Anda di halaman 1dari 19

REFARAT ANAK

KEJANG PADA NEONATUS

Pembimbing

dr. Budi Andri Ferdian,Sp.A

Disusun Oleh

Riri Permata Sari


102119033

KKS ANAK RSUD DJOELHAM BINJAI


KOTA BINJAI
UNIVERSITAS BATAM
2020
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan yang maha Esa. yang telah
memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan refarat
yang berjudul “KEJANG PADA NEONATUS”.
Lapkas ini disusun untuk memenuhi sebagian syarat dalam mengikuti dan
menyelesaikan kepaniteraan klinik SMF ANAK di RSUD Dr. R.M. DJOELHAM
BINJAI Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada:
1. dr. Budi Andri Ferdian, Sp.a selaku dokter pembimbing
2. Para pegawai dibagian SMF Anak RSUD Dr. R.M. Djoelham.
3. Teman-teman sejawat dokter muda di lingkungan RSUD DR. RM. Djoelham.
Untuk seluruh bantuan baik moril maupun materil yang diberikan kepada
penulis selama ini, penulis ucapkan terimakasih dan semoga Tuhan membalas dengan
pahala yang sebesar-besarnya, Aamiin.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan referat ini. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi para dokter muda yang memerlukan panduan dalam menjalani
aplikasi ilmu.

Binjai, September 2020


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI.........................................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Definisi ..................................................................................................2
2.2 Etiologi...................................................................................................3
2.3 Epidemiologi..........................................................................................4
2.4.Patofisiologi...........................................................................................8
2.5.Diagnosis................................................................................................8
2.6 Diagnosis Banding ..............................................................................12
2.7 Penatalaksanaan...................................................................................13
2.8 Prognosis..............................................................................................16

BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................17

DAFTAR PUSTAKA
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kejang pada neonatus merupakan masalah yang sangat serius mengingat


tingginya faktor morbiditas, faktor mortalitas dan biaya perawatan yang dapat terjadi.
Kejang pada neonatus merupakan suatu kegawatdaruratan yang perlu ditangani
dengan segera karena jika tidak ditangani dengan baik dapat menyebabkan sekuele
dikemudian hari atau dapat menyebabkan kematian.

Kejang pada neonatus cukup sulit untuk dikenali sehingga menyebabkan


angka kejadiannya tidak begitu akurat. Meskipun demikian angka kejadian di
Amerika Serikat berkisar antara 0,8-1,2 per 1000 neonatus per tahun. Angka kejadian
kejang neonatus meningkat sebesar 57,5-132 per 1000 bayi kurang bulan (BKB)
dibandingkan bayi cukup bulan (BCB) sebesar 0.7-2.7 per 1000 kelahiran hidup.1,2

Banyak penyakit atau faktor risiko yang dapat menyebabkan kejang pada
neonatus ini. Tidak jarang kejang pada neonatus berhubungan dengan penyakit berat
dan memerlukan penanganan yang spesifik. Untuk itu butuh pengenalan yang benar
mengenai kejang pada neonatus mengingat sulitnya membedakan manifestasi
kejangnya dengan gerakan-gerakan normal pada neonatus atau dengan gerakan tidak
normal yang mirip dengan kejang seperti spasme neonatorum.2

Pada referat ini akan membahas mengenai kejang pada neonatus. Pembahasan
dimulai dari definisi, etiologi, epidemiologi, patofisiologi, diagnosis, diagnosis
banding, penatalaksanaan serta prognosis dari kejang pada neonatus.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kejang pada neonatus secara klinis adalah perubahan paroksismal dari fungsi
neurologik (misalnya perilaku, sensorik, motorik dan fungsi autonom sistem saraf)
yang terjadi pada bayi dari umur 0 sampai 28 hari.1,2

2.2 Etiologi

Penyebab kejang pada neonatus yang paling sering ditemui:2


- Ensefalopati iskemik hipoksik
- Perdarahan intrakranial (periventrikuler/intraventrikuler, subdural,
subaraknoid)
- Metabolik (hipoglikemia; hipokalsemia/hipomagnesemia;
hiponatremia/hipernatremia)
- Infeksi (TORCH, meningitis, septisemia).

