Anda di halaman 1dari 9

A.

Pendahuluan
Salah satu periode dalam rentang kehidupan individu adalah masa (fase)
remaja. Masa ini merupakan segmen kehidupan yang penting dalam siklus
perkembangan individu, dan merupakan masa transisi yang dapat diarahkan
kepada perkembangan masa dewasa yang sehat. Dalam pembagian tahap
perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif.
Remaja telah melalui proses pembinaan diri dalam waktu yang cukup
lama, sejak lahir sampai remaja. Waktu dan kondisi serta berbagai peristiwa
yang dilaluinya telah banyak membawa hasil dalam berbagai bentuk sikap dan
modal kelakuan. Dapat dibayangkan betapa variatifnya sikap dan kelakuan itu
karena masing-masing telah terbina dalam berbagai kondisi dan situasi
keluarga, sekolah, dan lingkungan yang berlainan satu sama lain.
Sikap keberagamaan adalah suatu kondisi diri seseorang yang dapat
mendorongnya untuk bertingkahlaku sesuai kadar ketaatannya terhadap
agama. Sikap keagamaan tersebut disebabkan oleh adanya konsistensi antara
kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadap agama
sebagai unsur efektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Dari
sini dapat disimpulkan bahwa sikap kegamaan merupakan integrasi secara
kompleks antara pengetahuan agama, perasaan agama, serta tindak keagamaan
dalam diri seseorang hal ini menunjukkan bahwa sikap keagamaan
menyangkut atau berhubungan erat dengan gejala kejiwaan.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rohaninya, maka agama pada
para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan
para remaja terhadap ajaran agama dan tindak keagamaan yang tampak pada
para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.

1
B. Pembahasan
1. Definisi Perkembangan dan Remaja

Remaja dalam masa peralihan sama halnya seperti masa anak, mengalami
perubahan-perubahan jasmani, kepribadian, intelek dan peranan di dalam
maupun diluar lingkungan. Perbedaan proses perkembangan yang jelas pada
masa remaja adalah perkembangan psikoseksualitas dan emosionalitas yang
mempengaruhi tingkah laku para remaja, yang sebelumnya pada masa anak
tidak nyata pengaruhnya. Remaja dan ilmu Psikologis diperkenalkan
dengan istilah lain, seperti pubertied, adolescence dan youth. Remaja atau
adolescence (Inggris), berasal dari bahasa Latin “ adolescere” yang berarti
tumbuh kearah kematangan. Kematangan yang dimaksud adalah bukan
kematangan fisik saja tetapi juga kematangan sosial dan psikologis.
Istilah “perkembangan” (development) dalam psikologi merupakan sebuah
konsep yang cukup rumit dan kompleks. Di dalamnya terkandung banyak
dimensi. Oleh sebab itu untuk memahami perkembangan perlu memahami
beberapa konsep yang diantaranya: pertumbuhan, kematangan, dan
perubahan. Keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu
dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri yang baru. Dalam
istilah perkembangan juga tercakup konsep usia, yang diawali dari saat
pembuahan dan berakhir kematian.
Secara garis besar perkembangan tidak terbatas pada pengertian
pertumbuhan yang semakin membesar, melainkan di dalamnya juga
terkandung serangkaian perubahan yang berlangsung secara terus-menerus
dan bersifat tetap dari fungsi-fungsi jasmaniah dan rohaniah yang dimiliki
individu menuju ke tahap kematangan melalui pertumbuhan, pematangan dan
belajar. Remaja pada masa peralihan, agar bisa memahami dan menciptakan
kesesuaian demi terciptanya keserasian hidup bersama, maka perlu
diusahakan pendekatan yang sebaik-baiknya.Usaha pendekatan terhadap
remaja harus diawali dengan langkah pengenalan yakni usaha mengenal
seluk-beluk remaja.

