari waktu terjadi peritiwa

traumatik,

3. Delayed onset PTSD bila gejala muncul setelah enam bulan dari waktu

terjadi trauma.

II.2.2 Epidemiologi PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

Efek stres pada otak menjadi topik fokus penelitian. Trauma psikologi,

terutama yang berkaitan dengan kejadian di awal kehidupan atau kejadian

kronis pada waktu tertentu, dapat menyebabkan perubahan persisten di

berbagai aspek fungsional otak dan respon biologi dari stres. Bukti nayata

adalah perubahan dari NE, Serotonin, glutamanergik, sistem GABA, aksis

HPA, neuroendokrin, subtansial P, dan fungsi sistem opioid di temukan

pada orang dengan PTSD. Stres dapat menginduksi hiperaktivitas dari

pusat sistem nonadrenergik yang di percaya dapat menyebabkan

gangguan kecemasan umum dan hyperarousal autonomic yang

berhubungan dengan PTSD. Simptom ini mungkin berhubungan dengan

supersensitifitas sistem aksis HPA pada pasien dengan PTSD dimana

pasien tidak peka pada respon ACTH terhadap CRH dan penurunan kadar

hormon kortisol, serta peningkatan jumlah reseptor glukokortikoid. Sebuah

bagian dari PTSD tampaknya memiliki gangguan kepekaan terhadap

sistem Setotonin dan pasien dapat mewakili subgrup sistem neurobiologi

yang berbeda (Alldredge, B.K, 2013).

Uji neuropsikologi menunjukkan penurunan volume hipocampal

berhubungan dengan gangguan kognitif dan penurunan daya ingat pada


pasien PTSD. Penelitian fungsi neuroimaging pada pasien PTSD

ditemukan aktivasi berlebihan dari amygdala dan area lain otak dalam

merespon trauma-yang berhubungan dengan rangsangan. Jadi,

konsekuensi nerobiologikal dari stres dan trauma menghasilkan perubahan

struktural dan fungsional dari otak. Faktor genetik dapat berperan

mempengaruhi kerentanan untuk terjadinya efek kerusakan dari stress

(Alldredge, B.K, 2013).

II.2.3 Kriteria Diagnosis PTSD (Post Traumatic Stress Disorder)

1. Seseorang telah mengalami peristiwa traumatis di mana individu

tersebut menyaksikan, mengalami, atau dihadapkan dengan aktual

atau diancam dibunuh, atau cedera serius pada diri atau orang lain, dan

orang itu merespons dengan ketakutan, ketidakberdayaan.

2. Perasaaan mengalami kembali persitiwa traumatis. Perasaan

mengalami kembali (reexperiencing) dapat terwujud dalam bentuk kilas

balik kejadian, mimpi buruk, emosi negatif terhadap peristiwa traumatis,

kesulitan berkonsentrasi, mudah marah dan bersikap agresif.

3. Keinginan untuk menghindar dari stimulus yang mengingatkan tentang

kejadian traumatis serta perasaan mati rasa. Seseorang akan

menghindari segala sesuatu yang berkaitan dengan peristiwa traumatis,

baik itu individu, perilaku, suasana dan tempat.

4. Hypervigilance, meningkatnya kewaspadaan berlebih. Seseorang akan

meningkatan kewaspadaan atau kesiagaannya terhadap hal-hal yang

sebenarnya tidak berbahaya bagi dirinya, misalnya mudah terkejut.

5. Gangguan menyebabkan penurunan signifikan dalam beberapa aspek

sehari-hari
6. Durasi gangguan (2-4) minimal 1 bulan atau lebih

II.2.4 Algoritma untuk Farmakoterapi PTSD (Post Traumatic Stress

Disorder)

Baik obat-obatan dan CBT (Cognitive Behaviour Therapy) berguna

dalam mengobati PTSD. Terapi Nonfarmakologis saja mungkin tepat untuk

awal pengobatan PTSD ringan, tetapi farmakoterapi, baik sendiri atau

dalam kombinasi dengan terapi psikologis, biasanya direkomendasikan

untuk pasien dengan penyakit sedang atau berat. Ketika menilai berbagai

opsi perawatan untuk PTSD, penting untuk mempertimbangkan efek pada

ketiga gejala yang bisa saja dialaminya kembali (penghindaran atau

emosional, mati rasa, gejala hyperarousal). Tidak semua perawatan PTSD

efektif untuk ketiga gejala tersebut. Obat lini pertama dalam pengobatan

PTSD adalah SSRI, tetapi berbagai antidepresan lain mungkin juga

bermanfaat. Menanggapi farmakoterapi terjadi sangat bertahap, memakan

waktu 8 hingga 12 minggu atau lebih lama (Alldredge, B.K, 2013)