Penyebab yang jarang:2

- Kern ikterus/ensefalopati bilirubin


- Kejang yang berhubungan dengan obat: pengaruh pemberhentian obat (Drug
withdrawl); intoksikasi anestesi lokal.
- Gangguan perkembangan otak (disgenesis korteks serebri)
- Gangguan metabolisme asam amino
- Ketergantungan dan kekurangan piridoksin.
- Idiopatik (benign familial neonatal seizures, kejang hari ke-5, benign
neonatal sleep mioklonus).
2.3 Epidemiologi

Kejang terjadi lebih sering pada periode neonatus (umur 0-28 hari)
dibandingkan dengan periode lainnya. Insiden terjadinya kejang pada neonatus,
yaitu:3
a. 1.5-3.5 per 1000 kelahiran cukup bulan.
b. 10-130 per 1000 kelahiran kurang bulan.
c. Kejang sangat sering terjadi pada bayi kurang bulan (70%) dengan perdarahan
intraventrikular atau leukomalasia periventrikular.
d. Status epileptikus (suatu keadaan kejang yang terus menerus atau berulang
yang bertahan lebih dari 30 menit dimana tidak ada perbaikan kesadaran
diantara kejang) jarang terjadi dan hanya 5% terjadi pada bayi dengan kejang.

Angka kematian berkisar 21-58%, sebanyak 30% yang berhasil hidup


menderita kelainan neurologis.4

2.4 Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah akibat loncatan muatan listrik
yang berlebihan dan sinkron pada otak atau depolarisasi otak yang mengakibatkan
gerakan yang berulang. Depolarisasi saraf terjadi akibat masuknya natrium dan
repolarisasi terjadi karena keluarnya kalium melalui membran sel. Volpe (2001)
mengajukan empat alasan yang mungkin dapat mengakibatkan adanya depolarisasi
yang berlebihan, yaitu:2,5

a. Kegagalan dari pompa natrium-kalium karena adanya gangguan pada


produksi energi.
b. Adanya peningkatan neurotransmiter eksitatorik dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibitatorik.
c. Adanya penurunan neutransmiter inhibitatorik dibandingkan neurotransmitter
eksitatorik.
d. Adanya perubahan pada membran neuron yang menyebabkan penghambatan
dari pergerakkan natrium.

Fenomena kejang pada bayi baru lahir (BBL) dijelaskan oleh Volpe karena
keadaan anatomi dan fisiologi pada masa perinatal yang sebagai berikut:2

Keadaan anatomi susunan saraf pusat perinatal:


- Susunan dendrit dan remifikasi aksonal yang masih dalam proses
pertumbuhan.
- Sinaptogenesis belum sempurna.
- Mielinisasi pada sistem eferen di kortikal belum lengkap.

Keadaan fisiologis perinatal:


- Sinaps eksitatori berkembang melalui inhibisi.
- Neuron kortikal dan hipokampal masih imatur.
- Inhibisi kejang oleh substansia nigra belum berkembang.

2.5 Diagnosis

Anamnesis

- Riwayat kejang: deskripsi yang lengkap mengenai kejang harus ditanyakan


kepada orang yang mendampingi bayi. Riwayat adanya gerakan mata yang
mencurigakan, perubahan dari warna kulit (mottling atau sianosis), fenomena
autonom, dan keadaan bayi pada saat kejang – sadar atau tertidur – harus
didapatkan. Umur bayi pada saat terjadinya kejang juga dapat menjadi petunjuk
yang penting dalam mendiagnosa sakitnya. Kejang yang terjadi pada umur 0-3
hari mungkin dapat berhubungan dengan asfiksia perinatal, perdarahan
intrakranial, dan kelainan metabolik dan perkembangan. Sedangkan kejang
yang terjadi pada umur 4-7 hari dapat terjadi akibat sepsis, meningitis,
gangguan metabolik dan defek perkembangan.1
- Riwayat antenatal: riwayat adanya infeksi intrauterin, diabetes dan kecanduan
narkotika juga harus ditanyakan dalam riwayat antenatal.1

