KELOMPOK 11
Disusun Oleh :
Radian
Muhammad Ridhoi
Muhammad Rifky
Lokal F Perbankan Syariah 2019
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan
usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat dimasa yang akan datang
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
Kata pengantar………………………………………………………………………………ii
Daftar isi……………………………………………………………………………………...iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………..
BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………………………….
3.1 Kesimpulan……………………………………………………………………………………..13
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………………..
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Masyarakat madani di prediksi yang berkembang di berbagai potensi seperti budaya, adat
istiadat, dan agama. Demikian pula, bangsa Indonesia di era reformasi ini diarahkan untuk menuju
masyarakat madani, untuk itu kehidupan manusia Indonesia akan mendasarkan fundamental yang
mana akan berbeda dengan kehidupan masyarakat yang di era orde baru ini. Kenapa, karena dalam
masyarakat madani yang dicita-citakan dikatakan akan memungkinkan “terwujudnya kemandirian
masyarakat, nilai-nilai tertentu dalam kehidupan, terutama keadilan, persamaan, kebebasan dan
kemajemukan(plularisme)” serta takwa, jujur, dan taat hokum. Masyarakat madani mempunyai
konsep yang mana tuntunan baru yang memerlukan terobisan di dalam berpikir, penysupan konsep
baru, serta tindakan yang akan di ambil untuk kedepannya. Dengan kata lain persiapan perubahan
zaman masyarakat yang mana pradigma akan diperlukan sebagai tuntunan, ini adalah kata filshuf
Kuhn.
Dengan kemajuan era globalisasi ini diharapkan Indonesia dapat menjadi bangsa yang
menyesuaikan dan berdiri sealiran dengan kemajuan global, yang mana dapat menghindari
perpecahan dan disintegritas. Disini juga dibuthkan sikap toleransi tinggi yang dimiliki masyarakat
madani baik secara social maupun politik menjadi pemersatu sehingga menjadi bangsa yang besar.
Sikap inilah yang diinginkan sebuah bangsa untuk generasi sekarang maupun yang akan datang.
Demi mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, namun
memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga bangsa untuk
mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu perjuangan yang gigih.
Selanjutnya peristiwa tentang masyarakat madani oleh banyak bangsa akan dikaji,
dikembangkan dan dieliminasi, sebagaimana realitas empiris yang dihadapi.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, masalah yang akan kami bahas pada makalah ini antara lain :
PEMBAHASAN
SEJARAH awal civil society tidak bisa dilepaskan dari filsuf Yunani Aristoteles (384-322
SM) yagn memandang konsep civil society (masyarakat sipil) sebagai sistem kenegaraan atau
identik dengan negara itu sendiri. Konsep civil society pada masa ini dikenal sebagai istilah
koinonia politike, yakni sebuah komunitas politik tempat warga dapat terlibat langsung dalam
berbagai percaturan ekonomi-politik dan pengambilan keputusan. Istilah koinonia politike
dikemukakan oleh Aristoteles ini digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat politis
dan etis dimana warga negara di dalamnya berkedudukan sama di depan hukum. Panadangan ini
mengalami perubahan dengan pengertian civil society yang berkembang dewasa ini, yakni
masyarakat sipil diluar dan penyeimbang lembaga negara.
Berbeda dengan Aristoteles, negarawan Romawi Marcus Tullius Ciccero (106-43 SM)
mengistilahkan masyarakat sipil dengan societies cvilies, yaitu sebuah komunitas yang
mendominasi komunitas yang lain dengan tradisi politik kota (city) sebagai komponen utamanya.
Istilah yang digunakan Ciccero lebih menekankan pada konsep negara kota (city-state), yakni
untuk menggambarkan kerajaan, kota, dan bentuk korporasi lainnya yang menjelam menjadi
entitas yang terorganisir. Berbasis pada keberadaan kota sebagai pusat peradaban kaum
pendatang,rumusan Ciccero ini lebih menekankan konsep civility atau kewargaan dan urbanity,
atau budaya perkotaan. Kota, dalam pengertian itu, bukan hanya sekadar sebuah konsentrasi
penduduk, tetapi sebagai pusat kebudayaan dan pusat pemerintahan.