Respons parsial pada 12 minggu pengobatan dapat diikuti dengan
remisi penuh setelah beberapa bulan terapi lagi. Kurangnya perbaikan
setelah 4 minggu terapi menunjukkan nonrespons, jadi alternatif strategi
pengobatan harus dicoba dalam kasus ini. Perawatan dini selama 3 bulan
pertama setelah trauma dapat mencegah pengembangan PTSD kronis
(Alldredge, B.K, 2013)

1. Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor (SSRI)

Sertraline dan paroxetine saat ini adalah satu-satunya SSRI yang

disetujui FDA untuk PTSD. Studi menunjukkan bahwa kedua obat tersebut

efektif dan lebih unggul daripada plasebo dalam mengurangi ketiga

kelompok gejala PTSD. Pengobatan tersebut juga memiliki manfaat efek

pada depresi dan gejala kecemasan umum dan berperngaruh pada

peningkatan kualitas hidup. TCA dan MAOI juga bisa efektif, tetapi efek

sampingnya bisa bermasalah. Sertraline disetujui untuk manajemen jangka


panjang. Antiadrenergik dan antipsikotik atipikal dapat digunakan sebagai

agen tambahan. Penggunaan jangka panjang SSRI (9-12 bulan) efektif

untuk mencegah kekambuhan (Dipiro, 2016).

Dalam percobaan 12 minggu membandingkan venlafaxine XR dan

sertraline, venlafaxine XR adalah efektif dalam mengurangi kelompok

penghindaran/mati rasa dan hyperarousal, sedangkan sertraline

meningkatkan semua gejala PTSD. Jika tidak ada perbaikan pada respons

stres akut 3 hingga 4 minggu berikutnya, trauma SSRI harus dimulai dalam

dosis rendah dengan titrasi lambat ke atas dosis antidepresan. Delapan

hingga 12 minggu adalah durasi pengobatan yang memadai tentukan

respons. Responden terhadap terapi obat harus melanjutkan pengobatan

setidaknya selama 12 bulan. Untuk menghentikan terapi, obat harus

dikurangi secara bertahap selama 1 bulan atau lebih untuk mengurangi

kemungkinan kambuh (Dipiro, 2016).

Mirtazapine efektif dalam dosis hingga 45 mg / hari dan merupakan agen

lini kedua. Amitriptyline dan imipramine, juga merupakan obat lini kedua.

Phenelzine adalah dianggap sebagai obat lini ketiga (Dipiro, 2016).

2. Antidepresan Lainnya

Beberapa penelitian dan laporan kasus menyarankan nefazodone,

mirtazapine, dan bupropion efektif dalam mengobati gejala inti dari PTSD.

Meskipun begitu, bukti pendukung untuk antidepresan ini tidak sekuat

sertraline dan paroxetine. Amitriptyline dan imipramine TCA dan MAOI

phenelzine juga terbukti efektif untuk PTSD dalam uji coba terkontrol, tetapi

pengobatan ini umumnya tidak dianjurkan karena profil toleransi dan

keselamatan yang buruk (Alldredge, B.K, 2013).


3. Agen Lainnya

Berbagai obat lain telah berhasil digunakan secara terbatas jumlah

kasus PTSD. Antikonvulsan carbamazepine, valproate, topiramate,

tiagabine, gabapentin, oxcarbazepine, vigabatrin, pregabalin, levetiracetam,

dan lamotrigine telah diteliti dengan hasil yang tidak konsisten. Agen ini

mungkin efektif pada pasien tertentu dan bisa bermanfaat untuk

mengurangi mudah marah, dan impulsif. Antikonvulsan juga efektif untuk

gejala intrusi, dan hyperarousal (Alldredge, B.K, 2013).

