Pembimbing
Disusun Oleh
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa. yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat
yang berjudul “KEJANG PADA NEONATUS”.
Lapkas ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF ANAK di RSUD Dr. R.M. DJOELHAM
BINJAI Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Budi Andri Ferdian, Sp.a selaku dokter pembimbing
2. Para pegawai dibagian SMF Anak RSUD Dr. R.M. Djoelham.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD DR. RM. Djoelham.
Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada
penulis selama ini, penulis ucapkan terimakasih dan semoga Tuhan membalas dengan
pahala yang sebesar-besarnya, Aamiin.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani
aplikasi ilmu.
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Definisi ..................................................................................................2
2.2 Etiologi...................................................................................................3
2.3 Epidemiologi..........................................................................................4
2.4.Patofisiologi...........................................................................................8
2.5.Diagnosis................................................................................................8
2.6 Diagnosis Banding ..............................................................................12
2.7 Penatalaksanaan...................................................................................13
2.8 Prognosis..............................................................................................16
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Banyak penyakit atau faktor risiko yang dapat menyebabkan kejang pada
neonatus ini. Tidak jarang kejang pada neonatus berhubungan dengan penyakit berat
dan memerlukan penanganan yang spesifik. Untuk itu butuh pengenalan yang benar
mengenai kejang pada neonatus mengingat sulitnya membedakan manifestasi
kejangnya dengan gerakan-gerakan normal pada neonatus atau dengan gerakan tidak
normal yang mirip dengan kejang seperti spasme neonatorum.2
Pada referat ini akan membahas mengenai kejang pada neonatus. Pembahasan
dimulai dari definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, diagnosis
banding, penatalaksanaan serta prognosis dari kejang pada neonatus.
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Definisi
Kejang pada neonatus secara klinis adalah perubahan paroksismal dari fungsi
neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf)
yang terjadi pada bayi dari umur 0 sampai 28 hari.1,2
2.2 Etiologi
Kejang terjadi lebih sering pada periode neonatus (umur 0-28 hari)
dibandingkan dengan periode lainnya. Insiden terjadinya kejang pada neonatus,
yaitu:3
a. 1.5-3.5 per 1000 kelahiran cukup bulan.
b. 10-130 per 1000 kelahiran kurang bulan.
c. Kejang sangat sering terjadi pada bayi kurang bulan (70%) dengan perdarahan
intraventrikular atau leukomalasia periventrikular.
d. Status epileptikus (suatu keadaan kejang yang terus menerus atau berulang
yang bertahan lebih dari 30 menit dimana tidak ada perbaikan kesadaran
diantara kejang) jarang terjadi dan hanya 5% terjadi pada bayi dengan kejang.
2.4 Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah akibat loncatan muatan listrik
yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan
gerakan yang berulang. Depolarisasi saraf terjadi akibat masuknya natrium dan
repolarisasi terjadi karena keluarnya kalium melalui membran sel. Volpe (2001)
mengajukan empat alasan yang mungkin dapat mengakibatkan adanya depolarisasi
yang berlebihan, yaitu:2,5
Fenomena kejang pada bayi baru lahir (BBL) dijelaskan oleh Volpe karena
keadaan anatomi dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut:2
2.5 Diagnosis
Anamnesis
- Riwayat perinatal: asfiksia perinatal adalah penyebab paling sering dari kejang
pada neonatus dan riwayat yang lengkap mengenai fetal distress, penurunan
pergerakan janin, alat-alat yang dipakai untuk bersalin, adanya resusitasi dalam
ruang bersalin, APGAR skor (<3 pada menit pertama dan menit ke lima) dan
pH darah tali pusar yang abnormal (≤7) dan kekurangan basa (≥10 mEq/L)
harus didapatkan.1
- Riwayat minum: keadaan klinis pasien seperti letargi, aktifitas yang sedikit,
tampak mengantuk, dan muntah setelah inisiasi ASI dapat memberi petunjuk
adanya gangguan metabolisme pada neonatus.1
- Riwayat keluarga: Riwayat orang tua yang mempunyai ikatan darah, riwayat
kejang dalam keluarga, riwayat melahirkan anak dengan retardasi mental dan
kematian pada neonatus dapat menjadi petunjuk adanya gangguan pada
metabolisme. Riwayat kejang pada kedua orang tua atau saudara pada masa
neonatus dapat menjadi petunjuk adanya benign familial neonatal convulsions
(BFNC).1
Manifestasi Klinis
a. Kejang subtle. Bentuk kejang subtle lebih sering terjadi dibandingkan tipe
kejang lain, hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun BCB.
Dikatakan subtle karena manifestasi kliniknya ringan dan seringkali luput dari
perhatian. Lebih sering terdapat pada BKB dibandingkan dengan BCB.
Kejang subtle biasanya bermanifestasi sebagai perubahan paroksismal ringan
dari fungsi motorik, perilaku, atau fungsi otonom. Dapat berupa gerakan
stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh sepeda atau berenang, deviasi
atau gerakan kejutan pada mata dan mengedip berulang kali, ngiler,
menghisap, mengunyah, apnea atau perubahan tiba-tiba pola pernapasan, serta
fluktuasi yang berirama pada tanda vital.1,2,5,7
b. Kejang tonik. Bentuk klinis kejang ini adalah pergerakan tonik satu
ekstremitas atau pergerakan tonik umum. Kejang tonik terdiri dari kejang
fokal dan umum. Kejang fokal: terdiri dari postur tubuh asimetris yang
menetap dari badan atau ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata
abnormal. Kejang umum: ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher,
badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas bawah juga.2
c. Kejang klonik. Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan dan
berirama (1-3 /menit) penyebabnya mungkin berasal dari satu titik atau
multifokal. Dikenal 2 bentuk kejang klonik, yaitu fokal dan multifokal.
Kejang fokal: terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada
sisi unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan
ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik. Multifokal: merupakan gerakan
klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau
terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan
kejang klonik tungkai bersinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai
kejang umum.2,7
d. Kejang mioklonik. Kejang ini bermanifestasi sebagai satu atau banyak
gerakan kejut yang cepat pada ekstremitas atas atau bawah dan biasanya dapat
dibedakan dengan kejang klonik dengan adanya lebih banyak gerakan kejut
cepat, tidak adanya gerak kembali lambat dan predileksinya lebih banyak pada
otot fleksor. Kejang mioklonik terdiri dari kejang fokal, multifokal, dan
umum. Kejang fokal: terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor
ekstremitas atas. Kejang multifokal: terdiri dari gerakan tidak sinkron dari
beberapa bagian tubuh; Kejang umum: terdiri dari satu atau lebih gerakan
fleksi masih dari kepala dan badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi
dari ekstremitas.1,2
Pemeriksaan fisik
- Tanda-tanda vital: nadi, respirasi, tekanan darah, capillary refill time dan
temperatur.2
- Pemeriksaan umum: umur gestasi, berat badan dan tinggi badan menurut umur,
dan berat menurut umur harus diperiksa karena kemungkinan dapat
memberikan informasi mengenai etiologi dari kejangnya itu sendiri. Kejang
pada bayi cukup bulan yang sehat mungkin dapat berasal dari perdarahan
subaraknoid. Kejang pada bayi besar masa kehamilan mungkin dapat
disebabkan oleh hipoglikemia. Neonatus harus juga diperiksa apakah ada
kelainan malformasi atau dismorfik. BBL yang mengalami kejang biasanya
letargi dan tampak sakit kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan
hipoventilasi dan berhentinya pernapasan. Kejang tonik, posisi dalam
deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat kuadriparesis
flaksid, dicurigai terjadinya perdarahan intraventrikular.2
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan utama:7
- Glukosa darah
- Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit dan trombosit
- Elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium)
- Analisa gas darah arteri
- Analisa cairan serebrospinal
Pemeriksaan lainnya:7
Pertama kita harus membedakan apakah manifestasi yang terlihat itu kejang atau hanya
gerakan yang bukan kejang. Ada beberapa gerakan yang mirip kejang, yaitu:
a. Gerakan tidur mioklonus biasa pada neonatus. Gerakan tidur biasa pada neonatus
terutama terlihat pada bayi kurang bulan saat tidur. Gerakan ini dapat dipicu oleh bunyi
atau gerakan, dapat berkurang jika bangun dan tidak berkaitan dengan perubahan sistem
otonom apapun.7
b. Apneu. Pada bayi berat lahir rendah (BBLR) biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi
dengan berhentinya pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selama 10-50 detik.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk serangan
kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.2
c. Jitterness. Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali
per detik. Jitterness seringkali terlihat pada bayi dengan hipoglikemia, penghentian obat,
hipokalsemia, hipotermia dan pada bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK).2,7
Tabel 1. Perbedaan Jitterness dengan Kejang
d. Spasme. Ciri-ciri spasme, yaitu: kontraksi otot tidak terkendali paling tidak beberapa
detik sampai beberapa menit, dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya, bayi tetap
sadar, sering menangis kesakitan, trismus (rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir
mencucu seperti mulut ikan), opistotonus, gerakan tangan seperti meninju dan mengepal.2
Manifestasi klinis kejang sangat bervariasi, meskipun demikian diagnosis yang cepat dan
terapi yang tepat merupakan hal yang penting, karena pengenalan kondisi yang terlambat
meskipun tertangani akan dapat meninggalkan sekuele pada sistem saraf. Selain mengatasi
kejang, kemungkinan diagnosis lain juga dipertimbangkan, seperti:2
- Hipoglikemia. Timbul saat lahir sampai dengan hari ke-3 dengan riwayat ibu diabetes.
Pada BBL terdapat: Kejang, tremor, letargi atau tidak sadar; bayi kecil (berat lahir < 2500
gram atau umur kehamilan < 37 minggu); bayi sangat besar (berat lahir > 4000 gram);
Kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2.6 mmol/L).
- Tetanus neonatorum. Dalam anamnesis ditemukan: Ibu tidak diimunisasi tetanus toksoid,
bayi malas minum sesudah minum normal sebelumnya, timbul pada hari ke-3 sampai 14,
riwayat lahir di rumah dengan lingkungan kurang higienis dan pengolesan bahan tidak
steril pada tali pusat. Gejala berupa spasme dan sering kali terlihat infeksi pada tali pusat.
- Meningitis. Biasanya timbul pada hari ke-2 dengan gejala kejang, tidak sadar, ubun-ubun
besar dan membonjol, letargi.
- Asfiksia neonatorum dan/atau trauma. Riwayat resusitasi pada saat lahir atau bayi tidak
bernapas minimal satu menit sesudah lahir. Timbul pada hari ke-1 sampai ke-4.
Persalinan dengan penyulit (misal partus lama atau gawat janin). Pada BBL ditemukan
kejang atau tidak sadar, letargi, gangguan napas, dan suhu tidak normal.
- Perdarahan intraventrikular. Biasanya timbul pada hari ke-1 sampai ke-7. Kondisi bayi
mendadak memburuk dan mendadak pucat. Pada BBL ditemukan: kejang atau tidak
sadar; bayi kecil (berat lahir < 2500 g atau umur kehamilan < 37 minggu); gangguan
napas berat.
- Ensefalopati bilirubin (kern ikterus). Terdapat ikterus hebat yang tidak atau terlambat
diobati yang timbul pada hari ke-2 dan ensefalopati timbul pada hari 3-7. Gejalanya dapat
berupa kejang atau opistotonus dan pada pemeriksaan Coombs hasilnya positif.
2.7 Penatalaksanaan
Langkah awal dalam penatalaksanaan kejang pada neonatus adalah stabilisasi keadaan
neonatus, menghentikan kejang, identifikasi dan pengobatan faktor etiologi serta suportif untuk
kejang berulang. Stabilisasi neonatus dilakukan dengan cara memberikan suhu lingkungan yang
nyaman, mengamankan jalan napas, napas dan sirkulasi. Oksigen harus segera diberikan, jalur
intravena sudah dipasang, dan darah harus diambil untuk pemeriksaan gula atau pemeriksaan
lainnya. Riwayat perjalanan penyakit bayi harus segera didapatkan dan pemeriksaan secara klinis
harus segera dilakukan. Semua ini harus sudah dilakukan dalam waktu 2-5 menit.1
Terapi Anti-Kejang
a. Fenobarbital.