Rumusan civil society selanjutnya dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1588-1679 M)
dan John Locke (1632-1704 M). Keduanya memandang perkembangan Civil Society sebagai
kelanjutan dari evolusi masyarakat yang berlangsung secara alamiah. Menurut Hobbes, sebagai
entitas negara civil society mempumyai peran untuk meredam konflik dalam masyarakat
sehingga ia harus memiliki kekuasan mutlak yang mampu mengontrol dan mengawasi secara
ketat pola-pola interaksi (perilaku politik) setiap warga negara.
Berbeda dengan Hobbes, menurut John Locke, kehadiran civil society adalah untuk melindungi
kebebasan dan hak milik setiap warga negara. Mengingat sifatnya yang demikian itu, civil society
tidaklah absolut dan harus membatasi perannya pada wilayah yang tidak dapat dikelola masyarakat dan
memberikan ruang yang manusiawi bagi warga negara untuk memperoleh haknya secara adil dan
proporsional.
Pada tahapan selanjutnya, mencermati semakin dominannya kekutatan negara atas warga sipil
aktivis politik asal Inggris-Amerika Thomas Paine (29 Januari 1737-8 Juni 1809) memaknai pengertian
civil society sebagai sesuatu yang berlawanan dengan lembaga negara, bahkan ia dianggap sebagai
antitetis negara. Bersandar pada paradigma ini, peran negara sudah saatnya dibatasi. Menurut pandangan
ini, bahkan negara tidak lain hanyalah keniscayaan buruk belaka. Konsep negara yang absah, menurut
pemikiran ini, adalah perwujudan dari delegasi kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat demi
terciptanya kesejahteraan bersama. Semakin sempurna suatu masyarakat sipil, semakin besar pula
peluangnya untuk mengatur kehidupan warganya sendiri. Dengan demikian, menurutnya, civil society
adalah ruang dimana warga dapat mengembangkan kepribadian dan memberi peluang bagi pemuasan
kepentingannya secara bebas tanpa paksaan. Ruang gerak warga sipil, dalam pandangan Paine, adalah
suatu ruang gerak masyarakat tanpa intervensi negara. Sejalan dengan pandangan ini, civil society harus
lebih dominan dan sanggup mengontrol negara demi keberlangsungan kebutuhan anggotanya.
Wacana civil society selanjutnya dikembangkan oleh G. W.F. Hegel (1770-1831 M), Karl Marx
(1818-1883 M), dan Antonio Gramsci (1891-1837 M). Dalam pandangan ketiganya, civil society
merupakan elemen ideologis kelas dominan. Pemahaman ini adalah reaksi atas pandangan Paine yang
memisahkan civil society dari negara. Berbeda dengan pandangan Paine, Hegel memandang civil society
sebagai kelompok subordinatif terhadap negara. Pandangan ini, menurut pakar politik Indonesia Ryaas
Rasyid, erat kaitannya dengan perkembangan sosisal masyarakat borjuasi Eropa yang pertumbuhannya
ditandai oleh perjuangan melepaskan diri dari cengkeraman dominasi negara.
Lebih lanjut, Hegel menjelaskan bahwa dalam struktur sosial civil society terdapat tiga entitas
sosial: keluarga, masyarakat sipil, dan negara. Keluarga merupakan ruang sosialisasi pribadi sebagai
anggota masyarakat yang bercirikan keharmonisan, sedangkan masyarakat sipil merupakan lokasi atau
tempat berlangsungnya percaturan berbagai kepentingan pribadi dan golongan terutama kepentingan
ekonomi. Hegel tidak memandang civil society sebagai arena untuk praktik politik yang mengakibatkan
monopoli negara. Menurutnya, negara merupakan representasi dari ide universal yang bertugas
melindungi kepentingan politik warganya dan mempunyai hak penuh untuk melakukan intervensi
terhadap civil society. Dari pandangan ini, maka intervensi negara terhadap wilayah masyarakat sipil
tidaklah dianggap sebagai tindakan ilegal (melanggar hukum) mengingat posisi negara sebagai pemilik
ide universal dan hanya pada level negaralah politik bisa berlangsung secara murni dan utuh.
Berbeda dengan Hegel, Karl Marc memandang civil society sebagai masyarakat borjuis. Dalam
konteks hubungan kapitalis, keberadaan civil society merupakan kendala terbsesar bagi upaya
pembebasan manusia dari penindasan kelas pemilik modal. Demi terciptanya proses pembebasan
manusia, civil society harus dilenyapkan untuk mewujudkan tatanan masyarakat tanpa kelas.
