Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena telah
melimpahkan rahmat-Nya berupa kesehatan, kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada Bapak AHMAD FAHRUDIN A.,SE., MM., Ak
sebagai dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu dan teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa bermanfaat dan menambah pengetahuan para
pembaca. Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Malang, 21 November 2019

Penulis

1
DAFTAR ISI

JUDUL....................................................................................................................

KATA PENGANTAR............................................................................................1

DAFTAR ISI...........................................................................................................2

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................3

A. LATAR BELAKANG.............................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH.........................................................................4
C. TUJUAN..................................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................5

A. INTEGRASI ANTARA AGAMA DAN FILSAFAT............................5


B. PERSPEKTIF PEMIKIRAN AL-FARABI............................................6

BAB III PENUTUP................................................................................................10


KESIMPULAN............................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................12

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Ketika membincangkan relasi antara filsafat dan agama maka hal yang menarik untuk kita
tilik adalah bagaimana mencari titik temu antara filsafat dan agama itu sendiri. Mengapa? Salah
satu sebabnya adalah bahwa kendati agama dan filsafat masing-masing berangkat dari titik
pijakan yang berbeda, agama berangkat dari landasan keyakinan, sementara filsafat bermula dari
keraguan dan kebertanyaan. Keraguan dan kebertanyaan yang menjadi ciri khas berfilsafat ini
merupakan sebuah landasan yang berseberangan dengan keyakinan agama, namun keduanya
memiliki fungsi yang sama sebagai pencari kebenaran. Perbedaan titik landasan inilah yang
mengakibatkan adanya kecenderungan perkembangan yang diametral dan tidak saling menyapa
antara ilsafat dan agama dalam khazanah intelektual modern umat islam. Padahal, dalam acuan
normatif islam khususnya al-Quran, maupun sekelumit episode sejarah klasik umat Islam,
ternyata mengindikasikan adanya situasi yang berbeda sama sekali dengan kecenderungan di
atas.
Istilah “ilmu pengetahuan” (science) tidak sama dengan istilah “pengetahuan”
(knowledge). Science (biasa disebut sains) bersifat ilmiah. Pengetahuan seseorang dapat berasal
dari pengalamannya atau juga berasal dari orang lain sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang
memiliki objek, metode dan sistematika tertentu serta ilmu juga bersifat universal. Ilmu dan
pengetahuan saling melengkapi hingga terbentuk ilmu pengetahuan (Suwardi, 2015)
Berbicara tentang agama berarti berbicara tentang iman. Iman adalah sikap batin manusia
di hadapan Tuhan, Tuhan dalam konteks ini adalah Yang Mutlak dan Yang Kudus, dan diakui
sebagai sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman seseorang terwujud dalam sikap dan
tindakan sehari-hari baik terhadap sesama maupun terhadap lingkungan sekitarnya. Jika iman
yang sama dimiliki oleh sekelompok orang maka terjadilah proses pelembagaan. Pelembagaan
itu misalnya berupa tata cara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa
dan ibadat, tata nilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengalaman iman
dalam kegiatan sehari-hari, dan tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan dan
dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi maka lahirlah agama. Jadi agama adalah wujud sosial
dari iman.
Sedangkan Sosok Al-Farabi banyak menarik perhatian ilmuwan lainnya pada abad
pertengahan. Pasalnya, ia dikenal sebagai salah seorang ahli filsafat Muslim yang sangat
mumpuni. Dunia pun mendaulatnya sebagai ‘mahaguru kedua’ setelah Aristoteles. Julukan itu

3
disematkan kepada Abu Nasr Muhammad Ibnu Al-Farakh Al-Farabi, atas kiprah, jasa, dan
dedikasinya sebagai seorang filsuf dan ilmuwan terbaik di zamannya. Karenanya, tak heran bila
banyak yang mendaulatnya sebagai guru kedua setelah pemikir besar Yunani kuno tersebut.
Filsuf Islam yang dikenal di dunia barat dengan nama Alpharabius itu adalah sosok ilmuwan
yang serbabisa. Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn Uzalagh
al-Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872, selisih satu tahun setelah wafatnya filosof muslim
pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan wanita Turki kemudian ia menjadi
perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi dinasabkan sebagai orang Turki. Karir
pemikiran filsafatnya dalam menjembatani pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu
logika (manthiq) dan filsafat sangat gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim
tsāni), layak disematkan. Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana Kristen
Yuhanna ibn Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera dicatat bahwa,
Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan kedokteran di Alexandria.
Pertemuan dan pergumulan pemikiran di Baghdad nantinya menjadi konektor pemikiran al-
Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani Neo-Platonis, Al-Farabi dalam
perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya ibn Adi (w. 974 M), seorang penerjemah
Kristen Nestorian sebagai tokoh logika Ibn al-Sarraj. Karir pendidikannya cukup panjang hingga
pada tahun 330/941 M. Al-Farabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo
dan menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada tahun 339
H atau .Desember 950 M

