PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang ditetapkan melalui Surat
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.134/II-Kep/2004 tanggal 4 Mei 2004 seluas
± 6.410 hektar meliputi wilayah Kabupaten Sleman Propinsi D.I. Yogyakarta
Kabupaten Magelang, Boyolali dan Klaten Propinsi Jawa Tengah. Kawasan TNGM
memiliki 3 (tiga) nilai penting yaitu sebagai daerah perlindungan fungsi hidrologis,
keanekaragaman hayati, dan potensi pariwisata.
Kawasan TNGM sebagai kawasan taman nasional semestinya berekosistem
asli yang tersusun atas jenis-jenis tumbuhan asli, dan satwa-satwa endemik. Pasca
erupsi Merapi pada tahun 2010 telah merusak sebagian kawasan hutan namun dalam
waktu relatif singkat, daerah yang terkena oleh erupsi tersebut secara alami tumbuh
aneka jenis tumbuhan. Namun sangat disayangkan bahwa jenis tumbuhan yang
secara dominan menutupi daerah-daerah terkena erupsi adalah Acacia decurrens.
Acacia decurrens masuk kategori spesies asing dan sekaligus invasive species.
Pola persebaran Acacia decurrens di kawasan TNGM perlu diketahui dalam
berbagai aspeknya guna menentukan strategi terbaik untuk mengatasi Acacia
decurrens di kawasan TNGM.
B. MAKSUD TUJUAN
1. Mengetahui persebaran Acacia decurrens di kawasan TNGM
2. Mengetahui karakteristik persebaran Acacia decurrens di kawasan TNGM
(diameter, tinggi, kerapatan, dll)
3. Mengetahui korelasi dominasi Acacia decurrens terhadap keanekaragaman
tumbuhan yang ada.
1
C. LOKASI
Wilayah Resort Cangkringan, Wilayah Resort Kemalang, Wilayah Resort Cepogo –
Musuk, Wilayah Resort Selo, dan Wilayah Resort Turi – Pakem.
6
4
2
1
D. WAKTU PELAKSANAAN
Kegiatan InventarisasiAcacia decurrensdi Taman Nasional Gunung Merapi dilaksanakan
selama 4 (empat) hari pada bulanOktober 2013.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3
Kebakaran hutan sebenarnya bukan merupakan bagian dari proses ekologi hutan
hujan tropis, namun di gunung berapi aktif kebakaran hutan merupakan bagian dari proses
ekologi. Gangguan vulkanik seperti terjangan awan panas pada erupsi 2010 telah
menyebabkan kebakaran hutan dan menciptakan lahan terbuka. Lahan terbuka tersebut
kemudian menjadi tempat terjadinya suksesi primer yang merupakan bagian proses ekologi
gunung berapi aktif (Steenis, 2006).
2. Habitat:
Acacia decurrens memiliki rentang hidup yang cukup luas. Acacia decurrens dapat hidup
di daerah subalpine, tropis, sub-tropis, daerah hangat dan daerah panas. Dapat hidup
pada curah hujan minimal sekitar 55 mmHg (900-2600 mm). Sedangkan rentang hidup
vertikalnya berkisar dari 25 s/d 2.500 m dpl. Acacia decurrens lebih memilih tanah dalam
yang ringan sampai sedang dan bebas pengeringan. Ini terjadi secara alami pada tanah
4
yang hanya kesuburan sedang: asam dan tanah kuning netral, asam-duplex dikelantang
tanah merah, podsols, dan beberapa unsur tanah gembur coklat berasal terutama dari
serpih. Spesies ini juga terjadi pada basal yang diturunkan dari tanah.
3. Perkembang-biakan:
Berbunga sepanjang tahun. Semakin banyak hujan maka semakin banyak bunga.
Bunga yang terbuka dan memiliki warna menarik memungkinkan banyak pollinator untuk
datang. Spesies tersebar dengan cepat dengan biji, penetrasi akar yang kuat. Biji dapat
berkecambah setelah disimpan di tempat dingin dan kering, berkecambah dalam waktu
7-14 hari dan dapat dipindahkan setelah 5-7 bulan.
4. Kegunaan :
Kayu Acacia decurrens sangat baik untuk kayu bakar, kayu untuk mebel. Kulit kayunya
bisa dijadikan tannin. Dedaunannya bisa mengikat nitrogen bebas.