- Riwayat perinatal: asfiksia perinatal adalah penyebab paling sering dari kejang
pada neonatus dan riwayat yang lengkap mengenai fetal distress, penurunan
pergerakan janin, alat-alat yang dipakai untuk bersalin, adanya resusitasi dalam
ruang bersalin, APGAR skor (<3 pada menit pertama dan menit ke lima) dan
pH darah tali pusar yang abnormal (≤7) dan kekurangan basa (≥10 mEq/L)
harus didapatkan.1

- Riwayat minum: keadaan klinis pasien seperti letargi, aktifitas yang sedikit,
tampak mengantuk, dan muntah setelah inisiasi ASI dapat memberi petunjuk
adanya gangguan metabolisme pada neonatus.1

- Riwayat keluarga: Riwayat orang tua yang mempunyai ikatan darah, riwayat
kejang dalam keluarga, riwayat melahirkan anak dengan retardasi mental dan
kematian pada neonatus dapat menjadi petunjuk adanya gangguan pada
metabolisme. Riwayat kejang pada kedua orang tua atau saudara pada masa
neonatus dapat menjadi petunjuk adanya benign familial neonatal convulsions
(BFNC).1

Manifestasi Klinis

Kejang pada neonatus terlihat kurang begitu jelas dibandingkan dengan


kejang pada anak yang lebih dewasa. Kejang pada BBL biasanya fokal dan agak sulit
dikenali. Kejang tonik-klonik/grand-mal jarang terjadi pada BBL.2,5,6

Terdapat empat tipe kejang pada neonatus berdasarkan presentasi klinisnya,yaitu:

a. Kejang subtle. Bentuk kejang subtle lebih sering terjadi dibandingkan tipe
kejang lain, hampir 50% dari kejang BBL baik pada BKB maupun BCB.
Dikatakan subtle karena manifestasi kliniknya ringan dan seringkali luput dari
perhatian. Lebih sering terdapat pada BKB dibandingkan dengan BCB.
Kejang subtle biasanya bermanifestasi sebagai perubahan paroksismal ringan
dari fungsi motorik, perilaku, atau fungsi otonom. Dapat berupa gerakan
stereotip ekstremitas seperti gerakan mengayuh sepeda atau berenang, deviasi
atau gerakan kejutan pada mata dan mengedip berulang kali, ngiler,
menghisap, mengunyah, apnea atau perubahan tiba-tiba pola pernapasan, serta
fluktuasi yang berirama pada tanda vital.1,2,5,7
b. Kejang tonik. Bentuk klinis kejang ini adalah pergerakan tonik satu
ekstremitas atau pergerakan tonik umum. Kejang tonik terdiri dari kejang
fokal dan umum. Kejang fokal: terdiri dari postur tubuh asimetris yang
menetap dari badan atau ekstremitas dengan atau tanpa adanya gerakan mata
abnormal. Kejang umum: ditandai dengan fleksi tonik atau ekstensi leher,
badan dan ekstremitas, biasanya dengan ekstensi ekstremitas bawah juga.2
c. Kejang klonik. Terdiri dari gerakan kejut pada ekstremitas yang perlahan dan
berirama (1-3 /menit) penyebabnya mungkin berasal dari satu titik atau
multifokal. Dikenal 2 bentuk kejang klonik, yaitu fokal dan multifokal.
Kejang fokal: terdiri dari gerakan bergetar dari satu atau dua ekstremitas pada
sisi unilateral dengan atau tanpa adanya gerakan wajah. Gerakan ini pelan dan
ritmik dengan frekuensi 1-4 kali perdetik. Multifokal: merupakan gerakan
klonik dari salah satu atau lebih anggota gerak yang berpindah-pindah atau
terpisah secara teratur, misalnya kejang klonik lengan kiri diikuti dengan
kejang klonik tungkai bersinambungan, seolah-olah memberi kesan sebagai
kejang umum.2,7
d. Kejang mioklonik. Kejang ini bermanifestasi sebagai satu atau banyak
gerakan kejut yang cepat pada ekstremitas atas atau bawah dan biasanya dapat
dibedakan dengan kejang klonik dengan adanya lebih banyak gerakan kejut
cepat, tidak adanya gerak kembali lambat dan predileksinya lebih banyak pada
otot fleksor. Kejang mioklonik terdiri dari kejang fokal, multifokal, dan
umum. Kejang fokal: terdiri dari kontraksi cepat satu atau lebih otot fleksor
ekstremitas atas. Kejang multifokal: terdiri dari gerakan tidak sinkron dari
beberapa bagian tubuh; Kejang umum: terdiri dari satu atau lebih gerakan
fleksi masih dari kepala dan badan dan adanya gerakan fleksi atau ekstensi
dari ekstremitas.1,2