Berbeda dengan Marx, Antonio Gramsci tidak memandang masyarakat sipil dalam konteks
relasi produksi, tetapi lebih pada sisi ideologis. Bila Marx menempatkan Masyarakat Madani pada basi
materiil, Gramsci meletakkannya pada superstuktur yang berdampingan dengan negara yang ia sebut
sebagai political society. Menurut Gramsci, civil society merupakan tempat perebutan posisi hegemoni
diluar kekuatan negara, aparat mengembangkan hegemoni untuk membentuk konsesnsus dalam
masyarakat.
Pandangan Gramsci tentang civil society diatas memberikan peran penting kepada kaum
cendekiawan sebagai akrtor utama dam proses perubahan sosial dan politik. Dengan ungkapan lain,
Gramsci memandang adanya sifat kemandririan dan politis pada masyarakat sipil, sekalipun
keberadaanya juga sangat dipengaruhi oleh basis materiil (ekonomi) sebagaimana pandangan Marx.
Fase selanjutnya, wacana civil society sebgai reaksi terhadap mazhab Hegelian yang
dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859 M). Bersumber dari pengalamannya mengamati
budaya demokrasi Amerika, Tocqueville memandang civil society sebagai kelompok penyeimbang
kekuatan negara. Menurut Tocqueville, kekuatan politik dan masyarakat sipil merupakan kekuatan utama
yang menjadikan demokrasi Amerika mempunyai daya tahan yang kuat. Mengaca pada kekhasan budaya
demokrasi rakyat Amerika yang bercirikan plural, mandiri, dan kedewasaan berpolitik, menurutnya warga
negara dimana pun akan mampu mengimbangi dan mengontrol kekuatan negara.
Berbeda dari pandangan Hegelian, pemikiran Tocqueville lebih menempatkan masyarakat sipil
sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun tersubordinasi dari lemabag negara. Sebaiknya, civil society
bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan
penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga negara. Lebih lanjut, Tocqueville
menegaskan, bahwa karakter civil society seperti itu dapat pula menjadi sumber legitimasi kekuasaan
negara dan pada saat bersamaan ia pun bisa menjadi kekuatan kritis (reflective-force) untuk mengurangi
frekuensi konflik dalam masyarakat sebagai akibat dari proses modernisasi. Dapatlah disimpulkan,
pandangan civil society ala Tocquevillian ini merupakan model masyarakat sipil yang tidak hanya
berorientasi pada kepentingan individual, tetapi juga mempunyai komitmen terhadap kepentingan publik.
Dari sejumlah model dan pandangan tentang civil society, mazhab Gramscian dan
Tocquevillian telah menjadi inspirasi gerakan prodemokrasi di Eropa Timur dan Eropa Tengah pada
dasawarsa 80-an. Pengalaman kawasan ini hiduo di bawah dominasi negara terbukti telah melumpuhkan
kehidupan sosial masyarakat sipil. Gagasan tentang civil society kemudian mewabah menjadi sebuah
landasan ideologis untuk perjuangan kelompok demokrasi di belahan dunia yang lain untuk
membebaskan masyarakat dari cengkeraman negara yang secara sistematis melemahkan daya kreativitas
dan kemandirian masyarakat.
Tidak hanya menginspirasikan gerakan demokrasi di Eropa Tengah dan Eropa Timur, mazhab
pemikiran civil society Tocqueville juga dikembangkan oleh cendekiawan Muslim Indonesia M. Dawam
Rahardjo dengan konsep Masyarakat Madaninya. Mengelaborasi pemikiran Alexis de Tocqueville dan
Robert Wuthnow, Rahardjo mengilustrasikan bahwa peranan pasar (market) sangat menentukan unsur-
unsur dalam Masyarakat Madani (negara dan hubungan sosial yang bersifat sukarela/voluntary) (model
A). Berbeda dengan pandangan ini, menurut Wuthnow, dalam hubungan antar unsur pokok Masyarakat
Madani, faktor voluntary sangat menentukan pola interaksi antara negara dan pasar, sebagaimana yang
diilustrasikan dua model dibawah ini.
Konsepsi civil society ala Tocqueville ini dipadukan pula oleh Rahardjo dengan pandangan
Hannah Arendt dan Juergen Habermas tentang ruang publik yang bebas (free public sphere). Menurut
keduanya, dengan adanya ruang publik yang bebaslah, maka setiap indidvidu warga negara dapat dan
berhak melakukan kegiatan secara merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
memublisasikan penerbitan yang berkenaan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Lebih lanjut,
Rahardjo menyatakan institusionalisasi dari ruang publik ini adalah melaluli kemunculan lembaga-
lembaga sosial yang bersifat sukarela (volunteers), media massa, sekolah, partai poitik sampai lembaga
yang dibentuk oleh negara tetapi berfungsi sebagai lembaga pelayanan masyarakat.
Selain kedua model diatas, pola hubungan kerja antara negara (pemerintahan), Masyarakat
Madani (civil society), dan swasta (pasar) berada dalam kerangka keseimbangan peran masing-masing.
Dengan pola hubungan kerja tersebut, rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi, dan sumber-sumber
sosial dan politik nya tidak hanya digunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi,
integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyatnya. Dengan demikian, jelas sekali, bahwa kemampuan suatu
negara mencapai tujuan-tujuan pembangunan itu sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahannya
di mana pemerintah melakukan interaksi dengan organisasi-organisasi komersial dan Masyarakat Madani
(civil society).
Seperti dikatakan dimuka bahwa tata kepemerintahan yang baik itu merupakan suatu kondisi
yang menjamin adanya proses kesejajaran, kesamaan, kohesi, dan keseimbangan peran serta adanya
saling mengontrol yang dilakukan oleh tiga komponen, yakni pemerintah (government), rakyat (citizen)
atau civil society,dan usahawan (business) yang berada di sektor warga. Ketiga komponen ini mempunyai
tata hubungan yang sama dan sederajat. Kesamaan derajat ini akan sangat berpengaruh terhadap upaya
menciptakan tata kepemerintahan yang baik.
Agar suatu sistem dan tata cara dalam mekanisme kepemerintahan berada dalam posisi
seimbang, selaras, kohesif, dan kongruen di mana peran rakyat sangat menentukan dapat terjadi,
kedudukan komponen moral dalam konstelasi hubungan antara tiga komponen dalam kerangka
Masyarakat Madani (civil society) adalah berada di tengah-tengah yang dapat menghubungkan tiga
komponen tersebut.
Pada ketiga komponen, pemerintah, swasta, dan rakyat atau Masyarakat Madani (civil society)
yang saling berinteraksi menciptakan tata kepemerintahan yang baik. Komponen moral menyinari ketiga
komponen tersebut. Moral juga harus menjadi landasan bagi rakyat untuk berperan dalam menciptakan
tata kepemerintahan yang baik. Demikian pula pada komponen lainnya sekstor swasta dan pemerintah.
Moral merupakan operasionalisasi dari sikap dan pribadi seseorang yang beragama. Ajaran agama
melekat pada pribadi-pribadi yang berada di ketiga komponen tersebut. Dengan melaksanakan ajaran
agamanya pada masing-masing komponen tesebut, maka moral masing-masing pelaku akan berperan
benar dalam menciptakan tata kepemerintahan yang baik.
Masyarakat Madani tidak muncung denga sendirinya. Ia membutuhkan unsur-unsur sosial yang
menjadi pra syarat terwujudnya tatanan Masyarakat Madani. Faktor-faktor tersebut merupakan satu
kesatuan yang saling mengikat dan menjadi karakteristik Masyarakat Madani. Beberapa unsur pokok
yang harus dimiliki Masyarakat Madani yaitu wilayah public yang bebas (free public sphere), demokrasi,
toleransi, kemajemukan (pluralism), dan keadilan social (social justice).
Free Public Sphere adalah ruang public yang bebas sebagai sarana untuk mengemukakan pendapat
warga masyarakat. Di wilayah ruang public ini semua warga Negara memiliki posisi dan hak yang sama
untuk melakukan transaksi social dan politik tanpa rasa takut dan terancam oleh kekuatan-kekuatan di
luar civil society. Mengacu pada Arendt dan Habermes,ryuang publik dapat diartikan sebagai wilayah
bebas di mana semua warga Negara memiliki akses penuh dalam kegiatan yang bersifat public. Sebagai
prasyarat mutlak lahirnya civil society yang sesungguhnya, ketiadaan wilayah public bebas ini pada suatu
negara dapat menjadi siuasana tidak bebas di mana negara mengontrol warga negara lain menyalurkan
pandangan social-politiknya.