5. Deskripsi Taksonomi:
Pohon yang kuat, tumbuh keatas dengan tinggi 6-12 meter, di India bisa mencapai 30
meter dengan diameter 37 cm. Daun seperti memiliki bulu. Berbunga pada musim semi,
berwarna kuning. Buah polong berbentuk dengan panjang 10 cm, terbuka ketika sudah
tua, biji dapat tersebar dengan luas.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Negara India (2009), kerapatan
hutan dapat dibagi menjadi 5 klasifikasi, yaitu:
5
Hutan terbuka memiliki tutupan kanopi antara 10-40% sehingga kerapatan hutan terbuka
tergolong agak rendah.
4. Scurb
Scurb merupakan areal hutan yang tutupan kanopinya kurang dari 10% sehingga
kerapatan scurb tergolong sangat rendah.
5. Non hutan
Merupakan wilayah yang tidak ada hutannya sama sekali.
6
BAB III
DESKRIPSI WILAYAH PENGAMATAN
A. Lokasi
Gunung Merapi secara geografis terletak di tengah pulau Jawa, sebagian berada
dalam wilayah administrative Propinsi D.I. Yogyakarta dan sebagian lagi masuk wilayah
Propinsi Jawa Tengah. Secara fisik Gunung Merapi mempunyai batas-batas alam
sebagai berikut:
a. Bagian utara dilingkupi oleh pegunungan yang merupakan pertemuan antara Gunung
Merbabu dan Gunung Merapi sendiri. Batas alam ini dibentuk dari hulu sungai pepe di
wilayah timur dan hulu sungai Pabelan di wilayah barat. Secara adminitratif masuk
dalam Kabupaten Boyolali, Propinsi Jawa Tengah.
b. Kaki gunung bagian timur dan selatan merupakan wilayah yang datar dan merupakan
persawahan dengan kesuburan tanah yang tinggi. Bagian timur ini membentang
sampai bertemu dengan sungai Bengawan Solo dan bagian selatan bertemu dengan
hulu sungai Dengkeng. Hulu Sungai Progo menjadikan batas alam gunung di bagian
barat.
7
B. Iklim dan Curah Hujan
Secara klimatologis, keberadaan Gunung Merapi masuk wilayah iklim muson tropis,
yang dicirikan hujan dengan intensitas yang tinggi pada musim hujan (November-April)
yang kemudian berganti dengan bulan-bulan kering (April-Oktober). Hujan tahunannya
berkisar antara 2.500-3.000 mm. Variasi hujan di sepanjang lereng Gunung Merapi
dipengaruhi oleh hujan orografis. Seperti juga wilayah muson tropis lainnya, variasi suhu
dan kelembaban udara pada dasarnya tidaklah menyolok. Suhu berkisar antara 20o-33o
C dan kelembaban udara bervariasi antara 80% - 99% (Sudarma, 2004).
Untuk kawasan TNGM wilayah Sleman mempunyai curah hujan rata-rata tahunan
berkisar antara 3.000-3.500 mm/tahun. Sedangkan kawasan TNGM wilayah Musuk-
Cepogo (Boyolali) mempunyai curah hujan rata-rata tahunan sebesar <2.500 mm/tahun.
Kawasan Ketep (Magelang) mempunyai curah hujan rata-rata tahunan berkisar antara
3.000-3.500 mm/tahun (Sudarma, 2004).
C. Tanah
Kawasan ini berjenis tanah Regosol dan mendominasi kawasan gunung Merapi.
Dengan masih aktifnya gunung Merapi menjadikan material vulkanis merupakan bahan
induk tanah di kawasan ini. Dengan demikian tanahnya merupakan tanah muda karena
belum mengalami perkembangan profil. Tanah di kawasan ini dicirikan oleh warna kelabu
sampai kehitaman dengan tekstur pasiran. Struktur tanah belum terbentuk sehingga
masih merupakan struktur granuler. Dengan struktur ini maka kemampuan untuk
menyerap air cukup tinggi, namun kandungan bahan organiknya relatif rendah.
Kemasaman tanah pada umumnya netral.Jenis tanah yang dijumpai di daerah yang
berbatasan dengan kawasan TNGM didominasi oleh jenis tanah Regosol, andosol,
aluvial dan litosol(Sudarma, 2004).