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Integrasi Antara Agama dan Filsafat ?
2. Bagaimana Perspektif Pemikiran Al-Farabi ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Integrasi Antara Agama dan Filsafat
2. Untuk mengetahui Perspektif Pemikiran Al-Farabi

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. INTEGRASI ANTARA AGAMA DAN FILSAFAT


Kata "filsafat" berasal dari bahasa Yunani, philosophia: philein artinya cinta,
mencintai, philos pecinta, sophia kebijaksanaan atau hikmat. Jadi filsafat artinya "cinta akan
kebijaksanaan". Cinta artinya hasrat yang besar atau yang berkobar-kobar atau yang sungguh-
sungguh. Kebijaksanaan artinya kebenaran sejati atau kebenaran yang sesungguhnya.
Munculnya filsafat tidak dapat dilepaskan dari berbagai persoalan yang dihadapi
manusia dalam hidupnya. Semua problema mendasar yang dihadapi manusia ini dicarikan
jawaban dan pemecahannya oleh filsafat yang bersenjatakan akal. Dari persoalan yang
berhubungan dengan eksistensi Tuhan, realitas alam semesta sampai kepada persoalan
hakikat manusia itu sendiri sebagai makhluk yang bereksistensi di dunia ini (Komarudin
Hidayat, dkk.: 2001, 99). Filsafat sebenarnya memang tidak sendirian untuk merespon
berbagai persoalan mendasar tersebut. Agama dan ilmu adalah dua alat lain yang bisa
digunakan manusia untuk menjawab berbagai persoalan tersebut (Anshari:1982, 171). Dalam
konteks ini ketiganya, baik filsafat, ilmu, maupun agama bisa dijadikan pilihan oleh manusia
untuk merespon problem kehidupannya.
Berbeda dengan filsafat, agama (religion) didefinisikan secara terminologis sebagai
satu sistem kepercayaan dan prilaku praktis yang didasarkan atas penafsiran dan tanggapan
orang atas sesuatu yang sakral dan supernatural (Johnstone, 1992: 14). Agama secara
fungsional, menurut Komaruddin Hidayat, dkk (2001: 103), dapat dirumuskan sebagai:
sistem kepercayaan, sistem ibadah, dan sistem kemasyarakatan. Sementara bagi Mohammad
Iqbal (1981: 181), dalam melihat kehidupan keagamaaan manusia kita bisa memilahnya ke
dalam tiga dimensi: keimanan (faith), pemikiran (thought), dan petualangan diri (discovery).
Dua istilah ini, “filsafat” dan “agama” ini sesungguhnya mendapatkan titik temu pada
bidang yang sama, yaitu apa yang disebut sebagai “the Ultimate Reality”, yakni Realitas
(Dzat) yang terpenting bagi masalah kehidupan dan kematian manusia. Perbedaan, atau
setidaknya sebuah jarak yang bisa membedakan, di antara keduanya tidak terletak pada
bidang yang menjadi titik temu itu sendiri, tetapi terletak pada cara bagaimana menyelidiki
bidang tersebut. Di antara perbedaan keduanya adalah: (1) Jika yang ditonjolkan dalam