Agen antipsikotik atipikal (risperidone, clozapine, olanzapine) telah

digunakan secara efektif untuk mengobati psikotik terkait PTSD gejala dan

gangguan tidur. Namun, tampaknya obat obat tersebut tidak bermanfaat

untuk mengobati gejala PTSD inti, kecuali sebagai strategi augmentasi,

meskipun hasilnya dalam hal ini tidak konsisten (Alldredge, B.K, 2013).

Antagonis adrenergik, prazosin, dilaporkan mengurangi mimpi buruk,

menambah waktu tidur, dan mengurangi gejala inti lainnya pada pasien

dengan PTSD (Alldredge, B.K, 2013).

II.2.5 Pengobatan Nonfarmakologi

Para terapis percaya bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat

digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD, yaitu: anxiety

management, cognitive therapy, exposure therapy. Pada anxiety

management, terapis akan mengajarkan beberapa ketrampilan untuk

membantu mengatasi gejala PTSD dengan lebih baik melalui (Hatta K,

2016):

1. Relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan

secara sistematis dan merelaksasikan kelompok otot -otot utama.


2. Breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara

perlahan -lahan, santai dan menghindari bernafas dengan tergesa -

gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan reaksi fisik

yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala.

3. Positive thinking dan selftalk, iaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran

negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal –

hal yang membuat stress (stresor).

4. Assertiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan

harapan, opini dan emosi.

5. Thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika

kita sedang memikirkan hal-hal yang membuat kita stress.

Dalam cognitive therapy, terapis membantu untuk merubah

kepercayaan yang tidak rasional yang mengganggu emosi dan

mengganggu aktifitas (Hatta K, 2016).

Terapi exposure therapy para terapis membantu menghadapi situasi

yang khusus, orang lain, objek, memori atau emosi yang mengingatkan

pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam

kehidupannya. Terapi dapat berjalan dengan cara exposure in the

imagination, yaitu bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara

detail sampai tidak mengalami hambatan menceritakan atau exposure in

reality, yaitu membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi

ingin dihindari karena menyebabkan ketakutan yang sangat kuat (misal:

kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah). Ketakutan

bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding

berusaha melupakannya. Pengulangan situasi disertai penyadaran yang


berulang akan membantu menyadari situasi lampau yang menakutkan tidak

lagi berbahaya dan dapat diatasi (Hatta K, 2016).

II.3 Masalah Pengobatan Pada Pasien Trauma

II.3.1 Kepatuhan Pasien

Kepatuhan adalah salah satu komponen penting dalam pengobatan,

terlebih lagi pada terapi jangka panjang pada penyakit kronis dan penyakit

yang berhubungan langsung dengan sistem saraf pusat, kepatuhan

menggunakan obat berperan sangat penting terhadap keberhasilan terapi.

Adapun ketidakpatuhan minum obat dapat dilihat terkait dengan dosis, cara

minum obat, waktu minum obat dan periode minum obat yang tidak sesuai

dengan aturan. Jenis-jenis ketidakpatuhan meliputi ketidakpatuhan yang

disengaja (intentional non compliance) dan ketidakpatuhan yang tidak

disengaja (unintentional non compliance). Kepatuhan yang disengaja

disebabkan karena keterbatasan biaya pengobatan, sikap apatis pasien,

dan ketidakpercayaan pasien akan efektivitas obat. Ketidakpatuhan yang

tidak disengaja Karena pasien lupa minum obat, ketidakpatuhan akan

petunjuk pengobatan, dan kesalahan dalam hal pembacaan etiket. (Noor

Siti, 2012)

Aspek-aspek kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat dapat

diketahui dari metode yang digunakan untuk mengukurnya. Berikut ini

beberapa metode untuk mengukur kepatuhan dalam mengkonsumsi obat

(Horne, 2006).

