Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

PERTUMBUHAN DAN PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK


Tugas Ini Diajukan Sebagai Salah Tugas Kelompok Pada Mata Kuliah
“Psikologi Agama” Semester III/PAI B

Dosen Pengampu:
Dr. H. Rumbang Sirojudin, M.A

Disusun Oleh Kelompok 3:


Nuryunita Aslamiyah (161210052)
Nurbainah (161210067)
Desi susanti (161210068)
Adha Mubarok (161210059)
M. Hasim Adnan (161210041)
Abdul Karim (161210054)

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN MAULANA
HASANUDDIN BANTEN
TAHUN 2017 M
A. PENDAHULUAN

Psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang jiwa yang dalam hal
ini muncul dengan berbagai macam istilah, antara lain ruh, nafs. Manusia
sebagai objek psikologi memiliki kebutuhan baik jasmani maupun rohani yang
harus dipenuhi untuk mencapai kebahagiaan dalam hidupnya.
Dalam tingkat urgensitas kebutuhan inilah manusia tidak akan mampu
terlepas dari kodrat, yaitu kodrat bahwa manusia membutuhkan Tuhan atau
dalam bahasa sederhana manusia membutuhkan agama atau kepercayaan yang
dijadikan pedoman dalam hidup untuk mencapai kebahagiaan. Atas dasar
kodrat inilah manusia akan memahami esensi kehidupan yang sesungguhnya
tentang siapa, dari mana sekaligus untuk apa mereka diciptakan.
Agama pada dasarnya harus ditanamkan pada manusia dengan tahapan
sesuai dengan usia dan kebutuhan masing-masing agar sesuai dengan
kemampuan manusia untuk menerima kenyataan akan hal-hal yang tidak
selamanya rasional. Untuk itu, perlu disesuaikannya dosis ajaran agama dengan
pola fisik maupun psikis manusia yang dalam hal ini menunjukkan peran
penting psikologi yang menjadikannya berkaitan erat dengan agama.
B. PERTUMBUHAN DAN PENDIDIKAN AGAMA PADA ANAK

1. Pengertian Pertumbuhan
Menurut Crow dan crow, kematangan atau pertumbuhan sejak
pembuahan atau seterusnya merupakan gejala alamiah. Arah terjadinya
pertumbuhan itu sebagai suatu hasil dari faktor-faktor luar dari individu
yang matang atau tumbuh itu bisa ditunjuk sebagai perkembangan.
Definisi pertumbuhan ialah perubahan secara fisiologis dari hasil
proses kematangan fungsi-fungsi jasmani sebagai akibat dari adanya
pengaruh lingkungan. Pertumbuhan dapat diartikan sebagai proses
berubahnya keadaan jasmaniah (fisik) yang turun-temurun dalam bentuk
proses aktif yang berkesinambungan.
Secara genetis, pertumbuhan manusia diawali dari satu sperma dan
satu telur. Satu sperma manusia memasuki sebuah telur dan mulai
membentuk diri. Kehidupan awal dari individu dipengaruhi oleh kondisi
ibu dalam mengandung. Peran ayah dalam menumbuhnya individu baru
memberikan kemungkinan yang tepat agar individu itu terkonsep.
Secara garis besar Kartini Kartono menjelaskan bahwa dalam
pertumbuhan anak ada bermacam-macam faktor yang mempengaruhi
antara lain:
a. Faktor sebelum lahir
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak sebelum lahir
misalnya: kekurangan nutrisi, terserang virus, keracunan sewaktu di
dalam kandungan, infeksi oleh bakteri syphilis, TBC, kolera, sakit gula
dan lain-lain.
b. Faktor ketika lahir
Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak ketika lahir adalah
kerusakan pada susunan syaraf pusat misalnya saja, kelahira bayi yang
dilakukan dengan bantuan tangan.
c. Faktor sesudah bayi lahir
Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan anak sesudah
kelahirannya adalah kekurangan nutrisi atau zat makanan dan gizi serta
kurang sempurnannya perawatan kesehatan.
d. Faktor psikologis
Faktor psikologis yang mempengaruhi pertumbuhan anak misalnya:
apabila bayi ditinggalkan kedua orang tuanya, anak-anak yang
dititipkan dalam institusi (rumah sakit, rumah yatim atau yayasan
perawatan bayi ) kurang mendapatkan jasmaniah dan cinta kasih.1

