Anda di halaman 1dari 6

Pylopedates leucomystax : Satu Jenis Katak Banyak Macam

Teguh Mulsim, Ulfah Karmila Sari, dan Widyawati


Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam
Jl. Soekarno Hatta Km. 38 PO. BOX 578 Balikpapan 76112 Telp. (0542) 7217663 Fax. (0542)
7217665
Email: tm97_forester@yahoo.com, Ulfah2005@yahoo.com, Widya@yahoo.com

A. Pendahuluan

Katak adalah salah satu jenis herpetofauna yang termasuk dalam kelas amphibia pada ordo anura. Amfibi
merupakan salah satu komponen penyusun ekosistem yang memiliki peranan sangat penting, baik secara
ekologis maupun ekonomis. Secara ekologis, amfibi berperan sebagai pemangsa konsumen primer seperti
serangga atau hewan invertebrata lainnya (Iskandar 1998) serta dapat digunakan sebagai bio-indikator
kondisi lingkungan (Stebbins & Cohen 1997). Secara ekonomis amfibi dapat dimanfaatkan sebagai
sumber protein hewani, hewan percobaan, hewan peliharaan dan bahan obat-obatan (Stebbins & Cohen
1997). Indonesia memiliki dua dari tiga ordo amfibi yang ada di dunia, yaitu Gymnophiona dan Anura.
Ordo Gymnophiona dianggap langka dan sulit diketahui keberadaannya, sedangkan ordo Anura
merupakan yang paling mudah ditemukan di Indonesia mencapai sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh
jenis Anura di dunia. Ordo Caudata merupakan satu-satunya ordo yang tidak terdapat di Indonesia
(Iskandar 1998).

Menurut Goin & Goin (1971), klasifikasi dan sistematika amfibi adalah sebagai berikut: Kingdom
Animalia, Filum Chordata, Sub-filum Vertebrata, Kelas Amphibia, serta Ordo Gymnophiona, Caudata
dan Anura. Amfibi adalah satwa bertulang belakang yang memiliki jumlah jenis terkecil, yaitu sekitar
4,000 jenis. Walaupun sedikit, amfibi merupakan satwa bertulang belakang yang pertama berevolusi
untuk kehidupan di darat dan merupakan nenek moyang reptil (Halliday & Adler 2000).

Di Indonesia terdapat 10 famili dari Ordo Anura yang ada di dunia. Famili famili tersebut adalah
Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae), Bufonidae, Lymnodynastidae,
Myobatrachidae, Microhylidae, Pelodryadidae, Ranidae, Rhacophoridae dan Pipidae (Iskandar 1998).
Tidak semua ordo dalam kelas amfibi terdapat di Indonesia. Caudata merupakan satu-satunya ordo dari
Amfibi yang tidak terdapat di Indonesia. Ordo Anura terdiri dari katak dan kodok. Saat ini terdapat lebih
dari 4,100 jenis Anura di dunia dan di Indonesia memiliki sekitar 450 jenis atau 11% dari seluruh anura di
dunia (Iskandar 1998).

B. Ekologi dan Habitat

Pada dasarnya semua amfibi adalah karnivora, untuk jenis amfibi yang berukuran kecil makanan
utamanya adalah artropoda, cacing dan larva serangga. Untuk jenis amfibi yang berukuran lebih besar
makanannya adalah ikan kecil, udang, kerang, katak kecil atau katak muda, kadal kecil dan ular kecil.
Pada saat berudu, kabanyakan merupakan herbivora. Ada jenis-jenis tertentu yang bersifat karnivora dan
tidak memerlukan makan sama sekali. Kebutuhan makanan sudah tercukupi dari kuning telurmya
(Iskandar 1998). Sebagian besar amfibi mencari makan dengan strategi diam dan menunggu (Duellman &
Carpenter 1998)
Pada umumnya amfibi tinggal di daerah berhutan yang lembab dan beberapa spesies seluruh hidupnya
tidak bisa lepas dari air (Mistar 2003, Iskandar 1998). Sekitar 70 sampai 80% dari berat tubuhya adalah
air (Kminiak 2000). Amfibi membutuhkan kelembaban yang cukup untuk melindungi diri dari kekeringan
pada kulitnya (Iskandar 1998). Hal ini karena kulit pada amfibi digunakan untuk pernapasan selain paru-
paru (Lametschwandtner & Tiedemann 2000).