Metode Kekuatan Kelemahan


a. Metode Langsung
Observasi Paling akurat Pasien dapat
langsung menyembunyikan pil
dalam mulut, kemudian
membuangnya, kurang
praktis untuk penggunaan
rutin
Mengukur tingkat Objektif Variasi-variasi dalam
metabolisme dalam metabolisme bisa
tubuh membuat impresi yang
salah, mahal
Mengukur aspek Objektif, dalam Memerlukan perhitungan
biologis dalam penelitian klinis, dapat kuantitatif yang mahal
darah juga digunakan untuk
mengukur plasebo
b. Metode Tidak Langsung
Kuisioner kepada Simple, tidak mahal. Sangat mudah terjadi
pasien/ pelaporan Paling banyak dipakai kesalahan, dalam waktu
diri pasien dalam setting klinis antar kunjungan dapat
terjadi distorsi
Jumlah pil/obat Objektif, kuantitatif dan Data dengan mudah
yang dikonsumsi mudah untuk dilakukan dapat diselewengkan
oleh pasien
Rate beli ulang Objektif, mudah untuk Kurang ekuivalen dengan
resep (kontunuitas) menngumpulkan data perilaku minum obat,
memerlukan sistem
farmasi yang lebih
tertutup
Assesment Simple, umumnya Faktor-faktor lain selain
terhadap respon mudah digunakan pengobatan tidak dapat
klinis pasien dikendalikan
Monitoring Sangat akurat, hasil mahal
pengobatan secara mudah dikuantifikasi,
elektronik pola minum obat dapat
diketahui
Mengukur ciri-ciri Sering mudah untuk Ciri-ciri fisiologis mungkin
fisiologis (misal dilakukan tidak nampak karena
detak jantung) alasan-alasan tertentu
Catatan harian Membantu untuk Sangat mudah
pasien mengoreksi ingatan dipengaruhi kondisi
yang rendah pasien
Kuisioner terhadap Simple, objektif Terjadi distorsi
orang terdekat
pasien
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa untuk mengukur

kepatuhan sebagai perilaku, aspek-aspek yang diukur sangat tergantung

pada metode yang digunakan, seperti frekuensi, jumlah pil/obat lain,

kontinuitas, metabolisme dalam tubuh, aspek biologis dalam darah serta

perubahan fisiologis dalam tubuh.

Beberapa dampak ketidakpatuhan pasien dalam mengonsumsi obat

antara lain yaitu : terjadinya efek samping obat yang dapat merugikan

kesehatan pasien, membengkaknya biaya pengobatan dan rumah sakit.

Selain hal tersebut, pasien juga dapat mengalami resistensi terhadap obat

tertentu. (Noor Siti, 2012).

Menurut Psychopharmacology Algorithm Program (IPAP) 2011 bahwa

tingkat ketidakpatuhan pasien terhadap pengobatan antidepresi dapat

mencapai 50% dalam 3 bulan, hal ini menunjukkan bahwa pasien (orang

dewasa, sekunder pada infark miokardial dan anak-anak, sekunder pada

transplantasi hati) dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD)

mempunyai tingkat ketidakpatuhan yang tinggi. Jika tidak ada respons,

dokter perlu mempertimbangkan apakah ketidakpatuhan yang merupakan

akar permasalahannya. Beberapa pesan pendidikan berikut ini terbukti

dapat menolong pasien untuk patuh dalam Post Traumatic Stress Disorder

(PTSD):

1. Minum obat setiap hari sesuai aturan pakai yang diberikan

2. Antidepresan harus diminum selama 4-6 minggu agar hasilnya dapat

terlihat

3. Melanjutkan pemakaian obat sekalipun pasien sudah merasa lebih

baik.
4. Jangan berhenti mengonsumsi antidepresan tanpa konsultasi dengan

dokter.

5. Ada petunjuk khusus mengenai apa yang harus dilakukan untuk

menjawab pertanyaan mengenai pengobatan.

6. Menjadwalkan kegiatan yang menyenangkan bagi pasien. Namun,

masalah khas PTSD perlu juga dipertimbangkan, seperti keengganan

pasien untuk diobati, menyalahkan trauma yang tidak diharapkan

sebagai penyebab penderitaannya.

II.3.2 Farmakokinetik dan farmakodinamik trauma

Trauma terbagi atas dua, ada trauma fisik dan trauma psikis. Pada

kondisi trauma fisik akan ada perubahan farmakokinetik dan

farmakodinamik, ini dipengaruhi oleh adanya perubahan fisiologi tubuh

pasien. Sebagai contoh farmakokinetik dari trauma luka bakar yaitu (1)

Setelah trauma luka bakar pada pasien dapat mengembangkan sindrom

respon inflamasi sistemik (SIRS) yang menyebabkan perubahan

hemodinamik. klirens obat berkurang karena hiporperfusi organ yang

disebabkan oleh gangguan makro dan mikrosirkulasi. Pada fase

hipermetabolik yang mengikuti, klirens obat-obatan meningkat. (2) Pada

luka bakar > 20% permukaan tubuh, insiden kebocoran kapiler dan

kehilangan protein tinggi melalui luka dan masuk ke interstitium meningkat.