2. Demokrasi
Demokrasi adalah prasyarat mutlak lainnya bagi keberadaan civil society yang murni (genuine).
Tanpa demokrasi masyarakat sipil tidak mungkin terwujud secara umum, demokrasi adalah suatu tatanan
social-politik yang bersumer dan dilakukan oleh, dari, dan untuk warga negara.
3. Toleransi
Toleransi adalah sikap saling menghargai dan menghormati perbedaan pendapat. Lebih dari sikap
mengharga pendangan pendapat berbeda orang lain, toleransi mengacu pandangan Nurcholish Madjid,
adalah persoalan ajaran dan kewajiban melaksanakan ajaran itu. Jika toleransi menghasilkan adanya tata
cara pergaulan yang menyenangkan antara berbagai kelompok yang berbeda-beda, maka hasil itu harus
dipahami sebagai hikmah atau manfaat dari pelaksanaan ajaran yang benar. Dalam perspektif ini,
toleransi bukan sekedar tuntutan social masyarakat majemuk belaka, tetapi sudah menjadi bagian penting
dari pelaksanaan moral agama.
Senada dengan Madjid, Azra menyatakan bahwa dalam kerangka mendapatkan kehidupan yang
berkualitas dan berkeadaban (tamaddun/civility) Masyarakat Madan (civil society) menghajarkansifat-
sifat toleransi, yakni kesdiaan individu-individu untuk menerima berbagai pandanga polotik dikalangan
warga bangsa.
4. Kemajemukan
Kemajemukan atau pluralisme merupakan prasyarat lain dari civil society. Pluralisme tidak hanya
dipahami sebagai sikap harus mengakui dan menerima kenyataan yang beragam, tapi harus disertai
dengan sikap yang tulus untuk menerima kenyataan perbedaan sebagai sesuatu yang alamiyah dan rahmat
tuhan yang bernlai positif bagi kehidupan masyarakat.
Menurut Madjid, pluralisme adalah pertalian sejati kebhinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban
(genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Bahkan menurutnya pula, plralisme
merupakan suatu keharusan bagi keselamatan umat manusia antara lain melalui mekanisme pengawasan
dan pengimbangan (check and balance).
Kemajemukan dalam pandangan Madjid erat kaitannya dengan sikap penuh pengertian (toleran)
kepada orang lain, yang nyata-nyata diperlukan dalam masyarakat yang mejemuk. Secata teologis, tegas
Madjid, kemajemukan social merupakan dekrit allah untuk umat manusia.
5. Keadilan Sosial
Keadilan sosial adalah adanya keseimbangan dan pembagian yang proporsional atas hak dan
kewajiban setiap warga negara yang mencakup seluruh aspek kehidupan: ekonomi, politik, pengetahuan
dan kesempatan. Dengan pengertian lain, keadilan social adalah hilangnya monopoli dan pemusatan salah
satu aspek kehidupan yang dilakukan oleh kelompok atau golongan tertentu.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Masyarakat madani merupakan sistem social yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Inisiatif dari individu dan
masyarakat akan berupa pemikiran, seni, pelaksanaan pemerintah yang berdasarkan undang-undang dan
bukan nafsu atau keinginan individu
2. Perwujudan masyarakat madani ditandai dengan karakteristik masyarakat madani, diantara wilayah
publik yang bebas (free public sphere), demokrasi, toleransi, kemajemukan (pluralism), dan keadilan
sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfudz, Moh. M.D. 1999. Hokum dan Pilar-Pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gamma Media Sukma.
Rahardjo, M. Dawam. 1999. Masyarakat Madani: Agama, Kelas Menegah, dan Perubahan Sosial.
Cetakan ke-1. Jakarta: LP3 ES.
Rizal dan J. Kristiadi. 1999. Hubungan Sipil Militer dan Transaksi Demokrasi di Indonesia: Persepsi
Sipil dan Militer. Cetakan ke-1. Jakarta:CSIS.
Suseno, Franz-Magnis. 1997. Mencari Sosok Demokrasi: Sebuah Telaah Filosofis. Cetakan ke-2. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Thoha, Miftah. 2002. Birokrasi dan Politik di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.