5
filsafat adalah berpikir, sedangkan dalam agama adalah mengabdi, (2) jika filsafat
menekankan pengetahuan untuk memahami, maka agama menuntut pengetahuan untuk
beribadah, (3) jika dalam filsafat itu dilakukan contemplation ( misalnya memikirkan tentang
apa itu cinta?), maka dalam agama dilakukan enjoyment (merasakan dan mengalami cinta itu
sendiri), (4) bahwa filsafat walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya akan tetapi sering
mengeruhkan pikiran pemeluknya, sedangkan agama meskipun memenuhi pemeluknya
dengan semangat dan perasaan pengabdian diri namun mempunyai efek yang menenangkan
jiwa pemeluknya, dan (5) jika filsafat banyak berhubungan dengan akal atau pikiran, maka
agama banyak hubungannya dengan hati.
Perbedaan mendasar antara agama dan filsafat itu terletak pada sifat nilai
kebenarannya sebagai akibat dari perbedaan sumber pokok masing-masing. Di satu pihak,
filsafat memiliki nilai kebenaran yang relatif atau spekulatif karena bersumber dari sesuatu
yang relatif pula, yaitu akal manusia. Sedangkan di pihak lain, nilai kebenaran agama
menjadi absolut dan mutlak serta abadi karena bersumber dari sesuatu yang absolut dan abadi
pula, yakni Tuhan. Kendati ada perbedaan mendasar pada keduanya, namun tidak berarti
bahwa keduanya samasekali tidak memiliki titik singgung atau tidak bisa saling menyapa dan
melakukan timbal-balik yang erat.
Dalam upaya memperoleh kebenaran pengetahuan atau pun pengetahuan yang benar,
maka filsafat sesungguhnya bisa menjadi alat yang baik untuk menjelaskan dan
memperkokoh kedudukan agama, sedangkan agama dapat menjadi sumber inspirasi bagi
timbulnya pemikiran filosuofis yang kuat dan benar. Tidak sedikit pemikiran filosofis
ternyata bermuara kepada keimanan akan adanya Tuhan, sebuah ciri dasar agama sebagai
sistem kepercayaan kepada Tuhan, sehingga tidak sedikit pula para filsuf yang semakin kuat
keimanannya justru setelah melakukan pengembaraan filosofis di dunia yang mereka geluti
secara mendalam.

B. PERSPEKTIF PEMIKIRAN AL-FARABI

Al-Farabi menduduki posisi yang sangat istimewa di jajaran para filosof muslim. Terbukti
pemikirannya masih mengilhami pemikiran filsafat paripatetik lainnya. Masignon memuji al-
Farabi sebagai pemikir muslim pertama yang setiap kalimatnya bermakna. Bahkan, Ibn Khulkan
memujinya sebagai filosof muslim yang tidak mungkin tertandingi derajat keilmuannya. Ia telah
berhasil merekonstruksi bangunan Ilmu Logika (manthiq) yang telah diletakkan pertama kali
oleh Aristoteles. Bila Aristoteles yang telah berjasa memperkenalkan Ilmu Logika (manthiq) dan

6
mendapat sebutan ‘guru pertama’, maka al- Farabi atas jasa besarnya mengkombinasikan filsafat
Plato dan Aristoteles ia layak disebut sebagai guru kedua (al-mu’alim ats-tsāni).
Julukan guru kedua yang disematkan kepada al-Farabi antara lain dengan alasan :
Pertama, sangat menonjol dalam Ilmu Logika (manthīq) yang menjadi pondasi semua cabang
ilmu, terutama Ilmu Filsafat dan Logika yang dibangun Aristoteles dijelaskan kembali dalam
karyanya fi al-‘Ibārat, penguasaannya terhadap Ilmu Logika dalam usia yang relatif sangat
muda, bahkan mampu mengungguli gurunya Abu Bisyir Matta bin Yunus yang kala itu
termasuk orang termasyhur bidang logika di Baghdad. Kedua, al- Farabi filosof terbesar setelah
filosof Yunani yang berhasil mengharmoniskan pemikiranpemikiran Aristoteles dan Neo-
Platonis. Ketiga, kepiawaiannya menyusun rambu-rambu pengetahuan filsafat sehingga mudah
dikaji orang orang sesudahnya, ia tuangkan dalam kitab Ihshā’ul ‘Ulūm. Kitab tersebut berisi
lima bab dengan kategori berbeda yaitu ilmu lisan yang membahas lafadz dan pedoman
pengambilan dalil bayaninya, ilmu mantiq atau silogisme, ilmu pendidikan, ilmu jiwa dan teologi
serta ilmu fiqh dan ilmu kalam. Dalam kitab tersebut sebagaimana Aristoteles yang membuat
rumusan filsafat dan bisa dimengerti dengan sistematis orang orang setelahnya. Dalam Ihsha’ul
Ulum al-Farabi menjelaskan beberapa kategori ilmu dan urutan mempelajarinya.
Al-Farabi termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis, baik
berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara karyanya adalah;
Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-Hākimain, karya ini menurut
beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi mengulas dan mempertemukan pemikiran
filsafat Plato dan Aristoteles.
Karya penting lainnya adalah Risālah al-Itsbāt al-Mufāraqāt, At-Ta’līqāt, al- Jam’u Baina
Ra’yu al-Hākimain, kitab al-Siyāsāt al-Madīnah al-Fadhīlah, al-Mūsiqā al- Kabīr, Risālah
Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūn al-Masāil, al-Madīnah al-Fadhīlah, Ārā’ Ahl al-Madīnah al-Fadhīlah,
adapun al-Ihshā al-Ulūm konon merupakan karya terakhir sebelum beliau wafat.
Bukti bahwa al-Farabi sebagai filosof yang mendalami filsafat Aristoteles adalah konon
pada saat Ibn Sina tidak memahami isi Maqālah fī Aghrād al-Hakīm fī Kulli Maqālah al-
Marsūm bi al-Hurūf karya Aristoteles dan ia membacanya berulangkali hingga 40 kali, akhirnya
berlabuh pada karya al-Farabi yang berjudul Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb mā Ba’da al-
Thabī’ah kemudian tersingkap ‘tabir gelap’ isi pemikiran karya Aristoteles tersebut.
Untuk mendapatkan pemahaman mendalam, Al-Farabi setelah membaca karya metafisika-
nya Aristoteles ratusan kali tapi tidak mendapat jawaban yang memuaskan, kemudian
memutuskan untuk menjelaskan kembali konsep metafisika penciptaan alam dari wujud tunggal