2
a. Usaha Pengenalan Remaja
Usaha pengenalan yang pertama yaitu mencari sumber perbedaan yang
telah menyebabkan sulit dimengertinya tingkah laku para remaja. Perubahan
yang dialami para remaja dapat dibagi menjadi dua kelompok:
a) Perubahan yang mudah diketahui, karena proses perkembangannya
jelas dan mudah diamati oleh orang lain.
b) Perubahan yang sulit dilihat oleh orang lain, maupun remaja yang
mengalaminya sendiri.
Hasil perkembangan baik proses yang mudah diamati maupun tidak
mudah dilihat dari luar, akan dihayati oleh remaja itu sendiri. Pada umumnya
perubahan tersebut akan terjawab setelah diadakan usaha mengenal lebih
dalam tentang hakikat remaja. Untuk menghindari kesimpang-siuran dan
kesalahpahaman dalam penggunaan istilah dan bidang penyorotan dengan
tujuan yang sama. Istilah asing yang sering dipakai untuk menunjukan masa
remaja antara lain: Puberteit, Adolescentia, dan Youth. Dalam bahasa
Indonesia sering pula dikatakan PUBERTAS atau REMAJA.
Apabila kita melihat asal kata istilah-istilah tersebut akan diperoleh:
a. PUBERTY (Inggris) atau PUBERTEIT (Belanda) berasal dari bahasa
latin: PUBERTAS. Yang berarti kedewasaan yang dilandasi sifat atau tanda-
tanda perubahan.
b. Adolescentia berasal dari kata Latin: ADULESCENTIA. Yaitu masa
muda yakni antara 17 dan 30 tahun.
Dari kepustakaan didapatkan bahwa Puberteit adalah masa antara 12 dan
16 tahun. Dan Adolescentia adalah masa sesudah pubertas yakni antara 17 dan
22 tahun.1
2. Tingkatan Usia Remaja
Mengenai usia masa remaja terdapat beberapa pendapat, ada yang
membagi menjadi 4 fase, ada yang membagi masa remaja menjadi 3 fase dan
ada pula yang mengatakan bahwa masa remaja dibagi menjadi 2 fase. Tapi

1
Gunarsa, Ny. Singgih D dan Gunarsa, Singgih D. Psikologi Remaja. (Jakarta: Gunung
Mulia, 2003), hlm, 1-5.

3
yang jelas bahwa masa remaja itu dimulai sejak usia 13 tahun hingga 21
tahun. Adapun secara rinci masa remaja dikelompokkan menjadi 4, 3 dan 2
fase yaitu:
1. Adapun yang 4 fase yaitu:
a. Masa pra remaja/masa puber (13-16 tahun)
b. Masa remaja awal (16-18 tahun)
c. Masa remaja akhir (18-20 tahun)
d. Masa adolescence (21 tahun)
2. Adapun yang 3 fase yaitu:
a. Pra-remaja/ puber (13-16 tahun)
b. Remaja awal (16-18 tahun)
c. Remaja akhir (18-21 tahun)
3. Sedangkan yang membagi 2 fase:
a. Masa remaja awal (13-17 tahun)
b. Masa remaja akhir (18-21 tahun)
c. Batasan usia remaja berbeda-beda sesuai budaya setempat.
Ditinjau dari bidang kesehatan WHO, masalah yang disarankan paling
mendesak berkaitan dengan kesehatan remaja adalah kehamilan dini.
Berangkat dari masalah ini, WHO menetapkan batas usia 10-20 tahun
sebagai batasan usia remaja dan membagi umur kurun usia tersebut dalam
dua bagian yaitu remaja awal usia 10-14 tahun dan usia akhir 15- 20
tahun, dengan demikian dari segi program pelayanan defenisi remaja yang
digunakan oleh Departemen Kesehatan adalah 10-19 tahun dan belum kawin.
Sementara itu menurut BkkbN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak
Reproduksi) batasan usia remaja adalah 10-21 tahun. Sedangkan Perserikatan
Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan usia 15-24 tahun sebagai usia remaja(
youth).
3. Perkembangan Jiwa dan Agama Pada Remaja
Agama adalah kebutuhan dasar bagi setiap manusia yang ada sejak dalam
kandungan. Keluarga adalah tempat pertama seorang anak mengenal agama.
Keluarga juga dapat menanamkan dan menumbuhkan serta

