Anda di halaman 1dari 19

Mengidentifikasi

UNSUR PEMBANGUN CERPEN

Oleh: Joko Prasetyo


Masih ingatkah kalian dengan pelajaran kelas VII pada
materi Teks Cerita Fantasi?
Coba ingat-ingat kembali materi Teks Cerita Fantasi!
Pada kegiatan pembelajaran kita kali ini, kita akan
belajar Teks Cerpen.
Teks cerpen pada dasarnya hampir sama dengan Teks
Cerita Fantasi yang telah kalian pelajari waktu di kelas
VII
Kompetensi dasar & Indikator pencapaian kompetensi

Kompetensi Dasar Indikator Pencapaian Kompetensi

3.5 Mengidentifikasi unsur 3.7.1 Menemukan unsur pembangun


pembangun karya sastra dalam cerpen yang
teks cerita pendek yang dibaca atau dibaca/diperdengarkan.
didengar 3.7.2 Menentukan unsur pembangun
(intrinsik dan ekstrinsik) yang
dibaca/diperdengarkan.
3.7.3 Menyimpulkan unsur
pembangun cerpen yang
dibaca/diperdengarkan.
Tujuan Pembelajaran
Setelah pembelajaran, diharapkan peserta didik dapat:
1. Menemukan unsur pembangun cerpen yang berupa tema, amanat,
alur, penokohan, latar, dan sudut pandang pada cerpen
dibaca/diperdengarkan dengan teliti.
2. Menentukan unsur pembangun (intrinsik dan ekstrinsik) yang
dibaca/diperdengarkan secara teliti dan dengan semangat kerja
sama.
3. menyimpulkan unsur pembangun cerita pendek yang
dibaca/diperdengarkan dengan akurat dan secara kreatif.
Cermati contoh cerpen berikut!
Malam Satu Sura
Karya: Joko Prasetyo

TIDAK seperti tahun-tahun sebelumnya. Malam Satu Sura ini Tatag mendaki
bukit Kembang. Sebuah bukit yang menjulang di sebelah timur Desa Plawang tempat
tinggal Tatag. Di lereng bukit itu memang banyak ditumbuhi bunga-bunga sehingga
dinamai Bukit Kembang. Ia mendaki sendirian. Tanpa teman. Pemuda itu menembus
kesunyian Bukit Kembang. Dia hendak menuju puncak Bukit Kembang. Malam hari itu,
Bukit Kembang sangat sepi. Hanya suara-suara binatang malam yang terdengar. Dan
agak jauh di sebelah barat terdengar bunyi gamelan pengiring pertunjukan wayang
kulit. Tatag berangkat dari rumah sejak sore hari sebelum matahari terbenam.
Sebenarnya belum terlalu malam ketika Tatag sampai di puncak Bukit Kembang. Bukit
itu tidak terlalu tinggi. Hanya saja untuk mencapai puncak, dia harus mencari jalan
sendiri. Sebab jarang orang yang mendaki bukit itu. Menurut orang-orang Plawang,
bukit itu termasuk bukit yang dikeramatkan selain Sendang Sekartirta. Tebing-tebingnya
juga lumayan terjal.
Biasanya, tahun-tahun sebelumnya, setiap malam Satu Sura, malam tahun baru Tahun Jawa, Tatag pasti
menyaksikan ritual upacara dan ritual peringatan Malam Satu Sura di desanya itu. Dia datang sebelum
perangkat upacara disiapkan di depan Balai Desa Plawang. Seperti kebanyakan penduduk desa itu. Bahkan
banyak penduduk dari tempat lain ikut menyaksikan dan meramaikan ritual peringatan Satu Sura di Desa
Plawang. Ritual yang hanya dilaksanakan setahun sekali. Dan hanya di Desa Plawang. Tak ada duanya.
Ritual itu berupa pergelaran wayang kulit selama semalam suntuk. Kadang-kadang sampai dua malam.
Dalangnya didatangkan dari kota Yogyakarta. Jadi tidak tanggung-tanggung. Sebuah tontonan gratis yang
sudah sangat jarang diselenggarakan. Meskipun desa tempat tinggal Tatag itu terletak di daerah yang agak
pelosok di tanah Jawa. Sebelum wayang kulit digelar, ada satu ritual yang tergolong aneh. Petang hari, setelah
matahari benar-benar tenggelam, saat itulah tahun baru Jawa dimulai. Sebab, Tahun Jawa menganut sistem
Qomariyah, yakni menganut perhitungan perputaran bulan. Bukan perputaran matahari seperti tahun Masehi
yang memulai hari pada jam 00.00 dini hari.
Nah, selepas Maghrib itu, sebagai tanda datangnya tahun baru, Lurah desa itu menebarkan rupa-rupa
bunga yang diambil dari Bukit Kembang ke Sendang Sekartirta. Semacam kolam yang terletak di sebelah
selatan Desa Plawang. Dengan mata air murni dari tanah desa itu. Sendang itu dikelilingi pohon-pohon
beringin. Dari situlah mata air Sendang Sekartirta mengalir. Sebelumnya, Pak Lurah dan Bu Lurah diarak
dengan pakaian pengantin. Jadi seperti acara temu pengantin, meskipun sebenarnya mereka sudah menikah.
Kalau mau jadi pengantin tiap tahun, maka jadilah Lurah di desa Plawang. Mereka berangkat dari balai desa
tempat pergelaran wayang kulit diselenggarakan pada malam harinya. Segala ubarampe terutama berupa
bunga-bunga yang dipetik dari Bukit Kembang juga dibawa dari balai desa.
Masyarakat desa itu berbondong-bondong di belakang iring-iringan pengantin Lurah. Mereka mengikuti
dari belakang menuju Sendang Sekartirta. Setelah tiba saatnya Pak Lurah menebar bunga ke sendang itu,
masyarakat yang ikut ke sana berebutan mengambil air sendang. Syukur-syukur dapat salah satu bunga atau
satu bagian saja dari bunga yang ditebar Pak Lurah. Mereka percaya air itu bertuah. Bisa digunakan sebagai air
suci dan penyembuh macam-macam penyakit.
Sejak kecil Tatag selalu mengikuti ritual itu. Tiap tahun. Ia selalu mendapatkan bunga dan air sendang.
Dia tak segan-segan menceburkan diri ke sendang, berenang dan menyelam menuju tempat bunga ditabur.
Tatag juga suka memperhatikan pasangan pengantin Lurah. Alangkah gagah Pak Lurah dan alangkah anggun Bu
Lurah, pikirnya. Dia selalu membayangkan dirinyalah yang menjadi pengantin prianya. Dan sebagai pengantin
wanitanya….
“Maukah kamu jadi wanita alias Bu Lurah seperti dia, Maonah?” kata Tatag ketika mengikuti ritual itu
suatu Sura beberapa tahun yang lalu. Maonah adalah teman sebaya Tatag. Sejak Sekolah Dasar. Mereka juga
sedesa, bahkan sekampung. Saking akrabnya, mereka selalu bersama saat mengikuti ritual Satu Sura.
“Tentu saja aku ingin sekali. Siapa yang tidak mau jadi Bu Lurah, jadi pengantin setiap tahun? Eh, kalau
aku jadi pengantin wanitanya, pengantin prianya siapa ya?” Tatag jadi merah padam mendengar jawaban
Maonah itu. Dia hanya bisa cengar-cengir.
“Eh, bunganya sudah ditebar, Tag.”
“Ha, aku akan mengambil satu bunga untuk simbok dan satu untuk kamu. Tunggu di sini, aku pasti
dapat!”