Amfibi tidak memiliki alat fisik untuk mempertahankan diri. Sebagian besar Anura melompat untuk
melarikan diri dari predator. Jenis-jenis yang memiliki kaki yang relatif pendek memiliki strategi dengan
cara menyamarkan warnanya menyerupai lingkungannya untuk bersembunyi dari predator. Beberapa
jenis Anura memiliki kelenjar racun pada kulitnya, seperti pada famili Bufonidae (Iskandar 1998).

Habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup suatu organisme melainkan tentang dimana dan
bagaimana satwa tersebut dapat hidup (Goin & Goin, 1971). Berdasarkan habitatnya, katak hidup pada
daerah pemukiman manusia, pepohonan, habitat yang terganggu, daerah sepanjang aliran sungai atau air
yang mengalir, serta pada hutan primer dan sekunder (Iskandar 1998). Habitat utama amfibi adalah hutan
primer, hutan rawa, sungai besar, sungai sedang, anak sungai, kolam dan danau (Mistar 2003).
Kebanyakan dari amfibi hanya bisa hidup di air tawar, namun jenis seperti Fejervarya cancrivora
diketahui mampu hidup di air payau (Iskandar 1998). Pada kolam pengendalian sedimentasi dan air asam
tambang di pertambangan (Settling Pond) juga banyak ditemukan Fejervarya cancrivora dan Polypedates
leucomystax (Muslim et.al, 2015). Sebagian katak beradaptasi agar dapat hidup di pohon. Walaupun
sangat tergantung pada air, katak pohon seringkali tidak turun ke air untuk bertelur. Katak pohon
melakukan kawin dan menyimpan telurnya di vegetasi/pohon di atas air. Saat menetas berudu katak akan
jatuh ke dalam air (Duellman & Heatwole 1998). Selain itu, juga terdapat katak yang menyimpan telurnya
di lubang berair pada kayu dan tanah, di punggung betina atau membawa ke daerah dekat air (Duellman
& Trueb 1994). Sudrajat (2001) membagi amfibi menurut perilaku dan habitatnya menjadi tiga grup besar
yaitu: 1). Jenis yang terbuka pada asosiasi dengan manusia dan tergantung pada manusia, 2). Jenis yang
dapat berasosiai dengan manusia tapi tidak tergantung pada manusia, 3). Jenis yang tidak berasosiai
dengan manusia. Habitat herpetofauna di Sumatera Selatan dibagi berdasarkan ada dan tidaknya
modifikasi lingkungan yang disebabkan oleh manusia maupun yang terjadi secara alami, diantaranya:
hutan primer, hutan bekas tebangan, camp/bekas camp, jalan sarad, bekas kebun, kebun karet, sawah dan
pemukiman. Salah satu penyebab penurunan jenis amfibi di dunia adalah kerusakan habitat hutan dan
fragmentasi. Di hutan yang mengalami sedikit gangguan atau hutan dengan tingkat perubahan sedang
memiliki jumlah jenis yang lebih kaya daripada kawasan yang sudah terganggu seperti hutan sekunder,
kebun dan pemukiman penduduk (Gillespie et al. 2005). Hal yang sama juga terlihat dari penelitian Ul-
Hasanah (2006). Katak yang terdapat di habitat yang tidak terganggu memiliki jumlah jenis yang lebih
banyak. Dari penelitiannya terlihat bahwa habitat sungai tidak terganggu didominasi oleh Leptophryne
borbonica, Rana chalconota dan Limnonectes blythii. Habitat darat tidak terganggu didominasi oleh Bufo
asper, Limnonectes blythii, Rana chalconota, Leptobrachium hasseltii, Megophrys nasuta, Leptophryne
borbonica dan Limnonectes microdiscus. Habitat sungai terganggu didominasi oleh Rana chalconota,
Bufo asper dan Rana hosii, sedangkan habitat darat terganggu didominasi oleh Rana chalconota, Rana
hosii, Fejervarya spp, Bufo biporcatus dan Bufo melanostictus.

Sedangkan variasi morfologi biasanya terjadi karena faktor usia, jenis kelamin, lingkungan/habitat dan
ketersediaan sumber pakan. Pada usia muda/kecil ada sebagian katak yang berbeda dengan usia dewasa
yang dapat terlihat dari warna dan bentuk serta ukuran. Sama halnya dari perbedaan jenis kelamin
seringkali berbeda secara fisik antara betina dan jantan. Katak jantan umumnya berukuran lebih kecil dan
warna kulit lebih bervariasi atau lebih terang dibandingkan katak betina. Pada habitat berair yang jernih
umumnya memberikan warna yang lebih terang dibandingkan habitat yang berair kotor. Atau pada suhu
yang panas cenderung memberikan warna kulit yang berbeda dibandingkan pada suhu rendah. Begitu
juga dengan faktor cuaca yang lain seperti kelembaban dan curah hujan. Bila dilihat dari ketersediaan
sumber pakan tentu saja makin banyak ketersediaan sumber pakan akan memberikan dampak
pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup yang lebih baik termasuk jenis katak.

