Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sejarah Ulat Sutera Liar dan Jenis-Jenis yang Berpotensi

Jenis ulat sutera liar di dunia ini banyak sekali jumlahnya, yang tercatat hingga

kini meliputi 205 jenis, 8 Genus, dan 2 Famili dari Ordo Lepidoptera (FAO, 1979 ;

Peigler, 1989). Jenis-jenis ulat sutera liar tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai

berikut :

1. Ulat Sutera Tasar dari Genus Antheraea (Lepidoptera : Saturniidae)

Genus ini menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Antheraea

mylitta, A. daeamensia, A. knyvetti, A. compta, A. frithii, A. halferi, A. roylei, A.

sivalica, A. andamana, A. pernyi, A. yamamai, A. pasteuri, A. raffrayi, A. jana, A.

cemperi, A. cordifolia, A. pritti, A. imperator, A. brunea, A. billitonensis, A. larissa, A.

ridleyi, A. prelarissa, A. surakarta, A. mylittoides, A. delegata, A. fickei, A. pristina, A.

sciron, A. harti, A. .gephyra, A. rumphi, A. eucalypti, A. larissoides, A. polyphemus, A.

fasciata, A. versicolor, A. pulohra, A. ochripiota, A.. fraterna, A. oingalesa, A. celebensis,

A. buruensis, A. subcaeca, A. fusca, A. minahassae, A. sumatrana,A. borneensis, A.

korintjina, A. perrotetti, A. yongei, A. ineularie, A. javanensis, A. hazina, A. calida, A.

olivescens dan A. platessa. Selain ulat sutera tasar dari genus Antheraea ini dihasilkan

juga sutera muga yang dihasilkan oleh ulat sutera jenis Antheraea assamensis (Peigler,

1989 dan Mulyana, 2003).

2. Ulat Sutera Eri dari genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae)

Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Philosamia cynthia, P.

ricini, P. lunuloides, P. obscura, P. canningii, P. walkeri, P. pryeri, P. fluva, P. insularis,

7
P. vaneeckei, P. vanderberghi, P. luzonica, P. tetrica, P. borneensis, P. ceramensis, P.

mindanaensis dan P. advena.

3. Ulat Sutera Fagara genus Attacus (Lepidoptera : Saturniidae)

Menurut Peigler (1989) dan FAO (1979) ulat sutera liar ini terdiri dari : Attacus atlas,

A. standingeri, A. crameri, A. erdwarsi, A. dohertyi, A. taprobansis, A. macmulleri, A.

simalurana, A. erebus, A. gladiator, A. lorquinii, A. caesar dan A. temperator.

4. Ulat sutera Anaphe (Lepidoptera : Notodontiidae)

Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) ulat sutera liar ini terdiri dari Anaphe

infracta, A. venata, A. moloney, A. panda, A. reticulat dan A. carteri .

5. Ulat Sutera Spider dari genus Nephila (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu

Nephila madagascarensi (FAO, 1979).

6. Ulat Sutera Coan Genus Pachypasa (Lepidoptera : Notodontiidae). Terdiri dari

Pachypasa otus dan Pachypasa lineosa (FAO, 1979).

7. Ulat sutera Mussel Genus Pinna (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Pinna squamosa

(FAO, 1979).

8. Ulat sutera dari genus Actias (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Actias maenus

(Atrmosoedarjo, 2000).

Dari jenis-jenis ulat sutera liar yang disebutkan di atas, beberapa negara telah

memelihara dan memiliki potensi besar sebagai produk benang sutera yang dapat di

ekspor oleh negara pengembangnya yaitu ulat sutera tasar Antheraea mylitta

(Lepidoptera : saturniidae), ulat sutera muga A. assamensis (Lepidoptera : Saturniidae)

dan A. proylei (Lepidoptera : saturniidae) di India, Antheraea pernyi (Lepidoptera :

saturniidae) di Cina , Antheraea yamami (Lepidoptera : Saturniidae) di Jepang, ulat sutera

8
fagara Attacus atlas (Lepidoptera : saturniidae) dan Cricula trifenesterata (Lepidoptera :

Saturniidae) di Indonesia dan ulat sutera eri Philosamia cyntia ricini (Lepidoptera :

Saturniidae) di Cina dan Jepang (FAO, 1979; Peigler, 1989; Situmorang, 1996; Mulyana,

2003).