Pemeriksaan fisik

- Tanda-tanda vital: nadi, respirasi, tekanan darah, capillary refill time dan
temperatur.2

- Pemeriksaan umum: umur gestasi, berat badan dan tinggi badan menurut umur,
dan berat menurut umur harus diperiksa karena kemungkinan dapat
memberikan informasi mengenai etiologi dari kejangnya itu sendiri. Kejang
pada bayi cukup bulan yang sehat mungkin dapat berasal dari perdarahan
subaraknoid. Kejang pada bayi besar masa kehamilan mungkin dapat
disebabkan oleh hipoglikemia. Neonatus harus juga diperiksa apakah ada
kelainan malformasi atau dismorfik. BBL yang mengalami kejang biasanya
letargi dan tampak sakit kesadaran yang tiba-tiba menurun berlanjut dengan
hipoventilasi dan berhentinya pernapasan. Kejang tonik, posisi dalam
deserebrasi, reaksi pupil terhadap cahaya negatif dan terdapat kuadriparesis
flaksid, dicurigai terjadinya perdarahan intraventrikular.2

- Pemeriksaan neurologi: adanya penonjolan pada fontanel anterior menunjukkan


adanya meningitis atau perdarahan intrakranial. Tingkat kesadaran bayi pun
harus diperiksa (sadar/mengantuk/koma), tonus otot (hipotonia atau hipertonik)
dan pemeriksaan funduskopi untuk melihat apakah ada korioretinits. Adanya
korioretinitis dapat terjadi pada toksoplasmosis, infeksi sitomegalovirus dan
rubella.2

- Pemeriksaan sistem: adanya hepatosplenomegali atau bau urin yang tidak


normal dapat curiga Inborn Error of Metabolism (IEM). Kulit harus diperiksa
untuk melihat adanya tanda neuro-kutaneus. Adanya makula hipopigmentasi /
ash-leaf spot menandakan tuberous sclerosis. Pemeriksaan kepala untuk
mencari kelainan berupa fraktur, depresi atau molding yang berlebihan karena
trauma. Ubun-ubun besar yang tegang dan membonjol menunjukkan adanya
peningkatan tekanan intrakranial yang disebabkan oleh perdarahan subaraknoid
atau subdural serta kemungkinan meningitis. Pemeriksaan funduskopi dapat
menunjukkan kelainan perdarahan retina atau subhialoid yang merupakan
manifestasi patognomonik untuk hematoma subdural. Pemeriksaan tali pusat,
apakah ada infeksi, berbau busuk, atau aplikasi dengan bahan tidak steril pada
kasus yang dicurigai spasme atau tetanus neonatorum.1,2

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan utama:7

- Glukosa darah
- Pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis leukosit dan trombosit
- Elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium)
- Analisa gas darah arteri
- Analisa cairan serebrospinal

Pemeriksaan lainnya:7

- Mencari penyebab spesifik lainnya yang dicurigai (TORCH, kadar ammonia,


asam amino dalam urin, USG kepala, dll)
- Elektroensefalografi (EEG) normal pada sekitar 1/3 kasus
- USG kranial untuk melihat adanya perdarahan dan luka parut
- CT-Scan untuk mendiagnosis malformasi dan perdarahan otak
2.6 Diagnosis Banding