Merupakan obat pilihan utama pada neonatus dengan kejang, diberikan loading dose 20
mg/KgBB IV secara perlahan selama 20 menit (tidak lebih cepat dari 1 mg/kgBB/min).
Jika kejang masih ada setelah loading dose selesai, ulangi pemberian fenobarbital dengan
dosis 10 mg/kgBB yang dapat diberikan setiap 20-30 menit sampai tercapai dosis total 40
mg/kgBB atau kejang sudah terkontrol. Jika jalur IV belum terpasang, beri injeksi
fenobarbital 20 mg/kgBB dosis tunggal secara IM. Untuk rumatan dapat diberikan dosis
3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 pemberian sehari, dimulai 12 jam setelah loading dose.1,2
b. Fenitoin.
Fenitoin diberikan jika dengan pemberian dosis maksimal fenobarbital (40 mg/KgBB)
kejang masih tidak dapat terkontrol atau jika terdapat efek samping seperti depresi napas,
hipotensi dan bradikardia pada pemberian fenobarbital. Dosis 20 mg/kgBB IV diberikan
dengan kecepatan tidak melebih 1 mg/kgBB/min dalam pengawasan ketat jantung.
Fenitoin harus diencerkan dengan cairan normal salin dan tidak dapat diencerkan dengan
cairan dekstrosa. Dosis ulangan 10 mg/kgBB dapat diberikan pada kejang yang refrakter.
Untuk rumatan dapat diberikan dosis 3-5 mg/kgBB/hari (dosis maksimum 8 mg/kgBB/
hari) dibagi 2-4 dosis..1,6
c. Benzodiazepin.
Kombinasi dari fenobarbital dan fenitoin dapat mengendalikan kejang pada 85% dari
neonatus. Untuk kejang yang masih refrakter dengan pemberian semua ini, maka
pemberian benzodiazepin dapat memberikan manfaat. Terdapat tiga agen, yaitu
lorazepam, diazepam, dan midazolam. Lorazepam lebih banyak dipilih dibandingkan
diazepam. Lorazepam dapat diberikan dengan dosis 0,05 mg/kgBB IV dengan onset kerja
2-3 menit dan bertahan antara 6-24 jam (lebih lama pada neonatus dengan postasfiksia
dan disfungsi hepar). Dosis ini dapat diulang setelah beberapa menit sampai dosis total
tercapai, yaitu 0,10 mg/kgBB. Diazepam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB dan
1
dinaikkan pelan-pelan sampai 0,3 mg/kgBB sampai kejang berhenti. Karena T yang
2
cepat, diazepam dan midazolam efektif jika digunakan secara continuous infusion.
Midazolam diberikan dengan dosis inisial sebanyak 0,15 mg/kgBB IV bolus, dilanjutkan
dengan continuous infusion 0,1-0,4 mg/kgBB/jam.1,10
d. Piridoksin.
Ketika kejang pada neonatus tetap refrakter pada pemberian semua regimen diatas,
ketergantungan piridoksin harus disingkirkan. Kondisi ini didiagnosis dengan
berhentinya gambaran kejang pada EEG setelah pemberian piridoksin IV dengan dosis
50-100 mg. Pemberian piridoksin meningkatkan sintesis dari neurotransmitter inhibitor
GABA, maka apneu dan hipotonia, sehingga pengawasan ketat sistem respirasi sangat
diharuskan. Jika diagnosanya benar, maka dapat diberikan dosis rumatan secara oral 10-
100 mg/hari, tergantung responnya.10
e. Obat lainnya.
Tidak ada pedoman khusus kapan harus menghentikan obat antikejang dan biasanya hal ini
sangat individualis. Terdapat protokol yang direkomendasikan oleh Volpe, semua pengobatan
dihentikan ketika pasien pulang jika pemeriksaan klinis normal, terlepas dari etiologi dan EEG.
Jika pada pemeriksaan neurologis ditemukan tetap abnormal pada saat mau pulang, obat
antikejang dilanjutkan dan neonatus kembali kontrol setelah 1 bulan. Jika bayi normal pada
pemeriksaan berikutnya dan telah bebas kejang selama 1 bulan, penghentian fenobarbital dapat
dilakukan dengan tapering off selama 2 minggu. Jika pada pemeriksaan neurologis tidak normal,
maka harus diperiksa EEG. Jika hasil EEG normal maka obat antikejang di diturunkan dosisnya
lalu dihentikan. Tetapi jika EEG tidak normal maka fenobarbital tetap dilanjutkan dan dievaluasi
selama 3 bulan.1
2.8 Prognosis
Prognosis kejang pada neonatus bervariasi tergantung dari penyebab kejang. Neonatus dengan
penyebab kejang hipokalsemia mempunyai prognosis yang sangat baik, berbanding terbalik
dengan penyebab kejang akibat kongenital malformasi yang mempunyai prognosis yang buruk.
Tujuh puluh persen neonatus dengan kejang dapat kambuh pada suatu saat nantinya.5
KESIMPULAN
Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksismal dari fungsi neurologik yang terjadi
pada bayi dari umur 0 sampai 28 hari. Kejang ini dapat disebabkan oleh banyak penyebab
dimana penyebab paling sering adalah hipoksik-iskemik-ensefalopati (30-50%), perdarahan
intrakranial (10-17%), kelainan metabolik misalnya hipoglikemia (6-10%), hipokalsemia (6-
15%), infeksi SSP (5-14%), infark serebral (7%), inborn errors of metabolism (3%), malformasi
SSP. Insidensi kejang pada neonatus didapatkan lebih sering pada bayi kurang bulan.
Keadaan anatomi dan fisiologi susunan saraf pusat neonatus yang belum sempurna
berkembang merupakan alasan neonatus untuk lebih rentan terjadi kejang. Kejang pada neonatus
tidak seperti kejang pada anak yang lebih dewasa. Kejang pada neonatus lebih bersifat fokal dan
agak sulit dikenali. Terdapat 4 macam kejang pada neonatus, yaitu kejang subtle, kejang tonik,
kejang klonik, kejang mioklonik. Anamnesis yang teliti mengenai sifat kejang, riwayat perinatal,
riwayat antenatal, riwayat persalinan serta gejala-gejala yang menyertai harus didapatkan untuk
mengetahui penyebab kejangnya. Selain itu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
berhubungan juga harus dilakukan untuk menunjang diagnosis.
Penatalaksanaan pertama dari kejang pada neonatus adalah menstabilkan keadaan dari
neonatus itu sendiri. Setelah itu, berbagai pemeriksaan dapat dilakukan untuk menentukan
penyebab kejang. Obat anti kejang lini pertama adalah fenobarbital, jika belum teratasi berikan
fenitoin, lalu jika masih tidak teratasi berikan obat golongan benzodiazepine (lorazepam,
diazepam, midazolam).
Prognosis terjadinya kejang itu sendiri tergantung dari penyebab kejang dimana
prognosis paling baik terdapat pada hipokalsemik, dan yang paling buruk adalah malformasi
kongenital.
Daftar Pustaka
1. Sankar MJ, Agarwal R, Deodari AK, Paul VK. Seizure in the newborn. Indian J Pediatr.
2008; 75: 149-55.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: KDT; 2008. h.
226-49.
3. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Neonatal seizure.
Australia: Queensland Health; 2011. h. 1-18.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis jilid 2. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2011. h. 155-60.
5. Gomella TL. Neonatology: management, procedures, on-call problem, diseases, and
drug. Fifth edition. New York: McGraw-Hill; 2004. h. 659-64.
6. Olson DM. Neonatal seizures. NeoReviews. 2012; 13(4): 213-20.
7. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Pelayanan obstetric dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. h. 273-80
8. Kosim MS. Kejang pada bayi berat lahir rendah. Disampaikan pada Seminar
Penatalaksanaan terkini BBLR. Solo 27-28 Januari, 2007.
9. Rennie JM, Seizure. Dalam: Rennie JM, penyunting. Roberton’s Textbook of
neonatology. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone, 2005. h. 1105.
10. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Manual of neonatal care. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 484-97.
11. Kliegman RM, Stanton BF, Joseph W, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatrics. 19th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2011. h. 7311.