Berdasarkan bukti sejarah, ulat sutera liar Attacus atlas sudah lama dikembangkan

dalam bentuk budidaya di India. Akan tetapi ulat sutera liar ini tidak lagi dikembangkan.

Seorang ahli dari Jepang yang bernama Genggo Nakajima telah memelihara dan meneliti

kualitas dan produktivitas dari sutera liar Attacus atlas di Yogyakarta, mengungkapkan

bahwa ternyata sutera Attacus atlas yang dicoba di Indonesia kualitasnya jauh lebih

bagus bila dibandingkan dengan India yang sudah lebih dahulu membudidayakan ulat ini,

karena iklim negara Indonesia lebih mendukung untuk pengembangan ulat sutera liar ini.

Tentu saja merupakan kabar gembira karena ada kaitannya dengan permintaan pasar yang

cukup menantang. Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar Attacus atlas sering

disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang

besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh,

2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari dan Wonogiri

(Jawa Tengah), ngengat dari Attacus atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama

(Situmorang, 1996).

2.2. Potensi Sutera Liar di Indonesia

Menurut Kalshoven (1981) dan Peigler (1989) ulat sutera liar di Indonesia

terdapat 15 jenis, 5 genus (Attacus, Cricula, Philosamia, Antheraea dan Actias) dan satu

famili (Saturniidae) dari Ordo lepidoptera. Genus Attacus (Lepidoptera : Saturniidae)

9
terdiri dari 8 spesies yaitu : A. atlas, A. cremeri, A. erebus, A. paraliae, A. dohertyi,

Attacus inopinatus, Attacus aurentiacus, Attacus intermedius. Dari genus Cricula

(Lepidoptera : Saturniidae) terdiri dari 2 spesies yaitu, Cricula trifenesterata dan Cricula

aleazea. Genus Philosamia (Lepidoptera : Saturniidae) satu spesies yaitu Philosamia

cyntia ricini, Genus Antheraea terdiri dari 3 spesies yaitu Antherea pernyi (Lepidoptera :

Saturniidae), Antherea halferi (Lepidoptera : Saturniidae), dan Antherea roseeri

(Lepidoptera : Saturniidae). Genus Actias satu spesies yaitu Actias maenus. Diantara 15

jenis ulat sutera liar yang ada di Indonesia ini telah dipelihara dan eksplorasi adalah ulat

sutera liar Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) dan Cricula trifenesterata

(Lepidoptera : Saturniidae). Daerah yang telah memelihara dan mengeksplorasi ulat

sutera liar ini yaitu Yogyakarta, Temanggung, Wonogiri, Wonosari (Jawa tengah),

Purwakarta, Garut (Jawa Barat) (Situmorang, 1996 ; Saleh, 2000).

Tak dimungkiri jika sutera merupakan bahan utama bagi dunia mode, bukan saja

karena nilai eksklusifnya namun lebih dari itu bahannya dipercaya sangat elegan sebagai

rancangan adibusana. Busana sutera liar menjadi hand mode yang bernilai ekonomi

tinggi, lebih nyaman dipakai dan lebih bagus jahitannya. Temuan baru berupa

kepompong emas yang menghadirkan tekstur spesifik bagi perancang busana untuk

memberi sentuhan, khususnya aksen dekoratif, sulir dan pewarnaan. Dari pewarnaan kain

sutera liar bisa menghasilkan warna yang indah daripada kain jenis lain dan lebih

cemerlang (APPMI, 2004).

Budidaya sutera liar dapat memberikan lapangan kerja dalam jumlah besar

mengingat banyaknya komoditi olahan yang dapat diproduksi dari bahan sutera liar.

Industri ini ramah lingkungan, tidak merusak sumberdaya alam dan dapat

10
melestarikannya. Menghasilkan bahan baku bagi industri lain, misalnya industri tenun,

batik, kecantikan, makanan, obat-obatan dan industri kerajinan tangan. Industri ini dapat

dipanen dalam waktu yang singkat, menambah penghasilan dari sektor hasil hutan non

kayu, menghilangkan penjarahan dan pengundulan hutan, produknya halus, lembut, tidak

kusut, sejuk, anti alergi dan anti bakteri. Cendera mata sutera liar mudah dikerjakan,

beragam corak, unik dan warnanya alami (Moerdoko, 2004).

Sutera liar Attacus atlas yang dipelihara di Indonesia kualitasnya jauh lebih bagus

bila dibandingkan dengan India yang lebih dulu memelihara ulat sutera ini. Benang sutera

Attacus atlas panjang benang bisa mencapai 2.500 meter/kokon, bobot badan ulat sutera

Attacus atlas 20 kali lebih besar dari ulat sutera Bombyx mori . Bahan kain sutera liar

Attacus atlas banyak diminati dari luar negeri, terutama dari Jepang untuk kain kimono

para Sumosan (atlet sumo), benang sutera mentahnya laku dibayar dengan harga Rp

400.000 /Kg (Saleh, 2000).

Kebutuhan pasar dunia sutera cukup menantang, menurut International Silk

Association (ISA, 2000). Negara konsumen terbesar adalah Cina 447.261 ton, Jepang

34.780 ton, Eropa 13.342 ton, India 126.94 ton, Iran 4.600 ton, Indonesia 639 ton.

Namun dari sejumlah kebutuhan itu, sampai sejauh ini hanya tercukupi 10 persen saja

(ISA, 1990; Saleh, 2000). Kebutuhan pasar Internasional cukup banyak, sementara bahan

baku yang tersedia tidak mencukupi. Data negara-negara yang membutuhkan kokon,

pupa dan benang mentah untuk produksi olahannya disajikan pada Tabel 1.

11
Tabel 1. Negara-Negara Pengguna Hasil Olahan Ulat Sutera Liar Attacus atlas

No Negara Konsumen Kebutuhan Penggunaan

1 Timur tengah (Persia, Benang Bahan pembuat karpet, tas, sajadah,

Libanon, Iran, Yaman kain sarung selendang

2 India (Bangalore & Pupa & Makanan dan Pakaian

Karmantaka) Benang

3 Amerika Benang Digital komputer, foto, dasi,

pakaian, vescose & benang polyester

4 Perancis Benang Pakaian & seni

5 Italia Benang Pakaian & seni

6 Jepang Benang, Kain kimono

kokon

7 Indonesia & Cina Benang, Pakaian, tas, selendang, kembang,

Kokon lukisan,

Sumber : (ISA, 1990; Saleh, 2000)

Serat sutera dari beberapa ulat sutera liar seperti Antheraea, Attacus, dan Cricula

memiliki keunggulan kualitas yang lebih baik dari ulat sutera Bombyx mori, yaitu lebih

lembut, porous, tak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal (alergi) dan

anti bakteri. Berdasarkan sifat tersebut maka serat sutera liar memiliki nilai ekonomi

yang tinggi (Akai, 1997). Produsen kokon sutera dunia seperti Cina, Korea dan Jepang

kini banyak mengimpor kokon sutera dari produsen lain, sehingga menjadi peluang bagi

Indonesia dalam mengembangkan budidaya sutera sutera liar untuk memasok kebutuhan

pasar dunia (Dadang, 1998). Selain itu industri sutera Attacus atlas ini akan turut

12
mengurangi laju urbanisasi ke kota-kota besar. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan

sebagai dasar dalam penelitian dan budidaya ulat sutera liar secara masal, khususnya A.

atlas, sehingga dapat menunjang agroindustri, meningkatkan penghasilan petani dan

menambah perolehan devisa negara (Anonim, 1988).

Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar

belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka proses

budidaya ulat sutera dimasa mendatang tampaknya cerah. Berkembangnya sektor

pariwisata yang antara lain ditandai dengan meningkatnya arus kunjungan wisatawan

asing ternyata memberikan dampak positif terhadap perkembangan industri garmen di

dalam negeri dan diharapkan akan menambah peluang bagi usaha budidaya ulat sutera.

2.3. Klasifikasi Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae).

Kedudukan Attacus atlas dalam klasifikasi menurut Peigler (1989) adalah :

Phylum : Arthropoda

Klas : Insecta

Subklas : Pterygota

Ordo : Lepidoptera

Subordo : Ditrysia

Familia : Saturniidae

Subfamilia : Saturniinae

Genus : Attacus

Species : Attacus atlas (L.)

13
Attacus atlas merupakan jenis ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera.

Ngengat Famili Saturniidae memiliki sayap berwarna menyolok dengan fenestrate

transparan dan bintik seperti mata besar. Bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm.

Larva memiliki tuberkel di bagian dorsal. Pupa terbungkus oleh kokon sutera yang

ukuran dan warnanya bervariasi. Sebagian larva dari anggota familia ini menghasilkan

serat sutera yang kuat dengan tenunan yang panjang, sehingga bisa dimanfaatkan untuk

industri (Peigler, 1989).

2.4. Distribusi dan Penyebaran Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)

Genus Attacus (ngengat atlas) dilaporkan ada 50 jenis, namun yang telah

diproduksi hanya ada 14 jenis (Peigler, 1989), yaitu : Attacus atlas Linnaeus dari Asia

bagian selatan, Asia tenggara dan Asia Timur, Attacus aurantiacus Rothschild dari

Kepulauan Kai (Maluku), Attacus caesar Maassen dari daerah Philipina Selatan, Attacus

crameri Felder dari kepulauan Maluku, Attacus dohertyi Rothschild dari pulau Timor,

Attacus erebus Fruhstor dari pulau Sulawesi, Attacus inopinatus Jurriaanse dari pulau

Flores dan Sumba, Attacus intermedius Jurriaanse dari kepulauan Tanimbar, Attacus

lemairei Peigler dari pulau Pallawan Philipina, Attacus lorquinii dari Philipina, Attacus

mcmulleni Watson dari kepulauan Andaman, Attacus paraliae Peigler dari kepulauan

Banggai di Sulawesi tengah bagian timur, Attacus taprobanis Moore dari Sri Lanka dan

daerah India Selatan dan Attacus wardi Rothschild dari Australia Utara (Peigler, 1989).

Indonesia memiliki 8 spesies yang paling dominan adalah dari jenis Attacus atlas karena

terdapat hampir di semua wilayah Indonesia yaitu di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa

Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Gambar 1). Spesies lainnya yaitu

14
Attacus aurantiacus di Kepulauan Kei (Maluku), Attacus dohertyi di pulau Timor,

Attacus intermedius di kepulauan Tanimbar (Maluku), Attacus inopinatus di Flores dan

Sumba (Nusa tenggara Timur), Attacus crameri (Maluku), Attacus paraliae di kepulauan

Banggai (Sulawesi tengah) dan Attacus erebus di Sulawesi Selatan (Peigler, 1989). Di

pulau Jawa pengembangan Attacus atlas dilakukan di daerah Gunung Kidul dan

Yogyakarta (wilayah daerah istimewa Yogyakarta) dan di daerah Purwakarta dan Bogor

(Jawa Barat).

Gambar 1. Distribusi dan Penyebaran Ulat Sutera Liar Attacus atlas


(lepidoptera : Saturniidae) di dunia (Peigler, 1989)

15
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi dan Mortalitas

Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae)

Kelangsungan hidup dan keberhasilan hidup Attacus atlas mulai dari tahap larva

sampai menjadi imago dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang

mempengaruhi dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu biotik dan faktor abiotik.

2.5.1 Faktor biotik (Tanaman Inang, Parasit, Predator dan Penyakit)

2.5.1.1 Tanaman Inang (host)

Tanaman inang ulat sutera Attacus atlas tercatat paling banyak jenisnya

dibandingkan dengan genus-genus lain penghasil ulat sutera. Peigler (1989), menyatakan

bahwa lebih dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman dapat dimakan

daunnya oleh larva ulat sutera ini, antara lain : tumbuhan asam (Terminalia tomentosa

Oak), kaliki (Ricinus communis), ketela pohon (Manihot utilisima), arjun (Terminalia

arjuna), banj (Q. incana), som (Machilus bombycina), Michelia (Magnolliaceae) dan

Mussaenda (FAO, 1979, Peigler; 1989, Mulyana, 2003).

Attacus atlas khususnya di Yogyakarta, sering dijumpai pada tanaman keben

(Baringtonia asiatica Kurtz.), pancasuda (Thunbergia fragrans Roxb.), kenanga

(Canangium odoratum), rambutan (Nephelium sp.), jambu biji (Psidium guajava L.),

gempol (Nauclea sp.), mahoni (Sweetnia mahagoni Jacq.) dan dadap (Erythrina sp.)

(Situmorang, 1996). Di Kulonprogo diketemukan pada tanaman mahoni (Sweetnia

mahagoni), di daerah Cepu (Jawa Tengah) banyak ditemukan pada tanaman jambu

(Psidium guajava L.) dan sirsak (Annona muricata). Hasil pengamatan di peternakan ulat

16
sutera liar Purwakarta pada bulan Agustus 2004 didapatkan Attacus atlas pada tanaman

mahoni (Sweetnia mahagoni), kunyit (Curcuma domestika), dadap (Erythrina

lithosperma Miq), teh (Camelia sinensis), alpokat (Persea americana Mil), sirsak

(Annona muricata), jambu biji (Psidium guajava), Ylang-ylang (Canangium odoratum)

dan pada tanaman cengkeh (Zingeber purpereum).

Tanaman inang sangat mempengaruhi kondisi ulat sutera maupun hasil suteranya.

Kondisi fisiologis, kualitas kokon, produktivitas telur, serta lamanya siklus

perkembangan dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kualitas pakan juga

mempengaruhi hasil pemeliharaan generasi selanjutnya. Jika kualitas pakan kurang baik,

larva dapat sakit dan apabila kurang gizi akan menghambat pertumbuhan larva, sehingga

sulit untuk memperoleh hasil yang maksimum, meskipun pada tahap berikutnya

diberikan pakan yang lebih baik (Wangsan-Min, 1989).

2.5.1.2. Parasit

Telur Attacus atlas sebagian besar diparasit oleh anggota Famili Chalcidoidea

(Hymenoptera) diantaranya yaitu Anastasus menzeli Ferr, Anastasus colemani Crawford,

Agioemmatus attaci Ferr, Ooencyyrtus major Ferr, Tetrasticus sp. Famili

Ichhneumonidae (Hymenoptera) terdiri dari Xanthopimpla konowi Krieger,

Xanthopimpla brullei Krieger, Xanthopimpla sp, Teronia sp, Enicospilus plicatus Brulle

Serangan oleh Anastasus bisa mencapai 80 % (Peigler, 1989).

Parasit pada larva Attacus atlas diantaranya adalah Familia Tachinidae (Diptera)

Exorista sorbillans Wiedeman dan Blepharia wainwrighti Baronov, Familia Braconidae

(Hymenoptera) misalnya Apanteles dan dari Familia Ichneumonidae (Hymenoptera)

17
seperti Xanthopimpla konowi Kriger, X. brullei, Enicopilus plicatus Brulle dan Theronia

sp. Parasit-parasit ini telah banyak menyerang larva (FAO, 1979 ; Peigler, 1989).

2.5.1.3. Predator

Semua fase kehidupan Attacus atlas, baik fase telur, larva, pupa maupun imago

tidak luput dari serangan predator. Predator seperti berbagai jenis burung, laba-laba,

tawon, semut, cicak, kadal dan anggota vertebrata lain sering memangsa telur, larva

maupun pupa dari Attacus atlas ini (Kalshoven, 1981). Aktivitas predator merupakan

faktor biotik yang sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan serangga. Dalam

populasi Attacus atlas di alam, kompetisi intra dan antar generasi dalam mendapatkan

makanan, perlindungan dan tempat untuk pupasi akan menyebabkan kegagalan pupasi

dan kematian (Kalshoven, 1981 ; Peigler, 1989).