Pertama kita harus membedakan apakah manifestasi yang terlihat itu kejang atau hanya
gerakan yang bukan kejang. Ada beberapa gerakan yang mirip kejang, yaitu:

a. Gerakan tidur mioklonus biasa pada neonatus. Gerakan tidur biasa pada neonatus
terutama terlihat pada bayi kurang bulan saat tidur. Gerakan ini dapat dipicu oleh bunyi
atau gerakan, dapat berkurang jika bangun dan tidak berkaitan dengan perubahan sistem
otonom apapun.7
b. Apneu. Pada bayi berat lahir rendah (BBLR) biasanya pernapasan tidak teratur, diselingi
dengan berhentinya pernapasan 3-6 detik dan sering diikuti hiperpnea selama 10-50 detik.
Serangan apneu yang termasuk gejala kejang apabila disertai dengan bentuk serangan
kejang yang lain dan tidak disertai bradikardia.2
c. Jitterness. Bentuk gerakan adalah tremor simetris dengan frekuensi yang cepat 5-6 kali
per detik. Jitterness seringkali terlihat pada bayi dengan hipoglikemia, penghentian obat,
hipokalsemia, hipotermia dan pada bayi kecil untuk masa kehamilan (KMK).2,7
Tabel 1. Perbedaan Jitterness dengan Kejang

Manifestasi klinis Jitterness Kejang


a. Gerakan abnormal mata - +
b. Peka terhadap rangsang + -
c. Bentuk gerakan dominan Tremor Klonik
d. Gerakan dapat dihentikan dengan fleksi pasif + _
e. Perubahan fungsi autonom - +
f. Perubahan pada tanda vital dan penurunan saturasi oksigen + _
Sumber: Kosim MS8, Ismael S9

d. Spasme. Ciri-ciri spasme, yaitu: kontraksi otot tidak terkendali paling tidak beberapa
detik sampai beberapa menit, dipicu oleh sentuhan, suara maupun cahaya, bayi tetap
sadar, sering menangis kesakitan, trismus (rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka, bibir
mencucu seperti mulut ikan), opistotonus, gerakan tangan seperti meninju dan mengepal.2

Manifestasi klinis kejang sangat bervariasi, meskipun demikian diagnosis yang cepat dan
terapi yang tepat merupakan hal yang penting, karena pengenalan kondisi yang terlambat
meskipun tertangani akan dapat meninggalkan sekuele pada sistem saraf. Selain mengatasi
kejang, kemungkinan diagnosis lain juga dipertimbangkan, seperti:2

- Hipoglikemia. Timbul saat lahir sampai dengan hari ke-3 dengan riwayat ibu diabetes.
Pada BBL terdapat: Kejang, tremor, letargi atau tidak sadar; bayi kecil (berat lahir < 2500
gram atau umur kehamilan < 37 minggu); bayi sangat besar (berat lahir > 4000 gram);
Kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dl (2.6 mmol/L).

- Tetanus neonatorum. Dalam anamnesis ditemukan: Ibu tidak diimunisasi tetanus toksoid,
bayi malas minum sesudah minum normal sebelumnya, timbul pada hari ke-3 sampai 14,
riwayat lahir di rumah dengan lingkungan kurang higienis dan pengolesan bahan tidak
steril pada tali pusat. Gejala berupa spasme dan sering kali terlihat infeksi pada tali pusat.

- Meningitis. Biasanya timbul pada hari ke-2 dengan gejala kejang, tidak sadar, ubun-ubun
besar dan membonjol, letargi.

- Asfiksia neonatorum dan/atau trauma. Riwayat resusitasi pada saat lahir atau bayi tidak
bernapas minimal satu menit sesudah lahir. Timbul pada hari ke-1 sampai ke-4.
Persalinan dengan penyulit (misal partus lama atau gawat janin). Pada BBL ditemukan
kejang atau tidak sadar, letargi, gangguan napas, dan suhu tidak normal.