1
Baharudin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media,
2010). Hlm. 65-68.
2. Timbulnya Jiwa Keagamaan Pada Anak
Menurut beberapa ahli, anak dilahirkan bukanlah sebagai makhluk
yang religius. Anak yang baru dilahirkan lebih mirip binatang, bahkan
mereka mengatakan anak seekor kera lebih bersifat kemanusiaan daripada
bayi manusi itu sendiri. Selain itu ada pula yang berpendapat sebaliknya,
bahwa anak sejak dilahirkan telah membawa fitrah keagamaan. fitrah itu
baru berfungsi di kemudian hari melalui proses bimbingan dan latihan
setelah berada pada tahap kematangan.
Menurut tinjauan, pendapat pertama bayi dianggap sebagai
manusia dipandang dari segi bentuk dan bukan kejiwaan. Apabila bakat
elementer bayi lambat bertumbuh dan matang, maka agak sukarlah untuk
melihat adanya keagamaan pada dirinya. Meskipun demikian, ada yang
berpendapat, bahwa tanda-tanda keagamaan pada dirinya tumbuh terjalin
secara integral dengan perkembangan fungsi-fungsi kejiwaan lainnya.
Berikut beberapa teori mengenai pertumbuhan agama pada anak
antara lain:
a. Rasa ketergantungan (sense of dependent)
Teori ini dikemukakan oleh thomas melalui teori four wishes.
Menurutnya, manusia dilahirkan kedunia ini memiliki empat keinginan
yaitu: keinginan untuk perlindungan (security), keinginan kan
pengalaman baru (new experience), keinginan untuyk mendapat
tanggapan (response), dan keinginan untuk dikenal (recognation).
Berdasarkan kenyataan dan kerjasama dari ke empat keinginan itu,
maka sejak bayi dilahirkan hidup dalam ketergantungan, melalui
pengalaman-pengalaman yang yang diterimanya dari lingkungan itu
kemudian terbentuklah rasa keagamaan pada diri anak.
b. Instink keagamaan
Menurut Woodworth, bayi yang dilahirkan sudah memiliki beberapa
instink di antaranya insting keagamaan. Belum terlihatnya tindak
keagamaan pada diri anak karena beberapa fungsi kejiwaan yang
menopang kematangan berfungsinya insting itu belum sempurna.
Misalnya, insting sosial pada anak sebagai potensi bawaannya sebagai
makhluk bomo socius, baru akan berfungsi setelah anak dapat bergaul
dan berkemampuan untuk berkomunikasi. Jadi, insting sosial itu
tergantung dari kematangan fungsi lainnya. Demikian pula insting
keagamaan.2

3. Tahap Pertumbuhan Beragama Pada Masa Anak-Anak


Sejalan dengan kecerdasannya, pertumbuhan jiwa beragama pada anak
dapat dibagi menjadi tiga bagian:
a. The Fairly Tale Stage (Tingkat Dongeng).
Pada tahap ini anak yang berumur 3 – 6 tahun, konsep mengeanai
Tuhan banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, sehingga dalam
menanggapi agama anak masih menggunakan konsep fantastis yang
diliputi oleh dongeng- dongeng yang kurang masuk akal. Cerita akan
Nabi akan dikhayalkan seperti yang ada dalam dongeng- dongeng.
Pada usia ini, perhatian anak lebih tertuju pada para pemuka agama
daripada isi ajarannya dan cerita akan lebih menarik jika berhubungan
dengan masa anak-anak karena sesuai dengan jiwa kekanak-
kanakannya. Dengan caranya sendiri anak mengungkapkan pandangan
teologisnya, pernyataan dan ungkapannya tentang Tuhan lebih bernada
individual, emosional dan spontan tapi penuh arti teologis.
b. The Realistic Stage (Tingkat Kepercayaan.
Pada tingkat ini pemikiran anak tentang Tuhan sebagai bapak
beralih pada Tuhan sebagai pencipta. Hubungan dengan Tuhan yang
pada awalnya terbatas pada emosi berubah pada hubungan dengan
menggunakan pikiran atau logika. Pada tahap ini teradapat satu hal
yang perlu digaris bawahi bahwa anak pada usia 7 tahun dipandang
sebagai permulaan pertumbuhan logis, sehingga wajarlah bila anak