7
yang abadi dengan penjelasan yang lebih detail dan sempurna, menurut al-Farabi, alam tercipta
melalui pelimpahan atau emanasi.
Argumen al-Farabi dalam penciptaan alam ini diawali dengan adanya semua alam ini
berasal dari wujud tunggal yang mesti ada (wajib al-wujūd) yaitu Tuhan, kemudian melimpah
menghasilkan (mumkin al-wujūd). Argumen lain yang dijadikan dasar oleh al-Farabi adalah
keteraturan alam dan tata letaknya yang sangat teratur seperti anggota tubuh yang bekerja sesuai
fungsinya. Hal ini menunjukkan alam ini tidak terjadi secara kebetulan, melainkan dari wujud
yang tunggal dan melimpah sedemimikian rupa.
Emanasi semua wujud pada dasarnya berasal dari wujud yang satu dan menghasilkan
wujud lain, terjadi dalam bentuk tunggal dan bertingkat secara mekanis-determinis yang
melahirkan alam beraneka ragam. Menurutnya akal murni berfikir tetang dirinya yang menghasil
wujud pertama (al-maujud al-awwal) yaitu Tuhan sebagai akal yang berdaya fikir tentang diri-
Nya. Dari daya pemikiran Tuhan yang besar dan hebat itu timbul wujud kedua yang merupakan
akal pertama yang juga punya subtansi. Wujud kedua atau akal pertama berfikir tentang dirinya
dan menghasilkan wujud berupa langit pertama, akal kedua berfikir tentang Tuhan melahirkan
akal ketiga, akal ketiga berfikir tentang Tuhan menghasilkan akal ke empat dan seterusnya
sampai akal kesepuluh, dari kesepuluh akal akal tersebut berfikir tentang dirinya menghasilkan
wujud materi berupa Lagnit, Bintang, Saturnus, Yupitaer, Mars, Matahari, Venus, Mercury dan
Rembulan.

Pada akal kesepuluh dayanya sudah melemah dan tidak mampu lagi beremanasi.
Begitulah mata rantai emanasi berlangsung. Akal kesepuluh ini mengatur dunia fana dan ruh
ruh manusia serta empat unsur materi pertama dalam bentuk yakni air, tanah, api, udara.
Selanjutnya dari unsur-unsur ini bermunculan materi lain seperti besi, aluminium, tembaga,