- Perdarahan intraventrikular. Biasanya timbul pada hari ke-1 sampai ke-7. Kondisi bayi
mendadak memburuk dan mendadak pucat. Pada BBL ditemukan: kejang atau tidak
sadar; bayi kecil (berat lahir < 2500 g atau umur kehamilan < 37 minggu); gangguan
napas berat.
- Ensefalopati bilirubin (kern ikterus). Terdapat ikterus hebat yang tidak atau terlambat
diobati yang timbul pada hari ke-2 dan ensefalopati timbul pada hari 3-7. Gejalanya dapat
berupa kejang atau opistotonus dan pada pemeriksaan Coombs hasilnya positif.

2.7 Penatalaksanaan
Langkah awal dalam penatalaksanaan kejang pada neonatus adalah stabilisasi keadaan
neonatus, menghentikan kejang, identifikasi dan pengobatan faktor etiologi serta suportif untuk
kejang berulang. Stabilisasi neonatus dilakukan dengan cara memberikan suhu lingkungan yang
nyaman, mengamankan jalan napas, napas dan sirkulasi. Oksigen harus segera diberikan, jalur
intravena sudah dipasang, dan darah harus diambil untuk pemeriksaan gula atau pemeriksaan
lainnya. Riwayat perjalanan penyakit bayi harus segera didapatkan dan pemeriksaan secara klinis
harus segera dilakukan. Semua ini harus sudah dilakukan dalam waktu 2-5 menit.1

Koreksi cepat gangguan metabolik yang ada: 1,10

- Hipoglikemia. Koreksi hipoglikemia pada neonatus dengan kejang, yaitu berikan


dekstrosa 10% secara bolus intravena dengan loading dose 2 ml/kgBB (0.2 g/kg),
dilanjutkan dengan continuous infusion 8 mg/kgBB/menit untuk mencapai target gula
darah.
- Hipokalsemia dan hipomagnesemia. Pada hipokalsemia dapat diberikan kalsium
glukonas 10% IV dengan dosis 2 ml/kgBB selama 10 menit dan fungsi jantung harus
diawasi secara ketat. Hipomagnesemia sangat baik diobati dengan magnesium sulfat 50%
IM dengan dosis 0,2 ml/KgBB.

Terapi Anti-Kejang

a. Fenobarbital.
Merupakan obat pilihan utama pada neonatus dengan kejang, diberikan loading dose 20
mg/KgBB IV secara perlahan selama 20 menit (tidak lebih cepat dari 1 mg/kgBB/min).
Jika kejang masih ada setelah loading dose selesai, ulangi pemberian fenobarbital dengan
dosis 10 mg/kgBB yang dapat diberikan setiap 20-30 menit sampai tercapai dosis total 40
mg/kgBB atau kejang sudah terkontrol. Jika jalur IV belum terpasang, beri injeksi
fenobarbital 20 mg/kgBB dosis tunggal secara IM. Untuk rumatan dapat diberikan dosis
3-5 mg/kgBB/hari dibagi 1-2 pemberian sehari, dimulai 12 jam setelah loading dose.1,2
b. Fenitoin.
Fenitoin diberikan jika dengan pemberian dosis maksimal fenobarbital (40 mg/KgBB)
kejang masih tidak dapat terkontrol atau jika terdapat efek samping seperti depresi napas,
hipotensi dan bradikardia pada pemberian fenobarbital. Dosis 20 mg/kgBB IV diberikan
dengan kecepatan tidak melebih 1 mg/kgBB/min dalam pengawasan ketat jantung.
Fenitoin harus diencerkan dengan cairan normal salin dan tidak dapat diencerkan dengan
cairan dekstrosa. Dosis ulangan 10 mg/kgBB dapat diberikan pada kejang yang refrakter.
Untuk rumatan dapat diberikan dosis 3-5 mg/kgBB/hari (dosis maksimum 8 mg/kgBB/
hari) dibagi 2-4 dosis..1,6
c. Benzodiazepin.
Kombinasi dari fenobarbital dan fenitoin dapat mengendalikan kejang pada 85% dari
neonatus. Untuk kejang yang masih refrakter dengan pemberian semua ini, maka
pemberian benzodiazepin dapat memberikan manfaat. Terdapat tiga agen, yaitu
lorazepam, diazepam, dan midazolam. Lorazepam lebih banyak dipilih dibandingkan
diazepam. Lorazepam dapat diberikan dengan dosis 0,05 mg/kgBB IV dengan onset kerja
2-3 menit dan bertahan antara 6-24 jam (lebih lama pada neonatus dengan postasfiksia
dan disfungsi hepar). Dosis ini dapat diulang setelah beberapa menit sampai dosis total
tercapai, yaitu 0,10 mg/kgBB. Diazepam dapat diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB dan