Di Kabupaten Sleman bagian selatan berupa tanah regosol (Typic Udipsament)
dan sedikit aluvial. Di bagian utara berupa tanah regosol dan andisol (Andic Eutropepts).
Solum tanahnya dangkal sampai dalam dengan kesuburannya rendah sampai sedang.
Tekstur tanahnya pasiran, berbatu dan berkerikil. Struktur tanahnya lepas, remah dan
gumpal membulat yang lemah. Faktor pembatasnya adalah bahaya kekeringan,
kesuburan yang rendah dan jeluk mempannya yang dangkal, juga teksturnya yang
sangat kasar (Sudarma, 2004).
Di kabupaten Magelang Jenis tanah sama dengan kabupaten Sleman, tetapi
kondisinya lebih basah karena curah hujannya yang lebih baik. Oleh karena dapat air dari
8
pengairan maka seolah-olah kesuburannya lebih baik. Akibatmya ancaman faktor
pembatasnya lebih ringan, tetapi bukan berarti tidak ada (Sudarma, 2004).
Di kabupaten Boyolali jenis tanah yang di kecamatan terdekat secara garis besar
masih sama, hanya ada sedikit variasi yaitu Regosol kelabu, Regosol coklat, Litosol
coklat, Andisol kelabu, asosiasi Litosol dan Regosol dan asosiasi Andisol kelabu dan
Litosol. Wilayah kecamatan Musuk mempunyai dua jenis tanah yaitu Regosol coklat dan
asosiasi antara Regosol dan Litosol (Sudarma, 2004).
D. Geologi
Berdasarkan peta Geologi (Sudarma, 2004) yang dikeluarkan oleh Direktorat
Geologi Tata Lingkungan diperoleh informasi bahwa batuan utama penyusun Gunung
Merapi terdiri dari dua macam:
a. Endapan vulkanik Gunung Merapi Muda, yang terdiri dari tufa, lahar, breksi, dan lava
andesitis hingga basaltis. Endapan ini hampir tersebar merata diseluruh kawasan
Gunung Merapi
b. Endapan volkanik kwarter tua, yang keberadaannya secara setempat-setempat,
khususnya di perbukitan. Endapan ini ditemui di bukit Turgo, Gono, Plawangan,
Maron.
E. Topografi
Secara topografi, kerucut (cone) Gunung Merapi berada pada ketinggian berkisar
antara 50-2500 m dpl. Dalam kerucut itu, Kabupaten Sleman berada pada ketinggian
antara 100 – 1500 m dpl. Kabupaten Klaten terletak antara 50–1000 m dpl, dan
Kabupaten Boyolali antara 400 – 1500 m dpl. Secara lebih rinci keadaan topografi di tiga
kabupaten tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
Di wilayah Kabupaten Sleman, di bagian utara sebagian besar merupakan tanah
kering yang berupa tegal dan ladang. Bagian yang paling utara merupakan lereng
gunung Merapi yang miring kearah selatan. Di lereng selatan gunung Merapi terdapat
dua bukit yaitu bukit Turgo dan Plawangan yang merupakan bagian kawasan wisata
Kaliurang. Di bagian lereng puncak Merapi ini reliefnya curam sampai sangat curam.
Beberapa sungai yang mengalir melalui kabupaten Sleman menuju laut selatan adalah
sungai Progo, Krasak, Kuning dan Boyong (Sudarma, 2004).
Di wilayah Kabupaten Boyolali, bagian yang terendah dengan ketinggian 75 – 400
m dpl berada di bagian selatan dan tenggara dari wilayah Boyolali. Meliputi kecamatan
Teras, Banyudono, Sawit, Mojosongo Ngemplak, Simo, Nogosari, Kemusuk Karanggede
9
dan Boyolali. Bagian yang agak tinggi 400 – 700 m diatas permukaan laut berada di
bagian tengah meliputi kecamatan Boyolali, Musuk, Ampel dan Cepogo. Yang lebih
tinggi lagi 700 – 1000 m diatas permukaan laut meliputi kecamatan Musuk, Ampel dan
Cepogo. Bagian yang tinggi mulai dari 1000 – 1300 m diatas permukaan laut meliputi
wilayah kecamatan Cepogo, Ampel dan Selo (Sudarma, 2004).