8
perak, emas dan muncul juga tanaman dan hewan, termasuk manusia yang diaktualkan oleh
akal-akal yang berhubungan dengan akal kesepuluh (‘aql fa’al).
Dengan demikian, al-Farabi hendak menjelaskan bahwa walaupun alam itu berasal
dari dzat yang satu yaitu Tuhan, akan tetapi keberadaannya qadim karena dalam proses
emanasi menurutnya tidak berada dalam lingkup ruang dan waktu seperti waktu di mana kita
berada pada saat ini. Mungkin itulah yang dimaksud dengan waktu transenden.
Al-Farabi hadir dengan knsep kenabian untuk menepis keraguan Ar-Razi dan
pengikutnya. Bagi al-Farabi, Nabi merupakan gelar kehormatan yang disematkan oleh Allah
kepada hamba pilihan-Nya. Kepadanya dituangkan kalam Tuhan berupa wahyu untuk di
sampaikan kepada makhluk di alam ini. Menurut al Farabi, manusia bisa berhubungan
dengan aql fa’al melalui dua cara, yakni: penalaran atau perenungan pemikiran dan imaginasi
atau intuisi (ilham). Cara pertama hanya bisa dilakukan oleh pribadi terpilih yang dapat
menembus alam materi untuk mencapai cahaya keTuhanan. Sedangkan cara kedua hanya
dapat dilakukan oleh para Nabi. Dengan cara kontemplasi dan latihan berfikir seseorang bisa
sampai pada derajat akal kesepuluh, sementara melalui penelitian jiwa, pembelajaran dan
latihan, jiwanya akan sampai pada akal mustafad untuk merespon dan menerima cahaya ilahi
sebagai puncak imajinasi tertinggi (al quwwah al mutakhayyilah). Orang yang mampu
mencapai derajat ini tentu hanya para Nabi, bukan orang biasa secara umum.
Konsep kenabian al-Farabi ada kaitan erat dengan politik pada waktu itu, di mana ia
berpendapat bahwa pemimpin yang ideal adalah para Nabi atau Filosof, karena ia mempunyai
kedekatan dan mampu berhubungan dengan akal fa’al, yang merupakan sumber kebaikan.
Pemimpin ideal seperti yang digagas oleh al-Farabi memang jauh dari fakta yang terjadi,
sehingga sangat sulit untuk direalisasikan, setidaknya dengan konsep ini memberikan bekal
dalam memilih seorang pemimpin.
Seperti pemikir-pemikir lainnya, al-Farabi tidak menjadi pemikir yang kebal kritik,
pendapatnya tentang imajinasi tertinggi (al-quwwah al-mutakhayyilah) bisa mendekatkan diri
kepada aql fa’al sehingga ─nyaris─ sama antara filosof dengan Nabi, mendapatkan kritik
dari Ibn Taymiyah (w. 728) dengan argumen mukjizat kauniyah seorang Nabi, seperti
terbelahnya lautan oleh tongkat Musa, turunnya manisan dan burung puyuh (manna wa
salwa), memperbanyak makanan dan minuman dari sela-sela jari, dibakar tidak terpanggang
dan lain lain tidak mungkin bisa dilakukakan semata mata dengan imajinasi. Walaupun bisa
saja mukjizat yang termaktub dalam kitab suci bisa ditakwilkan menjadi makna lain oleh
filosof.

9
BAB III
PENUTUP (KESIMPULAN)

Manusia dewasa ini dihadapkan dengan berbagai tantangan dan isu global yang
menuntut pesan universal agama untuk berperan aktif dalam mewujudkan tatanan dunia baru
yang lebih berpihak pada perdamaian, keadilan dan kemanusiaan. Dalam sitruasi seperti ini
umat Islam seakan-akan dibangunkan untuk mempertanyakan kembali tentang pesan Islam
yang universal, bahwa Islam sebagai agama adalah satu-satunya kebenaran mutlak dan
universal. Bahwa agama adalah satu-satunya kebenaran mutlak dan universal merupakan hal
sudah menjadi keyakinan pemeluknya, namun masih perlu dipertanyakan apakah ungkapan
pengalaman keagamaan yang selama ini dilakukan pemeluk agama selama ini telah benar-
benar mencerminkan esensinya sebagai kebenaran universal yang diwahyukan Allah? Kalau
sudah, maka apa jaminannya? Jika belum, maka artinya pemeluk agama, dalam hal ini kaum
Muslimin, harus terus membuka diri untuk mempertanyakan secara radikal seperti apa
paradigma pengungkapan pengalaman keagamaannya yang seharusnya agar mengidentikkan
diri dengan esensi kebenaran wahyu itu sendiri. Di sinilah arti pentingnya filsafat yang
menawarkan ketajaman dalam menghasilkan pertanyaan radikal terhadap agama yang
memang terbingkai oleh bingkai keyakinan dan keimanan yang termapankan, sehingga
filsafat dalam konteks ini menjadi sebuah alat yang tepat dan benar untuk menghantarkan
manusia pada tujuan yang dikehendaki agama seperti yang diyakininya.