1
dinaikkan pelan-pelan sampai 0,3 mg/kgBB sampai kejang berhenti. Karena T yang
2
cepat, diazepam dan midazolam efektif jika digunakan secara continuous infusion.
Midazolam diberikan dengan dosis inisial sebanyak 0,15 mg/kgBB IV bolus, dilanjutkan
dengan continuous infusion 0,1-0,4 mg/kgBB/jam.1,10

d. Piridoksin.

Ketika kejang pada neonatus tetap refrakter pada pemberian semua regimen diatas,
ketergantungan piridoksin harus disingkirkan. Kondisi ini didiagnosis dengan
berhentinya gambaran kejang pada EEG setelah pemberian piridoksin IV dengan dosis
50-100 mg. Pemberian piridoksin meningkatkan sintesis dari neurotransmitter inhibitor
GABA, maka apneu dan hipotonia, sehingga pengawasan ketat sistem respirasi sangat
diharuskan. Jika diagnosanya benar, maka dapat diberikan dosis rumatan secara oral 10-
100 mg/hari, tergantung responnya.10

e. Obat lainnya.

Primidon, lidokain, karbamazepin, asam valproat, Iamotrigin, topiramat, dan


levetiracetam dapat digunakan. Akan tetapi, banyak dari obat-obat ini mempunyai efek
toksik dan beberapa termasuk asam valproat mempunyai efek toksik pada anak-anak usia
< 2 tahun. Sebaliknya, terlepas dari minimnya data mengenai farmakokinetik pada masa
neonatus tentang kedua obat ini, topiramat dan levetiracetam telah dilaporkan menjadi
obat lini kedua atau ketiga oleh neurologis pediatrik. Dosis yang dapat digunakan untuk
topiramat 20 mg/kgBB/hari dan levetiracetam 10-30 mg/kgBB/hari.11

Kapan menghentikan Obat kejang?

Tidak ada pedoman khusus kapan harus menghentikan obat antikejang dan biasanya hal ini
sangat individualis. Terdapat protokol yang direkomendasikan oleh Volpe, semua pengobatan
dihentikan ketika pasien pulang jika pemeriksaan klinis normal, terlepas dari etiologi dan EEG.
Jika pada pemeriksaan neurologis ditemukan tetap abnormal pada saat mau pulang, obat
antikejang dilanjutkan dan neonatus kembali kontrol setelah 1 bulan. Jika bayi normal pada
pemeriksaan berikutnya dan telah bebas kejang selama 1 bulan, penghentian fenobarbital dapat
dilakukan dengan tapering off selama 2 minggu. Jika pada pemeriksaan neurologis tidak normal,
maka harus diperiksa EEG. Jika hasil EEG normal maka obat antikejang di diturunkan dosisnya
lalu dihentikan. Tetapi jika EEG tidak normal maka fenobarbital tetap dilanjutkan dan dievaluasi
selama 3 bulan.1

2.8 Prognosis

Prognosis kejang pada neonatus bervariasi tergantung dari penyebab kejang. Neonatus dengan
penyebab kejang hipokalsemia mempunyai prognosis yang sangat baik, berbanding terbalik
dengan penyebab kejang akibat kongenital malformasi yang mempunyai prognosis yang buruk.
Tujuh puluh persen neonatus dengan kejang dapat kambuh pada suatu saat nantinya.5

Tabel 2. Keluaran Bayi yang Pernah Mengalami Kejang

Etiologi Meninggal (%) Cacat (%) Normal (%)