F. Keadaan Flora
Flora kawasan lereng selatan yang masuk wilayah D.I Yogyakarta didominasi oleh
hutan campuran yang relatif stabil dan berstatus hutan lindung. Namun demikian,
dekatnya lokasi kawasan ini dengan pemukiman penduduk menyebabkan terhambatnya
proses ekologis secara alamiah yang seharusnya terjadi di kawasan hutan lindung.
Pemanfaatan lahan bawah tegakaan hutan untuk budidaya rumput, khususnya di lereng
yang berbatasan dengan pemukiman penduduk dan pengambilan rumput yang intensif
oleh masyarakat untuk pakan ternak sangat intensif dilakukan. Jenis rumput Imperata
cylindrica, Panicum replans, Arthraxon typicus dan Pogonatherum paniceum merupakan
jenis yang banyak dijumpai. Beberapa lokasi juga terjadi penebangan liar dan kebakaran
hutan, walaupun dengan intensitas yang masih terkendali (Sudarma, 2004).
Beberapa spesies tumbuhan yang ada di kawasan ini dapat diketahui dari hasil
diinventasi dari kayu dan daun yang dipanen oleh masyarakat setempat. Spesies
tersebut mencakup:
a. Dari hasil kayu: Pinus merkusii, Acacia decurrens, Acacia decurrenssa spp., Albisia
spp. dan Euphatorium inufolium, Lithocarpus elegans, Leucaena glauca, Cinchona
succiruhra, Acalypha calurus, Ficus alba, Erytrina variegata, Hibiscus filiacius, Melia
azedarach, Leucaena leucocephala, Arthocarpus integra, Casuarina sp., Syzygium
aromaticum.
b. Dari penghasil daun: Calliandra callothyrsus, Euphatorium sp., Lantana camara,
Crolalaria spp., Schefflera efliplica, Cestrum nocturium, pakis, Piplurus repandus,
Yevesia sundaica, Glochidion spp., Euphatorium riparium, Alfanihol esculenta,
Fomengia congesta, Melia azedarach, Macaranga spp., Marsilia cremala, dan
Melastbura stomoides.
Selain itu, masih dijumpai beberapa jenis tumbuhan semak dan tumbuhan hutan
dengan tajuk terbuka dan tertutup dan jenis flora epifit yang khas tumbuh di wilayah tropis
basah.
10
G. Keadaan Kawasan TNGM Sesaat Setelah Erupsi tahun 2010
Gambar 3. Peta kerusakan vegetasi kawasan TNGM pasca erupsi 2010. Warna merah menunjukkan
kerusakan berat, warna kuning kerusakan sedang, warna hijau kerusakan ringan, dan warna coklat
menunjukkan medan lava dan lahar.
11
BAB IV
METODE INVENTARISASI
A. Sampling
Petak Ukur
Dalam satu wilayah kerja, diambil beberapa plot ukur, kemudian dalam setiap plot ukur
terdapat minimal 10 petak ukur. Ukuran Petak Ukur adalah 20 x 20 meter2, 10 x 10 m2,
2,5 x 2,5 m2
2. Tiang:
- diameter batang setinggi dada antara 10-20 cm
- tinggi diatas 1,5 meter
3. Pancang:
- diameter batang setinggi dada antara dibawah 10 cm
- tinggi diatas 1,5 meter
4. Anakan pohon:
- diameter batang setinggi dada antara dibawah 10 cm
- tinggi dibawah atau sama dengan 1,5 meter
12
C. Data yang diambil
1. Pada Petak Ukur 20 x 20 m2
- Jumlah pohon Acacia decurrens dan pohon-pohon jenis lain
- diameter dan tinggi setiap pohon
20 meter
5 meter 10 meter
5 meter
Gambar 4. Bentuk Petak Ukur
2,5meter sampel pengamatan tumbuhan
2,5meter
10 meter
20 meter
Keterangan:
2
- Dalam petak ukur 20 x 20 m yang dihitung adalah jumlah pohon
2
- Dalamkotak 10 x 10 m yang dihitung adalah tiang
2
- Dalam petak ukur 5 x 5 m yang dihitung adalah pancang
2
- Dalam petak ukur 2,5 x 2,5 m dihitung jumlah anakan pohon Acacia decurrens
13
D. Pengolahan Data
Analisis vegetasi
Analisis vegetasi adalah suatu cara untuk mempelajari komposisi jenis dan struktur
vegetasi. Data yang diperoleh digunakan untuk menghitung Kerapatan Acacia
decurrens, Kerapatan seluruh jenis, Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Acacia
decurrens, Frekuensi Relatif (FR), Dominasi Acacia decurrens, Dominasi Relatif
(DR), dan Indeks Nilai Penting (INP). Kerapatan digunakan untuk menggambarkan
jumlah individu dari populasi sejenis, Frekuensi, variable yang menggambarkan
penyebaran dari populasi disuatu kawasan, Indeks Nilai Penting (INP) adalah
parameter kuantitatif yang dapat dipakai untuk untuk menyatakan tingkat Dominasi
(tingkat penguasaan) spesies-spesies dalam suatu komunitas tumbuhan sehingga
spesies yang paling dominan tentu saja memiliki indeks nilai penting yang paling
besar. untuk mengetahui pola distribusi jenis suatu vegetasi yang paling dominan.