Tujuan akhir dari agama bagi manusia, adalah mengembalikan manusia kepada
keadaan sebelum ia ada, dan ini melibatkan upaya pencarian identitas dan nasib terakhirnya,
dengan melakukan perbuatan yang benar (amal saleh). Makna “kembali” di sini
sesungguhnya adalah hidup itu sendiri, yang mencakup pencarian ilmu (pengetahuan) yang
benar, pemahaman terhadap tanda dan lambang Tuhan yang tertulis dalam kitab alam thabi’i

10
(natural world), dengan menggunakan cahaya petunjuk firman-Nya dan yang ditafsirkan
manusia suci utusan-Nya. Tentunya hal ini melibatkan penggunaan indera yang sehat dalam
mencerna realitas dan penggunaan akal yang sehat dalam memahami kebenaran tersebut.
Untuk menyimpulkan relasi filsafat dan agama ini dapat kita pahami dari sebuah penggalan
pertanyaan klasik yang sering diajukan.

Dari pemaparan mengenai kedudukan wahyu sebagai sumber agama dan ilmu dalam
Islam menurut Al Farabi dapat diperoleh kesimpulan bahwa ada integrasi antara ilmu dan
agama. Wahyu bersumber dari Tuhan, begitu juga dengan pengetahuan lainnya, ia mampu
menjadi ilmu karena pengetahuan yang didapatkan dari tuhan mampu mencapai manfaat bagi
kehidupan dan kebahagiaan manusia. Pengetahuan tersebut selanjutnya harus dapat
dideduksikan untuk menjadi prinsip-prinsip hokum (formula) dengan prinsip kebijaksanaan
dan kehati-hatian yang kuat.

Pertalian pemikiran al-Farabi sangat erat dengan filsafat Yunani, Oleh karena itu
untuk memahami pokok pikiran al-Farabi mutlak dibutuhkan menyelami pemikiran filsafat
Yunani. Al-Farabi adalah sosok filosof muslim yang pengetahuannya mapan, di samping
ilmuwan juga ‘alim yan ghidup dalam kesederhanaan.

Dalam filsafat metafisika, al-Farabi berpendapat bahwa penciptaan alam ini terjadi
secara emanasi atau pancaran Tuhan (al faidh al ilahiy) melalui daya akal yang tunggal dan
esa, kekal, abadi yang disebut akal murni, kemudian menjadi alam raya yang beranek ragam,
proses emanasi berhenti pada akal ke sepuluh yang dinamai akal fa’al, pada akal ke sepuluh
ini tidak lagi ber-emanasi karena daya kekuatan akalnya melemah. Dari akal kesepuluh ini
melahirkan materi, seperti air, api, udara, tanah kemudian diikuti berbagai unsur lainnya.
Pada konsep emanasi ini, nampak sekali pengaruh filsafat metafisikanya neo-platonisme.

Bagi al-Farabi, baik Nabi, Filosof dan Raja adalah satu kesatuan makna, namun
berbeda pendekatannya. Nabi adalah orang suci yang terpilih untuk menerima titah kebenaran
berupa wahyu, sedangkan filosof melalui logika berpikirnya dapat mencapai sebuah
kebenaran yang hakiki, sedangka raja atau pemimpin adalah orang yang berkemampuan dan
kecerdasan tinggi serta kepribadian yang luhur untuk mempropagandakan kebaikan kepada
rakyatnya. Dari kepribadian luhur itulah negara digerakkan, anggota tubuh sebagai
menterinya, sinergisasi fungsinya akan menciptakan kebahagiaan sebagai salah satu tujuan
dibentuknya negara, konsep negaranya disebut negara utama (al-madinah al-fadhilah).

11
DAFTAR PUSTAKA

Hidayatullah, Syarif. 2006. Relasi Filsafat Dan Agama (Perspektif Islam). Jurnal Filsafat Vol.
40, Nomor 2.
Wiyono, M. 2016. Pemikiran Filsafat Al-Farabi. Substantia, Volume 18 Nomor 1.

Zain, Tsuraya Syarif. 2017. Hubungan Antara Agama Dan Ilmu Dalam Pandangan Al Farabi.

12

Anda mungkin juga menyukai