2
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), hlm.63-66.
harus diberi pelajaran dan dibiasakan melakukan shalat pada usia dini
dan dipukul bila melanggarnya.
c. The Individual Stage (Tingkat Individu)
Sebagai makhluk ciptaan Tuhan, sebenarnya potensi agama sudah
ada pada setiap manusia sejak ia dilahirkan. Potensi ini berupa
dorongan untuk mengabdi kepada Sang Pencipta. Dalam terminologi
Islam, dorongan ini dikenal dengan hidayat al-diniyyat, berupa benih-
benih keberagamaan yang dianugerahkan Tuhan kepada manusia.
Dengan adanya potensi bawaan ini manusia pada hakikatnya adalah
makhluk beragama. Namun keberagamaan tersebut memerlukan
bimbingan agar dapat tumbuh dan berkembang secara benar.3
Pada tingkat ini anak telah memiliki kepekaan emosi yang tinggi,
sejalan dengan pertumbuhan usia mereka. Konsep keagamaan yang
diindividualistik ini terbagi menjadi tiga golongan:
1) Konsep ketuhanan yang konvensional dan konservatif dengan
dipengaruhi sebagian kecil fantasi.
2) Konsep ketuhanan yang lebih murni, dinyatakan dengan pandangan
yang bersifat personal (perorangan).
3) Konsep ketuhanan yang bersifat humanistik, yaitu agama telah
menjadi etos humanis dalam diri mereka dalam menghayati ajaran
agama. Berkaitan dengan masalah ini, imam bawani membagi fase
pertumbuhan agama pada masa anak menjadi empat bagian, yaitu:
a. Fase dalam kandungan
Untuk memahami pertumbuhan agama pada masa ini sangatlah
sulit, apalagi yang berhubungan dengan psikis ruhani. Meski
demikian perlu dicatat bahwa pertumbuhan agama bermula sejak
Allah meniupkan ruh pada bayi, tepatnya ketika terjadinya
perjanjian manusia atas tuhannya.
b. Fase bayi

3
Jalaludin. Ibid., hlm 66-69
Pada fase kedua ini juga belum banyak diketahui pertumbuhan
agama pada seorang anak.Namun isyarat pengenalan ajaran agama
banyak ditemukan dalam hadis, seperti memperdengarkan adzan
dan iqamah saat kelahiran anak.
c. Fase kanak- kanak
Masa ketiga tersebut merupakan saat yang tepat untuk
menanamkan nilai keagamaan.Pada fase ini anak sudah mulai
bergaul dengan dunia luar. Banyak hal yang ia saksikan ketika
berhubungan dengan orang-orang orang disekelilingnya. Dalam
pergaulan inilah ia mengenal Tuhan melalui ucapan- ucapan orang
disekelilingnya. Ia melihat perilaku orang yang mengungkapkan
rasa kagumnya pada Tuhan. Anak pada usia kanak- kanak belum
mempunyai pemahaman dalam melaksanakan ajaran Islam, akan
tetapi disinilah peran orang tua dalam memperkenalkan dan
membiasakan anak dalam melakukan tindakan- tindakan agama
sekalipun sifatnya hanya meniru.
d. Masa anak sekolah
Seiring dengan pertumbuhan aspek- aspek jiwa lainnya,
pertumbuhan agama juga menunjukkan pertumbuhan yang
semakin realistis. Hal ini berkaitan dengan pertumbuhan
intelektualitasnya yang semakin berkembang.4