Berikut ini adalah tahapan-tahapan penghitungan untuk mendapatkan Kerapatan
Relatif Jenis tersebut :
14
Luas Bidang Dasar A. decurrens
6. Dominasi Acacia decurrens
Luas seluruh petak contoh
Korelasi Statistik
Untuk mengetahui korelasi antara komponen dominasi Acacia decurrens terhadap
keanekaragaman tumbuhan (atau jumlah jenis tumbuhan) digunakan korelasi
regresi dengan rumus sebagai berikut:
Keterangan:
n. x i .y i x i y i
b i 1 i 1 i 1
2
n. x i x i
2
i 1 i 1
_ _
a y b. x
15
BAB V
HASIL INVENTARISASI
Hasil inventarisasi Acacia decurrens yang dilakukan di beberapa wilayah Resort di kawasan
TNGM disajikan dalam bentuk tabel yang memuat jumlah individu Acacia decurrens, jumlah
individu semua jenis, Luas total sampel, Kerapatan Acacia decurrens, Kerapatan seluruh
jenis, Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Acacia decurrens, Frekuensi Relatif (FR), Dominasi
Acacia decurrens, Dominasi Relatif (DR), dan Indeks Nilai Penting (INP) sebagaimana yang
ditunjukkan pada tabel 1 hingga tabel 13. Sedangkan data mentahnya terlampir.
Tabel 1. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Sogan (Pakem, Sleman) pada ketinggian antara 925 s/d 969 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m2) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
Pohon 5 5 2000 0.00 0.00 100.0 0.2 100 0.000036 100 300.0
Tabel 2. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Pronojiwo (Pakem, Sleman) pada ketinggian 1.032 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m2) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
Pohon 0 2 400 0.00 0.005 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
Semai 0 0 6.3 0 0 0 0 0 - - 0
Tabel 3. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Gandok (Pakem, Sleman) pada ketinggian 884 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua 2 decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m ) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
16
Tabel 4. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Blok Labuhan (Cangkringan, Sleman)
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua 2 decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m ) 2 2 decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m ) (∑/m )
Pohon 0 0 4000 0.00 0.00 0.00 0 0 0 0 0.0
Tiang 118 140 1000 0.12 0.14 84.3 1 100 0.001161 99.1 283.4
Tabel 8. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Kali Tengah Lor (Cangkringan, Sleman)
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m2) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
Tiang 2 15 500 0.00 0.03 13.3 0.33 33.33 0.000059 100 146.7
17
Tabel 9. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Sapu Angin (Kemalang, Klaten) pada ketinggian antara
1.239 s/d 1.381 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m2) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
Tabel 10. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Tegalmulyo Jalur 1 (Klaten) pada ketinggian antara 1.371
s/d 1.440 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua 2 decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m ) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
Tabel 11. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Tegalmulyo Jalur 2 (Klaten) pada ketinggian antara 1.559
s/d 2.033 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m2) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