Perubahan dalam kandungan protein dan tidak terikat protein. Itulah alasan

mengapa efek obat-obatan dengan ikatan protein tinggi (mis.

Benzodiazepin) sulit dikelola. (3) Selama manajemen luka bakar parah,

total air tubuh meningkat dan volume distribusi sejumlah obat-obatan

meningkat. Terutama pada pasien perawatan intensif, perubahan volume


dapat mencapai beberapa liter, yang dapat menyebabkan redistribusi zat

aktif ke ruang ekstraseluler dalam beberapa jam. Pada ekstraseluler obat-

obatan tidak lagi efektif. Perubahan obat ini tidak tidak boleh disamakan

dengan perubahan farmakodinamik obat. (4) Pada trauma luka bakar

sejumlah besar obat-obatan hilang melalui permukaan luka (Jeschke dkk,

2012).

Adapun trauma psikis, perubahan farmakokinetik dan

farmakodinamiknya belum diketahui pasti adanya. Namun yang lebih

diperhatikan adalah perilaku pasien dalam mengonsumsi obat yang

diberikan dalam jangka waktu yang cukup panjang.

BAB III

PEMBAHASAN

III.1 STUDI KASUS

Seorang pasien bernama Ny. MT umur 33 tahun masuk rumah sakit

karena baru saja mengalami musibah kebakaran. Ketika pasien sadar,


pasien histeris karena mengingat kejadian yang menimpanya serta pasien

juga diselimuti rasa kehilangan bayinya akibat musibah kebakaran yang

telah menewaskan putrinya.Ny. MT merasa terpukul dan bersalah.Setelah

keluar dari rumah sakit, perilaku Ny. MT mulai berubah. Setiap melihat

bekas luka ditangannya, ingatan kejadian itu Terbayang dipikirannya.

Pasien sering merasa takut, cemas, tidak tenang, dan emosi yang tidak

stabil. Bahkan sebulan setelah kejadian itu, kondisinya tidak berubah.Selain

itu, ia sering mengalami mimpi buruk dan terbangun di malam hari. Hal ini

membuat suaminya memutuskan untuk membawa Ny. MT ke dokter. Dari

hasil pemeriksan pasien didiagnosa menderita post traumatic stress

disorder (PTSD).

III.1.1 Profil Penyakit

a. Riwayat Pengobatan

NAMA OBAT DOSIS ATURAN PAKAI


Ibuprofen 400 mg 3x1
Silver Sulfadiazine 35gram/tube 2x1

b. Profil Pengobatan

Berdasarkan pengontrolan pasien, maka diperoleh profil pengobatan

yang dapat dilihat pada tabel berikut:

NAMA OBAT DOSIS ATURAN PAKAI


Sertraline (SSRI) 50 mg 1x1
Prazosine 1 mg 1x1 (malam)

III.2 KERASIONALAN OBAT

III.2.1 Prazosin

a. Indikasi
Prazosin adalah obat golongan alfa 1 adrenergik yang digunakan untuk

terapi PTSD (post traumatic stress disorder); Kecemasan; atau

mengalami sulit tidur (Insomnia)

b. Dosis dan rute

Rute pemberian secara oral. Dewasa: 1 mg pada pemberian dosis

pertama sehari sekali diminum pada malam hari. Disertai dengan

pengontrolan selama 3-4 minggu. Dosis dapat ditingkatkan menjadi

penggunaan 2 kali sehari yaitu 1 mg pada pagi hari dan 1 mg pada

malam hari.

c. Efek samping

Efek samping yang ditimbulkan dari penggunan obat tersebut yaitu

Hipotensi artostatik, pusing, sakit kepala, palipitasi, mual muntah, edem

perifer, impotensi

d. Kontra indikasi

Prazosin dikontraindikasikan dengan pasien yang mengalami alergi

terhadap golongan quinazolone. Prazosin tidak direkomendasikan

untuk pasien gagal jantung dengan obstruksi mekanik.

e. Interaksi Obat

Pasien yang mengonsumsi amitriptyline dan chlorpromazine dapat

menyebabkan peningkatan agitasi akut ketika Prazosin diberikan.

Selain itu, penggunaan obat antidepresan dan antipsikotik lain

bersamaan dengan Prazosin akan menyebabkan peningkatan efek

hipotensi dari Prazosin.

f. Farmakokinetik
Prazosin diabsorbsi di saluran gastrointestinal dengan konsentrasi

plasma puncak terjadi 1-3 jam setelah pemberian dosis oral. Ikatan

dengan protein plasma sekitar 80-85%. Durasi sekitar 6-12jam.

Bioavabilitas prazosin sekitar 68±17% dan pada usia tua 48 ± 16%,

makanan bisa menunda penyerapan tetapi tidak mempengaruhi tingkat

penyerapan. Pada orang tua Vd prasozin 0.63 ± 0.14L/kg dan Cl 0.24

±0.04 L/hr/kg. Prazosin di metabolisme dihati dan disekresikan sebagai

metabolit, lalu diekskresikan melalui ginjal namun sekitar 5-11%

Prazosin tidak dimetabolisme akan keluar pada feses melalui empedu.

g. Farmakodinamik

Prazosin adalah obat golongan 1-adrenoseptor blocker yang digunakan

sebagai agen antihipertensi dan mengobati gejala hipertrofi prostat

jinak. Sebagai antihipertensi, Prazosin menghalangi kerja norepinefrin

pada reseptor dan pada otot polos pembuluh darah. Aktivitas 1-

adrenergic dikaitkan dengan rasa takut dan respon reflex, Prazosin

sebagai 1-adrenoseptor blocker berpotensi dapat digunakan untuk

terapi PTSD. Contohnya, Prazosin dapat mengobati urinary hesitancy

pada hipertrofi prostat karena reseptor alfa dapat mengendalikan

penyempitan prostat dan ureter. Pada PTSD, diamati terdapat ganguan

hipernoradrenergik yang terjadi, ditunjukkan dari gejala Gangguan tidur

dan mimpi buruk. Sebagai alfa-blocker, Prazosin dapat mengurangi

abnormalitas dari aktivitas hiperadrenergik pada pasien PTSD dengan

kemampuan Prazosin yang dapat melewati sawar darah otak karena

berbentuk molekul lipofilik.

h. Kerasionalan
Penggunaan obat pada kasus ini untuk mengatasi insomnia akibat

gejala dari PTSD (post traumatic stress disorder), pemberian melalui

oral dengan dosis 1 mg pada pemberian awal yang selanjutnya

dilakukan pengontrolan selama 3 -4 minggu dianggap sudah rasional.

III.2.2 Sertraline / Golongan SSRI (Selective Serotonin Re-Uptake

Inhibitor)

a. Indikasi

Gangguan depresi mayor. Gangguan panik. Obsessive-compulsive

disorder (OCD). Gangguan stres pasca-trauma (PTSD). Gangguan

kecemasan sosial (fobia sosial). Premenstrual dysphoric disorder

(PMDD).

b. Dosis

Dosis awal sertraline adalah 25 mg diberikan sekali sehari, dengan

peningkatan hingga 50 mg / hari setelah 1 minggu. Dosis dapat

ditingkatkan dalam interval mingguan hingga 50 mg / hari hingga dosis

maksimum 200 mg / hari. Kewaspadaan diet harus diikuti dan interaksi

obat dengan hati-hati dihindari untuk mencegah krisis hipertensi.

(Dipiro. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, Sixth Edition.

2005.)

c. Efek Samping

Yang umum terjadi yaitu mual, gelisah, gangguan seksual: kekurangan

libido dan impotensi pada pria, dan insomnia. Efek samping lain yang

jarang terjadi yaitu diare, tremor, mulut kering, mengantuk, kehilangan

nafsu makan, dan sakit kepala.


d. Kontraindikasi / Tindakan Pencegahan

Hipersensitivitas; Penggunaan bersamaan dari inhibitor MAO atau obat-

obatan seperti MAO (linezolid atau metilen biru); Penggunaan pimozide

secara bersamaan; Konsentrat oral mengandung alkohol; hindari pada

pasien dengan intoleransi yang diketahui. (Charles D. Ciccone. 2013.

Davis’s Drug Guide For Rehabilitation Profesionals. : New york)

e. Farmakokinetik

Sertraline memiliki bioavailabilitas oral 36%, dan, ketika dikonsumsi

bersama makanan, konsentrasi serum puncak dan bioavailabilitas

meningkat 30-40%. Konsentrasi serum puncak dicapai dalam 6-8 jam.

Konsentrasi sertraline dalam ASI adalah yang terendah dari SSRI dan

menghasilkan kadar serum minimal pada bayi yang disusui. Metabolit

utamanya adalah N-desmethylsertraline, yang memiliki aktivitas 5-10

kali lebih sedikit daripada sertraline sebagai SSRI dan tidak memiliki

aktivitas antidepresan yang terbukti. Cl menurun hingga 40% pada

lansia. Waktu paruh keadaan mantap adalah 27 jam.

f. Farmakodinamik

Sertraline adalah turunan naphthylamine yang berpotensi dan secara

selektif menghambat penyerapan serotonin (5-hydroxytryptamine; 5-

HT) baik secara in vitro dan model hewan ex vivo (Doogan & Caillard

1988; Heym & Koe 1988; Leonard 1988). inhibitor reuptake serotonin

lainnya termasuk fluvoxamine, fluoxetine, paroxetine dan citalopram.


Gejala depresi timbul karena defisiensi sentral dari salah satu

atau keduanya neurotransmitter serotonin dan noradrenalin

(norepinefrin). Dengan menghambat mekanisme transpor aktif untuk

reuptake serotonin, sertraline meningkatkan konsentrasi serotonin pada

celah sinaptik dan memperpanjang aktivitasnya di reseptor postsinaptik,

penghambatan reuptake menyebabkan berkurangnya pergantian

serotonin. Sehingga kondisi inlah yang disebut sebagai aktivitas

sertraline sebagai antidepresan.

III.2.3 Masalah pengobatan PTSD

 Pemeliharaan dan Penghentian

Pasien dengan PTSD yang merespons farmakoterapi harus

melanjutkan pengobatan setidaknya selama 12 bulan. Jika gejala

residu menetap, terapi obat harus dilanjutkan setidaknya selama 24

bulan. Keputusan tentang kapan menghentikan terapi didasarkan pada

respons terhadap terapi, adanya tekanan yang berkelanjutan, dan efek

samping. Pasien harus yakin dalam rencana penghentian dan

membutuhkan dukungan ekstra selama proses. Terapi obat harus

ditarik dan dikurangi secara bertahap selama minimal 1 bulan untuk

mengurangi potensi kambuh.

 Peran apoteker

Sebagai apoteker memberitahu bahwa ptsd dapat disembuhkan

Kurang lebih 65% penderita menerima terapi antidepresan memberikan

respon yang bermanfaat. Efek perbaikan akan tampak biasanya 2-3

minggu.
Target pengobatan adalah menjadi sehat kembali (100%) dan

mempertahankan tetap sehat. Memberikan informasi bahwa Sebagian

besar penderita yang menerima antidepresan akan mengalami efek

samping pada permulaan terapi Umumnya efek samping yang timbul itu

tidak berbahaya dan biasanya akan menghilang dalam waktu 7-10 hari.

Antidepresan sebaiknya diminum pada waktu yang sama setiap hari

Hal ini mempermudah untuk mengingat kapan harus minum obat dan

juga meminimalkan efek samping.

Positive thinking dan selftalk, iaitu belajar untuk menghilang-kan

pikiran negatif dan mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi

hal –hal yang membuat stress (stresor).

Memberikan dukungan secara moral di lingkungan dan keluarga

sedekat agar gejala dari ptsd dapat dihindari sehingga pemakaian obat

dapat dikurangi seiringi kesembuhan pasien.