Tatag langsung berenang dan menyelam ke sendang lalu muncul tepat di tempat bunga telah ditaburkan.
Diambilnya dua bunga dengan tangkasnya. Berebutan dengan orang-orang yang banyak juga telah mencebur ke
sendang. Dia segera menyelam lagi sambil menggenggam dua kuntum bunga. Lalu muncul di tepi sendang
tempat Maonah menunggu.
“Nah, ini untukmu dan ini untuk simbok.”
“Wah, terima kasih sekali, Tag. Kamu hebat sekali. Bisa melewati orang-orang yang berebutan itu.
Lihatlah! Mereka masih berdesak-desakan.” Maonah Gembira sekali. Tatag bangga sekali.
Hampir tiap tahun Tatag mengikuti ritual bersama Maonah. Sampai suatu saat, ketika keduanya telah
duduk di bangku SMA, mereka tak lagi bersama. Maonah sekolah di Yogyakarta sedangkan Tatag hanya di kota
kecamatannya. Keduanya tidak terlalu dekat lagi. Namun mereka masih bersahabat. Bahkan, dalam
perpisahannya dengan Maonah yang ikut familinya di Jogja, ada rasa aneh yang baru disadari oleh Tatag. Rasa
yang juga hinggap di jiwa Maonah. Suatu rasa ingin selalu bertemu dan bersama seperti dulu. Semacam rasa
kangen. Maka naluri muda mereka pun berbicara. Keduanya terikat rasa cinta. Rasa yang baru disadari ketika
perpisahan justru telah menjelang. Dan itu berhasil diungkapkan Tatag ketika mereka bertemu suatu liburan.
Ketika itu Tatag mengajak Maonah mendaki Bukit Kembang. Sampai puncak. Di sanalah dia mengutarakan
segala perasaannya. Mulailah mereka menjalin hubungan kasih. Meski masih dirahasiakan.
Hubungan itu masih erat dan semakin lekat saja. Mereka menjalin cinta lewat pena. Sampai suatu saat,
dua tahun setelah Maonah lulus SMA, hubungan itu mulai goncang. Maonah yang meneruskan kuliah di Jogja
dipinang oleh Darmadji. Dia seorang pemuda dari desa Plawang juga. Dia baru lulus sebagai sarjana ilmu Tata
Negara dari perguruan tinggi di Jogja. Orang tua Maonah sepakat. Maonah tak bisa berbuat apa-apa. Tatag yang
tak bisa meneruskan kuliah pun hanya bisa pasrah.
Hubungan pun putus di tengah jalan. Tanpa deklarasi. Sebab keduanya tak pernah lagi bertemu. Hanya
ditandai oleh sepucuk surat dari Maonah “Tatag, hari ini aku tunangan dengan Mas Darmadji. Bapak dan ibu
sepakat kami akan menikah setelah aku lulus. Kira-kira dua tahun lagi. Maafkan aku, Tag. Aku tak bisa berbuat
apa-apa. Meski aku masih tetap mencintaimu selamanya. Dariku yang masih dan selalu mencintaimu: Maonah.”
Setelah membaca surat itu, kepala Tatag serasa berpurat-putar. Ia jatuh sakit selama seminggu lebih. Tatag
sembuh setelah diberi minum air Sendang Sekartirta dan mandi dengan bunga yang ditebar Pak Lurah.
Kebetulan saat itu bertepatan dengan tanggal Satu Sura. Bunga itu diberikan oleh Maonah. Bunga itu didapat
oleh Maonah dari seorang bocah yang ikut berebutan bunga. Dibelinya bunga itu. Dan diberikannya kepada
Tatag karena dia mengetahui bahwa Tatag sakit.
Saat ini, malam Satu Sura ini, Tatag tidak mengikuti ritual di desanya. Ia mendaki Bukit
Kembang. Sampai puncak bukit. Ia duduk di sebuah batu besar yang ada di puncak bukit itu.
Lama sekali. Dipandanginya kerlip-kerlip lampu rumah-rumah penduduk desanya. Dan
benderang di tengah desa, di Balai Desa Plawang. Benderang pertunjukan wayang kulit. Juga
didengarnya lirih suara gamelan pengiring wayang. Tak terasa ada sesuatu mengalir lewat
pelupuk matanya. Basah mengalir di pipinya. Tatag menangis. Dikenangnya saat dulu dia
mengungkapkan rasa cintanya kepada Maonah di tempat itu pula. Di puncak Bukit Kembang.
Beberapa tahun yang lalu. Batu besar itu menjadi saksi bisu dan prasasti cinta dua insan dari
desa Plawang itu.
Sengaja dia mendaki puncak Bukit Kembang pada malam Satu Sura itu. Sengaja dia tak
menghadiri dan meyaksikan ritual di desanya. Yang begitu dikeramatkan oleh masyarakat
desa Plawang. Terutama ritual pengantin di Sendang Sekartirta. Bukan hanya mengingatkan
masa lalunya bersama Maonah. Ada sesuatu yang lebih pedih menusuk hatinya. Sebab
pasangan pengantin itu adalah Lurah yang baru. Pak Lurah Darmadji, S.Sos dan Bu Lurah Siti
Maonah, S.H. Keduanya menikah beberapa bulan yang lalu setelah Maonah diwisuda dan
kebetulan Darmadji dilantik menjadi kepala desa atau lurah baru di Desa Plawang.
“Ternyata kamu mampu mewujudkan impianmu, Maonah. Menjadi pengantin perempuan
dalam iring-iringan ritual Malam Satu Sura di Desa kita. Desa Plawang.”
Batu besar di puncak Bukit Kembang itu kini mencatat sebuah prasasti sebuah tangis
seorang pemuda desa Plawang bernama Tatag. Tertanggal 1 Sura tahun 1938 Caka.
***
Temanggung, 10 Februari 2005
Setelah membaca cerpen tersebut, coba jawab pertanyaan
berikut!

