TINJAUAN PUSTAKA
Jenis ulat sutera liar di dunia ini banyak sekali jumlahnya, yang tercatat hingga
kini meliputi 205 jenis, 8 Genus, dan 2 Famili dari Ordo Lepidoptera (FAO, 1979 ;
Peigler, 1989). Jenis-jenis ulat sutera liar tersebut secara rinci dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Genus ini menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Antheraea
olivescens dan A. platessa. Selain ulat sutera tasar dari genus Antheraea ini dihasilkan
juga sutera muga yang dihasilkan oleh ulat sutera jenis Antheraea assamensis (Peigler,
Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) terdiri dari : Philosamia cynthia, P.
7
P. vaneeckei, P. vanderberghi, P. luzonica, P. tetrica, P. borneensis, P. ceramensis, P.
Menurut Peigler (1989) dan FAO (1979) ulat sutera liar ini terdiri dari : Attacus atlas,
Menurut FAO (1979) dan Peigler (1989) ulat sutera liar ini terdiri dari Anaphe
7. Ulat sutera Mussel Genus Pinna (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Pinna squamosa
(FAO, 1979).
8. Ulat sutera dari genus Actias (Lepidoptera : Saturniidae), yaitu Actias maenus
(Atrmosoedarjo, 2000).
Dari jenis-jenis ulat sutera liar yang disebutkan di atas, beberapa negara telah
memelihara dan memiliki potensi besar sebagai produk benang sutera yang dapat di
ekspor oleh negara pengembangnya yaitu ulat sutera tasar Antheraea mylitta
8
fagara Attacus atlas (Lepidoptera : saturniidae) dan Cricula trifenesterata (Lepidoptera :
Saturniidae) di Indonesia dan ulat sutera eri Philosamia cyntia ricini (Lepidoptera :
Saturniidae) di Cina dan Jepang (FAO, 1979; Peigler, 1989; Situmorang, 1996; Mulyana,
2003).
Berdasarkan bukti sejarah, ulat sutera liar Attacus atlas sudah lama dikembangkan
dalam bentuk budidaya di India. Akan tetapi ulat sutera liar ini tidak lagi dikembangkan.
Seorang ahli dari Jepang yang bernama Genggo Nakajima telah memelihara dan meneliti
kualitas dan produktivitas dari sutera liar Attacus atlas di Yogyakarta, mengungkapkan
bahwa ternyata sutera Attacus atlas yang dicoba di Indonesia kualitasnya jauh lebih
bagus bila dibandingkan dengan India yang sudah lebih dahulu membudidayakan ulat ini,
karena iklim negara Indonesia lebih mendukung untuk pengembangan ulat sutera liar ini.
Tentu saja merupakan kabar gembira karena ada kaitannya dengan permintaan pasar yang
cukup menantang. Di daerah Jawa Barat khususnya ulat sutera liar Attacus atlas sering
disebut hileud (ulat) badori, hileud orok (bayi), atau ulat gajah karena larvanya yang
besar, adapun kupu-kupunya disebut kupu sirama-rama atau kupu-kupu gajah (Saleh,
2000). Di Yogyakarta dan sekitarnya serta daerah Temanggung, Wonosari dan Wonogiri
(Jawa Tengah), ngengat dari Attacus atlas ini disebut kupu gajah atau kupu sirama-rama
(Situmorang, 1996).