Departemen Urusan Veteran AS mendefinisikan gangguan stres

pascatrauma (PTSD) sebagai “pengembangan karakteristik dan gejala

persisten setelah terpapar pengalaman yang mengancam jiwa atau

peristiwa yang melibatkan ancaman terhadap nyawa atau cedera

serius. . ”1 Pasien dengan PTSD biasanya datang untuk perawatan

primer dengan gejala somatik dan / atau psikologis yang tidak

dijelaskan, termasuk gangguan tidur, keringat malam, kelelahan, dan

kesulitan dengan memori atau konsentrasi . PTSD terdiri dari tiga

bagian gejala utama:


1. Mengalami kembali. Peristiwa traumatis terus-menerus dialami kembali

melalui ingatan trauma yang berulang dan mengganggu melalui mimpi-

mimpi menyedihkan yang berulang dari peristiwa tersebut. Pasien juga

dapat bertindak atau merasa seolah-olah peristiwa traumatis itu

berulang dan mungkin mengalami tekanan psikologis yang intens ketika

terkena pengingat trauma.

2. Penghindaran. Pasien terus menerus berusaha untuk menghindari

rangsangan yang terkait dengan peristiwa traumatis. Ini dapat

mencakup menghindari pikiran, perasaan, atau percakapan yang terkait

dengan trauma dan menghindari orang, kegiatan, dan tempat-tempat

yang membangkitkan ingatan trauma.

3. Peningkatan gairah. Pasien mungkin mengalami kesulitan jatuh atau

tertidur dan sulit berkonsentrasi. Mereka juga dapat menunjukkan

iritabilitas dengan ledakan amarah dan mungkin menunjukkan

kewaspadaan berlebihan dan respon mengejutkan yang berlebihan.

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari pengobatan yang diberikan pada pasien

IV.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA

Alldredge, B.K., Corelli, R.L., Ernst, M.E., Guglielmo, B.J., Jacobson,


P.A.,Kradjan, W.A., 2013, Koda-Kimble & Young’s Applied
Therapeutics The Clinical Use of Drugs, 10th ed., Lippincott Williams &
wilkins, Pennsylvania, United States of America

Anderson, Philp O. 2002. Handbook of Clinical Drug Data 10 th Edition. New


York
Ashley, Caroline. 2009. The Renal Drug Handbook Third Edition. Oxford,
New York

Beaulieu dkk, 2011. Psychopharmacology Algorithm Program (IPAP).


Harvard South

Cavanagh.M. (1982) The caunseling Experience: A Theoritical and


Practical Approach. Monterey: Book/Cole Publishing Campany
Charles D. Ciccone. 2013. Davis’s Drug Guide For Rehabilitation
Profesionals. : New york

David Murdoch and Donna McTavish. Sertraline: A Review of its


Pharmacodynamic and Pharmacokinetic Properties, and
Therapeutic Potential in Depression and Obsessive-Compulsive
Disorder. Aukland: New Zealand

Dipiro.JT., Well, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, CV., 2009,


Pharmacoterapy Handbook 7th Edition, The Mc Graw Hill, Companies,
inc, United States.

Dipiro.JT., Well, B.G., Schwinghammer, T.L., Dipiro, CV., 2016,


Pharmacoterapy Handbook 10th Edition, The Mc Graw Hill, Companies,
inc, United States.

Hatta, K. (2016). Trauma dan Pemulihannya. Dakwah Ar-Raniry Press:


Banda Aceh

Hasbi, M. (2010). Trauma Abdomen. e-ISSN: 2656-3193. Jurnal FK Undip:


Semarang.

Jeschke Marc. G., Kamolz Lars-Peter, Sjoberg Folke, Wolf Steven E., 2012.
Handbook of Burns Volume 1: Acute Burn Care. Jung Crossmedia
Publishing GmbH. Germany

Noor Siti F, 2012. Kepatuhan Pasien Yang Menderita Penyakit Kronis


Dalam Mengonsumsi Obat Harian. Fakultas Psikologi Unversitas Mercu
Buana Yogyakarta

Muchid abdul. 2007. Pharmaceutical Care Untuk Penderita Gangguan


Depresif.Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik. Ditjen Bina
Kefarmasian Dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan Ri. Jakarta.

Stredling, G & Scott, J. (2001). Counseling for Post Traumatik Stress


Dissorder. London: Sage Publications

Shapiro, F (1999) Eye Movement Desensitisation and Reprocessing: Basis


principle, Protocol and Procedres, New York: Guilford Press
Wells, G Barbara, dkk. 2017.Pharmacotherapy Handbook Tenth Edition.
Chicago, New York

Anda mungkin juga menyukai