C. Habitat dan Morfologi Polypedates leucomystax

Habitat akuatik dan terrestrial meliputi hutan sekunder, kebun karet, kebun sawit dan areal bekas
tebangan (Darmawan, 2008). Sementara dalam A Field Guide to The Frogs of Borneo disebutkan bahwa
Polypedates leucomystax hanya dapat hidup pada dataran rendah hingga 750 meter di atas permukaan air
laut dengan habitat yang umunya terganggu termasuk sekitar pemukiman dan sering ditemukan bersama
dengan jenis Kaloula baleata dan Rana nicobariensis. (Inger and Stuebing, 2005). (Di atas daun, ranting
dan diantara rerumputan (posisi vertical), ditengah hingga ditepi danau dan didalam hutan (posisi
horizontal). Lebih sering dan mudah dijumpai pada malam hari dan memangsa beberapa jenis serangga
dan invertebrata. Ph air nomal =7 suhu berkisar 20 – 25,5 oC dan suhu udara berkisar 20 – 32 oC dengan
kelembaban 36 – 83 % (Darmawan, 2008).

Polypedates leucomystax termasuk dalam famili Rhacophoridae dengan ukuran tubuh dewasa rata-rata 46
mm – 66 mm. (Darmawan, 2008). Jantan berukuran 37 – 50 mm dan betina berukuran lebih besar
berkisar 57 – 75 mm. (Inger and Stuebing, 2005). Kisaran ukuran tubuh jenis herpetofauna umumnya
dinyatakan dalam panjang dari ujung moncong hingga kloaka (Snout-Vent Length). (Heyer et al, 1994).
Sesuai namanya, katak pohon bergaris empat (Four - Lined Tree Frog) memiliki ciri khusus garis
berjumlah empat pada punggungnya. Kecacatan belum pernah terjadi pada Polypedates leucomystax
(Darmawan, 2008), walaupun Amfibi memerlukan air untuk siklus hidupnya, karena memilki kulit yang
permiabel dan lebih sensitif terhadap perubahan lingkungan dibandingkan reptil, burung, mamalia (Doyle
1998; Morell 1999b dalam Cohen 2001). Gangguan-gangguan tersebut dapat berpengaruh terhadap
kulitas dan kuantitas amfibi.

Polypedates leucomystax ditemukan di terestrial, namun lebih sering ditemukan di danau di antara
rumput-rumput. Jenis ini berasosiasi dengan Rana nicobariensis, Rana erythraea, dan Rana chalconota.
(Darmawan, 2008). Muslim et. al (2015) menyebutkan Polypedates leucomystax sering ditemukan di
sekitar settling pond dan kubangan air. Jenis ini banyak ditemukan permukaan air, di pinggir kolam tetapi
tidak sampai masuk kedalam air bahkan sampai beberapa meter dari sumber air di area rerumputan
(Schleria sp). Berbeda dengan Fejervarya cancrivora yang lebih sering ditemukan didekat air sampai
menyelam ke dasar kolam (settling pond). Jenis Polypedates leucomystax kadang berasosiasi dengan jenis
lain seperti Polypedates macrotis dan Rhacophorus pardalis (Mistar 2003). Dalam hasil penelitian
Darmawan (2008) disebutkan bahwa Polypedates leucomystax ditemukan secara bersamaan di lokasi
yang sama dengan Rhacophorus sp.1 dan Rhacophorus cyanopunctatus yaitu di aliran sungai dan di daun
atau batang tumbuhan bawah dan habitat yang disukai adalah bagian sungai yang berarus lambat.
Sedangkan Muslim et. al (2015) sering menjumpai Polypedates leucomystax dan Fejervarya cancrivora
pada lokasi yang sama. Selain itu juga seringkali ditemukan ular Enhydris enhydris dan Dendralaphis
pictus di lokasi yang sama. Diduga keberadaan kedua jenis ular ini karena mencari mangsa katak jenis
Polypedates leucomystax dan Fejervarya cancrivora, dan masing-masing jenis ular berbeda juga
mangsanya yaitu ular Enhydris enhydris lebih cenderung memangsa Fejervarya cancrivora karena selalu
berada dipermukaan air dan didalam air sedangkan Dendralaphis pictus lebih cenderung memangsa
Polypedates leucomystax yang lebih banyak berada di semak di sekitar kolam.