Menurut Kalshoven (1981) dan Peigler (1989) ulat sutera liar di Indonesia
terdapat 15 jenis, 5 genus (Attacus, Cricula, Philosamia, Antheraea dan Actias) dan satu
9
terdiri dari 8 spesies yaitu : A. atlas, A. cremeri, A. erebus, A. paraliae, A. dohertyi,
(Lepidoptera : Saturniidae) terdiri dari 2 spesies yaitu, Cricula trifenesterata dan Cricula
cyntia ricini, Genus Antheraea terdiri dari 3 spesies yaitu Antherea pernyi (Lepidoptera :
(Lepidoptera : Saturniidae). Genus Actias satu spesies yaitu Actias maenus. Diantara 15
jenis ulat sutera liar yang ada di Indonesia ini telah dipelihara dan eksplorasi adalah ulat
sutera liar ini yaitu Yogyakarta, Temanggung, Wonogiri, Wonosari (Jawa tengah),
Tak dimungkiri jika sutera merupakan bahan utama bagi dunia mode, bukan saja
karena nilai eksklusifnya namun lebih dari itu bahannya dipercaya sangat elegan sebagai
rancangan adibusana. Busana sutera liar menjadi hand mode yang bernilai ekonomi
tinggi, lebih nyaman dipakai dan lebih bagus jahitannya. Temuan baru berupa
kepompong emas yang menghadirkan tekstur spesifik bagi perancang busana untuk
memberi sentuhan, khususnya aksen dekoratif, sulir dan pewarnaan. Dari pewarnaan kain
sutera liar bisa menghasilkan warna yang indah daripada kain jenis lain dan lebih
Budidaya sutera liar dapat memberikan lapangan kerja dalam jumlah besar
mengingat banyaknya komoditi olahan yang dapat diproduksi dari bahan sutera liar.
Industri ini ramah lingkungan, tidak merusak sumberdaya alam dan dapat
10
melestarikannya. Menghasilkan bahan baku bagi industri lain, misalnya industri tenun,
batik, kecantikan, makanan, obat-obatan dan industri kerajinan tangan. Industri ini dapat
dipanen dalam waktu yang singkat, menambah penghasilan dari sektor hasil hutan non
kayu, menghilangkan penjarahan dan pengundulan hutan, produknya halus, lembut, tidak
kusut, sejuk, anti alergi dan anti bakteri. Cendera mata sutera liar mudah dikerjakan,
Sutera liar Attacus atlas yang dipelihara di Indonesia kualitasnya jauh lebih bagus
bila dibandingkan dengan India yang lebih dulu memelihara ulat sutera ini. Benang sutera
Attacus atlas panjang benang bisa mencapai 2.500 meter/kokon, bobot badan ulat sutera
Attacus atlas 20 kali lebih besar dari ulat sutera Bombyx mori . Bahan kain sutera liar
Attacus atlas banyak diminati dari luar negeri, terutama dari Jepang untuk kain kimono
para Sumosan (atlet sumo), benang sutera mentahnya laku dibayar dengan harga Rp
Association (ISA, 2000). Negara konsumen terbesar adalah Cina 447.261 ton, Jepang
34.780 ton, Eropa 13.342 ton, India 126.94 ton, Iran 4.600 ton, Indonesia 639 ton.
Namun dari sejumlah kebutuhan itu, sampai sejauh ini hanya tercukupi 10 persen saja
(ISA, 1990; Saleh, 2000). Kebutuhan pasar Internasional cukup banyak, sementara bahan
baku yang tersedia tidak mencukupi. Data negara-negara yang membutuhkan kokon,
pupa dan benang mentah untuk produksi olahannya disajikan pada Tabel 1.
11
Tabel 1. Negara-Negara Pengguna Hasil Olahan Ulat Sutera Liar Attacus atlas
Karmantaka) Benang
kokon
Kokon lukisan,
Serat sutera dari beberapa ulat sutera liar seperti Antheraea, Attacus, dan Cricula
memiliki keunggulan kualitas yang lebih baik dari ulat sutera Bombyx mori, yaitu lebih
lembut, porous, tak mudah kusut, tahan panas, tidak menimbulkan rasa gatal (alergi) dan
anti bakteri. Berdasarkan sifat tersebut maka serat sutera liar memiliki nilai ekonomi
yang tinggi (Akai, 1997). Produsen kokon sutera dunia seperti Cina, Korea dan Jepang
kini banyak mengimpor kokon sutera dari produsen lain, sehingga menjadi peluang bagi
Indonesia dalam mengembangkan budidaya sutera sutera liar untuk memasok kebutuhan
pasar dunia (Dadang, 1998). Selain itu industri sutera Attacus atlas ini akan turut
12
mengurangi laju urbanisasi ke kota-kota besar. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan
sebagai dasar dalam penelitian dan budidaya ulat sutera liar secara masal, khususnya A.