Pohon 26 61 3600 0.01 0.02 42.6 0,55 55,5 0.00128 38.4 136.5
Tabel 12. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Balerante (Klaten) pada ketinggian antara
1.177 s/d 1.231 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m2) decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m2) (∑/m2)
Tiang 4 5 600 0.01 0.01 80.0 0.167 50.2% 0.00006 55.6 185.8
18
Tabel 13. Hasil Inventarisasi Acacia decurrens Wilayah Babadan (Magelang) pada ketinggian antara
1.315 s/d 1.455 m dpl
Jumlah Jumlah Kerapatan Kerapatan
Luas Total Frekuensi Dominasi
Tingkatan Individu Individu Acacia seluruh Kerapatan Frekuensi Dominasi
Sampel Acacia Acacia INP
Pohon Acacia Semua 2 decurrens jenis relatif (%) Relatif (%) Relatif (%)
(m ) 2 2 decurrens decurrens
decurrens Jenis (∑/m ) (∑/m )
Pohon 0 1 2400 0.00 0.00 0 0 0 0 0 0
Tabel 14. Dominasi Acacia decurrens dan jumlah jenis tumbuhan pada berbagai tingkatan
Dominasi Acacia
Jumlah jenis pohon Jumlah jenis
decurrens tingkat Jumlah jenis pohon
No. Lokasi tingkat tumbuhan
pohon + tingkat tingkat pancang
semai/anakan bawah
tiang
1 Blok Labuhan 0.0012 2 11 24
2 Kepuharjo 0.0028 4 9 16
3 Kalikuning 0.0028 2 8 10
4 Plunyon 0.0000 5 8 6
5 Kali Tengah Lor 0.0001 6 6 6
6 Sapu Angin 0.0002 5 2 10
7 Tegalmulyo Jalur 1 0.0003 1 0 14
8 Tegalmulyo Jalur 2 0.0013 3 0 15
9 Balerante 0.00001 2 0 8
10 Babadan 0.0006 2 1 7
Dari hasil pengolahan data pada tabel 14 dengan menggunakan rumus korelasi (rumus 1)
diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Korelasi dominasi Acacia decurrens terhadap keanekaragaman pohon tingkat pancang
adalah:
y = 0.0014 - 0.00014x
keterangan:
y = dominasi Acacia decurrens tingkat pohon dan tingkat tiang
x = keanekaragaman jenis pohon tingkat pancang
19
2. Korelasi dominasi Acacia decurrens terhadap keanekaragaman pohon tingkat semai
adalah:
y = - 0.0146 + 0.00012x
keterangan:
y = dominasi Acacia decurrens tingkat pohon dan tingkat tiang
x = keanekaragaman jenis pohon tingkat semai
y = 0.000003 + 0.00008x
keterangan:
y = dominasi Acacia decurrens tingkat pohon dan tingkat tiang
x = keanekaragaman jenis tumbuhan bawah
20
11 Tegalmulyo 2 0.01 0.02 0.15 0.00 1.559-2.033 Ringan
Jenis-jenis tumbuhan bawah yang disajikan pada tabel di bawah ini adalah yang terdapat di
wilayah Resort Kemalang (Klaten) sebagai berikut:
Tabel 15. Jenis-jenis tumbuhan yang dijumpai dan yang tidak dijumpai di bawah tegakan Acacia
decurrens di wilayah Resort Kemalang (Klaten)
Jenis-jenis tumbuhan yang dijumpai di bawah Jenis-jenis tumbuhan yang tidak dijumpai di bawah
No.
tegakan Acacia decurrens tegakan Acacia decurrens
1 Alang-Alang Blundu
2 Berokan Kacang-kacangan
3 Gerpak Lodo
4 Godong paken ulo Mlanding Gunung
5 Golor Nyangkoh
6 Gondopura Rambat Aren
7 Irengan Riwono
8 Janggleng Setutan (anggrek)
9 Kidangan Srunen
10 Kotelan Tepus
11 Krinyu
12 Meniran
13 Nipongan
14 Pagagan
15 Pakis
16 Paren
17 Pecutan
18 Petungan
19 Rumput Pebe
20 Semanggi gunung
21 Teki
22 Tepus
23 X-1 (belum diketahui namanya)
24 X-2 (belum diketahui namanya)
25 X3 (kemungkinan namanya Parmak)
21
E. Kondisi Vegetasi dan Topografi Lokasi Pengamatan
22
BAB VI
PEMBAHASAN
Dalam bab analisa ini akan dibahas aspek dominasi Acacia decurrens, pola persebaran
horisontal dan vertikal, dan korelasi dominasi Acacia decurrens terhadap keanekaragaman
jenis tumbuhan di lokasi sampel pengamatan.
Tutupan lahan yang berupa vegetasi Acacia decurrens kerapatan tinggi terdapat di
Resort Cangkringan, sebagian wilayah Resort Kemalang, dan sebagian wilayah Resort
Kec. Dukun. Sebagian besar tegakan Acacia decurrens kerapatan tinggi di kawasan
TNGM terdapat di Cangkringan dikarenakan wilayah ini merupakan wilayah yang paling
luas terkena awan panas erupsi Merapi 2010. Diperkirakan persentase luasan tegakan
Acacia decurrens kerapatan tinggi di wilayah Resort Cangkringan mencapai sekitar 95%
dari total luas petak sampel.
23
Secara alami Acacia decurrens sanggup menyebar dengan sendirinya secara relatif
cepat dibandingkan jenis-jenis tumbuhan tingkat tinggi lainnya, khususnya di areal-areal
yang kosong dan kritis. Dan, memang jarang ada suatu jenis Acacia decurrens yang
secara alami dapat membentuk populasi secara terfragmentasi (kumpulan kelompok
secara terpisah). Sudah menjadi fakta bahwa sebagian besar Acacia decurrens dalam
kawasan TNGM terkonsentrasi di areal-areal terkena dampak erupsi Merapi kategori
berat dan sedang. Hal ini menunjukkan bahwa suhu panas awan panas walaupun
menghancurkan setiap vegetasi yang dilewatinya namun sisi lain merangsang
perkecambahan biji-biji Acacia decurrens yang terdapat didalam tanah.
Di wilayah Boyolali (dalam kawasan TNGM), pola persebaran Acacia decurrens
cenderung menyebar rata dengan Dominasi Jenis yang tergolong rendah-sedang
dikarenakan daerah Boyolali relatif tidak terkena kerusakan berat dan sedang akibat
erupsi tahun 2010. Untuk wilayah Babadan, Dominasi Acacia decurrens tergolong
sedang dikarenakan sebagaian wilayahnya terkena dampak berat erupsi Merapi tahun
2010.
Di wilayah Turi Pakem (dalam kawasan TNGM), relatif sedikit dijumpainya Acacia
decurrens dikarenakan sebagian besar wilayah ini tidak terkena dampak berat maupun
sedang erupsi Merapi tahun 2010, ditambah kondisi hutan alamnya yang masih bagus
dan rapat. Sehingga, di sebagian besar wilayahnya tidak ada Acacia decurrens tapi
kalau ada areal yang terdapat Acacia decurrens maka pola persebarannya cenderung
terfragmentasi di sebagian kecil wilayah yang berbatasan dengan wilayah Cangkringan.
Tetap dalam konteks persebaran Acacia decurrens, jika dilihat dari sudut pandang
luasan tutupan lahan berupa Acacia decurrens di daerah penyangga kawasan TNGM
(luar kawasan yang berbatasan dengan kawasan TNGM) maka sangat jelas bahwa
desa-desa di Wilayah Cangringan (di luar kawasan TNGM) adalah wilayah yang
memiliki luasan hutan Acacia decurrens yang paling luas dibandingan dengan di
wilayah-wilayah desa lain sekitar pinggiran batas kawasan TNGM. Hal ini lebih
disebabkan secara alami dimana areal terdampak erupsi di wilayah Cangkringan
terkategori berat.
24
Gambar 5. Peta persebaran Acacia decurrens tingkat pohon
Keterangan:
: Kerapatan Acacia decurrens rendah
Keterangan:
: Kerapatan Acacia decurrens sedang
25
Gambar 7. Peta persebaran Acacia decurrens tingkat pancang
Keterangan:
26
Gambar 8. Kondisi tegakan Acacia decurrens di wilayah Cangkringan (Sleman)
27
Gambar 11. Kondisi tegakan Acacia decurrens di wilayah Tegalmulyo jalur 1 (Klaten)
Gambar 12. Kondisi tegakan Acacia decurrens di wilayah Tegalmulyo jalur 2 (Klaten)
Gambar 13. Kondisi tegakan Acacia decurrens di wilayah Sapu Angin (Klaten)
28
Gambar 14. Kondisi tegakan Acacia decurrens di wilayah Babadan (Magelang)
29
ketebalan tanahnya rendah (tanah tipis) maka peluang Acacia decurrens untuk hidup
dan berkembang semakin rendah.
Rentang ketinggian tempat terdapatnya Acacia decurrens di dalam kawasan
TNGM menurut pendapat penyusun belum tentu mencerminkan rentang hidup vertikal
Acacia decurrens tersebut dikarenakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kemampuan hidup Acacia decurrens di suatu tempat ketinggian tertentu seperti tingkat
kedalaman tanah, kesuburan tanah, suhu udara, curah hujan, dan tingkat persaingan
mendapatkan sinar matahari. Menurut literatur,Acacia decurrens mampu hidup hingga
pada ketinggian 2.500 m dpl.
30
Ada beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam melihat korelasi statistik
regresi antara dominasi Acacia decurrens terhadap keanekaragaman jenis tumbuhan,
yaitu bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat
dominasi Acacia decurrens saja tapi bisa dipengaruhi oleh hal-hal lain seperti ketebalan
tanah, kelimpahan air, keasaman tanah, dan lain-lain.
31
BAB VII
KESIMPULAN
1. Acacia decurrens pada tingkat pohon memiliki kerapatan jenis yang rendah (<0.1) di
sebagian wilayah Resort Turi Pakem, Cangkringan, Kemalang, Cepogo-Musuk, Selo,
dan Kec. Dukun. Pada tingkat pohon tidak dijumpai Kerapatan Jenis yang sedang
maupun tinggi.
2. Acacia decurrens pada tingkat tiang memiliki kerapatan jenis yang sedang (0.1-0.4) dan
rendah (<0.1). Pada kerapatan jenis yang sedang dijumpai di wilayah Resort Turi-
Pakem, Cangkringan, Kemalang, Cepogo-Musuk, Selo, dan Kec. Dukun. Sedangkan
pada kerapatan jenis rendah dijumpai secara luas di wilayah Resort Turi-Pakem,
Cangkringan, Kemalang, Cepogo-Musuk, Selo, dan Kec. Dukun.
3. Acacia decurrens pada tingkat pancang memiliki kerapatan jenis yang tinggi (>0.4),
sedang (0.1-0.4), dan rendah (<0.1). Pada kerapatan jenis tinggi dijumpai paling banyak
di Cangkringan, Kemalang, dan Babadan (Kec. Dukun).
4. Areal yang ditumbuhi Acacia decurrens dengan kerapatan jenis tinggi terutama pada
areal terdampak erupsi Merapi tahun 2010 yang kerusakan vegetasinya kategori berat.
5. Pada areal yang kondisi hutan alamnya masih bagus dan rapat tidak dijumpai Acacia
decurrens.
6. Jenis Acacia decurrens hanya mendominasi areal yang terbuka dan kritis akibat erupsi
Merapi pada tahun 2010.
7. Pada areal terdampak erupsi Merapi tahun 2010 yang kerusakan vegetasinya kategori
ringan memiliki kerapatan jenis Acacia decurrens yang rendah.
8. Secara statistik dengan menggunakan metode korelasi regresi, dapat
dideskripsikan/diindikasikan bahwa dominasi Acacia decurrens terhadap
keanekaragaman jenis pohon tingkat pancang memiliki nilai yang negatif (b = -0.00014)
9. Dominasi Acacia decurrens terhadap keanekaragaman jenis anakan pohon dan
tumbuhan bawah cenderung bernilai positif (b = 0.00012 untuk dominasi terhadap
keanekaragaman jenis anakan pohon; b = 0.00008 untuk dominasi terhadap
keanekargaman jenis tumbuhan bawah).
32
BAB VIII
PENUTUP
Penanggung jawab
33
DAFTAR PUSTAKA
Yuniasih, B., 2013, Tesis Ancaman Invasi Acacia Decurrens Pasca Erupsi Gunung
Api Merapi 2010 Terhadap Pemulihan Keanekaragaman Hayati Flora
Pegunungan di Taman Nasional Gunung Merapi, Program Studi Ilmu
Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
34