Apa ciri teks tersebut ???


Apa saja unsur-unsur yang terdapat
dalam teks tersebut ???
Pengertian Ciri-Ciri Cerpen
Cerpen
Cerita pendek atau
sering disingkat
dengan istilah
cerpen adalah suatu
karya sastra pendek
yang menceritakan
kisah cerita dari
suatu tokoh yang di
dalamnya terdapat
permasalahan serta
solusi dari masalah
tersebut.
Unsur Intrinsik Cerpen
• Unsur intrinsik cerpen adalah berbagai satuan terkecil yang
membentuk suatu cerpen menjadi satu kesatuan utuh dari dalam
karyanya sendiri, tanpa konteks ekstrinsik (luar) karya.

• Pada hakikatnya cerpen adalah prosa fiksi, seperti halnya cerita


fantasi, sehingga memiliki banyak kesamaan dari segi unsur
intrinsiknya. Hanya saja, ada beberapa ciri intrinsik khas yang
terdapat pada cerpen.

• Berikut adalah unsur-unsur intrinsik cerpen:


tema

Sudut
pandang amanat

Unsur
intrinsik
cerpen

latar alur

penokohan
Pengertian tiap unsur intrinsik cerpen
Pengertian tiap unsur intrinsik cerpen
• Tokoh merupakan pelaku pada sebuah cerita.
• Penokohan adalah pemberian karakter/watak/sifat pada setiap
Penokohan tokoh dalam cerita.
• karakter tokoh akan tercermin pada pikiran, tindakan, ucapan,
serta pandangan tokoh terhadap peristiwa yang terjadi.

• hal-hal yang berkaitan dengan tempat, waktu, dan suasana dalam


cerita tersebut.
Latar/seting • latar biasanya berhubungan eret dengan tema cerpen misalnya
tema pendidikan maka setingnya di sekolah, jika bertemakan
agama maka setingnya berada di tempat ibadah.

• posisi pengarang dalam memandang suatu peristiwa di dalam

Sudut pandang sebuah cerita


• Ada sudut pandang orang pertama dan sudut pandang orang
ketiga
Setelah kalian memahami ciri-ciri dan unsur intrinsik cerpen, bacalah kembali
cerpen berjudul “Malam Satu Sura” di atas, kemudian kerjakan soal-soal berikut!

1. Apa tema cerpen tersebut?


2. Sebutkan 2 amanat dalam cerpen tersebut!
3. Adakah bagian alur mundur (peristiwa yang menceritakan kejadian sebelumnya) dalam cerpen tersebut? Tuliskan
bukti kalimat dalam teks!
4. Apa konflik (permasalahan yang mengandung pertentangan tokoh) yang dialami oleh tokoh? Tunjukkan bukti
kalimat dalam teks!
5. Sebutkan tokoh beserta karakter-karakternya!
6. Sebutkan latar tempat, waktu, dan suasana dalam cerpen tersebut!
7. Cerpen tersebut menggunakan sudut pandang apa? Tunjukkan buktinya!
8. Apakah judul cerpen dan paragraf awal dalam cerpen menarik minat untuk membaca sampai akhir cerita?
9. Apakah ada peristiwa yang mengejutkan dalam cerpen tersebut? Peristiwa apa saja itu?
10. Apakah ending (akhir cerita) cerpen tersebut sesuai dengan ekspektasi (harapan) atau dugaanku pada saat
membaca cerita?
PERHATIAN!
• Jawaban ditulis di buku masing-masing!
• Kerjakan dengan penuh tanggung jawab!
• Hasil pekerjaan dikumpulkan dengan
cara dipotret kemudian dikirimkan secara
japri ke nomor HP Pak Joko
(085228561651)!

TUGAS INI DIKUMPULKAN PALING LAMBAT HARI


SABTU, 25 JULI 2020 PUKUL 23.59 WIB
SELAMAT MENGERJAKAN!

Anda mungkin juga menyukai