Melihat kebutuhan nasional akan benang sutera yang hingga kini sebagian besar
belum terpenuhi, serta peluang pasar di luar negeri yang sangat besar, maka proses
pariwisata yang antara lain ditandai dengan meningkatnya arus kunjungan wisatawan
dalam negeri dan diharapkan akan menambah peluang bagi usaha budidaya ulat sutera.
Phylum : Arthropoda
Klas : Insecta
Subklas : Pterygota
Ordo : Lepidoptera
Subordo : Ditrysia
Familia : Saturniidae
Subfamilia : Saturniinae
Genus : Attacus
13
Attacus atlas merupakan jenis ngengat terbesar dan atraktif dari ordo Lepidoptera.
transparan dan bintik seperti mata besar. Bentangan sayapnya bisa mencapai 25 cm.
Larva memiliki tuberkel di bagian dorsal. Pupa terbungkus oleh kokon sutera yang
ukuran dan warnanya bervariasi. Sebagian larva dari anggota familia ini menghasilkan
serat sutera yang kuat dengan tenunan yang panjang, sehingga bisa dimanfaatkan untuk
Genus Attacus (ngengat atlas) dilaporkan ada 50 jenis, namun yang telah
diproduksi hanya ada 14 jenis (Peigler, 1989), yaitu : Attacus atlas Linnaeus dari Asia
bagian selatan, Asia tenggara dan Asia Timur, Attacus aurantiacus Rothschild dari
Kepulauan Kai (Maluku), Attacus caesar Maassen dari daerah Philipina Selatan, Attacus
crameri Felder dari kepulauan Maluku, Attacus dohertyi Rothschild dari pulau Timor,
Attacus erebus Fruhstor dari pulau Sulawesi, Attacus inopinatus Jurriaanse dari pulau
Flores dan Sumba, Attacus intermedius Jurriaanse dari kepulauan Tanimbar, Attacus
lemairei Peigler dari pulau Pallawan Philipina, Attacus lorquinii dari Philipina, Attacus
mcmulleni Watson dari kepulauan Andaman, Attacus paraliae Peigler dari kepulauan
Banggai di Sulawesi tengah bagian timur, Attacus taprobanis Moore dari Sri Lanka dan
daerah India Selatan dan Attacus wardi Rothschild dari Australia Utara (Peigler, 1989).
Indonesia memiliki 8 spesies yang paling dominan adalah dari jenis Attacus atlas karena
terdapat hampir di semua wilayah Indonesia yaitu di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa
Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Gambar 1). Spesies lainnya yaitu
14
Attacus aurantiacus di Kepulauan Kei (Maluku), Attacus dohertyi di pulau Timor,
Sumba (Nusa tenggara Timur), Attacus crameri (Maluku), Attacus paraliae di kepulauan
Banggai (Sulawesi tengah) dan Attacus erebus di Sulawesi Selatan (Peigler, 1989). Di
pulau Jawa pengembangan Attacus atlas dilakukan di daerah Gunung Kidul dan
Yogyakarta (wilayah daerah istimewa Yogyakarta) dan di daerah Purwakarta dan Bogor
(Jawa Barat).
15
2.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan, Reproduksi dan Mortalitas
Kelangsungan hidup dan keberhasilan hidup Attacus atlas mulai dari tahap larva
sampai menjadi imago dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang
mempengaruhi dapat dibagi menjadi dua faktor utama yaitu biotik dan faktor abiotik.
Tanaman inang ulat sutera Attacus atlas tercatat paling banyak jenisnya
dibandingkan dengan genus-genus lain penghasil ulat sutera. Peigler (1989), menyatakan
bahwa lebih dari 90 jenis tumbuh-tumbuhan dari 48 famili tanaman dapat dimakan
daunnya oleh larva ulat sutera ini, antara lain : tumbuhan asam (Terminalia tomentosa
Oak), kaliki (Ricinus communis), ketela pohon (Manihot utilisima), arjun (Terminalia
arjuna), banj (Q. incana), som (Machilus bombycina), Michelia (Magnolliaceae) dan
(Canangium odoratum), rambutan (Nephelium sp.), jambu biji (Psidium guajava L.),
gempol (Nauclea sp.), mahoni (Sweetnia mahagoni Jacq.) dan dadap (Erythrina sp.)