Beberapa golongan predator yang sering dijumpai yaitu tawon jenis Parustewon

collaris (Hymenoptera : Vespidae), belalang sembah (Orthoptera : Mantidae), semut jenis

Solenopsis geminata (Hymenoptera : Formicidae) capung dari ordo Odonata, lalat

perampok dari ordo Diptera, laba-laba jenis Pardosa pseudoannulata (Arachnida :

Lycosidae), Oxyopes javanus (Arachnida : Oxyopidae), Bianor sp (Arachnida :

Salticidae) , Erigone biurca Locket (Arachinida : Araneidae), Solenopsis geminata

(Hymenoptera : Formicidae) dan cicak dari kelas Reptilia (Kalshoven, 1981 ; Peigler,

1989 ).

Predator-predator ini umumnya menyerang telur dan larva Attacus atlas dari

berbagai macam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapang biasanya

diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba, capung dan cicak. Larva

18
dari instar` awal ini diserang dan dimangsa oleh predator karena fisiknya yang masih

cukup lemah, sehingga tingkat mortalitasnya cukup tinggi.

2.5.1.4. Penyakit Ulat Sutera

Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang telur, pupa dan larva ulat sutera

domestik adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa dan

bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu penyakit Grasserie, penyebabnya

adalah Barrolina virus yang menyerang sel-sel larva yang terbentuk di nukleus dari

berbagai organ diikuti rusaknya sel-sel inang. Selain itu terdapat penyakit Cytoplasmic

polyhedrosis virus (CPV) yang disebabkan oleh Smithia virus (Samsijah, 1994).

Penyakit yang disebabkan oleh cendawan yaitu Aspergilus oryzeae dan

Muscardine putih (Beauvenia bassiana). Aspergilus oryzeae masuk melalui kulit, tumbuh

hypha yang berwarna putih menutupi seluruh badan larva yang mati, kemudian tumbuh

pada kayu atau bambu yang digunakan dalam ruangan. Protozoa yang menyebabkan

kerusakan pada ulat sutera adalah Microsporidia yang menimbulkan penyakit pebrin.

Penyebab penyakit pebrin adalah Nosema bombycis. Pebrin ini berkembang biak dengan

spora dan juga membelah diri, sumber utamanya adalah kontaminasi antara makanan

dengan spora, gejalanya adalah keluarnya ngengat dari kokon terlambat, sayap ngengat

tidak lengkap, terdapat ngengat tanpa sayap, sisik mudah rontok dan kemampuan bertelur

sangat rendah (Samsijah, 1994). Pada ulat sutera Attacus atlas belum dilaporkan

mengenai penyakit yang menghambat perkembangan ulat sutera liar ini.

19
2.5.2. Faktor abiotik

Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup Attacus atlas adalah hal penting untuk

diperhatikan. Kondisi lingkungan ini diantaranya, yaitu suhu, kelembaban, cahaya

matahari, sirkulasi udara dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak

diperhatikan akan mengakibatkan pertumbuhan dan perkembangan Attacus atlas jadi

terganggu. Kondisi lingkungan abiotik yang ideal untuk pemeliharaan Attacus atlas di

lapangan belum diketahui pasti. Sebagai acuan perbandingan dipakai pada ulat sutera

Bombyx yang sudah lama dibudidayakan. Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera Bombyx mori, diantaranya adalah suhu,

kelembaban, cahaya, dan udara (Veda et al., 1997).

2.5.2.1 Suhu lingkungan

Ulat sutera adalah organisme poikilotermal yaitu dipengaruhi langsung oleh suhu

lingkungannya. Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1 0C daripada lingkungan

di luar tubuhnya. Aktivitas fisiologis dipengaruhi oleh temperatur tubuhnya, sehingga

memberi kemungkinan terjadi variasi rerata pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap

larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 30 0C atau kurang dari 20 0C, akan

mengakibatkan aktivitas kehidupannya jadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan

memburuk. Larva sebaiknya tidak mengalami perubahan suhu yang ekstrim pada waktu

lama (Veda et al. 1997). Berdasarkan hal ini maka dalam pemeliharaan larva A. atlas,

suhu sebaiknya stabil pada kisaran antara 20 0C-30 0C.