HIE sedang dan berat 50 25 25
Bayi kurang bulan 58 23 18
Meningitis 20 40 40
Malformasi otak 60 40
Hipokalsemia 100
Hipoglikemia 50 50
Sumber: Rennie JM9
BAB 3

KESIMPULAN

Kejang pada neonatus adalah perubahan paroksismal dari fungsi neurologik yang terjadi
pada bayi dari umur 0 sampai 28 hari. Kejang ini dapat disebabkan oleh banyak penyebab
dimana penyebab paling sering adalah hipoksik-iskemik-ensefalopati (30-50%), perdarahan
intrakranial (10-17%), kelainan metabolik misalnya hipoglikemia (6-10%), hipokalsemia (6-
15%), infeksi SSP (5-14%), infark serebral (7%), inborn errors of metabolism (3%), malformasi
SSP. Insidensi kejang pada neonatus didapatkan lebih sering pada bayi kurang bulan.

Keadaan anatomi dan fisiologi susunan saraf pusat neonatus yang belum sempurna
berkembang merupakan alasan neonatus untuk lebih rentan terjadi kejang. Kejang pada neonatus
tidak seperti kejang pada anak yang lebih dewasa. Kejang pada neonatus lebih bersifat fokal dan
agak sulit dikenali. Terdapat 4 macam kejang pada neonatus, yaitu kejang subtle, kejang tonik,
kejang klonik, kejang mioklonik. Anamnesis yang teliti mengenai sifat kejang, riwayat perinatal,
riwayat antenatal, riwayat persalinan serta gejala-gejala yang menyertai harus didapatkan untuk
mengetahui penyebab kejangnya. Selain itu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
berhubungan juga harus dilakukan untuk menunjang diagnosis.

Penatalaksanaan pertama dari kejang pada neonatus adalah menstabilkan keadaan dari
neonatus itu sendiri. Setelah itu, berbagai pemeriksaan dapat dilakukan untuk menentukan
penyebab kejang. Obat anti kejang lini pertama adalah fenobarbital, jika belum teratasi berikan
fenitoin, lalu jika masih tidak teratasi berikan obat golongan benzodiazepine (lorazepam,
diazepam, midazolam).

Prognosis terjadinya kejang itu sendiri tergantung dari penyebab kejang dimana
prognosis paling baik terdapat pada hipokalsemik, dan yang paling buruk adalah malformasi
kongenital.
Daftar Pustaka

1. Sankar MJ, Agarwal R, Deodari AK, Paul VK. Seizure in the newborn. Indian J Pediatr.
2008; 75: 149-55.
2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1. Jakarta: KDT; 2008. h.
226-49.
3. Queensland Maternity and Neonatal Clinical Guidelines Program. Neonatal seizure.
Australia: Queensland Health; 2011. h. 1-18.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman pelayanan medis jilid 2. Jakarta: Badan Penerbit
IDAI; 2011. h. 155-60.
5. Gomella TL. Neonatology: management, procedures, on-call problem, diseases, and
drug. Fifth edition. New York: McGraw-Hill; 2004. h. 659-64.
6. Olson DM. Neonatal seizures. NeoReviews. 2012; 13(4): 213-20.
7. Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Pelayanan obstetric dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2008. h. 273-80
8. Kosim MS. Kejang pada bayi berat lahir rendah. Disampaikan pada Seminar
Penatalaksanaan terkini BBLR. Solo 27-28 Januari, 2007.
9. Rennie JM, Seizure. Dalam: Rennie JM, penyunting. Roberton’s Textbook of
neonatology. Edisi ke-4. Philadelphia: Elsevier Churchill Livingstone, 2005. h. 1105.
10. Cloherty JP, Eichenwald EC, Stark AR. Manual of neonatal care. Philadelphia:
Lippincott Williams & Wilkins; 2008. h. 484-97.
11. Kliegman RM, Stanton BF, Joseph W, Schor NF, Behrman RE. Nelson textbook of
pediatrics. 19th Edition. Philadelphia: Elsevier; 2011. h. 7311.

Anda mungkin juga menyukai