mahagoni), di daerah Cepu (Jawa Tengah) banyak ditemukan pada tanaman jambu
(Psidium guajava L.) dan sirsak (Annona muricata). Hasil pengamatan di peternakan ulat
16
sutera liar Purwakarta pada bulan Agustus 2004 didapatkan Attacus atlas pada tanaman
lithosperma Miq), teh (Camelia sinensis), alpokat (Persea americana Mil), sirsak
Tanaman inang sangat mempengaruhi kondisi ulat sutera maupun hasil suteranya.
perkembangan dipengaruhi oleh kualitas pakan yang diberikan. Kualitas pakan juga
mempengaruhi hasil pemeliharaan generasi selanjutnya. Jika kualitas pakan kurang baik,
larva dapat sakit dan apabila kurang gizi akan menghambat pertumbuhan larva, sehingga
sulit untuk memperoleh hasil yang maksimum, meskipun pada tahap berikutnya
2.5.1.2. Parasit
Telur Attacus atlas sebagian besar diparasit oleh anggota Famili Chalcidoidea
Xanthopimpla brullei Krieger, Xanthopimpla sp, Teronia sp, Enicospilus plicatus Brulle
Parasit pada larva Attacus atlas diantaranya adalah Familia Tachinidae (Diptera)
17
seperti Xanthopimpla konowi Kriger, X. brullei, Enicopilus plicatus Brulle dan Theronia
sp. Parasit-parasit ini telah banyak menyerang larva (FAO, 1979 ; Peigler, 1989).
2.5.1.3. Predator
Semua fase kehidupan Attacus atlas, baik fase telur, larva, pupa maupun imago
tidak luput dari serangan predator. Predator seperti berbagai jenis burung, laba-laba,
tawon, semut, cicak, kadal dan anggota vertebrata lain sering memangsa telur, larva
maupun pupa dari Attacus atlas ini (Kalshoven, 1981). Aktivitas predator merupakan
faktor biotik yang sangat mempengaruhi populasi dan kehidupan serangga. Dalam
populasi Attacus atlas di alam, kompetisi intra dan antar generasi dalam mendapatkan
makanan, perlindungan dan tempat untuk pupasi akan menyebabkan kegagalan pupasi
Beberapa golongan predator yang sering dijumpai yaitu tawon jenis Parustewon
(Hymenoptera : Formicidae) dan cicak dari kelas Reptilia (Kalshoven, 1981 ; Peigler,
1989 ).
Predator-predator ini umumnya menyerang telur dan larva Attacus atlas dari
berbagai macam tingkatan instar. Larva instar satu, dua dan tiga di lapang biasanya
diserang oleh predator dari golongan semut, tawon, laba-laba, capung dan cicak. Larva
18
dari instar` awal ini diserang dan dimangsa oleh predator karena fisiknya yang masih
Jenis-jenis penyakit yang sering menyerang telur, pupa dan larva ulat sutera
domestik adalah jenis penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan, protozoa dan
bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus, yaitu penyakit Grasserie, penyebabnya
adalah Barrolina virus yang menyerang sel-sel larva yang terbentuk di nukleus dari
berbagai organ diikuti rusaknya sel-sel inang. Selain itu terdapat penyakit Cytoplasmic
polyhedrosis virus (CPV) yang disebabkan oleh Smithia virus (Samsijah, 1994).
Muscardine putih (Beauvenia bassiana). Aspergilus oryzeae masuk melalui kulit, tumbuh
hypha yang berwarna putih menutupi seluruh badan larva yang mati, kemudian tumbuh
pada kayu atau bambu yang digunakan dalam ruangan. Protozoa yang menyebabkan
kerusakan pada ulat sutera adalah Microsporidia yang menimbulkan penyakit pebrin.