20
2.5.2.2. Kelembaban

Kelembaban mempengaruhi perkembangan ulat sutera baik secara langsung

maupun tidak langsung. Kelembaban selama pemeliharaan ulat sutera rendah maka

perkembangan mikrobia patogen jadi rendah pula. Kelembaban meningkat akan

menyebabkan kelayuan tanaman pakan jadi lambat, sehingga tetap segar yang disukai

oleh ulat sutera, namun kelembaban yang tinggi ini akan meningkatkan pertumbuhan

mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Kelembaban untuk

pemeliharaan larva instar satu dan dua umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 80-95 %,

sedang pada larva instar tiga, empat dan lima sekitar 70 %. Bila kelembaban dan

temperatur berubah secara ekstrim dan tiba-tiba maka akan menyebabkan ulat sutera tak

bisa beradaptasi sehingga kesehatan ulat sutera jadi memburuk (Veda et al, 1997).

2.5.2.3 Intensitas cahaya

Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx adalah sekitar 15-30 lux. Ulat

sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi (Veda et al.

1997). Nintensitas cahaya kurang berpengaruh untuk pemeliharaan larva Attacus atlas di

daerah tropis.

2.5.2.4 Udara

Ulat sutera bernapas dengan spirakel. Udara yang dihisap akan diangkut menuju

sel-sel tubuh melalui trakea. Udara yang dihisap ini (oksigen) digunakan untuk mengolah

karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Energi yang dihasilkan ini digunakan

untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Pengaturan sirkulasi udara

21
perlu dilakukan. Selain itu untuk pemeliharaan ulat sutera harus diperhatikan juga

kebersihan lingkungan pemeliharaan, sebab lingkungan yang kotor dan penuh sampah

akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya bagi ulat sutera, misalnya gas

karbondioksida dan amonia dari hasil pembusukan sampah.

2.6. Pakan Uji yang digunakan Pada Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas

Pakan sangat penting dalam usaha ternak apapun termasuk pemeliharaan ulat

sutera liar. Sumber pakan harus tersedia secara pasti dan kesinambungannya terjamin.

Pakan yang diberikan sebaiknya memenuhi syarat mengenai bagian tanaman yang paling

disukai, selain itu kebersihan daun juga harus dijaga, demikian pula kesegaran dan bebas

dari bibit penyakit (Guntoro, 1994).

2.6. 1. Tanaman Sirsak (Annona muricata.L)

Sirsak disebut juga nangka belanda atau nangka seberang. Merupakan tanaman buah-

buahan tropis dari famili Annonaceae. Adapun susunan taksonomi tanaman sirsak adalah

Divisi : Spermatophyta, Sub divisio : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae,

Ordo : Ranales, Famili : Annonaceae, Genus : Annona, Spesies : Annona muricata L.

(Radi, 1997).

Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, seperti sirsak dicirikan dengan bau

yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis

dan sirsak asam. Secara morfologis susah dibedakan (Radi, 1997).

22
Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian

atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak

kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Aroma yang ditimbulkan bau yang

tidak sedap. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi

dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam lebih kecil. Bila mendekati mekar

mahkota bunga ini berubah menjadi kuning muda (Radi, 1997).

2.6. 2 Tanaman Teh (Camelia sinensia (L).

Dalam spesies Camelia sinensis, dikenal beberapa varietas yaitu : Varietas Cina, asam

dan Cambodia. Di Indonesia terdapat varietas asam, dengan susunan taksonominya, yaitu

: Divisi : Spermatophyta, Sub divisi : Angiospermae, Kelas : Dicotyledoneae, Ordo :

Ranales, Famili : Theaceae, Genus : Camelia, Spesies : Camelia sinensis (L).

(Setyamijaya, 2002)

Varietas asam berbatang tunggal (jika tidak dipangkas) dengan ketinggian pohon

mencapai 6-9 meter. Dari varietas ini dapat dibedakan lima sub varietas, yaitu : teh asam

berdaun cerah, teh asam berdaun kelam, manipuni, Burma dan Luski. Ciri-ciri varietas

asam ini secara umum adalah daun panjang (15-20 cm) buah berbentuk lonjong, berkilat,

bergerigi banyak dengan ujung yang jelas, berwarna hijau tua, serta duduk daun pada

cabang dan ranting agak tegak (Setyamidjaja, 2002).