4. Perkembangan Kesadaran Beragama


Jiwa beragama atau kesadaran beragama merujuk kepada aspek
rohaniah individu yang berkaitan dengan keimanan kepada Allah yang
direfleksikan kedalam peribadatan kepada-Nya, baik yang bersifat
hablumminallah maupun hablumminnas. Perkembangan beragama
seseorang dipengaruhi oleh faktor-faktor pembawaan dan lingkungan.
a. Faktor pembawaan (Internal)
Setiap manusia yang lahir ke dunia ini, baik yang masih primitif
maupun yang sudah modern, sejak Nabi Adam sampai akhir zaman,
4
WE Maramis, 1980. Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, hlm 22-23
menurut fitrah kejadiannya mempunyai potensi beragama atau
keimanan kepada Tuhan atau percaya adanya kekuatan di luar dirinya
yang mengatur hidup dan kehidupan alam semesta. Keyakinan bahwa
manusia itu mempunyai fitrah atau kepercayaan kepada Tuhan
didasarkan kepada firman Allah : Surat Al-Araf ayat 172 yang artinya :
“Dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak
adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa
mereka (seraya berfirman ): ‘ Bukan kah aku Tuhamu? ‘ mereka
menjawab::’ betul (engkau Tuhan kami) kami menjadi saksi (kami
yang lakukan demikian itu) agar di hari kiamat tidak mengatakan,
sesungguhnya kami (bani adam) adalah orang-orang yang lengah
terhadap ini (keesaan Tuhan) ‘.
b. Faktor lingkungan (Eksternal)
1. Lingkungan keluarga
Dalam hal ini, orang tua mempunyai peranan yang sangat penting
dalam menumbuhkembangkan fitrah beragama anak. Sebaiknya
pada saat bayi masih berada dalam kandungan, orang tua (terutama
ibu) seyogianya lebih meningkatkan amal ibadah nya kepada Allah
seperti melaksanakan sholat wajib dan sunnah, berdo’a, berdzikir,
membaca Al-qur’an dan memberi sedekah.
Dalam mengembangkan fitrah beragama anak dalam
lingkungan keluarga, ada beberapa hal lagi yang perlu menjadi
kepedulian (perhatian) orang tua sebagai berikut:
1) Karena orang tua merupakan pembina pribadi yang pertama
bagi anak, an tokoh yang diidentifikasi atau ditiru anak, maka
seyogianya dia memiliki kepribadian yang baik atau berakhlak
karimah (akhlak yang mulia).
Kepribadian orang tua baik ynag menyangkut sikap,
kebiasaan berperilaku atau tata cara hidupnya merupakan
unsur-unsur pendidikan yang tidak langsung memberikan
pengaruh perkembangan fitrah beragama anak.
2) Orang tua hendaknya memperlakukan anaknya dengan baik.
sikap dan perlakuan orang tua yang baik adalah yang
mempunyai karakterisik, memberikan curahan kasih sayang
yang ikhlas, bersikap respek / menghargai pribadi anak,
menerima anak sebagaimana biasanya, mau mendengar
pendapat / keluhan anak, memaafkan kesalahan anak dan
meninta maaf bila orang tua sendiri salah kepada anak, dan
meluruskan kesalahan anak dengan pertimbangan atau alasan-
alasan tepat.
3) Orang tua hendaknya membimbing, mengajarkan, atau
melatihkan ajaran agama pada anak, seperti: syahadat, shalat
(bacaan dan gerakannya), berwudhu, do’a-do’a. Bacaan al-
qur’an, lafadz dzikir, dan akhlak terpuji (akhlakul mahmudah)
seperti bersyukur mendapat anugrah, bersikap jujur, menjalin
persaudaraan dengan orang lain, dan menjauhkan diri dari
perbuatan yang dilarang Allah.
Pentingnya peranan orang tua dalam mengembangkan
fitrah beragama anak ini, dalam al-qur’an maupun hadits telah
dinyatakan secara jelas diantaranya: dalam surat at-tahrim ayat
6 dikemukakan: “hai orang-orang yang beriman, peliharalah
atau jagalah dirimu dan keluargamu daroi ai neraka.” Nabi
SAW Bersabda “setiap anak yang dilahirkan berada dalam
keadaan fitrah (suci dari dosa) maka kedua orangtuanyalah
yang meyahudikan, menasranikan atau memajusikan.
2. Lingkungan sekolah
Dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan fitrah beragama
para siswa, maka sekolah terutama dalam hal ini guru agama
mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengembangkan
wawasan pemahaman, pembiasaan mengamalkan ibadah atau
akhlak yang mulia dan sikap apresiatif terhadap ajaran agama.
Faktor yang menunnjang perkembangan fitrah beragama siswa
adalah:
1) Kepedulian kepala sekolah, guru-guru dan staf sekolah lainnya
terhadap pelaksanaan pendidikan agama (penanaman nilai-niali
agama) di sekolah, baik melalui pemberian contoh dalam
bertuturr kata, berprilaku dan berpakaian yang sesuai dsengan
ajaran agama islam.
2) Tersedianya sarana ibadah yang memaadai dan
memfungsikannya secara optimal.
3) Penyelenggaraan kegiatan ekstrakulikuler kerohanian bagi para
siswa dan ceramah-ceramah atau diskusi keagamaan secara
rutin.5
3. Lingkungan masyarakat
Lingkungan masyarakat adalah situasi atau kondisi interaksi sosial
dan sosiokultural yang secara potensial berpengaruh terhadap
perkembngan fitrah beragama atau kesadaran beragama individu.
Dalam masyarakat individu (terutama anak-anak)akan melakukan

5
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandnung: PT Remaja
Rosdakarya, 2011), hlm.140.
interaksi sosial dengan teman sebayanya atau anggota masyarakat
lainnya. Apabila teman sepergaulan itu menampilkan perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai agama(berakhlak baik) maka anak remaja
pun cenderung akan berakhlak baik. namun, apabila temannya
menampilkan perilaku yang kurang baik maka anak cenderung
akan teroengaruh untuk mengikuti atau mencintai perilaku tersebut.
hal ini akan terjadi apabila anak kurang mendapatkan bimbingan
agama dalam keluarganya.
Mengenai dominannya pengaruh kelompok teman
sepergaulan ini, Hurlock (1956:436). Mengemukakan, bahwa :
standar atau aturan-aturan ‘gang’ (kelompok bermain) memberikan
pengaruh kepada pandangan moral dan tingkah laku para
anggotanya.
Kualitas pribadi atau perilaku anak yang kondusif bagi
perkembangan kesadaran beragama anak adalah (a) taat
melaksanakan ibadah, seperti ibadah ritual, menjalin persaudaraan,
saling menolong, dan bersikap jujur. (b) menghindari diri dari
sikap dan perilaku yang dilarang agama, seperti: sikap
permusuhan, saling curiga, munafik, mengambil hak orang lain
(mencuri, korupsi, dan sebgainya) dan perilaku maksiat lainnya.6

6
Syamsu Yusuf., Ibid,141.

Anda mungkin juga menyukai