Penyebab penyakit pebrin adalah Nosema bombycis. Pebrin ini berkembang biak dengan
spora dan juga membelah diri, sumber utamanya adalah kontaminasi antara makanan
dengan spora, gejalanya adalah keluarnya ngengat dari kokon terlambat, sayap ngengat
tidak lengkap, terdapat ngengat tanpa sayap, sisik mudah rontok dan kemampuan bertelur
sangat rendah (Samsijah, 1994). Pada ulat sutera Attacus atlas belum dilaporkan
19
2.5.2. Faktor abiotik
Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup Attacus atlas adalah hal penting untuk
matahari, sirkulasi udara dan kebersihan tempat hidupnya. Bila kondisi abiotik ini tidak
terganggu. Kondisi lingkungan abiotik yang ideal untuk pemeliharaan Attacus atlas di
lapangan belum diketahui pasti. Sebagai acuan perbandingan dipakai pada ulat sutera
Bombyx yang sudah lama dibudidayakan. Beberapa faktor abiotik yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera Bombyx mori, diantaranya adalah suhu,
Ulat sutera adalah organisme poikilotermal yaitu dipengaruhi langsung oleh suhu
lingkungannya. Umumnya suhu tubuh ulat sutera lebih tinggi 1 0C daripada lingkungan
memberi kemungkinan terjadi variasi rerata pertumbuhan pada ulat sutera ini. Pada tahap
larva jika suhu lingkungan lebih tinggi dari 30 0C atau kurang dari 20 0C, akan
mengakibatkan aktivitas kehidupannya jadi terganggu dan kesehatan ulat sutera akan
memburuk. Larva sebaiknya tidak mengalami perubahan suhu yang ekstrim pada waktu
lama (Veda et al. 1997). Berdasarkan hal ini maka dalam pemeliharaan larva A. atlas,
20
2.5.2.2. Kelembaban
maupun tidak langsung. Kelembaban selama pemeliharaan ulat sutera rendah maka
menyebabkan kelayuan tanaman pakan jadi lambat, sehingga tetap segar yang disukai
oleh ulat sutera, namun kelembaban yang tinggi ini akan meningkatkan pertumbuhan
mikrobia patogen yang dapat menyebabkan penyakit pada ulat sutera. Kelembaban untuk
pemeliharaan larva instar satu dan dua umumnya lebih tinggi yaitu sekitar 80-95 %,
sedang pada larva instar tiga, empat dan lima sekitar 70 %. Bila kelembaban dan
temperatur berubah secara ekstrim dan tiba-tiba maka akan menyebabkan ulat sutera tak
bisa beradaptasi sehingga kesehatan ulat sutera jadi memburuk (Veda et al, 1997).
Intensitas cahaya yang ideal untuk larva Bombyx adalah sekitar 15-30 lux. Ulat
sutera umumnya akan menghindari intensitas cahaya yang terlalu tinggi (Veda et al.
1997). Nintensitas cahaya kurang berpengaruh untuk pemeliharaan larva Attacus atlas di
daerah tropis.
2.5.2.4 Udara
Ulat sutera bernapas dengan spirakel. Udara yang dihisap akan diangkut menuju
sel-sel tubuh melalui trakea. Udara yang dihisap ini (oksigen) digunakan untuk mengolah
karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Energi yang dihasilkan ini digunakan
untuk pertumbuhan dan perkembangan ulat sutera selanjutnya. Pengaturan sirkulasi udara
21
perlu dilakukan. Selain itu untuk pemeliharaan ulat sutera harus diperhatikan juga
kebersihan lingkungan pemeliharaan, sebab lingkungan yang kotor dan penuh sampah
akan mengeluarkan gas-gas yang berbahaya bagi ulat sutera, misalnya gas
2.6. Pakan Uji yang digunakan Pada Pemeliharaan Ulat Sutera Liar Attacus atlas
Pakan sangat penting dalam usaha ternak apapun termasuk pemeliharaan ulat
sutera liar. Sumber pakan harus tersedia secara pasti dan kesinambungannya terjamin.
Pakan yang diberikan sebaiknya memenuhi syarat mengenai bagian tanaman yang paling
disukai, selain itu kebersihan daun juga harus dijaga, demikian pula kesegaran dan bebas
Sirsak disebut juga nangka belanda atau nangka seberang. Merupakan tanaman buah-
buahan tropis dari famili Annonaceae. Adapun susunan taksonomi tanaman sirsak adalah
(Radi, 1997).
Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, seperti sirsak dicirikan dengan bau
yang tidak sedap dari daunnya. Di Indonesia hanya dikenal dua jenis yaitu sirsak manis
22
Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing, warna daun bagian
atas hijau tua, sedangkan bagian bawah hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak
kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Aroma yang ditimbulkan bau yang
tidak sedap. Daun mahkota berwarna hijau muda, jumlahnya enam helai yang terbagi
dalam dua lapis, tiga daun mahkota lingkaran dalam lebih kecil. Bila mendekati mekar
Dalam spesies Camelia sinensis, dikenal beberapa varietas yaitu : Varietas Cina, asam
dan Cambodia. Di Indonesia terdapat varietas asam, dengan susunan taksonominya, yaitu
(Setyamijaya, 2002)
Varietas asam berbatang tunggal (jika tidak dipangkas) dengan ketinggian pohon
mencapai 6-9 meter. Dari varietas ini dapat dibedakan lima sub varietas, yaitu : teh asam
berdaun cerah, teh asam berdaun kelam, manipuni, Burma dan Luski. Ciri-ciri varietas
asam ini secara umum adalah daun panjang (15-20 cm) buah berbentuk lonjong, berkilat,
bergerigi banyak dengan ujung yang jelas, berwarna hijau tua, serta duduk daun pada
Dari kelima subvarietas ini, teh asam adalah yang terpenting. Teh asam selain
memiliki sifat-sifat seperti disebutkan di atas, juga masih memiliki spesifikasi : daunnya
lunak dan duduk agak terhelai, daun pucuk berbulu, kuantitas dan kualitas hasil tinggi. 99
% daun teh di Indonesia adalah teh asam ini. Komponen kimia daun teh, terdiri dari 4
23
kelompok, yaitu : Substansi fenol : Catechin dan flavanol bukan fenol : Pectin, recin,
vitamin dan mineral, aromatik dan enzim-enzim : Theoflavin dan theorubigin. Dari
keempat komponen kimia ini menyebabkan warna, rasa dan aroma yang baik dan disukai
Chapman dan de Boer (1995) menyatakan bahwa perilaku makan serangga diatur
dan dipengaruhi oleh titer nutrien tertentu dalam darahnya terutama titer asam-asam
amino dan gula. Dengan kata lain dipengaruhi oleh osmolitas hemolimn dan kebutuhan
jaringan untuk metabolisme dan pertumbuhan. Oleh karena itu keberadaan zat-zat
menerima atau menolak dan menelan pakan. Menemukan pakan dipengaruhi oleh
osmolitas, turunnya kadar nutrien tertentu, turunnya regangan usus atau turunnya kadar
dan biasanya digunakan reseptor kimiawi. Ulat sutera pada maxilanya terdapat berbagai
macam reseptor seperti tampak pada Gambar 2. Rangsangan dari pakan akan diterima
oleh susunan saraf pusat, kemudian ditanggapi dengan keputusan makan atau tidak
24
pencernaan juga terdapat berbagai reseptor yang akan mendeteksi pakan yang dicerna.
osmolitas dari nutrien, perubahan ini akan ditanggapi dengan berhentinya makan.
makan berikutnya. Jadi pada serangga perilaku makan merupakan suatu proses fisiologis
yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan saraf yang dipengaruhi oleh
25
Ulat sutera memiliki beberapa reseptor yang dapat digunakan untuk mengenali
pakannya. Ishikawa dalam Tazima (1978) menyatakan bahwa pada maxillanya terdapat
dua macam sensilla styloconoca, untuk mengenali gula (sugar sensory hair = SS3) dan
air (water sensory hair = SS1 dan SS2). Pada pangkal bulu sensor gula terdapat tiga sel
(Ls, Li dan G) yang dapat mengenali glukosa. Sedangkan pada pangkal bulu sensor air
terdapat empat sel ( R, W, N2 dan N2’), masing-masing untuk zat repellant, air, garam dan
asam.
26