Dari kelima subvarietas ini, teh asam adalah yang terpenting. Teh asam selain

memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, juga masih memiliki spesifikasi : daunnya

lunak dan duduk agak terhelai, daun pucuk berbulu, kuantitas dan kualitas hasil tinggi. 99

% daun teh di Indonesia adalah teh asam ini. Komponen kimia daun teh, terdiri dari 4

23
kelompok, yaitu : Substansi fenol : Catechin dan flavanol bukan fenol : Pectin, recin,

vitamin dan mineral, aromatik dan enzim-enzim : Theoflavin dan theorubigin. Dari

keempat komponen kimia ini menyebabkan warna, rasa dan aroma yang baik dan disukai

oleh ulat sutera Attacus atlas (Setyamidjaya, 2002).

2.7. Perilaku Makan Serangga

Chapman dan de Boer (1995) menyatakan bahwa perilaku makan serangga diatur

dan dipengaruhi oleh titer nutrien tertentu dalam darahnya terutama titer asam-asam

amino dan gula. Dengan kata lain dipengaruhi oleh osmolitas hemolimn dan kebutuhan

jaringan untuk metabolisme dan pertumbuhan. Oleh karena itu keberadaan zat-zat

tertentu di dalam darah merupakan informasi yang penting.

Perilaku makan meliputi rangkaian komponen perilaku menemukan pakan,

menerima atau menolak dan menelan pakan. Menemukan pakan dipengaruhi oleh

defisiensi nutrien di dalam hemolim. Defisiensi nutrien dapat mencakup turunnya

osmolitas, turunnya kadar nutrien tertentu, turunnya regangan usus atau turunnya kadar

hormon yang dikeluarkan karena rangsangan regangan usus. Defisiensi nutrien

selanjutnya akan mempengaruhi atau menyebabkan hewan bergerak mencari dan

menemukan pakannya. Setelah hewan mendekati pakannya, hewan tersebut akan

menggunakan reseptor-reseptor organ sensorisnya (Gambar 2) untuk mengenali pakan

dan biasanya digunakan reseptor kimiawi. Ulat sutera pada maxilanya terdapat berbagai

macam reseptor seperti tampak pada Gambar 2. Rangsangan dari pakan akan diterima

oleh susunan saraf pusat, kemudian ditanggapi dengan keputusan makan atau tidak

makan. Makanan selanjutnya mengalami proses pencernaan. Di dalam saluran

24
pencernaan juga terdapat berbagai reseptor yang akan mendeteksi pakan yang dicerna.

Pakan dicerna dan diabsorbsi. Absorbsi makanan akan menyebabkan perubahan

osmolitas dari nutrien, perubahan ini akan ditanggapi dengan berhentinya makan.

Pada tahap selanjutnya penggunaan nutrien, metabolisme yang terjadi di jaringan

juga akan mempengaruhi osmolitas nutrien dan seterusnya mempengaruhi perilaku

makan berikutnya. Jadi pada serangga perilaku makan merupakan suatu proses fisiologis

yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan saraf yang dipengaruhi oleh

osmolitas nutrien di hemolim (Chapman dan de Boer, 1995).

25
Ulat sutera memiliki beberapa reseptor yang dapat digunakan untuk mengenali

pakannya. Ishikawa dalam Tazima (1978) menyatakan bahwa pada maxillanya terdapat

dua macam sensilla styloconoca, untuk mengenali gula (sugar sensory hair = SS3) dan

air (water sensory hair = SS1 dan SS2). Pada pangkal bulu sensor gula terdapat tiga sel

(Ls, Li dan G) yang dapat mengenali glukosa. Sedangkan pada pangkal bulu sensor air

terdapat empat sel ( R, W, N2 dan N2’), masing-masing untuk zat repellant, air, garam dan

asam.

26

Anda mungkin juga menyukai