4
mengembangkan nilai-nilai agama, sehingga anak menjadi manusia yang
berakhlak baik dan bertaqwa.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa factor
perkembangan rohani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut
W. Starbuck adalah:
1. Pertumbuhan pikiran dan mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa
kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sikap kritis
terhadap agama mulai timbul.Selain masalah agama mereka pun sudah tertarik
pada masalah kebudayaan, social, ekonomi, dan norma-norma kehidupan
lainnya.
2. Perkembangan perasaan
Berbagai perasaan telah berkembang pada masa remaja. Perasaan
social, etnis, dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan
yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religious akan cenderung
mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religious pula..sebaliknya,
bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama
akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan
masa kematangan seksual.Dodorong oleh perasaan ingin tahu dan perasaan
super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang negative.
3. Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan
social.dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara
pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan
itu. Karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi,
maka remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis.
4. Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan
usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja
juga mencakup:
a. Self-directive

5
b. Adaptive
c. Submissive
d. Unadjusted
e. Deviant
5. Sikap dan minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan
sangat kecil dan hal ini tergantung dari kebiasaan masa kecil serta lingkungan
agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
6. Ibadah
Pada masa remaja ini kondisi jiwa agama belum stabil, hal ini dikarenakan
secara kejiwaan mereka masih belum mencapai kematangan sehingga dalam
beragamapun terkadang mengalami keraguan yang akhirnya akan muncul
konflik dalam jiwa remaja tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian W. Starbuck menerangkan beberapa faktor
yang menyebabkan anak-anak pada masa usia remaja mengalami keraguan
dalam beragama antara lain yaitu:
1) Kepribadian yang menyangkut salah tafsir dan jenis kelamin
2) Kesalahan organisasi keagamaan dan pemuka agama
3) Pernyataan kebutuhan manusia
4) Kebiasaan
5) Pendidikan
6) Pencampuran agama dan mistik.2
4. Sikap Remaja Dalam Beragama
Terdapat empat sikap remaja dalam beragama, yaitu:
1. Percaya ikut-ikutan
Percaya ikut-ikutan ini biasanya dihasilkan oleh pendidikan agama secara
sederhana yang didapat dari keluarga dan lingkungannya. Namun demikian ini
biasanya hanya terjadi pada masa remaja awal (usia 13-16 tahun). Setelah itu

2
Rohmah, Noer. Pengantar Psikologi Agama, (Yogyakarta: 2013, teras), hlm. 119

6
biasanya berkembang kepada cara yang lebih kritis dan sadar sesuai dengan
perkembangan psikisnya.
2. Percaya dengan kesadaran
Semangat keagamaan dimulai dengan melihat kembali tentang masalah-
masalah keagamaan yang mereka miliki sejak kecil. Mereka ingin
menjalankan agama sebagai suatu lapangan yang baru untuk membuktikan
pribadinya, karena ia tidak mau lagi beragama secara ikut-ikutan saja.
Biasanya semangat agama tersebut terjadi pada usia 17 tahun atau 18 tahun.
Semangat agama tersebut mempunyai dua bentuk:
a. Dalam bentuk positif
Yaitu berusaha melihat agama dengan pandangan kritis, tidak mau lagi
menerima hal-hal yang tidak masuk akal. Mereka ingin memurnikan dan
membebaskan agama dari bid’ah dan khurafat, dari kekakuan dan kekolotan.
b. Dalam bentuk negatif
Semangat keagamaan ini akan menjadi bentuk kegiatan yang berbentuk
khurafi, yaitu kecendrungan remaja untuk mengambil pengaruh dari luar ke
dalam masalah-masalah keagamaan, seperti bid’ah, khurafat dan kepercayaan-
kepercayaan lainnya.
c. Percaya, tetapi agak ragu-ragu
Keraguan kepercayaan remaja terhadap agamanya dapat dibagi menjadi dua:
a). Keraguan disebabkan kegoncangan jiwa dan terjadinya proses perubahan
dalam pribadinya. Hal ini merupakan kewajaran.
b). Keraguan disebabkan adanya kontradiksi atas kenyataan yang dilihatnya
dengan apa ynag diyakininya, atau dengan pengetahuan yang dimiliki.
d. Tidak percaya atau cenderung atheis
Perkembangan ke arah tidak percaya pada tuhan sebenarnya mempunyai
akar atau sumber dari masa kecil. Apabila seorang anak merasa tertekan oleh
kekuasaan atau kezaliman orangtua, maka ia telah memendam suatu tantangan

7
terhadap kekuasaan orangtua, selanjutnya terhadap kekuasaan apapun,
termasuk kekuasaan tuhan.3
5. Pengaruh Jiwa Keagamaan Pada Remaja dalam Pendidikan.
Dengan kata lain pendidikan dinilai memiliki peran yang penting dalam upaya
menanamkan rasa keagamaan seseorang.
a. Pendidikan keluarga
Keluarga menurut para pendidikan merupakan lapangan pendidikan yang
pertama, dan pendidiknya adalah orang tua.Orang tua (bapak dan ibu) adalah
pendidik kodrati.Pendidikan keluarga adalah dasar bagi pembentukan jiwa
keagamaan.Perkembangan agama menurut W.H. Clark berjalin engan unsur-
unsur kejiwaan sehingga sulit untuk diidentifikasi secara jelas, karena masalah
yang menyangkut kejiwaan manusia demikian rumit dan kompleksnya.
Menurut Rasul Allah SAW, fungsi dan peran orang tua bahkan mampu
untuk membentuk arah keyakinan anak-anak mereka. Menurut beliau bayi
yang dilahirkan sudah memiliki potensi untuk beragama, namun bentuk
keyakianan agama yanga akan dianut anak sepenuhnya tergantung dari
bimbingan, pemeliharaan dan pengaruh orang tua mereka.
b. Pendidikan kelembagaan
Secara kelembagaan maka sekolah-sekolah merupakan lembaga pendidian
yang artifisialis (sengaja dibuat).Selain itu sejalan dengan fungsi dan
peranannya, maka sekolah sebagai kelembagaan pendidikan adalah lanjutan
dari pendidikan keluarga.Karena keterbatasan oarng tua untuk mendidi anak-
anak mereka, maka mereka diserahkan ke sekolah-sekolah.
Berdasarkan penelitian Gillesphy dan Young, walaupun latar belakang
pendidikan agama di lingkungan keluarga lebih dominan dalam pembentukan
jiwa keagamaan pada anak, barangkali pendidikan agama yang diberikan di
kelembagaan pendidikan ikut berpengaruh dalam pembentuka jiwa
keagamaan pada anak.

3
Raharjo, Pengantar Ilmu Jiwa Agama, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2012), hlm. 36-
37.

8
Fungsi sekolah dalam kaitannya dengan pembentukan jiwa keagamaan
pada anak, antara lain sebagai pelanjut pendidikan agama di lingkungan
keluarga atau membentuk jiwa keagamaan pada diri seseorang yang tidak bisa
menerima pendidikan agama di lingkungan keluarga.
Menurut M.c Guire, proses perubahan sikap dari tidak menerima kesikap
menerima berlangsung melalui tiga tahap perubahan sikap. Pertama, adanya
perhatian; kedua, adanya pemahaman; ketiga,adanya penerimaan.
c. Pendidikan di masyarakat
Masyarakat merupakan lapangan pendidikan yang ketiga.Para pendidik
umumnya sepakat bahwa lapangan pendidikan yang ikut mempengaruhi
perkembangan anak didik adalah keluarga, kelembagaan pendidkan dan
lingkungan masyarakat.selanjutnya karena asuhan terhapad pertumbuhan anak
harus berlangsung secara teratur dan terus-menerus. Oleh karena itu,
lingkungan masyarakat akan memberi dampak dalam pembentukan
pertumbuhan itu. Dalam kaitan ini pula terlihat besarnya pengaruh masyarakat
terhadap pertumbuhan perkembangan keagamaan jiwasebagai bagian dari
aspek kepribadian yang terintegrasi dalam pertumbuhan psikis.
Dalam ruang lingkup yang lebih luas dapat diartikan bahwa pembentukan
nilai-nilai kesopanan atau nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek-aspek
spiritual akan lebih efektif jika seseorang berada dalam lingkungan yang
menjunjung tinggi nilai-nilai tersebut.4

4
Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta:1998, Raja Grafindo Persada), hlm. 211

Anda mungkin juga menyukai