D. Ragam Ukuran dan Warna Polypedates leucomystax

Perbedaan ukuran dan corak warna mengindikasikan kemungkinan Polypedates leucomystax dapat lebih
dari satu jenis atau dapat menjadi lebih dari satu sub spesies (Inger and Stuebing, 2005). Perbedaan
ukuran dan warna juga ditemukan pada beberapa individu dari hasil survei pada kawasan pertambangan
dan sekitarnya (Muslim et al. 2015).

Gambar 1. Ragam Warna Pada Katak Polypedates leucomystax

Pustaka

Beebee TJC, Griffiths RA. 2005. The amphibian decline crisis : A watershed for conservation biology?
Biological Conservation 125 : 271–285

Darmawan B. 2008. Keanekaragaman Amfibi di Berbagai Tipe Habitat: Studi Kasus di Eks-HPH PT
Rimba Karya Indah Kabupaten Bungo, Provinsi Jambi. Skripsi. Fakultas Kehutanan Institut
Pertanian Bogor. Bogor

Duellman WE, Carpenter CC. 1998. Reptile and Amphibian Behavior. In: HG Cogger dan RG Zweifel
1998. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. San Fransisco: Fog City Pr

Duellman WE, Heatwole H. 1998. Habitats and Adaptations. In: HG Cogger and RG Zweifel 1998.
Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. Second Edition. San Fransisco: Fog City Pr.

Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. London: Johns Hopkins Univ. Pr

Cohen MM. 2001. Frog decline, frog malformations, and a comparison of frog and human health.
American Journal of Medical Genetics 104:101-109
Gillespie G, Howard S, Lockie D, Scroggie M, Boeadi. 2005. Herpetofaunal richness and community
structure of offshore islands of Sulawesi, Indonesia . Biotropica 37(2): 279-290.

Goin CJ, Goin OB. 1971. Introduction to Herpetology. Second Edition. San Francisco: Freeman.

Halliday T, Adler K. 2000. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibians. New York: Facts on File Inc.

Heyer WR, Donnelly MA, McDiarmid RW, Hayek LC, Foster MS. 1994. Measuring and Monitoring
Biological Diversity: Standard Methods for Amphibians. Washington: Smithsonian Institution Pr.

Inger RF. and RB. Stuebing. 2005. A Field Guide To The Frogs Of Borneo. Natural History Publications
(Borneo) Sdn. Bhd. Malaysia

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali–Seri Panduan Lapangan. Bogor: Puslitbang LIPI.

Johnson PTJ, Lunde KB, Zelmer DA, Werner JK. 2003. Limb deformities as an emerging parasitic
disease in amphibians: Evidence from Museum Specimens and Resurvey Data. Biological
Conservation 17 : 1724-1737.

Kminiak M. 2000. Amphibian Habitats. In: R Hofrichter 2000. The Encyclopedia of Amphibians.
Augsburg: Weltbild Verlag GmbH.

Lametschwandtner A, Tiedemann F. 2000. Biology and Physiology. In: R Hofrichter 2000. The
Encyclopedia of Amphibians. Augsburg: Weltbild Verlag GmbH.

Meteyer CU. 2000. Field Guide to Malformations of Frogs and Toads with Radiographic Interpretations.
Biological Science Report USGS/BRD/BSR- 2000-0005.

Mistar. 2003. Panduan Lapangan Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor: The Gibbon Foundation &
PILI-NGO Movement.

Muslim T, UK. Sari, Widyawati dan A. Siswanto. 2015. Laporan Hasil Penelitian Herpetofauna di
Kawasan Tambang Batu Bara PT. Singlurus Pratama. Balai Penelitian Teknologi
Konservasi Sumber Daya Alam. Samboja

Radiansyah S. 2004. Keanekaragaman spesies amfibi dan biologi populasi Limnonectes kuhlii di Sungai
Cilember dalam Kawasan Wana Wisata Curug Cilember, Bogor-Jawa Barat. Skripsi Sarjana
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor

Stebbins RC, Cohen NW. 1997. A Natural History of Amphibians. New Jersey: Princeton Univ. Pr.

Sudrajat. 2001. Keanekaragaman dan ekologi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi) di Sumatera Selatan.
Skripsi Sarjana Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian
Bogor. Bogor

Ul-Hasanah AU. 2006. Amphibian diversity in Bukit Barisan Selatan National Park, Lampung-Bengkulu.
Skripsi Sarjana Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai